5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Belajar
Belajar merupakan suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan
pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat ditunjukkan
dalam berbagai bentuk seperti berubah, pengetahuan, pemahaman, sikap dan
tingkah laku, ketrampilan, kecakapan, kebiasaan serta perubahan aspek-aspek lain
yang ada pada individu yang belajar (Sudjana, 2002).
Menurut Gagne dalam Dimyati (1999), mengemukakan bahwa belajar
adalah kegiatan yang kompleks. Belajar adalah seperangkat proses kognitif yang
mengubah sifat stimulasi lingkungan melewati pengolahan informasi menjadi
kapabilitas baru. Sudjana (2002) belajar adalah perubahan yang relatif permanen
dalam suatu kecenderungan tingkah laku sebagai hasil dari praktek dan latihan.
Menurut Slameto (2003) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses yang
dilakukan untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan sebagai hasil pengalaman sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya.
Sejalan dengan Sudjana (2002) dapat disimpulkan bahwa belajar adalah
suatu proses perubahan perilaku seseorang, yang terjadi karena adanya
pengalaman diri sendiri dan interaksi dengan lingkungan sekitar, yang berisifat
permanen.
B. Prestasi Belajar
Prestasi merupakan hasil yang dicapai seseorang ketika mengerjakan tugas
atau kegiatan tertentu. Prestasi akademik adalah hasil belajar yang diperoleh dari
kegiatan pembelajaran di sekolah yang bersifat kognitif dan biasanya ditentukan
melalui pengukuran dan penilaian, sementara prestasi belajar adalah penguasaan
pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan mata pelajaran. Prestasi belajar
siswa dapat ditunjukan melalui nilai atau angka nilai dari hasil evaluasi yang
dilakukan oleh guru terhadap tugas siswa dan ulangan-ulangan atau ujian yang
ditempuhnya (Tu’u, 2004)
Pengertian prestasi belajar menurut Winkel (2004) prestasi belajar adalah
perubahan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap dalam diri siswa sebagai akibat
6
interaksi aktif dengan lingkungannya. Perubahan-perubahan itu terjadi secara
sadar, bersifat kontinyu, relatif lama, terarah, dan bersifat positif. Sudiro dalam
Rahaju (2004) berpendapat bahwa prestasi belajar adalah perubahan perilaku
menuju perkembangan yaitu hasilnya yang dicapai oleh siswa terhadap perubahan
tingkah laku dalam kaitannya dengan bahan yang dipelajari.
Slameto (2003) mendefinisikan prestasi belajar sebagai perfomance dan
dalam kompetisinya dalam mata pelajaran setelah mempelajari materi untuk
mencapai tujuan pengajaran dalam satuan waktu tertentu yang dapat berupa
semester atau tahun pelajaran. Performance dan kompetensi tersebut meliputi
ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotorik.
Pendapat lain mengenai prestasi belajar dikemukakan Sukmadinata (2003)
bahwa prestasi belajar atau achievement merupakan realisasi pemekaran dari
kecakapan-kecakapan potensial atau kapasitas yang dimilki siswa. Penguasaan
materi belajar oleh seorang siswa dilihat dari perilakunya, baik perilaku dalam
bentuk pengetahuan, ketrampilan berpikir, maupun ketrampilan motorik. Di
sekolah hasil belajar ini dapat dilihat dari pengusaan siswa akan mata pelajaran
yang ditempuhnya. Tingkat penguasaan pelajaran dalam mata pelajaran tersebut
dilambangkan dalam angka pada pendidikan dasar.
Pengertian prestasi belajar menurut Arikunto (1993) adalah sebagai hasil
usaha, kemampuan dan sikap siswa dalam menyelesaikan tugas dalam bidang
pendidikan yang ditetapkan pada setiap jenjang studi, yng dinyatakan dalam angka.
