7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
Pembahasan kajian teori dalam penelitian ini berisi tentang hakikat
pembelajaran matematika, proses pembelajaran, hasil belajar, menyelesaikan soal
cerita matematika, dan model pembelajaran.
2.1.1 Hakikat Pembelajaran Matematika
Matematika merupakan buah pikir manusia yang kebenarannya bersifat
umum (deduktif). Kebenarannya tidak bergantung pada metode ilmiah yang
mengandung proses induktif, tetapi bersifat koheren. Berdasarkan hal tersebut,
beberapa ahli sangat berhati-hati untuk tidak menggunakan istilah “ilmu
matematika”.
Matematika sering dideskripsikan dengan cara yang berbeda-beda
tergantung dari sudut pandang mana yang dipakai. Berikut ini beberapa deskripsi
matematika yang sering digunakan:
a. Matematika sebagai struktur yang terorganisir.
b. Matematika sebagai alat.
c. Matematika sebagai pola pikir deduktif.
d. Matematika sebagai cara bernalar.
e. Matematika sebagai bahasa artifisial.
f. Matematika sebagai seni yang kreatif.
Dalam matematika sangat penting adanya abstraksi dan generalisasi.
Abstraksi adalah pemahaman melalui pengamatan tentang sifat-sifatyang dimiliki
dan tidak dimiliki dalam matematika. Sedangkan generalisasi adalah membuat
perkiraan berdasarkan pengetahuan yang dikembangkan melalui contoh-contoh
khusus.
Di dalam pembelajaran matematika, materi yang akan diajarkan harus
diperkenalkan terlebih dahulu konsep dasarnya sebagai prasyarat untuk dapat
mengikuti materi selanjutnya yang masih berkaitan dengan materi tersebut.
Brunner (dalam Hudoyo, 1988:56) mengatakan tentang belajar matematika
sebagai berikut: “Belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan
8
struktur-struktur matematika yang terdapat dalam materi-materi yang dipelajari
serta menjalankan hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur itu”.
Untuk mempelajari matematika diperlukan suatu kegiatan pembelajaran
yang dinamakan dengan pembelajaran matematika. Pembelajaran matematika
adalah proses interaksi antara guru dan siswa yang melibatkan pengembangan
pola berfikir dan mengolah logika pada suatu lingkungan belajar yang sengaja
diciptakan oleh guru dengan berbagai metode agar program belajar matematika
tumbuh dan berkembang secara optimal serta siswa dapat melakukan kegiatan
belajar secara efektif dan efisien.
Pembelajaran matematika menurut Russeffendi (1993:109) adalah suatu
kegiatan belajar mengajar yang sengaja dilakukan untuk memperoleh pengetahuan
dengan memanipulasi simbol-simbol dalam matematika sehingga menyebabkan
perubahan tingkah laku.
Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah proses yang
sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan yang
menyenangkan sehingga memungkinkan seseorang melaksanakan kegiatan belajar
matematika dengan baik.
Menurut Depdiknas (2004) tujuan pengajaran matematika di SD sebagai
berikut:
a. Menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung (menggunakan
bilangan sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari).
b. Menumbuhkan kemampuan siswayang dapat dialihgunakan melalui kegiatan
matematika.
c. Mengembangkan pengetahuan dasar matematika sebagai bekal belajar lebih
lanjut di Sekolah Menengah Pertama (SMP).
d. Membentuk sikap logis, kritis, cermat, kreatif, dan disiplin.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa siswa-siswa SD setelah
selesai mempelajari matematika bukan saja diharapkan memiliki sikap kritis,
jujur, cermat, serta cara berpikir logis dan rasional dalam menyelesaikan suatu
masalah, melainkan juga harus mampu menerapkan matematika dalam kehidupan
sehari-hari, serta memiliki pengetahuan matematika yang cukup kuat sebagai
9
bekal untuk mempelajari matematika lebih lanjut dan ilmu-ilmu lain. Tujuan akhir
pembelajaran matematika di sekolah yaitu agar siswa terampil dalam
menggunakan berbagai konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari”
(Heruman, 2007: 02).
Salah satu materi yang dibahas dalam matematika adalah persoalan
memecahkan soal cerita. Soal cerita adalah soal yang disajikan dalam bentuk
uraian atau cerita baik secara lisan maupun tulisan. Soal cerita wujudnya berupa
kalimat verbal sehari-hari yang makna dari konsep dan ungkapannya dapat
dinyatakan dalam simbol dan relasi matematika. Menyelesaikan soal cerita
diperlukan keterampilan dan kemampuan berpikir, sehingga siswa perlu ada
bimbingan dari guru baik secara lisan maupun tertulis dalam menyelesaikan soal
cerita. Apabila tanpa bimbingan maka akan menjadi masalah bagi siswa.
