13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep dan Definisi
2.1.1 Kemiskinan
1) Kemiskinan relatif
Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan
pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat
sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum
disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian
terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20 persen atau 40 persen
lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut
pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin.
Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi
pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini
berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita” (BPS RI, 2008).
Ketika negara menjadi lebih kaya (sejahtera), negara tersebut cenderung
merevisi garis kemiskinannya menjadi lebih tinggi. Dalam hal mengidentifikasi dan
menentukan sasaran penduduk miskin, maka garis kemiskinan relatif cukup untuk
digunakan, dan perlu disesuaikan terhadap tingkat pembangunan negara secara
keseluruhan. Garis kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan
tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat
kesejahteraan yang sama.
14
2) Kemiskinan absolut
Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk
mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan,
perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk
uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah
garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan
digolongkan sebagai penduduk miskin (BPS RI, 2008).
Garis kemiskinan absolut “tetap (tidak berubah)” dalam hal standar hidup,
garis kemiskinan absolut mampu membandingkan kemiskinan secara umum. Garis
kemiskinan Amerika Serikat tidak berubah dari tahun ke tahun, sehingga angka
kemiskinan sekarang mungkin terbanding dengan angka kemiskinan satu dekade
yang lalu, dengan catatan bahwa definisi kemiskinan tidak berubah.
Garis kemiskinan absolut sangat penting jika seseorang akan mencoba
menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu, atau memperkirakan
dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan (misalnya, pemberian kredit skala
kecil). Angka kemiskinan akan terbanding antara satu negara dengan negara lain
hanya jika garis kemiskinan absolut yang sama digunakan di kedua negara tersebut.
Bank Dunia memerlukan garis kemiskinan absolut agar dapat membandingkan
angka kemiskinan antar negara. Hal ini bermanfaat dalam menentukan kemana
menyalurkan sumber daya finansial (dana) yang ada, juga dalam menganalisis
kemajuan dalam memerangi kemiskinan.
15
Pada umumnya ada dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu: a)
US$1 perkapita per hari dimana diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia
yang hidup dibawah ukuran tersebut; b) US$2 perkapita per hari dimana lebih dari
2,8 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. US dollar yang
digunakan adalah US$ PPP (Purchasing Power Parity/Paritas Daya Beli). Kedua
batas ini adalah garis kemiskinan absolut (Todaro dan Smith, 2006). Angka Paritas
Daya Beli menunjukkan banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli
sejumlah kebutuhan barang dan jasa dimana jumlah yang sama tersebut dapat dibeli
seharga US$1 di Amerika. Berdasarkan hasil survei tahun 2005 oleh Bank Dunia
diperoleh konversi bahwa pada tahun 2012 angka US$1 PPP ekuivalen dengan
Rp.5.704,67,- di Indonesia.
2.1.2 Ketenagakerjaan
Konsep dan definisi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada
konsep ketenagakerjaan yang direkomendasikan oleh The International Labour
Organization (ILO). Konsep ini membagi penduduk menjadi dua kelompok, yaitu
penduduk usia kerja dan penduduk bukan usia kerja. Kelompok penduduk usia
kerja dibedakan lagi menjadi dua kelompok berdasarkan kegiatan utama yang
sedang dilakukannya, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Pendekatan
ketenagakerjaan tersebut menggunakan konsep Diagram Ketenagakerjaan seperti
yang terlihat dalam Gambar 2.1.
Definisi penduduk usia kerja adalah penduduk yang berusia 15 tahun ke
atas. Menurut kegiatannya penduduk usia kerja tersebut dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja dan penduduk
16
bukan angkatan kerja. Penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja adalah
penduduk usia kerja yang selama seminggu yang lalu mempunyai pekerjaan, baik
yang sedang bekerja maupun yang sementara tidak bekerja karena suatu hal seperti
sakit atau sedang cuti, dan penduduk yang mempunyai pekerjaan atau
mengharapkan dapat pekerjaan, sedangkan penduduk bukan angkatan kerja adalah
penduduk yang selama seminggu yang lalu hanya bersekolah, mengurus
rumahtangga, atau kegiatan lainnya dan tidak melakukan suatu kegiatan yang dapat
dimasukkan dalam kategori bekerja, sementara tidak bekerja, atau sedang mencari
pekerjaan.
Gambar 2.1
Diagram Ketenagakerjaan
Sumber: BPS RI, 2013
Bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh
atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan dan dilakukan paling
Usia Kerja
≥ 15 tahun
tahun)
Bukan
Usia Kerja
PENDUDUK
Angkatan
Kerja
Bukan Angkatan
Kerja
Lainnya Mengurus
Rumahtangga
Sekolah Pengangguran Bekerja
Sementara
Tidak Bekerja
Sedang
Bekerja
17
sedikit satu jam secara berturut-turut dan tidak terputus dalam seminggu terakhir.
Penghasilan atau keuntungan mencakup upah/gaji termasuk semua
tunjangan/bonus bagi pekerja/karyawan/pegawai dan hasil usaha berupa sewa atau
keuntungan. Kegiatan bekerja tersebut termasuk pula kegiatan pekerja tidak dibayar
yang membantu dalam suatu usaha atau kegiatan ekonomi.
Pekerja yang dikategorikan mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak
bekerja adalah seseorang yang mempunyai pekerjaan/usaha tetapi selama seminggu
yang lalu tidak bekerja karena suatu sebab seperti sakit, cuti, menunggu panen,
tugas belajar, atau mogok kerja. Pekerjaan bukan profesional, seperti pekerja
serabutan/bebas, tukang cangkul keliling, buruh tani, dan buruh lepas lainnya serta
pekerja keluarga yang sementara tidak ada pekerjaan atau tidak melakukan kegiatan
“bekerja” selama seminggu yang lalu tidak dikategorikan sebagai sementara tidak
bekerja.
