38
BAB II
ANALISIS DATA
Penelitian ini membahas tentang kajian secara filologis dan kajian isi.
Filologi merupakan ilmu yang mempelajari seluk beluk tentang bahasa, sastra,
dan budaya melalui teks-teks yang terdapat dalam naskah dengan cara melakukan
pembenaran untuk mendapatkan teks yang bersih dari kesalahan. Kajian filologi
ada dua cabang, yakni kajian filologi tradisional dan kajian filologi modern.
Kajian filologi tradisional bertujuan untuk mendapatkan teks yang murni dan
mendekati aslinya yang bersih dari kesalahan. Berbanding terbalik dengan kajian
filologi tradisonal, kajian filologi modern menganggap kesalahan dalam naskah
sebagai suatu bentuk kreativitas dalam membenarkan dan mengembangkan suatu
teks, sehingga membentuk teks yang baru. Penelitian ini menggunakan kajian
filologi tradisional dengan menerapkan metode penyuntingan naskah tunggal,
dengan metode standar dalam penggarapan. Metode standar menurut Edwar
Djamaris (2002: 24) merupakan metode yang digunakan dalam naskah tunggal, isi
dari naskah bukan merupakan cerita yang suci melainkan cerita biasa. Kajian isi
menjabarkan tentang prosesi dan makna Upacara Garebeg Mulud, simbol-simbol
yang digunakan dalam Upacara Garebeg Mulud yang ada dalam naskah SGM.
A. Kajian Filologis
Kajian filologis membahas SGM dengan cara kerja filologi tradisional
yang berlandaskan penggarapan naskah tunggal dengan menggunakan metode
standar. Analisis berisi tentang deskripsi naskah, kritik teks, suntingan teks dan
aparat kritik, serta terjemahan. Berikut penjabarannya :
39
1. Deskripsi Naskah
Deskripsi merupakan upaya penggambaran terhadap sebuah naskah
dengan menyertakan rincian mengenai wujud fisik naskah dan isi naskah dengan
secara ringkas supaya dapat dipahami pembaca. Deskripsi dilakukan dengan
tujuan untuk mempermudah penggambaran dan pengenalan terhadap naskah
beserta konteks isinya.
Penelitian deskripsi naskah menurut Emuch Hermansoemantri (1986)
harus memperhatikan 19 hal, yaitu: (1) Judul naskah; (2) nomor naskah; (3)
tempat penyimpanan naskah; (4) asal naskah; (5) keadaan naskah; (6) ukuran
naskah; (7) tebal naskah/jumlah halaman; (8) jumlah baris pada setiap halaman;
(9) huruf, aksara, tulisan; (10) cara penulisan; (11) bahan naskah; (12) bahasa
naskah; (13) bentuk teks; (14) umur naskah; (15) pengarang/penyalin; (16) ukuran
teks; (17) asal usul Naskah; (18) fungsi sosial naskah; (19) ikhtisar teks/cerita.
Berikut deskripsi naskah SGM:
a. Judul Naskah:
Naskah yang digunakan dalam penelitian ini berjudul Serat
Garebeg Mulud PB VII, selanjutnya disingkat SGM. Judul naskah
terdapat pada sampul depan naskah, halaman pertama teks dan
halaman ketiga. Berikut gambar teks judul yang terdapat dalam
naskah SGM:
40
Gambar 19: Gambar sampul depan naskah
Berbunyi: “Garêbêg Mulud P.B. VII”
Artinya: Garebeg Mulud P.B. VII
Gambar 20: Judul SGM pada teks halaman 1.
Berbunyi: “ Buk wiyosan Kaprabon ing Garêbêg Mulud Dal”
Artinya: Buku keluarnya sang Raja di Garebeg Mulud Dal.
Gambar 21: Judul SGM pada teks halaman 3.
Berbunyi: “Punika pratèlanipun miyos Dalêm Kaprabon, Garêbêg Mulud ing
taun Dal”.
Artinya: ini penjelasan keluarnya sang Raja pada saat Garebeg Mulud Tahun Dal
b. Nomor Naskah:
Nomor naskah Garebeg Mulud adalah MN 271C atau H.42,
tertera dalam katalog Nancy K. Florida Javanese Language
Manuscripts of Surakarta Central Java A Preminary Descriptive
catalogus Level II yang berjudul “Pratelan Miyos-Dalem Ingkang
Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana VII Kaprabon Garebeg
Mulud ing Taun Dal 1775”. Nomor naskah juga terdapat dalam
sampul depan naskah.
41
Gambar 22: Nomor naskah pada sampul depan naskah.
c. Tempat Penyimpanan:
Tempat penyimpanan naskah SGM berada di Reksapustaka Pura
Mangkunegaran.
d. Keadaan Naskah:
Naskah Garebeg Mulud masih dalam keadaan baik, tetapi ada
sebagian kecil lembaran dalam naskah yang telah termakan usia atau
termakan ngengat (terlihat pada lembar pertama dan kedua). Pada
halaman 17 tidak terdapat penutup cerita atau wasanapada, padahal
pada awal cerita terdapat purwapada.
Gambar 23: SGM termakan ngengat halaman 1 dan 2
42
Gambar 24: Purwapada pada halaman 3.
berbunyi “Mangajapa becik”
Artinya: “ bertujuanlah yang baik”
Gambar 25: SGM tanpa wasanapada pada halaman 19.
Setelah kata Sarageni tidak ada tanda penutup kalimat atau wasanapada
yang berbunyi “titi” artinya sampai atau selesai.
e. Ukuran Naskah:
- Ukuran Sampul
Panjang = 35 cm
Lebar = 20.5 cm
- Ukuran Kertas
Panjang = 34.5 cm
Lebar = 20.5 cm
- Ukuran Teks
panjang = rata-rata 29 cm dan 28 cm
lebar = 18 cm
margin atas = 4 cm
margin bawah = rata-rata 2,5 cm
43
margin kanan = 2 cm
margin kiri = 0,5 cm
f. Tebal Naskah:
Tebal naskah garebeg mulud adalah 1,1cm
g. Jumlah Baris:
Jumlah baris yang terdapat dalam naskah SGM rata-rata adalah
25 baris. Hanya saja pada halaman 1 jumlah baris ada 14 (termasuk
tanda tangan) dan pada halaman 2 jumlah baris ada 10 (termasuk
tanda tangan).
44
Gambar 26: Halaman 1 jumlah baris 14.
1. Buk wiyosan Keprabon ing Garêbêg Mulud Dal.
2. Ing Garêbêg Mulud botên Dal
3. Ing Garêbêg Siyam
4. Ing Garêbêg Bêsar
5. Taun Baru
6. Pista Raja
7. Nanging Garêbêg têtiga, Mulud ingkang botên panuju ing taun Dal,
utawi Garêbêg Siyam, Garêbêg Bêsar, Garêbêg Têtiga wau dados
satunggal kemawon, sabab pakurmatanipun tuwin samukawisipun
sami botên wontên sanèsipun, amung Garêbêg Mulud taun Dal
punika ingkang sanès [2].
Artinya:
1. Buku keluarnya atau kehadiran Raja di acara Garebeg Mulud Dal.
2. Di Garebeg Mulud bukan Dal
45
3. Di Garebeg Pasa
4. Di Garebeg Besar
5. Tahun Baru
6. Pesta Raja
7. Tetapi garebeg ketiga, Mulud yang tidak di tahun Dal atau Garebeg
Pasa, Garebeg Besar, garebeg tadi menjadi satu saja, karena
penghormatan juga semuanya sama tidak ada bedanya, hanya
Garebeg Mulud di tahun Dal inilah yang berbeda [2].
Gambar 27: Halaman 2 jumlah baris 10.
Punika buk miyos Dalêm Kaprabon, kala Panjênêngan Dalêm
Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan Pakubuwana Kaping VII,
1. Ing Garêbêg Mulud nuju ing taun Dal
2. Ing Garêbêg Mulud nuju botên taun Dal
3. Ing Garêbêg Siyam
4. Ing Garêbêg Bêsar
5. Miyos Dalêm Pista Raja, taun baru, pundhutan Dalêm kala ing taun
Be angka : 1776 [3].
Artinya:
Ini buku keluarnya sang Raja, ketika beliau Ingkang Sinuhun
Kangjeng Susuhunan Pakubuwana ke 7 :
1. Di Garebeg Mulud tahun Dal.
2. Di Garebeg Mulud bukan tahun Dal.
3. Di Garebeg Pasa.
46
4. Di Garebeg Besar.
5. Keluarnya Raja di Pesta Raja, tahun baru. Permintaan Raja waktu di
tahun Bé angka : 1776 [3].
h. Huruf, aksara, tulisan
Huruf / aksara pada naskah SGM yaitu Jawa carik (tulisan
tangan). Ukuran huruf / aksara pada teks SGM kecil. Bentuk huruf
bundar, ditulis italic atau miring. Ditulis menggunakan tinta hitam dan
penambahan ditulis menggunakan pensil. Jarak antarhuruf dan baris
renggang. Penekanan pena tidak terlalu kuat sehingga tulisan pada
halaman pertama hingga terakhir tidak tembus.
i. Cara Penulisan:
Cara penulisan dalam naskah ini adalah secara recto (satu sisi)
dan recto verso (bolak-balik). Penulisan secara recto pada halaman
satu, sedangkan penulisan recto verso pada halaman 2-19. Dalam
penulisan ketebalan huruf cukup tipis. Penulisan agak sedikit tidak
rapi karena terdapat penambahan-penambahan secara langsung dalam
teks yang dilakukan penulis. Penulisan halaman pada teks SGM hanya
ada pada halaman pertama saja menggunakan angka Jawa, sedangkan
pada halaman terakhir juga terdapat penulisan halaman dengan
menggunakan angka Jawa namun halaman yang tertulis adalah
halaman (1) satu.
47
Gambar 28: halaman kosong.
Gambar diatas menunjukkan bahwa pada halaman 1 cara penulisannya secara
recto karena halaman verso tidak terdapat tulisan.
Gambar 29: Teks recto verso, halaman 3-4.
Recto Verso
Halaman Kosong Halaman 2
48
Gambar 30: Penulisan halaman.
Halaman yang ditunjukkan dalam teks yaitu halaman 1 (satu) berada di sebelah
kiri teks bagian atas.
Gambar 31: Penambahan tulisan halaman 4.
(SGM baris ke-1)
Berbunyi: “Kaliwon sajajaripun.”
Artinya: Kaliwon dan sejajarnya (prajurit sejajarnya).
Gambar 32: Penambahan tulisan halaman 4.
(SGM baris ke-18)
Berbunyi: “ngrêmbat putra wayah, kunci ing Imagiri, ingkang nongsong kunci
ing Nitikan, ing Girilaya.”
Artinya: memanggul anak cucu, kunci di Imagiri, yang memayungi kunci di
Nitikan, di Girilaya.
Gambar 33: Penambahan tulisan halaman 4.
(SGM baris ke-18)
49
Berbunyi: “kunci ing Langkungan, angrêmbat panjang andhan-andhan,sami
kabêkta mêdal dhatêng...”
Artinya: kunci di Laweyan, memanggul piring besar pikulan, semua dibawa
keluar menuju.
Gambar 34: Penambahan tulisan halaman 4.
(SGM baris ke-18).
Berbunyi: “Bangsal Sri Manganthi ingkang kilèn”.
Artinya: Bangsal Sri Manganthi sebelah barat.
Gambar 35: Penambahan tulisan halaman 5.
(SGM baris ke-1)
Berbunyi: “...n titihan Dalêm dhatêng Pagêlaran, wonten sawetanipun Bangsal
Pangrawit”.
Artinya: ...n kendaraan Raja di Pagelaran, berada di timur Bangsal Pangrawit.
Gambar 36: Penambahan tulisan halaman 6.
(SGM baris ke-12, 13)
50
Berbunyi:
“lajêng abdi dalêm Niyaga Estri mêdalakên Kagungan Dalêm gangsa
Kyai Gerah Kapat sapanunggilipun, katampanan abdi dalêm Niyaga
Jalêr kabêkta dhatêng...”.
Artinya:
Kemudian abdi dalem Niyaga wanita mengeluarkan milik Raja
Gamelan Kyai Gerah Kapat seperangkat, diterima abdi dalem Niyaga
Pria dibawa menuju....
Gambar 37: Penambahan tulisan halaman 6.
(SGM baris ke-13)
Berbunyi: “...Sitinggil. kang ngrêmbat abdi dalêm ingkang inggil.
Artinya: Sitinggil. Yang memanggul abdi dalem yang tinggi.
Gambar 38: Penambahan tulisan halaman 7.
(SGM baris ke-15).
Berbunyi: “agêm dalêm calana baludru cêmêng..”
Artinya: pakaian Raja celana baludru hitam.
Gambar 39: Penambahan tulisan halaman 7.
51
(SGM baris ke-8)
Berbunyi: “Sami kadhawahan dhateng Loji makêdhangi uninga miyos dalem
Garêbêg, sarta..”
Artinya: semua diperintahkan menuju Loji menyampaikan utusan keluarnya
Garebeg, juga..
Gambar 40: Penambahan tulisan halaman 8.
(SGM baris ke-2)
Berbunyi: “Tuwan Asistèn , Tuwan Kumêndhan..”
Artinya: Tuan Asisten, Tuan Komandan..
Gambar 41: Penambahan tulisan halaman 8.
(SGM baris ke-6).
Berbunyi: “sarêng dumugi ing Pangurakan..”
Artinya: setelah sampai di Pangurakan.
Gambar 42: Penambahan tulisan halaman 8.
(SGM baris ke-6)
52
Berbunyi: “kaurmatan ungêling gangsa ingkang wontên ing Wringin Sêngkêran.”
Artinya: dihormati bunyi gamelan yang berada di alun-alun.
Gambar 43: Penambahan tulisan halaman 9.
(SGM baris ke-5)
Berbunyi:
tumuntên abdi dalem Mantri Brajanala Tuwan Wisamarta,
sajajaripun kiwa têngên sami anata kursi palênggahan ing Sitinggil
utawi wontên ing surambi masjid Agêng, tumuntên abdi dalêm
Wadana Kaparak sakaliwonipun utawi Wadana Lêbêt sêdaya sami
angrumiyini dhatêng Sitinggil.
Artinya:
kemudian abdi dalem Mantri Brajanala Tuan Wisamarta, dan
jajarannya kiri kanan, saling menata kursi duduk di Sitinggil atau di
serambi Masjid Agung, kemudian abdi Dalem Wadana Kaparak
Sakaliwon atau Wadana Lebet semua bersama mendahului menuju
Sitinggil.
Gambar 44: Penambahan tulisan halaman 9.
(SGM baris ke-25)
53
Berbunyi: “ingkang angodhe inggih sami andhèrèk anggarêbêg
wontên wingking dalem. Ingkang ngampil kunca Dalêm Mas Rara
Bariyah.”
Artinya: yang memberi aba-aba, semua ikut mengiring di belakang
Raja. Yang membawa pinggiran kain jarik Raja Mas Rara Bariyah.
Gambar 45: Penambahan tulisan halaman 10.
(SGM baris ke-6)
Berbunyi: “Walandi Urdênas sakancanipun”
Artinya: Urdenas Belanda beserta kerabatnya.
Gambar 46: Penambahan tulisan halaman 10.
(SGM baris ke-17, 18)
Berbunyi:“...kurmat dhodhok...amêpêti margi...”
Artinya: ...menghormat dengan jongkok...memenuhi jalan...
54
Gambar 47: Penambahan tulisan halaman 10.
(SGM baris ke-18)
Berbunyi: “abdi dalêm Sahositi utawi Jajasara Sajasama anjageni
inêb-ibêbipun Kori Brajanala, Kori Kamandhungan, miwah wonten
ingkang jagi rumêksa ing pamagangan Sri Manganti kidul, Kori
Sarasêja, Kori Gadhu Malathi”
Artinya: abdi Dalem Sahositi atau Jajasara Sajasama menjaga pintu-
pintu kori Brajanala, Kori Kamandhungan, juga yang berjaga
menunggu di pamagangan Sri Manganti sebelah selatan, Kori Saraseja,
Kori Gadhu Malathi..
Gambar 48: Penambahan tulisan halaman 11.
(SGM baris ke-1)
Berbunyi: “ingasta Dalêm ingkang Sinuhun”.
Artinya: tangan raja yang terhormat.
Gambar 49: Penambahan tulisan halaman 11.
(SGM baris ke-8)
55
Berbunyi: “ingkang wontên ing”
Artinya: yang berada di.
Gambar 50: Penambahan tulisan halaman 12.
(SGM baris ke-14).
Berbunyi: “dragundêr Walandi marênca wontên wetan kidul utawi
kilèn sami angliga sabêt.”
Artinya: para kerabat Belanda berpencar di sebelah timur selatan atau
barat semua membawa pedang dan pecut.
Gambar 51: Penambahan tulisan halaman 12.
(SGM baris ke-15, 16)
Berbunyi: “sowan wontên ing Bangsal Pangapit... Sitinggil.. sarêng
miyos Dalêm lajêng..turut sami..”
Artinya: datang di Bangsal Pangapit...Sitinggil... bersama
keluarnya Raja... ikut serta.
56
Gambar 52: Penambahan tulisan halaman 12.
(SGM baris ke-19, 20)
Berbunyi: “sami angangge sapirantosipun tamèng botên... Abdi dalêm
Prajurit Carangan nuntên têdhak dhatêng pagêlaran mêdal wetan
Sitinggil, lajêng baris wontên Pagêlaran ingkang wetan majêng
mangilèn. Ajêng-ajêngan kalih Prajurit Jayèng Astra.
Artinya: semua memakai peralatan tameng / penangkis tidak... abdi
dalem prajurit Carangan kemudian menuju di Pagelaran keluar melalui
sebelah timur Sitinggil, kemudian baris di Pagelaran sebelah timur
menghadap ke barat. Berhadap-hadapan dengan prajurit Jayeng Astra.
Gambar 53: Penambahan halaman 13.
(SGM baris ke-8)
Berbunyi: “undhak-undhakan Sitinggil”
57
Artinya: tangga Sitinggil.
Gambar 54: Penambahan halaman 13
(SGM baris ke-10)
Berbunyi: “Ingkang anuwak Mantri ngajêng, wêdalipun Kagungan Dalêm rêdi”.
