1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aceh merupakan sebuah provinsi yang terletak di ujung barat wilayah
Republik Indonesia dengan penduduk sebagian besar beragama Islam dan daerah
yang memperkuat peraturan Islam atau yang disebut syariat Islam dalam menjalankan
roda pemerintahan, dari kekentalan peradaban masyarakat tersebut khususnya
berkaitan dengan agama menjadikan salah satu bukti bahwa Aceh merupakan salah
satu daerah sangat unik dan berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia maupun
di Negara-negara lain di Dunia.
Keunikan tersebut, diantaranya terlihat dari penerapan syariat Islam sebagai
sendi-sendi sosial maupun sendi-sindi politik masyarakat Aceh mulai sejak berdirinya
Kerajaan Aceh Islam telah dijadikan sebagai Ideologi Negara, terutama pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda, salah satunya adalah bentuk pemerintahannya
yang mengikuti model kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah. Istilah-istilah
lembaga Negara juga banyak diadopsi dari istilah kerajaan Islam di Timut Tengah,
seperti: menteri digelar dengan wazir, Kepala Mahkamah Agung dinamakan dengan
qadhi maikul adil, mentri keuangan dengan nama wazir dirham, kas Negara
dinamakan dengan baitul mal1. Dalam Qanun Al-asyi (Qanun Syarak Kerajaan Aceh)
1 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII,Bandung, Mizan 1994, hlm. 166 dan 189.
2
ditetapkan bahwa dasar ideologi kerajaan Aceh adalah Islam dengan sumber
hukumnya adalah: Al-qur’an (firman Allah); Al-Hadits; Ijma’ ulama dan Qiyas 2.
Disisi lain Aceh juga unik dalam hal tata pebagian kekuasaan, hal itu dapat
dilihat dari susunan pemerintahan wilayah kerjaan Aceh dibagi atas: Gampong
dekepalai oleh (Geuchik/Keuchik), Mukim (Imuem Mukim), Nanggroe (Ulee balang),
Sagoe (Panglima Sagoe), dan Kerajaan (Sultan).3 Kemudian potret keunikan Aceh
juga terjadi awal kemerdekaan Indonesia, dimana Aceh berhasil berperan menjadi
”daerah modal” bagi bangsa Indonesia untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan
karena Aceh adalah satu-satunya wilayah yang tidak dapat dikuasai penjajah, ketika
hampir seluruh wilayah Indonesia kembali dikuasai Belanda.
Kemudian juga keunikan Aceh dalam penyumbangan untuk kemajuan bangsa,
dimana pada saat keterpurukan bangsa pasca kemerdekaan, Aceh tidak hanya dapat
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan pertahanan perang, tetapi juga
mampu membelikan dua pesawat jenis dakota dari rakyat Aceh kepada pemerintah
RI, yakni Seulawah RI-001 dan Dakota RI-002, ditambah dengan sebuah pesawat
jenis Avro Anson RI-004 dari pengusaha-pengusaha Aceh yang dibeli di Thailand4.
2 A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Jakarta, Beuna, 1983 Hlm.69 atau A. Hasjmy, SulatanIskandar Muda Meukuta Alam, Jakarta, Bulan Bintang Hl. 72. Ijma’ ulama adalah kesepakatan(consensus) para mujtahid kaum muslimin disuatu masa peninggalan Rasulullah SAW. Terahadapsuatu hokum syar’I mengenai suatu peristiwa. Sedangkan qiyas adalah mempersamakan suatuperistiwa yang belum ada ketentuan kongkrit dalam nash (Al-Qur’an dan hadits) dengan suatuperistiwa yang sudah ada ketentuan dalam nash3 A. Hasjmy, 59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu, Jakarta, Bulan Bintang,1977, Hlm133-134.4Aceh touris Magency, http://acehtourismagency.blogspot.com/2012/08/ri-001-seulawah-pesawat-angkut-pertama.html, Agustus 2012
3
Atas dasar keunikan-keunikan tersebut dan balasan jasa atas apa yang telah
diberikan Aceh terhadap kedaulatan Indonesia sudah sepantasnya Aceh diberikan
porsi yang lebih besar terhadap pengakuan Negara sebagai daerah yang khusus dan
istimewa. Presiden Soekarno sebagai kepala negara datang ke Aceh pernah berjanji
sambil bersumpah. “Wallahi, Billahi, demi Allah, kepada daerah Aceh akan diberikan
hak menyusun rumah tangganya sesuai dengan syariat Islam. Disaat yang sama juga
Soekarno memuji rakyat Aceh bahwa “rakyat Aceh adalah pahlawan, rakyat Aceh
adalah contoh perjuangan kemerdekaan seluruh rakyat Indonesia”5.
Janji Soekarno tersebut secara garis besar telah mengabulkan dan mengakui
kearifan lokal di Indonesia khususnya bagi pemerintahan Aceh yang didasari oleh
keunikan dan jasa-jasa terhadap Negara Indonesia, salah satu pengakuan negara
terhadap keunikan-keunikan tersebut adalah dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945
Republik Indonesia akan menghormati kedudukan daerah yang mempunyai hak asal-
usul yang bersifat istimewa.
