1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hal utama yang menjadi problematik normatif adalah kekurangan norma dalam
pengaturan hukum udara di Indonesia dalam hal ini keterkaitan dengan
pertanggungungjawaban pidana korporasi akibat kecelakaan pesawat udara. Dasar
hukum penerbangan sipil dalam hukum udara Indonesia diatur dalam Undang-undang
No. 83 Tahun 1958 tentang penerbangan yang kemudian diubah dengan Undang-undang
No. 33 Tahun 1964, yang disempurnakan lagi dengan Undang-undang No. 72 Tahun
1976, kemudian dengan Undang-undang No. 15 Tahun 1992, beberapa kali Undang-
undang tentang penerbangan diperbaharui namun belum menyatakan bahwa korporasi
dapat dipertanggungungjawabkan. Demikian juga pada Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) yang saat ini belum mengatur tentang tindak pidana korporasi. Dan saat
ini Undang-undang tentang penerbangan telah disempurnakan lagi dengan lahirnya
Undang-undang No.1 Tahun 2009 tentang penerbangan sipil. Berdasarkan Undang-
undang No. 1 Tahun 2009 tentang penerbangan sipil bahwa, telah menyatakan korporasi
adalah sebagai subyek tindak pidana. Artinya terjadi kekosongan hukum sebelum
Undang-undang No.1 tahun 2009 tentang penerbangan diberlakukan.
Melihat banyaknya kecelakaan pesawat udara yang terjadi di Indonesia,
terutama kasus dalam hal pertanggungjawabannya. Kasus-kasus kecelakaan
penerbangan, pemerintah hanya dapat menyelesaikan dengan cara perdata dan
administrasi. Sehingga cendrung hukum pidana di Indonesia masih bersifat tidak tegas.
2
Hal ini akibat karena di dalam pengaturan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) subyek hukum pidana hanyalah manusia (natuurlijke persson) korporasi tidak
diakui sebagai subyek hukum pidana. Sementara Undang-undang di luar Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur bahwa korporasi juga merupakan subyek
tindak pidana, sehingga bila korporasi melakukan tindak pidana dapat dimintai
pertanggungjawabannya.
Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2015,
dinyatakan bahwa korporasi adalah sebagai subyek tindak pidana, namun hingga kini
konsep itu belum disahkan untuk berlakunya.
Sistem Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009 Tentang Penerbangan, pasal 1 angaka 55 menyatakan, setiap orang adalah
orang perseorangan atau Korporasi. Sehingga dalam hal pertanggungjawaban pidana
korporasi dapat terwujud berdasarkan kepastian hukum. Penelitian ini merupakan
penelitian normatif yang dilakukan dengan pengumpulan bahan hukum primer, sekunder
melalui studi kepustakaan. Bahan hukum yang dikaji adalah Undang-undang Nomor 1
Tahun 2009 tentang penerbangan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Bahan hukum tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif dan dipaparkan secara
deskriptif analistis.
Berdasarkan hasil dari penelitian ini bahwa, pertama, pengaturan tindak pidana
penerbangan di Indonesia melalui hukum pidana (sarana penal) telah dirumuskan dalam
UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Tetapi pada praktiknya pengaturan
tindak pidana penerbangan cendrung diselesaikan melalui sarana non penal, yaitu secara
perdata dan administrasi. Kedau pertanggungjawaban pidana korporasi akibat
3
kecelakaan pesawat udara juga dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009
tetang penerbangan. Maka disimpulkan bahwa korporasi sebagai subyek hukum dapat
bertanggungjawab secara hukum pidana akibat kecelakaan pesawat udara di Indonesia.
Tujuan penyelenggaraan penerbangan adalah mewujudkan penyelenggaraan
penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga wajar dan
menghindari praktek persaingan usaha yang tidak sehat.1 Sedangkan salah satu tujuan
negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Hal ini tercantum
dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) yang mengatur:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahtraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.”2
Selanjutnya, konteks melindungi segenap bangsa Indonesia ini terdapat dalam
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
1 Lihat, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
2 Lihat, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen IV
(Yogyakarta, 2005), hlm. 115
4
sama dihadapan hukum (equality before the law). Pengaturan dari konstitusi ini
menunjukan bahwa pemerintah harus melindungi segenap keperluan dan kepentingan
warga negaranya, termasuk dalam bidang trasnportasi udara. Oleh karena itu,
penerbangan sudah tentu menjadi transportasi yang sangat dibutuhkan dan yang sering
digunakan, mengingat mobilitas masyarakat yang terus meningkat, sehingga jelas,
penerbangan menjadi suatu bisnis yang menjanjikan bagi para pelaku usaha. Tidak
heran, jika ada banyak perusahaan penerbangan di Indonesia.
Dengan banyaknya perusahaan penerbangan menunjukkan adalah sesuatu wajar
jika terdapat persaingan usaha yang ketat diantara maskapai penerbangan sipil, yang
mengharuskan maskapai-maskapai tersebut “berlomba” menciptakan keunggulan-
keunggulan dari maskapai penerbangan sipil lain, seperti tiket murah, fasilitas lengkap,
dan terpenting adalah masalah keamanan dan keselamatan selama penerbangan. Tetapi
yang ditemui adalah kurangnya perhatian maskapai penerbangan terhadap faktor
keamanan dan keselamatan pesawat yang berdampak pada banyaknya kecelakaan
pesawat di sepanjang tahun, yang tidak sedikit menelan korban jiwa.
