6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Efektifitas Pembelajaran
Keefektifan pembelajaran adalah hasil guna yang diperoleh setelah
pelaksanaan proses belajar mengajar (Sadiman, 1987 dan Iam Irfa’i,
2002:102). Menurut Tim Pembina Mata Kuliah Didaktik Metodik Kurikulum
IKIP Surabaya (1988) dalam Lince (2001:42), bahwa efesiensi dan
keefektifan mengajar dalam proses interaksi belajar baik adalah segala daya
upaya guru untuk membantu para siswa agar bisa belajar dengan baik.
Keefektifan mengajar dapat diketahui, dengan memberikan tes, sebab hasil
tes dapat dipakai untuk mengevaluasi berbagai aspek proses mengajar.
Suatu pembelajaran dikatakan efektif apabila memenuhi persyaratan
utama keefektifan pengajaran, yaitu:
1) Presentasi waktu belajar siswa yang tinggi dicurahkan terhadap
pembelajaran
2) Rata-rata perilaku melaksanakan tugas yang tinggi diantara siswa
3) Ketetapan antara kandungan materi ajaran dengan kemampuan siswa
(orientasi keberhasilan belajar) diutamakan
4) Mengembangkan suasana belajar yang akrab dan positif,
mengembangkan struktur kelas yang mendukung butir (2), tanpa
mengabaikan butir (4) (Soemosasmito, 1988:119)
Guru yang efektif adalah guru yang menemukan cara dan selalu
berusaha agar anak didiknya terlibat secara tepat dalam suatu mata pelajaran
dengan persentasi waktu belajar akademis yang tinggi dan pelajaran berjalan
tanpa menggunakan teknik yang memaksa, negatif, atau hukuman
(Soemosasmito, 1988:119). Selain itu guru yang efektif adalah orang-orang
yang dapat menjalin hubungan simpatik dengan para siswa, menciptakan
lingkungan kelas yang mengasuh, penuh perhatian, memiliki suatu rasa cinta
7
7
belajar, menguasai sepenuhnya bidang studi mereka dan dapat memotivasi
siswa untuk bekerja tidak sekedar mencapai suatu prestasi namun juga
menjadi anggota masyarakat yang pengasih (Kardi dan Nur, 200a:5).
Menurut Mohammad Jauhar pembelajaran dapat dikatakan efektif
(effective/berhasil guna) jika mencapai sasaran atau minimal mencapai
kompetensi dasar yang telah ditetapkan. Di samping itu, juga penting adalah
banyaknya pengalaman dan hal baru yang “didapat” siswa. Guru pun
diharapkan memperoleh “pengalaman baru” sebagai hasil interaksi dua arah
dengan anak didiknya. Pada setiap akhir pembelajaran perlu dilakukan
evaluasi, untuk mengetahui keefektifan sebuah proses pembelajaran. Evaluasi
yang dimaksud di sini bukan sekedar tes untuk siswa, tetapi semacam
refleksi, perenungan yang dilakukan oleh guru dan siswa, serta didukung oleh
data catatan guru. Hal ini sejalan dengan kebijakan penilaian berbasis kelas
atau penilaian authentic yang lebih menekankan pada penelitian proses selain
penilaian hasil belajar. Di satu sisi, guru menjadi pengajar yang efektif,
karena menguasai materi yang diajarkan; mengajar dan mengarahkan dengan
memberi contoh; menghargai siswa dan memotivasi siswa; memahami tujuan
pembelajaran; mengajarkan keterampilan pemecahan masalah; menggunakan
metode yang bervariasi; mengembangkan pengetahuan pribadi dengan
banyak membaca; mengajarkan cara mempelajari sesuatu; dan melaksanakan
penilaian dengan tepat dan benar. Di sisi lain, siswa menjadi pembelajar yang
efektif dalam arti menguasai pengetahuan dan keterampilan atau kompetensi
yang diperlukan; mendapat pengalaman baru yang berharga.
Sehingga untuk dapat mewujudkan pembelajaran yang efektif proses
pembelajaran harus didesain secara kreatif. Pembelajaran harus bisa
mengatasi segala hambatan dan keterbatasan dalam pelaksanaan
pembelajaran. Ada 7 perilaku efektif guru dalam pembelajaran menurut Beni
S. Ambarjaya, yaitu: konsisten, memperlakukan siswa sebagai individu,
menciptakan lingkungan kelas yang bernuansa belajar, melibatkan diri dalam
setiap ajang berbagi pengetahuan formal dan informal, membuka diri
8
8
terhadap kebutuhan siswa, melaksanakan umpan balik mengajar dan bekerja,
dan melaksanakan penilaian terhadap siswa dengan alasan yang kuat.
Pembelajaran efektif telah tercapai jika dalam pelaksanaan
pembelajaran terdapat keaktifan siswa dalam belajar. Siswa aktif atau tidak
dalam pembelajaran sudah dapat diperkirakan sejak awal melalui rencana
pembelajaran yang dibuat guru. Keaktifan belajar siswa selalu muncul ketika
guru menghadirkan media pembelajaran yang tepat dan dapat dimanfaatkan
oleh siswa semaksimal mungkin. Semakin bervariasi media pembelajaran
yang digunakan, siswa akan semakin antusias mengikuti pembelajaran.