Artinya: yang memanggul Mantri depan, keluarnya milik Raja yang berupa
Gunungan.
Gambar 55: Penambahan tulisan halaman 13.
(SGM baris ke-12)
Berbunyi: “ingasta Dalêm ingkang Sinuhun ma..”
Artinya: tangan Raja la..
Gambar 56: Penambahan tulisan halaman 13.
(SGM baris ke-11)
58
Berbunyi: “Lajêng kajagènan abdi dalêm Panèwu Kabayan Kaparak
sajajaripun, sarêng Kagungan Dalêm rêdi ingkang mudhun”
Artinya: kemudian dijaga abdi dalem Panewu Kabayan Kaparak dan
sejajarnya, bersama Gunungan milik Raja yang turun.
Gambar 57: Penambahan tulisan halaman 13.
(SGM baris ke-18, 19)
Berbunyi: “Nyai Balawong, Wa.... Wadana Pulisi”
Artinya: Nyai Belawong, Wa... Wedana Pulisi.
Gambar 58: Penambahan tulisan halaman 14.
(SGM baris ke-18)
Berbunyi: “tumuntên Kagungan Dalêm Gangsa Kodhok Ngorèk
kasuwuk kèndêl.”
Artinya: kemudian milik Raja gamelan Kodhok Ngorek dihentikan.
Gambar 59: Penambahan tulisan halaman 14.
(SGM baris ke-23)
59
Berbunyi: “ingkang ngampil abdi dalêm Mantri Brajanala Wisamartha.”
Artinya: yang membawa abdi dalem Mantri Brajanala Wisamartha.
Gambar 60: Penambahan tulisan halaman 16.
(SGM baris ke-10)
Berbunyi: “..kang ngampil sabêt, kêtut, jêmparing, tamêng, senjata
sama anggarêbêg ing wingking Dalêm.”
Artinya: yang membawa sabet, kebut, jemparing, tameng, sanjata
semua mengiring di belakang Raja.
Gambar 61: Penambahan tulisan halaman 16.
(SGM baris ke-23)
Berbunyi: “abdi dalêm Gandè...”
Artinya: abdi dalem Gande..
Gambar 62: Penambahan penulisan halaman 17.
(SGM baris ke-8)
60
Berbunyi: “...dipati Angabehi saha para pangeran sêpuh..”
Artinya: ...dipati Angabehi juga para pangeran yang sudah tua.
Gambar 63: Penambahan tulisan halaman 17.
(SGM baris ke-24)
Berbunyi: “sami ajêng-ajêngan lèr lawan kidul.”
Artinya: saling berhadab-hadapan utara dan selatan.
Gambar 64: Penambahan tulisan halaman 18.
(SGM baris ke-5)
Berbunyi: “Pangulu Tapsir Anom, donganan ingsun anyaosakên......,”
Artinya: Penghulu Tapsir Anom, doa-doa saya yang memberikan...”
Gambar 65: Penambahan tulisan halaman 18
(SGM baris ke-16)
Berbunyi: “sesampunipun ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan anggantèn.”
Artinya: sesudahnya yang terhormat Kangjeng Susuhunan berganti.
61
Gambar 66: Penambahan tulisan halaman 18.
(SGM bsris ke-23)
Berbunyi: “Tuwan Gubrênur Jendral,sarta para Rada Panikdiya Sawa.”
Artinya: Tuan Gubernur Jendral, serta para Rada Panikdiyasawa.
Gambar 67: Penambahan tulisan halaman 19.
(SGM baris ke-9)
Berbunyi: “Kabupatosan.”
Artinya: Kabupatenan.
Gambar 68: Penambahan tulisan halaman 19.
62
(SGM baris ke-15)
Berbunyi:
Abdi dalêm Dumatos Lêbêt sami majêng soan wontên ing taratag
Mandhapi, abdi dalêm Kaliwon Lêbêt sami soan wontên sangajênging
Jambêt ingkang lèr, abdi dalêm Panyutra wontên ing palataran lèr
kurut sami jèngkèng kalang tinangtang majêng mangalèr, tumuntên
para Santana Panji Edèkan.
Artinya: abdi dalem Bupati dalam bersama menuju di taratag pendapa,
abdi dalem Kaliwon dalam saling menuju di depannya Jambet sebelah
utara, abdi dalem Panyutra berada di palataran sebelah utara kurut
bersama jongkok saling berhadapan menghadap ke-utara, kemudian
para Sentana Panji Edekan.
j. Bahan Naskah:
Naskah SGM ini ditulis pada kertas eropa.
k. Bahasa Naskah:
Naskah ini ditulis dengan aksara Jawa, dan menggunakan
bahasa Jawa baru dan bahasa serapan dari bahasa Belanda.
l. Bentuk Teks:
Naskah berbentuk prosa (gancaran). Terlihat dalam naskah
terdapat penanda pergantian bab atau penomoran bab dalam setiap
pergantian paragraf baru.
63
Gambar 69: Penomoran bab pada teks halaman 4.
m. Umur Naskah:
Berdasarkan katalog Nancy K. Florida yang berjudul Javanese
Language Manuscripts of Surakarta Central Java A Preminary
64
Descriptive catalogus Level II, naskah ini dibuat dan selesai pada
tahun 1847 di Surakarta.
n. Identitas Pengarang/penyalin:
Pengarang naskah SGM adalah Reksadipura berdasarkan
katalog Nancy K. Florida: Javanese Language Manuscripts of
Surakarta Central Java A Preminary Descriptive catalogus Level II.
Keterangan identitas pengarang juga tertera pada tanda tangan di
lembar pertama dan kedua.
Gambar 70: Tanda tangan pengarang
( SGM halaman 1)
Berbunyi: “Reksadipura”
Gambar 71: Tanda tangan pengarang
(SGM halaman 2)
Berbunyi: “Reksadipura”
o. Asal-Usul Naskah:
Tidak ada keterangan mengenai asal-usul naskah, baik dalam
teks SGM maupun dalam katalog Nancy K. Florida.
65
p. Fungsi Sosial Naskah:
Naskah ini memiliki fungsi sosial dalam bidang pendidikan
dan keagamaan. Fungsi sosial dalam bidang pendidikan yang pertama
adalah kandungan naskah yang berisi tentang upacara Garebeg
Mulud pada masa pemerintahan PB VII dapat dijadikan sebagai
pembelajaran dan pengetahuan. Kedua, pelaksanaan Garebeg Mulud
masa PB VII dapat dijadikan sebagai perbandingan dengan Garebeg
Mulud di masa sekarang. Perbandingan yang dimaksudkan adalah
pelaksanaan Garebeg Mulud pada masa sekarang masihkah sama atau
terdapat perbedaan dengan pelaksanaan Garebeg Mulud pada masa
Pemerintahan Pakubuwono VII seperti yang terdapat dalam naskah
SGM. Dalam bidang keagamaan, kandungan naskah SGM dapat
dijadikan untuk terus mengingat hari besar islam melalui upacara adat.
Hari besar tersebut antara lain: Mulud, Puasa, Syawal.
q. Ikhtisar teks/ cerita:
Naskah Garebeg Mulud ini meceritakan tentang tatacara
pelaksanaan Garebeg Mulud pada saat pemerintahan Pakubuwono
VII, mulai dari pemindahan gamelan dari masjid agung menuju
Sitinggil sebelah Utara, penanaman umbul-umbul, dan tempat
peletakan Gunungan Dalem sebelum pelaksanaan hingga pada
akhirnya Gunungan Dalem di bawa dan didoakan di Masjid Agung.
Selain itu dalam naskah ini dijelaskan peran-peran abdi dalem beserta
para punggawa keraton dalam persiapan hingga pada saat acara
66
Upacara Garebeg Mulud. Waktu pelaksanaan Upacara Garebeg
Mulud dijelaskan di dalam naskah.
2. Kritik Teks
Kritik teks merupakan kegiatan pengevaluasian, penelitian, dan
penempatan teks yang benar ke dalam tempatnya, yang bertujuan untuk
mendapatkan teks yang sedekat-dekatnya dengan teks aslinya atau bersih dari
kesalahan (Siti Baroroh Baried et al., 1994: 61). Kegiatan kritik teks memerlukan
kecermatan, ketelitian, dan kejujuran peneliti untuk mengungkapkan varian-varian
yang terdapat di dalam teks. Peneliti harus memahami ejaan, pemenggalan kata,
pemenggalan kalimat dan tanda baca dalam melakukan kegiatan ini, untuk
mendapatkan teks yang benar dan bersih dari kesalahan namun tetap mengikuti
kaidah penulisan aksara jawa yang berlaku. Kritik teks dilakukan pada naskah
SGM karena ditemukan adanya varian-varian. Varian-varian yang ditemukan
dalam naskah SGM dikelompokkan dalam :
a. Ketidakkonsistenan dalam penulisan
b. Lakuna, yaitu bagian yang terlampaui atau terlewati baik
suku kata, kata, kelompok kata maupun kalimat.
c. Adisi, yaitu kelebihan dalam sebuah suku kata, kata,
kelompok kata, maupun kalimat.
d. Hiperkorek, yaitu pergeseran ejaan karena lafal.
Pengelompokan varian yang terdapat dalam naskah SGM disusun dalam
bentuk tabel dengan disertai singkatan yang dimaksudkan untuk menjelaskan
alasan pembenaran, singkatan tersebut adalah :
No : Menjelaskan no urut varian
67
Hal : Menunjukkan halaman naskah
Br : Menunjukkan baris teks dalam setiap halaman
KT : Menjelaskan bahwa kelainan termasuk ke dalam jenis
ketidakkonsistenan dalam penulisan
L : Menerangkan bahwa kelainan masuk ke dalam jenis varian Lakuna
A : Menerangkan bahwa kelainan masuk ke dalam jenis varian Adisi
H : Menerangkan bahwa kelaianan masuk ke dalam jenis varian
Hiperkorek
# : Edisi teks berdasarkan pertimbangan linguistik
* : Edisi teks berdasarkan interpretasi konteks isi dan pertimbangan
linguistik.
Berikut sajian daftar varian yang terdapat dalam naskah SGM :
Tabel 1. Ketidakkonsistenan dalam penulisan
No Hal/Br Varian Pembetulan
1 4/16 Bêlawong Blawong #KT
2 4/17 Bêlawong Blawong #KT
3 6/19 Soan Sowan #KT
4 6/22 Soan Sowan #KT
5 7/1 Soan Sowan #KT
6 7/9 Soan Sowan #KT
7 8/20 Risidhèn Rèsidhèn *KT
8 10/10 Risidhèn Rèsidhèn *KT
9 13/18 Bêlawong Blawong #KT
10 13/20 Bêlawong Blawong #KT
68
11 16/5 Risidhèn Rèsidhèn *KT
12 19/5 Soan Sowan #KT
13 19/5 Soan Sowan #KT
Tabel 2. Hiperkorek
No Hal/Br Varian Pembetulan
1 4/6 Adad Adat #H
2 4/9 Anyohanaken Anyowanaken #H
3 4/11 Anyohanaken Anyowanaken #H
4 7/15 Calana Clana #H
5 7/13 Kampuwan Kampuhan #H
6 8/10 Kairid Kairit #H
7 8/15 Kairid Kairit #H
8 8/16 Malebed Malebet #H
9 9/21 Gêndhewa Gandhewa #H
10 10/1 Ning Nèng #H
11 12/20 Gusthi Gusti #H
12 14/14 Kimawon Kemawon *H
13 16/14 Kapering Kaparing *H
14 16/22 Pênandhon Panandhon *H
15 18/12 Tuwit Tuwin #H
16 18/16 Kundur (menggunakan suku
bukan talingtarung pada
huruf Ka)
Kundur #H
69
17 19/14 Kundur (menggunakan suku
bukan talingtarung pada
huruf Ka)
Kundur #H
18 19/15 Dumatos Bupatos #H
Tabel 3. Adisi
No Hal/Br Varian Pembetulan
1 5/7 Paringgitan Pringgitan #A
2 7/2 Ngajêngn Ngajêng #A
3 13/4 Ingtuk Entuk *A
4 13/10 Mesantir Mesanti #A
5 14/17 Puningka Punika #A
6 18/19 Ambêgêsa Ambegsa #A
Tabel 4. Lakuna
No Hal/Br Varian Pembetulan
1 3/2 Kajeng Kangjeng #L
2 5/23 Dragundêr Drahgundêr *L
3 8/6 Dragundir Drahgundêr *L
4 8/12 Dragundir Drahgundêr *L
5 9/1 Maku Mangku #L
6 10/13 Dragundir Drahgundêr *L
7 10/17 Dragundir Drahgundêr *L
8 10/21 Pagènanipun Panggènanipun #L
70
9 12/14 Dragundêr Drahgundêr *L
10 13/8 Tarayê Tarayêm #L
11 13/12 Mugang Munggang #L
12 14/2 Upas Upêsir *L
13 17/16 Dragundir Drahgundêr *L
14 17/16 Ajagi Anjagi #*L
3. Suntingan Teks, Aparat Kritik dan Terjemahan
Suntingan teks merupakan sajian data dalam bentuk aslinya atau
mendekati aslinya yang bersih dari kesalahan berdasarkan bukti-bukti dari kritik
teks yang telah dilakukan pada naskah. Sebagai pertanggungjawaban secara
filologi, suntingan teks disertai kritik teks dan aparat kritik. Kritik teks merupakan
kegiatan untuk merekonstruksi teks dengan melakukan pengkajian terhadap
kandungan teks yang tersimpan di dalam naskah, bertujuan untuk mendapatkan
teks yang paling benar dan bersih dari berbagai macam kesalahan. (Bani Sudardi,
2003: 55). Kritik teks berupa pemberian nomor kritik teks dan pembetulan berupa
aparat kritik yang disajikan dalam bentuk catatan kaki (foot note). Aparat kritik
berisi segala varian atau kelainan bacaan yang terdapat dalam naskah.
Suntingan teks ini menggunakan metode standar. Metode standar lebih
mudah dibaca karena pembaca dapat menemukan banyak informasi tentang teks
dari penyunting (Bani Sudardi, 2003: 61).
Pedoman atau tanda-tanda yang digunakan untuk mempermudah
pembacaan dan pemahaman teks SGM , seperti berikut ini :
71
a. Huruf kapital berguna untuk menuliskan awal kalimat, nama Tuhan,
nama raja, nama orang, nama tempat, panggilan untuk seorang raja,
nama bulan, hari, dan tahun.
b. Pemakaian angka Arab 1, 2, 3 dan seterusnya di sebelah kanan atas
teks dipakai untuk menunjukkan bahwa teks itu terdapat varian. Varian
yang ditunjukkan dibetulkan dengan edisi teksnya dibagian bawah
halaman berupa catatan kaki (foot note).
c. Penggunaan angka Arab dalam tanda kurung [1], [2], [3], dan
seterusnya untuk menunjukkan pergantian halaman pada teks asli.
d. Penggunaan Bab 1, Bab 2, Bab 3 dalam teks untuk menunjukkan bab
dalam teks asli.
e. Penanda ê pada kata dibaca seperti ê pada kata „pênjara‟ dalam bahasa
Indonesia dan kata tumuntên dalam bahasa Jawa yang berarti
„kemudian‟.
f. Penanda è pada kata dibaca seperti è pada kata „lèrèng‟ dalam bahasa
Indonesia dan kata lèr dalam bahasa Jawa yang berarti „utara‟.
g. Penanda e pada kata dibaca seperti e pada kata „tela‟ dalam bahasa
Indonesia dan kata enjing dalam bahasa Jawa yang berarti „pagi‟.
h. Penanda KT menerangkan bahwa teks termasuk ke dalam jenis varian
ketidakkonsistenan.
i. Penanda L menerangkan bahwa teks termasuk ke dalam jenis varian
Lakuna
j. Penanda A menerangkan bahwa teks termasuk ke dalam jenis varian
Adisi.
72
k. Penanda H menerangkan bahwa teks termasuk ke dalam jenis varian
Hiperkorek.
l. Penanda # menerangkan edisi teks berdasarkan pertimbangan
linguistik.
m. Penanda _ menerangkan bahwa teks merupakan penambahan yang
dilakukan oleh penulis.
Berikut sajian suntingan teks SGM setelah mengalami tahapan dalam
penelitian :
Garêbêg Mulud PB VII
1. Buk wiyosan Kaprabon ing Garêbêg Mulud Dal.
2. Ing Garêbêg Mulud botên Dal
3. Ing Garêbêg Siyam
4. Ing Garêbêg Bêsar
5. Taun Baru
6. Pista Raja
7. Nanging Garêbêg têtiga, Mulud ingkang botên panuju ing taun Dal, utawi
Garêbêg Siyam, Garêbêg Bêsar, Garêbêg têtiga wau dados satunggal
kemawon, sabab pakurmatanipun tuwin samukawisipun sami botên
wontên sanèsipun, amung Garêbêg Mulud taun Dal punika ingkang sanès
[2].
Punika buk miyos Dalêm Kaprabon, kala Panjênêngan Dalêm Ingkang
Sinuhun Kangjêng Susuhunan Pakubuwana Kaping VII,
1. Ing Garêbêg Mulud nuju ing taun Dal
2. Ing Garêbêg Mulud nuju botên taun Dal
73
3. Ing Garêbêg Siyam
4. Ing Garêbêg Bêsar
5. Miyos Dalêm Pista Raja, Taun Baru, pundhutan Dalêm kala ing taun Be
angka : 1776 [3].
Punika pratelanipun miyos Dalêm Kaprabon, Garêbêg Mulud ing taun
Dal, kala Panjênêngan Dalêm ingkang Sinuhun Kajêng1 Susuhunan Pakubuwana
Senapati ing Alaga Ngabdurrakman Sayidin Panatagama ingkang kaping pitu,
kumêndur saking Bintang Leyo ing Nèdêrlan, ing ngandhap punika pratelanipun.
Bab kaping 1
Ing dintên Sênèn Pon tanggal kaping 12, wulan Rabingulawal ing taun
Dal angkaning warsa 1775, awit ing wanci pukul sêkawan enjing, Kagungan
Dalêm gangsa Kodhok Ngorèk Kadospatèn mungêl wontên ing Sitinggil Bangsal
ingkang wetan. Tumuntên para bêndara para wêdana sami ngungêlakên
gangsanipun. Abdi dalêm prajurit sami apèl, abdi dalêm Galadhag ngêdhunakên
Kagungan Dalêm rêdi dhatêng ing magangan, ngandhap Lo. Tumuntên
Kagungan Dalêm gangsa sakatèn kausung saking Masjid Agêng katata wontên
taratag Sitinggil ingkang lèr.