Pada operasioanal penerbangan muncul masalah-masalah kecelakaan pesawat,
memang sudah menjadi masalah bagi dunia, termasuk Indonesia, terlihat dari banyaknya
kecelakaan pesawat yang terjadi sepanjang tahun.
5
Tabel 1.1
Daftar Jumlah Kecelakaan Pesawat Udara dalam Rentang Waktu
Tahun 2005 s/d 2018
Tahun Nama penerbangan Rute Jumlah Korban
2007 Garuda Indonesia Jakarta-
Yogyakarta
21, Penumpang Meninggal Dunia
2009 Merpati Nusantara
Air Hilang di Papua
15, Penumpang Meninggal Dunia
2013 Lion Air Bandung- Bali 45, Penumpang mengalami Luka-
luka
Sumber: https://nasional.tempo.co, 29 Desember 2014
Mengamati kecelakaan pesawat, perhatian penulis tertuju kepada daftar
kecelakaan pesawat tersebut di atas, yang mana tidak ada dari daftar kecelakaan tersebut
yang diselesaikan secara pidana termasuk mempidanakan korporasi. Seluruhnya
diselesaikan secara administratif dan perdata, seperti membayar ganti rugi kepada koban
selamat atau keluarga korban yang meninggal dunia, padahal undang-undang telah
mengatur mengenai ketentuan tindak pidana penerbangan. Pada perkembangannya,
korporasi diakui sebagai subjek hukum, termasuk didalamnya korporasi/perusahaan
penerbangan. Selama melakukan kegiatan operasional yang pasti korporasi/perusahan
banyak mengambil bagian baik itu berupa keputusan-keputusan yang terkait dengan
operasional bahkan terkait juga dengan perawatan pada penerbangan. Menjadi
pertanyaan, dapatkah korporasi/perusahaan tersebut dapat dipidana? Yang tidak
6
memenuhi akan aturan keselamatan bisa dikatakan memiliki niat untuk membunuh,
adakah unsur kesengajaan atau tidak. Dalam hal ini harus dibuktikan mens reanya. Jika
tidak, apakah itu adalah kelalaian, sebab dalam Pasal 359 KUHP diatur mengenai
kelalaian yang mengakibatkan matinya seseorang sehingga dapat dipidana. Korporasi
merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli-ahli hukum pidana dan
kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain khususnya dalam
hukum perdata, disebut dengan badan hukum (rechts persoon).3 Korporasi seringkali
juga didefinisikan sebagai badan hukum (baik dalam hukum privat maupun badan
hukum publik) yang mendapat pengakuan dari negara sebagai subyek hukum, dimana
dapat berbentuk peseroan terbatas, yayasan, partai politik, organisasi non pemerintah,
koperasi dan bentuk lembaga lain yang dapat status badan hukum dari yang berwenang
(pemerintah).4 Hal ini berarti pidana korporasi dapat dipertanggungjawaban dalam
hukum pidana.
Beranjak dari hal pertanggungungjwaban pidana bagaimana korporasi itu dapat
mempertanggungjawabkan pidananya jika terjadi kecelakaan pesawat udara. Penulis
ingin melakukan penelitian dan mengkaji serta memaparkan bagaimana formulasi
kebijakan pengaturan tindak pidana pada penerbangan sipil dan sistem
pertanggungungjawaban pidana korporasi penerbangan sipil akibat kecelakaan pesawat
udara dalam kaitannya dengan upaya pemidanaan kejahatan koporasi di bidang
3 Zulkarnain, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Malang,
2016), hlm. 1 4 Ibid.
7
penerbngan sipil dengan diberlakunya Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan. Mengingat bahwa KUHP Indonesia menganut subyek pidana adalah
orang/manusia, bukan korporasi.
Dengan demikian penulis akan mengkonkritkan permasalahan tersebut di atas
dengan sebuah kajian yang berjudul: “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Penerbangan Sipil Akibat Kecelakaan Pesawat Udara Ditinjau dari Hukum Positif
Indonesia.”
B. Perumusan Masalah
Bertolak pada latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini terdapat
beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti. Permasalahan tersebut dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan tindak pidana korporasi penerbangan sipil ditinjau dari
hukum positif?
2. Bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana korporasi penerbangan sipil akibat
kecelakaan pesawat udara?
C. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan Penulisan
Penulisan dalam skipsi ini mempunyai tujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang
lebih komprehensif berkaitan dengan tanggung jawab pidana korporasi penerbagan
sipil akibat kecelakaan pesawat udara ditinjau dari aspek hukum positif Indonesia.
8
Maka berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas yang menjadi tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk memaparkan pengaturan tindak pidana korporasi penerbangan sipil
ditinjau dari hukum positif.
b. Untuk menganalisis sistem pertanggungjawaban pidana korporasi penerbangan
sipil akibat kecelakaan pesawat udara.
2. Kegunaan Penulisan
Manfaat yang dapat diharapkan dengan adanya penelitian ini tentang peran
korporasi/perusahaan dalam hal tanggung jawab pidana akibat terjadinya suatu
kecelakaan pesawat udara ditinjau dari hukum positif Indonesia. Maka penulisan
hukum ini memberi manfaat sebagai berikut:
a. Secara Teoritis
Pada umumnya apa yang menjadikan suatu harapan yaitu hasil dari penelitian
yang dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan ilmu
pengetahuan hukum yang menyangkut pertanggungjawaban
korporasi/perusahaan penerbangan sipil akibat kecelakaan pesawat udara, yang
kemudian ditinjau dari aspek hukum positif Indonesia.
b. Secara Praktis
1) Bagi Pemerintah
Dalam penelitian ini akan menjadi suatu cakrawala baru atau sebagai materi
untuk menambah informasi bagi pemerintah dalam membentuk suatu
perundang-undangan penerbangan terkait pertanggungjawaban pidana
9
korporasi penerbangan sipil akibat kecelakaan pesawat udara yang ditinjau
dari aspek hukum positif Indonesia.