Keterlibatan aktif siswa telah terbukti membuat pembelajaran menjadi efektif
dengan hasil taraf serap yang maksimal.
Jadi kesimpulan pembelajaran efektif dalam penelitian ini adalah
suatu pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk dapat belajar dengan
mudah, menyenangkan, dan dapat mencapai tujuan pembelajaran sesuai
dengan yang diharapkan.
2.1.2 Model Pembelajaran Make A Match
Model pembelajaran make a match merupakan model pembelajaran
kelompok yang memiliki dua orang anggota. Masing-masing anggota
kelompok tidak diketahui sebelumnya tetapi dicari berdasarkan kesamaan
pasangan misalnya pasangan soal atau jawaban. Guru membuat dua kotak
undian, kotak pertama berisi soal dan kotak kedua berisi jawaban. Peserta
didik yang mendapatkan soal mencari peserta didik yang mendapat jawaban
yang cocok, demikian pula sebaliknya. Model ini dapat digunakan untuk
membangkitkan aktivitas peserta didik belajar dan cocok digunakan dalam
bentuk permainan.
Langkah-langkah make a match yang ditulis Endang Mulyatiningsih
(2011, 233) :
a. Guru menyiapkan dua kotak kartu, satu kotak kartu soal dan satu kotak
kartu jawaban.
b. Setiap peserta didik mendapat satu buah kartu.
c. Tiap peserta didik memikirkan jawaban atau soal dari kartu yang
dipegang.
d. Setiap peserta didik mencari pasangan yang mempunyai kartu yang
cocok dengan kartunya (soal maupun jawaban)
e. Setiap peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas
waktu yang ditetapkan diberi poin.
9
9
f. Setelah satu babak, kotak dikocok lagi agar tiap peserta didik mendapat
kartu yang berbeda dari sebelumnya.
Pada langkah-langkah make a match yang dikemukakan di atas,
langkah tersebut berfokus pada membagi peserta didik menjadi dua
kelompok. Kelompok pertama, kelompok pemegang kartu soal dan
kelompok yang kedua pemegang kartu jawaban. Apabila langkah ini
dilaksanakan di dalam kelas, ruang gerak siswa akan terbatas apa lagi kalau
jumlah siswa lebih dari 30 anak.
Lebih baiknya langkah-langkah ini dilakukan di luar kelas, agar
suasana lebih nyaman dan menyenangkan, kemudian pemberian poin
kepada kelompok soal dan jawaban yang sudah benar dari siswa sendiri,
sehingga siswa lebih mengerti mengenai materi yang dipelajari.
Model pembelajaran cari pasangan dikembangkan oleh Make a
Macth Lorna Curran pada tahun 1994 yang ditulis oleh Suminanto (2010,
33) mempunyai langkah-langkah sebagai berikut :
a. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik
yang cocok untuk sesi review, sebaiknya satu bagian kartu soal dan
bagian lainnya kartu jawaban.
b. Setiap siswa mendapat satu buah kartu.
c. Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang.
d. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok
dengan kartunya (soal jawaban)
e. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu
diberi poin.
f. Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapt kartu yang
berbeda dari sebelumnya.
g. Demikian seterusnya.
h. Kesimpulan/penutup.
Langkah-langkah pembelajaran make a match yang dikemukakan di
atas berfokus pada pembuatan kelompok dengan cara permainan mencari
pasangan yang menggunakan kartu soal dan kartu jawaban.
Pada intinya langkah-langkah yang dikembangkan Make A Macth
Lorna Curran hampir sama dengan langkah-langkah yang ditulis Endang
Mulyatiningsih hanya membentuk dua kelompok yaitu kelompok pemegang
kartu soal dan kelompok pemegang kartu jawaban, kemudian mencari
pasangannya.
10
10
Menurut Agus Suprijono (2009, 20), langkah-langkah model make a
macth sebagai berikut :
a. Persiapkan kartu jawaban dan kartu pertanyaan.
b. Guru membagi siswa menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama,
kelompok pembawa kartu-kartu berisi pertanyaan. Kelompok kedua,
adalah kelompok yang membawa kartu jawaban dan kelompok ketiga
adalah kelompok penilai.
c. Atur posisi kelompok tersebut berbentuk huruf U.
d. Untuk memulai permainan guru membunyikan peluit.
e. Guru sebaiknya membunyikan musik instrumental yang lembut.
f. Siswa yang sudah menemukan pasangannya wajib menunjukkan kepada
kelompok penilai.
g. Setelah permainan sudah selesai kelompok penilai dipecah menjadi dua
kelompok, dan kelompok pertama dan kedua menjadi kelompok penilai.
Langkah-langkah make a match yang dikemukakan di atas, sedikit
berbeda dengan langkah-langkah make a match yang dikemukakan dua ahli
sebelumnya yaitu dalam pembentukkan kelompok. Pada langkah-langkah
di atas siswa dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok penilai,
kelompok pemegang kartu soal dan kelompok pemegang kartu jawaban.
Setelah kelompok pemegang kartu soal dan jawaban menemukan
pasangannya, tugas kelompok penilai adalah memberikan poin apabila
pasangannya benar. Disini tugas guru hanya memantau dan membimbing
siswa. Dibandingkan langkah-langkah sebelumnya langkah-langkah ini
lebih rapi dan tertata.