Bab kaping 2
Ing wanci pukul pitu enjing, abdi dalêm anon-anon sêdaya, sami nanêm
Kagungan Dalêm umbul-umbul, daludag, lalajêng gêndhis kalapa, saêlèripun
mariyêm sakidulipun Waringin Sêngkêran. Sipat wantilan.
Bab kaping 3
1 Kangjeng #L
74
Ing wanci pukul sêtêngah wolu, Nyai Tumênggung sêkawan sakancanipun
èstri, ngusung Kagungan Dalêm rêdi, kausung tiyang èstri dhatêng Sri Manganti
lèr, katampèn abdi dalêm Ngajêng, lajêng kabêkta sajawining Kori
Kamandhungan. Kaprênahakên ing Pangrantunan kang wetan, mujur mangetan,
lajêng dipunkampuhi gêndhis kalapa, kasamiran sinjang jênê.
Bab kaping 4 [4]
Tumuntên abdi dalêm Priyantaka Kaliwon sajajaripun ambêkta upacara
Dalêm mêdal dhatêng ing Pagêlaran sakidul Bangsal Pangrawit, katata sawetan
kilèn margi lan songsong agung sêkawan, ingkang agêng gêndhis kalapa sarakit,
ingkang alit mayang mêkar sarakit.
Bab kaping 5
Tumuntên abdi dalêm sami nanêm umbul-umbul lalajêngipun piyambak-
piyambak, wontên ing panggènanipun adad2 sabên.
Bab kaping 6
Tumuntên abdi dalêm Sarati anyohanakên3 Kagungan Dalêm Dipongga
kêkalih wontên wetan utawi kilèn, abdi dalêm Kusir Walandi kêkalih
anyohanakên4 Kagungan Dalêm kareta wontên ing Parètan wetan utawi kilèn.
Bab kaping 7
Tumuntên abdi dalêm Radèn Ngabèhi Wirakusuma, Mas Ngabèhi
Rêsaniti, Kyai Jimat Amad Dalêm, Kyai Ajar Saloka sakancanipun Juru
Suranata, miyosakên Kagungan Dalêm panjang pusaka Nyai Bêlawong5 saking
2 Adat #H
3 Anyowanaken #H
4 Anyowanaken #H
5 Blawong #KT
75
Gandarasan, saputra wayahipun, ingkang ngrêmbat Nyai Bêlawong6 wau, kunci
ing Kitha Agêng, ingkang nongsong pradikan ing Sela, ingkang ngrêmbat putra
wayah, kunci ing Imagiri, ingkang nongsong kunci ing Nitikan ing Giri Laya,
kunci ing Langkungan, angrêmbat panjang andhan-andhan, sami kabêkta mêdal
dhatêng Bangsal Sri Manganti ingkang kilèn.
Bab kaping 8
Lajêng abdi dalêm Radèn Ngabèi Suranagara, Radèn Ngabèi Tohpati,
amêdalakên agêm dalêm titihan. Pandêngan kakalih, ingkang satunggil dipun
agêmi kambil watangan, baludru abrit prabot mas, èbèg pêthak adêg-adêg
cêmêng ciri suwiring, ingkang satunggil kaambilan cukêl raja, sami baludru
abrit...., kasongsongan jêne atal, kaapit-apit waos kawan, sarta kaurung-urung
abdi dalêm Dêmang bêkêl ing Bai, abdi dalêm mantri Gamêl mantri Panêgar
sajajaripun, sami andhèrèkakên wontên sawingkinging titihan, sami angampil
camêthi utawi carak kaliyan kanthil pirantosan nitih, sangajênging titihan
kajajaran gêlodhog kêkalih, wadhah krakab akaliyan dhalung ingkang ngrêmbat
sami sikêp ing baki, wêdalipu-[5]n titihan Dalêm dhatêng Pagêlaran, wonten
sawetanipun Bangsal Pangrawit.
Bab kaping 9
Wanci jam 8 abdi dalêm prajurit sêdaya sami lumêbêt, ingkang dados
pangajêng prajurit Tamtama, anuntên prajurit Miji Pinilih, anuntên prajurit
Jayèng Astra, anuntên prajurit Carangan, dumuginipun ing palataran lajêng
6 Blawong #KT
76
kèndêl baris, prajurit Tamtama baris wontên salèripun ing Paringgitan7, prajurit
Miji Pinilih baris wontên sakidulipun panggung Sangga Buwana, prajurit Jayèng
Astra baris wontên sawètanipun ing Pandhapi, prajurit Carangan baris wontên
sawetanipun ing pandhapi ijêm, sêdaya wau lajêng sami amêndhêt satandaripun
piyambak-piyambak.
Bab kaping 10
Abdi dalèm prajurit Jayantaka lumêbêt lajêng dhatêng ing Wringin
Sêngkêran, nuntên prajurit Jagêr Rajêg Wêsi, nuntên prajurit Anir Wèsthi, nuntên
prajurit Anir Pringga, nuntên prajurit Anirmala, nuntên prajurit Anirwikara,
nuntên prajurit Singgan, nuntên prajurit Jawahan, nuntên prajurit Jagapura,
nuntên Prajurit Jagapraja, nuntên Prajurit Satabêl.
Bab kaping 11
Tumuntên wêdalipun abdi dalêm prajurit lêbêt, ingkang rumiyin prajurit
Jayèng Astra, lajêng baris wontên lèr Kamandhungan, nuntên prajurit Carangan
lajêng baris wontên Sri Manganti ingkang wetan, nuntên wêdalipun abdi dalêm
prajurit Tamtama, kasundhulan abdi dalêm Tanjidur, lajêng prajurit Miji Pinilih,
nuntên prajurit Jayèng Astra dhatêng Sitinggil, baris wontên Taratag kilèn
majêng mangetan, prajurit Carangan dhatêng Kamandhungan baris wontên
wetan, lajêng ngajêngan kalayan Walandi dragundêr8, lajêng prajurit Tamtama
baris wontên ing Sri Manganti ingkang wetan, prajurit Miji Pinilih ingkang kilèn-
[6] tanjidur wontên sakidulipun prajurit Miji Pinilih.
Bab kaping 12
7 Pringgitan #A
8 Drahgundêr *L
77
Abdi dalêm prajurit Saragêni baris wontên sangandhapipun undhak-
undhakan Sitinggil, sawêdalipun prajurit lêbêt, prajurit Sarageni wau lajêng
ngrumiyini, baris wontên sakidulipun Wringin Sêngkêran kiwa têngên, wondene
abdi dalêm prajurit Jayantaka baris wontên ing Pagêlaran, sawetanipun ing
margi, para prajurit sami baris, sisiyungan wontên ing Wringin Sêngkêran.
Bab kaping 13
Tumuntên wêdalipun Kagungan Dalêm upacara ing Kadospatèn, dhatêng
ing Kamandhungan, kaampil abdi dalêm Panèwu Mantri ing Kadospatèn. Lajeng
abdi dalêm Niyaga estri mêdalakên Kagungan Dalêm gangsa Kyai Gêrah Kapat
sapanunggalipun, katampan abdi dalêm Niyaga jalêr kabêkta dhatêng Sitinggil,
ingkang ngrêmbat abdi dalêm ingkang inggil.
Bab kaping 14
Tumuntên Radèn Adipati Sasradiningrat utawi Wadana Kaliwon Panèwu
Mantri, sami sowan ing Pagêlaran, Wadana Gêdhong Kaparak kalayan Kaliwon
Panèwu Mantri sapanunggilanipun abdi dalêm Lêbêt sami sowan ing Sri
Manganti, Wadana Galadhag, Wadana pulisi, Tamping pamaosan, sakaliwon
panèwu Mantrinipun, sami soan9 wontên ing Brajanala, badhe anampani
wêdalipun ing Parêdèn.
Bab kaping 15
Tumuntên para Bêndara, pangeran sêpuh anèm sami soan10
wontên ing
ngandhap Jambêt ingkang lèr majêng mangidul, abdi dalêm Sêntana Panji
Edhêkan, sami sowan wontên ing ngandhap sawo sawetaning taratag ingkang lèr
9 Sowan #KT
10 Sowan #KT
78
majêng mangilèn, abdi dalêm Urdênas Lurah ing Panakawan, utawi abdi dalêm
Carik, Siti, Mêrji, sami-[7] soan11
ngandhap jambêt sakidul panggung, abdi
dalêm Panakawan sami sowan wontên ngajêngn12
gêdhongipun piyambak-
piyambak, abdi dalêm Banjar Andhap jalèr, sami sowan lêrês salèripun
palênggahan Dalêm, ngandhapipun ing jambêt.
Bab kaping 16
Ing wanci jam sêtêngah 10 abdi dalêm Nyai Tumênggung kakalih mêdal
andhawahakên timbalan Dalêm, dhatêng Radèn Mas Riya Purwadiningrat, kalih
Radèn Mas Riya Jayadiningrat, sami kadhawahan dhatêng Loji makêdhangi
uninga miyos Dalêm garêbêg, sarta nimbali ingkang bapa kangjêng Tuwan
Rèsidhèn, soan13
lumêbêt ing Karaton.
Bab kaping 17
Ing wanci jam sêdasa, ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan miyos
têdhak ing Mandhapi Agêng, lênggah ing dhampar, suku mas majêng mangalèr,
lêlèmèk baludru abrit rinenda bara, agêm agêman dalêm Kaprabon kampuwan14
kuluk biru nèm, agêm dalêm rasukan baludru cêmêng, angagêm bintang
kaprabon, paningsêt pathola cêmêng, agêm dalêm calana15
baludru cêmêng,
rinenda Mas sinilih-asih, ngagêm canela tinarètès ing sêla byur, para èstri
angampil-ampil upacara dalêm kaprabon, sami alênggah wontên adatipun
ingkang sampun kalampahan.
Bab kaping 18
11
Sowan #KT 12
Ngajêng #A 13
Sowan #KT 14
Kampuhan #H 15
Clana #H
79
Kangjêng Pangeran Adipati Angabèhi, Kangjêng Pangeran Hariya
Adinagara, Kangjêng Pangeran Hariya Natapura, Kangjêng Pangeran Hariya
Natakusuma, sami majêng sowan dhatêng ing Pandhapi, lenggah wontên kursi
majêng mangetan, para Pangeran rayi Dalêm putra Dalêm Santana Dalêm,
lênggah wontên ingkang kilèn majêng mangetan.[8]
Bab kaping 19
Ing wanci sêtêngah sawêlas, Kangjêng Tuwan Rèsidhèn sowan lumêbêt
dhatêng karaton, Tuwan Asistèn Tuwan Kumêndan sarta ngirid para Tuwan
Tuwan Mayor, Upêsir Walandi mardika sêdaya, utawi Kangjêng Pangèran
Adipati Hariya Mangku Nagara sasêntananipun, sami numpak kareta, kajajaran
ing Walandi dragundir16
wolu sarêng dumugi ing pangurakan, kaurmatan
ungêling gangsa ingkang wonten ing Wringin Sêngkêran, sarêng dumugi ing
wringin sêngkeran, lajêng kaurmatan tambur marêsing prajurit ingkang wontên
ing wringin Sêngkêran, sarêng dumugi taratag Pagêlaran, Tuwan Rèsidhèn
mudhun saking kareta, lajêng lumampah minggah dhatêng Sitinggil, kairid17
Wadana Kaparak Kakalih, sarêng dumugi Sitinggil kaurmatan tambur marêsing
prajurit Jayèng Astra, sarêng dumugi Kori Brajanala, kaurmatan tambur
marêsing prajurit Carangan dragundir18
, sarêng dumugi Kamandhungan,
kaurmatan tambur marêsing prajurit Prawira Tamtama lan Miji Pinilih, miwah
tanjidhur. Sarêng dumugi Sri Manganti kapêthuk Nyai Tumênggung kakalih sami
tatabeyan, lajêng kairid19
malêbêd20
dhatêng pandhapi, sarêng dumugi tritising
Sri Manganti, Kangjêng Tuwan rèsidhèn utawi para Tuwan Tuwan sami kurmat
16
Drahgundêr *L 17
Kairit #H 18
Drahgundêr *L 19
Kairit #H 20
Malebet #H
80
bikak topi, sarêng dumugi ngandhap sawo, songsongipun Kangjêng Tuwan
Rèsidhèn mingkup katampènan abdi dalêm Kaparak Estri, sarêng Kangjêng
Tuwan Risidhèn21
dumugi tritising Pandhapi Agêng, ingkang Sinuhun Kangjêng
Susuhunan urmat jumênêng, lajêng tatabèyan kaliyan Kangjêng Tuwan Rèsidhèn,
utawi Tuwan Kumêndan, Tuwan Asistèn, para Upêsir, utawi para Tuwan Tuwan
mardika sami urmat manthuk wontên ing Ngarsa Dalêm, lajêng mire mangètan.
Tuwan Rèsidhèn lajêng lênggah ing kursi sakiwa Dalêm majêng manga-
[9]lèr, Kangjêng Pangeran Adipati Hariya Maku22
Nagara, Tuwan Kumêndhan
Tuwan Asistèn, sarta para Tuwan Tuwan, lênggah ing kursi majêng mangilèn,
tumuntên Lurah Urdênas Walandi anyaosakên dhahar gantos masakan, lajêng
kaidêrakên para Tuwan Tuwan sêdaya.
Bab kaping 20
Tumuntên abdi dalêm Mantri Brajanala Tuwan Wisamarta sajajaripun
kiwa têngên, sami anata kursi palênggahan ing Sitinggil utawi wonten ing
surambi Masjid Agung, tumunten abdi dalem Wadana Kaparak Sakaliwon utawi
Wadana Lêbêt sêdaya sami angrumiyini dhateng Sitinggil.
Tumuntên prajurit Jayèng Astra, kang wontên ing Sitinggil mêdhun
dhatêng Pagêlaran, tumuntên prajurit Prawira Tamtama, mêdal ngrumiyini
dhatêng Sitinggil, lajêng prajurit Panyutra mêdal dhatêng Sri Manganti lèr,
lajêng sawêrnining Panakawan Anjajari wontên ing ngajêng, lajêng upacara
Kadospatèn mêdal wonten ing ngajêng ingkang Sinuhun, Kangjeng Susuhunan
Jumênêng têdhak kêkanthèn kalih Kangjêng Tuwan Rèsidhèn, kasongsongan
gilap byur, Tuwan asistèn kanthèn kalih Kangjêng Pangèran Adipati Angabèhi,
21
Rèsidhen *KT 22
Mangku #L
81
para Pangèran, rayi Dalêm, Putra Dalêm, Santana Dalêm sami anjajari wontên
ing ngajêng, jajar sêkawan sêkawan, angajênging para Pangèran kalangênan
Dalêm, biya damang gung kêtanggung bêdhaya sarimpi, sami angampil upacara
Dalêm kaprabon, banyak-dhalang, sawunggaling, kidang mas, ardawalika, kacu
silih asih, kuthuk lantaran, rotan. Sami anjajar sêkawan sêkawan sawingking
Dalêm. Para Bendara, Gusti estri sami ngampil-ampil agêm dalêm cêmpuri,
dhampar, gandhèk, pengunjukan, bokor pawijikan, kandhaga alit, lante, kêbut
badhak, kêbut jawata, pêdhang, tamèng, jêmparing, gêndhewa23
saèndhèngipun,
agêm dalêm waos kêkalih wontên têngên Dalêm, agêm dalêm sanjata kêkalih,
saprabotipun wonten ing kiwa Dalêm, tuwin para èstri ingkang angodhe inggih
sami andhèrèk anggarebek wontên wingking Dalêm. Ingkang ngampil kunca
dalem Mas Rara Bariyah.
Bab kaping 21-[10].
Ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan têdhak miyos dumuginipun ning24
Sri Manganti, lajêng Emban Estri utawi Sêntana, Riya Panji, Mayor prajurit
Urdênas, sami anjajari wontên kanan kering Dalêm, sangajêngipun Urdênas,
Prajurit Panyutra. Ingkang sami anjajari wontên ing têngah sawingkingipun
upacara ing Kadospatèn, abdi dalêm Banjar Andhap, Bucutul Kêcêbol Jenggot,
anuntên lomprèt Walandi kakalih, anunten Walandi Urdenas sakancanipun,
anuntên Putra ingkang taksih timur-timur, anuntên abdi dalêm Manggung,
anuntên Banjar Andhap èstri, anuntên para Pangeran sêdaya, ingkang amungkasi
23
Gandhewa #H 24
Neng #H
82
Kangjêng Pangèran Adipati Angabèhi, kêkanthèn kalayan Tuwan asistèn
Risidhèn25
.
Bab kaping 22
Miyos Dalêm saking Sri Manganthi mungêl kurmat prajurit Miji Pinilih,
lajêng dhèrèk wontên sawingking Dalêm, prajurit Carangan prajurit dragundir26
sami kurmat ngunggêlakên tambur utawi salompretipun. Abdi dalêm Suranata,
Gêdhong Panandhon karajanitèn Kraton sowan wontên Pangrantunan ingkang
kilèn. Wadana Galadhag Wadana Pulisi Sakaliwon panèwu mantrinipun kurmat
dhodhok ngapurancang salèripun baris dragundir27
. Abdi dalêm Kaparak sami
jagi amêpêti margi salêripun Brajanala abdi dalem Sahositi utawi Jajasara
Sajasama anjageni inêb-inebipun Kori Brajanala, Kori Kamandhungan miwah
wontên ingkang jagi rumeksa ing Pamagangan, Sri Manganti kidul, Kori
Saraseja, Kori Gadhu Malathi. Lajêng ingkang Sri Nuhun Kangjeng Susuhunan,
dumugi wontên ing Bêcira, abdi dalêm ingkang sami ngurung-urung wau sami
mapan angrumiyini wontên pagènanipun28
piyambak-piyambak. Abdi dalêm
prajurit Panyutra sami jèngkèng kalang-tinangtang wontên kiwa têngênipun
bangsal witana, ingkang Sinuhun lajêng têdhak wontên bangsal Manguntur.