2) Bagi masyarakat diharapkan kepada masyarakat secara luas mengetahui
serta menambah wawasan bagaimana pertanggungjawaban pidana
korporasi/perusahaan penerbangan sipil akibat kecelakaan pesawat udara
menyebabkan kematian yang ditinjau dalam hukum positif Indonesia.
3) Bagi Universitas Widyagama Malang
Dengan adanya penelitian ini penulis dapat memberikan ilmu pengetahuan
sebagai penambahan pendidikan dalam ilmu hukum khusunya bagi
mahasiswa yang berminat untuk melakukan penelitian hukum tentang
pertanggungjawaban pidana korporasi/perusahaan penerbangan sipil akibat
kecelakaan pesawat udara ditinjau dari hukum positf Indonesia.
D. Tinjauan Pustaka
Tinjauan Pustaka mempunyai arti peninjauan kembali pustaka-pustaka yang
terkait (review of related literature). Sesuai dengan arti tersebut, suatu tinjauan pustaka
berfungsi sebagai peninjauan kembali (review) pustaka (laporan penelitian, dan
sebagainya) tentang masalah yang berkaitan.
1. Tindak Pidana
a. Definisi Tindak Pidana
Tindak pidana (strafbaar feit) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Orang yang
10
melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan
pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan
apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat
menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.5
P.A.F Lamintang mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, dimana penjatuhan pidana
terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya
kepentingan umum.6
Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, sebagai
berikut:
1) Menurut KUHP dibedakan antara lain kejahatan dimuat dalam Buku II dan
Pelanggaran dimuat dalam Buku III.
2) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil
(formeel delicten) dan tindak pidana materil (materiil delicten). Tindak
pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan
melakukan perbuatan tertentu. Tindak pidana materil inti larangannya ada
pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan
akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.
5 Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana (Bandung, 2001), hlm.
22 6 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung, 1996), hlm. 16
11
3) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana
sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpa delicten).
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam KHUP pada umumnya
dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur, yang terdiri dari unsur-unsur subyektif
dan unsur obyektif. Unsur Subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri
si pelaku atau yang berhubungan dengan si pelaku. Sedangkan unsur obyektif
adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di
dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus
dilakukan.7
Menurut P.A.F. Lamintang unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan
yaitu, unsur subyektif dan unsur obyektif ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Unsur obyektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan yang
terjadi, dalam keadaan dimana tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Unsur
obyektif terdri dari:
a) Melanggar hukum (wedenrechtelijkheid).
b) Kausalitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
7 Ibid, hlm. 193.
12
2) Unsur Subyektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala
sesuatu yang ada dalam diri dan pikirannya. Unsur ini terdiri dari:
a) Kesengajaan (dolus) dan ketidaksegajaan (culpa).Maksud (voornemen)
pada suatu percobaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1)
KUHP.
b) Macam-macam maksud (oogmerk) seperti yang terdapat dalam
kejahatan, pencurian, penipuan, pemerasan,pemalsuan dan lain
sebagainya.
c) Perasaan takut atau (vress).
d) Merencanakan terlebih dahulu atau (voorbedachte raad).
c. Subyek Tindak Pinada
Menurut Wirjono Prodjodikoro dikatakan bahwa subyek hukum pidana
atau subyek hukum tindak pidana meliputi:8
1) Orang
Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa dalam pandangan KUHP, yang
dapat menjadi subyek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum.
Ini terlihat dari perumusan-perumusan dari tindak pidana dalam KUHP yang
menampakkan daya berpikir sebagai syarat dari subyek tindak pidana itu,
8 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia (Bandung, 2003),
hlm. 27.
13
juga terlihat pada wujud hukuman/pidana yang termuat dalam pasal-pasal
KUHP.
2) Badan Hukum/Korporasi
Dengan diakuinya, korporasi sebagai subyek hukum pidana, berarti
korporsasi dapat dipertanggungjawabkan. Peter Gillies9 menyatakan bahwa
korporasi atau perusahaan adalah orang atau manusia dimata hukum, dan
karenanya mampu melakukan sesuatu sebagaimana yang dilakukan oleh
manusia, diakui oleh hukum seperti memiliki kekayaan, melakukan kontrak
dan dapat dipertanggungjawabkan atas kejahatan yang dilakukan.
2. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu
mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka
dipertanggungjawabkan atau suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Roeslan
Saleh, mengatakan bahwa dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal
pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya
perbuatan. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana,
tergantung pada soal apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai
9 Peter Gillies, Criminal Law, The Law Book Company Limited (Sidney, 1990), hlm. 125.
14
kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang
mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana.10
Untuk dapat dipidana si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang
dilakukannya memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-uandang.
Selain itu, pertanggungjwaban pidana dalam hukum positif dirumuskan dalam azas
geen straf zonder schuld atau azas “tiada pidana tanpa kesalahan.” Terkait kesalahan
sendiri dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. Kemampuan bertanggungjawab menurut Moeljatno, bahwa untuk adanya
kemampuan bertanggung jawab harus ada:11
1) Kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk
sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum (faktor akal).