2.1.2 Proses Pembelajaran
Proses adalah serangkaian kegiatan yang saling terkait atau berinteraksi,
yang mengubah input menjadi output (id.wikipedia.org/wiki/Proses). (Gagne,
1977:4) dalam kutipan idsejarah.net, menjelaskan bahwa belajar merupakan
sebuah sistem yang di dalamnya terdapat berbagai unsur yang saling kait-mengait
sehingga menghasilkan perubahan perilaku. Jadi dapat disimpulkan bahwa proses
pembelajaran adalah suatu kegiatan di mana terjadi perubahan dalam diri peserta
didik baik berupa pengetahuan, keterampilan, ataupun sikap dan perilaku yang
dilakukan dengan interaksi antara peserta didik dan pendidik/guru dengan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar.
Terdapat 3 (tiga) faktor utama yang dapat mempengaruhi proses
pembelajaran di kelas, antara lain adalah faktor yang datang dari guru, peserta
didik, dan lingkungan. Faktor yang berasal dari guru antara lain: kondisi dalam
diri guru, kemampuan mengajar, dan kemampuan mengatur kondisi kelas. Faktor
yang berasal dari peserta didik dipengaruhi beragam aspek dari dalam diri peserta
didik dan lingkungan sekitarnya yang nantinya akan berdampak pada kesiapannya
dalam menerima pelajaran. Sedangkan faktor lingkungan yang mempengaruhi
proses pembelajaran di dalam kelas mencakup lingkungan kelas dan lingkungan
sekitar sekolah (idsejarah.net).
10
2.1.3 Hasil Belajar
Anni (2007: 5) menyebutkan bahwa “Hasil belajar merupakan perubahan
perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar”. Oleh
karena itu, hasil belajar dapat dilihat dari sikap, keterampilan, dan pengetahuan
yang dimiliki oleh pembelajar setelah mengalami proses belajar. Hasil belajar
mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran. Proses penilaian
terhadap hasil belajar dapat memberikan informasi kepada guru tentang kemajuan
siswa dalam upaya mencapai tujuan-tujuan belajarnya melalui kegiatan
pembelajaran. Selanjutnya dari informasi tersebut guru dapat menyusun dan
membina kegiatan-kegiatan siswa lebih lanjut.
Hasil belajar mengacu pada segala sesuatu yang menjadi milik siswa
sebagai akibat dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan (Hernawan, 2007:
10.20). Jenis-jenis hasil belajar menurut Bloom (dalam Hernawan, 2007: 10.29)
antara lain:
1. Kognitif, yaitu hasil belajar yang berkenaan dengan pengembangan
kemampuan otak dan penalaran siswa,
2. Afektif, yaitu hasil belajar mengacu pada sikap dan nilai yang diharapkan
dikuasai siswa setelah mengikuti pembelajaran
3. Psikomotor, yaitu hasil belajar yang mengacu pada kemampuan bertindak.
Hasil belajar merupakan hal penting yang dapat dijadikan sebagai tolak
ukur keberhasilan belajar siswa dan sejauh mana sistem pembelajaran yang
diberikan oleh guru berhasil atau tidak. Proses pembelajaran dapat dikatakan
berhasil jika indikator yang terdapat dalam kompetensi dasarnya tercapai. Untuk
mengetahui tercapai tidaknya tujuan tersebut dapat dilakukan tes. Melalui hasil tes
ini dapat diketahui keberhasilan siswa dalam belajar dan keberhasilan guru dalam
mengajar.
11
2.1.4 Menyelesaikan Soal Cerita Matematika
2.1.4.1 Pengertian Soal Cerita Matematika
Menurut Mardjuki (1999: 17), soal cerita matematika adalah soal
matematika yang disajikan dalam bahasa atau cerita berdasarkan pengalaman
dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Abidia (dalam Marsudi Raharjo, 2009: 2),
soal ceritaadalah soal yang disajikan dalam bentuk cerita pendek. Soal cerita
wujudnya berupa kalimat verbal sehari-hari yang makna dari konsep ungkapannya
dapat dinyatakan dalam simbol dan relasi matematika. Soal cerita merupakan
permasalahan yang dinyatakan dalam bentuk kalimat bermakna dan mudah
dipahami (Wijaya, 2008:14). Sedangkan Raharjo dan Astuti (2011:8) mengatakan
bahwa soal cerita yang terdapat dalam matematika merupakan persoalan-
persoalan yang terkait dengan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan
sehari-hari yang dapat dicari penyelesaiannya dengan menggunakan kalimat
matematika. Kalimat matematika yang dimaksud adalah kalimat matematika yang
memuat operasi hitung bilangan.