Derdasarkan beberapa langkah-langkah model pembelajaran make a
match di atas, langkah-langkah make a match dapat disimpulkan sebagai
berikut :
a. Siswa dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok I sebagai kelompok
pemegang kartu soal, kelompok II sebagai kelompok pemegang kartu
jawaban dan kelompok III sebagai penilai.
b. Guru menyiapkan benda kongkret, kartu soal dan kartu jawaban.
c. Setiap siswa dari kelompok I mendapatkan satu kartu soal dan setiap
anggota dari kelompok II mendapatkan satu kartu jawaban.
d. Kelompok I yang memegang kartu soal memikirkan jawaban sedangkan
kelompok II yang memegang kartu jawaban memikirkan soal yang
sesuai.
11
11
e. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok
dengan kartunya (soal maupun jawaban).
f. Selanjutnya setelah kelompok I dan II berpasangan. Kartu yang telah
dipasangkan (soal dan jawaban) diberikan kepada kelompok III untuk
dikoreksi.
g. Kelompok III sebagai penilai memberikan poin kepada kelompok yang
benar.
h. Setelah batas waktu yang ditentukan habis, kemudian ketiga kelompok
bertukar peran, kelompok I menjadi penilai, kelompok II menjadi
kelompok pemegang kartu soal dan kelompok III sebagai pemegang
kartu jawaban.
i. Selanjutnya melakukan langkah seperti di atas.
j. Pertukaran peran dilakukan sampai semua kelompok merasakan menjadi
kelompok pemegang kartu soal, kartu jawaban dan penilai.
k. Kesimpulan/ penutup.
Pembelajaran dengan menggunakan model make a match yaitu
pembelajaran yang menuntut siswa untuk berkelompok dengan pencarian
atau penentuan pasangan berdasarkan dengan permainan yang disajikan
oleh guru. Guru harus menyediakan dua kartu soal dan jawaban kemudian
dari situ siswa dapat menentukan pasangannya.
Pembelajaran ini akan lebih menarik apabila dilengkapi dengan
media-media yang kongkret apa lagi siswa SD termasuk dalam tahap
oprasional kongkret. Jadi apabila pembelajaran dilengkapi dengan media-
media kongkret siswa akan lebih tertarik untuk memperhatikan dan lebih
mudah memahami materi yang disampaikan guru.
2.1.3 Hasil belajar IPS
Pada pembelajaran salah satu tujuan yang akan dicapai adalah hasil
belajar. Pembelajaran yang benar dan baik akan mencapai hasil belajar yang
baik pula. Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki
peserta didik setelah menerima pengalaman belajarnya (Sudjana, 2011 : 22).
12
12
Pengalaman belajar siswa pada saat pembelajaran akan berbeda-beda oleh
karena itu kemampuan-kemampuan yang dimiliki tiap siswa tentu berbeda.
Aspek perubahan itu mengacu pada taksonomi tujuan pengajaran yang
dikembangkan oleh Bloom, Simpson dan Harrow yang mencakup tiga aspek
yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik (Winkel dalam Purwanto,
2008:45).
Klasifikasi hasil belajar menurut Bloom dalam Agus Suprijono
(2009: 6) secara garis besar membagi menjadi 3 ranah, yakni ranah kognitif,
ranah afektif, dan ranah psikomotoris.
1. Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual.
2. Ranah afektif, berkenaan dengan sikap.
3. Ranah psikomotorik, berkenaan dengan hasil belajar
keterampilan dan kemampuan bertindak.
Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh kamampuan siswa dan kualitas
pengajaran. Kualitas pengajaran yang dimaksud adalah profesional yang
dimiliki oleh guru. Artinya kemampuan dasar guru baik dibidang kognitif
(intelektual), bidang sikap (afektif) dan bidang perilaku (psikomotorik).
Hasil belajar harus diidentifikasi melalui informasi hasil pengukuran
bidang/materi/dan aspek perilaku baik melalui teknik tes maupun non tes.
Penguasaan materi yang dimaksud adalah derajat pencapaian
kompetensi hasil belajar seperti yang dikehendaki dalam standar proses dan
dinyatakan dalam aspek perilaku yang terbagi dalam ranah kognitif, afektif
dan psikomotorik. Ketiga ranah tersebut dinamakan dengan taksonomi
tujuan belajar kognitif. Taksonomi tujuan belajar domain kognitif menurut
Benyamin S. Bloom yang telah disempurnakan David Krathwohl serta
Norman E. Gronlund dan R.W. de Maclay ds ( Wardani, Nanik Sulistya,
dkk, 2010:3.21) adalah menghafal (Remember), memahami (Understand),
mengaplikasikan (Aply), menganalisis (Analize), mengevaluasi (Evaluate),
dan membuat (create).
13
13
Derdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
adalah kemampuan-kemampuan siswa yang didapat dari pengalaman-
pengalaman pembelajaran yang berupa kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Hasil belajar yang diperoleh dari pembelajaran digunakan guru
sebagai ukuran atau kriteria dalam pencapaian tujuan pendidikan. Ukuran
hasil belajar dapat diperoleh dari aktifitas pengukuran. Secara sederhana
pengukuran dapat diartikan sebagai kegiatan atau upaya yang dilakukan
untuk memberikan angka-angka pada suatu gejala atau peristiwa, atau
benda, sehingga hasil pengukuran akan selalu berupa angka. Proses
pembelajaran guru juga melakukan pengukuran terhadap proses dan hasil
belajar yang hasilnya berupa angka-angka yang mencerminkan capaian,
proses dan hasil belajar tersebut. Nilai hasil belajar dapat diperoleh dengan
cara tes, lembar observasi, panduan wawancara, skala sikap dan angket.