Kelompok penduduk yang bekerja dan mencari pekerjaan digolongkan
sebagai penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi. Kemudian penduduk yang
sedang sekolah, mengurus rumahtangga, atau kegiatan lainnya digolongkan sebagai
penduduk usia kerja yang tidak aktif secara ekonomi. Gambaran penduduk usia
kerja yang aktif secara ekonomi dapat dilihat pada indikator tingkat partisipasi
angkatan kerja (TPAK).
2.2 Kajian Teori
2.2.1 Teori Kemiskinan Todaro dan Smith
Cakupan kemiskinan absolut menurut Todaro dan Smith (2006) adalah
sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup
18
untuk memenuhi kebutuhan dasar. Penduduk miskin hidup di bawah tingkat
pendapatan riil minimum tertentu atau di bawah “garis kemiskinan internasional”.
Garis tersebut tidak mengenal tapal batas antarnegara, tidak tergantung pada tingkat
pendapatan per kapita di suatu negara, dan juga memperhitungkan perbedaan
tingkat harga antarnegara dengan mengukur penduduk miskin sebagai orang yang
hidup kurang dari US$1 atau US$2 per hari dalam dolar PPP.
Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka, atau “hitungan per kepala
(headcount)”, H, untuk mengetahui seberapa banyak orang yang penghasilannya
berada di bawah garis kemiskinan absolut, Yp. Ketika hitungan per kepala tersebut
dianggap sebagai bagian dari populasi total, N, maka diperoleh indeks per kepala
(headcount index), H/N. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu
konstan secara riil, sehingga dapat ditelusuri kemajuan yang diperoleh dalam
menanggulangi kemiskinan pada level absolut sepanjang waktu.
Salah satu strategi praktis untuk menentukan garis kemiskinan lokal adalah
dengan menetapkan sekelompok makanan yang cukup, yang didasarkan atas
persyaratan nutrisi dari penelitian medis tentang kalori, protein, dan mikronutrien
yang dibutuhkan tubuh. Kemudian, dengan menggunakan data survei rumahtangga
lokal, maka dapat diidentifikasi sekelompok makanan yang biasa dibeli oleh
rumahtangga yang hampir memenuhi persyaratan nutrisi ini. Kemudian
ditambahkan pengeluaran-pengeluaran untuk kebutuhan dasar lain, seperti pakaian,
tempat tinggal, dan sarana kesehatan, untuk menentukan garis kemiskinan lokal.
Tergantung pada bagaimana kalkulasi ini dilakukan, garis kemiskinan yang
dihasilkan mungkin melebihi US$1 per hari dalam dolar PPP.
19
Menurut Todaro dan Smith (2006), perpaduan tingkat pendapatan per kapita
yang rendah dan distribusi pendapatan yang sangat tidak merata akan menghasilkan
kemiskinan absolut yang parah. Pada tingkat distribusi pendapatan tertentu,
semakin tinggi pendapatan per kapita yang ada, akan semakin rendah jumlah
kemiskinan absolut. Akan tetapi, tingginya tingkat pendapatan per kapita tidak
menjamin lebih rendahnya tingkat kemiskinan absolut.
Sebelum merumuskan program dan kebijakan-kebijakan yang efektif untuk
memerangi sumber-sumber kemiskinan, diperlukan pengetahuan yang lebih
mendalam mengenai siapa yang termasuk dalam kelompok miskin dan apa saja
karakteristik ekonomi kelompok miskin tersebut. Beberapa karakteristik ekonomi
kelompok masyarakat miskin yang digambarkan oleh Todaro dan Smith (2006)
adalah sebagai berikut.
1) Kemiskinan di Pedesaan
Salah satu generalisasi yang terbilang paling valid mengenai penduduk
miskin adalah pada umumnya bertempat tinggal di daerah-daerah pedesaan, dengan
mata pencaharian pokok di bidang-bidang pertanian dan kegiatan-kegiatan lainnya
yang erat hubungannya dengan sektor ekonomi tradisional (biasanya dilakukan
secara bersama-sama), kebanyakan perempuan dan anak-anak daripada laki-laki
dewasa, dan sering terkonsentrasi di antara kelompok etnis minoritas dan penduduk
pribumi.
Sekitar dua pertiga penduduk miskin di negara-negara berkembang masih
menggantungkan hidup pada pola pertanian yang subsisten, baik sebagai petani
kecil atau buruh tani yang berpenghasilan rendah. Selanjutnya, sepertiga penduduk
20
miskin lainnya kebanyakan juga tinggal di pedesaan dan hanya mengandalkan
hidupnya dari usaha jasa kecil-kecilan, dan sebagian lagi tinggal di daerah-daerah
sekitar atau pinggiran kota atau kampung-kampung kumuh di pusat kota dengan
berbagai macam mata pencaharian seperti pedagang asongan, pedagang kaki lima,
kuli kasar, atau berdagang kecil-kecilan. Karena sebagian besar penduduk miskin
tinggal di daerah pedesaan, maka setiap kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk
menanggulangi kemiskinan seharusnya sebagian besar ditujukan ke program-
program pembangunan pedesaan pada umumnya dan melalui pembenahan sektor-
sektor pertanian pada khususnya.
2) Kaum Perempuan dan Kemiskinan
Mayoritas penduduk miskin di dunia adalah kaum perempuan. Jika
dibandingkan standar hidup penduduk termiskin di berbagai negara-negara
berkembang, akan terungkap fakta bahwa hampir di semua tempat, yang paling
menderita adalah kaum perempuan beserta anak-anak. Banyaknya perempuan yang
menjadi kepala rumahtangga, rendahnya kesempatan dan kapasitas perempuan
dalam memiliki pendapatan sendiri, serta terbatasnya kontrol perempuan terhadap
penghasilan suami, merupakan sebab-sebab pokok atas terjadinya fenomena yang
sangat memprihatinkan tersebut. Selain itu, akses kaum perempuan ternyata juga
sangat terbatas untuk memperoleh kesempatan menikmati pendidikan, pekerjaan
yang layak di sektor formal, berbagai tunjangan sosial, dan program-program
penciptaan lapangan kerja yang dilancarkan oleh pemerintah. Kenyataan ini turut
mempersempit sumber-sumber keuangan bagi perempuan, sehingga posisi
perempuan secara finansial kurang stabil apabila dibandingkan dengan laki-laki.