Soal cerita merupakan soal yang dapat disajikan dalam bentuk lisan
maupun tulisan, soal cerita yang berbentuk tulisan berupa sebuah kalimat yang
mengilustrasikan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari (Ashlock,2003:80). Soal
cerita yang diajarkan diambil dari hal-hal yang terjadi dalam kehidupan sekitar
dan pengalaman siswa. Di samping itu, soal cerita berguna untuk menerapkan
pengetahuan yang dimiliki oleh siswa sebelumnya. Penyelesaian soal cerita
merupakan kegiatan pemecahan masalah. Pemecahan masalah dalam suatu soal
ceritamatematika merupakan suatu proses yang berisikan langkah-langkah yang
benar dan logis untuk mendapatkan penyelesaian (Jonassen, 2004:8). Dalam
menyelesaikan suatu soal cerita matematika tidak sekedar memperoleh hasil
berupa jawaban dari hal yang ditanyakan, tetapi yang lebih penting adalah siswa
harus mengetahui dan memahami proses berpikir atau langkah-langkah untuk
mendapatkan jawaban tersebut.
12
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa soal cerita
matematika adalah soal matematika yang disajikan dalam bentuk cerita dan
berkaitan dengan keadaan yang dialami siswa dalam kehidupan sehari-hari yang
di dalamnya terkandung konsep matematika.
2.1.4.2 Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita
Ruseffendi (1992: 20) menyatakan bahwa:
“Jika siswa memahami soal cerita, berarti siswa tersebut
mengerti sesuatu, misalnya mampu mengubah informasi ke
dalam bentuk pernyataan yang lebih bermakna, dapat
memberikan interpretasi, mampu mengubah soal kata-kata ke
dalam bentuk simbol dan sebaliknya, mampu mengartikan suatu
kesamaan, mampu mengartikan suatu kecenderungan dari suatu
diagram dan sebagainya”.
Seorang siswa yang dihadapkan dengan soal cerita matematika harus
memahami langkah-langkah sistematik untuk menyelesaikan soal cerita
matematika. Haji (1992: 12) mengungkapkan bahwa untuk menyelesaikan soal
cerita dengan benar diperlukan beberapa kemampuan, yaitu kemampuan untuk:
a. Menentukan hal yang diketahui dalam soal.
b. Menentukan hal yang ditanyakan.
c. Membuat model matematika.
d. Melakukan perhitungan.
e. Menginterpretasikan jawaban model ke permasalahan semula.
Cooney (1975: 227-229) berpendapat bahwa ketidakmampuan siswa
dalam memahami soal matematika bentuk cerita adalah sebagai berikut:
a. Kurangnya pengetahuan tentang konsep-konsep, termasuk didalamnya arti
kata-kata atau istilah-istilah tertentu.
b. Ketidakmampuan menyatakan soal tersebut dengan kata-kata sendiri, termasuk
menyatakan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan serta prinsip
matematika yang menghubungkan apa yang diketahui dan apa yang
ditanyakan.
c. Kurangnya pengetahuan tentang prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk
menafsirkan cerita.
d. Ketidakmampuan menerapkan prinsip soal cerita.
13
Sedangkan kemampuan yang harus dimiliki siswa dalam menyelesaikan
soal cerita matematika adalah:
a. Kemampuan memahami masalah.
Dalam memahami masalah, siswa menuliskan apa yang diketahui dan apa yang
ditanyakan dari soal cerita.
b. Kemampuan membuat perencanaan.
Dalam membuat perencanaan, siswa membuat strategi ataumenentukan cara
untuk menyelesaikan soal cerita. Untuk langkah ini siswa menuliskan kalimat
matematika.
c. Kemampuan melaksanakan rencana.
Dalam melaksanakan rencana, siswa mengerjakan soal dengan cara yang telah
ditentukan sebelumnya, misalnya siswa menyelesaikan kalimat matematika.
d. Kemampuan menjawab pertanyaan.
Dapat menjawab pertanyaan soal cerita sesuai konteks masalah pada soal cerita
berdasarkan penyelesaian dari kalimat matematika.
Dari permasalahan di atas, maka langkah-langkah yang diperlukan untuk
menyelesaikan soal cerita adalah:
a. Membaca soal dengan cermat.
b. Menentukan hal yang diketahui dalam soal cerita.
c. Menentukan hal yang ditanyakan dalam soal cerita.
d. Membuat model/kalimat matematika.
e. Melakukan perhitungan (menyelesaikan kalimat matematika).
f. Menuliskan jawaban akhir sesuai dengan permintaan soal cerita.
