1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bukti-bukti arkeologis merupakan bukti kongkrit yang menunjukkan
bahwa abad ke- V M India mulai menanamkan pengaruhnya yang intens terhadap
bumi Asia Tenggara, dalam hal ini Indonesia yang mencapai intensitas tertinggi
(Poesponegoro, Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto 1993: 9-10). Bukti-bukti
arkeologis (prasasti yang bertuliskan peristiwa penting) itulah yang merupakan
satu-satunya bukti bahwa Indonesia mulai mengenal dan mengembangkan tradisi
tulis sejak abad tersebut. Prasasti dan piagam-piagam agaknya kurang efisien
sebagai media untuk menuangkan ide-ide, gagasan, dan peristiwa penting
tersebut, mengingat bahannya seperti bebatuan dan lempengan tembaga tidak
mampu mewadahi segenap ide-ide dan gagasan, serta peristiwa-peristiwa penting
yang notabene harus disampaikan secara lengkap. Seiring berjalannya waktu para
cendekiawan Jawa membuat suatu media yang dianggap layak dan mampu untuk
mewadahi segenap ide dan gagasannya itu, media tersebut yakni rontal atau
lontar, sebuah media yang terbuat dari daun pohon tal atau siwalan yang melalui
suatu proses hingga mengeras menjadi lembaran-lembaran. Setelah datangnya
bangsa barat, nampaknya juga mempengaruhi tradisi kesusastraan di Indonesia,
bangsa kolonial mengenalkan sebuah media tulis yang dianggap lebih layak dan
cukup dalam mewadahi segenap ide-ide dan gagasan yang dituangkan di dalam
sebuah tulisan itu, media tersebut adalah kertas. Media-media tersebut di atas
yang oleh para filolog disebut sebagai naskah. Naskah dalam filologi yakni media
2
tulis yang terbuat dari kertas, daun tal, kulit binatang, daun papyrus dan lain
sebagainya yang mewadahi daripada teks. Media beserta isinya itulah yang
dijadikan sebagi objek dalam penelitian filologi.
Naskah merupakan media tulis yang berisikan teks, sebuah tulisan yang
digunakan untuk mencatat berbagai hal yang patut dilestarikan (Robson, 1994: 1).
Karya sastra yang terdapat di dalam naskah, diciptakan oleh seseorang sebagai
wahana untuk mengungkapkan pikiran, gagasan, serta kepercayaan mereka
(Robson, 1994: 8). Artinya, apa yang terdapat di dalam naskah merupakan
rekaman dari nilai-nilai yang ada pada masa nenek moyang hidup, karena penulis
mewakili orang yang hidup di zamannya yang mana pola pikir, gagasan, dan
kepercayaan pengarang kurang lebih sama dengan orang-orang disekitarnya.
Data naskah (manuskrip) yang dijadikan objek dalam penelitian kali ini
adalah naskah yang berjenis sastra wayang, dalam hal ini adalah teks kasusastran
yang berjenis puisi Jawa baru (tembang macapat) yang bersumber pada epos
Mahabarata dan digubah menjadi ceritera baru. Penggolongan ini didasarkan pada
pendapat Nancy K. Florida (2012: 39-41) yang mengklasifikasikan naskah Jawa
sebagai berikut:
1) Sejarah Jawa: Sejarah Jawa Sangkala, Karya abad 17, Islamisasi Jawa,
Jawa Abad 17 dan 18, Jawa abad 19 dan 20.
2) Silsilah.
3) Kehidupan istana & Administrasi: pangkat istana & gelar, peraturan
istana & protokol, pengetahuan adat istiadat keraton & upacara, payung
upacara (songsong), tempat, arsitektur, artifak, tanah & adinistrasi
keuangan.
3
4) Piwulang (literature didaktik): ajaran martabat raja & kepandaian sebagai
negarawan, kebaktian terhadap kerajaan, pelajaran untuk wanita,
kritikisme sosial, seksologi.
5) Literatur hukum & Perjanjian
6) Sejarah Islam & Islamisasi: Sejarah Islam suci (sakral), Islamisasi Jawa,
sejarah dari Islamisasi.
7) Sejarah Eropa & negeri-negeri Eropa: Napoleon, Barons Sakèndhèr &
Sukmul.
8) Sêjarah Cina: sejarah Tang tiau, Sejarah Sam Kok.
