14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Respon Imunitas dan Seluler Pasca Cedera Saraf Tepi
Cedera saraf tepi memprovokasi sebuah reaksi pada sel-sel imun perifer dan
sel glia di beberapa tempat berbeda: makrofag dan sel Schwann memfasilitasi
degenerasi Wallerian dari bagian distal serabut saraf yang mengalami cedera.
Respon imunitas pada GRD dilaksanakan oleh makrofag, limfosit dan sel-sel satelit
(Gambar 2.1a).
Gambar 2.1
Respon imunitas dan sel glia sebagai respon dari cedera saraf tepi
(Scholz & Woolf, 2007).
15
Makrofag, limfosit T dan sel mast menuju lokasi lesi dan menyebar ke
seluruh potongan distal dari serabut saraf yang mengalami cedera. Sel Schwann
mulai berkembang biak, berdifferensiasi dan membentuk band of Bungner, yang
berfungsi sebagai tabung pembimbing regenerasi akson (gambar 2.1b).
Makrofag yang berasal dari monosit yang bersirkulasi dan mikroglia yang
merupakan fagosit mononuclear pada SSP memiliki beberapa kesamaan dalam
kemampuan imunologi dan fungsional (Streit, 2002; Scholz & Woolf, 2007).
Gambar 2.2
Respon imunitas dan sel glia sebagai respon dari cedera saraf tepi pada GRD dan
medula spinalis (Scholz & Woolf, 2007).
16
Makrofag dan beberapa limfosit T yang berada di GRD mengalami
peningkatan jumlah yang tajam setelah cedera. Makrofag juga bergerak dalam
selubung yang dibentuk oleh sel-sel satelit di sekitar tubuh sel neuron sensorik
primer. Sel-sel satelit mulai berkembang biak dan meningkatkan ekspresi glial
fibrillary acidic protein (GFAP). Satu minggu setelah cedera saraf, kelompok padat
sel mikroglia terbentuk pada kornu ventralis medula spinalis, mengelilingi badan
sel dari neuron-neuron motorik. Aktivasi mikroglia yang masif juga dijumpai pada
kornu dorsalis yang merupakan area proyeksi terminal sentral dari serabut-serabut
aferen primer yang mengalami cedera (Gambar 2.2). Dapat disimpulkan, terjadinya
nyeri neuropatik tidak hanya melibatkan jalur neuronal saja tetapi juga sel Schwan,
sel satelit pada GRD, komponen imunitas perifer, mikroglia dan astrosit medula
spinalis (Scholz & Woolf, 2007).
2.1.1 A ktivasi Kaskade Inflamasi melalui Jalur Faktor Transkripsi
Inflamasi dapat terjadi pada saraf tepi, ganglion radiks dorsal, hingga
medula spinalis. Inflamasi lokal yang terjadi akan menimbulkan perubahan pada 4
komponen inflamasi, yakni pemicu (inducer), sensor, mediator, dan efek mediator
(Huang&Glass, 2010). Pemicu inflamasi bersifat luas, dapat berupa materi endogen
(misal pada autoimun) maupun eksogen (misal pada infeksi virus, bakteri, parasit,
maupun protein pemicu reaksi alergi). Pemicu inflamasi kemudian berinteraksi
dengan sensor yang dalam hal ini adalah reseptor. Terdapat berbagai tipe reseptor
yang berkaitan langsung dengan proses inflamasi, namun sebagian besar
melibatkan reseptor toll-like (toll-like receptor/TLR) pada proses inflamasi yang
17
dipicu oleh infeksi virus, bakteri, jamur, dan parasit, serta reseptor nod-like (nod-
like receptor/NLR) yang berperan dalam pengenalan terhadap patogen somatik
(pathogen-associated molecular pattern/PAMP) dan material sitoplasmik yang
terkandung di dalamnya (damage-associated molecular patterns/DAMP)
(Creagh&O’Neill, 2006). Pemicu inflamasi diketahui menyebabkan peningkatan
sekresi dua sitokin pro-inflamasi utama, yakni TNF-α dan IL-1β yang kemudian
berinteraksi dengan TLR dan mengaktifkan jalur pensinyalan inflamasi melalui
regulasi faktor transkripsi (Chen et al., 2007). TLR merupakan reseptor
transmembran yang mampu mengenali pola molekuler patogen (pathogen-
associated molecular pattern/PAMP) melalui ulangan kaya leusin (leucine-rich
repeats/LRR) yang terdapat pada domain ekstraselulernya (Afsar et al., 2015).
Lebih lanjut, domain sitosolik TLR memiliki Toll/IL-1 reseptor (TIR) yang dapat
membentuk multimer dengan molekul adaptor seperti myeloid differentiation
primary response protein (MyD)88 (Zoccal et al., 2014). Setelah pembentukan
kompleks TLR-TIR-MyD88 tersebut, domain kematian (death domain/DD)
MyD88 merekrut kinase terasosiasi reseptor IL-1 (IRAK1, IRAK2, dan IRAK4)
melalui interaksi DD-DD (Afsar et al., 2015). IRAK4 kemudian terfosforilasi,
berdisosiasi dari kompleksnya dan berikatan dengan reseptor TNF terasosiasi faktor
6 (TRAF6). Interaksi tersebut memicu transkripsi gen inflamasi melalui aktivasi
faktor transkripsi (mediator).
Faktor transkripsi yang pertama kali ditemukan dan dipelajari secara
ekstensif pada proses inflamasi adalah nuclear factor κ (kappa)-light-chain-
enhancer of activated B cells (NF-κB). NF-κB merupakan faktor transkripsi yang
18
dapat teraktivasi secara spontan dan responsif terhadap berbagai pemicu inflamasi,
yang aktivitasnya diregulasi oleh mekanisme pos-translasi dan tidak bergantung
pada sintesis protein baru (Ghosh et al., 1998). Famili NF-κB pada mamalia
meliputi p65/RelA, RelB, c-Rel, p50, dan p52. NF-κB membentuk homo-
/heterodimer stabil melalui area rel homolog (rel homology region/RHR)
(Vallabhapurapu&Karin, 2009). Jalur persinyalan NF-κB diregulasi secara ketat
oleh famili ulangan ankirin yang mengandung protein inhibisi atau prekursor p50
dan p52 yang masing-masing disebut p105 dan p100 (Gambar 2.3). Pada sel yang
sedang beristirahat, NF-κB tidak aktif dan tertahan di sitoplasma melalui ikatannya
dengan protein IκB (Ahmed, 2011). Namun setelah stimulasi, dimer NF-κB
berdisosiasi dari protein IκB melalui mekanisme fosforilasi-ubikuitinasi dan
degradasi yang dimediasi oleh proteasome atau melalui pemotongan proteolitik
pada domain ulangan ankirin p105 dan p100. NF-κB yang telah berdisosiasi dari
IκB, kemudian bertranslokasi ke nukleus untuk mengaktifkan ekspresi gen. Lebih
lanjut, jalur persinyalan yang memicu disosiasi NF-κB juga dimediasi oleh
kompleks IκB kinase yang mengandung 2 subunit katalitik (IKKα dan IKKβ)
(Lawrence, 2009). Aktivasi IKKβ memicu jalur persinyalan NF-κB kanonikal yang
melibatkan translokasi kompleks p50-RelA, sedangkan jalur persinyalan NF-κB
non-kanonikal diinisiasi oleh kompleks p52/RelB dan bergantung pada p100 (Sun,
2012).
Faktor transkripsi yang berikatan langsung dengan motif DNA pada gen-
gen regulator inflamasi selanjutnya akan memicu aktivasi dan upregulasi ekspresi
gen tersebut, yang disertai dengan peningkatan sintesis dan sekresi berbagai sitokin
19
dan kemokin yang berperan sebagai mediator inflamasi (efek mediator). Berbagai
tipe sel terdampak, termasuk (namun tidak terbatas pada) astrosit, mikroglia, sel
mast, dan sel dendritik.
Gambar 2.3
Mekanisme aktivasi jalur persinyalan faktor transkripsi NF-κB dalam proses
inflamasi (Lawrence, 2009).
2.1.2 Respon Seluler Terhadap Inflamasi
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, aktivasi jalur persinyalan berdasarkan
faktor transkripsi seperti NF-κB akan berikatan langsung dengan motif DNA pada
gen-gen regulator inflamasi dan menginisiasi upregulasi ekspresi gen, proses
transkripsi, translasi, dan modifikasi pos-translasi yang hasil akhirnya akan
meningkatkan sintesis dan sekresi berbagai sitokin dan kemokin pro-inflamasi.
20
Aktivasi jalur inflamasi ini terjadi pada berbagai tipe sel, namun terutama pada
derivat monosit (termasuk makrofag, mikroglia, dan astrosit), sel mast, dan sel
dendritik.
Aktivasi jalur persinyalan NF-κB pada makrofag diketahui dapat
meningkatkan produksi dan sekresi TNF-α, IL-1, IL-8, IL-6, dan radikal bebas
seperti reactive nitrogen species (RNI) dan reactive oxygen species (ROI)
(Gordon&Taylor, 2005). Makrofag yang teraktivasi dapat memproduksi IL-1, IL-
6, dan IL-23 dan berperan penting dalam perkembangan sel TH17
(Duque&Descoteaux, 2014). Sel TH17 diketahui berperan signifikan dalam
rekrutmen sel-sel polimorfonuklear (PMN) ke jaringan yang mengalami inflamasi.
Sitokin proinflamasi dan kemokin yang disekresikan kemudian akan memicu
autostimulasi (mekanisme autokrin) yang akan meningkatkan aktivitas siklus
aktivasi tersebut. Selain itu, berbagai sitokin proinflamasi tersebut juga
mengaktifkan sistem imunitas adaptif yang ditandai dengan rekrutmen dan aktivasi
sel T dan sel B. Lebih lanjut, makrofag juga dapat teraktivasi oleh IFNγ yang
banyak diproduksi oleh sel NK pada fase-fase awal inflamasi. Produksi IFNγ oleh
sel NK berperan penting dalam menginisiasi proses aktivasi awal makrofag, namun
produksinya bersifat singkat dan umumnya IFNγ akan dilanjutkan produksinya
oleh sel-sel imunitas adaptif seperti sel T helper (TH1) .
Inflamasi juga berperan dalam aktivasi sel-sel glia di sistem saraf pusat dan
tepi. Mikroglia dan astrosit yang merupakan dua sel glia residen di sistem saraf
dapat teraktivasi oleh berbagai neuropeptida dan neurotransmitter. Sel-sel glia
teraktivasi melalui mekanisme persinyalan yang serupa dengan makrofag, yakni
21
terutama melibatkan faktor transkripsi NF-κB. Sel glia yang teraktivasi kemudian
akan mensekresikan berbagai sitokin dan kemokin pro-inflamasi, termasuk IL-1β,
IL-6, TNF-α. Selain itu, sel-sel glia tersebut juga akan direkrut ke area inflamasi
melalui mediasi kemokin seperti CCL2 (He et al., 2016).
Selain peningkatan produksi dan sekresi sitokin pro-inflamasi, sel-sel glia
juga meningkatkan produksi PGE melalui peningkatan aktivitas enzim COX. PGE
yang dihasilkan kemudian akan memicu umpan positif pada sel-sel lainnya
(termasuk neuron dan makrofag) untuk meningkatkan produksi NO yang berperan
penting dalam sensitisasi kornu dorsalis medula spinalis yang dapat memicu nyeri
nosiseptif dan neuropatik (Millan, 1999).
Sel mast juga mengalami aktivasi pada saat inflamasi. Sel mast berasal dari
sel progenitor hematopoietik yang bersirkulasi di darah. Setelah memasuki
jaringan, sel mast berdiferensiasi menjadi sel mast dewasa dan dapat bertahan lama,
mengalami degranulasi, regranulasi, dan dapat berproliferasi apabila mendapat
sinyal yang tepat. Sel mast memiliki reseptor untuk IgG dan IgE pada permukaan
selnya dan memungkinkan sel mast menjadi tersensitisasi saat berikatan dengan
antigen yang spesifik terhadap imunoglobulin tersebut. FcεI merupakan reseptor
dengan afinitas tinggi untuk IgE yang terekspresi di sel mast dan bertanggungjawab
terhadap aktivasi dan degranulasi sel mast pada berbagai kondisi patologis. Selain
itu, sel mast juga mengekspresikan family reseptor FcγR untuk IgG, dimana FcγRI
dan FcγRIII bersifat mengaktivasi sel mast, sedangkan FcγRIII bersifat inhibisi.
Lebih lanjut, ekspresi FcγRI diinduksi oleh IFNγ. Sel mast mengalami aktivasi saat
terjadi ikatan antara PAMP dengan reseptornya (terutama TLR). TLR4 yang
22
merupakan subunit varian TLR yang dimiliki oleh sel mast, dapat teraktivasi oleh
IL-4.
Granul sel mast mengandung proteoglikan dalam konsentrasi tinggi,
protease yang berikatan kuat dengan proteoglikan seperti heparin dan kondroitin
sulfat, serta amin biogenik terutama histamin (Thompson et al., 1988; Wernersson
et al., 2014). Selain itu, sel mast juga diketahui menyimpan sitokin dan faktor
pertumbuhan seperti TNF-α dan VEGF di dalam granulnya. Sel mast dapat
ditemukan pada berbagai jaringan, termasuk jaringan saraf tepi (Bienenstock et al.,
1991). Sel mast yang teraktivasi akan mengalami degranulasi dan komponen
granular di dalamnya akan terlepas ke jaringan. Komponen sel mast yang berupa
protease bersifat litik terhadap sel, sehingga memicu proses nekrosis dan apoptosis
yang kemudian meningkatkan intensitas inflamasi lokal, sementara histamin
mampu menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas vaskular
sehingga meningkatkan migrasi sel-sel glia dan sel imunitas adaptif ke area
inflamasi (regional).
Pada fase awal stimulasi, sel mast meningkatkan sintesis mediator inflamasi
seperti sitokin dan eikosanoid (termasuk PGE dan LTE) (Boyce, 2005). Sedangkan
pada fase awal degranulasi, histamin bersifat solubel dan dapat memberikan efek
klinis dalam hitungan menit, sedangkan sitokin proinflamasi seperti TNFα
umumnya terperangkap di antara kompleks protease-proteoglikan yang bermuatan
positif dan heparin-kondroitin sulfat yang bermuatan negatif sehingga cenderung
dilepaskan secara bertahap pada area yang mengalami inflamasi.
Selain sel mast, sel dendritik juga mengalami rekrutmen dan aktivasi. Sel
23
dendritik merupakan sel yang berperan dalam presentasi antigen ke sel T naif
(antigen presenting cells/APC) (McLachlan et al., 2003). Sel dendritik berbeda dari
makrofag dari segi kemampuan migrasinya dari perifer ke kelenjar getah bening.
Sel dendritik berperan penting dalam mempertahankan proses inflamasi melalui
polarisasi sel CD4 TH0 menjadi TH1 (memproduksi IFNγ) dan TH2 (memproduksi
IL4, IL5, dan IL13), TH17 (memproduksi IL17 dan IL22) dan sel Treg
(memproduksi IL10 dan TGFβ) (McLachlan et al., 2008).