2) Kemampuan untuk menetukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang
baik dan buruknya perbuatan tadi (faktor perasaan).
b. Sengaja (Dolus/Opset) dan Lalai (Culpa/Alpa)
1) Sengaja
Sengaja tidak didefinisikan di dalam KUHP. Petunjuk untuk mendapatkan
arti kesengajaan dapat diambil dari M.v.T (Memorie van Toelicthing) yang
mengartikan kesengajaan sebagai menghendaki apa yang dilakukan orang
10 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian
Dasar Hukum Pidana (Jakarta, 2004), hlm. 75. 11 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana (Jakarta,
1993), hlm. 79
15
yang melukukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan
juga mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukannya.12
Pengertian perbuatan pidana kesengajaan dapat dibedakan dalam tiga corak
sikap batin yang menunjuk atau bentuk dari sikap kesengajaan yaitu sebagai
berikut:
a) Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai tujuan (dolus directus).
Sengaja sebgaimana yang dimaksud bahwa apabila sipembuat
menghendaki akibat perbuatannya. Perbuatan si pembuat bertujan utnuk
menimbulkan akibat yang dilarang;
b) Kesengajaan dengan sadar kepastian, yang dalam hal ini perbuatan
mempunyai dua akibat yang memang dituju si pembuat, dan akibat yang
memang diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai
tujuan itu, selanjutnya akibat perbuatan itupun dapat dipastikan terjadi;
c) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis) dalam hali
ini ada keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian benar-
benar terjadi. Jika pembuat tetap melakukan yang dikehendakinya
walaupun ada suatu kemungkinan akibat lain yang sama sekali tidak
diinginkan.
2) Kelalaian
Menurut M.v.t, kealpaan adalah keadaan yang sedemikian membahayakan
keamanan orang atau barang atau mendatangkan kerugian terhadap
12 Sudarto, Hukum Pidana Jilid 1 A (Semarang, 1975), hlm. 102.
16
seseorang yang sedemikan besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi sehingga
undang-undang bertidak terhadap kurang kehati-hatian, sikap sembrono atau
teledor.13
c. Tidak Ada Alasan Pemaaf
Pengahapusan pidana dan menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka
dibedakan dalam dua jenis alasan penghapusan pidana yaitu:
1) Alasan Pembenar Menghapus sifat melawan hukum, perbuatan yang
dilakukan dalam keadaan darurat (Pasal 48 KUHP), karena pembelaan
terpaksa (Pasal 49 ayat (1) KUHP), menjalankan peraturan perundang-
undangan (Pasal 50 KUHP), menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal
51 KUHP).
2) Alasan pemaaf, adalah orang tidak dapat dicela atau ia tidak bersalah tidak
mampu bertanggungjawabkan sehingga tidak dipidana (Pasal 44 KHUP),
perbuatan yang dilakukan karena terdapat daya paksa (Pasal 48 KUHP),
perbatan karena pembelaan terpaksa melampaui batas (Pasal 49 ayat (2)
KUHP), perbuatan yang dilakukan untuk menjalankan perintah jabatan yang
tidak sah (Pasal 51 ayat (1) KUHP).
3. Tindak Pidana Penerbangan
Prilaku indisipliner atau ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan yang telah disyaratkan, memang pada umumnya menjadi penyebab
13 Ibid, hlm. 105
17
terjadinya kecelakaan pesawat udara dan tentu saja konsekuensinya tindakan ini
akan membawa bentuk pertanggungjawaban terhadap para pelaku.
Di Indonesia hanya ada satu kasus kecelakaan pesawat udara yang
dikriminalisasikan yaitu pesawat udara Boing 737 Garuda indonesia yang terperosok
di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, pada hari rabu tanggal 7 Maret 2007 pagi.
Dalam kecelakaan ini 199 orang selamat, seorang awak kabin dan 21 penumpang
meninggal, seorang awak kabin dan 11 penumpang luka berat. Pengadilan Negeri
Sleman menghukum dua tahun penjara tetapi dibebaskan di Pengadilan Tinggi
Yogyakarta. Pilot dikenakan pidana Pasal 479 KUHP, yakni kelalaian yang
menyebabkan kematian.
Dalam rangka penegakan hukum sesuai dengan kententuan Pasal 313
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Menteri Perhubungan
berwenang untuk menetapkan program penegakan hukum dan mengambil tindakan
hukum (sanksi administrasi dan sanksi pidana) dibidang keselamatan penerbangan.
Definisi dari penegakan hukum ini adalah merupakan cara untuk mengambil
tindakan kepada personil pernerbangan berlisensi dan penyedia jasa penerbangan
bersertifikat yang tidak memenuhi persyarat minimum yang ditentukan dalam
Peraturan Keselamatan Penerbanagan Sipil (PKPS).
Kecelakaan pesawat tentu memiliki keterkaitan dengan faktor penyebab
kecelakaan pesawat itu sendiri. K. Martono berpendapat bahwa terdapat berbagai
faktor penyebab kecelakaan seperti faktor manusia (man), pesawat terbang itu
sendiri (machine), lingkungan (environment), penggunaan pesawat udara (mission)
dan pengelolaan (management) yang diuraikan sebagai berikut:
18
a. Faktor manusia.