Pengakuan terhadap keistimewaan dan kearifan local melalui UUD 1945,
salah satu implikasi kekhususan dan keistimewaan yang dimanfaatkan oleh
pemerintah Aceh adalah memperkuat konstruksi dan kedudukan mukim yang
merupakan sebuah tatanan pemerintahan. Peran dan kedudukan Mukim dalam
mengatur masalah prosesi shalat Jum’at dan mengatur masalah-masalah hukum adat
yang terjadi di masyarakat tetap dihormati oleh negara, bahkan Kepala Mukim atau
disebut Imeum (Imam) mukim. Imeum Mukim yang bertindak sebagai pemimpin
5 Rusdi Sufi, Dalam Seminar 5 Tahun Memperingati Perdamaian Aceh, di Yogyakarta, 15 Agustus 2011
4
shalat pada setiap hari Jum’at di mesjid dan juga menyelesaikan masalah adat yang
terjadi baik antar gampong maupun antar mukim itu sendiri juga tetap berjalan
ditengah-tengah masyarakat.
Peran dan kedudukan mukim tersendiri tidak berubah ideologi Islam atau
Syari’at dalam struktur pemerintahannya. Paling tidak ada tiga hal yang menunjukkan
keberadaan pemerintahan mukim pada masa pra kemerdekaan sebagai lembaga yang
berideolagi Islam, yaitu: Pertama, memperhatikan syarat-syarat keagamaan yang
harus dipenuhi oleh para pimpinan pada tingkat mukim dan gampong dimana kepala
mukim dan juga gampong harus betul-betul memahami Al-Qu’an dan Hadits serta
Ijma’ sebagai orang yang dituakan dalam mengatur wilayahnya.
Kedua, dapat dilihat dalam sistem pengelolaan tanah-tanah umum yang belum
dimiliki oleh siapapun, yang oleh masyarakat Aceh disebut sebagai tanoh Potallah
atau tanah milik Allah6. Dalam hal ini, siapa yang menghidupkan dan mengusahakan
tanah mati tersebut, dialah yang berhak atas tanah tersebut, untuk dimiliki atau
dialihkan kepada orang lain, tentu saja setelah syarat-syarat adat terpenuhi. Ketiga,
dalam penyelesaian sengketa yang mengedepankan perdamaian melalui
musyawarah7.
Sebelum diberlakukannya UU No 5 Tahun 1979 mukim masih memainkan
peran penting dalam kehidupan masyarakat Aceh untuk mengatur rumah tangganya
6 J.J.C.H. Van Waardenburg, Pengaruh Terhdap Adat Istiadat, Bahasa dan Kesusastraan Rakyat Aceh,Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, banda Aceh, 1979, Hlm. 387 Sanusi M. Syarif., 2005, Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekonstruksi Pasca tsunami, Bogor,Pustaka Latin, hlm. 63.
5
sendiri yang mandiri seperti mengatur masalah adat, masalah kukum dan juga
masalah sosial, hal itu juga terlihat dari proses kepercayaannya masyarakat terhadap
keberdaan pemerintahan mukim dalam struktural pemerintahan Aceh.
Adapun hal-hal yang diatur pemerintahan mukim pada masa sebelum
diberlakukannya UU No 05 Tahun 1979 adalah hal berkaitan dengan adat istiadat bila
terjadi persengketaan atau perselisihan antara masyarakat atau antar gampong yang
tidak dapat dipecahkan oleh gampong maka hal tersebut dilimpahkan ke mukim,
mukim juga ikut mengatur pemanfaatan kawasan bersama berupa padang meurabe
(area mengebala), gle (hutan), blang (sawah) atau tanah-tanah yang berada dibawah
penguasaan mukim atau juga berada diluar penguasaan gampong, dan juga mengatur
masalah yang berkaitan masalah hukum, mukim menjadi tempat penyelesaian
berhubungan agama, warisan, pernikahan, pasakh, rujuk, serta mengurus harta umat
(wakaf) yang berada dibawah penguasaan mukim8.
Namun kemerosotan peran dan eksistensi mukim sejak diberlakukan UU No 5
Tahun 1979, dimana pada masa itu keberadaan pemerintahan mukim yang begitu
diakui oleh masyarakat Aceh sacara administrasi maupun secara adat, namun
dijawantahkan oleh pemerintah pusat dengan menyamaratakan struktur pemerintahan
dari Sabang hingga Marauke. Dalam undang-undang tersebut karakteristik
kekhususan dan keitemewaan lokal di Indonesia khususnya Aceh dibiarkan tanpa
dipayungin hokum dan tidak diakui keberadaannya secara legalitas, khususnya
8 Sanusi M. Syarif., 2005, Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekonstruksi Pasca tsunami, EdisiRevisi, Banda Aceh, Pustaka Rumpun Bambu, hlm. 67
6
terhadap eksistensi keberadaan pemerintahan mukim di Aceh, sehingga tugas dan
wewenang pemerintahan mukim menjadi tidak jelas baik secara politis maupun
secara administratif. Masa itu mukim hanya sebagai seremonial di tingkat kecamatan
dan kadang-kandang kalau ke kecamatan dititipi surat untuk Geuchik di wilayahnya9,
Hal ini menepisnya keberadaan pemerintahan mukim oleh negara, namum secara
sosiologi mukim tetap diakui oleh masyarakat.
Setelah runtuhnya orde baru eksistensi pemerintahan mukim diakui kembali
dengan memperkuat kedudukan mukim atas dasar Undang-undang No 18 Tahun
2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pasal 1 ayat 12 mukim adalah kesatuan
masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas
gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta
kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah kecamatan/sagoe cut atau nama
lain, yang dipimpin oleh Imum Mukim atau nama lain10. Untuk mempertegas dan
memperkuat keberadaan pemerintahan mukim secara spesifik pemerintahan Aceh
mengeluarkan Qanun No 4 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Mukim Dalam
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara khusus, agar kedudukan lembaga mukim
tetap menjadi salah satu kebanggaan Aceh yang tidak bisa dipisahkan secara politik
maupun sosial.