2.1.3 Sintesis ATP dan Peranannya terhadap Inflamasi
Adenosin trifosfat (ATP) diproduksi melalui glikolisis dan siklus krebs.
Fase pertama berupa glikolisis melibatkan metabolisme glukosa dan gliserol untuk
menghasilkan asam piruvat. Reaksi tersebut berlangsung di sitoplasma dan
menghasilkan 2 ATP dengan formula sebagai berikut:
glukosa + 2NAD- + 2ADP + 2P/2asam piruvat + 2NADH + 2H- + 2ATP + 2H9O
Dengan demikian, setiap 1 molekul glukosa yang menjalani proses glikolisis
menghasilkan 2 asam piruvat. Lebih lanjut, 2 molekul NADH juga diproduksi pada
reaksi glikolisis tersebut. Molekul NADH selanjutnya dioksidasi pada rantai
transpor elektron untuk menghasilkan ATP dalam jumlah lebih besar, sementara
asam piruvat digunakan dalam siklus Krebs untuk menghasilkan ATP.
Siklus Krebs atau yang lebih dikenal dengan siklus asam trikarboksilat
(TCA) terjadi di mitokondria. Siklus Krebs melibatkan berbagai reaksi kimia
dimana asam piruvat didegradasi menjadi karbondioksida, air, dan elektron. Pada
siklus Krebs, asam piruvat diubah menjadi asetil-koA di mitokondria. Asetil-koA
24
kemudian dikonversi menjadi sitrat melalui reaksi oksidasi, hidrasi, dehidrasi, dan
dekarboksilasi untuk membentuk isositrat, alfa-ketoglutarat, suksinil-koA, fumarat,
dan malat. Reaksi ini dikalatisir oleh berbagai enzim kunci, seperti sitrat sintase,
akonitase, isositrat dehidrogenase, dan malat dehidrogenase. Secara keseluruhan,
siklus Krebs menghasilkan 2 molekul ATP, 6 molekul NADH, dan 2 molekul
FADH2.
NADH dan FADH2 yang dihasilkan dari siklus Krebs kemudian masuk ke
dalam rantai transpor elektron dan mengalami oksidasi untuk memproduksi ATP
melalui bantuan enzim ATP sintetase. Secara keseluruhan, setiap satu molekul
glukosa yang masuk ke dalam siklus respirasi sel dapat menghasilkan 38 molekul
ATP, yakni 2 ATP dari proses glikolisis, 2 ATP dari siklus Krebs, dan 34 ATP dari
rantai transport elektron.
ATP tidak hanya berfungsi sebagai nukelosida trifosfat intraseluler yang
berfungsi sebagai penghasil energi, namun juga berperan dalam proses inflamasi.
ATP dapat disekresikan oleh sel-sel apoptosis atau sel autofagi melalui hemikanal
connexin. Anafilatoksin seperti komplemen C3a diketahui dapat meningkatkan
sekresi ATP ekstrasel. ATP yang disekresikan dapat berikatan dengan reseptor
purinergik P2X7 yang terdapat pada makrofag dan sel dendritik yang dapat memicu
aktivasi kedua sel tersebut. Konsentrasi ATP yang tinggi diketahui bersifat fatal
terhadap sel limfosit T. ATP ekstrasel diketahui dapat memicu produksi dan sekresi
berbagai sitokin proinflamasi seperti TNF α dan IL 10. ATP ekstrasel juga terbukti
dapat memicu disintegrasi seluler, kerusakan mitokondria, dan apoptosis. (Cauwels
et al., 2014).
25
2.2 Peranan Inflamasi pasca Cedera Saraf
Inflamasi adalah hasil dari pertahanan dari kerusakan jaringan dan atau
melawan stimulus patogen. Inflamasi yang persisten atau hiperinflamasi bisa
mengarah kepada kerusakan jaringan dan berakhir pada kegagalan organ apabila
tidak dikendalikan dengan semestinya. Dalam menanggapi agen infeksi atau
stimulus proinflamasi, makrofag/monositmelepaskansitokin, faktor pertumbuhan,
dan mediator inflamasi termasuk IL-1, IL-6, TNF-α, NO, PGE2, dan aktivasi ROS,
dapat menyebabkan inflamasi akibat cedera (Murakami&Ohigashi, 2007;
Mosser&Edwards, 2008).
COX-1 dan COX-2 adalah dua bentuk COX atau sintesis prostaglandin H
yang dikodekan oleh gen-gen yang berbeda dan memiliki fungsi inflamasi. Jalur
COX-1 dan COX-2 berkaitan dengan neuroinflamasi dan neurodegeneratif. Kedua
isoform ini memiliki peranan yang berbeda pada kondisi normal dan patologis.
Kedua isoform ini mengkatalasi reaksi yang sama dari deoksigenasi asam
arakidonat untuk menghasilkan prostaglandin G2 (PGG2) dan reaksi peroksidase
yang merubah PGG2 menjadi prostaglandin H2 (PGH2). PGH2 selanjutnya dirubah
menjadi PGE2 yang merupakan mediator neuroinflamasi. PGE2 berikatan dengan
reseptornya di SSP, yakni EP2, EP3, dan EP4 yang merupakan reseptor protein G
berpasangan (G-coupled protein receptor/GPCR), yang melalui stimulasi adenilat
siklase, meningkatkan jumlah cAMP dan mengaktivasi PKA
(Sugimoto&Narumiya, 2007). Pada keadaan cedera saraf tepi oleh berbagai
etiologi, PGE2 diketahui dapat meningkatkan responsivitas nosiseptor perifer
dengan cara berikatan dengan reseptor kapsaisin (TRPV1) dan kanal natrium
26
resisten tetradotoksin (SCN10A), dimana aktivasi kedua reseptor tersebut dapat
meningkatkan sensitivitas nosiseptor perifer dan memicu propagasi impuls
nosiseptif di sepanjang saraf perifer (Bhave et al., 2002).
Dalam keadaan normal, ekspresi COX-2 terutama dijumpai pada neuron
dan berkaitan dengan fungsi sinap dan pembentukan memori (Shabab et al., 2016).
Pada medula spinalis, keberadaan COX-2 lebih mendominasi dibandingkan COX-
1, terutama pada area yang menerima impuls nosiseptif, seperti lamina I, II, dan X
(Millan, 1999). Dalam keadaan patologis, COX-2 berperan penting dalam regulasi
neuroinflamasi dan berkontribusi terhadap patofisiologi nyeri, terutama dalam
kaitannya dengan sensitisasi sentral.
2.3 Peranan Stres Oksidatif pasca Cedera Saraf
Inflamasi akan menginduksi stres oksidatif dan kerusakan DNA yang
memicu kelebihan produksi dari ROS oleh makrofag dan mikroglia (Shabab et al.,
2016). ROS dapat menyebabkan kerusakan oksidatif, yang pada gilirannya dapat
memulai dan mendorong progres variasi dari penyakit-penyakit kronis
(Conforti&Menichini, 2011).
Selain itu, ROS juga dihasilkan dari proses transport elektron pada
mitokondria, disamping pengaruh faktor eksternal, seperti polusi udara, radiasi
pengion, dan ultraviolet (Sanchez et al, 2015). ROS juga dihasilkan oleh aktivitas
nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) oksidase sebagai bagian
dari enzim kompleks membran sel. NADPH oksidase diekspresikan oleh berbagai
tipe sel, termasuk neuron, astrosit, dan mikroglia. Pada keadaan patologis, NADPH
27
dapat mengalami hiperaktivasi (terutama NOX2 pada SSP) dan menghasilkan ROS
dalam kadar yang tinggi, sehingga berpengaruh terhadap stress oksidatif dan
neurodegenerasi (Ma et al., 2017).
Ketidakseimbangan antara kadar radikal bebas dan antioksidan, dimana
jumlah radikal bebas lebih tinggi daripada antioksidan, akan menimbulkan suatu
kondisi yang disebut dengan stres oksidatif. Stres oksidatif bersifat destruktif
terhadap sel dan komponen organelnya, yang dapat memicu apoptosis. Hal ini
terutama relevan pada neuron di SSP yang mengandung kadar asam lemak tak
jenuh yang tinggi dan rawan terhadap kerusakan seluler (Fischer & Maier, 2015).
Selain itu, stress oksidatif juga dapat menginisiasi dan mempertahankan
proses inflamasi, dimana sel-sel di sekitarnya, seperti neuron dan mikroglia dapat
teraktivasi dan memproduksi lebih banyak sitokin pro-inflamasi dan ROS. Aktivasi
mikroglia melalui jalur pensinyalan toll like receptor (TLR) terbukti dapat memicu
sintesis dan sekresi sitokin pro-inflamasi dan ROS dalam waktu yang bersamaan
(van Noort&Bsibsi, 2009).
NO yang terlalu banyak akan bergabung cepat dengan superoxide
anion(O2−) untuk menghasilkan peroxynitrite (ONOO−), yang akan mengarah
pada patogenesis dengan mengembangkan stres oksidatif akibat cedera saraf.
Peroxynitrite adalah sebuah oksidan yang poten yang bereaksi dengan protein,
lipids, dan DNA (Chou et al., 2012). Aktivasi sel-sel glia secara kronis juga
diketahui dapat menghasilkan peroksinitrit yang bersifat destruktif terhadap sel-sel
saraf (Fischer &Maier, 2015). Oleh karena itu, SOD, glutathione (GSH), GPx, dan
glutathione reductase (GRd) memainkan peranan yang sangat penting pada reaksi
28
memperbaiki inflamasi melalui penurunan stres oksidatif dan kerusakan melalui
pengurangan produksi radikal bebas. MDA, sebuah produk akhir dengan berat
molekul rendah terbentuk dari dekomposisi membran sel, merupakan sebuah
indikator pada evaluasi proses inflamasi (Chou et al., 2012).
Lebih lanjut, jalur pensinyalan inflamasi nuklear factor kappa-B (NF-κB)
diketahui berperan penting dalam aktivasi sel-sel glia dan merupakan pemicu
aktivasi inducible nitric oxide syntesis (iNOS) yang berperan dalam mengkatalisis
formasi nitric oxide (NO) (Morgan &Liu, 2011). Sehingga NF-κB juga
bertanggungjawab terhadap produksi peroksinitrit secara langsung. Disamping itu,
NF-κB juga bertanggungjawab terhadap peningkatan regulasi COX-2 dan sintesis
prostaglandin E (PGE), dengan demikian akan meningkatkan kadar radikal
superoksida sebagai hasil sampingan dari formasi PGE. Interaksi antara stres
oksidatif dan inflamasi akan membentuk rantai siklus positif yang saling bersinergi.
Interaksi antara keduanya akan memperburuk cedera saraf tepi, meningkatkan
sensitisasi nosiseptor, dan meningkatkan propagasi dan konduksi impuls nosiseptif
ke SSP. Keseluruhan proses tersebut berkontribusi terhadap inisasi dan
pemeliharaan impuls nyeri konstan yang akhirnya berdampak pada munculnya
nyeri neuropatik.
Selain itu, ROS juga diketahui dapat menginduksi dan mempertahankan
sensitisasi sentral pada medula spinalis melalui regulasi reseptor NMDA dan
AMPA serta efek lanjutannya berupa potensiasi jangka panjang (long term
potentiation/LTP) (Lee et al., 2010; Lee et al., 2012). ROS juga diketahui dapat
mengaktivasi kanal-kanal ion seperti TRPA1 dan TRPV1 yang berperan dalam
29
depolarisasi membran dan sensitisasi nosiseptif pada medula spinalis dan nyeri
neuropatik pasca cedera medula spinalis (Chung et al., 2011; Gold&Gebhart, 2010;
Nishio et al., 2013).
Bentuk ROS lainnya seperti hidrogen peroksida yang merupakan metabolit
sisa dari proses respirasi juga diketahui mempengaruhi sensitisasi nosiseptif dan
memodulasi plastisitas sinaptik melalui regulasi ion kalsium pada interneuron
medula spinalis kornu dorsalis.
Nyeri nosiseptif seperti hiperalgesia yang diinduksi oleh kapsaisin terbukti
dapat menyebabkan akumulasi superoksida dan menyebabkan penurunan aktivitas
SOD-2, enzim antioksidan yang berperan dalam netralisasi ROS (Schwartz et al.,
2009). Hal ini menunjukkan bahwa stress oksidatif dan ketidakseimbangan
produksi antioksidan berhubungan langsung dengan nyeri nosiseptif dan
neuropatik. Penghambatan terhadap prostaglandin dan NO melalui penekanan
terhadap sintesis COX-2 dan i-NOS sudah dibuktikan bermanfaat di dalam
perawatan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan inflamasi (Bogdan, 2001).
2.4 Nyeri Neuropatik
2.4.1 Definisi Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik secara umum didefinisikan sebagai kondisi nyeri kronis
akibat cedera pada sistem saraf perifer atau pusat maupun akibat kondisi akut
seperti amputasi maupun cedera medula spinalis atau penyakit sistemik seperti
diabetes mellitus, infeksi virus maupun kanker. Persepsi abnormal dari nyeri
neuropatik adalah adanya alodinia, hiperalgesia atau nyeri spontan seperti rasa
30
tersengat listrik, tertikam atau rasa terbakar yang tidak berkaitan dengan stimulus
(Cavenagh et al., 2006; Vallejo et al., 2010).
Pengertian nyeri neuropatik menurut IASP adalah “nyeri yang dipicu atau
disebabkan oleh lesi primer atau disfungsi dari sistem saraf” dan dapat disebabkan
oleh kompresi atau infiltrasi dari nervus oleh suatu tumor, tergantung di mana lesi
atau disfungsi terjadi. Hal ini berbeda dengan nyeri nosiseptik yaitu nyeri yang
disebabkan oleh stimulasi perifer serabut saraf Aδ dan C polimodal karena
substansi alogenik (histamin, bradikinin, substansi P, dan lain-lain).
Nyeri neuropatik pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua yaitu berdasarkan
asalnya yaitu perifer dan sentral, juga berdasarkan waktunya, yakni nyeri
neuropatik akut dan kronik. Ada beberapa masalah dalam bidang kedokteran
paliatif yang menyulitkan dalam mendiagnosis dan menangani nyeri neuropatik,
dan tak ada satu pun hasil yang memuaskan yang dapat menyebabkan hilangnya
nyeri. Dalam membuat suatu diagnosis adanya nyeri neuropatik diperlukan
anamnesis yang tepat tentang apa yang sedang dirasakan pasien, baik tipenya
maupun derajat dari nyeri tersebut (Dworkin, 2002; Borda et al., 2013).
2.4.2 Epidemiologi Nyeri Neuropatik
Epidemiologi nyeri neuropatik belum cukup banyak dipelajari, sebagian
besar karena keragaman dari kondisi nyeri ini. Estimasi saat ini, nyeri neuropatik
menyerang 3% dari populasi umum. Salah satu penelitian di Inggris menyatakan
bahwa prevalensi nyeri kronik adalah 48% dan prevalensi nyeri neuropatik adalah
8%. Responden nyeri neuropatik kronik kebanyakan berjenis kelamin perempuan,
31
dengan usia yang cukup tua, belum menikah, tidak memiliki kualifikasi pendidikan
dan merupakan perokok (Nicholson, 2006; Borda et al.,2013; Zarshenas et al.,
2015).