Hasil belajar siswa dihitung berdasarkan evaluasi, pengukuran dan
asesmen. Teknik yang dapat digunakan dalam asesmen pembelajaran yaitu:
1. Tes
Tes secara sederhana dapat diartikan sebagai himpunan pertanyaan
yang harus dijawab, pernyataan-pernyataan yang harus dipilih/ditanggapi,
atau tugas-tugas yang harus dilakukan oleh peserta tes dengan tujuan untuk
mengukur suatu aspek tertentu dari peserta tes. Dalam kaitan dengan
pembelajaran aspek tersebut adalah indikator pencapaian kompetensi.
Tes adalah seperangkat pertanyaan atau tugas yang direncanakan
untuk memperoleh informasi tentang trait atau sifat atau atribut pendidikan
yang setiap butir pertanyaan tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan
yang dianggap benar (Suryanto Adi, dkk, 2009). Dilihat dari tujuannya
dalam bidang pendidikan, tes dapat dibagi menjadi:
a. Tes Kecepatan (Speed Test)
Tes ini bertujuan untuk mengases peserta tes (testi) dalam hal
kecepatan berpikir atau keterampilan, baik yang bersifat spontanitas (logik)
maupun hafalan dan pemahaman dalam mata pelajaran yang telah
dipelajarinya.
14
14
b. Tes Hasil Belajar (Achivement Test)
Tes ini dimaksudkan untuk mengases hal yang telah diperoleh dalam
suatu kegiatan seperti Tes Hasil Belajar (THB), tes harian (formatif) dan tes
akhir semester (sumatif). Tes ini bertujuan untuk mengases hasil belajar
setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dalam suatu kurun waktu tertentu.
c. Tes Kemajuan Belajar (Gains/Achivement Test)
Tes kemajuan belajar disebut juga dengan tes perolehan. Tes ini
dimaksudkan untuk mengetahui kondisi awal testi sebelum pembelajaran
dan kondisi akhir testi setelah pembelajaran. Mengetahui kondisi awal testi
digunakan pre-tes dan kondisi akhir post-tes.
d. Tes Formatif
Tes formatif adalah tes hasil belajar yang digunakan untuk
mengetahui sejauh mana kemajuan belajar yang telah dicapai peserta didik
dalam suatu program pembelajaran tertentu seperti tes harian, ulangan
harian.
Menurut Endang Poerwanti, dkk. 2008 langkah-langkah menyusun
tes yaitu:
a. Perencanaan tes
- Menentukan cakupan materi yang akan diukur
- Memilih bentuk tes
- Menetapkan panjang tes
b. Menulis bulir pertanyaan
- Menulis draft soal
- Memantapkan validitas isi (Content validity)
- Melakukan uji-coba (try out)
- Revisi soal
c. Melakukan pengukuran dengan tes
- Menjaga obyektivitas pelaksanaan
- Memberikan skor pada hasil tes
- Melakukan analisis hasil tes
15
15
Kisi-kisi (test blue-print atau table of specification) adalah format
atau matriks pemetaan soal yang menggambarkan distribusi item untuk
berbagai topik atau pokok bahasan berdasarkan kompetensi dasar, indikator
dan jenjang kemampuan tertentu. Penyusunan kisi-kisi ini dimaksudkan
sebagai pedoman merakit atau menulis soal menjadi perangkat tes.
Langkah-langkah untuk menyusun kisi-kisi soal menurut Wardani Naniek
Sulistya dkk, (2010, 3.5-3.6) adalah sebagai berikut:
1. Pemilihan sampel atau contoh materi yang akan ditulis butir
soalnya hendaknya dilakukan dengan mengacu pada tujuan pembelajaran
atau kompetensi yang ingin dicapai.
2. Jenis asesmen yang akan digunakan. Pemilihan jenis asesmen
berhubungan erat dengan jumlah sampel materi yang dapat diukur, tingkat
kognitif yang akan diukur, jumlah peserta tes, serta jumlah butir soal yang
akan dibuat, dan juga sangat terkait dengan tujuan pembelajaran yang akan
di ukur.
3. Jenjang kemampuan berpikir atau perilaku yang ingin dicapai.
Setiap kompetensi mempunyai penekanan kemampuan yang berbeda dalam
mengembangkan proses berpikir peserta didik. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa kumpulan butir soal yang akan digunakan dalam tes, harus
dapat mengukur proses berpikir yang relevan dengan proses berpikir yang
dikembangkan selama proses pembelajaran. Dalam Standar Isi, kemampuan
berpikir yang akan diukur dapat dilihat pada "perilaku yang terdapat pada
rumusan kompetensi dasar atau pada standar kompetensi".