9 Ibid, Hlm. 6910 Undang-undang No 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa AcehSebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
7
Kekhususan Aceh dalam memperkuat lembaga pemerintahannya sesuai
kearifan lokal dipertegaskan lagi melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh diantaranya adalah, diakuinya keberadaan lembaga-
lembaga adat Aceh secara resmi. Dalam BAB XV Mukim dan Gampong Bagian
kesatu Pasal 114 jelas disebutkan bahwa: (1). Dalam wilayah kabupaten/kota
dibentuk mukim yang terdiri atas beberapa gampong, (2). Mukim dipimpin oleh
imeum mukim sebagai penyelenggara tugas dan fungsi mukim yang dibantu oleh
tuha peuet mukim atau nama lain., (3). Imeum mukim dipilih melalui musyawarah
mukim untuk masa jabatan 5 (lima) tahun., (4). Ketentuan lebih lanjut mengenai
organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan mukim diatur dengan qanun
kabupaten/kota., (5). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan imeum
mukim diatur dengan Qanun Aceh11.
Lahirnya UU No 11 Tahun 2006 semakin memperkuat kedudukan Otonomi
khusus di Aceh yang tidak hanya pada lembaga pemerintahan mukim tetapi juga pada
kontek lain, diantaranya ada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah Aceh secara khusus baik dalam sebutan nama maupun dalam
pelaksanaan, diantaranya adalah pengakuan negara terhadap kekhususan Aceh yaitu
berhak membentuk lembaga wali nanggroe, melaksanakan Syari’at Islam, memiliki
bendera, lambang dan hymne daerah sebagaimana yang dimasud dalam ketentuan
UU No. 11 Tahun 2006.
11 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA)
8
Ada beberapa kekhususan lainnya juga yang sangat berbeda dengan otonomi
daerah lain atau yang dsebut dengan desentralisasi Asimetris di Indonesia, antaranya
yang diberikan oleh Pemerintah terhadap Provinsi Aceh sebagaimana yang terdapat
dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2006 antara lain sebagai berikut:
a. Pembagian daerah di Aceh yang dibagi kedalam kabupaten/kota, kecamatan,
mukim, kelurahan dan gampong12, mukim merupakan kesatuan masyarakat
hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong.
Sedangkan kelurahan dan gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang
berada di bawah mukim13.
b. Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan
Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh pemerintah dilakukan dengan konsultasi
dan pertimbangan DPRA. Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama
dengan lembaga atau badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan
pemerintah pusat. Dalam naskah kerja sama tersebut dicantumkan frasa
pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
12 Lihat: Pasal 2 UU No. 11 Tahun 200613 Lihat: Pasal 1 angka 19 dan angka 20 j.o Pasal 114, Pasal 115 UU No. 11 Tahun 2006. Bandingkandengan UU No. 32 Tahun 2004 yang membagi suatu daerah dalam wilayah propinsi, kabupaten/kota,kecamatan dan desa/kelurahan. Desa/kelurahan merupakan kesatuan masyarakat hukum yangterkecil dalam pembagian wilayah suatu daerah lain yang memiliki kesamaan dengan gampong ataukelurahan di NAD. Kesamaan tersebut misalnya terletak pada masa jabatan pemimpinnya (kepaladesa/kepala gampong) sama-sama 6 tahun. Kepala desa atau kepala gampong sama-sama dipilihsecara langsung. Serta sama-sama memiliki sekretaris desa atau sekretais gampong yang berasal dariPNS. Lihat Pasal 115, Pasal 116 dan Pasal 117 UU No. 11 tahun 2006 dan bandingkan dengan Pasal202, Pasal 203 dan Pasal 204 UU No. 32 Tahun 2004.
9
serta Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan
seni, budaya, dan olah raga internasional14.
c. Penduduk Aceh dapat membentuk partai politik lokal yang memiliki hak
antara lain; mengikuti Pemilu daerah untuk memilih anggota DPRA dan
DPRK; mengusulkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, calon
bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota di Aceh15.
d. Di Aceh terdapat pengadilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh sebuah
Mahkamah Syar’iyah, yang terdiri dari Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai
pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Syar’iyah kabupaten/kota sebagai
pengadilan tingkat pertama. Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal
al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah
(hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dengan hukum acara yang
ditetapkan berdasarkan Qanun16.
e. Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota dapat membentuk lembaga,
badan dan/atau komisi dengan persetujuan DPRA/DPRK17. Di Aceh terdapat
institusi atau lembaga yang tidak terdapat di daerah-daerah lainnya, seperti
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja
14 Lihat: Pasal 8 ayat (1) UU No. 11 Tahun 200615 Lihat: Pasal 75 sampai dengan Pasal 88 UU No. 11 Tahun 200616 Lihat: Pasal 128 sampai dengan Pasal 137 UU No. 11Tahun 200617 Lihat: Pasal 10 UU No. 11 Tahun 2006
10
Pemerintah Aceh, kabupaten/kota dan DPRA/DPRK18, Lembaga Wali
Nanggroe dan Lembaga Adat19, Pengadilan Hak Asasi Manusia20, Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi21, dan unit Polisi Wilayatul Hisbah sebagai
bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai penegak Syari’at Islam22.
Seiring perkembangannya mulai dari dasar UU, Qanun provinsi hingga
terbentuk Qanun kabupaten/kota khususnya mengatur masalah mukim menjadikan
fungsi imeum mukim sebagai kepala pemerintahan dari sebuah mukim. Dialah yang
mengkoordinir geuchik-geuchik gampong (kepala-kepala desa). Dengan berubahnya
fungsi imeum mukim berubah pula nama panggilannya, yakni kepala mukim dan
tugas dalam penyelenggaraan pemerintahan mukim menjadi semakin terstruktur.
