BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bagian ini dibahas mengenai kajian konseptual dan juga kajian empiris
sebagai dasar untuk mengembangkan kerangka model kepuasan wisatawan dan
perilaku wisatawan khususnya pasca mendapatkan pelayanan. Penelitian mengenai
destinasi pariwisata dan pelayanan yang diberikan kepada wisatawan saat mereka
berkunjung dan menginap di hotel, telah banyak dilakukan dan memberikan kontribusi
terhadap bidang kepariwisataan. Penelitian mengenai kepuasan wisatawan tersebut
masih dilakukan secara terpisah antara kepuasan terhadap pelayanan daya tarik wisata
dan tempat mereka menginap, kemudian masih adanya perdebatan antara variabel
yang mempengaruhi kepuasan wisatawan. Bab ini membahas mengenai konsep
kepuasan beserta grand theory yang mendukungnya, anteseden kepuasan yaitu konsep
mengenai kualitas layanan, konsep citra, konsekuensi dari kepuasan yaitu konsep
loyalitas konsumen dalam upaya menjelaskan niat dan perilaku wisatawan dalam
membuat keputusan dalam melakukan kunjungan ke sebuah destinasi pariwisata, serta
melakukan hubungan relasional dimasa yang akan datang.
2.1. Kepuasan Pelanggan (Customer Satisfaction)
Kepuasan pelanggan telah menjadi konsep utama dalam setiap usaha
perusahaan dan kepuasan merupakan faktor kunci untuk kesuksesan di industri
pariwisata (Sadeh et al., 2012). Konsep kepuasan konsumen bukan merupakan proses
yang sederhana karena konsumen memiliki peran dalam service encounter dan
19
berpengaruh terhadap kepuasan yang dibentuk. Konsumen merupakan fokus utama
dalam pembahasan mengenai kepuasan dalam proses pelayanan. Oleh karena itu
perusahaan memberikan komitmennya terhadap kepuasan pelanggan dalam
pernyataan visi dan misinya, iklan maupun dalam pertemuan-pertemuan yang
melibatkan konsumen. Pertumbuhan jumlah perusahaan serta produk yang yang
ditawarkan semakin banyak dan variatif, menyebabkan konsumen memiliki banyak
pilihan terhadap produk dan jasa yang ditawarkan, sehingga kekuatan tawar menawar
dari pelanggan semakin besar. Konsumenpun mulai mendapatkan perhatian yang
utama dalam pemakaian produk ataupun jasa tertentu. Oleh karena itu, konsumen
memegang peranan cukup penting dalam mengukur kepuasan terhadap produk
maupun pelayanan yang diberikan perusahaan (Kotler dan Keller, 2009:142).
Kepuasan konsumen didefinisikan oleh WTO: 1985 sebagai sebuah konsep
psikologis yang melibatkan perasaan sejahtera dan senang yang dihasilkan dari sebuah
harapan dan yang diharapkan dari produk dan jasa (Chen, 2008). Kemudian Van
Vuuren et al. (2012) menyatakan bahwa kepuasan adalah respon emosional pelanggan
ketika mengevaluasi perbedaan antara harapan mengenai layanan dan persepsi kinerja
aktual dan persepsi kinerja diperoleh melalui interaksi fisik pelanggan dengan produk
dan jasa bisnis. Jika pelayanan yang diharapkan lebih kecil dari persepsi pelayanan
aktual yang diterima, maka pelanggan akan merasa sangat terpuaskan. Jika pelayanan
yang diharapkan sama dengan persepsi pelayanan aktual yang diterima, maka
pelanggan akan merasa cukup terpuaskan. Namun, jika harapan pelayanan lebih besar
dibandingkan dengan persepsi pelayanan nyata yang diterima, maka pelanggan merasa
tidak terpuaskan (Kotler et al., 2003: 386).
Lebih lanjut Lovelock dan Wright (2007; 96) mengemukakan bahwa
pelanggan menilai tingkat kepuasan atau ketidakpuasan mereka setelah menggunakan
jasa dan menggunakan informasi ini untuk memperbaharui persepsi mereka tentang
kualits jasa, tetapi sikap terhadap kualitas tidak bergantung kepada pengalaman. Orang
sering mendasarkan penilaian tentang kualitas jasa yang belum mereka pernah pakai
pada informasi dari mulut ke mulut atau dari iklan, namun pelanggan harus benar-
benar menggunakan suatu jasa untuk mengetahui apakah mereka puas atau tidak
dengan hasilnya.
Kotler dan Keller (2009:139) menyatakan bahwa kepuasan adalah perasaan
senang atau kecewa seseorang yang timbul karena membandingkan kinerja yang
dipersepsikan produk (hasil) terhadap ekspektasi mereka. Jika kinerja gagal memenuhi
ekspektasi, konsumen akan merasa tidak puas, jika kinerja sesuai dengan ekspektasi,
konsumen akan puas dan jika kinerja melebihi ekspektasi maka konsumen akan
merasa sangat puas. Untuk dapat memahami tingkat kepuasan konsumen secara baik,
maka perlu dipahami pula sebab-sebab kepuasan. Pada dasarnya kepuasan konsumen
mencakup perbedaan antara harapan konsumen akan produk atau jasa (diperoleh dari
promosi ataupun informasi, kebutuhan dan keinginan) dengan hasil kinerja yang
dirasakan oleh konsumen dalam memakai produk atau jasa. Lebih lanjut Kotler et al.,
(2003:383) menyatakan bahwa bagi perusahaan yang berpusat pada konsumen
(customer centered), perusahaan harus memberikan nilai yang tinggi kepada
konsumennya karena akan mendorong kepada kepuasan konsumen yang merupakan
tujuan perusahaan.
Kepuasan konsumen memberikan banyak manfaat bagi perusahaan, dan
tingkat kepuasan konsumen yang makin tinggi akan menghasilkan loyalitas yang lebih
besar. Dalam jangka panjang, akan lebih menguntungkan mempertahankan konsumen
daripada terus menerus menarik konsumen baru untuk menggantikan konsumen yang
pergi (Lupiyoadi, 2013: 228). Jadi dapat dikatakan bahwa kepuasan merupakan
elemen penting untuk menjaga hubungan jangka panjang dengan pelanggan.
Peningkatan kepuasan dapat menyebabkan peningkatan pendapatan dan keuntungan
bagi penyedia layanan.
Kepuasan memiliki implikasi penting bagi tujuan manajemen, karenanya
konsekuensi utama dari kepuasan adalah loyalitas yang dimanifestasikan dalam
perilaku pembelian ulang, kesediaan untuk membayar harga yang lebih tinggi,
komunikasi dari mulut ke mulut serta peningkatan ekuitas merek (Dmitrovic et al.,
2009). Manfaat kepuasan konsumen selanjutnya adalah dapat mengisolasi konsumen
dari persaingan, dapat menciptakan keunggulan yang berkelanjutan, mengurangi biaya
kegagalan, menarik konsumen kembali dan mendorong loyalitas, menciptakan
promosi yang positif dari mulut ke mulut (WOM) dan dapat menurunkan biaya dalam
menarik konsumen baru (Lovelock dan Wright, 2007: 104 - 105).
Penelitian empiris tentang kepuasan konsumen telah banyak dilakukan di
bidang pariwisata maupun perhotelan, seperti penelitian di hotel (Forozia, 2012;
Molina, 2014; Clemes et al., 2009; Oh, 1999; Kaveh, 2012; Milfelner et al., 2009;
Raza et al., 2012; Mohajerani, 2013), penelitian pada destinasi pariwisata (Xia et al.,
2009; Aliman et al., 2014; Herstanti et al., 2014; Chen dan Chen, 2010; Chen, 2008;
Alizadeh dan Saghafi, 2014; Sadeh et al., 2012; Quintal dan Plocynski, 2010; Chen
dan Tsai, 2007), penelitian di restaurant (Kang dan Wang, 2009; Qin dan Prybutok,
2009; Ryu et al., 2012; Chang, 2013; Channoi et al., 2013; Chitty et al., 2007; Xie dan
Chaipoopirutana, 2014). Seperti penelitian yang dilakukan oleh Xia et al. (2009)
dalam mengukur anteseden kepuasan wisatawan yang berkunjung ke Guilin dengan
analisis SEM menemukan bahwa harapan wisatawan, citra destinasi, kualitas layanan
dan nilai yang dirasakan wisatawan merupakan faktor-faktor yang membentuk
kepuasan wisatawan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kepuasan yang dirasakan
wisatawan memiliki pengaruh positif kepada loyalitas sedangkan berpengeruh
negative terhadap komplain wisatawan.