4. Indikator perilaku dalam kisi-kisi merupakan pedoman dalam
merumuskan soal yang dikehendaki. Untuk merumuskan indikator dengan
tepat, guru harus memperhatikan materi yang akan diujikan, indikator
pembelajaran, kompetensi dasar, dan standar kompetensi. Indikator yang
baik dirumuskan secara singkat dan jelas. Dalam hubungan ini kita
mengenal ranah kognitif yang dikembangkan oleh Benyamin S. Bloom dan
kawan-kawan yang kemudian direvisi oleh Krathwoll (2001). Revisi
Krathwoll terhadap tingkatan dalam ranah kognitif adalah ingatan (C1),
16
16
pemahaman (C2), penerapan (C3), analisis (C4), evaluasi (C5), dan kreasi
(C6).
5. Sebaran tingkat kesukaran butir soal. Dalam menentukan sebaran
tingkat kesukaran butir soal dalam set soal, harus mempertimbangkan
interpretasi hasil tes mana yang akan dipergunakan, interpretasi hasil tes
lebih kepada ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan dalam pembelajaran.
6. Waktu atau durasi yang disediakan untuk pelaksanaan tes.
Lamanya waktu tes merupakan faktor pembatas yang harus diperhatikan
dalam membuat perencanaan tes. Waktu pelaksanaan tes, disesuaikan
dengan jenis tes yang ditentukan. Jika asesmen formatif yang akan
diterapkan kepada peserta didik, maka asesmen dilaksanakan setelah guru
selesai mengajarkan satu unit pembelajaran, atau diterapkan pada akhir
setiap standar kompetensi ataupun kompetensi dasar pada setiap satuan
pembelajaran (RPP), atau dilakukan di tengah-tengah perjalanan program
pengajaran atau tengah semester.
7. Jumlah butir soal. Penentuan jumlah butir soal yang tepat dalam
satu kali tes tergantung pada beberapa hal, antara lain tujuan pembelajaran
yang ingin dicapai, ragam soal yang akan digunakan, proses berpikir yang
ingin diukur, dan sebaran tingkat kesukaran dalam set tes tersebut.
Penskoran Tes Objektif
Cara penskoran tes objektif sangat sederhana. Dikerjakan secara
manual atau dengan mesin. Pada dasarnya skor setiap butir soal tes objektif
adalah satu atau nol. Satu (1) untuk setiap butir yang dijawab benar dan nol
(0) untuk setiap butir yang dijawab salah. Tinggal menghitung saja berapa
butir soal yang dijawab benar dan berapa butir soal yang dijawab salah.
Ada beberapa penulis yang menganjurkan menggunakan formula
tebakan, dalam arti setiap jawaban yang salah diberi hukuman. Cara seperti
ini memang dapat mengurangi keinginan peserta didik untuk menebak
jawaban yang tidak dikuasainya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
diterapkan hukuman tidak menyebabkan adanya perbedaan yang berarti
17
17
dengan tanpa hukuman. Baik diterapkan formula tebakan atau tidak, urutan
ranking peserta didik akan tetap.
2. Non Tes
Teknik non tes sangat penting dalam mengases peserta didik pada
ranah afektif dan psikomotor, berbeda dengan teknik tes yang lebih
menekankan pada aspek kognitif. Ada beberapa macam teknik non tes,
yaitu:
a. Pengamatan atau Observasi.
Secara umum observasi dapat diartikan sebagai penghimpunan
bahan-bahan keterangan yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan
dan pencatatan secara sistematis terhadap berbagai fenomena yang dijadikan
obyek pengamatan (Pupuh F. dan M.S. Sutikno, 2009: 86).
Observasi atau pengamatan adalah teknik penilaian yang dilakukan
dengan menggunakan indera secara langsung. Observasi dilakukan dengan
menggunakan pedoman observasi yang berisi sejumlah indikator perilaku
yang akan diamati (BSNP, 2007: 6).
Observasi adalah teknik non tes dengan melakukan pengamatan
terhadap pebelajar sesuai dengan pedoman observasi yang berisi indikator
pengamatan.
b. Portofolio
Portofolio adalah kumpulan dokumen dan karya-karya peserta didik
dalam karya tertentu yang diorganisasikan untuk mengetahui minat,
perkembangan belajar dan prestasi siswa.
Derdasarkan penjabaran keterangan di atas, peneliti memutuskan
untuk mengukur hasil belajar siswa dengan tes formatif dan non tes yang
dilaksanakan dalam setiap akhir pertemuan.
2.1.6 Pembelajaran IPS
1. Pengertian IPS
Nama Ilmu Pengetahuan Sosial dalam dunia pendidikan dasar
muncul bersamaan dengan diberlakukannya Kurikulum SD tahun 1975.
18
18
Dilihat dari sisi ini maka bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial masih
“baru”. Kita sebut “baru” karena bahan yang dikaji sebetulnya bukanlah
baru namun cara pandang yang dianutnya memang dapat dianggap baru.
Ada beberapa pendapat tentang pengertian IPS dari beberapa ahli,
Jean Jarolimek (1967, 1) berpendapat bahwa IPS adalah mengkaji manusia
dalam hubungannnya dalam lingkungan sosial dan fisiknya. Sedangkan
Wesley berpendapat IPS sebagai bagian dari nilai-nilai sosial yang dipilih
untuk tujuan pendidikan. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep,
dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SD/MI mata
pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi.
Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi
warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta
warga dunia yang cinta damai (KTSP Standar Isi 2006).
Mata pelajaran IPS disusun secara sistematis, komprehensif, dan
terpadu dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan
dalam kehidupan di masyarakat dengan pendekatan tersebut diharapkan
siswa akan memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam pada
bidang ilmu yang berkaitan (KTSP Standar Isi 2006). (Depdiknas: 2006).