Faktor manusia biasanya yang dimintakan pertanggungjawabannya adalah
kapten penerbang, padahal sebenarnya tidak selalu demikian karena manusia
dalam hubungan ini adalah setiap orang atau tenaga yang terlibat langsung
dalam proses keselamatan penerbangan, antara lain teknisi, awak pesawat
terbang, pengawas lalu lintas, maupun tenaga operasi.
b. Pesawat terbang.
Di samping manusia, pesawat terbang juga dapat mengalami keletihan, oleh
karena itu, setiap pesawat terbang (machine) sejak dari awal desain sampai
dengan pelaksanaan perawatan, termasuk pemeriksaan berkala dan pengantian
komponen, penyimpanan komponent-komponent pesawat dan masa berlaku dari
komponent-komponent tersebut harus mempunyai sejarah dari komponent itu
(historical servive recorde), untuk pengoperasiannya harus dilakukan sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
c. Masalah lingkungan.
Masalah lingkungan juga merupakan salah satu faktor kecelakaam baik bersifat
alamiah maupun perbuatan manusia. Faktor lingkungan yang bersifat alamiah
seperti angin yang datang tiba-tiba (wind shear), awan berputar-putar yang biasa
disebut Cumulonimbus (CB), topan, salju, gempa bumi dan letusan gunung
berapi.
19
d. Pengelolaan.
Setiap penerbangan selalu diawasi oleh petugas pengawas lalu lintas udara atau
Air Tarafic Control (ATC) sejak lepas landas (take off) sampai saat pesawat
terbang berhenti diantara appron bandar udara tujuan.
Sehubungan dengan itu, adapun unsur atau aspek hukum pidana dari tindak
pidana penerbangan adalah:
a. Dari segi subjek.
b. Dari segi unsur kesalahan, baik dolus maupun culpa.
c. Dari segi akibat, yaitu kecelakaan menyebabkan matinya orang.
Unsur yang pertama adalah unsur subjek yaitu pembuat dan yang
bertanggungjawab. Pada Pasal 401 Undang-undang nomor 1 Tahun 2009 tentang
penerbangan, ini terdapat frasa “setiap orang”, yang dimaksud adalah orang
perseorang atau korporasi yang berarti maskapai penerbangan sipil sebagai korporasi
dapat menjadi subjek tindak pidana.
Kemudian unsur kesalahannya adalah mengoperasikan pesawat udara yang
tidak memenuhi standar kelaikudaraan. Maskapai penerbangan pasti tahu pesawat
mana saja yang sudah memiliki sertifikat laikudara. Selain itu akibat dari
mengoperasikan pesawat terbang yang belum laikudara adalah membahayakan
keselamatan dan keamanan yang dapat dijangkau oleh rasio manusia. Sehingga
sebenarnya, pengoperasian pesawat udara yang tidak memenuhi standar
kelaikudaraan dilakukan dengan sengaja.
Unsur selanjutnya yang harus terpenuhi adalah akibat yang ditimbulkan oleh
perbuatan tersebut yaitu kematian seseorang dan kerugian harta benda. Pasal ini
20
tidak memuat frasa “kecelakaan pesawat” sebagai sebab kematian seseorang
tersebut, tetapi dapat dimengerti bahwa mengoperasikan pesawat yang tidak
laikudara dan menimbulkan kematian seseorang tentulah karena terjadi “kecelakaan
pesawat”.
Mengenai pertanggungjawabannya pidana korporasi penerbangan dapat dilihat
pada Pasal 441 ayat (2) Undang-Undang Penerbangan menyebutkan bahwa dalam
hal tindak pidana di bidang penerbangan dilakukan oleh suatu korporasi maka
penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya. Artinya, dimungkinkan korporasi saja, pengurus saja, atau kedua-
duanya.
4. Pengertian Korporasi
Korporasi secara etimologis berasal dari kata corporatie (Belanda),
corporation (Inggris), corparatio (Latin), corporation (Jerman) atau istilah
“corporare” yang berarti badan. Corporatio berarti membadankan, atau hasil
pekerjaan membadankan, atau badan yang dijadikan orang. Dalam Black’s Law
Dictionary, didefinisikan korporasi sebagai badan hukum adalah:14
“An entity (usually a bussiness) having authority under law to act as a single
person ditinct from the shareholders who own it and having rights to issue stock
and exist indefinitely, a group or succsesion of person established in accordance
with legal personality distinct from the natural person who make it up, exists
14 Bryan A. Garne, ed, Black’s Law Dictionary Sevent Edition (St. Paul Minim, 1999), hlm.
341.
21
indefinitely apart from them, and has the legal powers that is constitution gives it.”
(Terjemahanya: Korporasi merupakan sebuah entitas atau satu kesatuan yang
pada umumnya melakukan aktivitas bisnis yang memiliki kewenangan secara
hukum untuk melakukan perbuatan sebagaimana layaknya orang-perorang yang
berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pemegang saham secara pribadi, dan
tak terbatas, atau suatu kelompok yang berbeda dengan person alamiah, dan
mempunyai kekuasaan secara hukum sepanjang konstitusi memberikan untuk
itu).
Para ahli mengemukan beberapa definsi tentang korporasi yaitu:15
a. Meijers, badan hukum (korporasi) meliputi sesuatu yang menjadi pendukung
hak dan kewajiban;
b. Utrecht, badan hukum adalah badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang)
menjadi pendukung hak, yaitu setiap pendukung hak yang tak berjiwa (bukan
manusia);
c. Subekti, badan hukum adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat
memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan hukum seperti manusia;
d. Susanto, korporasi adalah suatu ciptaan hukum yakni, pemeberian status sebagai
subyek hukum yang berwujud manusia secara alamiah.