2.1.5 Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan cara penyajian yang digunakan guru
dalam proses pembelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran. Dalam
pembelajaran, beberapa masalah sering dialami oleh guru. Untuk mengatasi
masalah-masalah dalam pembelajaran, maka perlu adanya model-model
pembelajaran yang dipandang dapat membantu guru dalam proses belajar
mengajar. Dalam mengajarkan suatu pokok bahasan (materi) tertentu harus dipilih
model pembelajaran yang paling sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Oleh
14
karena itu dalam memilih suatu model pembelajaran harus memiliki
pertimbangan-pertimbangan. Seperti: materi pelajaran, tingkat perkembangan
kognitif siswa, dan sarana atau fasilitas yang tersedia, sehingga tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan dapat tercapai.
Kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika mempunyai peranan
penting dalam kehidupan sehari-hari siswa. Untuk menyelesaikan masalah yang
ada siswa ditantang untuk kreatif dan memerlukan keaslian berpikir dalam
menyelesaikan masalah. Guru hendaknya menggunakan model pembelajaran yang
dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika. Model
pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita
matematika salah satunya adalah Creative Problem Solving. Selama pembelajaran
berlangsung guru bertindak sebagai fasilitator dan motivator, disamping
memberikan kemudahan (fasilitas) belajar kepada siswa dan siswa berinteraksi
dengan sumber-sumber belajar yang dapat mempermudah proses belajarnya. Jadi
dalam pembelajaran dengan model Creative Problem Solving, aktivitas siswa
mendominasi proses pembelajaran, atau pembelajaran berpusat pada siswa. Hal
ini selaras dengan saran Nasution (1995: 23) bahwa pengajaran modern
hendaknya mengutamakan aktivitas siswa. Demikian pula teori belajar Bruner,
yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah siswa belajar melalui keterlibatan
aktif dengan konsep dan prinsip-prinsip dalam memecahkan masalah, dan guru
berfungsi sebagai motivator bagi siswa dalam mendapatkan pengalaman yang
memungkinkan siswa menemukan dan memecahkan masalah. Hal tersebut
relevan dengan penjabaran implikasi teori kognitif Piaget yang antara lain
menyatakan bahwa dalam pembalajaran memusatkan perhatian kepada berpikir
atau proses mental peserta didik, mengutamakan peran peserta didik dalam
berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar mengajar
(Hidayat, 2005: 7).
Pada dasarnya, jika guru melaksanakan proses belajar mengajar dengan
menerapkan model pembelajaran yang berfokus pada aktifitas dan kreatifitas
siswa, maka siswa akan menjadi kritis. Menurut Myrmel (2003: 93) model
pembelajaran Creative Problem Solving membangkitkan kemampuan berpikir
15
secara kritis dan kreatif sehingga dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Menurut Yudianto (2003: 26) Creative Problem Solving merupakan teknik
sistematik dalam mengorganisasikan dan mengolah keterangan dan gagasan,
sehingga masalah dapat dipahami dan dipecahkan.
2.1.5.1 Model Pembelajaran Creative Problem Solving
Model pembelajaran Creative Problem Solving merupakan model
pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir tinggi
(Wiederhold dalam Suyitno, 2004:37; dalam http://leeva-news.com/260/model-
pembelajaran-creative-problem-solving-cps). Hal tersebut terjadi karena model
pembelajaran memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk
memecahkan masalah matematika dengan strateginya sendiri.
Model pembelajaran Creative Problem Solving merupakan suatu kegiatan
yang didesain guru dalam rangka memberi tantangan kepada siswa melalui
penugasan. Fungsi guru adalah memotivasi siswa agar mau menerima tantangan
dan membimbing siswa dalam proses pemecahan masalah. Masalah yang
diberikan kepada siswa harus masalah yang pemecahannya terjangkau oleh
kemampuan siswa. Masalah di luar jangkauan kemampuan siswa dapat
menurunkan motivasi siswa.
Model pembelajaran Creative Problem Solving adalah suatu model
pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan
memecahkan masalah, yang diikuti dengan penguatan keterampilan (Karen dalam
Cahyono, 2009: 3). Ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan/permasalahan,
siswa dapat melakukan keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan
mengembangkan tanggapannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa
dipikir, keterampilan memecahkan masalah memperluas proses berpikir (Pepkin
dalam Muslich M, 2007: 221).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
Creative Problem Solving cocok digunakan dalam peningkatan kemampuan
memecahkan masalah karena dalam model pembelajaran ini pengalaman
sebelumnya dalam menyelesaikan suatu masalah merupakan faktor yang penting
dalam menyelesaikan masalah baru yang berbeda, disamping faktor minat siswa.