IASP melaporkan bahwa 7-8% dewasa pada populasi umum mengalami
nyeri kronis dengan karakteristik nyeri neuropatik. Insiden nyeri neuropatik pada
studi di Belanda menemukan sekitar 8 kasus per 1000 orang-tahun. Nyeri dengan
karakteristik nyeri neuropatik secara umum lebih berat dan berhubungan dengan
kesehatan yang buruk pada semua dimensi dibandingkan nyeri tanpa karakteristik
neuropatik. Kualitas hidup individu dengan nyeri neuropatik lebih rendah pada
aspek depresi, penyakit jantung koroner, infark miokardiak akut, atau kontrol
diabetes yang buruk. Pada studi di Inggris, diperoleh 17% pasien nyeri dengan
karakteristik nyeri neuropatik memiliki kualitas hidup yang “lebih buruk dari
kematian” (IASP, 2014). Sebuah survei klinis nasional berbasis rumah sakit tentang
karakteristik nyeri neuropatik di Indonesia memperoleh hasil 1.779 dari 8.160
pasien (21,8%) mengalami nyeri neuropatik dengan prevalensi tertinggi pada usia
41-60 tahun (Purwata et al., 2015).
2.4.3 Klasifikasi dan Etiologi Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik terbagi menjadi dua yaitu: 1. Berdasarkan penyakit yang
mendahului dan letak anatomisnya yaitu: a) Perifer, dapat diakibatkan oleh
neuropatik, neuralgia pasca herpes zoster, trauma susunan saraf pusat, radikulopati,
neoplasma, dan lain-lain; b) Medula spinalis, dapat diakibatkan oleh multipel
sklerosis, trauma medulla spinalis, neoplasma, araknoiditis, dan lain-lain; c) Otak,
32
dapat diakibatkan oleh stroke, siringomielia, neoplasma, dan lain-lain. 2.
Berdasarkan gejala yaitu: a) Nyeri spontan (independent pain); b) Nyeri oleh karena
stimulus (evoked pain); c) Gabungan antara keduanya (Romanoff, 2006; Nicholson,
2006; Borda et al.,2013).
Nyeri neuropatik dapat terjadi akibat lesi di susunan saraf pusat (nyeri
sentral) atau kerusakan saraf perifer (nyeri perifer). Nyeri neuropatik berasal dari
saraf perifer di sepanjang perjalanannya atau dari SSP karena gangguan fungsi,
tanpa melibatkan eksitasi reseptor nyeri spesifik (nosiseptor). Gangguan ini dapat
disebabkan oleh kompresi, transeksi, infiltrasi, iskemik, dan gangguan metabolik
pada badan sel neuron (Galuzzi, 2005).
Nyeri neuropatik sentral adalah suatu konsep yang berkembang akibat
bertambahnya bukti bahwa kerusakan ujung-ujung saraf nosiseptif perifer di
jaringan lunak, pleksus saraf, dan saraf itu sendiri juga dapat menyebabkan nyeri
sentral nosiseptif melalui proses sensitisasi. Sindrom nyeri talamus adalah salah
satu nyeri neuropatik sentral. Nyeri sentral neuropatik juga dapat ditemukan pada
pasien pasca stroke, sklerosis multipel, cedera medula spinalis, dan penyakit
Parkinson (Galuzzi, 2005; Dupere, 2006).
Nyeri neuropatik perifer terjadi akibat kerusakan saraf tepi. Kerusakan yang
berasal dari perifer menyebabkan tidak saja pelepasan muatan spontan serat saraf
perifer yang terkena tetapi juga lepasnya muatan spontan sel-sel GDR saraf yang
rusak. Contoh-contoh sindrom yang mungkin dijumpai adalah neuralgia pasca
herpes, neuropatik diabetes, neuralgia trigeminus, kausalgi, phantom-limb pain,
kompresi akibat tumor, dan post operasi (Dupere, 2006).
33
Nyeri neuropatik juga dapat dihubungkan dengan penyakit infeksi, yang
paling sering adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV).Cytomegalovirus,
yang sering ada pada penderita HIV, juga dapat menyebabkan nyeri punggung
bawah, radicular pain, dan mielopati. Nyeri neuropatik adalah hal yang paling
sering dan penting dalam morbiditas pasien kanker. Nyeri pada pasien kanker dapat
timbul akibat kompresi tumor pada jaringan saraf atau kerusakan sistem saraf
karena radiasi atau kemoterapi (Nicholson B, 2006).
2.4.4 Gejala Nyeri Neuropatik
Pasien dengan nyeri neuropatik sering menderita akibat nyeri spontan,
alodinia dan hiperalgesia (tabel 2.1).
Tabel 2.1 Karakteristik nyeri neuropatik pada manusia
Nyeri spontan Alodinia Hiperalgesia Berlangsung lama: bulan, tahun bahkan seumur hidup Awitan lambat: nyeri mungkin timbul tanpa adanya proses cedera atau patologi yang masih berlangsung Kualitas nyeri: rasa terbakar, tertikam, tertembak, tersengat listrik, tersayat dsb Distribusi: nyeri bisa menjalar sepanjang dermatom saraf yang cedera nyeri dapat berlangsung secara bilateral
Sumber: Wang&Wang, 2003
Nyeri neuropatik dapat timbul dengan awitan lambat setelah suatu cedera
saraf dan dapat dirasakan meski tidak ditemukan lagi adanya lesi atau cedera yang
menyebabkan diagnosis yang tepat dan pengobatan dini menjadi sulit. Gejala utama
nyeri neuropatik adalah adanya alodinia dan hiperalgesia mekanik dan dingin.
34
Alodinia mekanis seperti karena sentuhan menunjukkan adanya nyeri neuropatik
pada penderitanya (Wang&Wang, 2003).
Gejala nyeri neuropatik terdiri dari nyeri spontan dan evoked pain (nyeri
yang timbul akibat adanya stimulus), nyeri spontan adalah nyeri yang timbul secara
spontan pada area denervasi jejas saraf, berupa rasa terbakar, ditusuk-tusuk, tajam
seperti disayat, sedangkan evoked pain ada 2 jenis yaitu hiperalgesia dan alodinia.
Hiperalgesia dan alodinia merupakan gejala utama pada berbagai nyeri kronik
termasuk nyeri neuropatik. Istilah hiperalgesia pertama kali diungkapkan oleh
Gowers pada tahun 1800an. Hiperalgesia adalah istilah yang menjelaskan suatu
keadaan dimana terdapat peningkatan sensasi nyeri yang diinduksi baik oleh
stimulus noksius dan non-noksius biasanya pada jaringan perifer (Coderre, 2009).
Hiperalgesia dibagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder (Devor, 2006;
Coderre, 2009). Hiperalgesia primer mengacu pada hipersensitivitas terhadap
stimulus mekanik dan suhu, hal ini disebabkan oleh sensitisasi pada nosiseptor
perifer. Sedangkan hiperalgesia sekunder ditandai dengan hipersensitivitas
terhadap stimulus mekanik (predominan) yang disebabkan suatu sensitisasi sentral.
Sensitisasi sentral mengacu pada perubahan eksitabilitas neuron SSP yang
disebabkan oleh suatu aktivitas atau jejas terutama pada jalur nyeri dan
menyebabkan peningkatan aktivitas spontan, penurunan nilai ambang atau
peningkatan respon terhadap input aferen dan pemanjangan after-discharge
terhadap stimulus yang berulang (Coderre, 2009).
Hiperalgesia sekunder didefinisikan sebagai peningkatan sensitivitas nyeri
yang terjadi pada daerah di sekitar atau bahkan pada daerah yang jauh dari lokasi
35
nyeri. Sebagai contoh setelah jejas pada tangan maka mungkin saja akan timbul
daerah hiperalgesia di seluruh lengan atau suatu inflamasi di saluran intestinal atau
di kandung kemih mungkin akan menghasilkan daerah hipralgesia di seluruh
abdomen atau daerah pelvis. Hiperalesia sekunder disebabkan oleh perubahan
dalam pemrosesan impuls dari mekanoreseptor ambang rendah (low-threshold
mechanoreceptor) sehingga impuls yang datang mampu mengaktifkan neuron
nosiseptif dan mencetuskan nyeri. Perubahan sentral ini dipicu dan dipertahankan
oleh enhanced afferent discharge daerah hiperalgesia primer (Cervero, 2009).
Ada tiga proses utama nyeri dan hiperalgesia melalui pendekatan
neurobiologi yaitu: a) aktivasi dan sensitivitas nosiseptor, hal ini bertanggungjawab
terhadap sinyal awal jejas atau suatu perubahan perifer pada sistem nosiseptif yang
diinduksi stimulus noksius; b) proses amplikasi sentral sinyal nosiseptif, dikenal
dengan sensitisasi sentral, dihasilkan melalui penguatan hubungan sinaptik
(synaptic strengthening) antar neuron SSP, hal ini bertanggungjawab dalam
penguatan rangsangan yang menghasilkan nyeri persisten; c) suatu proses aktivitas
reseptor sensori low-threshold (LT) dari daerah perifer yang sehat, hal ini dapat
mencapai sistem nosiseptif dan akhirnya memicu sensasi nyeri dan hiperalgesia
(seperti nyeri sentuh atau alodinia taktil) (Cervero, 2009).Penelitian yang dilakukan
oleh Purwata et al.(2015) memperoleh gejala klinis terbanyak penderita nyeri
neuropatik adalah sensasi tertusuk (33,1%), sensasi seperti tersengat listrik
(30,5%), rasa seperti terbakar (22,9%), parestesia (22,5%) dan hiperalgesia
(19,7%).
36
2.4.5 Patofisiologi Nyeri Neuropatik
Patofisiologi nyeri neuropatik sampai saat ini belum sepenuhnya dipahami.
Beberapa mekanisme telah dipertimbangkan dan diusulkan untuk kondisi ini. Perlu
dicatat bahwa sebagian besar ide-ide tersebut berasal dari karya eksperimental pada
hewan coba (Baron, 2006).
Perubahan-perubahan pada proses sentral dapat disebabkan oleh proses
patologis aktif atau sensitisasi terhadap nosiseptor-nosiseptor. Perubahan ini
memimpin hipereksitabilitas dari medula spinalis yang disebabkan oleh masukan
dari mekanoreseptor serabut A-β (sentuhan ringan). Pada keadaan ini pasien
biasanya mengeluh adanya nyeri spontan dan hiperalgesia suhu serta alodinia statik
maupun dinamik dapat pula terjadi yang dapat dipersepsikan sebagai nyeri (Baron,
2009).
Kerusakan jaringan dapat berupa rangkaian peristiwa yang terjadi di
nosiseptor disebut nyeri inflamasi akut atau nyeri nosiseptif, atau terjadi di jaringan
saraf baik serabut saraf pusat maupun perifer yang disebut nyeri neuropatik.
Trauma atau lesi dijaringan akan direspon oleh nosiseptor dengan mengeluarkan
berbagai mediator inflamasi, seperti bradikinin, prostaglandin, histamine, dan
sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktifasi nosiseptor yang dapat
menimbulkan munculnya nyeri spontan, atau membuat nosiseptor lebih sensitif
(sensitisasi) secara langsung maupun tidak langsung. Sensitisasi nosiseptor
menyebabkan munculnya hiperalgesia. Trauma atau lesi serabut saraf di perifer
atau sentral dapat memacu terjadinya remodeling atau hipereksitabilitas membran
sel. Di bagian proksimal lesi yang masih berhubungan dengan badan sel dalam
37
beberapa jam atau hari, tumbuh tunas-tunas baru (sprouting). Tunas-tunas baru ini
ada yang tumbuh dan mencapai organ target, sedangkan sebagian lainnya tidak
mencapai organ target dan membentuk semacam pentolan yang disebut neuroma.
Pada neuroma terjadi akumulasi berbagai kanal ion, terutama kanal Na+.
Akumulasi kanal Na+ menyebabkan munculnya ectopic pace maker. Disamping
kanal ion juga terlihat adanya molekul-molekul tranduser dan reseptor baru yang
semuanya dapat menyebabkan terjadinya ectopic discharge, mekanisme senstifitas
abnormal, termosensitifitas dan kemosensitifitas. Ectopic discharge dan sensitisasi
dari berbagai reseptor (mekanik, termal, kimiawi) dapat menyebabkan timbulnya
nyeri spontan dan evoked pain. Lesi jaringan mungkin berlangsung singkat, dan
bila lesi sembuh maka nyeri akan hilang. Akan tetapi lesi yang berlanjut
menyebabkan neuron-neuron di kornu dorsalis dibanjiri potensial aksi yang
mungkin mengakibatkan terjadinya sensitisasi neuron-neuron tersebut. Sensitisasi
neuron di kornu dorsalis menjadi penyebab timbulnya alodinia dan hiperalgesia
sekunder. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa nyeri timbul karena aktivasi
dan sensitisasi sistem nosiseptif baik perifer maupun sentral (Romanoff, 2006;
Nicholson, 2006; Borda et al.,2013).
Nyeri neuropatik perifer maupun sentral berawal dari sensitisasi neuron
sebagai stimulus noksious melalui jaras nyeri sampai ke sentral. Bagian dari jaras
ini dimulai dari kornu dorsalis, traktus spinotalamikus (struktur somatik) dan
kolumna dorsalis (untuk viseral), sampai talamus sensomotorik, limbik, korteks
prefrontal dan korteks insula. Karakteristik sensitisasi neuron bergantung pada
peningkatan aktivitas neuron, rendahnya ambang batas stimulus terhadap aktivitas
38
neuron itu sendiri misalnya terhadap aktivitas stimulus yang nonnoksious, dan
luasnya penyebaran areal yang mengandung reseptor yang mengakibatkan
peningkatan letupan-letupan dari berbagai neuron. Sensitisasi ini pada umumnya
berasosiasi dengan terjadinya denervasi jaringan saraf akibat lesi ditambah dengan
stimulasi yang terus menerus dan impuls aferen baik yang berasal dari perifer
maupun sentral dan juga bergantung pada aktivasi kanal ion di akson yang berkaitan
dengan reseptor α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid
(AMPA)/kainat dan NMDA (Romanoff, 2006; Nicholson, 2006; Borda et al.,2013).
Nyeri neuropatik muncul akibat proses patologik yang berlangsung berupa
perubahan sensitisasi baik perifer maupun sentral yang berdampak pada fungsi
sistem inhibitorik dan gangguan interaksi antara somatik dan simpatetik. Keadaan
ini memberikan gambaran umum berupa alodinia dan hiperalgesia. Permasalahan
pada nyeri neuropatik adalah menyangkut terapi yang berkaitan dengan kerusakan
neuron dan sifatnya ireversibel. Pada umumnya hal ini terjadi akibat proses
apoptosis yang dipicu baik melalui modulasi intrinsik kalsium di neuron sendiri
maupun akibat proses inflamasi sebagai proses ekstrinsik. Kejadian inilah yang
mendasari sebagai konsep nyeri kronik yang ireversibel pada sistem saraf. Rasa
nyeri akibat sentuhan ringan pada pasien nyeri neuropatik disebabkan oleh karena
respon sentral abnormal serabut sensorik nonnoksious. Reaksi sentral yang
abnormal ini dapat disebabkan oleh faktor sensitisasi sentral, reorganisasi
struktural, dan hilangnya inhibisi (Romanoff, 2006; Nicholson, 2006; Borda et
al.,2013).