2. Tujuan Mata Pelajaran IPS
Tujuan mata pelajaran IPS pada jenjang sekolah dasar agar siswa
memiliki kemampuan sebagai berikut (KTSP Standar Isi 2006).
a. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
dan lingkungannya.
b. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin
tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan
sosial.
c. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan
kemanusiaan.
d. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi
dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
19
19
3. Ruang Lingkup Mata Pelajaran IPS
Pada jenjang pendidikan dasar, ruang lingkup pengajaran IPS
dibatasi sampai pada gejala dan masalah sosial yang dapat dijangkau pada
geografi dan sejarah terutama gejala dan masalah sosial kehidupan sehari-
hari yang ada di lingkungan sekitar siswa di SD.
Ruang lingkup mata pelajaran IPS di Sekolah Dasar meliputi aspek-
aspek sebagai berikut (KTSP Standar Isi 2006).
a. Manusia, Tempat, dan Lingkungan.
b. Waktu, Keberlanjutan, dan Perubahan.
c. Sistem Sosial dan Budaya.
d. Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan.
4. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Pencapaian tujuan IPS dapat dimiliki oleh kemampuan siswa yang
standar dinamakan dengan Standar Kompetensi (SK) dan dirinci ke dalam
Kompetensi Dasar (KD). Kompetensi dasar ini merupakan standar
minimum yang secara nasional harus dicapai oleh siswa dan menjadi acuan
dalam pengembangan kurikulum di setiap satuan pendidikan. Pencapaian
SK dan KD didasarkan pada pemberdayaan siswa untuk membangun
kemampuan, bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh
guru. Secara rinci SK dan KD untuk mata pelajaran IPS yang ditujukan bagi
siswa kelas IV SD disajikan melalui tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1
SK dan KD mata pelajaran IPS Kelas IV Semester II
Standar Kompetensi
2. Mengenal sumber daya alam, kegiatan
ekonomi, dan kemajuan teknologi di
lingkungan Kabupaten / Kota dan
Provinsi.
Kompetensi Dasar 2.3 Mengenal perkembangan teknologi
produksi komunikasi, dan
20
20
transportasi serta pengalaman
menggunakannya.
Indikator
2.3.1 Membandingkan alat-alat teknologi
komunikasi yang digunakan
masyarakat setempat pada masa lalu
dan masa kini.
2.3.2 Menunjukan cara-cara penggunaan alat
teknologi komunikasi pada masa
lalu dan masa kini.
2.3.3 Menceritakan pengalaman
menggunakan teknologi
komunikasi.
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian sebelumnya yaitu berjudul “Upaya Meningkatkan Hasil
Belajar IPS Siswa Kelas IV SD Negeri 2 Planggu Dengan Metode Make A
Match Tahun Ajaran 2010/2011” yang disusun oleh Aris Setyono.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa peningkatan hasil belajar siswa dalam
pembelajaran IPS mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari nilai
rata-rata kelas pada siklus pertama sebesar 66 dengan jumlah siswa yang
memenuhi nilai KKM mencapai 10 siswa. Pada siklus kedua peningkatan
hasil belajar siswa semakin baik dengan ditunjukkan nilai rata-rata kelas
sebesar 71,27 dengan jumlah siswa yang memenuhi KKM 15 orang. Jadi
dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode make a match dalam
pembelajaran IPS dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Kelebihan yang
dicapai dalam penelitian ini adalah peneliti dapat merancang proses
pembelajaran dengan baik sehingga rata-rata nilai IPS dapat meningkat.
Kelemahan dalam penelitian ini adalah dalam unit penelitian jumlah siswa
hanya 18 orang jadi penanganannya akan lebih mudah, tetapi bagaimana
apabila jumlah siswa lebih dari 30 bahkan ganjil, itu akan lebih menantang
dan penelitiannya akan lebih menarik dibanding jumlah siswa sedikit.
21
21
Mendasarkan kelemahan yang terdapat pada penelitian di atas pada
penelitian berikutnya dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk
menggunakan jumlah siswa yang lebih banyak.
Penelitian yang selanjutnya berjudul “Penerapan Model
Pembelajaran Make A Match pada Mata Pelajaran IPA untuk Meningkatkan
Hasil Belajar Siswa Kelas V SDN 2 Sengonwetan Semester II Tahun Ajaran
2009/2010” yang disusun oleh Sri Rejeki. Hasil penelitian ini yaitu data
siswa pada kondisi awal hanya 51%, siklus 1 mencapai 75%, dan siklus 2
dengan presentase 85%. Dilihat dari hasil rata-rata ulangan harian kondisi
awal rata-rata ulangan mencapai 66, pada siklus 1 mencapai rata-rata 78 dan
pada siklus 2 mencapai rata-rata 88. Kelebihan dari penelitian ini adalah
langkah-langkah dalam pembelajarannya sangat menarik sehingga dapat
membuat siswa antusias mengikuti proses belajar mengajar yang akhirnya
membuat hasil belajar meningkat. Kelemahan dalam penelitian ini adalah
siklus yang digunakan hanya sampai siklus 2 lebih baik sampai siklus ke
tiga agar peningkatan hasil belajar lebih pasti. Mendasarkan kelemahan
yang terdapat di atas pada penelitian berikutnya dapat digunakan sebagai
pertimbangan untuk melakukan penelitian PTK dengan 3 siklus agar data
yang diperoleh lebih valid.