Bab kaping 23
Lurah Niyaga sami anyadhang ing dhawah Dalêm, ungelipun Kagungan
Dalêm mung-[11]gang sarêng ka-awe ingasta Dalêm ingkang Sinuhun lajêng
munggêl Kagungan Dalêm gangsa munggêng panjênêngan Dalêm Raka Sinuhun
lajêng lênggah, ingkang ngadêp wontên ing ngarsa Dalêm abdi dalêm Wadana
25
Residhen *KT 26
Drahgundêr *L 27
Drahgundêr *L 28
Panggènanipun #L
83
Kaparak Kiwa Têngên, abdi dalêm Kaliwon, Kaparak Kaliwon, Anthèk,
Sapanêwu mantrinipun, sami sowan wontên sawingkingipun Wadana Kaparak.
ingkang sami lênggah wontên ing kursi wetan majêng mangilèn, Ingkang kidul
Kangjêng Pangeran Adipati Angabèhi, kaliyan para Bêndara Pangeran ingkang
sêpuh, Kasambêtan para Tuwan Tuwan sapangalèr, ingkang wonten ing kursi
kilèn, ingkang kidul Kangjêng Pangeran Adipati Harya Mangku Nagara, Tuwan
Kumêndhan Tuwan Asisten, Mayor Upêsir utawa Sêntana ing Mangkunagaran
ambanjêng sapangalèr. Para pangeran rayi Dalêm putra Dalêm, sami lênggah
ing ngandhap, wonten ing ngarsa Dalêm sawetaning undhak-undhakan. Abdi
dalêm Pangeran Sêntana, para Riya lênggah wontên ing ngandhap wetaning ing
Manguntur, mujur mangalèr. Ing wingking upacantên Kadospatèn, Sakaliwon
Panêwu Mantri, Miji Kanêman sami ngampil-ampil wontên ngandhap Taratag
sawetaning Manguntur, kasambêtan abdi dalêm Urdênas Lurah, Panakawan
kasêpuhan. Lajêng kasambêtan Urdênas Lurah Panakawan ing Kadospatèn,
sangandaping taratag sakilèning Manguntur. Abdi dalêm Suranata Carik juru,
salèripun abdi dalêm Mayor Prajurit ingkang sami botên anindhihi baris utawi
Kaliwon Karaton Kaliwon Panandhon. Salèripun malih abdi dalêm Wanèngan.
Abdi dalêm Jajar Gandhèk sami sowan wontên têpining taratag ingkang lèr
majêng mangidul. Sinambêtan abdi dalêm Kabayan Kaparak, ing sangandhap
taritisipun ing tarata-[12]g ingkang wetan, barising prajurit Tamtama mujur
mangidul majêng mangilèn, sakidulipun prajurit Tamtama abdi dalêm Sêntana
Panji Edhèkan majêng mangilèn mujur mangidul. Tumuntên Wadana Gêdhong
kakalih, ingkang badhe anampani ing dhawah Dalêm. Anuntên abdi dalêm
Emban ing Kadospatèn, sarta Mantri Ngawin Panandhon, sami ngadhêp
84
upacantên ing Kadospatèn. Kêndhaga pangunjukan songsong sungsun, abdi
dalêm Krajanitèn abdi dalêm Kêbondharat Niti Girji, sami sowan salèring
warana mujur mangetan majêng mangalèr, abdi dalêm Karaton Panandhon, sami
sowan wontên sakilèning witana majêng mangètan, anuntên abdi dalêm
Tanjidhur, lan urdênas salomprèt anuntên abdi dalêm prajurit Miji Pinilih, mujur
mangalèr majêng mangetan, lajêng kasambêtan Gandhèk saha Kabayan Kiwa,
sowan wontên têpining taratag, ingkang lèr majêng mangidul, dragundêr29
Walandi marenca wontên wetan kidul utawi kilèn sami angliga sabet. Ingkang
sowan wontên ing Bangsal Pangapit sangandhaping undhak undhakan Sitinggil.
Abdi dalêm Marta Lulut, Singa Nagara, sarêng miyos Dalêm lajêng wontên
sakiwa têngênipun ing margi,turut sami majêng mangalèr, abdi dalêm Kanêman,
abdi dalêm Sangkra Gyana Anirbaya, Anirbita, Miji Tanu Astra, sami sowan
wontên sajawining Pancak Suji sakilèning Bangsal Pangrawit mujur mangetan
mangilèn majêng ngalèr. Sami angangge sapirantosipun tameng botên.... Abdi
dalêm Para Gusthi30
sami marak wontên ing wingking Dalêm, abdi dalêm
Prajurit Carangan nuntên têdhak dhatêng pagêlaran mêdal wetan Sitinggil,
lajêng baris wontên Pagêlaran ingkang wetan majêng mangilèn, ajêng-ajêngan
kalih Prajurit Jayèng Astra.
Bab Kaping 24
Tumuntên ingkang Sinuhun ngawe dhatêng Wadana Gêdhong, lajêng
Wadana Gêdhong andhawahakên wêdalipun Kagungan Dalêm rêdi, sarêng
kaliyan ajêngipun abdi dalêm Panêwu Gêdhong kakalih, sami majêng ing ngarsa
Dalêm, ingkang satunggal angampil kênap a-[13]lit, ingkang satunggal angampil
29
Drahgundêr *L 30
Gusti #H
85
tuk wadhah gantèn masak. Sarêng dumuginipun ing ngarsa Dalêm, lampahipun
amêndhapan anuti ramanipun ing munggang, lajêng kênap kang sèlèhakên ing
ngarsa Dalêm, katumpangan ingtuk31
gantèn wadhah masakan wau, sinasaban
baludru abrit, binalodir rinenda bara.
Bab kaping 25
Anuntên Kagungan Dalêm rêdi kawêdalakên, mêdal kontên tarayê32
undhak-undhak Sitinggil ingkang kilèn, mawi kajajaran Mantri Rêdi Dhusun,
Mantri Tamping, Mantri Gêdhong, utawi Jajar Gêdhong sapanêwu kaliwonipun
sêdaya, ingkang anuwak mantri ngajêng wêdalipun Kagungan Dalêm rêdi mawi
kaurmatan prajurit, sami mesantir33
, êdunipun Kagungan Dalêm rêdi lajêng
kajagènan abdi dalêm Panèwu Kabayan Kaparak sajajaripun, sarêng Kagungan
Dalêm rêdi ingkang mudhun sawèk angsal kêkalih, nuntên Kagungan Dalêm
gongsa mugang34
kasuwuk kèndêl. Anuntên ka-awe ingasta Dalêm ingkang
Sinuhun, malih abdi dalêm niyaga lajêng andhawahakên ungelipun Kagungan
Dalêm gongsa kodhok ngorèk lajêng mungêl. Satêlasipun Kagungan Dalêm rêdi
anuntên ancak saradan, nuntên Nyai Blawong karêmbat Juru Kunci kajajaran
pradikan, ingkang dhèrèkakên lurah Juru Kunci Lurah, Juru Lurah Suranata,
kasongsongan jênê atal. Sawingkingipun Nyai Balawong35
, Wadana Gêdhong
Galadhag Raja Nitèn, Wadana Pulisi nuntên Kagungan Dalêm Sakati mungêl.
Lajêng kabekta lumampah mêdhun wontên sawingkingipun Nyai Bêlawong36
,
31
Entuk #*A 32
Tarayem #L 33
Mesanti : sarèh, têntrêm, rahayu #A 34
Munggang #L 35
Blawong #KT 36
Blawong #KT
86
sarêng dumuginipun Bangsal Pangrawit Sakati gêndhingipun minggah gêndhing
rambu.
Bab kaping 26
Tumuntên Urdênas Walandi ing Residhènan andhum sêrat kundhisen
dhatêng para Tuwan Tuwan ingkang kalêrês angsal, lajêng Kagungan Dalêm rêdi
ingkang mudhun [14] abdi dalêm Lurah Urdênas Walandi nyaosakên larih
pakurmatan, ingkang ngidêrakên larih ngandhap, Urdênas Walandi utawi upas37
ing Rèsidhênan.
Punika lajêng Kangjêng Tuan Residhèn angundhisêkaken wilujengipun
Garêbêg Mulud ing Taun Dal, kaurmatan ungêlipun Tanjidhur, lajêng prajurit
Tamtama mingsêr barisipun mujur mangetan majêng mangalèr, prajurit miji
pinilih mingsêr barisipun mujur mangilèn majêng mangalèr, tumuntên Tamtama
madrêl, kasauran drel Miji Pinilih, tumuntên kasauran mariyêm Agêng Kyai
Kumba Kinumba, Tamtama, Miji Pinilih rambah kaping tiga, satêlasipun
kasauran mariyêm alit, tumuntên drelipun prajurit Jayèng Astra, kalayan
Jayantaka rambah kaping nêm, kasauran mariyêm alit kemawon. Abdi dalêm
prajurit Kawandasa Cêmêng sapanunggilanipun prajurit Kawandasa Abrit
sapanunggilanipun, sami drel rambah kaping nêm. Kasauran mariyêm alit
kimawon38
. Abdi dalêm prajurit Saragêni, prajurit Rajêg Wêsi, sami drel rambah
kaping nêm, kasauran mariyêm alit malih, satêlasipun ing drel sêdaya
puningka39
, kasauran mariyêm agêng Kyai Aswani Kumba. Tumuntên Kagungan
Dalêm gangsa kodhok ngorèk kasuwuk kèndêl.
Bab kaping 27
37
Upêsir #*L 38
Kemawon *H 39
Punika #A
87
Sakèndêlipun para urmatan wau sêdaya, kangjêng Radèn Adipati
sakancanipun Wadana Jawi, sami angrumiyini dhatêng ing Masjid. Lajêng abdi
dalêm Kaliwon Kaparak Kiwa ngrumiyini, andhèrèkakên palênggahan Dalêm
dhampar ingkang suku pêthakan dhatêng ing Masjid Agêng. Ingkang ngampil
abdi dalêm Mantri Brajanala Wisamartha, lajêng Wadana Kaparak kêkalih
sakancanipun Kaliwon Panêwu Mantri, majêng anampani upacara Dalêm,
ingkang ngampi-[15]l agêm dalêm waos abdi dalêm mantri Priyantaka kêkalih
sajajaripun, ingkang ngampil agêm dalêm pakêcowan abdi dalêm kaliwon
kaparak têngên, banyak dhalang sawung galing, harda walika kidang mas, kuthuk
lantaran, kacu silih asih rotan, punika ingkang ngampil abdi dalêm Gandhèk
Mantri Anèm.
Agêm dalêm cêpuri ingkang ngampil abdi dalêm Mantri Pinilih, agêm
dalêm gandhèk ingkang ngampil abdi dalêm mantri Gandhèk, agêm dalêm
pangunjukan ingkang ngampil abdi dalêm mantri Gêdhong, agêm dalêm
pangunjukan ingkang ngampil abdi dalêm Pangungrungan, agêm dalêm
kandhaga alit ingkang ngampil abdi dalêm Suranata, agêm dalêm Kêbut Badhak
Kêbut jawata ingkang ngampil abdi dalêm Manti Nirbaya, agêm dalêm
palênggahan lante ingkang ngampil abdi dalêm mantri Brajanala, agêm dalêm
sabêt ingkang ngampil abdi dalêm mantri Kaparak Têngên, agêm dalêm tamèng
ingkang ngampil abdi dalêm mantri Kaparak Kiwa, agêm dalêm jêmparing
gandhewa ingkang ngampil abdi dalêm mantri Nyutra, agêm dalêm sanjata
kêkalih saprabotipun ingkang ngampil abdi dalêm mantri Saragêni.
Bab kaping 28
88
Anuntên lampahing abdi dalêm, ingkang rumiyin prajurit Saragêni,
anuntên Priyantaka Kasêpuhan, anuntên Priyantaka Kadospatèn, tumuntên
titihan Dalêm, kapal kêkalih sami kasongsongan jêne, anuntên prajurit Jayèng
Astra, nuntên prajurit Jayantaka, nuntên prajurit Kawandasa Cêmêng,
Kawandasa Abrit, prajurit Jagêr Rajêgwêsi. Sami jèjèr turut margi, nuntên
prajurit Tamtama, nuntên Kanèma-[16]n Kadospatèn sami ambêkta ampilan,
anuntên Gandhèk Mantri Anèm, ingkang sami ngampil-ampil.
Nuntên Panyutra, Panakawan Kalawija, Bucu Banjar Andhap, Lurah
Urdênas, Mayor para Putra Sêntana Panji, anuntên ingkang Sinuhun Kangjêng
Susuhunan têdhak kanthèn kaliyan Kangjêng Tuwan Risidhèn40
, kangjêng
pangeran Adipati Angabèhi kanthèn kalih Tuwan Asistèn, para Pangeran tuwin
para Sêntana Timur, sami jajari ing ngarsa Dalêm, ingkang ngampil kanca
Radèn Mas Riya Jaya Diningrat, ingkang ngampil pakêcowan Radèn Ngabèhi
Purwadipura, ingkang nongsong mantri Kaparak, ingkang ngampil sabêt, ketut,
jêmparing, tamèng, sanjata, sami anggarêbêg ing wingking Dalêm sisih ingkang
wetan Bêndara Pangèran Arya Adinagara, Radèn Mas Riya Diningrat, wontên
têngên Dalêm kapering41
wingking, ingkang sisih kilèn wingkingipun Tuwan
Residhèn. Para Tuwan Tuwan, kaurmatan gongsa munggang salomprat tambur
marês, tuwin Tanjidhur ingkang jajari kanan kering Dalêm Nyangkra Gyana,
Jagapura, Singa Nagara, Mêrta Lulut, Anir Baya, Anir Bita, sami sikêp pêdhang
tamèng towok. Wingking Dalêm prajurit Miji Pinilih, para Gusthi, abdi dalêm
èstri, manggung badhaya wau sami kantun wontên ing Sitinggil, Suranata Kraton
40
Residhèn *KT 41
Kaparing *H
89
Pênandhon42
, botên darat sami wontên tritis Bangsal Witana. Abdi dalêm
Gandhêk amêpêti kori Sitinggil ingkang lèr, panêwu mantri Rajanitèn
sakancanipun tuwin Niti sami [17] mèpèti margi Sitinggil kang kidul.
Bab kaping 29
Rawuh Dalêm ing Masjid Agêng, ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan
pinarak lênggah ing dhampar suku pêthakan. Wontên ing kobong têngah surambi,
majêng mangetan, Tuwan Residèn lênggah ing kursi kiwa Dalêm. Nunggil
sakobong, Kangjêng Pangeran Adipati Hariya Mangku Nagara, Sarta para
Tuwan Tuwan, lênggah kursi jèjèr mangalèr majêng mangetan, Kangjêng
Pangeran Adipati Angabèhi saha Pangêran Sepuh lênggah kursi wontên kidul
majêng mangetan. Ampilan dalêm waos tuwin Kaprabon wau wontên pêngkêran
Dalêm, tuwin wontên sakiduling palênggahan. Para Pangeran Putra Santana
sami lênggah ngandhap kanan kering ngarsa Dalêm, Radèn Adipati Sastra
Diningrat sakancanipun. Wadana Jawi lêbêt sami wontên ing ngarsa Dalêm,
êlèripun Radèn Adipati Mas Pêngulu Têpsir Anom sakancanipun, Kêtip ngulami
sami wontên ingkang lèr, Walandi dragundir43
ajagi44
ing ngarsa Dalêm,
ngandhap undhak-undhakan kêkalih ngliga pêdhang, sêkati kêndêl wontên
pasowan kidul plataran Masjid, kalih pasowan ingkang lèr. Titihan Dalêm kapal
kaprabon kakalih Priyantaka ing Kadospatèn, rêdi wontên sakiwa têngênipun ing
margi.
Bab kaping 30
42
Panandhon *H 43
Drahgundêr *L 44
Anjagi #*L
90
Abdi dalêm Nyangkra Gyana, Jaga Sura, Anirbita, Anirbaya, Marta Lulut.
Sami jèjèr amêpêti Kori Gapura, sêjawining Kori Gapura. Barising prajurit
Saragêni, sami ajêng-ajêng lèr lawan kidul, nuntên barising Tamtama, Jayèng
Astra sami majêng mangalèr, prajurit Miji Pinilih prajurit Ja-[18]yantaka,
prajurit Kawandasa Cêmêng, prajurit Kawandasa Abrit, kasambêtan prajurit
Jagêr Rajêgwesi, sami jèjèr ing margi, dumugi ing Wringin Sêngkêran. Nuntên
ambêngan Nyai Blawong, kathahipun sêkawan kaajengakên ing ngarsa Dalêm.
Anuntên dhawuh ing pangandika Dalêm Pangulu Tapsir Anom, donganan
ingsun anyaosakên..., anuntên Mas Pangulu ngadêg, amaca donga ing ngarsa
Dalêm, majêng mangidul ngetan. Satelasipun ninga, nuntên dhawuh Radèn
Adipati Sasradiningrat, dikakakên ngêpang saha ambagêsa45
abdi dalêm sêdaya,
anuntên Prajurit Tamtama, Sarageni, Prajurit Miji Pinilih, Jayeng Astra,
Jayantaka prajurit Kawandasa Cêmêng, Kawandasa Abrit, tuwit46
Prajurit Jager
Rajegwêsi, sami drel kaping tigang rambahan, kasauran ungêling Mariyêm
Agêng Loji bètèng Surakarta, mawanti-wanti nuntên sakati mungêl.
Bab kaping 31
Sêsampunipun ingkang Sinuhun Kangjêng Susuhunan anggantèn botên
dangu lajêng bidhal kundur47
dhatêng Sitinggil, mênggah lampahipun abdi dalêm
sêdaya tuwin ingkang sami ngampil, sarta lampahing prajurit, inggih botên ewah
kados kala têdhakipun, lajêng lênggah ing dhampar malih, andugèkakên
pakurmatan wilujengan sakathahipun ampilan dalêm ingkang kaampil abdi dalêm
jalêr, sami katampèn dhatêng para Estri malih.