21
Sebagian dari disparitas atau kesenjangan pendapatan antara keluarga-
keluarga yang dikepalai oleh laki-laki dan perempuan bersumber dari adanya
perbedaan pendapatan yang sangat besar antara laki-laki dan perempuan. Selain
upah buruh perempuan biasanya lebih rendah (meskipun beban kerjanya sama),
perempuan juga sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang berupah tinggi. Di daerah
perkotaan-perkotaan sekalipun, kaum perempuan lebih sulit mendapatkan
pekerjaan formal di perusahaan-perusahaan swasta maupun di lembaga-lembaga
pemerintahan. Akibatnya, perempuan terpaksa terkungkung dalam bidang-bidang
kerja yang berpenghasilan atau yang berproduktivitas rendah. Di pedesaan,
situasinya sama sekali tidak lebih baik; kaum perempuan juga sulit mendapatkan
pekerjaan yang memberinya sejumlah penghasilan secara tetap.
Tingkat pendapatan rumahtangga (household income) merupakan indikator
yang tidak bisa diandalkan untuk mengukur tinggi atau rendahnya kesejahteraan
seseorang karena distribusi pendapatan di dalam keluarga tersebut juga berbeda-
beda. Lebih dari itu, sesungguhnya status ekonomi dari kaum perempuan di
kalangan miskin tersebut merupakan sebuah indikator yang lebih baik, karena lebih
mampu mencerminkan sejauh mana tingkat kesejahteraan yang ada pada diri kaum
perempuan dan anak-anak. Berbagai penelitian tentang alokasi sumber daya dalam
setiap rumahtangga menunjukkan secara jelas bahwa di banyak kawasan di dunia,
kecukupan gizi, pelayanan kesehatan, taraf pendidikan, dan warisan yang diterima
oleh perempuan lebih rendah daripada yang dinikmati oleh kaum laki-laki.
Bias-bias internal atau ketimpangan distribusi pendapatan dalam masing-
masing rumahtangga ini banyak dipengaruhi oleh status ekonomi kaum perempuan.
22
Berbagai penelitian mendapati bahwa seandainya sumbangan finansial perempuan
di suatu keluarga meningkat atau relatif lebih tinggi, maka diskriminasi yang
berlangsung terhadap anak-anak perempuan akan lebih rendah, dan kaum
perempuan pun lebih mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri dan juga
kebutuhan anak-anaknya. Jika pendapatan di keluarga tersebut sangat rendah, maka
boleh dikatakan seluruh hasil kerja atau pendapatan sang ibu akan dihabiskan hanya
untuk memenuhi kebutuhan pangan dan kecukupan gizi yang dibutuhkan. Akan
tetapi, apabila yang bertambah adalah penghasilan sang bapak atau suami, maka
bagian penghasilan keluarga yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan gizi
keluarga tidak akan bertambah terlalu banyak.
Kontrol kaum perempuan terhadap penghasilan atau sumber daya keluarga
juga relatif masih sangat terbatas karena sejumlah alasan. Alasan yang paling utama
adalah kenyataan bahwa sebagian besar pekerjaan yang dilakukan oleh kaum
perempuan tidak memberikan imbalan uang, misalnya mencari kayu bakar di hutan
dan memasak, dan bahkan kadang pekerjaan tersebut tidak berwujud, seperti
kegiatan mengasuh anak. Selain itu, apabila seorang perempuan bekerja di ladang
atau melakukan kegiatan usaha milik keluarga, perempuan tidak mendapatkan
upah. Ini belum termasuk kaum perempuan yang bekerja paruh waktu dalam
kegiatan-kegiatan usaha keluarga.
Kaum lelaki yang menjadi kepala keluarga praktis mengendalikan seluruh
hasil panen, termasuk uang hasil penjualannya, meskipun sebenarnya panen itu
tercipta antara lain berkat kerja keras istrinya. Dalam banyak budaya, partisipasi
kaum perempuan secara signifikan dalam penghasilan rumahtangga kurang bisa
23
diterima secara sosial, dan karenanya hasil karya kaum perempuan tetap tidak
nampak atau kurang diperhatikan. Hal ini merupakan faktor-faktor yang
mengakibatkan terus bertahannya status ekonomi perempuan yang rendah, yang
selanjutnya semakin membatasi kontrol perempuan terhadap tingkat penghasilan
atau sumber-sumber daya ekonomi keluarga.
Kebijakan-kebijakan pembangunan yang diberlakukan di negara-negara
berkembang acap kali juga turut memperlebar jurang kesenjangan produktivitas
antara kaum laki-laki dan perempuan, dan dengan sendirinya akan memperburuk
ketimpangan pendapatan antara keduanya, sekaligus memperparah status ekonomi
kaum perempuan di dalam rumahtangganya. Mengingat program-program
pengentasan kemiskinan yang dijalankan oleh pemerintah selama ini lebih tertuju
kepada kaum laki-laki saja, maka berbagai bentuk ketimpangan yang diderita oleh
kaum perempuan cenderung semakin parah.