39
Mekanisme nyeri neuropatik secara garis besar dibagi menjadi mekanisme
perifer dan sentral, yang tentunya melibatkan berbagai proses fungsional dan
struktural yang kompleks.
2.3.5.1 Mekanisme perifer
a. Sensitisasi nosiseptor
Sensitisasi perifer terjadi jika terdapat kerusakan pada saraf perifer seperti
cedera saraf tepi. kejadian ini memiliki ciri yaitu munculnya aktivitas
spontan oleh neuron, penurunan ambang rangsang aktivitas dan
nosiseptor serabut saraf C akan membentuk reseptor adrenergik yang baru
sehingga hal ini dapat menjelaskan mekanisme simpatetik dalam kejadian
nyeri. selain terjadi sensitisasi pada saraf tepi yang mengalami kerusakan,
di berbagai tempat sepanjang perjalanan saraf akan terbentuk pacemaker
neuronal ektopik sehingga dapat menyebabkan peningkatan densitas
abnormalitas dan disfungsi sodium channel (Bridges et al., 2001; Devor,
2006; Ossipov et al.,2006).
b. Ectopic discharge dan ephatic conduction
Ectopic discharge berasal dari axonal endbulbs, sprouts, lesi
demielinisasi, badan sel (soma), dan ujung saraf sensorik. Pada keadaan
abnormal, discharge ini dapat berasal baik dari akson bermielin (A) atau
tidak bermielin (C), meskipun berbeda sensitivitas dan kinetik. Ectopic
firing yang berasal dari serabut A biasanya ritmik dan memiliki kecepatan
hantar yang lebih cepat dibanding serabut C (63-35 ms dan 15-30 Hz), dan
irama ritmik ini sering terputus oleh silent pauses sehingga menimbulkan
40
pola "on-off". sebagian besar serabut C dan beberapa serabut A memiliki
kecepatan hantar yang lambat dan polanya tidak teratur atau ireguler (0,1-
10 Hz) (Bridges et al., 2001; Devor, 2006; Ossipov et al.,2006).
c. Sprouting kolateral neuron aferen primer
Sprouting serabut saraf kolateral dari akson sensoris di kulit ke area
denervasi dapat dijelaskan pada model percobaan neurotrauma CCI
menggunakan tikus yang dilakukan oleh Bennett & Xie pada tahun
1988. Pada percobaan ini sprouting terjadi sekitar 10 hari setelah
tindakan operatif pada nervus iskhiadikus, tetapi derajat sprouting tidak
sebanding dengan derajat hiperalgesia yang terjadi setelah pembedahan
kronik nervus iskhiadikus (Bridges et al., 2001; Ossipov et al.,2006).
d. Sprouting simpatetik ke ganglion radiks dorsalis
Mekanisme pasti onset sprouting simpatetik masih belum jelas, namun
diduga hal ini terjadi akibat peningkatan faktor neurotropik dan sitokin yang
disebabkan oleh degenerasi Wallerian. Secara lokal, degenerasi Wallerian
akan menghasilkan sitokin dan faktor pertumbuhan dalam jumlah besar.
Nerve growth factor (NGF) yang berkaitan dengan reseptor Trk-A dapat
menginduksi terjadinya sprouting simpatetik pada SSP, sedangkan Glial
Cell Derived Neurothropic Factor (GDNF) dapat menginduksi terjadinya
sprouting simpatetik pada ganglion radiks dorsalis. Pemberian antagonis
reseptor α-adrenergik (phentolamine, guanethidine) dapat mengurangi nyeri
neuropatik yang diakibatkan oleh sprouting simpatetik karena obat ini dapat
41
menghambat pelepasan norepinefrin (Bridges et al., 2001; Ossipov et al.,
2006).
e. Perubahan ekspresi pada saluran ion
Saluran ion natrium memegang peranan penting pada proses fisiologi
membran eksitasi termasuk membran neuronal. Pada tahun 1989 Devor et
al. menemukan bahwa terdapat akumulasi saluran Na+ pada neuroma akson
sensoris yang rusak, selain itu disimpulkan juga bahwa saluran Na+ dapat
menyebabkan ectopic discharge. Setidaknya terdapat 9 jenis Voltage gate
Na+ Channel pada badan neuron aferen primer ganglion radiks dorsalis
yang terbagi menjadi tetrodotoxin (TTX)-sensitive dan TTX-resistant.
Channel TTX-sensitive diekspresikan di seluruh sistem saraf pusat dan
predominan di serabut A ganglion radiks dorsalis, sedangkan Channel TTX-
resistant hanya diekspresikan di neuron eferen primer GRDterutama
serabut C (Bridges et al., 2001; Devor, 2006; Ossipov et al.,2006; Hokfelt
et al., 2006).
2.3.5.2 Mekanisme sentral
a. Sensitisasi sentral
Sensitisasi sentral meningkat pada eksitabilitas medula spinalis. Hl ini
dapat menggambarkan mekanisme pada keadaan nyeri patologis setelah
kerusakan saraf dan mekanisme ini mirip dengan mekanisme memori
melalui long term potentiation (LTP).
Penelitian menunjukkan bahwa akan terjadi plastisitas spinal setelah
terjadi kerusakan saraf parsial dan hal ini akan merubah respon
42
stimulasi tetanik serabut A yang semula potensial depresi menjadi eksitasi
sehingga menurunkan mekanisme inhibisi spinal dan meningkatkan eksitasi
spinal (Bridges et al., 2001; Lynch, 2004; Hokfelt et al., 2006).
b. Hipereksitabilitas medula spinalis
Suatu proses yang tidak bisa lepas dari sensitisasi sentral adalah
hipereksitabilitas neuron kornu dorsalis. Asam amino glutamat merupakan
neurotransmiter utama yang dilepaskan di terminal sentral neuron aferen
nosiseptif primer setelah terjadi stimulus noksius. Menurut Woolf & Selter
(2000), mekanisme utama dalam proses ini adalah aktivasi reseptor
ionotropik NMDA (Bridges et al., 2001; Hokfelt et al., 2006).
c. Reduksi mekanisme inhibisi pada medula spinalis
Hipereksitabilitas dan disinhibisi merupakan serangkaian proses yang tidak
bisa dipisahkan. Transmisi informasi sensoris dari SST ke SSP secara
horisontal dikontrol baik oleh mekanisme inhibisi pre maupun postsinaptik
yang dipengaruhi oleh aktivitas eferen sensorik, interneuron kornu dorsalis,
dan jalur desenden.
Pada aksotomi yang berat akan terjadi penurunan potensial inhibisi
presinaptik radiks dorsalis. Inhibisi postsinaptik neuron kornu dorsalis yang
perankan oleh input A-aferen juga menurun setelah aksotomi (Bridges et
al., 2001; Devor, 2006; Ossipov et al.,2006; Hokfelt et al., 2006).
d. Sistem opioid endogen dan cannabinoid
Peptida opioid endogen dan reseptornya merupakan sistem inhibisi
nosiseptik spinal lainnya yang tidak kalah penting. Opioid sangat efektif
43
digunakan sebagai terapi nyeri inflamasi dan nosiseptik, tetapi untuk nyeri
neuropatik masih menjadi kontroversial. Keterlibatan opioid pada nyeri
neuropatik diduga karena degenerasi Wallerian sehingga mengakibatkan
hilangnya ekspresi aksonal reseptor opioid dan injury-induces loss
receptors opioid δ dan µ pada terminal aferen dan atau interneuron kornu
dorsalis (Bridges et al., 2001; Gardell et al., 2004; Hokfelt et al.,2006).
Bersamaan dengan kejadian tersebut akan terjadi pula aktivitas
antinosiseptik reseptor NMDA dan peningkatan regulasi peptida seperti
mRNA cholecystokinin (CCK) dan dynorphin yang merupakan
antagonis opioid. Menariknya, terdapat bukti adanya coupling antara
aktivitas dependen reseptor opioid δ dan pelepasan neuropeptida
pronosiseptik, dan dynorphin sebagai mediator nyeri neuropatik
(Bridges et al., 2001; Gardell et al., 2004; Hokfelt et al.,2006).
e. Reorganisasi anatomi medula spinalis.
Reorganisasi serabut saraf aferen di medula spinalis akan muncul sebagai
respon terhadap kerusakan saraf tepi. Pada keadaan fisiologis, berbagai
tipe neuron aferen primer akan berakhir secara spesifik di lamina kornu
dorsalis. Pada umumnya neuron nosiseptik berdiameter kecil dengan
serabut Aδ bermielin dan serabut C tidak bermielin akan berakhir di
lamina superfisial (I dan II) kornu dorsalis, sebaliknya neuron berdiameter
besar dengan serabut Aβ akan berakhir di lamina III dan IV. Lamina V
merupakan daerah konvergensi input.
44
Pasca aksotomi nervus iskhiadikus akan terjadi sprouting terminal sentralis
neuron aferen primer bermielin kedalam lamina II kornu superfisial yang terjadi
dalam 1 sampai 2 minggu pasca aksotomi dan menetap sampai lebih dari 6 bulan
pasca aksotomi. Pasca aksotomi perifer juga akan terjadi sprouting serabut Aβ
kedalam lamina II kornu dorsalis superfisial sehingga terdapat hubungan sinaptik
fungsional dengan neuron orde dua dan input nonnoksius dengan ambangrangsang
rendah akan diinterpretasikan sebagai input nosiseptik (Gambar 2.4) (Bridges et al.,
2001; Devor, 2006; Ossipov et al.,2006; Hokfelt et al.,2006; Tsuda, 2015).
Gambar 2.4
Ilustrasi skematik serabut-serabut sensoris aferen primer dan sirkuit neuronal di
kornu dorsalis medula spinalis (Tsuda, 2015).
45
2.4.6 Manajemen Nyeri Neuropatik
Manajemen nyeri neuropatik merupakan tantangan bagi dokter. Pengobatan
dengan terapi tunggal mungkin tidak banyak memberi keuntungan dan jarang
memberikan hasil yang diinginkan. Pemberian obat tunggal sering dibatasi karena
efek samping yang berhubungan dengan dosis. Polifarmasi atau kombinasi terapi
dengan penerapan dua atau lebih agen dengan mekanisme aksi yang sinergis dan
juga mekanisme kerja berbeda pada dosis suboptimal tampaknya diperlukan
(Zarshenas et al., 2015).
Nyeri neuropatik sangat resisten terhadap analgetik yang dijual bebas dan
metode pengobatan konvensional. Nyeri jenis ini sering bersifat kronis dan parah
serta terjadi pada bagian tubuh yang tampak sehat. Nyeri neuropatik merupakan
respon tertunda dan persisten terhadap kerusakan yang dapat diekspresikan sebagai
sensasi nyeri yang menyakitkan.
Jenis-jenis terapi nyeri neuropatik meliputi terapi non invasif yang terdiri
dari: a) terapi farmakologis dan non-farmakologis dan b) terapi invasif yang
meliputi bedah dan non bedah. Terapi farmakologik terdiri dari analgetik dan
analgetik adjuvan. Analgetik meliputi opioid dan non opioid, sedangkan analgetik
adjuvan terdiri dari antidepresan trisiklik, anestesi lokal peroral/antiaritmik,
antikonvulsan, simpatolitik, benzodiasepin, kortikosteroid, antispasmodik,
neuroleptik, antagonis NMDA dan obat topikal (Bridges et al., 2001; Suharjanti,
2010).
Pemilihan obat-obat tersebut tergantung pada sifat, penyebab dan
mekanisme nyeri neuropatik. nyeri neuropatik non malignan dapat diberikan semua
46
golongan obat-obatan tersebut, kecuali golongan opioid karena masih
kontroversial, dan pada saat ini tidak dianjurkan. Sedangkan untuk nyeri neuropatik
malignan dapat diberikan analgetik opioid, obat-obatan adjuvan dan NSAID pada
saat nyeri akibat kompresi saraf disamping obat-obatan kanker.
Berdasarkan uraian patofisiologi nyeri neuropatik di atas terlihat bahwa
mekanisme yang mendasari munculnya nyeri neuropatik adalah: sensitisasi perifer,
ectopic discharge, sprouting, sensitisasi sentral, dan disinhibisi. Prinsip terbaik
untuk terapi nyeri neuropatik berdasarkan mekanisme dapat dilihat pada gambar
2.5.
Gambar 2.5
Terapi nyeri neuropatik berdasarkan mekanisme (Meliala, 2004)
Analgetik adjuvan adalah obat yang pada dasarnya tidak diindikasikan
untuk menghilangkan rasa nyeri, tetapi untuk kondisi yang lain, namun kemudian
bermanfaat untuk mengobati nyeri neuropatik. Sebagian besar analgetik adjuvan ini
OTAK
Medula Spinalis
SarafTepi
Sensitisasi Sentral
Ca++ : Pregabalin, GBP,OXC,LTG,LVT
NMDA : Ketamin, TPMDextromethorphanMethadone
Lainnya:CapsaicinNSAIDsCOX inhibitorLevodopa
Inhibitor desendenNE/5HTReseptor opioid
Sensitisasiperifer
Na+CBZOXCPHTTCATPMLTGMexiletineLidocaine
TCASSRISNRITramadolOpiat
47
merupakan obat neuroaktif, yang bekerja pada sistem saraf baik sentral maupun
perifer. Berdasarkan farmakologi pengobatan neuroaktif, beberapa hal yang harus
diperhatikan (Farrar, 2001):
1. Pilihlah pengobatan yang sesuai, dengan pertimbangan efek yang diinginkan
dan efek sampingnya.
2. Pastikan bahwa pasien mengerti apa yang diharapkan dari pengobatan,
khususnya efek terapeutik obat yang lambat, kemungkinan penggunaan obat
jangka panjang, efek samping dan toleransi yang mungkin timbul.
3. Dosis selalu dimulai dari dosis kecil yang kemudian dinaikkan bertahap, agar
pasien dapat menoleransi efek samping yang timbul. Naikkan dosis sampai
didapatkan efek yang diinginkan.
4. Beberapa obat memerlukan beberapa minggu untuk mencapai efektivitas
maksimum, jadi pengobatan harus diberikan dalam periode waktu yang cukup
lama.