45
Ambegsa #A 46
Tuwin #H 47
Kondur #H
91
Ngunjuk kaping 2 Wilujêngipun Kangjêng Tuwan Gubrênur Jendral sarta
para Rada Panikdiya Sawa kaurmatan, ungêling mariyêm ping 27 ingkang
ndhisekakên Kangjêng Tuwan Residhên. Ngunjuk kaping 3 wilujêngipun kangjêng
Tuwan Ko-[19]mas Aris. Ngunjuk kaping 4, wilujêng Dalêm, ingkang Sinuhun
Kangjêng Susuhunan, tumuntên Urdênas Walandi nyaosakên dhahar Dalêm roti
banggèt. Lajêng kawradinakên ing kathah.
Tumuntên nyaosakên gantèn masakan, lajêng kawradinakên kathah, ngunjuk
kaping 5 wilujengipun Kangjêng Tuwan Residhèn, ingkang paring kundhisi
Panjenengan Dalem Ingkang Sinuhun. Ngunjuk kaping 6 wilujêngipun Kangjêng
Pangèran Adipati Angabèhi, kakundhisèkakên Kangjêng Tuwan Residhèn malih.
Nuntên dhawuh ngungêlakên sawarnining gongsa kabupatosan, ingkang sami
wontên ing Wringin Sêngkêran dhawuh Dalêm dhatêng Bupatos kaparak,
kaluntakakên dhatêng Kaliwon Gandhèk, nuntên prajurit Tamtama bidhal
dhatêng Sri Manganti. ngunjuk malih kaping 7, wilujêngipun para Pangeran
Putra Santana Dalêm. ngunjuk kaping 8, wilujêngipun Tanah Jawi, nuntên
kundur48
Angadhaton, pinarak pandhapi, abdi dalêm Dumatos49
Lêbêt sami
majêng soan50
wontên ing taratag Mandhapi, abdi dalêm Kaliwon Lêbêt sami
soan51
wontên sangajênging Jambêt ingkang lèr, abdi dalêm Panyutra wontên ing
Palataran lèr Kurut, sami jèngkèng kalang tinangtang majêng mangalèr,
tumuntên para Santana Panji Edèkan. Botên dangu kangjêng Tuwan Residhèn
sarta para Tuwan Tuwan lajêng sami tabêyan sami mantuk dhatêng Loji sarêng
kaliyan Kangjêng Pangeran Adipati Angabèhi, sarta para Pangeran Sepuh Anèm,
48
Kondur #H 49
Bupatos #H 50
Sowan #KT 51
Sowan #KT
92
sami kaaturan pista. Ing satindhakipun dhatêng Loji Kangjêng Pangeran Adipati
Angabèhi wau kaurmatan mariyem reji, Radèn Adipati Sasradiningrat, sarta para
wadana ingkang sami kantun wontên ing Masjid wau, lajêng sami bidhal dhatêng
Loji, mênggah abdi dalêm prajurit Tamtama, Miji Pinilih, Jayèng Astra,
Jayantaka, Jagêr Rajêgwesi, Kawandasa Cêmêng, Kawandasa Abrit, Saragêni.
93
Terjemahan :
Garebeg Mulud PB VII
1. Buku keluarnya sang Raja di acara Garebeg Mulud Dal.
2. Di Garebeg Mulud bukan Dal
3. Di Garebeg Pasa
4. Di Garebeg Besar
5. Tahun Baru
6. Pesta Raja
7. Tetapi ketiga Garebeg52
, Mulud yang bukan di tahun Dal atau Garebeg
Pasa, Garebeg Besar, garebeg tadi menjadi satu saja, karena
penghormatan juga semuanya sama tidak ada bedanya, hanya Garebeg
Mulud tahun Dal inilah yang berbeda [2].
Ini buku keluarnya sang Raja, ketika beliau Ingkang Sinuhun Kangjeng
Susuhunan Pakubuwana ke 7:
1. Di Garebeg Mulud tahun Dal.
2. Di Garebeg Mulud bukan tahun Dal.
3. Di Garebeg Pasa.
4. Di Garebeg Besar.
5. Keluarnya Raja di Pesta Raja, Tahun Baru. Permintaan Raja waktu di
tahun Bé angka: 1776 [3].
Inilah buku yang menjadi acuan keluarnya sang Raja pada saat Garebeg
Mulud di tahun Dal, waktu beliau Raja Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan
52
Merupakan upacara adat istiadat yang diselenggarakan dan ditandai dengan keluarnya Raja dalam upacara Garebeg dan disertai keluarnya gunungan sebagai persembahan dari raja untuk memperingati hari besar islam.
94
Pakubuwana Senapati Ing Alaga Ngabdurrakman Sayidina Panatagama yang ke
tujuh, berdasarkan dari bintang Leo di Nederlan atau Belanda, di bawah ini
penjelasannya.
Bab ke 1
Di hari Senin Pon tanggal ke 12 bulan Rabiulawal di tahun Dal angka
tahun 1775, sejak pukul empat pagi, para Bendara, para Wedana semua
membunyikan gamelan milik Raja Kodok Ngorek Kadospaten yang dimainkan di
Sitinggil bangsal sebelah timur. Semua abdi dalem prajurit melakukan latihan,
abdi dalem Galadhag menurunkan gunungan milik Raja di Magangan53
, di bawah
pohon Lo54
. Kemudian gamelan milik Raja Sekaten dipindahkan dari Masjid
Ageng dan ditata di taratag Sitinggil bagian utara.
Bab ke 2
Di waktu pukul tujuh pagi, semua abdi dalem melihat-lihat kemudian
menanam milik Raja umbul-umbul, daludag dan bendera merah putih, di sebelah
utara meriam selatan pohon beringin kurung55
. Sifat wantilan.
Bab ke 3
Di waktu pukul setengah delapan, gunungan milik Raja dipindahkan oleh
Nyai Tumenggung berempat bersama teman wanita, menuju ke Sri Manganti
sebelah utara. kemudian diterima abdi dalem Ngajeng, dibawa diluarnya kori
kamandhungan. Ditempatkan di Pangrantunan sebelah timur, menghadap ke
timur, kemudian diberi bendera merah putih, berkainkan jarik berwarna kuning.
53
Magangan menurut kamus Poerwodarminta memiliki arti Pangadangan atau tempat untuk memasak 54
secara ilmiah pohon ini bernama Ficus racemosa L, sedangkan sebutan lain pohon ini adalah lowa atau Ara. 55
Beringin kurung yang dimaksudkan merupakan beringin yang terletak di tengah Alun-alun utara, pohon beringin tersebut merupakan pohon beringin Dewandaru dan Jayandaru.
95
Bab ke 4 [4]
Kemudian abdi dalem Priyantaka, Kaliwon dan jajarannya membawa
upacara kerajaan keluar ke Pagelaran di sebelah selatan Bangsal Pangrawit dan
tertata di sebelah timur dan barat jalan. Yang dibawa berupa payung besar
berjumlah empat, yang besar bendera merah putih seperangkat, yang kecil
serangkai bunga mayang.
Bab ke 5
Kemudian semua abdi dalem melanjutkan sendiri-sendiri menanam
umbul-umbul di tempat biasanya masing-masing.
Bab ke 6
Kemudian abdi dalem Sarati mendatangkan milik Raja Dipongga
keduanya berada di sebelah timur atau barat, abdi dalem Kusir Belanda kedua
mendatangkan kereta milik Raja di Paretan sebelah timur atau barat.
Bab ke 7
Kemudian abdi dalem Raden Ngabehi Wirakusuma, Mas Ngabehi
Resaniti, Kyai Jimat Ahmad Dalem, Kyai Ajar Saloka beserta temannya Juru
Suranata, mengeluarkan milik Raja Piring Besar, pusaka Nyai Belawong beserta
gunungan anakan dari Gandarasan. Yang memanggul Nyai Belawong adalah juru
kunci dari kota Gedhe dan yang memayungi adalah tuan tanah, yang memanggul
gunungan anakan adalah juru kunci dari Imagiri dan yang memayungi adalah juru
kunci dari Nitikan dari Girilaya, yang memanggul pikulan piring besar adalah juru
kunci dari Laweyan, semua gunungan dibawa menuju Bangsal Sri Manganti
sebelah barat.
96
Bab ke 8
Kemudian abdi dalem Raden Ngabehi Suranagara dan Raden Ngabehi
Tohpati mengeluarkan kendaraan Raja. Kedua kendaraan tersebut yang satu diberi
kelapa batangan, baludru merah peralatan emas, kain alas penyangga berwarna
hitam ciri pinggirannya, sedangkan yang satu diambilkan Cukel Raja, juga kain
baludru berwarna merah......., terbungkus kain kuning gading, terapit empat
tumbak, serta diiringi oleh abdi dalem Demang Bekel dari Bai, abdi dalem Mantri
Panegar sejajarnya, semua abdi dalem mengikuti di belakang kendaraan, semua
membawa cambuk atau Carak dan gantungan peralatan mengendara, di depan
kendaraan dijajari dua Gelodhog yang memanggul tempat rodhong dan kendhil
besar, semua membawa di nampan, kendaraan Raja keluar-[5]nya menuju
Pagelaran, di timur Bangsal Pangrawit.
Bab ke ke 9
Pada pukul 8.00 (delapan) semua abdi dalem prajurit masuk, yang menjadi
pimpinan adalah Prajurit Tamtama, kemudian Prajurit Miji Pinilih, kemudian
prajurit Jayeng Astra, kemudian prajurit Carangan. Sesampainya di Palataran
kemudian berhenti dan berbaris, Prajurit Tamtama berbaris di sebelah utara
Pringgitan, Prajurit Miji Pinilih berbaris di selatan Panggung Sangga Buwana,
prajurit Jayeng Astra baris di timur Pendhapa, prajurit Carangan baris di sebelah
timur Pendhapa hijau, semua tadi kemudian saling mengambil posisi masing-
masing.
Bab ke 10
Abdi dalem prajurit Jayantaka masuk menuju alun-alun, kemudian prajurit
Jager Rajegwesi, kemudian prajurit Anir Westhi, kemudian prajurit Anir Pringga,
97
kemudian prajurit Anirmala, Kemudian prajurit Anirwikara, kemudian prajurit
Singgan, kemudian prajurit Jawahan, Kemudian prajurit Jagapura, kemudian
Prajurit Jagapaja, kemudian Prajurit Satabel.
Bab ke 11
Kemudian keluarnya abdi dalem prajurit Lebet, yang terdahulu adalah
prajurit Jayeng Astra, kemudian berbaris di utara Kamandhungan, kemudian
prajurit Carangan baris di Sri Manganti sebelah timur, kemudian keluarnya abdi
dalem prajurit Tamtama, bersamaan dengan abdi dalem Tanjidur, kemudian
prajurit Miji Pinilih. Kemudian prajurit Jayeng Astra ke Sitinggil, berbaris di
Taratag sebelah barat menghadap ke timur, prajurit Carangan di Kamandhungan
berbaris di sebelah timur kemudian di depan dengan Belanda dan para kerabat,
kemudian prajurit Tamtama berbaris di Sri Manganti sebelah timur, prajurit Miji
Pinilih di sebelah barat-[6] Tanjidur di sebelah selatan prajurit Miji Pinilih.
Bab ke 12
Abdi dalem prajurit Sarageni, berbaris di bawah tangga Sitinggil, prajurit
Lebet, prajurit Sarageni tadi kemudian keluar mendahului lalu berbaris di sebelah
selatan pohon beringin kurung kanan dan kiri, akan tetapi abdi dalem prajurit
Jayantaka berbaris di Pagelaran sebelah timur jalan, para prajurit semua berbaris
dan berjaga di alun-alun.
Bab ke 13
Kemudian keluarnya upacara milik Raja di Kadipaten menuju di
Kamandhungan, dibawa oleh abdi dalem Panewu Mantri di Kadipaten. Kemudian
abdi dalem Niyaga Estri mengeluarkan gamelan milik Raja Kyai Gerah Kapat dan
98
seperangkatnya, diterima abdi dalem Niyaga Jaler dibawa ke Sitinggil, yang
memanggul abdi dalem yang tinggi.
Bab ke 14
Kemudian Raden Adipati Sasradiningrat atau Wadana Kaliwon Panewu
Mantri, semua datang di Pagelaran. Wadana Gedhong Keparak dengan Kaliwon
Panewu Mantri dan jajarannya, abdi dalem Lebet semua datang di Sri Manganti.
Wadana Galadhag, Wadana Pulisi, Tamping Pamaosan, Sakaliwon Panewu
mantrinya, semua datang di Brajanala, akan menerima keluarnya upacara di
Pareden.
Bab ke 15
Kemudian para Bendara, Pangeran tua dan muda semua datang di bawah
Jambet di sebelah utara menghadap ke selatan, abdi dalem Sentana Panji
Edhekan, semua datang di bawah pohon sawo, sebelah timur Taratag yang utara
menghadap ke barat, abdi dalem Urdenas Lurah di Panakawan, atau abdi dalem
Carik, Siti, Merji, semua-[7] datang dibawah Jambet di sebelah selatan panggung,
abdi dalem Panakawan semua datang di depan tempatnya sendiri-sendiri, abdi
dalem Banjar Andhap Jaler, semua datang tepat disebelah utara tempat duduk
Raja, di bawahnya pohon Jambet.
Bab ke 16
Di waktu jam setengah 10 abdi dalem Nyai Tumenggung, keduanya keluar
menurunkan panggilan Raja. Raden Mas Riya Purwadiningrat dan Raden Mas
Riya Jayadiningrat, semua diperintahkan ke Loji untuk menyampaikan utusan
keluarnya Garebeg, juga memanggil yang dituakan Kangjeng Tuan Residhen,
untuk datang masuk di Karaton.
99
Bab ke 17
Di waktu pukul sepuluh, yang terhormat Kangjeng Susuhunan keluar
menuju Pendapa Ageng, kemudian duduk di Singgasana, kakinya menghadap ke
arah barat, beralaskan kain baludru berwarna merah berenda gemerlap, mahkota
Raja berwarna biru muda, baju Raja dari kain baludru berwarna hitam dengan
memakai bintang Keprabon dan kain pengikat dari sutra halus berwarna hitam,
celana Raja dari kain baludru hitam yang berendakan emas berselang-seling,
memakai sepatu (selop) yang berenda berkilau/gemerlap. Para wanita membawa
upacara Kerajaan, kemudian semua duduk di tempat biasanya yang sudah
berjalan.
Bab ke 18
Kangjeng Pangeran Adipati Angabehi, Kangjeng Pangeran Hariya Adi
Nagara, Kangjeng Pangeran Hariya Natapura, Kangjeng Pangeran Hariya
Natakusuma, semua maju ke Pendapa, duduk di kursi menghadap ke timur, Para
Pangeran adik Raja, anak Raja, Santana Dalem, duduk di pendapa sebelah barat
menghadap ke timur.[8]
Bab ke 19
Di waktu pukul setengah sebelas, Kangjeng Tuan Residen datang masuk
di Karaton, Tuan Asisten dan Tuan Komandan juga menghantarkan para Tuan
Mayor, Opsir Belanda merdeka semuanya, atau Kangjeng Pangeran Adipati
Hariya Mangku Nagara sekeluarga. Semua menaiki kereta, diiring oleh Belanda
beserta delapan kerabatnya sampai di Pangurakan, dihormati bunyi gamelan yang
berada di Alun-alun, bersama hingga di pohon ringin kurung. Kemudian barisnya
prajurit yang berada di Alun-alun dihormati dengan musik tambur hingga di
100
taratag Pagelaran. Tuan Residen turun dari kereta, kemudian berjalan keatas
menuju Sitinggil yang diiring oleh dua orang Wadana Kaparak, sampai di
Sitinggil barisnya prajurit Jayeng Astra yang dihormati dengan musik tambur,
bersama sampai di Kori Brajanala, barisnya prajurit Carangan beserta kerabat
Belanda dihormati dengan musik tambur, bersama sampai Kamandhungan,
barisnya prajurit Prawira Tamtama, Miji Pinilih, juga Tanjidur dihormati dengan
musik tambur. Sampainya di Sri Manganti bertemu Nyai Tumenggung, keduanya
saling menyapa, kemudian diiring masuk ke Pendapa. Bersama sampai di tritising
Sri Manganti, Kangjeng Tuan Residen atau para Tuan semua memberi hormat
dengan membuka topi, bersama sampai di bawah pohon sawo, payungnya
Kangjeng Tuan Residen ditutup dan diterima oleh abdi dalem Kaparak Estri.
Bersama Kangjeng Tuan Risidhen sampai di pinggiran Pendapa Ageng, Sinuhun
Kangjeng Susuhunan hormat berdiri, kemudian disapa oleh Kangjeng Tuan
Residhen, atau Tuan Komandan, Tuan Asisten, para Upesir, atau para Tuan
merdeka. Semua mengangguk di depan Raja, kemudian menghadap ke timur.
Tuan Residen kemudian duduk di kursi sebelah kiri Raja menghadap ke-
[9] utara, Kangjeng Pangeran Adipati Hariya Mangku Nagara, Tuan Komandan
Tuan Asisten, serta para Tuan duduk di kursi menghadap ke barat, kemudian
Lurah Urdenas Belanda memberikan makan masakan yang berbeda, kemudian
dibagikan kepada para Tuan semua.
Bab ke 20
Kemudian abdi dalem Mantri Brajanala, Tuan Wisamarta dan jajarannya
kiri kanan, saling menata kursi duduk di Sitinggil atau di serambi Masjid Agung,
101
kemudian abdi dalem Wadana Kaparak Sakaliwon atau Wadana Lebet semua
mendahului menuju Sitinggil.
Kemudian prajurit Jayeng Astra, yang berada di sitinggil turun ke
Pagelaran, kemudian prajurit perwira Tamtama, keluar mendahului menuju
Sitinggil, kemudian prajurit Panyutra keluar ke Sri Manganti sebelah utara,
kemudian semua Panakawan menjajari di depan, kemudian upacara Kadipaten
keluar di depan Sinuhun. Kangjeng Susuhunan berdiri turun dengan Kangjeng
Tuan Residhen, dipayungi payung keemasan, Tuan Asisten menunggu dan
mendampingi dengan Kangjeng Pangeran Adipati Angabehi, para Pangeran, adik
Raja, anak Raja, Santana Dalem di depan, berbaris empat-empat, di depan para
Pangeran kesayangan Raja, disambut dengan tarian Bedhaya Sarimpi. Semua
membawa upacara Raja berupa: angsa jantan, ayam jantan, kidang mas, gajah,
sapu tangan, anak ayam dalam kandang, rotan. Semua berbaris empat-empat di
belakangnya Raja. Para Bendara Gusti Estri semua membawa milik Raja
cempuri56
, meja, gandhek57
, tempat minum, tempat cuci tangan, kandhaga kecil,
lante58
, kebut59
badhak, kebut jawata, pedang, tameng, jemparing60
, gandhewa61
dan pasangannya. Pakaian Raja tumbak keduanya berada di sebelah kanan Raja,
pakaian Raja senjata keduanya seperangkat ada di sebelah kiri Raja, juga para
wanita yang memberi aba-aba, semua ikut mengiring di belakang Raja. Yang
membawa pinggiran kain jarik Raja Mas Rara Bariyah.