16
Menurut Noller (Sujarwo, 2006), solusi kreatif sebagai upaya pemecahan
masalah yang dilakukan melalui sikap dan pola kritis kreatif, memiliki banyak
alternatif pemecahan masalah, memiliki ide baru dalam pemecahan masalah,
terbuka dalam perbaikan, menumbuhkan kepercayaan diri, keberanian
menyampaikan pendapat, berpikir divergen, dan fleksibel dalam upaya
pemecahan masalah. Dalam model pembelajaran Creative Problem Solving guru
berperan sebagai fasilitator, yaitu guru memberikan kesempatan secara luas
kepada siswa untuk berlatih belajar mandiri. Guru membantu memberikan
kemudahan bagi siswa dalam proses pembelajaran (Sujarwo, 2006).
2.1.5.2 Sintak Model Pembelajaran Creative Problem Solving
Adapun langkah-langkah dari model pembelajaran Creative Problem
Solving adalah sebagai berikut:
a. Klarifikasi masalah
Klarifikasi masalah meliputi pemberian penjelasan kepada siswa tentang
masalah yang diajukan, agar siswa dapat memahami tentang penyelesaian
seperti apa yang diharapkan.
b. Brainstorming/ Pengungkapan pendapat
Pada tahap ini siswa dibebaskan untuk mengungkapkan pendapat tentang
berbagai macam strategi penyelesaian masalah.
c. Evaluasi dan pemilihan
Pada tahap evaluasi dan pemilihan, setiap kelompok mendiskusikan
pendapat atau strategi mana yang cocok untuk menyelesaikan masalah.
d. Implementasi
Pada tahap ini siswa menentukaan strategi mana yang dapat diambil untuk
menyelesaikan masalah, kemudian menerapkannya sampai menemukan
penyelesaian dari masalah tersebut (Pepkin dalam Muslich M, 2007: 221).
Tahapan-tahapan Creative Problem Solving yang dikemukakan di atas
dapat melatih siswa untuk mengkomunikasikan ide matematisnya, berpikir kritis
untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, berpikir sistematis dan logis
sesuai data/fakta yang tersedia serta dapat melatih siswa untuk saling berinteraksi
satu sama lain.
17
Langkah-langkah pemecahan masalah menurut Solso (dalam Made Wena,
2008: 56) yakni:
a. Identifikasi permasalahan.
b. Representasi permasalahan.
c. Perencanaan pemecahan.
d. Menerapkan/ mengimplementasikan perencanaan.
e. Menilai perencanaan, dan
f. Menilai hasil pemecahan.
Berdasarkan beberapa langkah di atas, maka implementasi Creative
Problem Solving dalam pembelajaran matematika terdiri dari langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Kegiatan Awal
Guru menanyakan kesiapan siswa untuk mengikuti pelajaran, guru
mengulas kembali materi sebelumnya sebagai prasyarat pada materi saat ini
kemudian guru menjelaskan aturan main dalam pelaksanaan model pembelajaran
Creative Problem Solving serta memberi motivasi kepada siswa akan pentingnya
pembahasan materi melalui pembelajaran Creative Problem Solving.
2. Kegiatan Inti
Siswa membentuk kelompok kecil untuk melakukan small discussion.
Secara berkelompok, siswa memecahkan permasalahan yang disajikan sesuai
dengan petunjuk yang tersedia. Siswa mendapat bimbingan dan arahan dari guru
dalam memecahkan permasalahan (peranan guru dalam hal ini menciptakan
situasi yang dapat memudahkan munculnya pertanyaan dan mengarahkan
kegiatan brainstorming serta menumbuhkan situasi dan kondisi lingkungan yang
dihasilkan atas dasar interest siswa). Adapun penekanan dalam pendampingan
siswa dalam menyelesaikan permasalahan dengan sintak sebagai berikut:
a) Klarifikasi Masalah
Klarifikasi masalah meliputi pemberian penjelasan kepada siswa tentang
masalah yang diajukan agar siswa dapat memahami tentang penyelesaian seperti
apa yang diharapkan.
18
b) Brainstorming/ Pengungkapan pendapat
Pada tahap ini siswa dibebaskan untuk mengungkapkan pendapat tentang
berbagai macam strategi penyelesaian masalah, tidak ada sanggahan dalam
mengungkapan ide gagasan satu sama lain.
c) Evaluasi dan Seleksi
Pada tahap ini, setiap kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau
strategi-strategi mana yang cocok untuk menyelesaikan masalah.
d) Implementasi
Pada tahap ini, siswa menentukan strategi mana yang dapat diambil untuk
menyelesaikan masalah kemudian menerapkannya sampai menemukan
penyelesaian dari masalah tersebut.
3. Kegiatan Akhir
Dalam tahap ini, siswa bersama kelompoknya mempresentasikan hasil
kerjanya di depan kelas dengan menggunakan media sesuai dengan kreatifitasnya
untuk menyampaikan gagasannya dan mendapatkan saran dan kritik dari
kelompok lain sehingga diperoleh solusi yang optimal berkaitan dengan
pemecahan masalah. Kemudian guru bersama siswa menyimpulkan materi
pembelajaran ke arah matematika formal.