Penelitian oleh Forozia, (2012) pada hotel bintang tiga di Malaysia
menemukan bahwa kepuasan tamu dipengaruhi secara langsung oleh kualitas layanan,
nilai yang dirasakan tamu dan harapan tamu, dan kualitas layanan memiliki pengaruh
yang paling tinggi terhadap kepuasan. Penelitian ini membuktikan bahwa kepuasan
tamu adalah faktor utama yang mendorong kesuksesan usaha perhotelan. Dari kedua
penelitian ini, tampak bahwa masih ada perdebatan mengenai faktor-faktor yang
menentukan kepuasan wisatawan.
Canny dan Hidayat (2012) dari hasil penelitiannya menemukan bahwa
kepuasan berpengaruh signifikan terhadap niat perilaku wisatawan. Indikator yang
yang digunakan dalam mengukur kepuasan terdiri atas 3 indikator yaitu puas
berkunjung ke Borobudur, menikmati berkungjung ke Borobudur, dan berkunjung
kembali ke Borobudur. Demikian juga dengan penelitian dari Gallarza et al., (2013)
menggunakan 3 indikator dalam menggukur kepuasan wisatawan terdiri atas
keputusan berkunjung adalah hal yang bijaksana, melakukan keputusan yang benar
dalam perjalanan ini, dan pengalaman ini yang diinginkan.
Kualitas pelayanan memberikan kontribusi dalam meningkatkan citra
perusahaan (Kandampully dan Hu, 2007; Ryu et al., 2012; Clemes et al., 2009),
meningkatkan nilai yang dirasakan wisatawan (Molina, 2014; Milfelner et al., 2009;
Channoi et al., 2013) meningkatkan kepuasan (Herstanti et al., 2014; Alizadeh dan
Saghafi, 2014; Forozia, 2012) dan loyalitas merupakan hasil dari adanya kepuasan
yang dirasakan oleh konsumen (Kandampully dan Suhartono, 2000; Kandampully dan
Hu, 2007; Lai et al., 2009). Oleh karena itu, kepuasan konsumen merupakan hal yang
menjadi perhatian utama bagi pengelola usaha di bidang pariwisata dan perhotelan
dengan memberikan kualitas produk dan jasa yang terbaik, sehingga diharapkan dapat
meningkatkan loyalitas konsumen kepada perusahaan dimasa yang akan datang.
Kotler et al., (2003:389-390) menyatakan bahwa kepuasan wisatawan
merupakan syarat loyalitas dan harapan wisatawan harus dipenuhi atau lebih tinggi
dalam rangka membangun loyalitas. Bagaimanapun ada beberapa alasan mengapa
wisatawan yang puas mungkin tidak menjadi loyal. (1) Beberapa wisatawan tidak
kembali lagi ke destinasi pariwisata sebelumnya, biarpun mereka mendapatkan
kepuasan atas pelayanan hotel, karena mereka tidak pernah kembali lagi ke destinasi
pariwisata tersebut. (2) Beberapa wisatawan ingin mendapatkan pengalaman yang
berbeda dari hotel atau restoran lain saat mereka kembali berkunjung ke destinasi
pariwisata tersebut, meskipun mereka mendapatkan kepuasan dari hotel sebelumnya.
(3) Beberapa wisatawan sensitive terhadap harga, biarpun mereka merasa puas
terhadap hotel sebelumnya, mereka mencari hotel yang memberikan penawaran lebih
kepada mereka.
Yoon dan Uysal (2005) menyatakan bahwa evaluasi kepuasan wisatawan perlu
dipertimbangkan dalam berbagai dimensi, wisatawan kemungkinan memiliki berbagai
alternatif dalam mengunjungi sebuah destinasi pariwisata dan memiliki standar dan
level kepuasan yang berbeda, oleh karena itu model yang mengintegrasikan berbagai
model kepuasan akan lebih efektif dalam mengukur kepuasan wisatawan.
Membangun hubungan yang kuat dan erat dengan pelanggan adalah mimpi
semua pemasar dan hal ini sering menjadi kunci keberhasilan pemasaran jangka
panjang (customer relationship management). Keuntungan dari adanya hubungan
pemasaran ini adalah dapat menurunkan sensitivitas harga, menurunkan biaya
pemasaran dan adanya pembelian ulang dari konsumen yang loyal (Kotler et al.,
2003:394). Oleh karena itu, membangun hubungan yang kuat dan berkelanjutan
dengan pelanggan adalah hal yang perlu dilakukan oleh perusahaan karena dapat
memberikan manfaat bagi perusahaan dan juga pelanggan.
2.1.1 Teori Disonansi Kognitif (Theory of Cognitive Dissonance)
Teori disonansi kognitif oleh Festinger (1957) menyatakan bahwa sikap
seseorang pada umumnya konsisten, dan orang itu berbuat sesuatu yang sesuai dengan
sikapnya sedangkan berbagai tindakannyapun akan bersesuaian satu sama lain. Oleh
karena itu, seseorang akan menghindari tindakan yang tidak sesuai dengan sikapnya
(Azwar, 1988:35). Teori ini cenderung menjelaskan tentang kepuasan yang dialami
dan juga tentang kepercayaan yang dimiliki dalam mengamati sesuatu. Unsur kognitif
adalah setiap pengetahuan, opini, atau kepercayaan mengenai lingkungan, diri sendiri
atau mengenai perilakunya. Disonansi menggambarkan inkonsistensi antara dua atau
lebih unsur kognitif. Apabila dua unsur kognitif yang relevan tetapi tidak sesuai atau
tidak konsisten satu sama lain, maka terjadilah disonansi kognitif atau kesenjangan
dan perbedaan antara ekspektasi dengan kinerja produk. Apabila kinerja lebih buruk
dari yang diharapkan, maka situasinya disebut negative diskonfirmasi, dan jika kinerja
yang terjadi sama persis atau lebih baik dari harapan, maka situasinya disebut positif
diskonfirmasi.
Terminologi yang dipakai dalam teori disonansi kognitif bisa diterjemahkan ke
dalam konteks kepuasan pelanggan dan elemen kognitif bisa direpresentasikan dengan
ekspektasi terhadap produk sebelum pemakaian atau konsumsi dan kinerja produk.