56
Tempat kinang 57
Bunga kanthil atau cepaka 58
Tikar yang digunakan untuk membuat bilahan bambu. 59
Kipas kecil 60
panah 61
Tempat untuk melepaskan panah
102
Bab ke 21-[10].
Yang terhormat Kangjeng Susuhunan turun keluar sampai di Sri Manganti,
kemudian Emban wanita atau Sentana, Riya Panji, Mayor prajurit Urdenas, semua
menjajari di kanan kiri Raja, didepannya Urdenas, prajurit Panyutra. Yang
menjajari di sebelah tengah dibelakang upacara di Kadipaten adalah abdi dalem
Banjar Andhap, Bucutul Kecebol Jenggot, kemudian lompret Belanda dua,
kemudian Belanda Urdenas dan temannya, kemudian anak yang masih muda-
muda, kemudian abdi dalem Manggung, kemudian Banjar Andhap perempuan,
kemudian para Pangeran semua, yang terakhir Kangjeng Pangeran Adipati
Angabehi, menunggu dengan Tuan Asisten Residhen.
Bab ke 22
Keluarnya Raja dari Sri Manganti mendapat penghormatan dari prajurit
Miji Pinilih, kemudian yang mengikuti di belakang Raja adalah prajurit Carangan,
prajurit Belanda, semua menghormat membunyikan tambur atau terompet. Abdi
dalem Suranata, Gedhong Panandhon Karajaniten kraton datang ke Pangrantunan
sebelah barat. Wadana Galadhag, Wadana Pulisi, Sakaliwon Panewu Mantri
menghormat dengan duduk atau jongkok menyembah di sebelah utara barisan
prajurit Belanda. Abdi dalem Kaparak semua menutupi jalan di sebelah utara
Brajanala. Abdi dalem Sahositi atau Jajasara Sajasama menjaga pintu-pintu kori
Brajanala, Kori Kamandhungan, juga berjaga menunggu di pamagangan Sri
Manganti sebelah selatan, Kori Saraseja, Kori Gadhu Malathi. Kemudian Sri
Nuhun Kangjeng Susuhunan, sampai di Becira, abdi dalem yang semula
mengiring, bersiap mendahului di tempatnya masing-masing. Abdi dalem prajurit
103
Panyutra saling jongkok bersiaga di sebelah kiri kanannya Bangsal Witana, Raja
kemudian turun di bangsal Manguntur.
Bab ke 23
Lurah Niyaga saling menunggu perintah Raja untuk membunyikan milik
Raja game-[11]lan. Bersamaan dengan dilambaikannya tangan Raja, kemudian
milik Raja gamelan-gamelan dibunyikan. Raka Sinuhun kemudian duduk, yang
menghadap di depan Raja adalah abdi dalem Wadana Kaparak Kiwa Tengen,
Abdi dalem Kaliwon, Kaparak Kaliwon, Anthek, dan Sapanewu Mantri.
Semuanya datang di belakang Wadana Kaparak yang sedang duduk di kursi timur
menghadap ke barat. Yang di selatan Kangjeng Pangeran Adipati Angabehi
adalah para Bendara Pangeran yang tua, disambung para Tuan sebelah utara yang
berada di kursi sebelah barat. Yang berada di selatan berbaris ke utara adalah
Kangjeng Pangeran Adipati Hariya Mangku Negara, Tuan Komandan, Tuan
Asisten, Mayor Opsir atau Sentana di Mangkunagaran. Para Pangeran, adik Raja,
anak Raja, semua duduk di bawah, di depan Raja sebelah timur tangga. Abdi
dalem Pangeran Sentana, para Riya duduk di bawah sebelah timur Manguntur,
menghadap ke utara. Di belakang upacara Kadipaten, sakaliwon Panewu Mantri,
Miji Kaneman semua berbaris di bawah Taratag sebelah timurnya Manguntur,
disambung abdi dalem Urdenas Lurah, Panakawan Kasepuhan. Kemudian
disambung Urdenas Lurah Panakawan di Kadipaten, dibawahnya Taratag di barat
Manguntur. Abdi dalem Suranata, Carik Juru, disebelah utaranya abdi dalem
Mayor Prajurit yang berbaris tidak saling bertabrakan atau Kaliwon Karaton atau
Kaliwon Panandhon. Di sebelah utaranya lagi abdi dalem Wanengan, Abdi dalem
Jajar Gandhek semua datang di pinggir taratag sebelah utara menghadap
104
keselatan. Disambung abdi dalem Kabayan Kaparak, dibawah pinggiran Tarata-
[12]g yang timur, barisnya prajurit Tamtama menghadap keselatan menghadap
kebarat, diutaranya prajurit Tamtama abdi dalem Sentana Panji Edhekan
menghadap ke timur menghadap ke selatan. Kemudian yang akan menerima
perintah Raja adalah Wadana Gedhong kedua. Kemudian abdi dalem Emban ing
Kadipaten, serta Mantri Ngawin Panandhon, semua menghadap ke upacara di
Kadipaten membawa Kendhaga untuk minum dan payung tumpuk. Abdi dalem
Krajaniten, abdi dalem Kebondharat, Niti Girji, semua datang di sebelah utara
kelir menghadap ke timur menghadap ke utara. Abdi dalem Karaton Panandhon
semua datang di barat Bangsal Witana menghadap ke timur. Kemudian abdi
dalem Tanjidhur, Urdenas Salompret dan abdi dalem prajurit Miji Pinilih,
menghadap ke utara sebelah timur, kemudian disambung Gandhek juga Kabayan
Kiwa yang datang di pinggir Taratag yang utara menghadap ke selatan, para
kerabat Belanda berpencar di timur selatan atau barat semua membawa pedang
dan pecut. Yang datang di Bangsal Pangapit dibawah tangga Sitinggil adalah Abdi
dalem Marta Lulut, Singa Nagara. Bersama keluarnya sang Raja yang kemudian
berada di kanan kiri jalan, yang ikut serta menghadap ke utara adalah abdi dalem
Kaneman, abdi dalem Sangkra Gyana, Anirbaya, Anirbita, Miji Tanu Astra,
semua datang di luar Pancak Suji sebelah barat Bangsal Pangrawit menghadap ke
timur barat menghadap ke utara. Semua memakai peralatan tameng/penangkis
tidak.... Abdi dalem para Gusti semua menghadap di belakang Raja, abdi dalem
Prajurit Carangan kemudian turun di Pagelaran keluar melalui sebelah timur
Sitinggil, kemudian baris di Pagelaran sebelah timur menghadap ke barat,
Berhadap-hadapan dengan Prajurit Jayeng Astra.
105
Bab ke 24
Kemudian yang terhormat Raja melambaikan tangan kepada Wadana
Gedhong, kemudian Wadana Gedhong memerintahkan gunungan milik Raja
keluar, bersama dengan itu di depan ada dua abdi dalem Panewu Gedhong yang
maju di depan Raja, yang satu membawa meja bundar ke-[13]cil, yang satu
membawa tempat ganti masak. Datang di depan Raja secara bersamaan,
berjalannya hormat seperti ayahnya yang berada di gamelan. Kemudian meja
bundar kecil diletakkan di depan Raja, di meja diletakkan tempat masakan tadi
yang tertutup kain baludru merah dengan renda berajut menyala.
Bab ke 25
Kemudian gunungan milik Raja dikeluarkan, keluar di tarayem tangga
Sitinggil yang sebelah barat, juga berjajaran dengan Mantri Redi Dhusun, Mantri
Tamping, Mantri Gedhong, atau Jajar Gedhong Sapanewu Kaliwon semua, yang
memanggul keluarnya gunungan milik Raja adalah Mantri depan. Keluarnya
gunungan dihormati oleh prajurit, tidak hanya itu semua medoakan.
Diturunkannya gunungan Raja dijaga oleh abdi dalem Panewu Kabayan Kaparak
dan sejajarnya, bersamaan dengan itu gunungan milik Raja yang turun baru dapat
dua, kemudian gamelan-gamelan milik Raja diberhentikan. Kemudian lambaian
tangan Raja lagi, abdi dalem Niyaga memerintah untuk membunyikan milik Raja
gamelan Kodhok Ngorek62
, kemudian gamelan dibunyikan. Sesudah gunungan
milik Raja yang dikeluarkan, kemudian Ancak Saradan, kemudian Nyai
Belawong yang dipanggul juru kunci dijajari Tuan Tanah, yang mengikutsertakan
keluarnya gunungan adalah Lurah, Juru Kunci Lurah, Juru Lurah Suranata,
62
Kodhok ngorek merupakan nama gendhing atau lagu yang biasa dimaninkan di waktu tertentu.
106
memakai payung berwarna kuning gading. Dibelakangnya Nyai Belawong, ada
Wadana Gedhong, Galadhag Raja Niten, Wadana Pulisi kemudian milik Raja
gamelan sakati dibunyikan. Kemudian dibawa berjalan turun di belakangnya Nyai
Belawong, bersama sampai di Bangsal Pangrawit Gendhing sakati naik menjadi
iringan rambu63
.
Bab ke 26
Kemudian Urdenas Belanda di Residhenan membagikan serat kundhisen
kepada para Tuan yang kebetulan dapat gunungan, kemudian milik Raja
gunungan diturunkan [14] abdi dalem Lurah Urdenas Walandi memberikan
minuman penghormatan, yang membagikan minuman adalah Urdenas Walandi
atau Opsir di Residhenan.
kemudian Kangjeng Tuan Residhen mendahulukan ucapan selamat
Garebeg Mulud tahun Dal, dengan tanda penghormatan berupa bunyi Tanjidhur,
kemudian prajurit Tamtama pindah barisnya menghadap ke timur menghadap ke
utara, prajurit Miji Pinilih pindah barisnya menghadap ke barat menghadap ke
utara, kemudian Tamtama membunyikan tembakan, disambut tembakan Miji
Pinilih, kemudian disambut meriam besar Kyai Kumba Kinumba, Tamtama, Miji
Pinilih mengulanginya hingga tiga kali, setelah itu disambut mariyam kecil,
kemudian tembakannya prajurit Jayeng Astra, dengan Jayantaka diulang sebanyak
enam kali, disambut maeriam kecil saja. Abdi dalem prajurit Kawandasa Cemeng
dan jajarannya, prajurit Kawandasa abrit dan jajarannya semua menembak hingga
enam kali. Disambut meriam kecil saja. Abdi dalem prajurit Sarageni, prajurit
Rajegwesi, semua menembak hingga enam kali, disambut meriam kecil lagi,
63
Rambu berasal dari kata Robbuna yang berarti Allah tuhanku, gendhing ini digunakan untuk mengingat Allah SWT.
107
setelah semua tembakan itu, disambut meriam besar Kyai Aswani Kumba.
Kemudian gamelan milik Raja Kodhok Ngorek dihentikan.
Bab ke 27
Setelah semua penghormatan selesai, Kangjeng Raden Adipati dan
temannya Wadana Jawi, semua mendahului datang ke Masjid. Kemudian abdi
dalem Kaliwon Kaparak Kiwa mendahului, memasukkan tempat duduk Raja yaitu
kursi yang kakinya berwarna putih ke Masjid Agung. Yang membawa tempat
duduk adalah abdi dalem Mantri Brajanala, Wisamartha. Kemudian Wadana
Kaparak kedua beserta temannya Kaliwon Panewu Mantri maju menerima
upacara Raja, yang memba-[15]wa tombak Raja adalah abdi dalem Mantri
Priyantaka kedua dan jajarannya, yang membawa pakecowan Raja adalah abdi
dalem Kaliwon Kaparak Tengen. Angsa jantan, ayam jantan, gajah, kidang mas,
anak ayam dan kurungan, sapu tangan, rotan, yang membawa adalah abdi dalem
Gandhek Mantri Anem.
Cempuri milik Raja yang membawa adalah abdi dalem Mantri Pinilih,
gandhek milik Raja di bawa oleh abdi dalem Mantri Gandhek, tempat minum
Raja yang membawa abdi dalem Mantri Gedhong dan abdi dalem
Pangungrungan, kandhaga alit milik Raja yang membawa abdi dalem Suranata,
Kebut Badhak, Kebut jawata milik Raja yang membawa abdi dalem mantri
Anirbaya, palenggahan lante yang membawa abdi dalem mantri Brajanala, sabet
yang membawa abdi dalem Mantri Kaparak Tengen, tameng yang membawa abdi
dalem mantri Kaparak Kiwa, jemparing dan gandhewa yang membawa abdi
dalem Mantri Panyutra, senjata dan perangkatnya milik Raja yang membawa abdi
dalem Mantri Sarageni.
108
Bab ke 28
Kemudian urutan jalannya abdi dalem, yang terdahulu adalah Prajurit
Sarageni, kemudian Priyantaka Kasepuhan, kemudian Priyantaka Kadipaten,
kemudian kendaraan Raja, kedua kapal dipayungi payung berwarna kuning,
kemudian prajurit Jayeng Astra, kemudian prajurit Jayantaka, kemudian prajurit
Kawandasa Cemeng, Kawandasa Abrit, prajurit Jager Rajegwesi. Semua berbaris
disetiap jalan, kemudian prajurit Tamtama, kemudian Kanema-[16]n Kadipaten
semua membawa pinjaman, kemudian Gandhek Mantri Anem semua membawa.
Prajurit Panyutra, Panakawan Kalawija, Bucu Banjar Andhap, Lurah
Urdenas, Mayor para Putra Sentana Panji, kemudian yang terhormat Kangjeng
Susuhunan turun menunggu dengan Kangjeng Tuan Residhen, Kangjeng
pangeran Adipati Angabehi turun dengan Tuan Asisten, para Pangeran juga para
Sentana Timur, semua berjajar di depan Raja, yang membawa pinggiran jarik
Raja adalah Raden Mas Riya Jaya Diningrat, yang membawa pakecowan Raden
Ngabehi Purwadipura, yang membawa payung Mantri Kaparak, yang membawa
sabet, ketut, jemparing, tameng, senjata, semua mengiring di belakang Raja
disebelah timur Bendara Pangeran Arya Adinagara. Raden Mas Riya Diningrat
yang berada di kanan Raja kemudian diberikan belakang Raja, di sebelah barat
belakangnya Tuan Residhen. Para Tuan dihormati gamelan dengan musik
salomprat, tambur mares, juga Tanjidhur. Yang menjajari kanan kiri Raja adalah
Nyangkra Gyana, Jagapura, Singa Nagara, Merta Lulut, Anir Baya, Anir Bita,
semua membawa pedang dan tameng towok. Di belakang Raja ada prajurit Miji
Pinilih, para Gusthi, abdi dalem estri, dan pemain bedhaya semua tinggal di
Sitinggil, Suranata Kraton Panandhon, tidak semua berada di tritis Bangsal
109
Witana. Abdi dalem Gandhek memenuhi Kori Sitinggil sebelah utara, Panewu
Mantri, Raja Niten beserta temannya juga Niti semua [17] memenuhi jalan
Sitinggil sebelah selatan.
Bab ke 29
Datangnya Raja di Masjid Ageng, yang terhormat Kangjeng Susuhunan
sampai duduk di kursi yang kakinya putih. Berada di ruang tengah surambi,
menghadap timur, Tuan Residen duduk di kursi sebelah kiri Raja. Di ruangan
yang sama, Kangjeng Pangeran Adipati Hariya Mangku Nagara, Juga para Tuan,
duduk di kursi berjajar ke sebelah utara menghadap ke timur, Kangjeng Pangeran
Adipati Angabehi juga Pangeran Sepuh duduk di kursi sebelah selatan menghadap
ke timur. Tumbak milik Raja juga Kaprabon tadi di belakang Raja, juga berada di
sebelah selatan tempat duduk. Para Pangeran Putra Santana semua duduk di
bawah, sebelah kanan kiri depan Raja, Raden Adipati Sastra Diningrat dan
temannya Wadana Jawi Lebet semua berada di depan Raja, di sebelah utaranya
ada Raden Adipati Mas Pengulu Tepsir Anom dan temannya, Ketip Ngulami
semua berada di sebelah utara, yang menjaga di depan Raja, dibawah tangga
kedua dengan memegang pedang adalah Walandi dan kerabat. Gamelan sekati
berhenti di tempat pertemuan di sebelah selatan pekarangan Masjid, dengan
tempat pertemuan yang sebelah utara. Kendaraan Raja, kedua kapal kerajaan di
bawa oleh abdi dalem Priyantaka di Kadipaten, gunungan berada di sebelah kiri
kanannya jalan.
Bab ke 30
Abdi dalem Nyangkra Gyana, Jaga Sura, Anirbita, Anirbaya, Marta Lulut
semua berbaris menutupi Kori Gapura dan di luar Kori Gapura. Semua prajurit
110
Sarageni barisnya saling berhadapan di sebelah utara menghadap selatan,
kemudian barisnya prajurit Tamtama, Jayeng Astra semua menghadap ke utara,
prajurit Miji Pinilih prajurit Ja-[18]yantaka, prajurit Kawandasa Cemeng, prajurit
Kawandasa Abrit, disambung prajurit Jager Rajegwesi, saling berjajar di jalan
sampai di Ringin Kurung. Kemudian ambengan Nyai Belawong, jumlahnya
empat di tempatkan di depan Raja.
Kemudian perintah di ucapkan oleh Raja Penghulu Tapsir Anom yang
memberikan doa-doa, kemudian Mas Penghulu (Imam Masjid) berdiri, membaca
doa di depan Raja, menghadap ke selatan timur. Sesudah doa diucapkan,
kemudian Raden Adipati Sasradiningrat memberi perintah, semua abdi dalem
disuruh membuat kepang dan bersiap. Kemudian prajurit Tamtama, Sarageni,
prajurit Miji Pinilih, Jayeng Astra, Jayantaka, prajurit Kawandasa Cemeng,
Kawandasa Abrit, juga Prajurit Jager Rajegwesi, semua menembak sebanyak tiga
kali, disambut bunyi meriam besar Loji beteng Surakarta, menanti-nanti
selesainya tembakan meriam besar Loji, kemudian gamelan sakati berbunyi.