2.1.5.3 Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Creative Problem
Solving
Keungulan teknik ini adalah siswa akan belajar mengenai suatu konsep
dalam suasana yang menyenangkan dan teknik ini dapat digunakan dalam semua
mata pelajaran serta semua tingkatan usia anak didik, Lorna Curran dalam (Huda,
2011: 118). Dengan menerapkan model pembelajaran Creative Problem Solving
siswa diajak untuk aktif dan kreatif. Pembelajaran matematika menjadi lebih
menarik, siswa dapat menyukai pembelajaran Matematika, siswa lebih mudah
memahami isi materi yang di sampaikan oleh guru sehingga hasil belajar siswa
akan meningkat. Ada beberapa keunggulan model Creative Problem Solving
yaitu:
1. Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan.
2. Berpikir dan bertindak kreatif.
19
3. Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis.
4. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.
5. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.
6. Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi dengan tepat.
7. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan,
khususnya dunia kerja.
Selain memiliki kelebihan, model pembelajaran Creative Problem Solving
juga mempunyai kelemahan, yaitu sebagai berikut:
1. Memerlukan perencanaan yang teratur dan matang.
2. Tidak semua materi pelajaran mengandung masalah.
3. Tidak efektif jika terdapat beberapa siswa yang pasif.
4. Memerlukan cukup banyak waktu dan melibatkan lebih banyak orang.
2.1.5.4 Solusi untuk Kelemahan Model Pembelajaran Creative Problem Solving
Pada dasarnya model Creative Problem Solving adalah suatu metode
pembelajaran yang berpusat pada keterampilan pemecahan masalah yang diikuti
dengan penguatan kreativitas,tetapi masih ada beberapa kelemahan dari model
tersebut. Solusi untuk kelemahan-kelemahan model pembelajaran Creative
Problem Solving adalah sebagai berikut:
1. Problem yang diajukan hendaknya benar-benar sesuai dengan tingkat
perkembangan dan kemampuan murid.
2. Para murid hendaknya terlebih dahulu diberikan penjelasan tentang maksud
dan tujuan serta cara-cara memecahkan masalah yang dimaksud.
3. Masalah-masalah yang harus dipecahkan hendaknya bersifat aktual dan erat
hubungannya dengan kehidupan masyarakat, sehingga menimbulkan motivasi
dan minat belajar para murid.
4. Disamping bimbingan guru secara continue hendaknya tersedia sarana
pembelajaran yang memadai serta waktu yang cukup untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi.
20
2.2 Kajian Hasil-Hasil Penelitian yang Relevan
Beberapa penelitian yang relevan tentang penerapan model pembelajaran
Creative Problem Solving baik dalam pembelajaran Matematika maupun mata
pelajaran lainnya telah banyak dipublikasikan. Hasil Penelitian yang dilakukan
Hikmah (2010: vii) dengan judul “Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah
Tipe Creative Problem Solving untuk Meningkatkan Ketuntasan Belajar Fisika
Siswa Kelas VIII-E SMPN 1 Ma’rang Kabupaten Pangkep” menyimpulkan
bahwa dengan penerapan model pembelajaran Creative Problem Solving dapat
meningkatkan ketuntasan belajar fisika. Pada siklus I, skor rata-rata hasil belajar
siswa mencapai 62,12 dari skor ideal 100, dan persentase siswa yang mencapai
kriteria ketuntasan minimal sebesar 66,67%. Pada siklus II, skor rata-rata hasil
belajar siswa mencapai 79,74 dari nilai ideal 100 dan persentase siswa yang
mencapai kriteria ketuntasan minimal sebesar 91,30%. Keaktifan siswa dalam
proses pembelajaran juga mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II.
Penelitian Widiani (2016) tentang “Penerapan Model Pembelajaran
Creative Problem Solving (CPS) untuk Meningkatkan Keaktifan Siswa dalam
Pembelajaran PKn di Kelas IV SD Negeri Jeruksari Wonosari
Gunungkidul”mengemukakan bahwa model pembelajaran Creative Problem
Solving dapat meningkatkan hasil belajar PKn kelas IV, hal ini dapat dibuktikan
pada hasil belajar siswa yang meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan model pembelajaran CPS dalam pembelajaran PKn dapat
meningkatkan keaktifan siswa kelas IV SD Negeri Jeruksari. Persentase jumlah
siswa yang berhasil mencapai indikator keberhasilan penelitian pada pra tindakan
0%, siklus I/1 hanya 7,14%, siklus I/2 menjadi 28,57%. Hasil pengamatan
keaktifan siklus I belum berhasil mencapai indikator keberhasilan penelitian yaitu
>75% siswa memperoleh skor akhir >2,66 sehingga perlu dilanjutkan penelitian
tindakan siklus II. Pada siklus II/1 64,29% siswa kemudian siklus II/2 menjadi
100%. Penelitian tindakan siklus II berhasil mencapai indikator keberhasilan
penelitian sehingga tidak perlu dilaksanakan penelitian tindakan lanjutan.