Konsep ini membentuk inti dari teori disonansi kognitif yaitu disonansi adalah sebuah
perasaan tidak nyaman yang memotivasi orang untuk mengambil langkah demi
mengurangi ketidaknyamanan itu (Taylor et al., 2012:171). Menurut Walgito
(2003:138), ada 3 (tiga) cara untuk mengurangi atau menghilangkan disonansi tersebut
yaitu (1) merubah unsur kognitif yang bersifat perilaku, (2) merubah unsur kognitif
dari lingkungan, (3) menambahkan unsur kognitif baru. Model dari disonansi kognitif
dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Model Teori Disonansi Kognitif
Sumber: http://www.istheory.yorku.ca/cognitivedissonancetheory.htm
Cognition A
Cognition B
Irrelevant
Cognition A
Cognition B
Relevant
Cognitive Dissonance
Consonant: one follows from the others
Dissonant: the opposite of one follows from the others
Avoidance of information likely to increase dissonance
Definition: Cognition is
an element of
knowledge
Psychological
discomfort
2.1.2. Teori Ekspektasi Nilai (Expectancy-Value Theory)
Teori ekspektasi akan nilai telah menjadi salah satu pandangan yang paling
penting tentang sifat motivasi berprestasi, dan teori ini dapat menjelaskan kepuasan
individu terhadap harapan dengan kenyataan yang dialaminya. Teori ini mengadopsi
perspektif yang mengandaikan bahwa harapan individu untuk sukses dan nilai yang
mereka miliki untuk berhasil adalah determinan penting dari motivasi mereka untuk
melakukan tugas prestasi yang berbeda. Teori ini memperluas gagasan teori social
exchange theory dengan menambahkan elemen penilaian kemungkinan bahwa
kemungkinan masing-masing pilihan akan terwujud (Taylor et al., 2012:10). Teori
harapan nilai oleh Martin Fishbein (1970) ini telah digunakan untuk memahami
motivasi yang mendasari perilaku individu. Teori ini mengusulkan bahwa jika
seseorang dapat menentukan unsur-unsur yang mempengaruhi niat, maka seseorang
dapat lebih pasti memprediksi apakah individu akan terlibat dalam perilaku tertentu.
Dasar dari teori ini adalah bahwa individu memilih perilaku berdasarkan hasil
yang mereka harapkan dan nilai yang mereka anggap berasal dari hasil harapan
tersebut. Semakin menarik suatu hasil tertentu untuk individu, semakin besar
kemungkinan orang tersebut akan terlibat dalam perilaku. Jika usaha menunjukkan
hasil yang positif maka motivasi untuk terlibat dalam perilaku akan meningkat.
Harapan itu sendiri didefinisikan sebagai pengukuran kemungkinan bahwa hasil
positif/untung atau negatif/rugi akan terkait dengan atau mengikuti dari tindakan
tertentu. Dengan demikian hasil atau harapan akan nilai yang mempengaruhi sikap
seseorang terhadap perilaku dan selanjutnya orang akan mengambil sikap yang
dianggapnya terbaik (Taylor et al., 2012:177).
Jika dikaitkan dalam konteks pariwisata, sebelum wisatawan datang ke sebuah
destinasi pariwisata, wisatawan akan memiliki beberapa penilaian atau harapan
terhadap destinasi tersebut baik dari produk dan jasa, maupun keuntungan yang akan
didapatkan. Kemudian wisatawan akan belajar berperilaku seperti yang diharapkan
untuk mendapatkan hasil yang baik sesuai dengan harapannya. Teori ekspektasi nilai
ini jika digambarkan akan nampak seperti pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Model Teori Ekspektasi Nilai (www.networkedlearningconference.org.uk)
2.1.3. Teori Diskonfirmasi Harapan (Expectancy Disconfirmation Theory)
Diskonfirmasi dalam paradigma ekspektasi banyak digunakan dalam penelitian
yang bertujuan untuk mengukur tingkat kepuasan pelanggan. Oliver (1980)
menyatakan bahwa teori diskonfirmasi harapan berpendapat bahwa harapan, ditambah
dengan kinerja yang dirasakan, menyebabkan perasaan kepuasan pasca pembelian.
Efek ini dimediasi melalui diskonfirmasi positif atau negatif antara harapan dan
kinerja. Jika sebuah produk melebihi harapan (diskonfirmasi positif) kepuasan pasca
pembelian akan menghasilkan kepuasan dan jika sebuah produk tidak memenuhi
harapan (diskonfirmasi negatif) konsumen kemungkinan tidak puas (Serenko dan
Stach, 2009). Berdasarkan model ini kepuasan terbentuk melalui perbandingan antara
kognitif dan kinerja yang dirasakan dengan pengharapan sebelum pembelian
Confidence Experience Importance Success
Extrinsic Motivation Social Motivation Achievement
Expectancy
Value
Motivation
dilakukan. Apabila kinerja yang dirasakan lebih dari ekspektasi maka akan
menghasilkan positif konfirmasi (satisfaction) atau kinerja yang dirasakan lebih
rendah dari ekpesktasi akan menghasilkan negative disconfirmation (ketidakpuasan).
Jika kinerja dirasakan sama dengan yang diharapkan maka akan menghasilkan tingkat
kepuasan yang moderat atau bahkan akan menimbulkan pengabaian.
Jika dihubungan dengan konteks industri pariwisata, maka wisatawan yang
datang ke sebuah destinasi pariwisata, wisatawan akan membandingkan pelayanan
yang diperolehnya dengan standar dari harapan wisatawan. Kinerja pelayanan yang
dirasakan wisatawan sangat ditentukan oleh standar yang dimiliki wisatawan, jika
melebihi standar maka terjadi kepuasan dan sebaliknya jika dibawah standar
wisatawan maka terjadi ketidakpuasan. Oleh karena itu, pengelola destinasi pariwisata
harus memiliki standar baku dalam pelayanan kepada wisatawan. Model dari
disconfirmation theory dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Model Teori Diskonfimasi Harapan
Sumber: http://www.quirks.com/articles/a2004/20040601.aspx
Functional Quality Technical Quality
Search, Experience
Credence Qualities
Product Itself Prior Experience
Information from Referents
Marketing Activities
Perceived Performance Expectations
Comparison
P > E P = E P < E
Positive Disconfirmation Confirmation Negative Disconfirmation
Satisfaction Dissatisfaction Indifferent or Neutral
P = Perceived Performance E = Expectation
2.2. Kualitas Layanan (Service Quality)
Kualitas layanan merupakan konsep yang telah menjadi perhatian utama bagi
perusahaan dalam memberikan pelayanan bagi pelanggannya khususnya dalam
lingkungan kompetisi yang semakin berkembang. Ada beberapa pengertian yang
disampaikan dalam memperjelas makna dari kualitas layanan. Dalam Parasuraman et
al. (1985) menyatakan tentang konsep kualitas layanan:
1). Kualitas layanan jasa lebih sulit dievaluasi dari kualitas produk bagi
konsumen,
2). Persepsi kualitas layanan adalah hasil perbandingan dari harapan konsumen
dengan kinerja jasa yang terjadi,
3). Evaluasi kualitas tidak dibuat semata-mata pada hasil layanan, juga melibatkan
evaluasi dalam proses pelayanan.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa kualitas pelayanan sebagai hasil dari
perbandingan antara harapan layanan dan apa yang telah diterima, sehingga kualitas
layanan merupakan strategi penting bagi keberhasilan dan kelangsungan hidup dalam
lingkungan yang kompetitif saat ini. Kemudian Lehtinen dan Lehtinen dalam Kang
dan James (2004) mendefinisikan kualitas pelayanan dari segi kualitas fisik, kualitas
interaktif dan kualitas perusahaan. Kualitas fisik berkaitan dengan aspek layanan yang
dapat dirasakan. Kualitas interaktif melibatkan sifat interaktif layanan dan mengacu
pada aliran dua arah yang terjadi antara pelanggan dan penyedia layanan, termasuk
interaksi otomatis dan animasi. Mereka juga menyarankan bahwa bila dibandingkan
dengan dua dimensi kualitas lainnya, kualitas perusahaan cenderung lebih stabil dari
waktu ke waktu.
Kang dan James (2004) menekankan pentingnya citra perusahaan dalam
pengalaman kualitas pelayanan, pelanggan membawa pengalaman mereka sebelumnya
dan persepsi keseluruhan dari sebuah perusahaan jasa untuk setiap pertemuan karena
pelanggan sering memiliki kontak terus menerus dengan perusahaan jasa yang sama.
Oleh karena itu, konsep citra diperkenalkan sebagai satu komponen penting dalam
model kualitas pelayanan yang dirasakan. Sebuah citra yang baik dan terkenal
merupakan aset bagi perusahaan apapun karena citra memiliki dampak pada persepsi
pelanggan dari komunikasi dan operasi perusahaan dalam banyak hal. Jika penyedia
layanan memiliki citra positif di benak pelanggan, kesalahan kecil akan diampuni. Jika
citra penyedia adalah negatif, dampak dari kesalahan apapun akan sering muncul di
benak konsumen. Oleh karenanya, citra bisa dilihat sebagai filter dalam hal persepsi
konsumen terhadap kualitas.