Prestasi belajar yang dinampakan dalam bidang akademik dinyatakan sebagai
pengetahuan yang dicapai atau ketrampilan yang dikembangkan dalam mata
pelajaran tertentu di sekolah, biasanya ditetapkan atas dasar tes atau ujian yang
dilakukan guru.
Sejalan dengan pendapat Tu’u (2004) pengertian prestasi belajar
Matematika adalah hasil belajar yang dicapai siswa ketika mengikuti kegiatan
belajar mengajar matematika di sekolah, yang dapat dilihat dari ranah kognitif
siswa yang meliputi aspek pengetahuan yang dibuktikan melalui nilai dari evaluasi
yang dilakukan oleh guru terhadap tes yang diberikan pada siswa.
C. Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Pembelajaran Matematika
Berhasil atau tidaknya proses pembelajaran bergantung dari beberapa
aspek, yaitu secara intern dan ekstern. Secara intern adalah meliputi kondisi
jasmani dan psikologis. Kondisi jasmani yang sehat akan mendukung hasil belajar
7
yang optimal. Kondisi psikologis dapat dilihat dari aspek kecerdasan atau IQ, minat,
bakat, dan motivasi. Secara ekstern adalah meliputi lingkungan sekitar. Lingkungan
yang kurang mendukung proses belajar akan berpengaruh pada pencapaian hasil
belajar Tu’u (2004).
Rendahnya prestasi belajar matematika pada siswa tidak sepenuhnya
bergantung pada diri peserta didik. Faktor yang mempengaruhinya berasal dari
dalam diri peserta didik (intern) dan dari luar diri peserta didik (ekstern). Kemauan
dan kemampuan dari dalam diri siswa untuk belajar tentang sesuatu, akan
berpengaruh pada pencapaian hasil belajar. Selain itu, faktor pendukng lainnya
adalah dari lingkungan terutama lingkungan yang menjadi kunci utama adalah
lingkungan sekolah khususnya kondisi dan suasana belajar di kelas. Berdasarkan
studi yang dilakukan Suharsaputra (2004) dalam Syarifudin (2009) menyimpulkan
banyak guru yang menguasai materi suatu objek dengan baik tetapi tidak dapat
melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik karena hasil belajar mengajar
tidak didasarkan pada suatu model pembelajaran tertentu sehingga
mengakibatakan prestasi belajar menjadi rendah. Rendahnya prestasi belajar siswa
pada mata pelajaran matematika juga terkait erat dengan persoalan metode atau
pun model pembelajaran.
Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar ini juga dikemukakan
oleh Sumargo (1997), dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah: guru dan pengajarannya. Selain
mengajarkan ilmu kepada siswa, guru juga melakukan tugas mendidik dan
membimbing siswa untuk belajar maksimal; siswa itu sendiri, terutama yang
berkaitan dengan penguasaan materi prasyarat, kebiasaan atau ketrampilan
belajar, usia, daya tangkap, dan semangat belajar; sekolah, faktor sekolah meliputi
ketersediaan alat peraga dan kualitas bimbingan; dan lingkungan, ditekankan pada
kualitas dukungan orang tua dan lingkungan tempat tinggal siswa.
D. Model Pembelajaran Problem Posing
Problem posing adalah istilah dalam bahasa inggris yaitu dari kata
“problem” artinya masalah, soal atau persoalan dan kata “to pose” yang artinya
mengajukan (Echols dan Shadily, 1995). Problem posing bisa diartikan sebagai
pengajuan soal atau pengajuan masalah. Suryanto (1998) menggunakan
‘pembentukan soal’ sebagai padanan ‘problem posing’.
8
Model pembelajaran ini dikembangkan di tahun 1997 oleh Lyn D. English,
dan pada awalnya diterapkan pada mata pelajaran matematika. Model
pembelajaran ini selanjutnya dikembangkan pada mata pelajaran yang lain. Pada
prinsipnya, model pembelajaran Problem posing adalah suatu model pembelajaran
yang mewajibkan para siswa untuk mengajukan soal sendiri melalui pelajaran soal
(berlatih soal secara sendiri).