2.5 Peranan Sel Glia Pada Nyeri Neuropatik
2.5.1 Sel Glia
Sel glia atau neuroglia adalah sel pendukung yang utama dalam SSP. Sel
glia (secara literal dapat diterjemahkan sebagai nerve-glue atau perekat saraf)
memang berfungsi melekatkan SSP menjadi satu bagian yang utuh. Secara umum
ukuran neuroglia lebih kecil dibandingkan dengan neuron dan berjumlah lebih
banyak 5-50 kali. Berbeda dengan sel saraf, sel glia tidak berfungsi dalam
menghasilkan atau mencetuskan potensial aksi, namun peran penting sel glia yaitu
48
dalam mengontrol persediaan substansi kimia yang diperlukan neuron untuk
berkomunikasi dengan neuron lain, melindungi neuron yang satu dari pengaruh
neuron yang lain sehingga pesan dapat disampaikan antara neuron yang satu dengan
yang lain, selain itu ia juga berfungsi memusnahkan dan melepaskan sel-sel saraf
yang mati akibat kecelakaan atau karena proses penuaan (Marieb et al., 2011).
Dari enam tipe neuroglia, empat jenis sel terdapat hanya di SSP dan dua tipe
sisanya terdapat di Sistem Saraf Tepi (SST). Berikut ini adalah beberapa sel glia
yang terdapat dalam SSP, antara lain:
2.5.1.1 Oligodendroglia/Oligodendrosit
Oligodendroglia/Oligodendrosit menyerupai astrosit yang merupakan
bagian dari SSP, tetapi berukuran lebih kecil dan mengandung tonjolan lebih
sedikit. Tonjolan oligodendrosit bertanggung jawab untuk membentuk dan
mempertahankan selubung myelin sekitar akson SSP. Myelin yang dibuat dari
lemak multilayer dan protein ini berbentuk seperti gelondong-gelondong kecil yang
melindungi akson (berbentuk segmen-segmen), jadi ada bagian akson yang tidak
terlindungi mielin (yaitu antara segmen yang satu dengan segmen yang lain) yang
disebut dengan Nodus Ranvier. Selubung mielin kemudian akan membatasi akson
yang ditutupinya dan meningkatkan kecepatan impuls saraf konduksi (Tortora et
al., 2009; Marieb et al., 2011).
2.5.1.2 Astrosit / Astroglia
Jenis sel glia yang berbentuk seperti bintang ini memiliki jumlah paling
banyak dan paling besar terdapat dalam SSP. Terdapat dua jenis astrosit yaitu
protoplasmic astrosit yang memiliki banyak tonjolan bercabang yang pendek dan
49
ditemukan pada gray matter, serta fibrous astrocyts yang memiliki banyak tonjolan
panjang yang tidak bercabang dan ditemukan terutama pada substansia alba.
Tonjolan-tonjolan ini melakukan hubungan dengan kapiler darah, neuron dan
piamater (Marieb et al., 2011).
Fungsi astrosit adalah sebagai berikut: 1) Astrosit mengandung
mikrofilamen yang memberikan suatu kekuatan besar, yang memungkinkan
fungsinya untuk menyangga neuron, 2) Tonjolan astrosit membungkus kapiler
darah mengisolasi neuron SSP dari berbagai zat berbahaya dalam darah dengan
mengeluarkan bahan kimia yang mempertahankan karakteristik permeabilitas
selektif unik dari sel-sel endotel kapiler. Akibatnya, endotel sel menciptakan sawar
darah otak, yang membatasi pergerakan zat antara darah dan cairan interstitial dari
SSP, 3) Dalam embrio, astrosit mengeluarkan bahan kimia yang muncul untuk
mengatur pertumbuhan, migrasi, dan interkoneksi antar neuron di otak, 4) Astrosit
membantu untuk mempertahankan kimia yang tepat lingkungan untuk generasi
impuls saraf, 5) Astrosit juga berperan dalam proses belajar dan memori dengan
mempengaruhi proses pembentukan sinapsis saraf (Tortora et al., 2009).
2.5.1.3 Mikroglia
Mikroglia adalah jenis sel kekebalan yang berada dalam SSP dan terlibat
dalam berbagai kondisi patologis di SSP. Mikroglia cepat merespon kondisi
fisiologis yang merugikan (misalnya iskemia dan kerusakan fisik) dan berubah
menjadi bentuk aktif mengikuti serangkaian perubahan morfologi, jumlah dan
ekspresi gen secara progresif (Hanisch & Kettenmann, 2007).
50
Sel ini dapat dibedakan dengan yang lain karena berasal dari jaringan
mesenkim, bentuk intinya yang memanjang dengan butir-butir kromatin yang
tersebar rata. Kadang-kadang masih dapat terlihat sitoplasma di sekitar intinya.
Neuroglia ini adalah sel-sel kecil dengan tonjolan tipis yang mengeluarkan proyeksi
berbentuk tulang (spine like projection). Fungsi mikroglia sebagai fagosit. Seperti
makrofag jaringan, mikroglia menghilangkan debris selular yang terbentuk selama
perkembangan normal sistem saraf serta mikroba dan jaringan saraf yang rusak
(Tortora et al., 2009; Marieb et al., 2011).
2.5.1.4 Sel Ependimal
Sel ini secara umum disepakati dimasukkan ke dalam kelompok neuroglia,
walaupun badan selnya tidak terdapat di antara sel-sel saraf. Sel ependimal
merupakan sel selapis tersusun dari sel kuboidal dan sel kolumnar, yang memiliki
mikrovili dan silia. Sel-sel ini melapisi ventrikel otak dan kanalis sentralis dari
sumsum tulang belakang (tempat yang berisi cairan cerebrospinal, yang melindungi
dan memelihara otak dan sumsum tulang belakang). Secara fungsional, sel
ependimal memproduksi, menjaga, dan membantu sirkulasi cairan serebrospinal.
Mereka juga membentuk cairan sawar darah otak (Tortora et al., 2009; Marieb et
al., 2011).
2.5.1.5 Sel Schwann
Sel-sel ini mengelilingi akson sistem saraf tepi, dan seperti oligodendrosit,
sel ini juga membentuk selubung mielin di sekitar akson. Namun, satu
oligodendrosit dapat menyelubungi beberapa akson, tetapi masing-masing sel
Schwann hanya menyelubungi satu akson. Sebuah sel Schwann juga dapat
51
menyelubungi sebanyak 20 atau lebih akson yang tidak memiliki selubung mielin.
Sel Schwann berperan dalam regenerasi akson, yang lebih mudah terjadi dalam SST
daripada di SSP (Tortora et al., 2009; Marieb et al., 2011).
2.5.1.6 Sel Satelit
Badan sel neuron di ganglia perifer dikelilingi oleh sel-sel satelit yang
berbentuk datar. Sel-sel satelit mengatur pertukaran nutrisi dan produk-produk
limbah antara tubuh sel neuron dan cairan ekstraselular. Mereka juga membantu
mengisolasi neuron dari rangsangan selain yang disediakan pada sinapsis (Tortora
et al., 2009; Marieb et al., 2011).
2.5.2 Peranan Mikroglia pada Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik mengacu pada berbagai kondisi nyeri kronis dengan
berbagai mekanisme patofisiologi dan sumber yang berbeda. Studi-studi terbaru
menunjukkan adanya komunikasi antara sistem imun dan sistem saraf. Mekanisme
umum yang mendasari nyeri neuropatik adalah adanya inflamasi pada saraf yang
terkena. Respon inflamasi ini akan memicu kaskade yang menyebabkan terjadinya
konsentrasi dan aktivasi dari sel imun bawaan pada jaringan yang mengalami
kerusakan. Beberapa molekul yang disekresikan oleh sel saraf yang mengalami
inflamasi adalah EEA, PGE, substansi P (SP), ATP, dan NO, yang seluruhnya
memicu aktivasi sel-sel glia, sedangkan pelepasan substansi imunoaktif seperti
sitokin, neurotrophic factor dan kemokin menginisiasi aktivitas lokal yang
kemudian memicu respon imunitas secara umum. Kondisi ini akan mengaktivasi
52
sel glia pada sumsum tulang dan otak yang memegang peranan penting dalam
nosisepsi (Vallejo et al.,2010).
Sel Glial yang juga dikenal sebagai neuroglia, merupakan sel
nonconducting yang memodulasi transmisi neuron di tingkat sinaptik. Sel glial
dapat dibagi menjadi dua kategori utama yaitu mikroglia dan makroglia, meliputi
astrosit dan oligodendrosit. Astrosit dan mikroglia dikenal memainkan peran dalam
pengembangan, penyebaran, dan potensiasi nyeri neuropatik. Setelah nosiseptor
perifer teraktivasi melalui cedera saraf, mikroglia menjadi aktif dan melepaskan
sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, IL-1β, dan IL-6, yang memulai proses nyeri.
Mikroglia menyebarkan peradangan saraf dengan merekrut mikroglia lainnya dan
akhirnya mengaktifkan astrosit di dekatnya, yang memperpanjang kondisi
inflamasi dan menyebabkan kondisi nyeri neuropatik kronis (Vallejo et al.,2010).
Ekspresi beberapa reseptor permukaan juga berubah pada mikroglia
teraktivasi. Mikroglia teraktifkan membangkitkan berbagai respon seluler, seperti
migrasi menuju area yang mengalami masalah, sekresi faktor pro-inflamasi dan
fagositosis sel-sel mati atau debris berbahaya (Davalos et al., 2005;
Hanisch&Kettenmann, 2007; Koizumi et al., 2008).
Mikroglia yang teraktivasi juga akan meningkatkan produksi PGE melalui
peningkatan aktivitas enzim COX di dalam mikroglia itu sendiri (Samad dkk,
2001). PGE yang dihasilkan kemudian akan menstimulasi ganglion radiks dorsal
untuk memproduksi NO yang juga diketahui berperan penting terhadap
patofisiologi nyeri melalui efeknya yang pleiotropik. Lebih lanjut, mikroglia yang
53
teraktivasi juga diketahui meningkatkan produksi dan mensekresikan NO dibawah
pengaruh aktivasi reseptor AMPA dan mGlu (Millan, 1999).
Pada hari pertama setelah terjadi cedera saraf akan terjadi aktivasi dan
peningkatan mikroglia pada area yang mengalami denervasi, puncaknya pada hari
ketiga pasca lesi dan kembali normal pada hari ke-8. Pasca aktivasi mikroglia,
selanjutnya astrosit akan teraktivasi, puncaknya pada hari ke-4, dan tetap aktif
sampai sekitar 2 minggu. Mikroglia terutama melakukan reaksi fagositosis secara
besar-besaran dan mencerna ujung degeneratif, mielin dan debris (Mense, 2009).
Mikroglia yang teraktivasi akan memberikan gambaran morfologi badan sel
yang mengalami hipertrofi dengan penebalan dan prosesus mengalami penarikan,
terjadi peningkatan jumlah sel dan peningkatan tingkat pewarnaan penanda
mikroglia seperti CD11b dan ionized calcium-binding adapter molecule-1 (Iba-1)
(Gambar 2.6) (Tsuda, 2015).
Cedera saraf juga memicu peningkatan proliferasi dan aktivasi astrosit pada
sisi ipsilateral medula spinalis. Jika dibanding dengan respon mikroglia, proliferasi
dan progresifitas astrosit relatif lebih lambat, tetapi tersedia terus-menerus dalam
periode yang lebih panjang yaitu lebih dari 5 bulan. Sinyal yang memicu proliferasi
dan aktivasi astrosit secara terus-menerus belum diketahui secara pasti. Spekulasi
menarik untuk menyatakan bahwa respon astrosit muncul secara sekunder setelah
aktivasi mikroglia (Scholz&Woolf, 2007).
54
Gambar 2.6
Aktivasi mikroglia di kornu dorsalis medula spinalis setelah cedera saraf tepi.
(a) Imunofluoresensi mikroglia dengan penanda ionized calcium-binding adapter
molecule-1 di kornu dorsalis medula spinalis7 hari setelah cedera saraf.
(b) normal dan (c) kondisi mikroglia teraktivasi di sisi kontralateral dan ipsilateral
masing-masing dari kornu dorsalis medula spinalis (Tsuda, 2015).
2.5.3 Reseptor Purinergik
Reseptor purinergik terdiri dari P1 dan P2. Reseptor Purinergik diaktifkan
oleh nukleotida ekstraseluler (Khakh & North, 2006; Burnstock, 2008). Reseptor
P2 terdiri dari dua keluarga, reseptor ionotropik (P2X) dan reseptor metabotropik
(P2Y). Reseptor-reseptor P2 memiliki peranan penting dalam proses inflamasi dan
55
nyeri, terutama famili reseptor P2X (Burnstock, 2006). Reseptor P2X mengandung
pori-pori intrinsik yang membuka ketika berikatan dengan ATP (Browne et al,
2010;. Coddou et al, 2011). Reseptor P2Y yang digabungkan ke second-messenger
systemsintraseluler melalui heteromerik G-protein (Abbracchio et al., 2006).
Reseptor P2X diekspresi di mRNA, protein, dan atau tingkat fungsional
telah didokumentasikan dalam berbagai macam sel, termasuk neuron dan sel glial
dalam SSP dan SST, sel otot, sel-sel epitel, endotel sel, sel-sel endokrin, sel-sel
tulang, dan sel-sel kekebalan tubuh, dan distribusi secara luas dalam keragaman
proses fisiologis (Jiang, 2012). Setelah teraktivasi pasca cedera saraf tepi,
mikroglia tulang belakang secara dramatis mengubah ekspresi berbagai gen yang
mengkode reseptor permukaan sel termasuk purinergik reseptor P2 (Tsuda, 2013).
Secara fisiologis fungsi reseptor P2X yang disimpulkan dari studi tikus knock out
(KO) dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2
Fungsi fisiologis reseptor-reseptor P2X (Jiang, 2012) Reseptor Fungsi fisiologis P2X1 kontraksi vas deferen dan kesuburan pria, auto regulasi mikrovaskular ginjal,
agregasi platelet dan trombosis, kemotaksis netrofil P2X2 neurotransmisi enterik dan peristaltik pada usus kecil, modulasi dari sinap
eksitatori ke interneuron di hipokampus, pembentukan hubungan tulang dan neuromuskuler, sekresi ATP, pelepasan vasopresin pada terminal hipotalamikneurohipofisial, fungsi sperma dan kesuburan pria
P2X3, P2X2/3 nyeri inflamasi dan neuropatik, transduksi mekanik pada kandung kemih, neurotransmisi enterik dan peristaltik pada usus kecil, kemoresepsi pada badan karotis, sensasi suhu, transduksi rasa, long term-depression
P2X4 Long-term potentiation di hipokampus, persinyalan kalsium pada endotel dan kontrol tonus vaskuler, pelepasan BDNF pada mikroglia dan nyeri neuropatik, pelepasan E2 dari makrofag dan nyeri inflamasi
P2X7 pelepasan IL-1β dari sistim imun, perubahan volume dan ketajaman monosit dan limfosit dan L-selectin shedding, kematian makrofag dan mikroglia, pelepasan prostaglandin E2 pada osteoblas dan osteogenesis, sinyaling NFκB pada formasi osteoklas, induksi kematian sel limfosit T, nyeri inflamasi dan neuropatik, pelepasan ATP dan sinyaling kalsium intraseluler astrosit, regulasi fungsi sel NK pada cedera hepar autoimun, regulasi sekresi glandula eksokrin, pelepasan cathepsin dari makrofag
56
Diantara 7 jenis subtipe dari reseptor P2X, tipe utama yang berkaitan
dengan pembentukan dan kontrol kondisi nyeri adalah reseptor P2X3 (P2X3R),
P2X2/3 (P2X2/3R) heteronomik, P2X4 (P2X4R) dan P2X7 (P2X7R) (Ando et al.,
2010; Jiang, 2012; Khaks & North,2012).