Lovelock dan Wright (2007; 96) menyatakan bahwa kualitas jasa merupakan
evaluasi kognitif jangka panjang pelanggan terhadap penyerahan jasa suatu
perusahaan. Pada perusahaan yang bergerak di bidang jasa, maka pelayanan
merupakan produk yang dijual oleh perusahaan. Namun bagi perusahaan jasa tidak
semua perusahaan jasa hanya sekedar menjual suatu pelayanan saja. Pada beberapa
jenis penyedia jasa lainnya seperti hotel misalnya, maka selain pelayanan biasanya
juga ditawarkan kepada konsumen berupa barang seperti makanan dan minuman.
Studi yang dilakukan di berbagai industri jasa menunjukkan arti penting faktor barang
dalam mempengaruhi tingkat kepuasan konsumen (Kandampully, 2000). Bagi industri
jasa, memelihara loyalitas pelanggan lebih sulit dan menantang karena penentu
perilaku dari pelanggan lebih kompleks (McMullan dan Gilmore, 2003; Gounaris dan
Stathakopoulos, 2004) dan berkaitan dengan empat karakteristik jasa yaitu (1)
Intangibility; kurangnya bukti fisik/nyata, tidak dapat dirasa sebelum konsumsi, (2)
Heterogenity; ketidakmampuan standarisasi output dari jasa dibandingkan dengan
barang, (3) Inseparibility; ketidakterpisahan produksi dan konsumsi atau produksi jasa
sifatnya simultan/tidak dapat dipisahkan antara penyedia jasa dengan konsumen, (4)
Perishability; ketidakmampuan menginventarisasi layanan jasa dibandingkan dengan
barang atau jasa tidak dapat disimpan (Zeithmal et al., 1985; Vargo dan Lusch, 2004).
Salah satu model kualitas layanan yang banyak dijadikan acuan dalam riset
pemasaran adalah model ServQual (Service Quality) yang dikembangkan oleh
Parasuraman et al. (1985). ServQual dibangun atas adanya perbandingan dua faktor
utama yaitu persepsi pelanggan atas layanan yang nyata mereka terima (perceived
service) dengan layanan yang sesungguhnya diharapkan atau diinginkan (expected
service). Terdapat lima kesenjangan yang menyebabkan adanya perbedaan antara
persepsi dan harapan pelanggan terhadap kualitas pelayanan, seperti ditunjukkan pada
Gambar 2.4.
Model kesenjangan/gap dalam pelayanan menyajikan lima kesenjangan yang
memberikan dampak terhadap kualitas pelayanan, serta dapat mengurangi kualitas dari
pelayanan. Kesenjangan 1 merupakan kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan
dan persepsi manajemen. Kesenjangan 2 merupakan kesenjangan antara persepsi
manajemen dan penjabaran spesifikasi pelayanan yang akan diberikan kepada
konsumen. Kesenjangan 3 merupakan kesenjangan antara penjabaran spesifikasi
pelayanan dan penyampaian pelayanan. Kesenjangan 4 merupakan kesenjangan antara
penyampaian pelayanan dan komunikasi eksternal (promosi) ke konsumen.
Kesenjangan 5 merupakan kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan dan
pelayanan yang dirasakan. Persepsi konsumen mengenai kualitas pelayanan
bergantung pada perbandingan persepsi pelaksanaan pelayanan yang aktual dengan
harapan bagaimana pelayanan semestinya dilakukan atau konsumen mengukur jasa
yang dirasakan dengan cara yang lain.
Gambar 2. 4. Model Kualitas Pelayanan/Service Quality (Parasuraman et al., 1985).
2.3. Dimensi Kualitas Layanan
Kualitas layanan merupakan bagian penting dalam usaha perusahaan untuk
meningkatkan kepuasan pelanggannya. Terdapat lima dimensi model ServQual
(Service Quality) yang dikembangkan oleh Parasuraman et al. (1985) sebagai berikut:
1). Tangible (Berwujud/Bukti Fisik), yaitu kemampuan perusahaan dalam
menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Hal ini berhubungan
dengan fasilitas fisik yang berdaya tarik visual.
Word of Mouth
Communication
Personal
Needs
Past
Experience
Expected Service
Perceived Service
Service Delivery External
Communication to Customers
Translation of Perceptions into Service Quality
Management Perception of Customer Expectation
Gap 5
CONSUMER
MARKETER
Gap 3
Gap 4
Gap 2
Gap 1
2). Reliability (Keandalan), yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan
pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya.
3). Responsiveness (Daya Tanggap), yaitu kemampuan dan kesediaan perusahaan
untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat
pada pelanggan.
4). Assurance (Jaminan), yaitu pengetahuan, perilaku, dan kemampuan para
karyawan perusahaan untuk menumbuhkan kepercayaan para pelanggan
kepada perusahaan dan kemampuan untuk menciptakan rasa aman bagi para
pelanggan.
5). Empathy (Empati), yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat
individual atau pribadi kepada para pelanggan serta berupaya memahami
kebutuhan dan keinginan pelanggan.
Penelitian empiris tentang kualitas pelayanan telah banyak dilakukan, seperti
yang dilakukan oleh Patawayati et al. (2012) menemukan bahwa kualitas pelayanan
memiliki efek positif dan signifikan terhadap kepuasan, kepercayaan dan komitmen
pasien yang berpengaruh secara signifikan terhadap loyalitas pasien. Tetapi, kepuasan
pasien tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap loyalitas pasien. Selain itu,
kepercayaan pasien dan komitmen secara positif dipengaruhi oleh kepuasan pasien.
Selanjutnya, penelitian ini membuktikan bahwa peningkatan kepuasan pasien mampu
meningkatkan loyalitas pasien melalui peran mediasi kepercayaan pasien dan
komitmen (mediasi lengkap), tapi kepuasan pasien tidak memediasi hubungan antara
kualitas pelayanan terhadap loyalitas pasien. Akhirnya, tingkat komitmen yang tinggi
pasien terbukti menjadi mediator parsial hubungan antara kepercayaan terhadap
loyalitas pasien.
Penelitian oleh Moon et al., (2011); Mamoun et al. (2016) menunjukkan hasil
bahwa kualitas layanan destinasi memiliki pengaruh positif dan signifikan secara
langsung terhadap citra destinasi. Demikian juga penelitian oleh Kuo dan Tang (2011)
di Taiwan menunjukkan bahwa kualitas layanan berpengaruh positif dan signifikan
terhadap citra perusahaan. Hasil yang berbeda diperoleh dari penelitian oleh Soltani et
al., (2016) dan Misria (2014), yang menemukan bahwa kualitas layanan tidak
memiliki pengaruh signifikan terhadap citra perusahaan. Demikian juga Malik et al.
(2011) yang melakukan penelitian pada hotel bintang empat dan lima di Pakistan,
menemukan bahwa kualitas layanan tidak sepenuhnya berpengaruh signifikan
terhadap citra hotel khususnya pada dimensi jaminan (assurance) dan bukti fisik
(tangibles). Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat perbedaan hasil yang
menghubungkan antara kualitas layanan terhadap citra.
Osman dan Sentosa (2013) melakukan penelitian dalam rangka menunjukkan
hubungan dari kualitas pelayanan, kepuasan pelanggan dan kepercayaan terhadap
loyalitas pelanggan di pasar pariwisata pedesaan di Malaysia dan hasil penelitian
mereka bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara kualitas layanan dengan
loyalitas pelanggan. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Wu (2011) yang
menemukan bahwa terjadi hubungan yang tidak signifikan dan lemah antara kualitas
layanan dan loyalitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan dapat
diperbaiki dan ditingkatkan dengan berfokus pada faktor-faktor yang dapat
meningkatkan kualitas pelayanan.