Di daerah perkotaan, program pelatihan yang diadakan untuk meningkatkan
potensi warga dalam memperoleh penghasilan dan kesempatan kerja di sektor
formal juga lebih banyak ditujukan untuk kaum laki-laki. Sementara itu, program-
program ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian juga lebih terarah kepada jenis-
jenis tanaman yang biasa ditangani oleh kaum laki-laki saja. Sejumlah penelitian
mengungkapkan bahwa upaya-upaya pembangunan seperti itu bukan hanya akan
meningkatkan beban kerja kaum perempuan, tetapi juga mengurangi sumber-
sumber daya rumahtangga yang ada di bawah kontrol perempuan. Sebagai
konsekuensinya, posisi ekonomi dari kaum perempuan dan anak-anak yang
menjadi tanggungannya menjadi semakin rentan.
24
Kenyataan bahwa kesejahteraan perempuan dan anak-anak sangat
dipengaruhi oleh rancangan kebijakan ekonomi pemerintah yang menggarisbawahi
pentingnya memasukkan kaum perempuan ke dalam berbagai program
pembangunan. Guna memperbaiki taraf hidup penduduk termiskin, peran ekonomi
kaum perempuan harus diperhitungkan. Bertolak dari hal tersebut, maka
peningkatan kesejahteraan keluarga hanya bisa diharapkan setelah adanya program-
program pembangunan yang secara nyata akan mampu meningkatkan partisipasi
kaum perempuan dalam pendidikan dan pelatihan, penciptaan lapangan kerja di
sektor formal, serta dalam pengembangan pertanian. Pemerintah juga dituntut untuk
membuka akses yang sama besar kepada kaum perempuan dalam program-program
pendidikan, bidang pelayanan sosial, penyediaan kesempatan kerja, dan
kesejahteraan sosial. Sektor-sektor lapangan kerja informal, dimana kaum
perempuan banyak berkiprah, juga perlu dilegalisasikan agar status ekonomi kaum
perempuan benar-benar terangkat.
Konsekuensi atas rendahnya status ekonomi kaum perempuan, baik secara
relatif maupun absolut, mengandung berbagai implikasi etis dan ekonomi berjangka
panjang. Setiap proses pertumbuhan ekonomi yang gagal memperbaiki kondisi
kesejahteraan perempuan dan anak-anak, berarti telah gagal pula mencapai salah
satu dari tujuan-tujuan utama pembangunan. Dalam jangka panjang, rendahnya
status ekonomi kaum perempuan tersebut pada gilirannya akan memperlambat laju
pertumbuhan ekonomi nasional. Kaitan ini tidaklah mengherankan, jika diingat
bahwasanya kondisi kesejahteraan dan tingkat pendidikan anak-anak sangat
25
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan serta kondisi kesejahteraan sang ibu, bukannya
sang ayah.
Investasi sumber daya manusia hanya akan berhasil diteruskan ke generasi
mendatang jika menyertakan upaya-upaya perbaikan status dan kesejahteraan kaum
perempuan ke dalam proses pertumbuhan. Karena sumber daya manusia itu sendiri
mungkin merupakan syarat terpenting bagi terciptanya proses pertumbuhan yang
berkesinambungan, maka pendidikan dan upaya-upaya peningkatan kesejahteraan
serta status ekonomi kaum perempuan jelas merupakan suatu faktor yang sangat
penting demi tercapainya berbagai tujuan pembangunan jangka panjang.
3) Etnik Minoritas, Penduduk Pribumi, dan Kemiskinan
Generalisasi terakhir dari situasi kemiskinan di negara-negara berkembang
adalah bahwa kemiskinan banyak diderita oleh etnik minoritas dan penduduk
pribumi. Sekitar 40 persen dari seluruh negara-negara di dunia ini memiliki lebih
dari lima etnik, salah satu diantaranya sering kali mengalami berbagai bentuk
diskriminasi sosial, politik, maupun ekonomi yang serius. Dalam beberapa tahun
terakhir ini, konflik-konflik domestik dan bahkan perang saudara bersumber dari
persepsi memperebutkan sumber daya dan lapangan kerja yang terbatas.
Meskipun data rinci mengenai kemiskinan relatif yang diderita oleh etnik
minoritas dan penduduk pribumi sulit diperoleh (karena pertimbangan-
pertimbangan politik, hanya sedikit sekali negara yang bersedia mengangkat
masalah ini), para peneliti kini mulai berhasil mengumpulkan data-data tentang
penduduk pribumi di Amerika Latin. Hasilnya secara jelas menunjukkan bahwa
sebagian besar penduduk pribumi itu sangat miskin dan mengalami malnutrisi, buta
26
huruf, hidup dalam lingkungan kesehatan yang buruk, serta menganggur. Sebagai
contoh, para peneliti menemukan bahwa di Meksiko, lebih dari 80 persen penduduk
pribuminya adalah kaum miskin, padahal hanya 18 persen dari penduduk
nonpribumi di negara itu yang masih bergulat dengan kemiskinan.
2.2.2 Perempuan dan Kemiskinan
Tiga pendekatan kemiskinan dapat digunakan untuk menjelaskan penyebab
kemiskinan di kalangan perempuan. Ketiga pendekatan tersebut adalah pendekatan
kultural, struktural, dan alamiah. Secara kultural, sebagian masyarakat Indonesia
masih dipengaruhi secara kuat oleh budaya tradisional yang berideologi patriarki.
Ketimpangan struktural berupa keterbatasan kaum perempuan untuk memperoleh
akses ekonomi (misalnya bekerja untuk memperoleh penghasilan, bukan sekedar
menjalankan peran sebagai ibu rumahtangga), berorganisasi, dan sebagainya masih
berlaku. Kemiskinan struktural berakses pada timbulnya kemiskinan kultural,
dalam bentuk rendahnya pendidikan dan keterampilan sebagian besar perempuan,
terutama di perdesaan. Kemiskinan alamiah menjelaskan adanya sebagian kaum
perempuan yang bersikap pasrah terhadap posisi dirinya dalam kehidupan
rumahtangga dan masyarakat, karena kaum perempuan menganggap demikianlah
kodrat sebagai seorang perempuan. Fenomena kemiskinan alamiah ini tidak hanya
dijumpai pada masyarakat perdesaan, melainkan juga di perkotaan (Susiana, 2009).