Bab ke 31
Sesudah yang terhormat Kangjeng Susuhunan berganti, tidak lama
kemudian berangkat pulang ke Sitinggil, kemudian jalannya semua abdi dalem
dan juga yang semua membawa milik Raja, juga jalannya prajurit tidak bubar
seperti saat datang, kemudian duduk di kursi lagi, mendatangkan penghormatan
pertama selamatan upacara Garebeg Mulud sebanyak-banyaknya, milik Raja yang
dibawa abdi dalem Jaler, semua diterima oleh para wanita lagi.
Minum yang ke-2 selamatnya untuk Kangjeng Tuan Gubernur Jendral
serta para Rada Panikdiya Sawa dihormati bunyi meriam sampai 27 kali yang
111
mendahulukan Kangjeng Tuan Residhen. Minum yang ke-3 selamatnya untuk
Kangjeng Tuan Ko-[19]mas Aris. Minum yang ke-4, selamatannya untuk Raja,
yang terhormat Kangjeng Susuhunan, kemudian Urdenas Walandi memberikan
makan Raja roti bangget. Kemudian dibagikan banyak.
Kemudian memberikan ganti masakan, kemudian dibagikan banyak,
minum yang ke-5 selamatnya untuk Kangjeng Tuan Residhen, yang memberi
kundhisi Panjenengan Dalem ingkang Sinuhun. Minum yang ke-6 selamatnya
untuk Kangjeng Pangeran Adipati Angabehi, didahului Kangjeng Tuan Residhen
lagi. Kemudian perintah membunyikan semua iringan kabupatosan, yang berada
di alun-alun perintah Raja kepada Bupati Kaparak, dilimpahkan kepada Kaliwon
Gandhek, kemudian prajurit Tamtama berangkat menuju Sri Manganti. Minum
lagi yang ke-7 selamatnya untuk para Pangeran Putra Santana Dalem. Minum
yang ke-8 selamatnya untuk Tanah Jawa. Setelah penghormatan selesai, kemudian
Raja pulang ke Keraton dan singgah di Pendapa, abdi dalem Bupati Lebet semua
maju datang di taratag Pendapa, abdi dalem Kaliwon Lebet semua datang di
depannya Jambet sebelah utara, abdi dalem Panyutra berada di Palataran sebelah
utara Kurut, semua jongkok saling berhadap-hadapan menghadap ke-utara,
kemudian para Sentana Panji Edekan. Tidak lama Kangjeng Tuan Residhen
dengan para Tuan kemudian semua menyapa, semua pulang menuju Loji bersama
dengan Kangjeng Pangeran Adipati Angabehi, juga para Pangeran tua muda,
semua dipersilahkan untuk berpesta. Ketika perginya menuju Loji, Kangjeng
Pangeran Adipati Angabehi mendapat penghormatan meriam Reji, Raden Adipati
Sasradiningrat, serta para Wadana yang masih tinggal di Masjid tadi, semua
berangkat menuju Loji, tanpa terkecuali abdi dalem prajurit Tamtama, Miji
112
Pinilih, Jayeng Astra, Jayantaka, Jager Rajegwesi, Kawandasa Cemeng,
Kawandasa Abrit, Sarageni.
B. KAJIAN ISI
Kajian isi dalam naskah SGM membahas tentang prosesi Garebeg Mulud
pada masa Pakubuwono VII yang jatuh pada tahun Dal. Tidak hanya itu saja,
penelitian ini juga membahas tentang tindakan simbolik yang terdapat dalam
prosesi Garebeg Mulud PB VII yang terkandung di dalam teks SGM. Sebelum
membahas tentang kandungan isi dari teks SGM, akan dipaparkan terlebih dahulu
mengenai sejarah Garebeg Mulud secara singkat.
Garebeg Mulud pada awalnya merupakan upacara selamatan yang
diadakan oleh Raja-raja di Jawa pada saat tahun baru. Upacara selamatan ini
dinamakan Rajawedha, yang artinya kitab suci raja atau kebajikan raja. Selain
disebut dengan Rajawedha, upacara ini juga disebut dengan Rajamedha yang
berarti hewan kurban dari raja (Mifedwil Jandra, et al., 1989-1990: 142).
Diadakannya upacara ini memiliki maksud mengharapkan berkah, keselamatan
dan kesehatan dari para dewa untuk raja dan rakyatnya. Upacara Rajamedha ini
diciptakan karena pada saat itu sedang terjadi wabah penyakit. Dengan adanya
upacara tersebut wabah penyakit pun perlahan hilang hingga akhirnya upacara
tersebut dilaksanakan setiap tahunnya. Upacara selamatan tersebut terus dilakukan
hingga akhir jaman Majapahit. Kemudian pada masa pemerintahan Raden Patah
kerajaan Demak, upacara ini sempat dihapuskan karena dianggap menyimpang
dari syariat Islam. Masyarakat resah akibat dihapuskannya upacara kurban
tersebut, sehingga Raden Patah memutuskan untuk menghidupkan kembali
113
upacara tersebut namun dengan nafas Islami atas saran Sunan Kalijaga. Kegiatan
upacara kurban diganti dengan cara menyembelih hewan dengan menggunakan
syariat Islam, pada awal dan akhir kegiatan menggunakan doa. Doa dipanjatkan
oleh Sunan Giri dan Sunan Bonang (B. Soelarto, 1993: 11). Upacara korban
diganti menjadi upacara adat untuk memperingati kelahiran dan kematian Nabi
Muhammad. Upacara garebeg tersebut dilaksanakan oleh raja-raja Jawa terdahulu
dan masih dilestarikan hingga sekarang. Upacara garebeg sendiri tidak hanya
terdiri dari satu upacara saja, melainkan terbagi menjadi empat. Dalam teks SGM
halaman satu, garebeg terbagi menjadi empat seperti yang tertera dalam kutipan
berikut, yakni :
Nanging Garêbêg têtiga, Mulud ingkang botên panuju ing taun Dal,
utawi Garêbêg Siyam, Garêbêg Bêsar, Garêbêg têtiga wau dados
satunggal kemawon, sabab pakurmatanipun tuwin samukawisipun
sami botên wontên sanèsipun, amung Garêbêg Mulud taun Dal punika
ingkang sanès
Tetapi Gerebeg ketiganya, Mulud yang tidak bersamaan di tahun Dal,
atau Garebeg Pasa, Garebeg Besar, ketiga Garebeg tadi menjadi satu
saja, karena penghormatan dan juga semuanya sama tidak ada
perbedaannya, hanaya Garebeg Mulud di tahun Dal itulah yang
berbeda.
Dari teks di atas dapat dijelaskan bahwa perayaan garebeg tidak hanya ada
satu melainkan ada empat, yakni:
a) Garebeg Mulud tahun Dal
b) Garebeg Mulud bukan di tahun Dal
c) Garebeg Pasa
d) Garebeg Besar
Garebeg Mulud tahun Dal merupakan garebeg yang diadakan pada bulan
Rabiulawal di tahun Dal untuk memperingati hari lahir dan meninggalnya Nabi
Muhammad SAW. Sedangkan Garebeg Mulud yang diadakan bukan pada tahun
114
Dal merupakan upacara garebeg yang dilaksanakan pada bulan Rabiuawal namun
tidak bertepatan dengan tahun Dal atau hanya tahun biasa. Garebeg Pasa
merupakan upacara untuk menyambut datangnya bulan puasa yang dilaksanakan
pada bulan Syawal. Sedangkan Garebeg Besar merupakan upacara garebeg untuk
memperingati hari kurban pada hari Raya Kurban atau Idul Adha.
Dari keempat garebeg tersebut, perayaan yang istimewa hanyalah
Garebeg Mulud tahun Dal. Garebeg Mulud sendiri merupakan upacara adat untuk
memperingati hari lahir dan meninggalnya Nabi Muhammad SAW yang jatuh
pada tanggal 12 bulan Rabiulawal atau Mulud dengan ditandai dikeluarkannya
Gunungan Dalem. Garebeg tahun Dal istimewa karena tahun Dal diyakini sebagai
tahun lahir dan meninggalnya Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada hari Senin
Pon tanggal 12 di bulan Rabiulawal. Tahun Dal juga jatuh setiap delapan tahun
sekali. Hal ini sejalan dengan peryataan KGPH Dipokusumo (wawancara tanggal
28 April 2016) bahwa tahun Dal dalam kalender Jawa datang setiap sewindu
sekali atau setiap delapan tahun sekali. Sehingga perayaan Garebeg Mulud
dirayakan secara berbeda karena dirayakan bertepatan dengan tahun Dal. Tahun
Dal diyakini merupakan tahun lahir dan meninggalnya Nabi Muhammad SAW.
Garebeg Mulud tahun Dal dalam teks SGM terjadi pada saat masa
pemerintahan Kangjeng Susuhunan Pakubuwana VII. Seperti tertera dalam teks di
bawah ini:
Punika pratèlanipun miyos Dalêm Kaprabon, Garêbêg Mulud ing
taun Dal. Kala Panjênêngan Dalêm, ingkang Sinuhun Kajêng
Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Alaga Ngabdurrakman Sayidin
Panatagama ingkang kaping pitu, kumêndur saking bintang leyo ing
Nèdêrlan, ing ngandhap punika pratelanipun
Ini penjelasan keluarnya sang Raja, Garebeg Mulud di tahun Dal,
Waktu beliau ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana
115
Senapati ing Alaga Ngabdurrakman Sayidin Panatagama yang ke
tujuh, kumendur dari bintang Leo di Nederlan atau Belanda, di bawah
ini keterangannya.
Dalam teks di atas dijelaskan bahwa naskah ini menceritakan prosesi
Garebeg Mulud pada tahun Dal pada masa pemerintahan Kangjeng Susuhunan
Pakubuwana VII yang mendapat julukan Senapati ing Alaga Ngabdurakhman
Sayidin Panatagama. Julukan Kangjeng Susuhunan sebagai Senapati ing Alaga
Ngabdurakhman Sayidin Panatagama memiliki makna bahwa raja tidak hanya
sebagai raja Jawa melainkan sebagai wakil Tuhan, sekaligus pemimpin agama dan
merupakan sebuah wujud simbolik penyatuan antara manusia dengan Tuhan atau
bisa disebut manunggaling kawula Gusti.
Garebeg Mulud tahun Dal yang terdapat dalam naskah merupakan upacara
yang diadakan ketika masa pemerintahan Pakubuwono VII. Garebeg Mulud pada
masa PB VII dipilih sebagai pembahasan dalam naskah karena pada masa
pemerintahan Pakubuwono VII kerusuhan dan keresahan atas gejolak penjajahan
berkurang dan berangsur damai. Atas berkurangnya gejolak kerusuhan tersebut,
diadakan perayaan Garebeg Mulud yang bertepatan pula pada tahun Dal, sehingga
dirayakan secara meriah. Pakubuwono VII merupakan Raja yang pandai
menghitung pranata mangsa, dan pada saat itu Keraton masih memiliki daerah
kekuasaan. Atas kepandaian Raja menghitung pranata mangsa tersebut, wilayah
penghasil sayuran dan buah-buahan panen dengan sukses. Kesuksesan tersebut
membuat acara semakin meriah karena daerah kekuasaan memberikan
persembahan panen untuk dibuat gunungan. Atas kedua simpulan tersebut, maka
naskah yang dibahas mengenai Garebeg Mulud pada masa pemerintahan PB VII.
116
Tidak hanya pembahasan tentang pembagian upacara garebeg dan
penyebutan tentang pelaksanaan Garebeg Mulud pada masa pemerintahan
Pakubuwana VII, naskah SGM juga menyebutkan waktu pelaksanaan upacara
tersebut. Waktu pelaksanaan tertera dalam kutipan berikut:
Ing dintên Sênèn Pon tanggal kaping 12, wulan Rabingulawal ing
taun Dal angkaning warsa 1775...
Di hari Senin Pon tanggal ke 12 bulan Rabiulawal di tahun Dal angka
tahun 1775.
Upacara Garebeg Mulud tahun Dal ini dalam teks SGM dilaksanakan pada
hari Senin Pon tanggal 12 bulan Rabiulawal tahun Dal angka tahun 1775. Tahun
1775 jika dikonversikan ke tahun Masehi adalah tahun 1847, sehingga jika
dikonversikan pelaksanaan upacara Garebeg Mulud tahun Dal jatuh pada hari
Senin tanggal 1 Maret 1847.
1. Prosesi Garebeg Mulud Tahun Dal dalam Naskah SGM.
Prosesi upacara Garebeg Mulud tahun Dal pada masa pemerintahan
Pakubuwana VII dalam teks SGM dimulai dari pukul empat pagi ditandai dengan
dibunyikannya iringan Kodhok Ngorek. Kemudian pukul setengah delapan pagi,
Gunungan dalem dikeluarkan menuju Sri Manganti sebelah utara yang dibawa
oleh Nyai Tumenggung bersama teman-temannya, sesampainya di Sri Manganti,
Gunungan dibawa di luar Kamandhungan oleh abdi dalem Ngajeng. Gunungan
tersebut diletakkan oleh abdi dalem Ngajeng di sebelah timur Kamandhungan,
lebih tepatnya di Kori Pangrantunan menghadap ke sebelah timur, kemudian
diberi bendera merah putih dan kain kecil berwarna kuning (samir)64
.
64
Samir merupakan pinggiran kain yang berada di depan/ kain yang dikalungkan pada saat masuk ke Keraton.
117
Gunungan yang diletakkan di Kamandhungan dibawa menuju ke
Pagelaran yang letaknya berada di sebelah selatan Bangsal Pangrawit. Setelah
sampai di Selatan Bangsal Pangrawit, gunungan ditata di timur dan barat jalan
bersama 4 payung besar dan satu rangkaian besar gendhis kalapa dan serangkaian
kecil kembar mayang.
Setelah semuanya diletakkan di di timur dan barat jalan di sebelah selatan
Bangsal Pangrawit, kemudian para abdi dalem melanjutkan kegiatan dengan
menanam umbul-umbul. Tidak lama setelah menanam umbul-umbul, abdi dalem
Sarati mendatangkan Gunungan dalem Dipangga di sebelah timur dan barat jalan
di sebelah selatan Bangsal Pangrawit, dan Kereta kerajaan di letakkan di Paretan
sebelah timur atau barat. Tidak lama kemudian piring besar Nyai Blawong
dikeluarkan dari Gandarasan oleh Raden Ngabehi Wirakusuma, Mas Ngabehi
Resaniti, Kyai Jimat Amad Dalem, Kyai Ajar Saloka beserta temannya Juru
Suranata. Kemudian kendaraan kerajaan diberangkatkan menuju Pagelaran yang
letaknya di sebelah timur Bangsal Pangrawit.
Pada pukul delapan pagi semua prajurit masuk dan berbaris di tempat
masing-masing. Prajurit Tamtama yang menjadi pemimpin pasukan berbaris di
sebelah utara Paringgitan, kemudian prajurit Carangan berbaris di sebelah timur
Pendapa hijau, Prajurit Miji Pinilih berbaris di selatan Panggung Sangga Buwana,
Prajurit Jayeng Astra berbaris di sebelah timur Pendapa, semua tadi berbaris
sesuai dengan posisi masing-masing.
Abdi dalem prajurit Jayantaka masuk ke alun-alun diikuti oleh prajurit
Rajegwesi, Anirwestri, Singgan, Jawahan, Jagapura, Jaya Praja, dan Satabel.
Kemudian Gunungan Dalem dikeluarkan dari Kadipaten menuju Kamandhungan
118
bersamaan dengan keluarnya Gamelan Kyai Gerah Kapat seperangkat menuju
Sitinggil.
Waktu pukul sepuluh pagi, yang terhormat Kangjeng Susuhunan datang
menuju Pendapa Ageng dan duduk di Singgasana, menghadap ke barat. Beliau
memakai baju kebesaran Raja dengan Mahkota berwarna biru muda, bajunya dari
kain baludru berwarna hitam, memakai bintang keprabon, memakai pengikat dari
kain sutra halus berwarna hitam, dan celananya juga dari baludru berwarna hitam
berenda emas, serta memakai sepatu yang berkilau.
Pada pukul setengah sebelas siang tamu Kangjeng Susuhunan datang ke
Sri Manganti disambut dengan musik tambur, kemudian para tamu disajikan
hidangan masakan yang beraneka ragam oleh Tuan Urdenas.
Tidak lama kemudian Kangjeng Susuhunan memberikan perintah kepada
Tuan Residhen karena upacara akan segera dimulai dan gunungan akan diiring
keluar. Keluarnya gunungan disambut dengan tarian bedhaya sarimpi. Gunungan
diiring menuju ke Tarayem Sitinggil sebelah barat melewati Bangsal Manguntur.
Setelah gunungan utama dikeluarkan kemudian disusul keluarnya Ancak Saradan
yang diiringi dengan alunan Kodhok Ngorek. Setelah itu disusul dengan Nyai
Blawong yang dikeluarkan, diiringi dengan alunan Sakati. Ketika Nyai Blawong
dibawa ke Sitinggil sebelah barat melewati belakang Bangsal Pangrawit, iringan
gendhing Sakati naik menjadi gendhing Rambu65
.
Setelah itu Urdenas Walandi membagikan serat Kundhisen kepada para
Tuan yang kebetulan mendapatkan Gunungan yang dikeluarkan. Kemudian abdi
dalem Lurah Urdenas Walandi menyampaikan penghormatannya kepada yang
65
Rambu berasal dari kata robbuna yang berarti pangeranku atau Allah yang menguasai alam semesta. Gendhing ini bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya.
119
memberikan larih ngandhap. Kemudian Tuan Residhen mendahului memberikan
selamat atas datangnya Garebeg Mulud tahun Dal. Penghormatan tersebut diiringi
dengan dibunyikannya tanjidur, kemudian disaut dengan tembakan oleh prajurit
Miji Pinilih, kemudian disambung dengan bunyi dari meriam besar Kyai Kumba
Kinumba hingga tiga kali yang dibunyikan oleh Miji Pinilih, selanjutnya disambut
oleh meriam kecil, kemudian disambut tembakan oleh prajurit Jayeng Astra dan
Jayantaka hingga enam kali tembakan, yang disambut meriam kecil lagi.