Olorunniwo et al. (2006) menemukan bahwa meskipun efek langsung dari
kualitas layanan terhadap niat perilaku membeli adalah signifikan, efek tidak langsung
(dengan kepuasan memainkan peran mediasi) adalah pendorong yang lebih kuat bagi
niat melakukan pembelian kembali dalam konteks kualitas layanan. Kemudian Malik
et al. (2012) yang melakukan penelitian pada sektor telekomunikasi di Pakistan
menemukan hasil bahwa kualitas layanan berpengaruh secara positif terhadap
kepuasan. Pemahaman tentang berbagai dimensi yang mempengaruhi loyalitas akan
membantu para manajer untuk mengembangkan program yang tepat tindakan dalam
memberikan pelayanan yang lebih baik dan membangun loyalitas pelanggan.
Penelitian dalam pengelolaan kualitas layanan sebuah destinasi pariwisata
ditunjukkan oleh Haghkhah et al. (2011) yang menemukan bahwa kualitas layanan
sebuah destinasi yang diukur dari aksesibilitas, akomodasi dan tempat memiliki
hubungan yang signifikan terhadap nilai yang dirasakan, kepuasan wisatawan, dan
juga berpengaruh langsung terhadap niat mereka untuk datang kembali pada industri
pariwisata di suatu destinasi pariwisata. Demikian juga penelitian Hsieh (2012);
Wahyuningsih (2012) menemukan bahwa kualitas layanan destinasi berpengaruh
terhadap nilai yang dirasakan wisatawan saat berinteraksi dengan destinasi pariwisata.
Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa kualitas layanan destinasi memberikan
pengaruh terhadap kepuasan wisatawan (Al-Ababneh, 2013; Ali dan Ahliyya, 2012)
dan berpengaruh terhadap niat perilaku wisatawan (Canny, 2013; Gallarza et al. 2013).
Narayan et al. (2008) menggunakan empat belas dimensi dengan enam puluh
dua indikator dalam mengukur kualitas layanan sebuah destinasi pariwisata di Kerala
India. Hasil penelitian mereka memberikan kontribusi kepada manajer dalam rangka
mengukur persepsi wisatawan terhadap pelayanan yang diberikan kepada wisatawan.
Penelitian dalam pengelolaan kualitas layanan hotel/jasa, Cronin, et al. (2000)
menemukan bahwa kualitas layanan memiliki pengaruh terhadap langsung terhadap
nilai yang dirasakan, kepuasan, dan juga berpengaruh langsung terhadap niat perilaku.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa kualitas layanan memiliki nilai yang lebih tinggi
terhadap niat perilaku jika melalui kepuasan, hal ini menunjukkan bahwa kualitas
layanan yang dirasakan pelanggan akan berdampak lebih tinggi terhadap niat perilaku
pelanggan apabila pelanggan mendapatkan kepuasan terhadap pelayanan perusahaan.
Kang dan James (2004); Amissah (2013) menggunakan dimensi kualitas
layanan dalam mengukur kualitas layanan hotel kepada tamu yang menginap.
Hasilnya menunjukkan bahwa dimensi kualitas layanan berkontribusi dalam mengukur
nilai yang dirasakan wisatawan dan terhadap kepuasan wisatawan. Demikian juga
dengan Clemes (2009); Gallandari (2013) dalam penelitian mereka menemukan bahwa
dimensi kualitas layanan berpengaruh langsung terhadap nilai yang dirasakan
wisatawan. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa kualitas layanan hotel akan
memberikan pengaruh terhadap kepuasan (Abbasi et al., 2010; Qin dan Prybutok,
2009; Oh, 1999) dan terhadap niat perilaku pelanggan (Kim dan Lee, 2010;
Kandampully dan Hu, 2007; Meng et al., 2011; Ladhari, 2009) dan kualitas layanan
memiliki pengaruh tidak langsung terhadap niat perilaku melalui kepuasan (Lai et al.,
2009; Olorunniwo et al., 2006).
2.4. Citra (Image)
Konsep citra telah dipelajari selama bertahun-tahun di berbagai bidang seperti
pemasaran dan perilaku pelanggan (Stepchenkova dan Morrison, 2008). Menurut
Bosque et al. (2006), citra adalah hasil dari persepsi yang dimiliki pelanggan pada
perusahaan yang terdiri atas impression, keyakinan dan perasaan seseorang terhadap
perusahaan. Andreassen dan Lindestad (1998) menyatakan citra sebagai fungsi dari
akumulasi dari pengalaman pembelian atau konsumsi dari waktu ke waktu. Lebih
lanjut Nguyen dan Leblanc (2001) menyatakan bahwa citra merupakan impression
perusahaan yang telah melekat di benak konsumen yang terwujud dari adanya
periklanan dan public relations yang dilakukan perusahaan, dari informasi mulut ke
mulut dan melalui pengalaman konsumen pada saat mengkonsumsi barang dan jasa
yang ditawarkan perusahaan.
Dalam industri pariwisata, Kandampully dan Suhartanto (2000) menemukan
bahwa citra hotel menjadi salah satu dari dua faktor yang paling penting bagi tamu
dari sebuah hotel dalam mempertimbangkan niat pembelian kembali dan memberikan
rekomendasi kepada orang lain, oleh karena itu citra memiliki peran penting dalam
mempengaruhi kegiatan pemasaran perusahaan. Richard dan Zhang (2012)
menyatakan citra perusahaan mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap
komitmen pelanggan dan kepuasan pelanggan. Kemudian Bigne et al. (2001)
menyatakan bahwa citra memberikan dampak secara bersamaan pada tiga komponen,
yaitu persepsi kualitas produk dan layanan, kepuasan serta loyalitas. Jadi, membangun
citra perusahaan adalah hal yang penting dilakukan bagi setiap perusahaan dalam
membangun hubungan yang berkelanjutan dengan konsumen, khususnya pada usaha
pariwisata dan perhotelan. Oleh karena itu, perusahan yang bergerak pada usaha
pariwisata dapat meningkatkan pertumbuhan pangsa pasarnya dengan cara
meningkatkan loyalitas pelanggan dan juga citra destinasi pariwisata itu sendiri. Cara
ini lebih menguntungkan daripada kegiatan pemasaran lainnya seperti pemotongan
harga dan promosi, dan lebih menekankan kepada market-share gain daripada market-
growth gain, karena biaya untuk mendapatkan pelanggan baru biayanya lebih mahal
(Tepeci, 1999).
Malik et al. (2012) menyatakan bahwa citra merek merupakan sebuah
hubungan akan merek perusahaan yang ada dalam pikiran konsumen akibat dari
asumsi dari merek yang dirasakan konsumen, dan setiap perusahaan harus mampu
memposisikan merek yang dimilikinya sehingga dapat memberikan citra serta persepsi
yang baik dan unik di masyarakat dan tentunya konsumen. Merek merupakan
serangkaian janji yang di dalamnya menyangkut kepercayaan, konsistensi, dan
harapan. Bagi konsumen merupakan jaminan akan kualitas dan bagi produsen, merek
dapat membantu upaya upaya untuk membangun loyalitas dan hubungan
berkelanjutan dengan konsumen (Kotler dan Keller, 2009: 258-259). Lovelock dan
Wright (2007: 178) berpendapat bahwa untuk jasa, merek/brand adalah lebih dari
sekedar nama atau lambang, merek adalah janji implisit yang dilaksanakan penyedia
jasa untuk memenuhi harapan pelanggan, dan untuk mempertahankan identitas merek
yang telah terkenal, perusahaan harus memperkuat elemen-elemen merek utamanya
dalam setiap melakukan komunikasi dengan pelanggannya.