Cahyono dalam Susiana (2009) menyatakan bahwa kemiskinan perempuan
juga dapat ditelaah melalui dua hal. Pertama, perspektif ekonomi. Kemiskinan dan
pemiskinan perempuan secara jelas terlihat dari sektor ekonomi. Perempuan yang
hidup dalam kemiskinan selalu kesulitan untuk mendapatkan akses sumber daya
27
ekonomi. Untuk bekerja kaum perempuan tidak diakui dan dihargai. Dalam bekerja
pun, perempuan mendapat upah jauh lebih rendah dari apa yang diperoleh laki-laki.
Seorang perempuan yang turut mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga, atau yang menjadi kepala keluarga dari kelompok miskin, lebih miskin
dibandingkan laki-laki dari kategori sama. Secara adil harus diakui perempuan dari
berbagai belahan dunia memiliki jam kerja sekitar 30-50 persen lebih panjang
daripada laki-laki untuk pekerjaan yang dibayar maupun tidak dibayar,
dibandingkan dengan laki-laki pada usia yang sama.
Kedua, perspektif politik. Dalam dimensi ini, perempuan tidak terwakili
secara proporsional di antara kelompok miskin dan tidak memiliki kekuasaan.
Kemiskinan perempuan ini antara lain kerentanan hidup (vulnerability),
kesempatan dan suara (voicelessness and powerlessness), serta didukung
pemerintah yang sangat bias gender (male-biased governance systems). Dimensi
kemiskinan gender, yaitu bias gender, mudah ditemui dalam kebijakan struktural,
perbedaan efek kebijakan, dan dana yang tidak memadai untuk mendukung
kebijakan yang memihak kaum perempuan.
Menurut Hastuti (2007), dalam rumahtangga miskin dengan suami yang
dikontruksi sebagai kepala rumahtangga dan pencari nafkah utama, perempuan
akan berusaha mengalah karena ketergantungan secara ekonomi perempuan
terhadap suami. Terhadap anak-anak, perempuan akan cenderung mengalah karena
besar harapan perempuan untuk masa depan yang lebih baik bagi anak-anaknya.
Perempuan yang harus hidup dalam kemiskinan akan berupaya sekuat tenaga agar
seluruh anggota rumahtangganya tidak merasakan dampaknya. Usaha yang
28
dilakukan perempuan antara lain dengan bekerja meskipun dengan upah yang
rendah bahkan cenderung bekerja tidak berupah.
Menurut Antari (2008), perempuan memiliki potensi besar dalam
berkontribusi pada pendapatan keluarga. Hal ini karena perempuan juga
mempunyai kemampuan untuk bekerja di sektor publik. Selain fleksibilitas dan
kemampuan perempuan dalam beradaptasi saat krisis ekonomi, perempuan lebih
mempunyai inisiatif untuk menggantikan suaminya dalam mencari penghasilan
yang menghadapi pemutusan hubungan kerja. Oleh karena itu, salah satu strategi
yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kemiskinan adalah meningkatkan
pendapatan dengan melibatkan potensi yang ada pada perempuan dalam aktivitas
ekonomi.
Secara kualitatif perempuan perdesaan telah melakukan banyak pekerjaan
di sektor domestik maupun publik, tetapi perempuan masih terpinggirkan akibat
kebijakan bias gender. Keterbatasan modal yang dimiliki perempuan, keterbatasan
pendidikan, serta keterampilan memaksa perempuan harus bekerja dengan upah
sangat rendah. Perempuan semakin kesulitan untuk meningkatkan sumber daya
perempuan karena beban kerja yang harus ditanggung lebih berat, yaitu
menyelesaikan tugas utama di rumahtangga, membantu mencari nafkah, dan
melakukan kegiatan yang kurang memiliki nilai ekonomi (Hastuti, 2007).
2.2.3 Pendapatan dan Kemiskinan
Menurut Mahanani (2003), dalam konteks pemenuhan kebutuhan ekonomi
pada dasarnya peran ganda perempuan bukanlah suatu hal baru, khususnya
perempuan yang hidup di daerah perdesaan yang miskin. Bagi perempuan yang
29
hidup dalam keluarga miskin, peran ganda ini memang telah ditanamkan sejak dini,
yang membuat perempuan harus terlibat dalam kewajiban kerja untuk menambah
pendapatan keluarga.
Tingginya jumlah pekerja yang bekerja di sektor kurang produktif berakibat
pada rendahnya pendapatan sehingga tergolong miskin atau tergolong pada pekerja
dengan pendapatan yang rentan menjadi miskin (Kemenkokesra, 2005). Dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan keluarganya, perempuan merupakan salah satu
tulang punggung ekonomi yang turut menentukan tingkat pendapatan rumahtangga,
mengingat keterbatasan kemampuan kepala keluarga (suami) dalam memperoleh
pendapatan untuk membiayai hidup dan biaya pendidikan anak-anaknya.
Dalam situasi dimana tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja
lebih rendah daripada laki-laki, menghapuskan hambatan bagi perempuan untuk
memasuki bursa kerja dan menciptakan peluang yang sama bagi perempuan dan
laki-laki untuk berpartisipasi dapat menjadi cara yang efektif dalam menurunkan
kemiskinan. Dengan dua orang pencari nafkah daripada hanya satu orang dalam
satu rumahtangga, penghasilan yang diperlukan dari tiap anggota rumahtangga
yang bekerja untuk mengangkat rumahtangga tersebut keluar dari kemiskinan
menjadi jauh lebih rendah (Kantor Perburuhan Internasional, 2010).