Beberapa bukti telah menunjukkan bahwa di antara reseptor permukaan sel
tersebut, reseptor purinergik merupakan regulator potensial dari fungsi mikroglia
dan patogenesis gangguan SSP (Fields & Burnstock, 2006; Inoue et al., 2007;
Burnstock, 2008).
2.5.4 Peranan Reseptor P2X4 pada Mekanisme Nyeri Neuropatik
Peran reseptor P2X4 dalam patofisiologi nyeri kronis sebagian besar telah
dijabarkan berdasarkan ekspresi reseptor dan studi gangguan genetik. Beberapa
penelitian lain juga menunjukkan adanya kaitan reseptor P2X4 dengan nyeri akut
dan kronis (Tsuda et al., 2009; Trang et al.,2009; Trang and Salter, 2012),
Pada SSP, terjadi peningkatan ekspresi reseptor P2X4 pada permukaan sel
mikroglia setelah trauma atau paparan agen pro-inflamasi (misalnya,
lipopolisakarida bakteri). Ekspresi yang meningkat ini tampaknya spesifik pada
mikroglia karena ekspresi protein reseptor P2X4 ditemukan tidak meningkat pada
neuron atau astrosit setelah trauma atau cedera (Gum et al., 2012).
Kondisi alodinia taktil pada nyeri kronis membutuhkan aktivasi reseptor
ionotropik P2X4 dan p38MAPK pada mikroglia medula spinalis (Inoue et al.,
2004). Bukti pertama peran kausal mikroglia adalah temuan alodinia taktil yang
diinduksi cedera saraf tepi melalui penghambatan farmakologis reseptor P2X4 di
57
sumsum tulang belakang (Tsuda et al., 2003).
Pada daerah perifer, saat reseptor P2X4 muncul di permukaan makrofag
yang teraktivasi, melalui jalur signal p38MAPK yang mengaktifkan PLA2 sitosol
yang membebaskan asam arakidonat (AA) yang mengakibatkan sintesis COX dan
pelepasan prostaglandin E2 (PGE2), prostaglandin memicu hipersensitivitas saraf
perifer menyebabkan nyeri inflamasi.
Aktivasi reseptor P2X menyebabkan pelepasan faktor-faktor bioaktif
diffusible seperti BDNF dan faktor-faktor proinflamasi lainnya seperti sitokin dan
kemokin (Tsuda et al., 2012; Soares-Bezerra at al.,2013). Selain sitokin, sel glial
teraktivasi juga melepaskan NO dan produk COX. Keduanya berperan sebagai
induktor poten pada nyeri neuropatik (Jo et al., 2009).
Aktivasi p38 MAPK menginduksi sintesis sitokin proinflamasi seperti
TNFα, IL-1B, dan IL-6. Pada konsentrasi rendah, sitokin ini dapat memfasilitasi
terjadinya sensitisasi sentral melalui mekanisme yang berbeda-beda. TNFα
misalnya dapat meningkatkan transmisi sinaptik eksitatorik dengan meningkatkan
frekuensi spontaneous excitatory inhibitory postsynaptic currents (sEPSCs) dan
amplitude AMPA atau NMDA-induced currents. IL-1β secara simultan dapat
meningkatkan transmisi eksitatorik sinaptik dan menurunkan transmisi sinaptik
inhibitorik. IL-6 menghambat transmisi sinaptik inhibitorik dengan menurunkan
frekuensi spontan inhibitory postsynaptic currents (IPSCs) dan amplitudo GABA
dan glycine-induced current (Gao &Ji, 2010).
Mikroglia yang teraktivasi melalui stimulasi berbagai reseptornya,
termasuk reseptor purinergik, diketahui dapat mengaktifkan jalur persinyalan
58
p38MAPK dan berperan dalam inisiasi dan fasilitasi impuls nyeri. Sebagai contoh,
ligasi nervus spinalis pada hewan coba diketahui dapat mengaktifkan jalur p38
MAPK dan pemberian antagonis terhadap MAPK dapat mencegah terjadinya
alodinia (Schafers et al, 2003). Pemberian minoksiklin sebuah antibiotik yang
memiliki efek inhibisi terhadap aktivasi mikroglia, juga diketahui dapat
mengurangi nyeri pada berbagai kondisi patologis (Carniglia dkk, 2017).
Pada kornu dorsalis medula spinalis, mikroglia yang teraktivasi
menunjukkan peningkatan ekspresi reseptor P2X4 dan P2X7. Ekspresi ini
melibatkan sinyal dari fibronektin dan CCL21. Reseptor P2X4 dan P2X7 diaktifkan
oleh ATP dan pada akhirnya akan meningkatkan kalsium intraseluler dan
mengaktivasi jalur p38MAPK (Gambar 2.7).
Pada sumsum tulang belakang, ekspresi reseptor P2X4 diregulasi secara
eksklusif pada mikroglia, menunjukkan bahwa hipersensitivitas nyeri yang
diinduksi oleh cedera saraf tepi tergantung pada berkelanjutannya signaling
purinergik melalui reseptor-reseptor P2X4 mikroglia. Sebuah tanda pengurangan
nyeri neuropatik di kedua tikus yang diobati secara spinal dengan antisense P2X4R
oligonukleotida dan tikus yang kekurangan reseptor P2X4 menunjukkan perlunya
reseptor P2X4 (Tsuda et al., 2003, 2009a; Ulmann et al., 2008).
Data menunjukkan pemberian mikroglia yang reseptor P2X4-nya
teraktivasi melalui tulang belakang menyebabkan tikus normal mengalami alodinia,
hal menunjukkan bahwa aktivasi P2X4R di mikroglia tidak hanya diperlukan tetapi
juga cukup untuk menyebabkan alodinia taktil (Tsuda et al., 2003, 2005).
59
Salah satu mekanisme nyeri neuropatik adalah melibatkan aktivasi reseptor
purinergik, yang kemudian akan meningkatkan sintesis dan sekresi BDNF, yang
memiliki efek disinhibisi terhadap transmisi impuls nyeri pada kelompok neuron
yang terdapat di lamina I medula spinalis (Trang et al., 2012).
Gambar 2.7
Ilustrasi skematik mekanisme potensial bagaimana reseptor P2X4 pada mikroglia
yang teraktivasi memodulasi sinyal nyeri di kornu dorsalis medula spinalis pasca
cedera saraf tepi (Tsuda et al., 2013).
60
Ablasi reseptor purinergik P2X4 terbukti menurunkan kadar BDNF dan
mengurangi nyeri neuropatik yang diinduksi oleh hiperalgesia mekanis (Ulmann et
al., 2008). Reseptor P2X4 yang teraktivasi memerlukan jalur persinyalan via ion
kalsium dan p38 MAPK agar BDNF dapat dibentuk dan disekresikan dari mikroglia
(Trang et al., 2009).
Dapat disimpulkan secara teoritis, bahwa inhibisi terhadap reseptor P2X4
dapat menghambat persinyalan p38MAPK dan efek pleiotropiknya terhadap proses
inflamasi, sekaligus memitigasi konduksi impuls nosiseptif melalui penekanan
sintesis dan sekresi BDNF. Penghambatan ekspresi dan fungsi reseptor P2X4 dan/
atau p38MAPK pada mikroglia medula spinalis dapat menjadi pendekatan
terapeutik baru untuk mengobati alodinia taktil yang disebabkan oleh kerusakan
saraf (Inoue et al., 2004).
2.6 Flavonoid dan Nyeri Neuropatik
Flavonoid memiliki 6 subklas yaitu Flavonols, Flavones, Flavonones,
Isoflavones, Flavan-3-0ls dan Anthocyanidins dikenal sebagai antioksidan yang
kuat. Flavonoid menunjukkan efek antioksidan, anti inflamasi, anti karsinogenik,
anti viral dan anti aging. Flavonoid juga memiliki kemampuan untuk menekan
berbagai saluran ion termasuk saluran Ca2+. Sebagai tambahan Flavonoid juga
dilaporkan menghambat peningkatan agonis yang menginduksi Ca2+ dan
menghambat kematian sel (Perveen et al., 2014).
Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa konsumsi fitokimia makanan,
seperti flavonoid, mungkin memberi efek menguntungkan pada SSP dengan
61
melindungi neuron terhadap stres akibat cedera, melalui penekanan aktivasi
mikroglia dan astrosit, yang memediasi peradangan saraf, dan dengan
mempromosikan plastisitas sinaptik, memori dan fungsi kognitif (Spencer, 2007).
Bukti juga mendukung peranan flavonoid dalam otak, sehingga fitokimia
ini dapat dianggap sebagai neuroptotektif yang potensial, neuromodulator atau agen
antiinflamasi neuron. Tampaknya sangat mungkin bahwa sifat menguntungkan
tersebut dimediasi oleh kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan protein dan
kaskade sinyal lipid kinase, dibandingkan melalui potensi mereka bertindak sebagai
antioksidan. Konsentrasi flavonoid yang dijumpaipada in vivo yang cukup tinggi
untuk mengerahkan aktivitas farmakologi pada reseptor, kinase dan faktor
transkripsi. Lokasi aksi yang tepat sampai saat ini belum diketahui. Sangat mungkin
bahwa aktivitas mereka tergantung pada kemampuan mereka untuk: (1) berikatan
pada situs ATP pada enzim dan reseptor; (2) memodulasi aktivitas kinase secara
langsung, yaitu MAPKKK, MAPKK atau MAPK; (3) mempengaruhi fungsi
fosfatase penting, yang bertindak bertentangan dengan kinase; (4) menjaga Ca2+
homeostasis, sehingga mencegah aktivasi Ca2+ yang tergantung kinase di neuron;
dan (5) memodulasi kaskade sinyal kinase, yaitu mengaktivasi faktor transkripsi
dan berikatan dengan urutan promotor (Spencer, 2007).
Produk-produk natural muncul kembali dalam pengobatan tradisional
sebagai sumber potensial dari molekul baru atau phytomedicines untuk membantu
gangguan kesehatan. Hal penting dari penemuan ini adalah peranan sebagian dari
reseptor P2 pada inflamasi dan nyeri, lebih spesifiknya pada keluarga reseptor P2X,
yang merupakan salah satu dari dua subklas dari reseptor P2 (P2R). Reseptor P2X
62
adalah ionotropic dan memiliki ATP sebagai agonis utamanya. Diantara 7
subtipereseptor P2X, yang paling berhubungan dengan pengembangan atau
pengendalian status nyeri adalah reseptor P2X3, heteromerik reseptor P2X2/3,
reseptor P2X4, dan reseptor P2X7 (Burnstock, 2006; Andó et al., 2010; Khakh &
North, 2012).
Molekul-molekul produk-produk natural yang memiliki efek analgesik
melalui antagonis terhadap reseptor P2X antara lain: 1) Emodin; 2) Amentoflavone;
3) Ligunstrazine; 4) Puerarin dan 5) Purotoxin-1 (Gambar 2.8) (Khakh & North,
2012).
Gambar 2.8
Molekul dari produk natural dengan aktivitas analgesik melewati P2XR
antagonis: (1) Emodin; (2) Amentoflavone; (3) Ligunstrazine; (4) Puerarin dan
(5) Purotoxin-1 (PDB:2KGU) ((Khakh & North, 2012).
63
Reseptor P2X3 dan P2X2/3 diekspresikan secara selektif di sistem sensoris,
di serabut-serabut eferen perifer. Sel yang sudah rusak melepaskan molekul-
molekul stimulasi, seperti glutamat atau ATP, memicu sinyal noksius
memicueksitabilitas neuronal dan nyeri. Homomerik dari reseptor P2X3 dan
heteromerik dari reseptor P2X2/3 juga berhubungan dengan respon inflamasi,
bagaimanapun ini tetap belum jelas, apakah mekanisme perkembangan dari
inflammatory hyperalgesia tergantung pada sitokin-sitokin inflamasi atau
pelepasan dari PGE2 dan sympato mimetic amines yang menyebabkan pemindahan
PKC epsilon atau pelepasan dari bradikinin atau memang tidak memiliki korelasi
dengan pelepasan sitokin, PGE2 atau dopamin (Khakh & North, 2012).
Beberapa studi terbaru menemukan bahwa produk natural mampu untuk
menghalangi mekanisme dari P2X3R. Proyek ini mendemonstrasikan efek
analgesik pada nyeri yang diinduksi dengan formalin melalui antagonis P2X3.
Sebuah produk herbal yang digunakan pada obat cina yang disebut ligustrazine
(tetramethylpyrazine), alkaloid yang berasal dari Ligusticum wallachii,
menyebabkan inhibisi pada membran depolarisasi yang diinduksi oleh ATP di
neuron-neuron ganglion radiks dorsalis. Studi lain mengkonfirmasikan
kemampuan senyawa ini untuk menghalangi arus ionik yang diinduksi oleh ATP di
neuron-neuron GRD melalui aktifitas antagonis di reseptor P2X3. Ditemukan juga
bahwa efek dari hal ini tidak selektif, karena hal ini juga bekerja pada fosforilasi
PKC (Khakh & North, 2012).
Efek analgesik dari tetramethylpyrazine ditemukan juga pada nyeri
neuropatik melewati pemblokiran transmisi aferen primer oleh pengaktifan reseptor
64
P2X3 dan berhubungan dengan efek senyawa pada transmisi nyeri setelah
pembakaran/terbakar seperti melewati mekanisme reseptor P2X3. Produk natural
lain yang disebut sebagai puerarin juga ditemukan memiliki efek penghambatan
pada nyeri terbakar dan hiperalgesia melalui penghambatan upregulasi dari ekspresi
protein reseptor P2X3 di neuron-neuron GRD (Khakh & North, 2012).
Demikian pula, emodin, antrakuinon diperoleh dari ekstrak rhubarb (Rheum
officinale Baill) menunjukkan aktivitas analgetik tidak hanya pada nyeri neuropatik
melalui antagonis reseptor P2X3 yang terekspresi pada neuron-neuron sensoris
primer, tetapi juga melalui aktivitas antagonis terhadap reseptor P2X7 tikus.
Purotoxin, sebuah peptida yang diisolasi dari racun laba-laba Asia spesies
Geolycosa juga menunjukkan efek antagonis yang poten dan selektif terhadap
reseptor P2X3 penghambatan terhadap arus ion pada neuron tikus dan
menunjukkan efek analgesik pada nyeri inflamasi (Khakh & North, 2012).