21
Penelitian Supriyadi (2014) tentang “Peningkatan Kemandirian dan
Prestasi Belajar Matematika Melalui Model Pembelajaran Creative Problem
Solving (CPS) (PTK Pembelajaran Matematika di Kelas IX Semester 1 MTs
Negeri Surakarta 1 Tahun Pelajaran 2013/2014)” mengemukakan bahwa model
pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) dapat meningkatkan kemandirian
dan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran matematika. Data hasil penelitian
menunjukkan adanya peningkatan kemandirian dan prestasi belajar siswa. Hal ini
dapat dilihat dari: (1) Menyelesaikan tugasnya sendiri sebelum tindakan 20% dan
di akhir tindakan 71,43%, (2) Mengatasi masalah belajarnya sendiri sebelum
tindakan 14,29% dan di akhir tindakan 71,43%, (3) Percaya pada diri sendiri
sebelum tindakan 14,29% dan di akhir tindakan 77,14%, (4) Mengatur dirinya
sendiri sebelum tindakan 22,86% dan di akhir tindakan 74,29%. Nilai siswa yang
mencapai KKM ≥ 65 sebelum tindakan 17,41% dan di akhir tindakan 82,86%.
Tabel 2.1
Perbandingan Kajian Penelitian yang Relevan
No Penulis Judul Tahun Persamaan Perbedaan
1 Dewi
Hikmah
Penerapan
Pembelajaran
Berbasis Masalah
Tipe Creative
Problem Solving
untuk Meningkatkan
Ketuntasan Belajar
Fisika Siswa Kelas
VIII-E SMPN 1
Ma’rang Kabupaten
Pangkep
2010 Penelitian
menggunakan
model
pembelajaran
Creative
Problem Solving
Mata
pelajaran
yang
ditetiti
adalah
Fisika
pada kelas
VIII
22
2 Ninu
Widiati
Penerapan Model
Pembelajaran
Creative Problem
Solving (CPS) untuk
Meningkatkan
Keaktifan Siswa
dalam Pembelajaran
PKn di Kelas IV SD
Negeri Jeruksari
Wonosari
Gunungkidul
2016 a. Penelitian
menggunakan
model
pembelajaran
Creative
Problem
Solving
b. Penelitian
sama-sama
dilakukan
pada tahun
2016
Mata
pelajaran
yang
ditetiti
adalah
PKn pada
kelas IV
3 Bambang
Supriyadi
Peningkatan
Kemandirian dan
Prestasi Belajar
Matematika Melalui
Model Pembelajaran
Creative Problem
Solving (CPS) (PTK
Pembelajaran
Matematika di Kelas
IX Semester 1 MTs
Negeri Surakarta 1
Tahun Pelajaran
2013/2014)
2014 a. Penelitian
menggunakan
model
pembelajaran
Creative
Problem
Solving
b. Mata
pelajaran
yang ditetiti
adalah sama-
sama
Matematika
Penelitian
dilakukan
pada kelas
IX
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Creative
Problem Solving dapat digunakan pada mata pelajaran yang berbeda dan pada
jenjang kelas yang berbeda pula. Penerapan model pembelajaran Creative
Problem Solving menjadi sarana penyampaian materi ajar hingga mampu
memenuhi ketercapaian tujuan pembelajaran.
2.3 Kerangka Pikir
Kondisi awal pada proses pembelajaran matematika, siswa memperoleh
hasil belajar yang rendah, terbukti masih banyak siswa yang hasil belajarnya
belum memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM) atau masih banyak siswa
yang medapatkan nilai dibawah 70. Salah satu penyebabnya yaitu karena pada
saat menyampaikan materi pembelajaran guru hanya ceramah saja tanpa
menggunakan media ataupun alat peraga sehingga siswa menjadi bosan, jenuh
dan sering kali mengabaikan proses belajar mengajar di kelas atau siswa kurang
23
aktif dalam mengikuti pembelajaran. Untuk mengatasi masalah tersebut peneliti
melakukan pembelajaran menggunakan Model Pembelajaran Creative Problem
Solving. Dengan cara ini diharapkan dapat membantu siswa kelas 5 SDN Blaru 02
dalam meningkatkan proses pembelajaran sehingga hasil belajar matematika dapat
meningkat.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka perlu diadakan perbaikan yaitu
dengan menggunakan alternatif model pembelajaran lain. Dalam hal ini akan
digunakan model pembelajaran Creative Problem Solving untuk meningkatkan
kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita. Kegiatan inti dari model
pembelajaran Creative Problem Solving adalah mengungkapkan dan memilih
strategi yang akan digunakan untuk menyelesaikan soal cerita matematika, tanpa
ada contoh penyelesaian sebelumnya. Dalam menyelesaikan masalah tersebut,
dilakukan secara berkelompok. Dalam kelompok tersebut siswa bebas
mengungkapkan pendapatnya tentang strategi apa yang akan digunakan untuk
menyelesaikan masalah. Di sini guru memfasilitasi jalannya diskusi. Setelah siswa
memilih strategi apa yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah,
siswakemudian menerapkan strategi tersebut untuk menyelesaikan suatu masalah.