Temuan yang ketiga berjudul “Penerapan Model Make A Match pada
Mata Pelajaran IPS tentang Keadaan Alam Indonesia untuk Meningkatkan
Hasil Belajar Siswa Kelas V di SD Negeri Semanggi 02 Kecamatan Jepon
Kabupaten Blora” yang disusun oleh Bagus Edi Rosanto. Pada penelitian
ini siklus 1, rata-rata hasil belajar pada siklus 1 mencapai 70,83 dan pada
siklus 2 mencapai rata-rata 80 dengan ketuntasan 100%. Kelebihan yang
ditemukan dalam penelitian ini adalah hasil pada siklus 2 bisa mencapai
100%, hal ini sangat baik karena pada umumnya peningkatan hanya
mencapai 30 – 40 %. Kelemahan penelitian ini adalah hasil belajar hanya
diukur berdasarkan tes formatif sebaiknya aspek yang lain juga diukur.
Mendasarkan kelemahan yang terdapat pada penilitian di atas pada
penelitian berikutnya dapat digunakan sebagai pertimbangan agar
22
22
menggunakan hasil proses juga sehingga hasil belajar yang diperoleh yaitu
dari nilai tes dan nilai proses.
Temuan yang selanjutnya berjudul “Upaya Meningkatkan Prestasi
Belajar PKn Materi Sistem Pemerintahan Tingkat Pusat Melalui Teknik
Make A Match bagi Siswa Kelas IV SD Negeri 1 Kradenan Semester II
Tahun Ajaran 2010/2011” yang disusun oleh Edi Sukirso. Hasil dari
penelitian ini, data awal rata-rata ulangan mencapai 54,5 kemudian pada
siklus 1 naik sebesar 41% dari kondisi awal. Pada siklus 2 rata-rata ulangan
mencapai 83,86 naik 9% dari siklus 1. Kelebihan dari penelitian ini adalah
dilihat dari peningkatan hasil belajar dan langkah-langkah dalam
pembelajaran siswa sangat antusias mengikuti proses belajar mengajar.
Kelemahan penelitian ini adalah pengukuran hasil belajar hanya diukur
dengan tes formatif. Mendasarkan kelemahan yang terdapat pada judul
penelitian di atas maka pada penelitian berikutnya dapat digunakan sebagai
pertimbangan agar tidak hanya menggunakan tes formatif saja tetapi
menggunakan nilai proses juga.
Temuan yang berikutnya yaitu berjudul “Penerapan Model
Pembelajaran Cooperative Learning dengan Bentuk Struktural (Make A
Match) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran
Sejarah Siswa Kelas XI SMA Rifaiyah Tahun Pelajaran 2009/2010” yang
disusun oleh Roi Dewi Sabana. Hasil dari penelitian ini, data awal rata-rata
hanya mencapai 55,81 % dari nilai kriteria ketuntasan minimal yaitu 69
dengan target ketuntasan adalah 70 %. Prasiklus hasil belajar siswa rendah
yakni ketuntasan hanya 24 orang atau 55,81 % dengan nilai rata-rata
67,33%. Nilai tertinggi pada tahap prasiklus ini adalah 90 dan nilai terendah
adalah 50. Setelah dilakukan tindakkan pada siklus pertama perolehan hasil
belajar berdasarkan evaluasi yang diberikan oleh guru pada akhir pelajaran
pada siklus pertama hanya 27 siswa atau 62,79%, kriteria ketuntasan
minimal dengan nilai rata-rata 69,88, nilai tertinggi 90 dan nilai terendah 60.
Sedangkan pada siklus kedua ketuntasan meningkat menjadi 39 siswa atau
90,70% dengan nilai rata-rata 77,33, nilai tertinggi 90 dan nilai terendah 65.
23
23
Kelebihan dari penelitian ini adalah peneliti bisa membuat langkah-langkah
pembelajaran menjadi menarik untuk diikuti siswa SMA sehingga dapat
meningkatkan hasil belajar. Kelemahan penelitian ini adalah peningkatan
yang dialami tidak terlalu drastis dan nilai tertinggi tidak pernah berubah
selalu 90. Mendasarkan kelemahan di atas pada penelitian berikutnya dapat
digunakan sebagai pertimbangan untuk menaikan KKM agar siswa lebih
tertantang dan hasil belajar meningkat.
Jadi dari temuan di atas dapat disimpulakan bahwa penggunaan
model make a match dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Penelitian di atas hampir sama dengan penelitian yang akan
dilakukan. Perbedaannya yaitu terletak pada mata pelajaran yang akan
diteliti dan cara pelaksanaan penelitian. Persamaannya yaitu kedua
penelitian ini menggunakan metode make a match. Jadi dengan demikian
penelitian di atas mendukung penelitian ini.
2.3 Kerangka Berpikir
Setelah melakukan observasi peneliti melihat bahwa pembelajaran
IPS kelas IV berlangsung konvesional. Guru masih sebagai sumber belajar
yang ada di kelas sehingga peserta didik hanya mendengarkan penjelasan
dari guru. Bahkan peran peserta didik pasif saat pembelajaran IPS
berlangsung. Sehingga hasil belajar tidak mencapai target KKM yang telah
ditentukan.