Merek memainkan peran penting karena merek yang positif akan
memungkinkan pelanggan untuk lebih memvisualisasikan, dan memahami produk,
serta mengurangi risiko yang dirasakan pelanggan dalam membeli jasa sehingga
membantu perusahaan mencapai kinerja yang unggul berkelanjutan (Kim et al., 2008),
mendapatkan reputasi dan keunggulan kompetitif (Porter dan Claycomb, 1997),
meningkatkan berbagai hasil seperti kualitas layanan, kepuasan pelanggan, loyalitas,
dan niat pembelian kembali (Ball et al., 2004; Kandampully dan Hu, 2007; Silva dan
Alwi, 2008; Lai et al., 2009; Meng et al., 2011). Dengan demikian, merek dapat terus
dikenal, menjadi perhatian dan terus dikonsumsi oleh masyarakat (menciptakan
keloyalan konsumen), dipercaya, sehingga merek tersebut menjadi merek yang kuat di
pasaran dan dampaknya pada adanya ikatan merek (brand bonding). Ikatan merek
terjadi apabila pelanggan merasakan bahwa perusahaan menepati yang sudah
dijanjikannya.
Beberapa penelitian tentang citra di perusahaan jasa menemukan bahwa citra
memiliki pengaruh terhadap kepuasan konsumen (Malik et al., 2012; Hsiung, 2011)
dan kepada loyalitas (Merrilees dan Fry, 2002; Tu et al., 2012; Thakur dan Singh,
2012). Kemudian Davies dan Chun (2002) menemukan bahwa citra merek memiliki
pengaruh tidak langsung terhadap loyalitas melalui kepuasan pelanggan, namun
demikian, citra merek dapat dilihat jelas sebagai prediktor loyalitas pelanggan. Sama
halnya dengan penelitian Wu (2011); Kim dan Lee (2010); Thakur dan Singh (2012)
menemukan bahwa citra perusahaan memiliki pengaruh terhadap niat konsumen untuk
datang kembali melakukan pembelian atau transaksi dengan perusahaan. Jadi dapat
dikatakan bahwa perusahaan harus dapat membangun citra perusahaan yang positif di
benak konsumen karena dapat mempengaruhi loyalitas konsumen terhadap
perusahaan.
Chen dan Tsai, (2007); Chi dan Qu (2008) melakukan penelitian dalam
mengukur faktor-faktor yang mempengaruhi niat perilaku wisatawan. Penelitian
mereka menemukan bahwa citra destinasi berpengaruh signifikan terhadap nilai yang
dirasakan wisatawan dan terhadap kepuasan wisatawan. Indikator citra destinasi yang
digunakan terdiri atas 5 indikator yaitu memberikan keamanan pribadi, kualitas yang
baik, bersih, reputasi yang baik, dan keramahan masyarakat. Indikator yang digunakan
oleh Chi dan Qu (2008) dalam penelitin mereka adalah 9 indikator terdiri atas
lingkungan perjalanan, atraksi yang alami, hiburan, atraksi budaya, infrastruktur,
aksesibilitas, uang dan nilai, kegiatan alam dan relaksasi. Seluruh indikator tersebut
berkontribusi terhadap pengaruh konstruk citra destinasi terhadap nilai dan kepuasan
wisatawan.
Untuk tujuan wisata pada umumnya, menilai citra destinasi merupakan hal
penting dalam mendesain strategi pemasaran destinasi pariwisata yang efektif. Tujuan
citra itu sendiri dapat berfungsi sebagai payung dalam sebuah unit geografis yang
berbeda, tempat wisata dan berbagai penyedia infrastruktur pariwisata dan akomodasi,
dan oleh karena itu, citra memiliki dampak yang sangat besar terhadap perusahaan
(Mossberg dan Kleppe, 2005). Dalam pengelolaan citra destinasi, beberapa penelitian
menemukan bahwa citra destinasi berpengaruh terhadap nilai yang dirasakan oleh
wisatawan (Sadeh et al., 2012) dan memiliki pengaruh terhadap kepuasan wisatawan
(Bosque dan Martin, 2008; Mohamad et al., 2011; Rajesh, 2013) serta citra
berpengaruh terhadap niat perilaku wisatawan melalui kepuasan wisatawan (Bosque
dan Martin, 2008; Mohamad et al., 2011; Jamaludin et al., 2012).
2.5. Nilai Yang Dirasakan Pelanggan (Customer Perceived Value)
Kemajuan dan perkembangan teknologi dan dengan semakin banyaknya
alternatif produk dan jasa yang tersedia di pasar, mendorong konsumen menjadi lebih
terdidik dan memiliki pemahaman dalam memilih produk maupun jasa yang akan
dikonsumsinya, sehingga produk yang dikonsumsinya dapat memberikan kepuasan
pada diri konsumen. Nilai yang dirasakan merupakan penilaian konsumen terhadap
produk, jasa, karyawan dan citra yang diterima konsumen dari perusahaan dalam
rangka memuaskan kebutuhannya (Kotler et al., 2003:385). Hal senada juga
disampaikan oleh Zeithaml (1988) bahwa nilai yang dirasakan sebagai penilaian
keseluruhan konsumen terhadap suatu produk berdasarkan persepsi tentang apa yang
diterima dan apa yang diberikan.
Kotler dan Keller (2009: 135-136), menyatakan bahwa dalam menentukan
produk dan perusahaan yang akan dipilihnya, pelanggan memperkirakan penawaran
mana yang akan memberikan nilai tertinggi. Pelanggan menginginkan nilai yang
maksimum dengan dibatasi oleh biaya pencarian serta keterbatasan pengetahuan,
mobilitas, dan penghasilan. Mereka membentuk suatu harapan akan nilai dan
bertindak berdasarkan akan hal tersebut. Kenyataan apakah suatu penawaran
memenuhi harapan akan nilai mempengaruhi kepuasan dan kemungkinan pembelian
kembali (repurchase intention). Nilai bagi pelanggan adalah selisih antara manfaat
yang dirasakan dengan biaya yaitu waktu, tenaga, uang. Lebih lanjut Schiffman dan
Kanuk (2007:8) menyatakan bahwa nilai pelanggan sebagai rasio antara manfaat yang
dirasakan pelanggan baik dari segi ekonomi, fungsional, dan psikologis, maupun
sumber daya (uang, waktu, tenaga) yang digunakan untuk mendapatkan manfaat
tersebut.
Menciptakan nilai yang dirasakan bagi pelanggan merupakan faktor kunci
keberhasilan bagi perusahaan. Nilai ditentukan oleh pelanggan dan pada dasarnya,
nilai pelanggan muncul ketika pelanggan menganggap bahwa total manfaat dari
produk atau jasa lebih besar dari total biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan
produk atau jasa (Alireza et al., 2011). Selanjutnya Vantrappen (1992), menyatakan
bahwa penciptaan nilai bagi pelanggan berarti bahwa perusahaan memenuhi kualitas
pelanggan, pengiriman, dan biaya harapan. Setiap pelanggan memiliki kebutuhan yang
unik dan terus berkembang. Woodruff (1997) menyatakan bahwa untuk membangun
kemampuan pengiriman nilai pelanggan sering membutuhkan mencari dan mengatasi
budaya organisasi, prosedural, dan hambatan belajar. Roig et al. (2006) menemukan
bahwa sumber prinsip keunggulan kompetitif bagi perusahaan untuk menyusun
tawaran yang menyediakan pelanggan dengan nilai yang dirasakan lebih tinggi dari
kompetisi. Oleh karena itu, nilai yang diterima adalah keunggulan kompetitif yang
dapat menyebabkan pengenalan merek, loyalitas atau produk / jasa preferensi.