Kemudian tembakan dari prajurit Kawandasa Cemeng, Kawandasa Abrit, hingga
enam kali yang disambut meriam kecil saja. Kemudian prajurit Sarageni dan
Rajegwesi menembak hingga enam kali yang disambut lagi oleh meriam kecil.
Setelah semua tembakan dilakukan, meriam Kyai Aswani Kumba dibunyikan.
Kemudian alunan Kodhok Ngorek dimainkan secara keras.
Setelah semua penghormatan selesai dilakukan kemudian Kangjeng
Susuhunan datang ke Masjid Ageng. kendaraan raja, kapal keprabon dan
priyantaka berada di Kadipaten. Gunungan dalem diletakkan disebelah kiri dan
kanan jalan Masjid Ageng. Ambengan Nyai Blawong yang berjumlah empat
diletakkan di depan Kangjeng Susuhunan. Kemudian Penghulu atau imam masjid
membacakan doa-doa. Setelah pembacaan doa selesai dilakukan, abdi dalem
prajurit Tamtama, Sarageni, Miji Pinilih, Jayeng Astra, Jayantaka, Kawandasa
Cemeng, Kawandasa Abrit, dan Jager Rajegwesi semuanya menembakkan senjata
sebanyak tiga kali, dan disambut suara meriam besar Loji Beteng Surakarta,
dilanjutkan dengan iringan sekati.
Setelah itu Kangjeng Susuhunan kembali ke Sitinggil dan para abdi dalem
berjalan kembali seperti saat prosesi awal dilakukan, semua gunungan yang ada
120
diturunkan dan semua simpanan dalem yang dibawa oleh abdi dalem Jaler
diterima kembali oleh abdi dalem perempuan.
Minum66
yang kedua dilakukan oleh Kangjeng Tuan Gubernur Jendral
beserta para Rada Panikdiyasawa, diberi penghormatan bunyi meriam sampai 27
kali yang pertama dilakukan oleh Kangjeng Tuan Residhen. minum ketiga
dilakukan oleh Tuan Komas Aris. Minum ke empat dari Kangjeng Susuhunan,
kemudian Urdenas Walandi memberikan makan Raja roti Bangget. Kemudian
dibagikan kepada semua. Setelah roti bangget, dibagikanlah makanan yang lain,
kemudian dibagikan kepada semuanya.
Minum ke-lima selamat untuk Kangjeng Tuan Residhen yang memberikan
surat kundhisen kepada Kangjeng Susuhunan. Minum ke-enam selamatnya
Kangjeng Pangeran Adipati Angabehi. Setelah itu dibunyikan beberapa macam
gendhing Kabupatosan. Minum yang ke-tujuh selamatnya para Pangeran Putra
Santana Dalem. Minum yang ke-delapan untuk selamatnya Tanah Jawi. Setelah
semua penghormatan selesai dilakukan, kemudian semua yang hadir dalam
upacara Garebeg Mulud tahun Dal kembali ke keraton dan kembali Loji, tanpa
terkecuali semua prajurit dan abdi dalem.
2. Makna Simbolis dalam SGM.
Prosesi Garebeg Mulud mengandung simbol-simbol yang dapat dijadikan
pelajaran hidup serta mengandung pesan yang dapat mempengaruhi kehidupan
manusia. Simbol sebenarnya diciptakan atas dasar kesepakatan oleh masyarakat
yang fungsinya untuk mengatur dan memberikan pesan kepada yang
mempergunakannya. Menurut Budiono Herusatoto (2008: 155-156) bentuk-
66
Minum dapat dikatakakan sebagai tanda untuk memberikan ucapan selamat atau memperingati sesuatu.
121
bentuk simbolisme terbagi ke dalam tiga tindakan yakni tindakan simbolis dalam
religi, tindakan simbolis dalam tradisi, dan tindakan simbolis dalam kesenian.
Prosesi Garebeg Mulud dalam naskah SGM mengandung 3 tindakan simbolis.
Tindakan simbolis tersebut berbaur menjadi satu, sehingga peneliti membagi
simbol sendiri ke dalam 3 bentuk yang di dalamnya terdapat tindakan simbolis
seperti yang disebutkan oleh Budiono Herusatoto tersebut. Simbol-simbol yang
terdapat dalam naskah SGM ada tiga yaitu pertama simbol dalam tempat prosesi,
kedua simbol pada alat-alat yang digunakan dalam prosesi, dan ketiga adalah
simbol dalam pelaksanaan prosesi. Di bawah ini akan dibahas tentang simbol-
simbol dalam ketiganya.
a. Simbol dalam tempat prosesi.
Pada perayaan upacara Garebeg Mulud PB VII dalam serat SGM
menggunakan tempat atau bangunan di dalam keraton. Bangunan tersebut
memiliki filosofi dan simbol. Berdasarkan hal tersebut peneliti
mengungkap makna simbolis dalam tempat bangunan keraton yang
digunakan dalam naskah SGM.
- Alun-alun utara sebagai simbol keadaan dunia, maksudnya di
dunia ini ada gelap, terang, suka, duka, miskin dan kaya, rendah
dan tinggi, karena dahulunya alun-alun ini terdiri dari pasir yang
kalau siang hari terasa panas namun di malam hari terasa dingin
(Paina Partana et al., 2011: 293). Hal tersebutlah yang membuat
alun-alun utara sebagai simbol keadaan dunia. Simbol ini dapat
membuat manusia supaya terus sadar dan waspada dalam
menjalani hidup karena dalam hidup manusia tidak hanya akan
122
mengalami kebahagiaan saja melainkan kesusahan dan manusia
jangan mudah terombang-ambing oleh kehidupan, manusia harus
bisa mengendalikan diri supaya mendapatkan ketentraman hati.
- Masjid Agung sebagai simbol Rumah Allah dimana manusia
menunduk berserah diri untuk mendapatkan ridho dan ampunan
dari Allah. Manusia hanyalah makhluk yang kecil, ada yang lebih
berkuasa di dunia, segala kehidupan dan kematian yaitu Allah
SWT. Selain itu doa-doa yang dipanjatkan dapat memberikan
ketentraman batin. Maksudnya, manusia dalam hidupnya pastilah
mengalami suatu titik jenuh dalam hidupnya, masjid jika di-
ibaratkan sebagai rumah, sejauh apapun manusia berkelana maka
suatu saat pasti merindukan rumah dimana tempat ia dilahirkan dan
dibesarkan.
- Pagelaran secara simbolik menggambarakan awal mula kita
belajar. Pagelaran sendiri merupakan tempat yang digunakan
sebagai pertunjukan. Sehingga secara simbolis pagelaran
merupakan penggambaran kita belajar, belajar untuk melihat,
memilah dan memilih sesuatu dalam hidup kita dan belajar tentang
kehidupan. Karena dalam hidup terdapat aturan yang disebut tata
krama. Dalam hidup manusia membutuhkan aturan-aturan untuk
mengatur ketertiban, keamanan dan keselamatan. Manusia tidak
boleh seenaknya sendiri dalam menjalani hidup karena dalam
dunia ini kita tidak hidup sendirian, sehingga dibutuhkan aturan-
123
aturan supaya dapat ditaati dan dilaksanakan supaya kita tidak
tersesat ke dalam tindakan buruk.
- Bangsal Witana merupakan simbol dari kepercayaan kepada Allah
SWT. Witana berasal dari kata “wiwit” dan “ana” yang berarti
mulailah. Maksudnya manusia setelah dewasa secara lahir dan
batin mulailah untuk percaya kepada Allah atau lebih mendekatkan
diri kepada Allah. Pada tahap ini manusia tidak hanya memikirkan
kehidupan dunia saja, tetapi harus memikirkan kehidupan akhirat.
Maka dari itu, manusia juga harus selalu mendekatkan diri kepada
Allah SWT untuk mendapatkan ketentraman hidup yang abadi.
Ketentraman hidup yang abadi dapat didapatkan apabila kita yakin
dan semakin mendekatkan diri kepada Allah tentunya kita harus
selalu berusaha memperbaiki diri dengan menjalankan perintah dan
menjauhi larangan-Nya.
- Sitinggil memiliki arti tanah tinggi atau tanah yang ditinggikan.
Tempat tersebut disebut Sitinggil karena mulai dari gapura Gladag
sampai Sitinggil, bangunan yang tertinggi adalah Sitinggil (Paina
Partana et al., 2011: 295). Secara simbolik Sitinggil
menggambarkan tahap kedewasaan jiwa manusia. Manusia sudah
bisa mulai memahami apa arti hidup ini, siapa mereka, dan untuk
apa mereka hidup dan bagaimana mereka nantinya. Selain itu
secara lahiriah manusia hidupnya sudah mapan. Dari kedua hal
tersebut manusia bisa dianggap “sepuh ing pamawas” atau sudah
matang dalam berfikir, sehingga dalam hidup mereka akan lebih
124
sabar dan tidak mudah marah. Selain itu, seseorang yang sudah
mapan secara lahir dan batin akan mudah memberi maaf kepada
siapapun. Dengan deminikian manusia akan memiliki ketentraman
batin. Manusia yang memiliki kedewasaan secara batiniah dan
lahiriah cenderung bisa mengambil keputusan secara matang dan
bijak, tidak hanya mengandalkan egoisitas atau hawa nafsu. Selain
itu manusia yang memiliki kedewasaan jiwa sudah mampu
mengendalikan diri atas segala cobaan hidup karena mereka tahu
setiap perbuatan harus dipikirkan secara matang-matang tidak
boleh sembarangan, karena setiap perbuatan pasti ada balasannya.
- Brajanala sebagai simbol rasa. Maksudnya manusia dalam
menjalani hidup harus didasarkan pada rasa karena Braja sendiri
memiliki makna landhep atau tajam dan nala memiliki makna hati.
Tidak hanya itu pemikiran manusia juga haruslah tajam supaya
tidak terbelenggu oleh keadaan dunia. Manusia harus bisa
mengenyampingkan ego dan menggunakan rasa supaya tidak
terbelenggu oleh keadaan. Seperti pepatah Jawa mengatakan “dadi
wong Jawa iku aja gampang gumunan, penginan lan merinan”
yang artinya menjadi orang Jawa itu jangan mudah terpana, mudah
silau dan iri. Maksudnya, manusia itu harus bisa berfikir dengan
hati dan tidak hanya memikirkan sesuatu tanpa berfikir panjang.
- Kamandhungan berasal dari kata “andhung” berarti persiapan,
sebagai simbol kehati-hatian dan diri (Paina Partana et al., 2011:
297). Dalam hidup manusia harus siap untuk apapun yang terjadi,
125
karena pada tahap ini manusia sudah harus bisa waspada dan
mawas diri. Manusia harus selalu berhati-hati dalam bertindak atas
kehidupan yang mereka jalani, karena dalam hidup manusia tidak
akan hanya mengalami keadaan senang saja, namun akan
mengalami kesedihan. Sehingga manusia diharapkan untuk siap
atas segala resiko hidup yang dijalani dengan cara mempertebal
keimanan kita. Keimanan harus ditingkatkan supaya ketika
keadaan hidup menjadi tidak seperti yang kita inginkan, manusia
sudah siap dan tidak kaget atas segala sesuatu yang terjadi dalam
hidup.
- Sri Manganti dan Panggung Sanggabuwana disimbolkan sebagai
lambang wanita dan pria. “Sri” sendiri bermakna “Ratu” dan
“Manganti” berarti “menunggu” atau “menanti”, “Sangga” berarti
“penyangga” dan “Buwana” berarti “jagad atau dunia”. Sri
Manganti merupakan simbol dari wanita dan Panggung Sangga
Buwana disimbolkan sebagai lambang laki-laki. Sri Manganti dan
Panggung Sanggabuwana merupakan simbol kelahiran manusia.
Selain melambangkan kelahiran manusia, Sri Manganti dan
Panggung Sanggabuwana juga dapat diartikan bahwa dalam hidup
manusia harus bersikap rendah diri, karena manusia hanya sebagai
manusia yang dititahkan.
b. Simbol-simbol pada alat yang digunakan dalam prosesi
- Gunungan merupakan simbol atau lambang penyatuan manusia
dengan Tuhannya atau dapat dikatakan sebagai manunggaling
126
kawula Gusti. Berdasarkan hasil wawancara dengan KGPH.
Dipokusumo (28 April 2016) dahulunya gunungan itu tidak hanya
2 seperti sekarang ini, tetapi banyak jumlahnya. Gunungan
sekarang yang dibuat hanya dua karena Keraton tidak memiliki
daerah kekuasaan lagi sehingga tidak ada yang memberikan hasil
bumi ke Keraton. Gunungan terbagi menjadi 2 yaitu Gunungan
Lanang dan Gunungan Wadon. Gunungan lanang disimbolkan
dengan lingga dan wanita disimbolkan dengan yoni. Kedua
gunungan ini melambangkan kesuburan. Gunungan pada jaman
Pakubuwana VII tidak diperebutkan atau Dirayah, berbeda dengan
sekarang gunungan pada setiap upacara adat Garebeg Mulud
setelah didoakan langsung di berikan kepada masyarakat untuk
diperebutkan. Kedua tradisi tersebut memiliki makna masing-
masing. Gunungan di bagikan memiliki makna bahwa manusia
dalam hidupnya harus “nrima ing pandum” maksudnya dalam
hidup manusia harus bisa menerima apa yang telah diberikan oleh
yang kuasa. Sedangkan gunungan yang diperebutkan atau
“dirayah” memiliki makna negatif dan positif. Makna positif dari
perebutan gunungan yaitu manusia harus berusaha keras untuk
mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Secara negatif perebutan
gunungan merupakan suatu cara yang tidak baik, karena ngrayah
sendiri bermakna memperebutkan sesuatu dengan tidak
memperdulikan kondisi sekitar. Dalam hidup seseorang menjadi
127
tidak mengikuti norma dan aturan yang ada, yang terpenting
bagaimana dia mendapatkan sesuatu yang di inginkan.
- Gendhis kalapa sebagai simbol kesucian dan keberanian. Gendhis
berarti gula berwarna merah artinya berani dan kelapa airnya
berwarna putih atau bening, memiliki makna suci atau bersih.
Sehingga wanita disimbolkan dengan gendhis karena wanita
mempunyai keadaan tidak suci dalam setiap bulannya, sedangkan
laki-laki disimbolkan sebagai kelapa karena laki-laki suci tidak
seperti wanita (berdasarkan wawancara dengan KGPH.
Dipokusumo tanggal 28 April 2016). Gendhis Kalapa memiliki
makna lain yakni sebagai lambang negara Indonesia. Lambang
tersebut berwujud bendera merah putih. Seperti yang telah
dijelaskan bahwa merah berarti keberanian dan putih berarti
kesucian.
- Gendhing rambu sebagai simbol kepercayaan kepada Allah SWT.
Rambu sendiri berasal dari kata robbuna yang berarti Allah
tuhanku. Gendhing rambu dimainkan supaya masyarakat selalu
mengingat sang pencipta yaitu Allah SWT.
- Sabet atau cambuk sebagai simbol kepatuhan. Dalam hidup
manusia hendaknya selalu berpegang teguh pada aturan-aturan,
norma-norma, hukum adat dan hukum agama supaya terhindar dari
bahaya yang akan menimpa hidupnya. Kepatuhan dilaksanakan
supaya kehidupan menjadi aman, nyaman dan tentram tidak
terancam malapetaka.
128
c. Simbol-simbol dalam pelaksanaan prosesi Garebeg Mulud.
- Abdi dalem estri dilibatkan dalam prosesi Garebeg Mulud untuk
membawa peralatan-peralatan upacara sebagai simbol keberanian,
maksudnya generasi muda dalam menghadapi sesuatu haruslah
siap atau berani. Wanita tidak hanya sebagai kanca wingking
namun juga bisa berhasil jika bersungguh-sungguh untuk mencapai
cita-cita dengan berani mencoba sesuatu yang baru dan baik untuk
masa depan.
- Semua abdi dalem melaksanakan pekerjaan masing-masing
memiliki simbol tanggungjawab dan rasa hormat. Tanggung jawab
yang dimaksud adalah abdi dalem melaksanakan semua pekerjaan
masing-masing sesuai dengan perintah dan rasa hormat adalah
tidak mencapuri atau mengambil tugas abdi dalem lain tanpa
perintah dari Raja, semua itu dilakukan untuk menjaga kerukunan
dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.
- Keluarnya Raja dalam prosesi upacara Garebeg Mulud sebagai
simbol bahwa Raja hanya satu dan duduk di Singgasana memiliki
simbol tidak ada siapapun atau seorangpun yang bisa
menggantikan Raja sebelum waktu Raja memerintah selesai.
- Dikeluarkannya simpanan dalem (peralatan) milik raja sebagai
simbol kekuatan raja. Kekuatan yang dimaksud bahwa raja
memiliki kekuatan yang luar biasa untuk memperkuat
kedudukannya dan melindungi rakyatnya. Tidak ada ancaman yang
bisa masuk dalam kerajaan selama raja memiliki semua kekuatan.
129
- Posisi Prajurit sebagai simbol pertahanan, tidak ada yang bisa
menggulingkan Raja dan rakyatnya karena Raja memiliki prajurit
yang tangguh dan siap bertarung karena posisi prajurit sudah diatur
sedemikian rupa untuk menghindari sesuatu hal yang tidak
diinginkan.
- Gunungan dimasukkan ke dalam Masjid Agung sebagai simbol
rasa syukur kepada Allah. Rasa syukur yang dimaksud adalah
semua makanan yang diletakkan dalam gunungan merupakan
berkah yang diberikan oleh Allah. Sebagai rasa syukur atas hasil
yang melimpah, maka gunungan dibacakan doa dan dibacakan
tahlil bersama, supaya pada saat gunungan dibagikan orang yang
memakan hasil makanan atau sayuran dari gunungan tersebut bisa
menjadi manusia yang lebih baik. Selain sebagai simbol rasa
syukur gunungan dimasukkan dan didoakan memiliki maksud
supaya mendatangakan berkah dan rezeki kepada manusia.
Top Related