Lahirnya UU Pemerintahan Aceh tidak hanya sekedar melahirkan kearifan
lokal di Aceh sebagai wujud dari demokrasi dan desentralisasi tetapi juga
memperjelas kewenangan mukim dimata hukum, sehingga keberadaan mukim yang
sebelumnya lebih bersifat seremonial dan tidak diakui UU menjadi diakui kembali
secara formal. Hal ini merupakan salah langkah yang tepat bagi pemerintah RI
terhadap kekhususan Aceh, dalam hal ini dapat mengatur urusan rumah tangganya
sendiri dan wewenang yang sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan masyarakat.
Atas landasan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, mukim mempunyai tugas
dan wewenang tersendiri dalam mengatur rumah tangganya sendiri yang menjadi hak
18 Lihat: Pasal 138 sampai dengan Pasal 140 UU No. 11 Tahun 200619 Lihat: Pasal 96 sampai dengan Pasal 99 UU No. 11 Tahun 200620 Lihat: Pasal 228 UU No.11 Tahun 200621 Lihat: Pasal 229 UU No. 11 Tahun 200622 Lihat: Pasal 244 ayat (2) UU No.11 Tahun 2006
11
dan kewajibannya untuk menciptakan wilayahnya yang sejahtera dan berkualitas.
Disisi lain kewenangan mukim juga dapat menginterfensi geuchik (kepala desa)
dalam proses percepatan pembangunan, penyelenggaraan pemerintahan, urusan
syariat islam dan juga pembinaan kemasyarakatan yang efektif dan tanggap.
Kemudian pengakuan khususan Aceh melalui UUPA juga dalam kontek
mengakui keberadaan pemerintahan gampong sebagai struktur pemerintahan Aceh
yang berada dibawah mukim, kontruksi ini juga merupakan wujud dari pengembalian
karakteristik kewilayahan Aceh yang telah terbentuk pada masa kerajaan Aceh atau
sejak masa pra kemerdekaan.
Kedudukan gampong juga merupakan bentuk teritorial yang terkecil dari
susunan pemerintahan di Aceh, dalam satu gampong terdiri dari kelompok rumah
yang letaknya berdekatan satu sama lain. Pimpinan gampong disebut geuchik atau
sering juga disebut keuchik, yang dibantu seseorang yang mahir dalam masalah
keagamaan dengan sebutan teungku meunasah, gampong merupakan pemerintah
bawahan dari mukim23.
Geuchik didasarkan pada kenyataan hakiki bahwa dialah yang membela
kepentingan dan keinginan warga, baik berhadapan dengan ulèèbalang24 (kepala
pemerintahan diatas mukim) dengan mukim maupun dengan gampong-gampong lain.
geuchik terkadang tidak hanya menguasai satu gampong saja, namun ada juga yang
23 Rusdi Sufi, dkk., 2002, Adat Istiadat Masyarakat Aceh, Banda Aceh, Dinas Kebudayaan ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam, Hlm. 33-39)24 Ulèèbalang merupakan strutur pemerintahan yang memimpin wilayah naggroe. Seoranguleebalang mempunyai hak otonomi yang luas terhadap wilayah dan daerah kekuasaanya, dalamsatu uleebalang terdiri dari tiga hingga 9 mukim yang dibawahinya.
12
mengepalai 2 sampai 3 gampong dalam satu jabatan. Jadi dalam pemerintahan di
Aceh geuchik bisa dikatakan sebagai yah dan teungku ma (kepala desa sebagai bapak
dan ulama sebagai ibu) dalam pelaksanaan pemerintahan gampong.
Mengenai pemerintahan gampong beserta aparaturnya, dapat dijelaskan lewat
penelusuran berbagai peraturan perundangan-undangan. Dalam Penjelasan Pasal 7
UU No. 44/1999 disebutkan bahwa konsep gampong menurut UU ini adalah sama
yang dimaksud dengan desa menurut UU No. 22/1999 bahwa kesamaan fungsi dan
wewenang dalam pelaksanaan urusan pemerintahan maupun dalam urusan
administrasi, yang berbeda dalam pemerintahan gampong hanya nama dan ditambah
urusan adat sebagai bagian dari kinerjanya.
Sementara itu, Pasal 1 ayat (13) UU No. 18/2001 menyebutkan bahwa
gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi
pemerintahan terendah langsung berada di bawah mukim yang menempati wilayah
tertentu yang dipimpin oleh geuchik atau nama lain dan berhak menyelenggarakan
rumah tangganya sendiri.
Konsep gampong seperti di atas, terdapat dalam Pasal 1 ayat (6) Qanun No.
5/2003 tentang Pemerintahan Gampong. Sementara dalam Pasal 1 ayat (9) Perda No.
7/2000, yang dimaksudkan dengan gampong adalah suatu wilayah yang ditempati
oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat yang terendah dan berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
Dari konsep gampong, jelas bahwa gampong terletak di bawah mukim yang
dipimpin geuchik dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Dalam
13
Penjelasan Pasal 1 ayat 2 Qanun No. 3/2003 disebutkan kedudukan gampong tidak
lagi berada di bawah kecamatan, tapi di bawah mukim sebagai salah satu kesatuan
pemerintahan. Hal ini kemudian dipertegas dengan Pasal 2 Qanun No. 4/2003, bahwa
mukim membawahi gampong yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
camat.” Dalam Pasal 5 poin (d) Qanun No. 3/2003, disebutkan bahwa posisi camat
berkenaan dengan fungsi pembinaan pemerintahan mukim dan gampong.