Problem posing mempunyai beberapa arti, (Suharta, 2000) mendefinisikan
problem posing adalah perumusan masalah yang berkaitan dengan syarat-syarat
soal yang telah dipecahkan atau alternatif soal yang masih relevan.
Suryanto (dalam Sukestiyarno, 2001) menjelaskan problem posing adalah
perumusan soal agar lebih sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan
ada peubahan agar lebih sedehana dan dapat dikuasai. Hal ini terjadi pada soal-soal
yang rumit .
Problem posing adalah kegiatan perumusan soal atau masalah siswa. Siswa
hanya diberikan situasi tertentu sebagai stimulus dalam merumuskan soal atau
masalah. Berkaitan dengan situasi yang dipergunakan dalam kegiatan perumusan
masalah atau soal dalam pembelajaran, Walter dan Brown (1990) dalam Kadir
(2003) menyatakan bahwa soal yang dibangun melalui beberapa bentuk, antara lain
gambar, benda manipulatif, permainan, teorema atau konsep, alat peraga, soal,
dan solusi dari soal. English (1998), dalam Nurjanah, (2002) membedakan dua
macam situasi atau konteks, yaitu konteks, yaitu konteks formal bisa dalam betuk
simbol (kalimat) atau dalam kalimat verbal, dn konteks informal berupa permainan
dalam gambar atau kalimat tanpa tujuan khusus.
Problem posing dapat juga diartikan membangun atau membentuk
masalah. Suryanto dalam Yansen (2005) menjelaskan, problem posing adalah
perumusan soal ulang yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana
sehingga soal tersebut dapat diselasaikan.
Menurut Brown dan Walker (1990), dalam Nurjanah, (2009) terdiri dua
aspek penting, yaitu accepting dan challenging. Accepting berkaitan dengan
kemampuan siswa memahami situasi yang diberikan oleh guru atau situasi yang
sudah ditentukan. Challenging berkaitan dengan sejauh mana siswa merasa
tertantang dari situasi yang diberikan sehingga melahirkan kemampuan
mengajukan masalah atau soal.
9
Setiawan (2004) mengatakan pembentukan soal atau pembentukan
masalah mencakup dua kejadian yaitu: Pembentukan soal baru atau pembentukan
soal dari situasi atau dari pengalaman siswa dan Pembentukan soal yang sudah ada.
Menurut Menon dalam Sukarno (2001), langkah-langkah pengajuan soal
dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: Berikan kepada siswa soal cerita tanpa
pertanyaan, tetapi semua informasi yang diperlukan untuk memecahkan soal
tersebut ada, tugas siswa adalah membuat pertayaan-pertanyaan berdasarkan
informasi yang ada pada soal, Guru menyeleksi sebuah topik dan meminta siswa
membentuk kelompok dan diberi tugas untuk membuat soal cerita sekaligus
jawabannya, sebelum tugas itu didiskusikan di masing-masing kelompok dan kelas,
dan Siswa diberi soal dan diminta untuk mendaftar sebuah pertanyaan yang
berhubungan dengan masalah, sebuah permasalahan diseleksi dari daftar untuk
diselesaikan.
Problem posing juga merupakan pembentukan soal atau pembentukan
masalah yang di buat siswa dengan cara menyusun soal yang serupa dengan soal
yang diberikan guru atau dari situasi dan pengalaman siswa itu sendiri.
Tiga tipe model pembelajaran Problem Posing yang dapat dipilih guru,
(Usmanto, 2007). Pemilihan tipe ini dapat disesuaikan dengan tingkat kecerdasan
para siswa (peserta didik).
1. Problem Posing tipe Pre-Solution Posing
Siswa membuat pertanyaan dan jawaban berdasarkan pernyataan yang
dibuat oleh guru. Jadi, yang diketahui pada soal itu dibuat guru, sedangkan siswa
membuat pertanyaan dan jawabannya sendiri.