9) Sejarah Pustaka Raja: Putaka Raja Purwa, Pustaka Raja Madya/Puwara,
Pustaka Raja Wasana, sejarah Pustaka Raja (Versi)
10) Roman sejarah: Ceritera Panji, Majapahit (Damarwulan)
11) Ramalan & Lambang (karakter raja & anggota kerajaan)
12) Seni: keris & pande besi, tekstil batik, kosmetik/rias, arsitektur &
pertukangan (kayu).
13) Hipologi
14) Ramalan penanggalan & perhitungan waktu
15) Primbon
16) Wayang: Ruwatan, adat dan Pengetahuan wayang, boneka wayang,
pakêm, lakon wayang gubahan
17) Sastra & ceritera sastra: sastra klasik & ceritera sastra, 1001 malam,
ceritera rakyat
18) Bahasa, linguistic (ilmu bahasa) & studi literature
19) Ensiklopedi
4
20) Fisiologi manusia
21) Islam: roman pengembaraan siswa, Cênthini, Jatiswara, Badrul Ngalam,
pemikiran Sufi (Suluk & Wirid), Al-Quran, sejarah, ilmu akherat
(eschatology), etika.
22) Ceritera Menak
23) Pelajaran religi
24) Geografi
25) Bungarampai
26) Musik & tari: notasi gamelan, Bedhayan, Santisawara, prosodi Macapat,
teori tari.
Atas dasar pendapat Nancy di atas, maka objek kajian kali ini tergolong
pada butir ke- 16 yakni wayang, yang secara spesifik dapat digolongkan pada
lakon wayang gubahan dengan Judul Sêrat Srikandhi Maguru Manah
(selanjutnya disingkat SSMM).
Naskah SSMM merupakan naskah yang cukup digemari pada zamannya,
terbukti dengan adanya banyak salinan naskah terkait yang ditemukan, dan
ditemukannya sebuah buku cetak bertuliskan aksara Jawa cetak dengan isi dan
bentuknya yang sama, serta versi yang sama pula. Naskah profan yang telah
beredar di masyarakat dan naskah itu telah dicetak, hal itu berarti dapat
diasumsikan bahwa naskah ini dulunya pernah populer. Pendapat ini sejalan
dengan pendapat Siti Baroroh Baried yang menyatakan bahwa “dalam hal teks
profan yang dianggap milik bersama, frekuensinya tinggi penyalinan
menunjukkan bahwa naskah itu sangat digemari” (1994 : 62).
5
Pada saat menginventarisasi naskah dari berbagai katalog, telah diperoleh
informasi bahwa naskah SSMM ini berjumlah enam naskah yang terdapat pada 4
(empat) tempat penyimpanan naskah, sebagaimana rincian berikut:
1. Sêrat Srikandhi Maguru Manah, dengan nomor katalog RP 259 / 192
(808.543 Sri s ) (Nancy K. Florida, 2012: 200). (naskah A).
2. Sêrat Srikandi Maguru Manah bernomorkan katalog KS 412 / 270 Na.
(Nancy K. Florida, 1993 : 229). (naskah B)
3. Sêrat Carios Srikandhi Maguru Manah, dengan nomor katalog MN
436.2 / D 59 b (Nancy K. Florida, 2000: 306). (naskah C)
4. Sêrat Partakrama Dumugi Srikandhi Maguru Manah dengan nomor
katalog KS 411.0 / 273 Na (Nancy K. Florida, 1993 : 229)
5. Sêrat Srikandhi Maguru Manah dumugi Sêmbadra larung tuwin
Cèkèl Endralaya, dengan nomor katalog MN 438.0/ D158 (Nancy K.