Dalam Pasal 39 Qanun No. 3/2003, dengan tegas diatur bahwa kecamatan
yang belum memiliki mukim tapi memiliki gampong, maka perangkat pelaksana di
wilayahnya adalah pemerintah gampong. Dari dua skruktur pemerintahan tersebut
antara mukim dan gampong sangat membutuhkan relasi (hubungan) yang baik
terhadap proses pelaksanaan pemerintahan daerah dan juga proses penguatan otonomi
khusus, paling tidak dua lembaga tersebut dapat memperkuat kelembagaannya
masing-masing sebagai satu kesatuan yang utuh.
Refresentatif dari hal diatas Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan
Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh merupakan dua sampel mukim yang mempunyai
relasi dengan gampong dengan sistem pemerintahannya tersendiri, refresentatif
tersebut terbentuk dari eksistensi Provinsi Aceh untuk terlaksananya pemerintahan
daerah yang lebih baik, namun pada kenyataannya proses pelaksanaan tersebut bukan
tanpa kesulitan.
Relasi antara pemerintahan Mukim Meuko dan Mukim Meuraxa dengan
pemerintahan gampong dibawahnya tersebut ini dapat dikatakan tidaklah mudah,
karena. Pertama, saat ini hubungan dua lembaga tersebut nyaris tidak memiliki
14
tradisi dan budaya top-down bottom-up, sebagai dua lembaga yang memiliki
refresentatif dalam proses pelaksanaan pemerintahan maupun dalam mewujudkan
otonomi khusus di Aceh.
Kedua, aturan pelaksana, di mana belum didukung oleh aturan pelaksana yang
mantap dan kompeten, sehingga ini akan menyulitkan proses relasi antara Mukim
Meuko dan Mukim Meuraxa dengan gampong dibawah wewenangnya . Ketiga,
birokrasi yang masih berbelit-belit. Salah satu implikasi sistem sentralistis yang
hingga sekarang masih dirasakan adalah adanya sistem administrasi yang panjang dan
lambat yang dipraktekkan oleh aparatur pemerintahan, sehingga pelaksanaan
pemerintahan di masyarakat menjadi tidak tepat sasaran.
Keempat, kesiapan aparatur pemerintahan mukim dan gampong, masalah
yang ke empat ini merupakan masalah yang sangat urgensi yang terjadi di tingkat
pemerintahan Mukim Meuko dan Mukim Meuraxa dengan gampong-gampong
dibawahnya, pemahaman tentang tatakelola pemerintahan yang baik (good
governance) di tingkat mukim dan tingkat gampong masih sangat rendah, sehingga
yang terjadi adalah tidak maksimal suatu sistem pemerintahan yang dijalankan,
disisilain kurangnya pemahaman tentang konsep-konsep dalam membuat regulasi
menjadikan mukim tidak berperan penting dalam merumuskan urusan tersebut.
Kelima, keikhlasan pemerintah mukim dan gampong dalam menjalankan tugasnya
yang baik dan benar masih sangat rendah apalagi diera yang setiap kerja
disungguhkan dengan uang atau bahasa lazim disebut sebagai uang jerih payah.
15
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk mengangkat
permasalahan tersebut dengan judul “Relasi pemerintahan mukim dengan
gampong dalam pelaksanaan pemerintahan daerah (studi penelitian di Mukim
Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan
kedalam beberapa hal berikut:
Bagaimana eksistensi Pemerintahan Mukim dalam tatanan pemerintahan Aceh.?
Sejauh mana relasi pemerintahan mukim dengan gampong dalam pelaksanaan
pemerintahan daerah?
Apa saja faktor penghambat relasi mukim dengan gampong?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan relasi
pemerintahan mukim dengan gampong dalam pelaksanaan pemerintahan daerah.
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Mendeskripsikan eksistensi Pemerintahan Mukim dalam tatanan pemerintahan
Aceh dari masa ke masa.
Untuk mengetahui Sejauh mana relasi pemerintahan mukim dengan gampong
dalam Pelaksanaan Pemerintahan daerah.
Untuk memahami faktor penghambat relasi mukim dengan gampong
16
D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang membahas tentang “relasi pemerintahan mukim dengan
gampong dalam pelaksanaan pemerintahan daerah (studi penelitian Di Mukim Meuko
Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)”, diharapkan dapat
memberi manfaat tersendiri dalam kontek ini secara umum memiliki tidak lanjud
pengembangan sistem pemerintahan mukim di Provinsi Aceh yang tertata dan
terstruktur, antara lain.
Pertama, secara teoritis untuk mengembangkan teori dan gagasan
pelaksanaan pemerintahan daerah sebagai wujud dari desentralisasi kekuasaan dan
otonomi khusus. Penelitian ini merupakan hasil dari pengetahuan mengenai relasi
pemerintahan mukim dengan pemerintahan gampong.Kedua, secara praktis adalah
manfaat sebagai rekomendasi, yaitu ilmu pemerintahan baik itu para para biarokrasi
dalam hal konsep pelaksanaan pemerintahan daerah yang dilakukan oleh
pemerintahan mukim dan gampong sebuah gagasan yang khas di provinsi Aceh.
Sedangkan manfaat secara khusus, yaitu:
1. Bagi Peneliti
Dengan mengadakan penelitian ini, peneliti berharap dapat menambah
kreativitas, memperbanyak wawasan, pengetahuan, pengalaman serta kesempatan
untuk memahami proses pelaksanaan pemerintahan daerah di Mukim Meuko
Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh.
17
2. Bagi Pemerintahan Mukim
Penelitian mengenai relasi pemerintahan mukim dengan gampong dalam
pelaksanaan pemerintahan daerah di Mukim Meuko Aceh Barat dan Meuraxa Kota
Banda Aceh dapat memberi rekomendasi tersendiri bagi pemerintahan mukim dan
mampu menjadi pendorong serta bahan evaluasi kinerja dalam melaksanakan
fungsinya sebagai pelaksana pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan.