Reseptor P2X4 terbukti pada beberapa penelitian memiliki hubungan
dengan nyeri akut dan kronis, dan perannya dalam timbulnya nyeri neuropatik dan
inflamasi baru-baru ini telah diusulkan. Di perifer, ketika reseptor P2X4 terkspresi
di makrofag yang teraktivasi, sel-sel ini melepaskan PGE2, melalui jalur
p38MAPK; prostaglandin ini mengarah ke hipersensitivitas dari saraf perifer,
menyebabkan nyeri inflamasi. Di SSP, di mana mikroglia yang mengekspresikan
reseptor P2X4, ketika diaktifkan, menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler
dan mengaktifkan jalur MAPK dengan merilis BDNF yang kemudian bekerja pada
rilis GABA (molekul hyperalgesic) oleh neuron GABAergic. Penghambatan
produksi BDNF melalui pengobatan dengan antagonis untuk reseptor P2X4 (TNP-
65
ATP) diamati in vitro. Sampai saat ini studi senyawa sintetik atau alami baru
dengan aktivitas pada gangguan inflamasi dan nyeri yang menguntungkan melalui
penghambatan reseptor P2X4 ini masih sangat kurang (Khakh & North, 2012).
Sebuah penelitian menunjukkan aktivitas N-substituted phenoxazine dan
derivat acridone pada masuknya kalsium dalam sel-sel garis 1321N1 astrocytoma
dan sel transfected dengan reseptor P2X4 manusia, menunjukkan kemungkinan
penggunaan senyawa ini dalam konteks nosisepsi. Partisipasi reseptor P2X4 dalam
konteks inflamasi adalah terkait co-ekspresi dengan reseptor P2X7, dan memediasi
fungsi inflamasi yang terkait dengan reseptor P2X7 melalui pelepasan sitokin
(yaitu, IL-1β) dan kematian sel sinyal melalui masuknya kalsium. Reseptornya juga
memediasi pelepasan PGE2 melalui aktivasi MAPK, yang berpartisipasi dalam
pemeliharaan respon inflamasi kronis (Hernandez-Olmos et al, 2012; Soares-
Bezerra et al., 2013).
2.6.1 Senyawa Antosianin
Antosianin adalah salah satu subklas dari flavonoid merupakan kelompok
terbesar pigmen yang larut dalam air di kerajaan tanaman. Secara kimia, mereka
adalah polyhydroxylated atau polymethoxy-lated glikosida atau acylglycosides dari
antosianidin dan merupakan turunan beroksigen dari 2-phenylbenzopyrylium atau
garam flavylium. Mereka merupakan keluarga senyawa yang dikenal sebagai
flavonoid, dan yang membedakan mereka dari flavonoid lainnya sebagai kelas
terpisah karena kemampuan mereka untuk membentuk kation flavylium (gambar
2.9) (Mazza, 2007).
66
Gambar 2.9
Kation flavylium (Mazza, 2007)
Mereka terjadi terutama sebagai glikosida anthocyanidinchromophores aglikon
dengan bagian gula yang masing-masing umumnya menempel pada posisi 3 pada
cincin C atau posisi 5 pada cincin A. Ada sekitar 17 antosianidin yang ditemukan
di alam, namun hanya enam (sianidin, delphinidin, petunidin, peonidin,
pelargonidin, dan malvidin, dengan sianidin yang paling umum) (Gambar 2.10)
tersebar di mana-mana dan sangat penting dalam makanan manusia (Miguel, 2011).
Gambar 2.10
Struktur kimia umum antosianin (antosianidin) (Miguel, 2011)
67
2.6.2 Farmakokinetik Antosianin
Informasi tentang penyerapan, metabolisme, distribusi jaringan dan organ
serta ekskresi antosianin pada subyek manusia masih langka karena sangat
kompleks, mahal dan panjang, dan kadang-kadang dengan hasil yang bertentangan
(Kay et al., 2004; McDougall et al., 2005). Percobaan in vivo menggunakan tikus
menunjukkan bahwa malvidin-3-glukosida muncul di kedua plasma portal dan
sistemik hanya selama 6 menit dan dalam kondisi stabil. Temuan ini menunjukkan
bahwa antosianin dapat menembus mukosa lambung (Passamonti et al., 2003).
Waktu yang diperlukan bagi antosianin agar dapat mencapai kadar
maksimum dalam plasma (Tmaks) bervariasi, tergantung dari jenis substansi
aktifnya dan sumber dari antosianin tersebut. Secara umum, Tmaks berkisar antara
15 menit (sianidin 3-glukosida yang diperoleh dari bilberi dan elderberi), 30 menit
(sianidin 3-glukosida dan sianidin 3-rutinosida yang diperoleh dari anggur dan
bluberi), 60 menit (3-glukosida yang diperoleh dari beri hitam marrion kering),
hingga 2 jam (pada delpinidin 3-rutinosida) (Pojer et al., 2013).
Penelitian lain mengungkap-kan bahwa antosianin glikosida juga cepat dan
efisien diserap pada usus halus tikus dan lebih jauh lagi dengan cepat
dimetabolisme serta diekskresikan ke dalam empedu dan urin sebagai glikosida
utuh serta bentuk termetilasi dan turunannya glucuronidated (Talavéra et al., 2004).
Penyerapan antosianin bergantung pada struktur dan komposisi dari glisin,
glukosa, dan komponen yang terasetilasi (Fang, 2014; Tian, 2006; Wu et al., 2005;
Wu et al., 2004). Secara umum diasumsikan bahwa semakin kompleks struktur
68
molekul sebuah antosianin, maka semakin lama dan sedikit tingkat absorpsinya
(Kurilich et al., 2005).
Diketahui bahwa bioavailabilitas antosianin pada hewan coba relatif rendah.
Diperkirakan hanya 1-2% kadar antosianin yang dapat dideteksi di organ tubuh
(Lila et al., 2016). Namun bioavailabilitas antosianin diprediksi jauh lebih tinggi
dari angka tersebut apabila mempertimbangkan pula metabolisme fase I dan II,
konjugasi, metabolism yang dibantu oleh mikroba saluran cerna, dan siklus
enterohepatik (Fang, 2014).
Sebuah studi yang mengkaji farmakokinetik antosianin yang berasal dari
beri hitam (kandungan antosianin:14,8 mmol/kg diet) yang diberikan kepada hewan
coba mencit menunjukkan bahwa dalam 15 hari pasca diet per oral, didapatkan
akumulasi antosianin pada berbagai organ, diantaranya pada jejunum (605 nmol/g),
ginjal (3,27 nmol/g), dan otak (0,25 nmol/g) (Talavera et al., 2005).
Penelitian lain meneliti kemampuan antosianin untuk melewati sawar darah
otak dan kemampuan meningkatkan kapasitas antioksidan otak. Diperoleh hasil
antosianin secara signifikan meningkatkan kadar glutation di otak yang
memperkuat kapasitas antioksidan otak. Metabolit antosianin juga terdeteksi di
jaringan otak tikus. Hal ini mendorong perlu dipelajari bahwa antosianin dapat
sebagai calon yang cocok untuk suplemen makanan yang dapat mendukung
kapasitas antioksidan di otak dan memiliki potensi untuk memberikan pelindung
saraf dalam kondisi neurodegeneratif (Rashid et al., 2014).
69
2.6.3 Farmakodinamik Antosianin dalam Manajemen Nyeri Neuropatik
Antosianin flavonoid heterosiklik, terdiri dari dua atau tiga gugus-
anthocyanidinaglycone, gula dan asam asil terutama dijumpai pada buah-buahan
dan juga sayuran, akar-akaran, umbi-umbian, kacang-kacangan, dan sereal (Tall et
al., 2004).
Antosianin bertanggung jawab untuk sebagian besar warna merah, biru, dan
ungu dari buah-buahan, sayuran, bunga, dan jaringan tanaman atau produk lainnya.
Jumlah mereka berlimpah terutama dalam berry dan buah-buahan lainnya yang
berwarna merah, biru, atau ungu, serta anggur merah. Porsi 100gr buah bisa
mengandung hingga 500mg antosianin. Di Amerika, asupan harian antosianin pada
manusia diperkirakan 180-215mg/hari. Nilai ini jauh lebih tinggi dari asupan
flavonoid dari sumber lain seperti flavon dan flavonol pada diet orang Belanda (23
mg/hari, diukur sebagai aglikon). Perbedaan warna antara antosianin sebagian besar
ditentukan oleh pola substitusi aglikon, pola glikosilasi, dan tingkat serta sifat
esterifikasi dari gula dengan alifatik atau asam-asam aromatik, serta oleh pH, suhu,
jenis pelarut, dan kehadiran co-pigmen (Mazza, 2007).
Sekitar 400 jenis antosianin telah diidentifikasi. Enam antosianidin
terbanyak yang ditemukan pada tanaman diklasifikasikan sesuai dengan jumlah dan
posisi hidroksil dan kelompok methoxyl pada inti flavan, dan diberi nama
pelargonidin, cyanidin, delphinidin, peonidin, petunidin, dan malvidin. Jenis
antosianidin terbanyak di alam adalah sianidin (Mazza, 2007).
Makanan-makanan yang banyak mengandung antosianin semakin popular
di masyarakat. Studi-studi epidemiologi menunjukkan bahwa konsumsi antosianin-
70
antosianin menurunkan risiko penyakit-penyakit kardio-vaskuler, diabetes, arthritis
dan kanker melalui kemampuan sebagai antioksidan dan antiinflamasi. Ketajaman
visual juga meningkat dengan pemberian antosianin karena pigmen-pigmen
meningkatkan penglihatan malam hari dan visual secara keseluruhan. Beberapa
penelitian telah mampu men-demontrasikan bahwa antosianidin-antosianidin
memiliki aktivitas antiinflamasi dengan menghambat ekspresi COX-2 yang
berperanan pada sintesis prostaglandin. Antosianin juga menujukkan efek
antimikroba, antikarsinogenik, serta efek neuroproteksi (Youdim et al., 2000; Galli
et al., 2002; Mazza, 2007).
Sebuah penelitian melaporkan peningkatan aktivitas antioksidan melalui
peningkatan gugus hidroksil dan penurunan aktivitas antioksidan dengan
glikosilasi antosianidin-antosianidin. Aktivitas antioksidan antosianin termasuk
perlindungan LDL terhadap oksidasi, telah dibuktikan dalam sejumlah penelitian
invitro berbeda (Fukumoto & Mazza, 2000).
Baru-baru ini, telah ditemukan pelargonidin, sianidin, delphinidin,
peonidin, malvidin, malvidin 3-glucoside, dan malvidin 3,5-diglucoside memiliki
efek penghambatan kuat pada produksi NOxoleh makrofag. Di kisaran 16-500 pM,
senyawa ini menghambat produksi NOx lebih dari 50% tanpa menunjukkan
sitotoksisitas apapun. Efek penghambatan mereka adalah sebanding dengan yang
quercetin, yang telah secara ekstensif dipelajari dan ditunjukkan untuk sebagai
antiinflamasi dan efek antioksidan. Ekstrak berry kaya antosianin juga
menunjukkan efek penghambatan yang cukup besar pada produksi NOx dan efek
71
penghambatan mereka secara signifikan berkorelasi dengan kandungan total
antosianin (Wang & Mazza, 2002).
Antosianin merupakan antioksidan kuat. Antosianin memakan radikal
superoksida (O2.-), hidroksil (OH.), lipid peroxyl (Roo.), dan NO serta menghambat
peroksidasi lipid yang diinduksi oleh Cu, asam askorbat yang ditambahkan dengan
Fe2+, doksorubisin dan radiasi cahaya ultraviolet. Antosianin melindungi low
density lipoprotein (LDL) terhadap tembaga dan oksidasi radikal yang menginduksi
peroksil (Cao et al., 2001).
Sebuah penelitian untuk mengetahui mekanisme molekuler yang mendasari
efek antiinflamasi dari antosianin terkait dengan penyakit-penyakit
neurodegeneratif. Mereka meneliti efek antosianin yang diisolasi dari kulit biji
kedelai hitam dapat menghambat mediator-mediator proinflamasi dan sitokin-
sitokin pada sel-sel mikroglia murine BV2 yang distimulasi dengan
lipopolysaccharide (LPS) (Jeong et al., 2013).
Hasilnya adalah antosianin secara signifikan menghambat mediator-
mediator inflamasi yang diinduksi oleh LPS seperti Nox dan prostaglandin E2 dan
sitokin-sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1β tanpa efek toksisitas yang
signifikan. Antosianin juga secara eksesif mengurangi ekspresi iNOS, Cox-2, TNF-
α dan IL-1 β. Lebih lanjut antosianin juga menghambat nuclear translocation of
NF-κB dengan mengurangi penghambatan terhadap degradasi NF-κB alpha seperti
juga phosphorylating extracellular signal-regulated kinase, c-Jun N-terminal
kinase, p38 MAPK, dan Akt (Jeong et al., 2013).
72
2.6.4 Ubi Jalar Ungu Sebagai Sumber Antosianin
Ubi jalar merupakan salah satu jenis bahan pangan yang banyak terdapat di
Indonesia. Kandungan gizi ubi jalar diketahui banyak mengandung karbohidrat,
protein, lemak, serat vitamin, mineral serta kandungan fitokimia sebagai sumber
antioksidan, salah satunya antosianin (Nuraini, 2004). Secara umum, klasifikasi
ilmiah dari ubi jalar yang merupakan salah satu dari 20 jenis bahan pangan yang
berfungsi sebagai sumber karbohidrat adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Solanales
Famili : Convolvulaceae
Genus : Ipomoea
Spesies : I. batatas
Ada beberapa jenis ubi jalar yang dikenal, yang paling umum adalah ubi
jalar putih, merah atau ungu. Pada umumnya umbi-umbi yang berwarna ungu baik
ubi jalar, ubi aung dan tales mengandung antosianin lebih tinggi dibandingkan
dengan umbi berwarna lain (gambar 2.11) (Suprapta et al., 2003).
Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu bahan makanan
yang memiliki kandungan senyawa antioksidan yang sangat tinggi, yaitu
antosianin. Umbi ubi jalar ungu telah banyak digunakan untuk konsumsi sehari-
hari (Jawi et al., 2008).
73
Gambar 2.11
Umbi Ubi Jalar Ungu (kiri); Pohon Ubi jalar (kanan) (Suprapta et al., 2003)
Warna ungu pada ubi jalar ungu disebabkan oleh adanya zat warna alam
yang disebut antosianin. Antosianin merupakan salah satu antioksidan yang mampu
mencegah berbagai jenis kerusakan akibat stres oksidatif. Kerusakan yang terjadi
akibat stres oksidatif akan menyebabkan terjadinya beberapa jenis penyakit.
Tumbuh-tumbuhan yang ada di Bali telah banyak diteliti dan ternyata ubi jalar
Ungu mengandung antosianin cukup tinggi hampir sama dengan bilberry. Kadar
antosianin dalam ubi jalar ungu bervariasi, bergantung pada jenis kultivarnya. Ubi
jalar ungu mengandung antosianin bervariasi antara 110mg/100 g sampai
210mg/100g umbi segar (tabel 2.3) (Suprapta et al., 2003; Ginting et al., 2011).
Pada studi lain didapatkan bahwa kadar antosianin dari kultivar ubi jalar
ungu ‘Ayamurasaki’ adalah sebesar 59 mg ekivalen peonidin-3-
caffeoylsophoroside-5-glucoside/100 g (Suda et al., 2002). Studi pada ubi jalar
ungu kultivar Amerika menemukan kadar antosianin sebesar 24,6 hingga 45 mg
sianidin 3-glukosida/100 g berat segar (Teow et al., 2007).