Mata pelajaran IPS pada umumnya berbentuk abstrak, dengan
banyak uraian materi yang harus dipahami siswa. Pada umumnya juga guru
hanya memakai metode ceramah untuk menjelaskan materi ini padahal
dilihat dari perkembangan siswa, siswa SD akan lebih mudah memahami
materi yang berbentuk kongkret. Apabila guru hanya menjelaskan materi
dengan ceramah anak-anak kelamaan akan merasa bosan, mengantuk, dan
sering kali asyik berbicara sendiri dengan temannya.
Apabila hal tersebut tidak segera diperbaiki hasil belajar yang akan
diperoleh siswa bisa jadi tidak akan memenuhi KKM yang telah ditentukan.
24
24
Guru harus jeli dalam memilih model pembelajaran yang tepat agar bisa
membangkitkan semangat dan keaktifan siswa dalam belajar sehingga dapat
meningkatkan hasil belajar agar mencapai atau melebihi target yang sudah
ditetapkan.
Guru memperbaiki kondisi di atas dengan menerapkan model make a
match (mencari pasangan) dan menggunakan benda kongkret pada saat
siswa memahami materi IPS. Make a Match adalah termasuk model
pembelajaran kooperatif yang menyajikan pembelajaran dalam bentuk
permainan mencari kelompok dengan menyediakan kartu soal dan kartu
jawaban. Di sini peserta didik dibagi menjadi tiga kelompok yang pertama
kelompok pemegang kartu soal, kedua kelompok pemegang kartu jawaban,
dan yang ketiga penilai. Setelah kelompok pertama dan kelompok kedua
menemukan pasangannya, dan dinilai oleh kelompok penilai, selanjutnya
ketiga kelompok berganti peran.
Penggunaan benda kongkret pada pembelajaran kooperatif tipe make
a match diharapkan siswa lebih mudah memahami dan menangkap materi
IPS yang disampaikan. Selanjutnya dengan penggunaan benda kongkret
pada pembelajaran kooperatif tipe make a match siswa dapat berperan aktif
dalam pembelajaran sehingga dapat meningkatkan hasil belajar sesuai
bahkan melebihi KKM yang sudah ditetapkan. Langkah- langkahnya
sebagai berikut :
a. Siswa dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok I sebagai kelompok
pemegang kartu soal, kelompok II sebagai kelompok pemegang kartu
jawaban dan kelompok III sebagai penilai.
b. Guru menyiapkan benda kongkret, kartu soal dan kartu jawaban.
c. Setiap siswa dari kelompok I mendapatkan satu kartu soal dan setiap
anggota dari kelompok II mendapatkan satu kartu jawaban.
d. Kelompok I yang memegang kartu soal memikirkan jawaban sedangkan
kelompok II yang memegang kartu jawaban memikirkan soal yang
sesuai.
25
25
e. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok
dengan kartunya (soal maupun jawaban).
f. Selanjutnya setelah kelompok I dan II berpasangan. Kartu yang telah
dipasangkan (soal dan jawaban) diberikan kepada kelompok III untuk
dikoreksi.
g. Kelompok III sebagai penilai memberikan poin kepada kelomok yang
benar.
h. Setelah batas waktu yang ditentukan habis, kemudian ketiga kelompok
bertukar peran, kelompok I menjadi penilai, kelompok II menjadi
kelompok pemegang kartu soal dan kelompok III sebagai pemegang
kartu jawaban.
i. Selanjutnya melakukan langkah seperti di atas.
j. Petukaran peran dilakukan sampai semua kelompok merasakan menjadi
kelompok pemegang kartu soal, kartu jawaban dan penilai.
k. Kesimpulan/ penutup.
26
26
Gb 2.1. Skema Kerangka Berpikir Hubungan antara Model Pembelajaran Make A Match
dan Hasil Belajar
Kd. Mengenal perkembangan teknologi produksi
komunikasi, dan transportasi serta
pengalaman menggunakannnya
Pembelajaran Konvensional Pembelajaran Make A Match
Guru menyampaikan materi
ceramah
Siswa pasif mendengarkan
penjelasan dari
guru
Hasil belajar rendah
(< KKM
90)
- Pembentukan 3 kelompok
- Penentuan peran
Penilaian
H
as
il
B
el
aj
ar
Tes Formatif
Kelompok I Kelompok II Kelompok III
Pemegang
k
a
r
t
u
s
o
a
l
Pemegang
kart
u
jaw
aba
n
Penilai soal dan
jawa
ban
Memikirkan dan mencari kartu yang sesuai
dengan soal atau jawaban.
Penilaian pasangan kartu
Kelompok berganti peran yang berbeda
dengan peran yang pertama
Penarikan kesimpulan
Mengerjakan Tes Formatif
Hasil belajar meningkat (≥ KKM 90)
Penilaian hasil belajar
Penilaian proses
kartu soal, kartu jawaban dan penilaian
27
27
2.4 Hipotesis
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang telah dipaparkan di
atas, maka dapat dirumuskan “Ada efektifitas penggunaan benda kongkret
pada model pembelajaran make a match terhadap hasil belajar IPS siswa
kelas IV SD Gugus Perkutut Tuntang Semarang semester II tahun ajaran
2011/2012”
Top Related