2.2.4 Jam Kerja dan Kemiskinan
Jumlah jam kerja memberi dampak pada kesehatan dan kesejahteraan
pekerja dan juga terhadap tingkat produktivitas dan biaya tenaga kerja (labour
cost). Mengukur tingkat dan perkembangan jumlah jam kerja secara berkelompok
maupun individual merupakan hal penting untuk memantau kondisi
30
pekerjaan/kehidupan pekerja dan untuk menganalisis perkembangan ekonomi suatu
negara atau wilayah (BPS RI, 2007).
Menurut Noerdin (2006), alokasi waktu atau jam kerja perempuan lebih
panjang dibandingkan laki-laki, tetapi secara ekonomi penghasilan laki-laki lebih
tinggi dari perempuan. Hal ini terjadi karena perempuan bertanggungjawab atas
pekerjaan produktif, reproduktif, dan fungsi-fungsi sosial di komunitas. Dalam
bidang ekonomi, pekerjaan produktif yang dikerjakan oleh laki-laki dianggap
sebagai “pekerjaan” karena dibayar dan menghasilkan materi (uang) dan memiliki
jam kerja yang jelas. Sementara itu, pekerjaan domestik yang dilakukan oleh
perempuan tidak dikatakan sebagai pekerjaan karena tidak dibayar dan tidak
menghasilkan materi, serta memiliki jam kerja yang tidak terbatas karena
dikerjakan sepanjang waktu.
2.2.5 Lapangan Pekerjaan dan Kemiskinan
Salah satu karakteristik ketenagakerjaan yang dapat menggambarkan
adanya perbedaan antara rumahtangga miskin dan tidak miskin adalah lapangan
usaha atau sektor yang menjadi sumber penghasilan utama rumahtangga. Sumber
penghasilan utama rumahtangga menjadi salah satu indikator tingkat kesejahteraan
yang diharapkan dapat mencerminkan kondisi sosial ekonomi suatu rumahtangga.
Profil orang miskin seringkali melekat pada orang yang bekerja di sektor pertanian,
seperti petani gurem, nelayan, buruh tani dan perkebunan, serta pencari kayu dan
madu di hutan (BPS RI, 2008).
Perempuan yang bekerja di perusahaan pertanian biasanya terikat dengan
upah yang sangat rendah. Dalam rangka meningkatkan pendapatan dan partisipasi
31
perempuan dalam sektor pertanian, strategi pekerjaan dan investasi perdesaan harus
ditujukan pada perempuan dan memberikan perhatian yang lebih besar pada
perusahaan, termasuk dampak dari strategi pekerjaan dan investasi baru tersebut
terhadap peran dan status perempuan baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang (Suda, 2002).
2.2.6 Status Pekerjaan dan Kemiskinan
Status pekerjaan juga dapat menjadi salah satu indikator yang dapat
mencerminkan tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga. Ada indikasi kuat bahwa
pekerja yang berstatus sebagai pengusaha akan memiliki tingkat kesejahteraan yang
lebih tinggi dibandingkan pekerja yang hanya berstatus sebagai buruh/karyawan/
pegawai (BPS RI, 2008). Banyaknya perempuan yang bekerja di sektor informal
menjelaskan berbagai hal, seperti ketidakmampuan sektor formal untuk
memperluas lapangan pekerjaan dan menyerap angkatan kerja yang terus
meningkat, penggunaan teknologi yang sederhana, ketidakcukupan pendidikan dan
keahlian perempuan, mudah untuk keluar masuk pasar, modal yang rendah, dan
relatif sesuai dengan sektor informal dan pekerjaan rumahtangga (Suda, 2002).
Buvinic (1997) menyatakan mayoritas perempuan menerima upah yang
rendah dalam bekerja karena adanya diskriminasi antara upah dan pekerjaan.
Contohnya di Honduras, pengusaha kopi dan tembakau lebih memilih
mempekerjakan perempuan sebagai buruh karena perempuan bersedia menerima
upah yang rendah. Terutama di negara miskin, pekerja perempuan merupakan
pekerja yang paling dicari untuk posisi dengan upah rendah, sektor pertanian,
32
industri skala mikro, pabrik tidak berbadan hukum, dan industri agrobisnis yang
membayar pekerja secara musiman atau paruh waktu.
2.2.7 Daerah Tempat Tinggal dan Kemiskinan
Berdasarkan daerah tempat tinggal penduduk miskin, maka kemiskinan
dibagi menjadi kemiskinan perdesaan (rural poverty) dan kemiskinan perkotaan
(urban poverty). Jika kemiskinan perdesaan cenderung merupakan kemiskinan
struktural dan kemiskinan kultural, maka kemiskinan perkotaan dapat didefinisikan
sebagai kemiskinan yang diakibatkan oleh berbagai dimensi (multi dimensi).
Kemiskinan kota mempunyai warna tersendiri bila dibandingkan dengan
kemiskinan desa, karena kompleksitas kemiskinan kota yang terdapat pada individu
atau kelompok masyarakat miskin di kota lebih tinggi dibandingkan dengan
kemiskinan desa (BPS RI, 2007).
Malik dkk (2012) menyatakan bahwa kemiskinan perdesaan tidak selalu
dapat dipahami karena masyarakat miskin di kota lebih terlihat daripada masyarakat
miskin di desa. Di perdesaaan, kemiskinan sering dikatakan sebagai aspek
multidimensional dari segi ekonomi, sosial, dan demografi. Kemiskinan di daerah
perdesaan secara substansial cenderung lebih tinggi daripada di daerah perkotaan.
Banyak daerah di Pakistan yang dapat dijadikan tempat penelitian untuk merancang
dan mengimplementasikan kebijakan pro-poor dalam mengurangi kemiskinan.
Menurut Ogujiuba dkk (2011), generalisasi paling valid tentang masyarakat
miskin adalah penduduk yang bertempat tinggal di perdesaan, dimana aktivitas
utamanya di sektor pertanian, yang lebih banyak terdapat perempuan dan anak kecil
dibandingkan laki-laki, serta sering terpusat pada etnis minoritas dan pribumi.