15 Zulkarnain, Loc. Cit. hlm.24
22
5. Pengertian Perusahaan
Istilah Perusahaan adalah istilah ekonomi yang dipakai dalam Kitab
Undang-undang Hukum Dagang. Yang dimaksud dengan perusahaan adalah
keseluruhan perbuatan, yang dilakukan secara tidak terputus-putus, dengan terang-
terangan dalam kedudukan tertentu untuk mencari laba.16
Maka salah satu yang termasuk kegiatan menjalankan perusahaan adalah meliputi
sektor penerbangan. Dalam hal ini pendirian perusahaan penerbangan sudah tentu
wajib mendaftarkan perusahaannya untuk mendapatkan Surat Izin Usaha
Perdagangan (SIUP). Diketahui bahwa perusahaan yang bergerak dibidang
penerbangan adalah merupakan PT (perseroan terbatas) yang selanjutnya disebut
Perseroan, adalah badan hukum17, di mana perusahaan terbatas mempunyai bebarapa
bidang secara struktural atau pengurus masing-masing bidang yang berarti suatu
perhimpunan, perkumpulan atau persatuan yang dalam pengertian adalah korporasi.
Korporasi adalah orang buatan.18 Korporasi dapat melakukan apa saja yang dapat
dilakukan oleh manusia alamiah, atau dengan kata lain korporasi dapat juga disebut
dengan perusahaan, perusahaan adalah mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana
16
Djoko Imbawani Atmadjaja, Hukum Dagang Indonesia (Malang, 2012 ), hlm. 21 17 Lihat, Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perseroan Terbatas Nomor 40
( Jakarta, 2007), Pasal 1, angka (1) 18
Dwidja Priyatno, Kebijakan Formulasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
(Bandung, 2017), hlm. 24
23
subyek hukum, dan mampu mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan hukum
layaknya orang alamiah (natuurlijke person).
6. Korporasi sebagai Subyek Hukum Pidana
Subyek hukum adalah setiap penyandang hak dan kewajiaban. Dalam kajian
ilmu hukum sudah dikenal dua macam subyek hukum yaitu subyek hukum yang
berupa orang secara alamiah (naturlijke persoon), dan orang dalam arti badan
hukum (recht persoon/legal persoon) seperti Perseroan Terbatas, Koperasi.
Pada mulanya, yang menjadi subyek hukum adalah orang alamiah, Hal ini
terjadi karena dianut aliran klasik yang individualisme, indeterminis, diberlakunya
asas universitas delinquere non potest atau societas delinquere non potest (suatu
badan hukum tidak bisa dipidana), culpabilitas atau geen straft zonder schuld, dan
asas pemebalasan. Sehingga atas dasar itu, Projodikoro19 menyatakan bahwa yang
dapat menjadi subyek hukum pidana adalah hanya seorang manusia. Pendapat
Prodjodikoro tersebut menguatkan pandangan Simons20 yang menyatakan bahwa
perkumpulan atau organisasi yang mempunyai bentuk badan hukum, bukanlah
subyek hukum pidana dan tidak dapat dianggap sebagai pelaku dari strafbaarfeit dan
tindak dapat melakuakan tindak pidana.
19 Wirjono Projodikoro, Azas-azas Hukum Pidana Indonesia (Bandung, 1986), hlm. 55. 20 D. Simons, Leerboek van Nederlandches Strafrecht, terjemahan Lamintang, Kitab
Pelajaran Hukum Pidana, Pioner Jaya (Bandung, 1989), hlm. 193.
24
Menurut Dwidja Priyatno, ada dua pandangan yang berbeda dan saling
bertentangan terkait dengan apakah atau tidak suatu korporasi/ badan hukum
dimasukan sebagai subyek hukum pidana. Bahwa:21
a. Pihak yang tidak setuju mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
1) Meyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan
hanya terdapat pada person alamiah.
2) Bahwa yang merupaka tingkalaku materiil, yang merupak syarat dapat
dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh
person alamiah (mencuri barang, menganiaya orang, perkosaan dan
sebagainya).
3) Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang tidak
dapat dikenakan pada korporasi.
4) Bahwa tuntutan dan pemidaan terhadap korporasi dengan sendirinya
mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah.
5) Bahwa di dalam praktik tidak mudah untuk menetukan norma-norma atas
dasar apa yang bisa diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu
sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana.
b. Yang setuju menempatkan korporasi sebgai subyek hukum pidana menyatak
alasan-alasan sebgai berikut:
21 Dwija Priyatno, “Suatu Tinjauan Terhadap Pertanggungjawaban korporasi dalam
Hukum Pidana dan Prospeknya” (Tesis Program Pascasarjana UNDIP, Semarang, 1991), hlm.
31-32.
25
1) Pemidaan pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap
delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya
perlu pula kemungkinan pemidaaan korporasi, korporasi dan pengurus, atau
pengurus saja.
2) Dalam kehiupan sosial ekonomi, korporasi semakin memainkan peranan
yang penting pula.
3) Hukum Pidana harus mempunyai fungsi di dalam masyarakat, yaitu
melindungi masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuan-
ketentuan yang adan dalam masyarakat. Kalau hukum pidana hanya
ditentukan pada sehi perorangan, yang hanya berlaku pada manusia, maka
tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan untuk selalu
menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi.