Nilai yang dirasakan oleh pelanggan merupakan prediktor yang kuat dalam
menjelaskan kepuasan dan niat pembelian pelanggan seperti loyalitas dan informasi
dari mulut ke mulut. Chen dan Tsai (2007) menemukan bahwa citra mempengaruihi
kepuasan melalui jalur nilai yang dirasakan selama perjalanan dan memiliki efek
langsung dan tidak langsung pada niat perilaku wisatawan. Kemudian Yang dan
Peterson (2004) menyatakan bahwa manajer terkadang mengeluarkan biaya lebih
dalam usaha menghambat pelanggan beralih pada perusahaan lain. Penelitian mereka
yang dilakukan pada pengguna layanan online menunjukkan bahwa perusahaan yang
berusaha meningkatkan loyalitas pelanggan, harus fokus pada kepuasan dan nilai yang
dirasakan pelanggan.
Lebih lanjut Hellier et al. (2003) melakukan penelitian di sektor jasa yang
menggambarkan sejauh mana niat pembelian kembali pelanggan dipengaruhi oleh
tujuh faktor penting yaitu kualitas pelayanan, ekuitas, nilai, kepuasan pelanggan,
loyalitas, biaya beralih dan preferensi merek. Penelitian ini juga menemukan bahwa
loyalitas pembelian masa lalu tidak berhubungan langsung dengan kepuasan
pelanggan atau preferensi merek saat ini dan preferensi merek merupakan faktor
intervensi antara kepuasan pelanggan dan niat pembelian kembali.
Quintal dan Polczynski, (2010) menemukan bahwa nilai yang dirasakan
wisatawan berpengaruh terhadap kepuasan wisatawan. Indikator yang digunakan
dalam mengukur nilai yang dirasakan terdiri atas sembilan indikator. Kemudian Kim,
(2010) menggunakan 4 indikator dalam mengukur nilai yang dirasakan wisatawan
terdiri atas pilihan berkunjung adalah keputusan tepat, mendapatkan hasil yang baik
saat berkunjung, tempat yang ingin dikunjungi, dan pengalaman yang lebih. Hasil
yang ditemukan adalah nilai yang dirasakan berpengaruh terhadap kepuasan
wisatawan. Selanjutnya, Gallarza et al., (2013) menemukan pengaruh langsung nilai
yang dirasakan terhadap kepuasan wisatawan. Indikator yang digunakan ada tiga
indikator terdiri atas perjalanan ini adalah hal yang bijaksana, keputusan yang tepat
memilih perjalanan ini, dan pengalaman perjalanan sesuai keinginan.
Chitty et al. (2007) melakukan penelitian menggunakan European Customer
Satisfaction Index (ECSI) untuk mengukur kekuatan dan arah faktor-faktor penentu
kepuasan pelanggan dan dampaknya terhadap loyalitas backpacker di Australia.
Berdasarkan hasil analisis faktor konfirmatori menunjukkan bahwa citra merek adalah
prediktor kepuasan sementara nilai yang dirasakan oleh pelanggan menunjukkan
tingkat kesetiaan terhadap merek. Kemudian penelitian Anwar dan Gulzar (2011)
dilakukan untuk mengetahui dampak dari nilai yang dirasakan terhadap informasi dari
mulut ke mulut serta kepuasan pelanggan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat
pengaruh positif antara nilai yang dirasakan terhadap kepuasan pelanggan dan
informasi dari mulut ke mulut dan niat pembelian kembali. Dengan demikian, nilai
yang dirasakan pelanggan sebagai salah satu langkah penting bagi sebuah perusahaan
untuk mendapatkan keunggulan kompetitif, dan memiliki peran penting dalam
meningkatkan daya saing perusahaan serta merupakan prediktor yang kuat dalam
menjelaskan kepuasan dan loyalitas.
2.6. Niat Pelanggan untuk Kembali (Revisit Intention)
Dalam konteks bisnis, revisit intention digunakan untuk menggambarkan
kesediaan pelanggan untuk datang kembali pada sebuah perusahaan atau destinasi
pariwisata diwaktu yang akan datang. Niat perilaku pelanggan dimasa depan juga
didefinisikan sebagai kesediaan pelanggan untuk merekomendasikan layanan kepada
orang lain dan membeli kembali (Canny, 2013). Niat perilaku ini merupakan dampak
dari kualitas layanan yang diterima pelanggan dan dapat bersifat positif atau negatif.
Niat perilaku ditentukan oleh sikap terhadap perilaku dan norma subyektif. Hal ini
penting dalam memahami kualitas layanan dan kepuasan karena variabel ini
merupakan prediktor perilaku konsumen (Crompton et al., 2001; Bigne et al., 2008).
Penelitian empiris juga menemukan bahwa kualitas layanan dan kepuasan
pelanggan mempengaruhi niat perilaku pelanggan (Cole et al., 2002; Baker dan
Crompton, 2000). Tingkat niat perilaku dimasa depan dalam tujuan tertentu sering
tercermin dalam niat wisatawan untuk meninjau kembali tujuan dan kesediaan mereka
untuk merekomendasikan kepada orang lain (Chen dan Tsai, 2007). Selanjutnya, niat
perilaku pelanggan di masa depan diukur secara berbeda yaitu kesediaan dalam
merekomendasikan, mengatakan hal positif dan meninjau kembali tujuan destinasi
sebelumnya (Lee et al., 2011).
Menciptakan pelanggan yang loyal adalah tujuan penting dalam pemasaran
karena merupakan komponen kunci untuk kelangsungan hidup jangka panjang
perusahaan dan loyalitas adalah komitmen yang dipegang secara mendalam untuk
membeli atau mendukung kembali produk atau jasa yang disukai dimasa depan meski
pengaruh situasi dan usaha pemasaran berpotensi menyebabkan pelanggan beralih
(Kotler dan Keller, 2009:134). Orang yang setia terhadap merek (brand loyalist)
memiliki ikatan perasaan /afektif yang kuat kepada merek favorit yang biasa mereka
beli (Assael, 1995; 268). Apabila loyalitas merek meningkat, maka kerentanan
kelompok pelanggan dari serangan kompetitor dapat dikurangi. Hal ini merupakan
suatu indikator dari brand equity yang berkaitan dengan perolehan laba dimasa yang
akan datang karena loyalitas merek secara langsung dapat diartikan sebagai penjualan
dimasa depan (Rangkuti, 2002: 61).
Lau dan Lee (1999) mengemukakan bahwa loyalitas terhadap merk adalah
perilaku niat untuk membeli sebuah produk dan mendorong orang lain untuk
melakukan hal yang sama. Loyalitas merek jika dikelola dengan benar akan
mempunyai potensi untuk memberikan nilai pada pengurangan biaya pemasaran
karena biaya untuk mempertahankan pelanggan jauh lebih murah dibandingkan
mendapatkan pelanggan, karena pelanggan memiliki keyakinan dapat mengurangi
risiko, memberikan waktu kepada perusahaan dalam merespon gerakan dari pesaing.
Heskett et al. (1997:10); Lovelock dan Wright (2007: 104) menyatakan bahwa
kepuasan konsumen akan mendorong terbentuknya loyalitas konsumen, jadi dapat
dikatakan bahwa kepuasan merupakan salah satu faktor yang membentuk terciptanya
loyalitas. Penelitian di hotel oleh Kandampully dan Hu (2007); Faullant et al. (2008);
Al-Rousan dan Badarudin (2010) menemukan bahwa kepuasan berpengaruh positif
terhadap loyalitas. Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Oliver (1999)
menyatakan bahwa loyalitas merek sebagai komitmen yang dipegang teguh untuk
membeli kembali atau repatronize produk/layanan pilihan secara konsisten di masa
mendatang, sehingga menyebabkan pembelian berulang beberapa merek, meskipun
pengaruh situasional dan upaya pemasaran memiliki potensi menyebabkan perilaku
beralih.