Florida, 2000: 306)
6. Sêrat Partakrama, Srikandhi Maguru Jêmparing, dumugi Sêmbadra
Larung, dengan nomor katalog lokal 1838 (katalog lokal Yayasan Sastra
Lestari Surakarta)
Langkah selanjutnya adalah pengecekan data secara langsung di lapangan,
kuantitas data yang ditemukan tidak sama dengan informasi yang disebut dalam
katalog, salah satu naskah hilang dan tidak diketahui secara pasti apa penyebab
dan kapan naskah itu tidak berada pada tempat yang seharusnya, satu naskah
isinya tidak lengkap (sebagian ceritera hilang), dan satu naskah berbeda versi
meskipun masih dalam satu bentuk yang sama. Sehingga, atas dasar pertimbangan
filologis ketiga naksah tersebut gugur sebagai data utama utama penelitian. (1)
6
Naksah yang hilang tersebut berjudul Sêrat Srikandhi Maguru Manah dumugi
Sêmbadra Larung tuwin Cèkèl Endralaya, dengan nomor katalog MN 438.0/
D 158, pada saat pengecekan dilapangan, ternyata naskah terkait tidak ditemukan
di tempat penyimpanan yang ditunjukkan pada katalog (Reksapustaka
Mangkunegaran). (2) Naskah secara isi tidak lengkap, yakni Sêrat Parta Krama
dumugi Srikandhi Maguru Manah dengan nomor katalog KS 411.0 / 273 Na,
ketika dilakukannya pengecekan pada tempat keberadaan nasksah, naskah tersebut
bukan berjudul seperti tertulis di atas, melainkan hanya tertuliskan “Sêrat Parta
Krama” saja, selain itu pada saat pengecekan terhadap isi naskah, sekilas naskah
ini sama dengan naskah SSMM lainya, akan tetapi pada bagian ceritera Srikandhi
Maguru Manah, ceritera terputus di tengah-tengah dan tidak selesai. (3) Naskah
dengan judul Sêrat Srikandhi Maguru Jêmparing (selanjutnya disingkat SSMJ)
yang terdapat pada bendel naskah Sêrat Partakrama, Srikandhi Maguru
Jêmparing, dumugi Sêmbadra Larung dengan nomor katalog 1838 milik
Yayasan Sastra Lestari Surakarta. Secara tekstualitas naskah tersebut berbeda dari
mayoritas saksi naskah sejenis lainnya, meskipun secara bentuk sama yakni
Macapat. Letak perbedaan tersebut terdapat pada versi naskah, cara penulisan
berbeda dengan teks-teks naskah sejenis lainnya. Perbedaan tersebut nampak pada
pertengahan teks naskah, tepatnya pada akhir ceritera Partakrama, pergantian
ceritera ditulis masih dalam pupuh yang sama, dengan kata lain ceritera berganti
sebelum mandrawa pada, yakni pupuh ke- 46 tembang Dhandhanggula bait ke-
19. Pada bait ke-19 itulah ceritera sudah berganti, dari ceritera Partakrama ke
Srikandhi Maguru Jêmparing, sehingga pada bait 19 itu dianggap sebagai bait 1
(pertama) pada SSMJ. Pada akhir ceritera pun sama dengan awal ceritera, yakni
7
tidak ada tanda khusus untuk mengakhiri ceritera, melainkan pada pupuh ke 36
tembang Pocung bait ke 24 (halaman naskah 196) sudah berganti ceritera yakni
Sêmbadra Larung, sehingga bait 24 itu dianggap sebagai akhir dari SSMJ.
Mengingat dalam rangka implementasi langkah kerja filologi (perbandingan),
naskah yang dibandingkan haruslah sama antara jenis dan versinya, dan naskah
SSMJ dianggap menyimpang (versi yang berbeda), maka naskah ini gugur
sebagai data primer dalam penelitian filologis kali ini. Sehingga, naskah yang
dijadikan sebagai data primer dalam penelitian kali ini sejumlah tiga naskah.
Naskah yang terpilih sebagai data utama dalam penelitian kali ini adalah:
1. Sêrat Srikandhi Maguru Manah, dengan nomor katalog RP 259 / 192
(808.543 Sri s ) (Nancy K. Florida, 2012: 200) (naskah A).
2. Sêrat Srikandhi Maguru Manah bernomorkan katalog KS 412 / 270 Na.
(Nancy K. Florida, 1993 : 229) (naskah B).
3. Sêrat Carios Srikandhi Maguru Manah, dengan nomor katalog MN
436.2 / D 59 b (Nancy K. Florida, 2000: 306) (naskah C).