4) Pemidaan korporasi merupakan salah satu upaya untuk menghindarkan
tindakan pemidaan terhadap para pegawai korporasi itu sendiri.
7. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Tanggung jawab adalah suatu keadaan wajib menanggung sesuatu, sehingga
apabila atas tanggungjawab tersebut kemudian menyimpang, maka patut
dipersalahkan. Pertanggungjawaban adalah perbuatan bertanggungjawab yang
diembannya. Sedangkan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan oleh
negara kepada seseorang yang melalukan kesalahan atau terbukti bersalah
melakukan tindak pidana.
Sebagaimana dikemukakan di atas, pertanggungjawaban pidana sangat
bergantung pada kesalahan dari pembuat (azas liability based on fault atau geen
26
straf zonder schuld). Namun, pertanggungjawaban pidana bagi korporasi sedikit ada
penyimpangan dari teori pertanggungjawaban pidana pada umumnya. Mengenai
unsur “kesalahan” dalam pertanggungjawaban korporasi tidak mutlak diberlakukan,
meskipun adanya kesalahan harus tetap diperhatikan dalam persoalan ini. Pendapat
Muladi, yang menyatakan bahwa dalam masalah pertanggungjawaban pidana, asas
kesalahan atau asas tidak ada pidana tanpa kesalahan tidak mutlak berlaku. Pada
pandangan baru ini cukuplah fakta yang menderitakan si korban dijadikan dasar
untuk menutut pertanggungjawaban pidana si pelaku sesuai dengan adagium “res
ipsa loquitur”, bahwa fakta sudah berbicara sendiri. Dalam doktrin strict liability
atau tanggungjawab mutlak. Menurut doktrin ini apabila seseorang (korporasi)
menjalankan jenis kegiatan yang dapat digolongakan sebagai extrahazardous atau
ultrahazardous atau abnormally dangerous, maka ia wajib memikul segala kerugian
yang ditimbulkan walaupun ia sudah bertindak sangat hati-hati (tidak ada
kesalahan). Sehingga secara singkat, strict liability diartikan sebagai liability without
fault (pertanggungungjawaban pidana tanpa kesalahan).22
a. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai
penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorang sehingga sah jika
dijatuhi pidana. Penentu apakah seseorang patut dicela karena perbuatannya,
dimana wujud celaan tersebut adalah pemidanaan. Tekanannya justru pada
fungsi melegitimasi tindakan penegak hukum untuk menimpakan nestapa pada
22 Ibid, hlm. 87
27
pembuat tindak pidana. Dengan keharusan untuk tetap menjaga keseimbangan
antara tingkat ketercelaan seseorang karena melakukan tindak pidana dan
penentuan berat ringannya nestapa yang menjadi konsekuensinya. Dengan
demikian, “it operates to filter those deserving pinishment for their wrong form
those who do not and to grade liability according to their degree fault.” Aturan
mengenai pertanggungjawaban pidana merupakan saringan pengenaan pidana,
yaitu hanya dapat diterapkan terhadap mereka yang memiliki kesalahan dan
pidana yang dikenakan sebatas kesalahan tersebut.23
b. Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Konsep badan hukum (korporasi) itu sebenarnya merupakan konsep dari
stelsel hukum perdata. Konsep ini tumbuh subur hingga pada akhirnya bidang-
bidang hukum lain di luar stelsel hukum perdata sulit untuk tidak
memperhatikan eksistensi badan hukum tersebut.24
Rudi Prasetya, mengatakan bahwa timbulnya konsep badan hukum
bermula sekedar konsep hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan
kegiatan usaha yang diharapkan lebih berhasil. Korporasi (badan hukum)
merupakan suatu ciptaan hukum, yakni pemberian status subjek hukum kepada
suatu badan, disamping subjek hukum yang bersifat manusia alamiah. Dengan
23 Chairul Huda, Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana (Jakarta, 2011), hlm. 17 24 H. Setiono, Kejahatan Korporasi, Analisis Kriminologis dan Pertanggungjawaban
Korporasi dalam Hukum Pidana Indoneisa (Malang, 2004), hlm. 7
28
demikian, badan hukum dianggap dapat menjalankan atau melakukan suatu
tidakan hukum.25
c. Korporasi Mampu Bertanggungjawab
Agar korporasi bisa memiliki kemampuan bertanggung jawab, maka
terdapat dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, ukuran untuk menentuakan
bahwa suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi harus didasarkan pada teori
pelaku fungsional (fungsional daderschap) atau teori identifikasi. Sebab,
sebagaimana korporasi hanya bisa melakukan perbuatan tertentu termasuk
melakukan tindak pidana melalui perantara pengurusnya. Kedua, sebagai
konsekuensi dari yang pertama, maka korporasi juga memiliki kemampuan
bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan. Hal ini karena eksistensi
korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan atau aktifitas pencapaian
tujuannya selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia. Oleh karena itu,
kemampuan bertanggungjawab yang ada pada pengurus korporasi dilimpahkan
menjadi kemampuan bertanggungjawab dari korporasi sebagai subjek hukum
pidana.26
d. Penentuan Kesalahan Korporasi
Untuk menentukan bahwa suatu korporasi yang terbukti melakukan
suatu perbuatan yang dilarang memiliki kesalahan, harus dipastikan terlebih
25 Hamzah Hatrik , Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia,
Strict Liability dan Vicarious Liability (Jakarta, 1996), hlm. 29 26 Ibid
29
dahulu bahwa tindak pidana korporasi yang digunakan sebagai basis teoretis
untuk menentukan salah tidaknya korporasi adalah teori pelaku fungsional atau
teori identifikasi. hal ini penting karena pandangan tradisional KUHP yang
masih dominan sehingga saat ini masih dipengaruhi asas “societas delinquere