Zeithaml et al. (1996) menyatakan bahwa peningkatan retensi pelanggan dan
penurunan tingkat hilangnya pelanggan merupakan kunci utama kemampuan penyedia
layanan dalam menghasilkan keuntungan. Lebih lanjut Zeithaml et al. (1996)
menyatakan bahwa niat perilaku pelanggan yang menguntungkan berhubungan dengan
kemampuan penyedia layanan mendorong pelanggan untuk tetap setia kepada
perusahaan (yaitu dengan membeli atau datang kembali) dan menghabiskan uang lebih
banyak dengan perusahaan, dan pelanggan bersedia membayar harga premium. Oleh
karena itu, menjaga loyalitas pelanggan adalah usaha yang sangat penting dalam
memperoleh keuntungan dan kelangsungan hidup perusahaan di lingkungan yang
semakin kompetitif. Kemudian Bigne et al. (2008) menyatakan bahwa dampak dari
kepuasan tidak terbatas pada loyalitas, melainkan meluas pada perilaku lainnya seperti
kesediaan pelanggan membayar lebih dan kesediaan membeli souvenir dari penyedia
layanan.
Penelitian dari Kim (2010); Jani dan Han (2013) menemukan bahwa kepuasan
berpengaruh terhadap niat wisatawan untuk kembali. Kim (2010) menggunakan tiga
indikator dalam mengukur niat untuk kembali terdiri atas keinginan tinggi berkunjung
dalam waktu 3 tahun ke depan, akan berkunjung dalam waktu 3 tahun, dan berencana
kembali dalam waktu dekat. Kemudian Jani dan Han (2013) menggunakan dua
indikator dalam mengukur niat untuk kembali terdiri atas berkeinginan tinggal pada
hotel yang sama dan bersedia tinggal kembali pada kunjungan akan datang.
2.6.1 Teori Perilaku yang Direncanakan
Teori yang digunakan dalam menjelaskan niat perilaku konsumen untuk
melakukan pembelian kembali adalah teori perilaku yang direncanakan /Theory of
Planned Behaviour (TPB). Teori perilaku yang direncanakan merupakan
penyempurnaan dari teori tindakan yang beralasan/Theory of Reasoned Action (TRA).
Sejak pertama kali diperkenalkan oleh Ajzen tahun 1985, TPB berhasil diaplikasikan
dalam berbagai konteks. Inti dari TPB adalah adanya unsur kontrol perilaku yang
dirasakan dapat mempengaruhi perilaku sebagai faktor tambahan yang mempengaruhi
minat untuk menggunakannya (Taylor et al., 2012: 205). Model TPB ini
mengemukakan bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh niat individu (behavioral
intention) terhadap perilaku tertentu.
Niat untuk berperilaku tersebut dipengaruhi oleh variabel sikap (attitude),
norma subjektif (subjective norm), dan kontrol perilaku yang dipersepsikan (perceived
behavioral control). Sommer (2011) menyatakan bahwa tujuan dan manfaat dari teori
ini antara lain adalah untuk meramalkan dan memahami pengaruh-pengaruh
motivasional terhadap perilaku yang bukan dibawah kendali atau kemauan individu
sendiri, kemudian untuk mengidentifikasi bagaimana dan kemana mengarahkan
strategi-strategi untuk perubahan perilaku dan juga untuk menjelaskan pada tiap aspek
penting beberapa perilaku manusia seperti mengapa seseorang membeli mobil baru,
memilih seorang calon dalam pemilu, mengapa tidak masuk kerja atau mengapa
melakukan hubungan pranikah. Konsep TPB dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Model Theory of Planned Behavior (Sommer, 2011)
Teori ini menyediakan suatu kerangka untuk mempelajari sikap terhadap
perilaku. Berdasarkan teori tersebut, penentu terpenting perilaku seseorang adalah
intensi untuk berperilaku. Intensi individu untuk menampilkan suatu perilaku adalah
kombinasi dari sikap untuk menampilkan perilaku tersebut dan norma subjektif. Sikap
individu terhadap perilaku meliputi kepercayaan mengenai suatu perilaku, evaluasi
terhadap hasil perilaku, norma subjektif, kepercayaan-kepercayaan normatif dan
motivasi untuk patuh.
2.7. Informasi dari Mulut ke Mulut (Word of Mouth Communication)
Salah satu gagasan yang paling banyak diterima dalam perilaku konsumen
adalah bahwa komunikasi dari mulut ke mulut memberikan peran penting dalam
membentuk sikap dan perilaku konsumen,dan manajer sangat tertarik pada komunikasi
dari mulut ke mulut karena mereka percaya bahwa kesuksesan produk berhubungan
dengan informasi dari mulut ke mulut yang dihasilkannya (Ghalandari, 2013).
Kegiatan pemasaran melalui informasi dari mulut ke mulut ini penting dibangun oleh
perusahaan dalam keberhasilan perusahaan terutama untuk perusahaan yang
Background Factors
Personal:
General Attitudes
Personality Traits Values, Emotions,
Intelligence
Social:
Age, Gender, Race, Ethnicity, Education,
Religion
Information:
Experience, Knowledge, Media
xposure
Behavioral
Beliefs
Normative
Beliefs
Control
Beliefs
Attitude
towards the
Behavior
Subjective
Norms
Perceived
Behavioral
Control
Intentions Behavioral
beroperasi di sektor jasa, dan kemampuan untuk mengidentifikasi prediktor perilaku
komunikasi dari mulut ke mulut merupakan hal yang sangat penting bagi penyedia
layanan (Ng et al., 2011). Hal ini karena ekspektasi layanan di sektor jasa yang belum
jelas, terutama berkaitan dengan karakteristik jasa, yaitu intangibility; heterogenity;
inseparibility; perishability (Zeithaml et al., 1996).
Istilah komunikasi dari mulut ke mulut digunakan untuk menggambarkan
komunikasi lisan, baik positif maupun negatif. Menurut Assael (1995: 639), informasi
dari mulut ke mulut yang negatif cenderung lebih kuat daripada informasi yang positif.
Saat konsumen merasa tidak puas, mereka mengeluh kepada teman dan orang lain tiga
kali lebih banyak daripada saat konsumen tersebut merasa puas dan konsumen
menyampaikan informasi terhadap kinerja produk yang buruk, pelayanan yang buruk,
harga yang tinggi dan tindakan staff yang kasar kepada orang lain. Matos dan Rossi
(2008) menyatakan bahwa kepuasan konsumen lebih terkait dengan komunikasi
positif dari mulut ke mulut daripada kesetiaan, sedangkan ketidaksetiaan lebih terkait
dengan komunikasi negatif dari mulut ke mulut daripada ketidakpuasan/dissatisfied.
Temuan ini memperkuat gagasan bahwa pelanggan yang puas tidak selalu
setia. Dengan demikian, perasaan positif pelanggan terhadap penyedia jasa dan juga
pelayanan yang diterima akan memperkuat kemungkinan pelanggan untuk terlibat
dalam perilaku komunikasi positif dari mulut ke mulut (Ng et al. 2011). Demikian
juga dengan Zeithaml et al. (1996) menunjukkan bahwa niat perilaku pelanggan yang
menguntungkan berhubungan dengan kemampuan penyedia layanan mendorong
pelanggan untuk mengatakan hal-hal positif tentang perusahaan dan
merekomendasikan perusahaan kepada konsumen lain. Anwar dan Gulzar (2011);
Hanzaee et al. (2012); Ghalandari (2013) menemukan bahwa kepuasan yang dirasakan
oleh konsumen berpengaruh terhadap informasi dari mulut ke mulut.
Kim, (2010); Ng et al. (2011) menemukan bahwa kepuasan berpengaruh positif
terhadap informasi dari mulut ke mulut, menggunakan tiga indikator dalam mengukur
konstruk informasi dari mulut ke mulut terdiri atas menyampaikan hal positif kepada
orang lain, merekomendasikan, dan mendorong orang lain untuk dating ke penyedia
layanan. Kemudian Jani dan Han (2013) melakukan penelitian di hotel menemukan
bahwa kepuasan wisatawan berpengaruh terhadap niat informasi dari mulut ke mulut.
Indikator yang digunakan dalam mengukur niat untuk kembali terdiri atas dua
indikator yaitu merekomendasikan dan menginformasikan hal positif kepada orang
lain.
Top Related