Naskah-naskah di atas merupakan naskah yang sesuai dengan kriteria data dalam
penelitian filologi tradisional, yang mana data berbentuk naskah-naskah tersebut
harus sejenis dan seversi, serta mempunyai kualitas yang baik (teks dapat dibaca,
serta tidak banyak bagian naskah yang hilang), sehingga dapat dilakukannya suatu
langkah kerja dalam penelitian filologis yang disebut perbandingan naskah. Bukti
bahwa naskah tersebut syarat dengan kriteria data penelitian filologi tradisional
adalah sebagai berikut:
8
1. Jenis dan versinya sama
Ketiga teks naskah memiliki jenis teks yang sama, yakni berjenis puisi,
berbentuk puisi Jawa Baru atau sering disebut tembang macapat/sêkar alit. Secara
versi, ketiga naskah sama, yakni memiliki urutan pupuh yang sama (lihat tabel 2
pada perbandingan naskah), dan jalan ceritera yang sama pula (lihat ikhtisar teks
pada deskripsi naskah).
2. Lengkap secara isi dan teks dapat dibaca
Mulai dari halaman pertama hingga halaman terakhir ketiga teks tidak
terdapat satu halaman pun yang hilang, mulai dari awal penulisan hingga akhir
penulisan. Pada naskah B tidak terdapat pupuh ke- 37 (lihat tabel 2) karena sudah
terdapat cap perpustakaan dibawah teks dan penulisan tidak berlanjut, sehingga
pada pupuh ke- 36 diangggap sebagai pupuh terakhir.
Alasan naskah dengan judul SSMM dijadikan sebagai objek penelitian,
karena naskah ini dipandang secara perspektif filologis dirasa perlu untuk segera
ditangani dengan beberapa alasan sebagai berikut:
Pertama, secara filologis ditemukan versi (naskah SSMJ) dan banyaknya
varian-varian dalam teks, yang mana apabila tidak segera ditangani secara
filologis dikhawatirkan akan mengaburkan pandangan dan menyesatkan pembaca
terhadap tipe mula teks naskah terkait. Dalam SSMM banyak ditemukan varian-
varian maupun kelainan bacaan, serta suku kata, kata, bahkan kelompok kata yang
korup, yang diakibatkan dari kesalahan secara tidak sengaja maupun sengaja oleh
penyalin, banyaknya aksara yang semakin tidak dapat terbaca karena tinta naskah
menindas teks sebaliknya (teks rekto verso ), serta media teks yang robek akibat
9
penggunaan terdahulu. Hal yang demikian membuat teks naskah tidak dapat
terbaca dengan jelas sehingga tidak memungkinkan apabila teks ini diterbitkan
dengan apa adanya, tanpa melalui proses filologis terlebih dahulu. Berikut contoh
dari sekian banyak penyimpangan dan kesalahan tulis dari sebuah transmisi
penyalinan:
a. Adanya Lacuna: yaitu bagian teks yang ditinggalkan (Siti Baroroh Baried,
1994: 65). Di bawah ini adalah contoh lacuna suku kata:
Gambar 1. Contoh lacuna suku kata.
Terdapat lacuna satu suku kata pada baris pertama bait ke- 13 pupuh VI tembang
mijil, halaman naskah 29, hanya tertulis “alin” seharusnya “asalin”. Sebagai data
pembanding berikut ditampilkan gambar dari teks naskah lainya.
Gambar 2. Contoh bacaan yang sama dari naskah pembanding.
Selanjutnya adalah contoh lacuna huruf. Lacuna huruf “suku”pada baris ke- 4,
bait ke- 18, pupuh VI tembang mijil, halaman naskah 29, kata “Jurang” tertulis
“jarang”.
Gambar 3. Contoh lacuna huruf.
10
Sebagai pembetulan bacaan yang salah diambilkan dari bacaan naskah
pembanding yang dianggap benar, berikut ditampilkan bacaan dari teks naskah
pembanding.
Gambar 4. Contoh bacaan yang sama dari naskah pembanding.
b. Interpolasi: penambahan kata atau kalimat oleh si penyalin kepada naskah
yang disalinnya karena kekeliruan atau disengaja (Kamus filologi, 1977: 19).
Berikut contoh interpolasi:
Pada kata cèthine terdapat interpolasi suku kata “thi” yang disisipkan pada tengah
atas antarhuruf (pupuh VI tembang mijil, bait ke- 2 baris ke- 4, halaman naskah
27).
Gambar 5. Contoh interpolasi suku kata.
Bacaan yang mengalami interpolasi juga terdapat pada pupuh XI tembang
Kinanthi, bait ke- 30 baris ke- 3, halaman naskah 60, penambahan secara sengaja
oleh penulis dibubuhkan pada atas teks sebagai pengganti bacaan yang salah.