non-potest”, akibatnya korporasi tidak mungkin terdapat kesalahan pada dirinya
karena ia tidak memiliki kalbu. setelah itu, tidak pidana yang dilakukan
korporasi harus merupakan perbuatan yang melawan hukum dan tanpa adanya
alas yang menghapus sifat melawan hukumnya suatu perbuatan. Pada diri
korporasi juga harus terdapat hal-hal yang sampai pada suatu kesimpulan bahwa
ia termasuk pelaku yang memiliki kemampuan bertanggungjawab pidana atas
tindak pidana yang dilakukan.27
Korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana tanpa melalui perantara
pengurusnya baik berdasarkan teori pelaku fungsional aupun teori identifikasi,
maka penentuan kesalahan korporasi adalah dengan melihat apakah pengurus,
yang bertindak untuk dan atas atau nama korporasi memiliki kesalahan. jika
jawabannya adalah ia, maka korporasi dinyatakan bersalah atas tindak pidana
yang dilakukannya. demikian juga sebaliknya. Mardjono Reksodiputro
menyatakan bahwa kesalahan yang ada di diri pengurus korporasi dialihkan atau
menjadi kesalahan korporasi itu sendiri.28
27 Ibid., hlm. 152
28 Ibid
30
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif yang
mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek. Penelitian hukum normatif adalah
suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan suatu aturan, prinsip-prinsip
maupun doktrin-doktrin untuk menjawab permasalahan yang dihadapi.29 Tipe
penelitian hukum yang dilakukan adalah yuridis normatif dengan pertimbangan
bahwa titik tolak penelitian analisis berdasarkan studi komparasi pada peraturan
perundang-undangan yang mengatur secara relavan tentang pertanggungjawaban
hukum di mana terjadinya suatu kecelakaan kecelakaan pesawat udara.
2. Metode Pendekatan
Adapun pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah
pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isi hukum yang sedang
ditangani. Kemudian pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.
Dan berikutnya pendekatan perbandingan (comparative approach) untuk
membandingkan hasil telaah yang dicapai penulis.
29 Soejono Soekanto, et, al., Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta,
1985 ), hlm, 15
31
3. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis Data
Analisis yang digunakan yaitu data sekunder. Data sekunder adalah data atau
informasi yang menjadi bahan acuan lainnya yang diperoleh dan dikumpulkan
peneliti melalui menelaah literatur-literatur berupa peraturan perundang-
undangan, buku-buku, situs internet maupun artikel-artikel.
b. Sumber Data
1) Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang bersifat autoriatif
yang berupa:
a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
2) Bahan hukum Sekunder, yaitu buku-buku, skripsi, tesis dan disertai jurnal-
jurnal hukum terkait dengan permasalahan yang penulis angkat, yaitu
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Penerbangan Sipil akibat Kecelakaan
Pesawat Udara ditinjau dari Hukum Positif.
3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Penulis
menggunakan kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan
juga bahan-bahan dari internet yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
4. Teknik Penggumpulan Data
Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi ini, maka penulis
menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan,
mengumpulkan semua data-data penelitian yang telah di dokumentasikan dalam
32
bentuk structure yang secara khusus terkait tentang peraturan perundang-undangan
penerbangan maupun data-data lainnya yang menyangkut hukum pidana.
5. Metode Analisis Data
Dari data primer dan data sekunder yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis
dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif yaitu dengan mendiskripsikan
permasalahan hukum yang ditemukan melalui penelitian dengan menggunakan
analisis teori hukum dan peraturan-peraturan di bidang penerbangan.
F. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mudah dimengerti dan dipahami dalam penulisan hukum secara
benar dan tersusun dengan jelas, maka diperlukan suatu penataan dengan cara sistimatika
penulisan. Oleh karena itu penulis akan menyusun penulisan ini dalam 4 (empat) bab
dengan sitimatika sebagai berikut:
BAB I : merupakan bagian utama yang berisi tentang pemikiran pengambilan
judul oleh peneliti untuk merumuskan hal-hal yang menjadi poko
bahasan dalam skripsi ini mulai dari latar belakang penulisan, tujuan
penulisan, manfaat penulisan serta materi bahasan dan metode dalam
penelitian juga sistimatika penulisan.
BAB II : merupakan hasil temuan dan penelitian dalam bab ini yang
didapatsecara kepustakaan yang meliputi tentang pengaturan tindak
pidana korporasi ditinjau dari hukum positif dan sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi penerbangan sipil akibat
kecelakaan pesawat udara.
33
BAB III : dalamnya akan diuraikan hasil analisis data berupa komparasi
(perbandingan) terkait pengauran tindak pidana korporasi ditinjau dari
hukum posituf dan menganalisis sisten pertanggungjawaban pidana
korporasi akibat kecelakaan pesawat udara baik itu dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun peraturan undang-
undang tentang penerbangan sipil.
BAB IV : dalam bab ini akan menjelaskan tentang kesimpulan dari hasil analisis
dalam pembahasan disertai dengan saran sebagai rekomendasi
sumbangan pemikiran atau bentuk pemecahan masalah dari inti
permasalahan.
Top Related