74
Senyawa antosianin yang terdapat pada ubi jalar berfungsi sebagai
antioksidan dan penangkap radikal bebas, sehingga berperan dalam mencegah
terjadinya penuaan, kanker dan penyakit degeneratif seperti arteriosklerosis.
Sebuah penelitian mengatakan bahwa pemberian ekstrak ubi jalar ungu pada mencit
menunjukkan aktivitas antikanker. Disamping itu, pada penelitian pada mencit
yang diberikan aktivitas fisik berat yang diawali dengan pemberian ekstrak umbi
ubi jalar ungu ternyata mampu memperkecil kadar malondialdehid yang merupakan
petanda terjadinya stres oksidatif (Jawi et al., 2008).
Tabel 2.3
Kandungan gizi ubi jalar ungu
Gizi Ubi Ungu Pati (%) Gula Reduksi (%) Lemak (%) Protein (%) Air (%) Abu (%) Serat (%) Vitamin C (mg/100 g) Vitamin A (SI) Antosianin (mg/100 g)
22,64 0,30 0,94 0,77 70,46 0,84 3,00 21,43
- 110,51
Sumber: Ginting et al., 2011
Senyawa antosianin yang terdapat pada ubi jalar berfungsi sebagai
antioksidan dan penangkap radikal bebas, sehingga berperan dalam mencegah
terjadinya penuaan, kanker dan penyakit degeneratif seperti arteriosklerosis.
Sebuah penelitian mengatakan bahwa pemberian ekstrak ubi jalar ungu pada mencit
menunjukkan aktivitas antikanker. Disamping itu, pada penelitian pada mencit
yang diberikan aktivitas fisik berat yang diawali dengan pemberian ekstrak umbi
75
ubi jalar ungu ternyata mampu memperkecil kadar malondialdehid yang merupakan
petanda terjadinya stres oksidatif (Jawi et al., 2008).
2.7 Model Hewan Coba untuk Nyeri Neuropatik
Sejumlah model hewan coba untuk nyeri neuropatik telah dikembangkan
untuk memahami patogenesis nyeri dan membantu penemuan obat (Calvo et al.,
2012). Sebagian besar berdasarkan prosedur pada atau dekat nervus iskhiadikus.
metode-metode ini dibedakan berdasarkan lokasi dan jenis injuri meliputi transeksi,
ikatan longgar maupun kencang, krioneurolisis, crush, inflamasi perineura dan
invasi tumor.
Kelemahan penelitian nyeri neuropatik dengan menggunakan nyeri
neuropatik hewan coba sebagai tolok ukur adalah: 1) hewan coba tidak bisa
berkomunikasi, sehingga tidak bisa dilakukan pemeriksaan visual analog scale
(VAS), 2) tidak bisa menggunakan sampel dalam jumlah besar, sehingga kesulitan
dalam memproses statistik, 3) keterbatasan dalam penilaian perilaku nyeri
neuropatik hewan coba (Rahayuningsih, 2012).
Jenis kelamin tikus juga memiliki peranan yang penting dalam sensitivitas,
efikasi obat-obat analgesik dan prevalensi nyeri neuropatik. Sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Vacca et al. (2016) dapat mendemonstrasikan bahwa tikus jantan
dan betina memiliki reaksi berbeda terhadap perubahan struktur dan fungsi nyeri
neuropatik yang diinduksi dengan pengikatan nervus iskhiadikus. Tikus jantan
menunjukkan penurunan gradual alodinia dan perbaikan yang komplit sedangkan
pada tikus betina menunjukkan alodinia dan gliosis masih terjadi sampai 4 bulan
76
setelah induksi neuropati. Model hewan coba yang banyak digunakan untuk
menilaian perilaku nyeri neuropatik adalah CCI, PSL dan SNL (gambar 2.12).
Gambar 2.12
Ilustrasi model CCI, PSL dan SNL (Bridges et al., 2001)
2.7.1 Model CCI atau Model Bennett
Bennett dan Xie tahun 1988 pertama kali melaporkan sebuah model tikus
untuk nyeri mononeuropati perifer. model berupa ikatan longgar pada nervus
iskhiadikus (bagian kanan atau kiri) dengan ikatan 4 chromic gut pada pertengahan
nervus ischiadikus sampaidiameter saraf itu sedikit tercekat erat, cukup menyentuh
saraf tanpa gangguan aliran darah dari pembuluh darah epineural (gambar 2.11)
(Dias et al., 2013). Respon imunitas akibat ikatan menimbulkan pembengkakan dan
penyempitan saraf, iskemik lokal dan degenerasi Wallerian (Champbell & Meyer,
2006; Jaggi et al., 2011).
77
Pada Model ini menunjukkan gejala-gejala perilaku nyeri spontan seperti
autotomi, menjaga, menjilat berlebihan pada kaki belakang ipsilateral dan
menghindari pembebanan berat badan pada daerah injuri. Hiperalgesia karena
rangsangan suhu dan stimulasi mekanis dapat dideteksi seperti alodinia dingin dan
alodinia taktil (Wang & Wang, 2003). Nyeri neuropatik berlangsung paling tidak
selama 7 minggu setelah operasi (Bennett & Xie, 1988: Dowdall et al., 2005).
Pemeriksaan elektrofisiologi menunjukkan penurunan kecepatan hantar
saraf, dan pada pemeriksaan hisopatologi menunjukkan kerusakan yang berat pada
akson berselubung myelin dibandingkan yang tidak (Carlton et al., 1991).Saat ini
telah dapat didemonstrasikan bahwa kerusakan sebagian dari saraf memicu
sensitisasi terhadap serabut saraf A dan C dan keduanya memegang peranan
penting dalam memulai dan mempertahankan perilaku nyeri (Gabay & Tal, 2004).
Model ini memunculkan mononeuropati unilateral dan telah teramati pula
bahwa gejala ini berkaitan dengan kausalgia atau complex regional pain syndrome
(CRPS). Model ini sangat berguna untuk menganasis keluhan sensoris yang
berkaitan dengan neuropatik akibat jepitan seperti pada carpal tunnel syndome
(CTS) (Nakamura&Atsuya, 2006).
Model ini dipilih pada penelitian ini karena: 1) Merupakan model yang
handal dan mudah direproduksi, 2) sering digunakan, terutama untuk menilai
perilaku nyeri; 3) hasilnya adalah edema intraneural akibat strangulasi saraf, efektif
aksotomiakson saraf yang banyak meskipun tidak semua, 4)merupakan tiruan
kondisi nyeri neuropatik pasca cedera saraf tepi pada manusia; 5) denervasi parsial
mempertahankan beberapa respon perilaku terhadap rangsangan perifer; 6)
78
menunjukkan tanda-tanda perilaku nyeri spontan; 7) Model ini menghasilkan
pengurangan besar dari serabut saraf (hampir semua serat Aβ dan aksotomi
mayoritas dari serabut Aδ sedangkan jumlah besar serabut C utuh); 8) melibatkan
komponen inflamasi dan neuropatik; 9) cocok untuk menilai allodynia dingin
dibandingkan dengan ligasi saraf skiatik parsial (PSL) dan spinal nerve ligation
(SNL) (Challa, 2015).
2.7.2 Model Partial Sciatic Nerve Ligation (PSL atau Model Seltzer)
Model percobaan binatang nyeri neuropatik ini pertama kali dikembangkan
oleh Ma dan Bisby. Pada model in pengerusakan saraf dilakukan dengan cara
memotong sepertiga sampai setengah diameter dari nervus iskhiadikus proksimal
dari trifurkasio iskhiadikus (gambar 2.11).
Model ini banyak dikerjakan terutama untuk menilai mekanisme nyeri
neuropatik dan efek pengobatan. Model ini dapat digunakan untuk menghubungkan
reaksi tikus dengan efek pengobatan terhadap perubahan endoneural tanpa
terganggu peradangan epineural. Model ini disukai karena mudah untuk mencapai
area operasionalnya, dan dapat dilakukan pada tikus rumah yang besar maupun
jenis tikus lainnya yang besar. Kelemahan model ini akibat adanya kemungkinan
pemotongan yang dilakukan bisa tidak sama ketebalannya. Kelebihan model ini
adalah setelah dilakukan pemotongan tidak meninggalkan sesuatu benda asing di
tempat lesi sehingga pengaruh inflamasi terhadap benda asing minimal. Modifikasi
dari model ini dikembangkan oleh Selter et al. (1990), dimana setengah dari nervus
iskhiadikus diikat benang setengahnya dan benangnya dibiarkan tetap disitu selama
79
masa penelitian. Prosedur eksperimental ini dapat menunjukkan gejala alodinia
dengan stimulasi filamen von Frey dan hiperalgesia termal dan mekanis, gejala
dapat berlangsung lebih dari 7 bulan. model binatang juga akan menunjukkan gejala
nyeri spontan seperti gejala menjaga dan menjilat cakar ditempat perlukaan (Wang
& Wang, 2003).
2.7.3 Model L5/L6 spinal nerve ligation (SNL)
Kim dan Chung pertama kali melaporkan pada tahun 1992 model lain
eksperimen mononeuropati yang mensimulasikan kausalgia pada manusia. Pada
model ini, nervus spinalis L5 dan L6 secara unilateral diikat secara ketat pada
daerah distal ganglion kornu dorsalis (gambar 2.11).
Alodinia dan hiperalgesia muncul secara cepat setelah pengikatan dan
berlangsung selama lebih dari 4 bulan. Gejala perilaku nyeri neuropatik akan
muncul tanpa diikuti gejala autonomi. Jika dibandingkan dengan CCI dan PSL,
tempat pengikatan lebih konsisten dan juga mampu memisahkan segmen spinalis
yang mengalami perlukaan dan yang intak. SNL di lain pihak membutuhkan
prosedur operasi yang lebih ekstensif dari model lainnya. (Wang & Wang, 2003).
2.8 Penilaian Perilaku Nyeri Neuropatik
Penentuan adanya nyeri neuropatik pada hewan dinilai dengan evoked pain.
Penilaian evoked pain hewan coba yang diinduksi nyeri neuropatik dengan cara
diberikan stimulus mekanik maupun suhu pada area denervasi. Tanda tingkah laku
yang dihasilkan dari hipersensitivitas stimulus ini telah banyak diteliti pada model
80
nyeri neuropatik hewan coba (Wang&Wang, 2003). Penilaian perilaku nyeri
neuropatik dapat dilihat pada tabel 2.4 (Wang&Wang, 2003).
Tabel 2.4
Penilaian perilaku nyeri kronis
Nyeri spontan Postur Menghindari berat tubuh pada sisi yang mengalami cedera Gaya jalan Pincang pada anggota tubuh yang terkena Tanda Nosifensif Menjilat cakar Perilaku eksploratif berlebih Menjaga anggota tubuh yang terkena Autonomi Mutilasi diri sendiri dan menyerang area yang mengalami denervasi Alodinia Alodinia taktil (contoh filamen von Frey) Alodinia dingin Hiperalgesia Hiperalgesia termal Radiant Heat Test (contoh tes Hargreaves's) hot plate Hiperalgesia mekanik (contoh Randall-Selito paw pressure device dan Filamen von Frey)
Penentuan adanya nyeri neuropatik pada hewan dinilai dengan evoked pain.
Penilaian evoked pain hewan coba yang diinduksi nyeri neuropatik dengan cara
diberikan stimulus mekanik maupun suhu pada area denervasi. Tanda tingkah laku
yang dihasilkan dari hipersensitivitas stimulus ini telah banyak diteliti pada model
nyeri neuropatik hewan coba (Wang&Wang, 2003).
Hipersensitifitas mekanik atau mechanical hyperalgesia-like behaviour
biasanya dinilai dengan filamen von Frey, yang dinilai adalah besarnya tekanan
yang diperlukan untuk dapat merangsang penarikan kaki hewan coba. Sedangkan
pada hipersensitivitas terhadap termal (thermal hyperalgesia-like behaviour dan
81
cold allodynia-like behaviour) biasanya diukur dengan menilai waktu laten yang
diperlukan untuk penarikan kaki dan durasi reaksi terhadap stimulus hewan coba
setelah diberikan rangsangan panas maupun dingin (Decosterd & Berta, 2009;
Persson, 2009).
Mechanical hyperalgesia-like behaviour dapat juga ditimbulkan dengan tes
tusuk jarum (pinprick test). Pada hewan coba normal, tes ini akan merangsang
refleks penarikan yang cepat dan kecil (small brisk withdrawal reflex) sedangkan
pada model hewan coba nyeri neuropatik akan membangkitkan respon abnormal.
Cold allodynia-like behaviour dapat dinilai dengan meletakkan aseton pada daerah
yang diinginkan pada tubuh hewan coba, tipe dan durasi respon yang ditimbulkan
digunakan sebagai skor cold allodynia. Cara lain yang juga sering digunakan adalah
dengan menggunakan lantai metal yang dingin sehingga mencapai suhu yang
merangsang hewan coba (Decosterd & Berta, 2009).
Evoked pain juga dapat dinilai dengan tingkah laku alodinia dengan
menggunakan monofilamen von Frey (Bennett, 2001). Monofilamen dapat
diletakkan pada berbagai tempat pada tubuh hewan coba, yang dinilai adalah waktu
yang diperlukan oleh hewan coba untuk memberikan respon seperti penarikan,
pergerakan dan vokalisasi (Decosterd & Berta, 2009).
Perangkat filamen von Frey terdiri dari nilon monofilamen dengan diameter
yang berbeda (dikenal dengan serial Semmes-Weinstein) yang menentukan
kekuatan alat jika ditekan ke kulit hewan coba. Serial Semmes-Weinstein terdiri
dari 20 filamen dengan karakteristik berbeda. Label yang terdapat di filamen
menunjukkan kekuatan dalam unit log10 0,1 mg, dimana filamen akan membengkok
82
ketika ditekan ke kulit hewan coba. Kekuatan (tekanan) yang dihasilkan saat
filamen membengkok ketika ditekan dengan pan balance. Nilai yang diberikan di
sini berupa nominal dan akan berubah sesuai dengan kelembaban (Bennette et al.,
2003).
Beberapa kriteria dari filamen von Frey yaitu: a) Nilon monofilamen
bersifat hidrofilik sehingga akan dipengaruhi oleh kelembaban, sehingga sebaiknya
penilaian terhadap hewan coba dilakukan pada hari yang sama dengan kelompok
yang ingin dibandingkan, selain itu kelembaban udara sebaiknya diukur ketika
hendak melakukan pengukuran atau dilakukan kalibrasi terlebih dahulu dengan
menekan filamen pada pan balance. b) Perlu diperhatikan apakah ujung
monofilamen sumbing atau terdapat kerusakan oleh karena itu dapat dilakukan
pemotongan. c) Monofilamen ordinal 18 sampai 20 biasanya tidak digunakan
karena terlalu kaku sedangkan ordinal 1 sampai 3 sangat lemah sehingga hewan
coba model alodinia jarang memberi respon. Pada penelitian hewan coba biasanya
digunakan filamen von Frey nomor 4 sampai 17 (Bennette et al., 2003).
Top Related