3. Bagi Pemerintahan Gampong
Dalam hal ini hasil penelitian juga dapat memberi rekomendasi kepada
pemerintahan gampong, dalam mewujudkan good governance dengan relasi yang
baik terhadap pemerintahan mukim.
4. Bagi Masyarakat
Penelitian mengenai “relasi pemerintahan mukim dengan gampong dalam
pelaksanaan pemerintahan daerah (studi penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh
Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)” dapat menambah khasanah wawasan
dan pengetahuan mengenai tata laksana pemerintahan mukim dan gampong dalam
pelaksanaan pemerintahan daerah. Diharapakan dengan pemahaman tersebut
masyarakat dapat menjadi pendukung terlaksananya pembangunan demi terwujudnya
kesejahtraan masyarakat itu sendiri.
E. Defenisi Konseptual
Untuk memperjelas pariabel dalam penelitian ini, maka diperlukan defenisi
konsep untuk menghindari kesalahpahaman dan perluasan materi penelitian. Defenisi
18
konseptual ini diambil berdasarkan judul penelitian yaitu “relasi pemerintahan mukim
dengan gampong dalam pelaksanaan pemerintahan daerah (studi penelitian di Mukim
Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)”.
1. Relasi (Hubungan)
Relasi merupakan suatu metode untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan
dua pihak atau lebih yang digambarkan oleh besarnya pengaruh satu sama lain.
Sedangkan dalam kasus ilmiah popular istilah relasi ialah hubungan. Sehingga relasi
bisa didefenisiskan sebagai hubungan dalam melaksanakan sebuah tugas yang sama-
sama memiliki peran penting. Adapun konsep hubungan antara pemerintahan
khususnya pemerintah pusat dan daerah adalah hubungan administrasi dan hubungan
kewilayahan25.
Dalam kontek pemerintah relasi ini tentu ada yang diperintah dan ada yang
memerintah. Relasi kekuasaan merupakan suatu bentuk hubungan sosial yang
menunjukkan hubungan yang tidak setara (asymetric relationship), hal ini disebabkan
dalam kekuasaan terkandung unsur “pemimpin“ (direction) atau apa yang oleh Weber
disebut “pengawas yang mengandung perintah“ (imperative control). Dalam
hubungan dengan unsur inilah hubungan kekuasaan menunjukkan hubungan antara
apa yang oleh Leon Daguit dalam Poelinggomang (2004) dalam Skirpsi Mahasiswa
25 Muhammad Djumhana dalam Telly Sumbu, Hubungan Pemerintah Pusat dengan PemerintahDaerah dalam Kerangka Pengelolaan Keuangan Negara dan Daerah, JurnalFakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado,No 4 VOL. 17 OKTOBER 2010
19
USU “pemerintah” (gouvernants) dan “yang diperintah” (gouvernes)26. Kemudian
berkaitan dengan dominan kekuasaan dalam relasi pemerintahan Antonio Gramsci
juga membedakan kedalam dua konsep "dominasi" dan "hegemoni", di mana
dominasi merupakan model penguasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik.
Sedangkan hegemoni adalah model penguasaan yang lebih halus, yaitu secara
ideologis Gramsci, juga menyebutkan bahwa dua kelas intelektual yang tradisional
dan juga organik27.
2. Pemerintahan Daerah
Dalam masyarakat primitif, tingkat pemerintah daerah terendah adalah kepala
desa atau kepala suku. Dalam kontek bangsa moden, pemerintah daerah biasanya
memiliki sejenis kekuasaan yang sama seperti pemerintah nasional. Mereka memiliki
kekuasaan untuk meningkatkan pajak, meskipun dibatasi oleh undang-undang
pusat28. Pemerintahan daerah menurut pasal 1 huruf d UU No 22 Tahun 1999
diartikan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah otonom oleh pemerintah daerah
dan DPRD menurut asas desentralisasi.
Menurut UU No 32 Tahun 2004 dalam pasal 1 angka 2, pemerintahan daerah
adalah penyelenggaraan urusan pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam system dan
26 Leon Daguit dalam Poelinggomang (2004) dalam skripsi mahasiswa USUhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26164/3/Chapter%20II.pdf, Diakses pada 13Januari 201327 Nezar Patria, Antonio Gramsci Negara & Hegemoni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, Hlm. 155-15728 Pratama Rus Ramdhani, http://matakuliahekonomi.wordpress.com/2011/04/23/pengertian-pemerintah-daerah/, diakses pada tgl 25 Oktober 2012 jam 03.00
20
prinsip negara kesatuan RI. Berdasarkan UU No 32 atahun 2004 tentang
pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintah oleh pemerintah
daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dan unsur
penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah gubernur, bupati atau walikota dan
perangkat daerah.
3. Pemerintahan Mukim
Pemerintah mukim merupakan sebuah lembaga pemerintahan yang ada di
Provinsi Aceh, kedudukannya adalah dibawah kecamatan dan di atas gampong
(desa). Dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No 4 Tahun 2003 dan
juga Qanun Kabupaten Aceh Barat No 3 Tahun 2010 Tentan Pemerintahan Mukim
menyebutkan bahwa mukim atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum
dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa
gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri,
berkedudukan langsung di bawah Camat atau nama lain yang dipimpin oleh Imeum
Mukim atau nama lain29.