2. Problem Posing tipe Within Solution Posing
Siswa memecah pertanyaan tunggal dari guru menjadi sub-sub pertanyaan
yang relevan dengan pertanyaan guru.
3. Problem Posing tipe Post Solution Posing
Siswa membuat soal yang sejenis dan menantang seperti yang dicontohkan
oleh guru. Jika guru dan siswa siap maka siswa dapat diminta untuk mengajukan
soal yang menantang dan variatif pada pokok bahasan yang diterangkan guru.
Siswa harus bisa menemukan jawabannya. Tetapi ingat, jika siswa gagal
menemukan jawabannya maka guru merupakan narasumber utama bagi siswanya.
Guru harus benar-benar menguasai materi.
Kelebihan model pembelajaran problem posing menurut (Suyitnio, dalam
Sukistiyarno 2001) yaitu: Memberi penguatan terhadap konsep yang diterima atau
10
memperkuat konsep-konsep dasar, Diiharapkan mampu melatih siswa
meningkatkan kemampuan dalamm belajar, dan Orientasi pembelajaran adalah
investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
Setiap model pembelajaran pasti ada kelebihan dan kekuranganya.
Begitupula dengan model pembelajaran problem posing. Norman & Bakar (2011)
menguraikan bahwa kelebihan model problem posing adalah : Kemampuan
memecahkan masalah / mampu mencari berbagai jalan dari suatu kesulitan yang
dihadapi, Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman siswa/ terampil
menyelesaikan soal tentang materi yang diajarkan, Mengetahui proses bagaimana
cara siswa memecahkan masalah, Meningkatkan kemampuan mengajukan soal,
dan Sikap yang positif terhadap matematika.
Menurut Rahayuningsih (dalam Sutisna, 2002), kelebihan Problem Posing
diantaranya adalah: Kegiatan pembelajaran tidak terpusat pada guru, tetapi
dituntut keaktifan siswa, Minat siswa dalam pembelajaran matematika lebih besar
dan siswa lebih mudah memahami soal karena dibuat sendiri, Semua siswa terpacu
untuk terlibat secara aktif dalam membuat soal, dengan membuat soal dapat
menimbulkan dampak terhadap kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah,
dan Dapat membantu siswa untuk melihat permasalahan yang ada dan yang baru
diterima sehingga diharapkan mendapatkan pemahaman yang mendalam dan lebih
baik.
Sejalan kedua pendapat diatas bahwa kelebihan model pembelajaran
problem posing yaitu : Siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran, minat yang positif
terhadap matematika, membantu siswa untuk melihat permasalahan yang ada
sehingga meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, memunculkan ide
yang kreatif dari dalam mengajukan soal, dan mengetahui proses bagaimana cara
siswa memecahkan masalah.
Kekurangan model problem posing yaitu pembelajaran model problem
posing membutuhkan waktu yang lama, dan agar pelaksanaan kegiatan dalam
membuat soal dapat dilakukan dengan baik perlu ditunjang oleh buku yang dapat
dijadikan pemahaman dalam kegiatan belajar terutama membuat soal.
Potensi siswa sebenarnya dapat dioptimalkan dengan memberikan
pembelajaran inovatif yang tentunya banyak menuntut (melatih) kreatifitas siswa
hingga akhirnya siswa terampil dalam mengungkap fakta yang berkaitan dengan
masalah dan menyelesaikan masalah tersebut berdasarkan fakta yang didapat.
11
Maka problem posing dapat membantu siswa untuk mengembangkan proses nalar
mereka.
Adapun langkah-langkah pembelajaran model problem possing dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut: Langkah Accepting (menerima), pada tahap ini
adalah dimana guru memberikan stimulus terhadap kemampuan siswa dalam
memahami situasi yang diberikan; Langkah challenging (menantang), pada tahap ini
siswa dibimbing untuk memberikan respon terhadap situasi yang diberikan yaitu
dengan pertanyaan; Berdialog, guru membimbing siswa mengenai langkah-langkah
yang akan ditempuh siswa dalam penyelesaian masalah; Guru bersama siswa
melaksanakan rencana penyelesaian, yaitu Tanya jawab; Guru dan siswa
menyelesaikan masalah bersama-sama.