Gambar 6. Contoh interpolasi kata
11
Pada teks sebelumnya tertulis “dene padha wadon” lalu dibenarkan menjadi “dene
ta padha wanodya”.
c. Adisi: bagian yang kelebihan atau penambahan secara tidak sengaja, baik
huruf, suku kata, kata, bahkan kelompok kata.
Pada baris ke- 10, bait ke- 6 pupuh VII tembang Dhandhanggula, halaman naskah
33, ditemukan adisi huruf “layar” pada kata “ambabar” tertulis “ambarbar”.
Gambar 7. Contoh Adisi huruf
Gambar 8. Contoh Adisi huruf pada naskah pembanding
d. Kesalahan tulis berupa penggunaan huruf yang kurang tepat.
Kelainan bacaan jenis ini terjadi pada pupuh IX tembang Pangkur, bait
pertama, baris ke- 5 halaman naskah 44, terdapat pada kata “lamun” tertulis
“yamun”
Gambar 9. Contoh kesalahan tulis dalam penggunaan huruf yang kurang tepat.
Gambar 10. Bacaan yang sama dari naskah pembanding.
12
Selain penyimpangan bacaan, terdapat pula beberapa lembar naskah yang
berlubang dan robek yang mengakibatkan beberapa huruf hilang dan sulit untuk
dibaca sebagaimana contoh berikut:
Gambar 11. Lembar naskah yang berlubang dan robek.
Hal tersebut di atas yang mendorong penelitian filologis ini harus
dilakukan, agar ditemukan sebuah teks yang dipandang asli dan nantinya tidak
menyesatkan bagi para pembaca. Varian-varian dan kelainan bacaan tersebut di
atas hanyalah sebagian kecil dari sekian yang ada pada data naskah. Melalui
sentuhan filologis, teks yang semula kadar keotentikannya itu diragukan, akan
kembali kuat dengan cara ditemukannya teks yang dipandang sebagai otograf.
Kajian filologis ini akan banyak membantu peneliti kemudian, dan pembaca yang
budiman dalam menelaah maupun mengkaji teks dalam naskah ini secara lebih
lanjut, dengan lebih terbantu dan tidak akan disesatkan dengan hal-hal seperti
contoh di atas.
Kedua, selain dari perspektif filologis, ditinjau dari sudut pandang isi teks
pun dianggap penting untuk menguak isi teks naskah SSMM, dikarenakan isi teks
13
naskah yang begitu menarik dan dirasa perlu dikaji secara lebih mendalam.
Menurut para ahli, SSMM merupakan bagian dari Sêrat Partayagnya yang mana
dalam satu Sêrat terdapat empat bagian lakon (episode), yang pertama adalah; (1)
Partakrama, (2) Srikandhi Maguru Manah, (3) Sêmbadra Larung, dan (4) Cèkèl
Waneng-Pati (Poerbatjaraka, 1954: 156). SSMM dikarang oleh R.Ng Sindusastra
di Surakarta pada tahun 1833 M (Nancy K. Florida, 2012: 200). R.Ng Sindusastra
merupakan carik/juru tulis KGPH Purbaya di ka-Purbayan ketika belum
dinobatkan menjadi raja di Surakarta, yang akhirnya KGPH Purbaya bergelar
menjadi ISKS Pakubuwono VII (Poerbatjaraka, 1954: 155).
SSMM merupakan naskah yang berisikan ceritera pewayangan Jawa, yang
mengisahkan tentang kisah asmara Arjuna dengan Srikandhi. Nilai-nilai yang
terkandung dalam ceritera SSMM ini sangatlah tinggi, ditinjau dari perspektif
yang lain, terlepas dari kisah percintaan, meskipun bukan merupakan karya sastra
didaktik, akan tetapi dalam lakon ini juga terkandung nilai-nilai edukatif dan
kepahlawanan seorang wanita (emansipasi). Ditinjau dari perspektif etik, apa yang
dilakukan Srikadhi dengan melancarkan rencana terselubung dan pergi dari
keraton tanpa sepengetahuan siapapun, memang melanggar etika dalam tata nilai
keraton, akan tetapi dibalik itu semua, Srikandhi mempunyai tujuan luhur, yakni
ingin menyelamatkan rakyat dan negeri Pancala dari Prabu Jungkung Mardeya,
seorang raja sabrang yang haus akan daerah kekuasaan (Mardjono, 2008: 8). Apa
yang dilakukan Srikandhi tidak semata-mata untuk memburu kesenangannya saja,
akan tetapi juga demi pengetahuan, sebagai seorang putri prajurit sudah
sepantasnya ia mempunyai keahliah di dalam memainkan senjata perang yang di
antaranya yakni panah. Srikandhi belajar memanah kepada Arjuna karena Arjuna
14
lah seorang yang dianggap paling mahir memainkan senjata panah pada
zamannya, dengan belajar kepada Arjuna, Srikandhi akan mampu menguasai
berbagai teknik memanah yang mana hal itu dapat ia gunakan ketika negara
Pancala diserang oleh mungsuh, termasuk para prajurit dari Paranggubarja.