Kemudian guru membantu siswa untuk menganalisis hasil jawaban yang disajikan
di depan kelas, jika jawaban yang dihasilkan benar guru cukup menegaskan
jawaban tersebut. Apabila jawaban yang dihasilkan masih salah maka guru
menunjuk siswa lain untuk menjawab soal tersebut sampai diperoleh jawaban
yang benar. Setelah itu siswa dapat memperbaiki jawabannya, selanjutnya guru
mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan.
Dalam implementasinya, Creative Problem Solving dilakukan sebagai
solusi kreatif. Solusi kreatif sebagai upaya pemecahan masalah yang dilakukan
melalui sikap dan pola pikir kreatif, memiliki banyak alternatif pemecahan
masalah, terbuka dalam perbaikan, menumbuhkan kepercayaan diri, keberanian
menyampaikan pendapat, berpikir divergen, dan fleksibel dalam upaya
pemecahan masalah. Creative Problem Solving dibangun atas tiga macam
komponen, yaitu: ketekunan, masalah dan tantangan. Ketiga komponen tersebut
dapat diimplementasikan dengan berbagai komponen pembelajaran. Dari uraian di
24
atas pembelajaran Creative Problem Solving dapat meningkatkan kemampuan
menyelesaikan soal cerita matematika.
Adapun kerangka pikir mengenai penerapan model pembelajaran Creative
Problem Solving pada mata pelajaran matematika dapat ditunjukkan melalui peta
konsep sebagai berikut:
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir
Kondisi Nyata
1. Pembelajaran berpusat pada guru.
2. Masih terdapat siswa yang pasif
dalam belajar
3. Siswa tidak dituntut untuk berpikir
kritis dan kreatif
4. Siswa kurang tertantang dengan
kegiatan pembelajaran.
5. Guru tidak memberikan
penghargaan terhadap siswa
Kondisi Ideal
1. Guru memfasilitasi siswa dalam
pembelajaran
2. Siswa belajar menemukan sendiri
dari pengalaman yang relevan dan
bekerja dalam kelompok.
3. Siswa dapat mengembangkan
keterampilan berpikir kritis dan kreatif
4. Guru melakukan penemuan-
penemuan baru dalam meningkatkan
semangat belajar.
5. Guru memberikan penghargaan
kepada siswa
Solusi
Klarifikasi masalah
1. Guru memberikan permasalahan kepada siswa. 2. Siswa mempelajari LKS yang diberikan oleh guru. 3. Siswa berdiskusi dengan teman kelompoknya tentang strategi apa
yang akan digunakan dalam penyelesaian masalah.
4. Siswa berkumpul dengan kelompoknya masing-masing dan mengerjakan LKS secara mandiri.
Pengungkapan pendapat
5. Siswa bebas mengungkapkan pendapat dalam menyelesaikan masalah dan mendiskusikannya dengan kelompok masing-masing.
Evaluasi dan Seleksi
6. Siswa mendiskusikan hasil LKS bersama kelompoknya. 7. Siswa memilih pemecahan masalah yang tepat dalam kelompok.
Implementasi
8. Siswa mempresentasikan hasil yang telah didiskusikan dikelompoknya di depan kelas dengan menggunakan strategi
sesuai dengan kreatifitasnya dan guru membimbing serta memberi
masukan terhadap pendapat anak
Proses dan hasil belajar
matematika meningkat
25
2.4 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori dan kerangka fikir seperti diuraikan di atas dapat
diajukan hipotesis sebagai berikut:
a. Penerapan model Creative Problem Solving dalam proses pembelajaran dengan
langkah-langkah mengklarifikasi masalah, pengungkapan pendapat
(brainstorming), evaluasi dan seleksi, serta implementasi dapat meningkatkan
proses belajar siswa.
b. Peningkatan proses pembelajaran melalui model pembelajaran Creative
Problem Solving dapat meningkatkan hasil belajar matematika secara
signifikan dengan kriteria 80% siswa atau minimal 26 siswa mencapai Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM).
Top Related