Sedangkan Mukim berkedudukan sebagai unit pemerintahan yang
membawahi beberapa Gampong yang berada langsung di bawah dan bertanggung
jawab kepada Camat, sesuai dengan Pasal 2 Qanun Nomor 4 tahun 2003. Dalam
Pasal 3 Qanun Nomor 4 tahun 2003 disebutkan bahwa Mukim mempunyai tugas
29 Baca juga pasal 4 Qanun provinsi nanggroe aceh darussalam nomor 4 tahun 2003 dan pasal 4Qanun Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010 tentang pemerintahan mukim
21
menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam.
4. Pemerintahan Gampong
Gampong (desa) menurut definisi universal, adalah sebuah aglomerasi
permukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesia, istilah desa adalah pembagian
wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, namun di Aceh desa
merupakan struktur pemerintahan di bawah mukim. Menurut Sutardjo Katodikusuma
desa merupakan seuatu kesatuan hukum dimana tempat tinggal suatu masyarakat
dengan pemerintahan sendiri30.
Pemerintahan Gampong dan Pemerintahan Desa beserta perangkat dan
lembaga adatnya. Namun demikian, dengan dikeluarkannya Qanun Nomor 5 tahun
2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
paradigma itupun kemudian berubah. Gampong kemudian dilihat sebagai kesatuan
masyarakat hukum dan adat dalam struktur kekuasaan terendah dan mempunyai
wilayah kekuasaan sendiri serta memiliki kekayaan atau sumber pendapatan sendiri
pula.
Qanun Pemerintah Aceh didefenisikan gampong atau desa merupakan
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah
langsung berada di bawah Mukim atau nama lain yang menempati wilayah tertentu,
yang dipimpin oleh keuchik atau nama lain dan berhak menyelenggarakan urusan
30 Internet ambil pada tanggal 25 november2011http://wawan-unaidi.blogspot.com/2009/06/definisi-desa-atau-pedesaan.html
22
rumah tangganya sendiri. Dalam Pasal 1 (6) Qanun Nomor 5 tahun 2003 disebutkan :
”Gampong atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
organisasi pemerintahan terendah langsung berada di bawah Mukim atau nama lain
yang menempati wilayah tertentu, yang dipimpin oleh Geuchik atau nama lain dan
berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.” Sementara itu dalam
Pasal 10 QanunNomor 5 tahun 2003 disebutkan bahwa pemerintah Gampong terdiri
dari Geuchik dan Imeum Meunasah beserta Perangkat Gampong.
Dalam Pasal 11 Qanun Nomor 5 tahun 2003 dijelaskan pula bahwa Geuchik
adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Gampong. Dengan sistem Pemerintahan Gampong, sistem demokrasi dari bawah
(bottom-up) benar-benar dapat dilaksanakan. Dalam Pemerintahan Gampong, bidang
eksekutif Gampong dilaksanakan oleh Keuchik dan Teungku Imuem Meunasah
dengan urusan yang berbeda. Di gampong, Pimpinan Keagamaan itu adalah Teungku
Imuem Meunasah31, namun demikian, dalam Gampong posisi Imuem Meunasah
setara dengan geuchik walau masing-masing memiliki urusan yang berbeda.
F. Defenisi Oprasional
Defenisi oprasional berfungsi untuk data yang dikumpulkan agar peneliti ini
mendapatkan sebuah perspektif dalam penelitian dan untuk bisa lebih mendalami.
Berangkat dari pemahaman diatas, maka dapat dipahami bahwa dalam definisi
31 Sulaiman Tripa, Meunasah Di Gampong Kamoe, Lampena, Banda Aceh, 2006, Hlm. 51
23
oprasional itu harus menunjuk suatu indikator-indikator serta pengukuran
variabelnya, dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa defenisi oprasionalnya:
1. Eksistensi pemerintahan Mukim
2. Relasi pemerintahan Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa
Kota Banda Aceh dengan pemerintahan gampong.
a. Relasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
b. Relasi dalam proses pembangunan
c. Relasi dalam pembinaan kemasyarakatan dan
d. Relasi dalam peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam
e. Relasi dalam perlindungan ekologi dan SDA
3. Faktor penghambat relasi mukim dengan gampong
a. Sosialisasi keberadaan lembaga mukim
b. Kejelasan porsi kerja
c. Hirarki antara structural
d. Infrastruktur dan suprakstruktur
e. Legitimasi masyarakat
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini memakai pendekatan kualitatif dengan jenis deskriptif, dengan
alasan agar dapat menggali informasi yang mendalam mengenai objek yang akan
diteliti. Metode deskriptif sebagai prosedur pemecahan masalah yang diteliti
24
berdasarkan fakta-fakta yang ada, sehingga tujuan dari metode deskriptif adalah
untuk menggambarkan sauatu masyarakat tertentu atau gambaran tentang gejala
sosial.
2. Sumber Data
Dalam melakukan penelitian data dapat diperoleh melalui berbagai sumber,
antara lain: orang yang dianggap mengetahui tentang apa yang diteliti dan dari
dokumen-dokumen yang ada, adapun data tersebut dapat diperoleh melalui:
a. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari sumber-
sumber, pihak-pihak yang menjadi objek penelitian ini antara lain data yang
langsung dapat dari lapangan. Dalam penelitian yang bejudul “relasi
pemerintahan mukim dengan gampong dalam pelaksanaan pemerintahan
daerah (studi penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan
Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)” adalah gubernur, bupati/walikota,
camat kepala mukim dan geuchik. Dari data-data yang didapatkankan
tersebut peneliti dapat membandingkan dengan hasil observasi dan
dokumentasi di masyarakat.
b. Data Skunder
Data skunder atau data penunjang disebut sebagai sumber penulis,
serta dapat dibagi menjadi sumber buku dan majalah ilmiah, sumber data
arsip, dokumen pribadi atau resmi, sumber data yang penulis pergunakan
dalam penelitian ini merupakan dokumen resmi dan sumber data arsip yang
25
mempunyai dan berhubungan dengan penelitian yang berjudul “relasi
pemerintahan mukim dengan gampong dalam pelaksanaan pemerintahan
daerah (studi penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan
Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)”. Yang menjadi data skunder adalah
data hasil observasi dan dokumentasi yang didapat dari kantor mukim dan
kantor geuchik serta kantor-kantor pemerintahan di atasnya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan jenis data yang akan dikumpulkan maka teknik penelitian yang
akan digunakan peneliti adalah berupa studi lapangan (Field Reseach) yang
merupakan suatu cara pengumpulan data yang dilakukan pada lokasi penelitian.