E. PTK (PENELITIAN TINDAKAN KELAS)
PTK merupakan paparan gabungan definisi dari tiga kata ”penelitian,
tindakan, dan kelas”. Penelitian adalah kegiatan mencermati suatu objek,
menggunakan aturan metodologi tertentu untuk memperoleh data atau informasi
yang bermanfaat bagi peneliti atau orang-orang yang berkepentingan dalam rangka
peningkatan kualitas diberbagai bidang. Tindakan adalah suatu gerak kegiatan yang
sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu yang dalam pelaksanaannya berbentuk
rangkaian periode / siklus kegiatan. Sedangkan kelas adalah sekelompok siswa yang
dalam waktu yang sama dan tempat yang sama menerima pelajaran yang sama dari
seorang guru yang sama. Penelitian tindakan kelas (PTK) merupakan terjemahan
dari classroom action research yaitu suatu action research (penelitian tindakan)
yang dilakukan di kelas (Arikunto, 2007).
Kemmis (dalam Wiriaatmadja, 2005), penelitian tindakan ialah sebuah
bentuk inkuiri relatif yang dilakukan secara kemitraan mengenai situasi sosial
tertentu meningkatkan rasionalitas dan keadilan dari kegiatan praktik sosial
pendidikan mereka dan pemahaman mereka mengenai kegiatan-kegiatan praktik
pendidikan ini dan situasi yang memungkinkan terlaksananya kegiatan praktik ini.
Penelitian tindakan kelas mempunyai beberapa model diantaranya model
Kurt Lewin, model Kemmis Mc Taggart, model John Elliot, model Hopkins, dan
model McKernan (Sutama, 2011). Model-model tersebut bertujuan untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam kelas.
Model Kurt Lewin merupakan dasar atau acuan pokok dari adanya berbagai
model penelitian tindakan lainnya, khususnya PTK. Kurt Lewin adalah orang yang
12
pertama kali memperkenalkan konsep pokok penelitiannya terdiri dari empat
komponen, yaitu : perencanaan/planning, tindakan/acting, pengamatan/observing,
dan refleksi/reflecting. Hubungan keempat komponen tersebut merupakan suatu
siklus. Berikut ini design PTK model Kurt Lewin:
Gambar 1. Model PTK Kurt Lewin
Penelitian tindakan kelas menurut Kemmis dan Taggart (1998) dilaksanakan
melalui empat langkah utama yaitu perancangan (planning),tindakan (action),
observasi (observing), dan refleksi (reflect). Empat langkah yang saling berkaitan itu
dalam pelaksanaan tindakan kelas sering disebut dengan istilah satu siklus.
Satu siklus sesudah selesai diimplementasikan, khususnya sesudah adanya
refleksi, kemudian diikuti dengan adanya perencanaan ulang yang dilaksanakan
dalam bentuk siklus tersendiri. Demikian seterusnya, atau dengan beberapa kali
siklus. Model ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2. PTK Model Kemmis dan Mc Taggart
13
Model PTK dari John Elliot ini lebih rinci jika dibandingkan dengan model
Kurt Lewin dan model Kemmis-Mc Taggart. Dikatakan demikian, karena di dalam
setiap siklus terdiri dari beberapa aksi, yaitu antara tiga sampai lima aksi (tindakan).
Sementara itu, setiap tindakan kemungkinan terdiri dari beberapa langkah yang
terealisasi dalam bentuk kegiatan belajar-mengajar.