33
Sebagai contoh, hampir sekitar dua pertiga dari masyarakat miskin
menggantungkan hidupnya pada pertanian subsisten yang berskala kecil atau
sebagai pekerja dengan upah rendah.
2.2.8 Jumlah Anggota Rumahtangga dan Kemiskinan
Rumahtangga miskin cenderung mempunyai jumlah anggota rumahtangga
yang lebih banyak dibandingkan rumahtangga tidak miskin, karena rumahtangga
miskin cenderung mempunyai tingkat kelahiran yang tinggi. Tingkat kematian anak
pada rumahtangga miskin juga relatif tinggi akibat kurangnya pendapatan dan akses
kesehatan serta pemenuhan gizi anak. Dengan demikian jumlah anggota
rumahtangga yang besar dapat menghambat peningkatan sumber daya manusia
masa depan (BPS RI, 2008).
Rata-rata jumlah anggota rumahtangga miskin sekitar satu orang lebih
banyak dibanding rumahtangga yang tidak miskin, baik di wilayah perkotaan
maupun pedesaan. Hubungan jumlah anggota rumahtangga yang besar dengan
kemiskinan bersifat saling memperkuat. Di satu sisi, rumahtangga miskin
cenderung mempunyai anak lebih banyak. Hal itu tidak lepas dari anggapan bahwa
anak adalah jaminan masa depan bagi si orang tua. Di sisi lain, rumahtangga dengan
jumlah anak yang lebih banyak cenderung menjadi miskin karena untuk suatu
tingkat pendapatan tertentu harus dipakai untuk menghidupi lebih banyak anggota
rumahtangga (TNP2K, 2010).
2.2.9 Tingkat Pendidikan dan Kemiskinan
Hubungan antara kemiskinan dan pendidikan sangat penting, karena
pendidikan sangat berperan dalam mempengaruhi angka kemiskinan. Orang yang
34
berpendidikan lebih baik akan mempunyai peluang yang lebih rendah menjadi
miskin. Menurut Ustama (2009), dengan pendidikan yang baik setiap orang
memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan, mempunyai pilihan untuk mendapat
pekerjaan, dan menjadi lebih produktif sehingga dapat meningkatkan pendapatan.
Dengan demikian pendidikan dapat memutus mata rantai kemiskinan dan
menghilangkan eksklusi sosial, untuk kemudian meningkatkan kualitas hidup dan
mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan membangun landasan pendidikan yang kokoh diharapkan dapat
melahirkan SDM yang berkualitas, sehingga dapat membantu menyelesaikan
permasalahan utama bangsa. Pendidikan dapat menjadi landasan kuat bagi dua pilar
utama penanggulangan kemiskinan yaitu: 1) pertumbuhan ekonomi berkelanjutan
yang berpihak pada kaum miskin, dan 2) pembangunan sosial yang berorientasi
pada kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi memerlukan dan harus
ditopang dengan tenaga kerja terdidik, yang punya pengetahuan dan keterampilan,
serta menguasai teknologi untuk meningkatkan produktivitas.
2.3 Keaslian Penelitian
Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang membahas mengenai
kemiskinan perempuan dan peran perempuan bekerja dalam mengurangi
kemiskinan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh
variabel ekonomi dan sosial demografi terhadap status ekonomi perempuan di
Kabupaten Jembrana. Penelitian Usman dkk (2006) menghasilkan bahwa faktor
determinan kemiskinan pada karakteristik rumahtangga dan individu relatif tidak
berubah. Variabel yang dapat menambah kemiskinan adalah jumlah anggota
35
rumahtangga, kepala keluarga sebagai buruh tani dan kepala keluarga bekerja di
bidang pertanian. Variabel yang dapat mengurangi kemiskinan adalah kepala
rumahtangga yang bekerja, kepemilikan aset lahan pertanian, dan jumlah tahun
bersekolah seluruh anggota keluarga.
Penelitian Arjani (2007) menyimpulkan bahwa sampai saat ini jumlah
penduduk miskin yang ada di Bali masih cukup tinggi dan kondisi kemiskinan ini
lebih banyak dialami dan dirasakan oleh kaum perempuan. Kemiskinan yang
dialami oleh kaum perempuan tidak hanya kemiskinan ekonomis, tetapi juga
kemiskinan multidimensional seperti keterbatasan akses terhadap pendidikan,
politik, ekonomi, informasi, kesehatan, dan lain-lain. Kemiskinan yang dialami
oleh perempuan bersifat spesifik sehingga diperlukan penanganan yang khusus
seperti halnya pendekatan penanggulangan kemiskinan yang berperspektif gender.
Antari (2008) melakukan penelitian di Kota Denpasar dengan menggunakan
teknik Analisis Regresi Berganda menghasilkan bahwa faktor umur, tingkat
pendidikan, jam kerja, jumlah anggota rumahtangga, dan modal finansial secara
simultan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan perempuan miskin. Jam kerja
dan modal finansial memberikan dampak dan pengaruh yang positif terhadap
pendapatan perempuan miskin, sedangkan umur, tingkat pendidikan, dan jumlah
anggota rumahtangga tidak berpengaruh secara parsial terhadap pendapatan
perempuan miskin. Sementara Astutie dkk (2008) melakukan penelitian di Kota
Tegal dengan menggunakan Metode Wawancara Mendalam, menghasilkan bahwa
peran wanita pesisir yang bekerja dalam mengatasi kemiskinan masyarakat jelas
terlihat. Perempuan pesisir hampir seluruhnya bekerja untuk menambah
36
penghasilan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi rumahtangga. Dengan demikian
maka perempuan pesisir yang bekerja secara langsung dapat mengurangi
kemiskinan pada masyarakat pesisir, baik yang disebabkan oleh kemiskinan
struktural maupun kemiskinan kultural.