Pengumpulan data menurut cara ini dapat dilakukan dengan cara:
a. Observasi
Adapun yang dimaksud dengan cara observasi adalah teknik
pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan dan pencatatan
terhadap objek penelitian. Dari metode observasi ini data yang diperoleh
adalah keadaan daerah, lingkungan kerja, struktur organisasi, sarana dan
prasarana yang dimiliki.
Secara luas, observasi atau pengamatan berarti setiap kegiatan untuk
melakukan pengukuran. Akan tetapi, obeservasi atau pengamatan disini
26
diartikan lebih sempit, yaitu pengamatan dengan menggunakan indera
penglihatan yang berarti tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan32.
Dengan melakukan observasi peneliti mangamati secara langsung
keadaan, kondisi, situasi, kegiatan dan proses relasi pelaksanaan
pemerintahan mukim dan gampong.
b. Interview
Interview adalah cara pengumpulan data dengan jalan bertanya jawab
secara langsung dengan pihak yang berkaitan lansung dipemerintahan
mukim dan juga pemerintahan gampong dalam hal relasi dalam pelaksanaan
pemerintahan lokal. Adapun dalam hal tersebut peneliti mencoba
menanyakan proses pelaksanaan dari regulasi yang telah diamanatkan dalam
Qanun pemerintah provinsi Aceh dan juga proses tindak lanjud mulai dari
tingkat provinsi hingga tingkat kabupaten/kota terhadap Qanun tersebut.
Interview dalam hal ini dibedakan dalam dua subjek, yaitu:
pemerintahan mukim dengan pemerintahan gampong sebagai actor
pelaksanaan pemerintahan dan masyarakat sebagai konsumennya, disisi lain
juga pemerintahan diatasnya baik itu camat, bupati atau walikota dan juga
gubernur sebagai aktor-aktor pengawasan.
c. Dokumentasi
Teknik ini dilaksanakan dengan melakukan pencatatan terhadap
berbagai dokumen-dokumen resmi, laporan-laporan, peraturan-peraturan,
32 Soehartono, Irawan., 2008, Metode Penelitian Sosial, Bandung, PT Remaja Rosdakarya: Hal 69
27
maupun arsip-arsip yang tersedia dengan tujuan untuk mendapatkan bahan-
bahan yang menunjang secara teoritis terhadap topik penelitian. Adapun data
yang akan dicarikan dalam penelitian ini adalah Qanun tentang pemerintahan
mukim tingkat provinsi dan juga kabupaten atau kota, peraturan gubernur,
peraturan bupati atau peraturan walikota, dan juga data-data lain yang
mendukung hasil temuan penelitian.
4. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah benda, hal, atau orang tempat variable penelitian
melekat, oleh karena itu subjek adalah seseorang atau sebih yang dipilih dengan
sengaja sebagai narasumber data yang dikumpulkan, karena dianggap menguasai
bidang yang berhubungan dengan sasaran penelitian.
Subjek yang dijadikan narasumber dalam penelitian ini adalah:
a. Gubernur
b. Bupati/Walikota
c. Camat
d. Kepala Mukim.
e. Geuchik Gampong.
f. Tokoh Masyarakat dan Masyarakat.
5. Lokasi Penelitian
Di dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian yang berjudul “relasi
pemerintahan mukim dengan gampong dalam pelaksanaan pemerintahan daerah
(studi penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa
28
Banda Aceh)”. Sedangkan tempat yang dijadikan lokasi penelitian oleh penulis
adalah Instansi-instansi pemerintahan mulai dari kantor gubernur, kantor bupati atau
walikota, kantor camat se Aceh pada umumnya dan khusunya pada dua di kantor
mukim, yaitu di Kantor Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Kantor Mukim
Meuraxa Kota Banda Aceh.
6. Analisa Data
Teknik analisa data adalah proses mengatur urutan data, pengorganisasian
kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema
yang dirumuskan. Data yang tekumpul terdiri catatan lapangan , interview, gambar,
foto, dan dokumen berupa laporan, biografi, artikel, kemudian direduksi dan diolah
untuk memperoleh kesimpulan informasi tersebut. Proses analisa dimulai dengan
menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yang kemudian dilakukan
reduksi data (memformulasikan teori kedalam seperangkat konsep) yang dilakukan
dengan membuat rangkuman inti dalam penelitian33.
Analisa data dapat diartikan sebagai proses pengorganisasian dan pengurutan
data yang diperoleh secara sistematis baik untuk manafsirkan dan
menginterpretasikan data-data yang dapat dari penelitian. Proses analisa data ini
dimulai dengan menelaah data yang tersedia dari berbagai sumber data baik data
primer maupun data skunder. Dalam hal ini peneliti menggunakan analisa kualitatif
dengan jenis deskriptif dimana lebih menitikberatkan pada penggambaran dan
penguraian objek yang nanntinya akan menghasilkan kesimpulan.
33 Maleong, Lexey., 2005, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakaria: Hlm 15
Top Related