Gambar 3. PTK Model Eliot
F. Pembelajaran Tentang Sudut
Kata Sudut itu sendiri dilihat dari bahasa Latin, yaitu angulus yang berarti
pojok. Sedangkan dari bahasa Yunani yaitu ankylοs yang berarti bengkok,
melengkung. Keduannya dihubungkan dengan Pro-Indo-Eropa yang berarti
membungkuk atau busur. Secara matematis, sudut dapat didefinisikan sebagai
sutau daerah yang terbentuk dari pertemuan/perpotongan dua sinar atau garis
lurus pada satu titik. Dalam memberikan pengertian tentang sudut, dapat
14
disimpulkan bahwa kaki sudut adalah garis-garis pembentuk sudut, titik sudut
adalah titik perpotongan atau pertemuan kedua kaki sudut, dan daerah sudut
adalah daerah yang dibatasi oleh kedua kaki sudut.
Tabel 1. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Sudut
Standar Kompetensi Kompetensi dasar
5. Memahami hubungan garis dengan
garis, garis dengan sudut, sudut
dengan sudut, serta menentukan
ukurannya
5.1 Menentukan hubungan antara dua garis, serta
besar dan jenis sudut
5.2 Memahami sifat-sifat sudut yang terbentuk jika
dua garis berpotongan atau dua garis sejajar
berpotongan dengn garis lain
5.3 Melukis sudut
5.4 Membagi sudut
Berikut ini adalah peta konsep materi sudut yang akan digunakan peneliti.
Peneliti menggunakan materi geometri untuk penelitian ini. Peta konsep materi
sudut dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Peta Konsep Materi Sudut
G. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Terdapat beberapa penelitian pendahulu yang menggunakan model
Problem Posing, yaitu :
Penelitian yang telah dilakukan oleh Intan (2007) yang dilakukan di SMP
Negeri I Balapulang Tegal menyebutkan bahwa dalam meningkatkan hasil belajar
Sudut
Satuan Sudut
Mengukur Sudut
Jenis Sudut
Hubungan Antarsudut
Hubungan Sudut pada Dua Garis Sejajar
Melukis Sudut
Membagi Sudut i Sudut
15
siswa dengan penerapan model pembelajaran Problem posing lebih baik daripada
model pembelajaran konvensional atau ceramah.
Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan oleh
Nurjanah (2007) dengan objek penelitian siswa kelas 7B SMPN 4 Adiwerna
Kabupaten Tegal menyebutkan bahwa dalam meningkatkan prestasi belajar siswa
dengan penerapan model pembelajaran Problem Posing lebih baik daripada model
pembelajaran konvensional atau ceramah.
Sejalan dengan dua penelitian sebelumnya penelitian yang telah dilakukan
oleh Surtini, dkk (2003) yang melakukan penelitian pada siswa SD kelas 4 di Salatiga
menyebutkan bahwa dalam meningkatkan prestasi belajar siswa dengan penerapan
model pembelajaran Problem Posing lebih baik daripada model pembelajaran
konvensional atau ceramah.
Berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fitrianti
(2009) dengan objek penelitian di SMP Negeri 8 Malang, Feriani (2010) yang
dilakukan di SMP Negri 2 Juwana menyebutkan bahwa prestasi belajar siswa yang
pembelajarannya menggunakan metode Problem Posing sama dengan siswa yang
pembelajarannya menggunakan metode ceramah.
H. Kerangka Pemikiran
Alternatif model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengaktifkan
siswa adalah model pembelajaran problem posing. Model pembelajaran problem
posing merupakan suatu model pembelajaran dimana siswa dilatih untuk dapat
membuat soal dan menyelesaikan soal dari informasi yang diberikan oleh guru.
Model problem posing juga akan membiasakan siswa berpikir dengan
menganalisis beberapa pendapat dan akhirnya menemukan suatu solusi terbaik
sehingga siswa dapat menguasai pelajaran secara tuntas agar hasil yang diperoleh
dapat meningkat.
Berdasarkan pemikiran diatas maka model pembelajaran problem posing
akan dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Top Related