Rahayu (2008) melakukan penelitian di Kabupaten Sleman dengan
menggunakan Analisis Deskriptif, Analisis Regresi dan Korelasi, menghasilkan
bahwa kontribusi pendapatan perempuan pekerja di sektor informal berperan besar
dalam peningkatan pendapatan keluarga di Kabupaten Sleman. Hubungan antara
tingkat pendidikan dengan pendapatan perempuan pekerja di sektor informal sangat
kecil dan tidak signifikan. Sebagian besar perempuan bekerja di sektor informal
dengan pendapatan per bulan di bawah Upah Minimum Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Kemudian Hastuti dan Respati (2009) melakukan penelitian di Lereng
Merapi Selatan dengan menggunakan Model Harvard, Model Moser, Model
SWOT, Model GAP dan Model Proba, menyimpulkan bahwa perempuan miskin
banyak melakukan kegiatan kerumahtanggaan dan non produktif. Dalam
kemiskinan perempuan kurang mendapat prioritas dalam peningkatan sumber daya
manusia sehingga semakin terperosok dalam ketidakberdayaan. Perempuan miskin
memiliki pendidikan dan pendapatan yang relatif rendah, kurang dilibatkan dalam
kegiatan produktif, memiliki akses dan kontrol yang rendah terhadap sumber daya
untuk meningkatkan pendapatan. Faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain
faktor ekonomi, kultural, sosial, dan geografi.
Penelitian Ustama (2009) menyimpulkan bahwa meskipun pemerataan dan
perluasan akses pendidikan tidak berhubungan langsung dengan tingkat
37
kesejahteraan seseorang, namun pendidikan merupakan salah satu alat mobilitas
vertikal terpenting. Pendidikan merupakan investasi dan kesempatan untuk
berkompetisi dalam memperoleh penghidupan yang lebih baik di masa depan dan
turut terlibat dalam proses pembangunan. Dengan pendidikan yang terprogram baik
dan menjangkau semua elemen target MDGs maka pendidikan menjadi instrumen
paling efektif untuk memotong mata rantai kemiskinan. Sementara itu penelitian
Kamar (2010) menyimpulkan bahwa perubahan untuk memerdekakan perempuan
tidak hanya dari satu sektor saja. Perubahan harus dilakukan dalam berbagai sektor,
mulai dari pemberdayaan ekonomi perempuan, pendidikan perempuan, serta iklim
dan tatanan sosial yang ramah terhadap perempuan. Pemberdayaan perempuan
menjadi penting untuk menekan angka kemiskinan karena pemberdayaan
merupakan proses yang pada saat bersamaan menjadi tujuan untuk membuka akses
perempuan ke keadilan.
Javed dan Asif (2011) melakukan penelitian di Pakistan dengan
menggunakan Analisis Regresi Logistik menghasilkan bahwa jumlah pendapatan,
jumlah konsumsi, dan status kepala rumahtangga berpengaruh signifikan terhadap
kemiskinan. Daerah tempat tinggal, tingkat pendidikan, dan jumlah pendapatan
berpengaruh negatif terhadap kemiskinan, sedangkan kepala rumahtangga
perempuan dan jumlah anggota rumahtangga berpengaruh positif terhadap
kemiskinan. Kemudian Budhi (2013) melakukan penelitian di Bali dengan
menggunakan metode Fixed Effect Model (FEM) menghasilkan bahwa variabel
jumlah penduduk, share pertanian dan share industri pengolahan berpengaruh
positif terhadap jumlah penduduk miskin, sedangkan PDRB dan share industri
38
berpengaruh negatif. Dalam usaha menurunkan jumlah penduduk miskin,
pemerintah harus memperluas kesempatan kerja, menciptakan pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas, dan membatasi kelahiran melalui penggalakan kembali
program Keluarga Berencana.
Penelitian Sudibia dan Marhaeni (2013) di Kabupaten Karangasem,
Provinsi Bali dengan menggunakan Analisis Deskriptif menyimpulkan bahwa
strategi kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan di Kabupaten Karangasem
adalah dengan menggunakan stategi kluster 1 dan strategi kluster 2. Strategi kluster
1 untuk keluarga yang benar-benar miskin, artinya pendapatannya sangat rendah
dan dengan pendidikan yang rendah pula, maka keluarga seperti ini harus dibantu
secara total untuk meningkatkan pendapatannya. Strategi kluster 2 untuk penduduk
miskin yang sebelumnya sebagai pekerja diarahkan untuk menjadi pengusaha
mandiri sehingga penghasilan dapat ditingkatkan.
Dari beberapa penelitian di atas, dapat diketahui bahwa perempuan yang
bekerja memiliki peranan dalam peningkatan pendapatan keluarga dan dapat
mengurangi kemiskinan dalam rumahtangga tersebut. Selain itu tingkat pendidikan
perempuan juga sangat penting untuk mengatasi masalah kemiskinan. Pekerja
perempuan yang bergerak di sektor informal dapat memberikan dampak yang
cukup positif terhadap pendapatan keluarga. Jumlah anggota rumahtangga dan
lapangan pekerjaan di bidang pertanian merupakan variabel yang dapat menambah
kemiskinan.
Persamaan penelitian ini dengan beberapa penelitian di atas adalah
penelitian ini menggunakan teknik Analisis Regresi Logistik karena variabel tidak
39
bebas yang digunakan memiliki skala nominal dengan dua kategori (miskin dan
tidak miskin). Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
variabel yang diambil dari beberapa penelitian sebelumnya, seperti daerah tempat
tinggal, jumlah anggota rumahtangga, tingkat pendidikan, pendapatan, jam kerja,
lapangan pekerjaan, dan status pekerjaan. Perbedaan penelitian ini dengan beberapa
penelitian sebelumnya adalah ukuran sampel, sumber data, lokasi penelitian, dan
variabel bebas yang digunakan secara simultan. Dari beberapa persamaan dan
perbedaan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah asli dan
belum pernah dilakukan sebelumnya.
Top Related