Kegigihan Srikandhi di dalam memilih jodohnya sendiri, serta kepiawaiannya di
dalam berolah keprajuritan dan kanuragan, yang mana hal itu banyak ditekuni
oleh kaum laki-laki, nampaknya bertolak belakang dengan paradigma sebagian
besar kalangan priyayi Jawa di masa itu (masa dimana karya sastra tersebut lahir).
Sebagaimana yang telah kaprah dalam Budaya Jawa, wanita selalu dianggap
sebagai kanca wingking, pekerjaannya hanya macak, masak, manak, swarga
nunut naraka katut. Sistem patriarkat yang sangat kuat ini yang semakin
mendesak perempuan Jawa pada posisi inferior (Christiana Dwi Wardhana, 2015 :
10). Seperti halnya wanita dalam berbagai kasusastran Jawa pada umumnya
seperti Sêrat Candrarini, Sêrat Sandi wanita, Sêrat Wulangrèh Putri, Sêrat
Darma Wasita dan lain sebagainya, yang cenderung menyuruh wanita harus
perfect harus ini itu dan lain sebagainya. Sebagai contoh dalam serat Wulangrèh
Putri naskah yasan PB X, yang menyatakan bahwa seorang wanita (priyayi) tidak
boleh sekehendak hati sendiri, bertindak semaunya sendiri, harus patuh terhadap
perintah raja dan lain sebagainya (Nugraheni Eko Wardani, 2011: 69). Hal inilah
yang sangat menarik, mengapa teks yang mengandung nilai-nilai emansipasi
begitu digemari dan disebar luaskan di tengah-tengah kekentalan sistem patriarkat
di keraton, dan mengapa naskah ini dulunya justru ditulis oleh juru tulis keraton
atas perintah PB VII. Artinya ada sesuatu yang harus dikuak dari naskah ini guna
menemukan sesuatu yang penting tersebut.
15
Ketiga, naskah SSMM secara filologis belum sama sekali tersentuh
sebagai objek penelitian. Berdasar informasi yang telah diperoleh dari berbagai
sumber literer maupun internet, seperti halnya Jurnal Manuskrip Nusantara
(JUMANTARA), daftar penelitian filologi UNS, serta berbagai situs di internet,
bahwa naskah dengan judul SSMM tersebut belum sama sekali dijadikan sebagai
objek penelitian filologi. Penelitian dengan mengangkat objek teks Srikandhi
Maguru Manah pernah dilakukan oleh Mardjono staf pengajar mata kuliah umum
di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, penelitian beliau meninjau teks
Srikandhi Maguru Manah dari perspektif yang berbeda (bukan filologis), itu pun
teks naskah yang dijadikan sebagai objek penelitian bukanlah manuskrip,
melainkan teks latin tulisan Sunardi DM pada tahun 1978. Bertolak belakang
dengan fakta yang terjadi di masyarakat saat ini, banyak para praktisi seni seperti
dalang atau pun sastrawan yang mengangkat sosok Srikandhi sebagai tokoh utama
dalam sebuah pertunjukan wayang (wayang kulit dan wayang orang) atau pun
sebagai sumber inspirasi dalam sebuah karya literer. Hal tersebut dapat dibuktikan
dengan adanya sebuah pertunjukan wayang kulit dengan mengangkat lakon
Banjaran Srikandhi yang dilakukan oleh seorang dalang putri dari kabupaten
Wonogiri bernama Nyi Wulan Panjangmas. Pertunjukan tersebut diselenggarakan
oleh pihak Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) pada tanggal 25 April 2013.
Dalam lakon tersebut juga termuat adegan ketika Srikandhi belajar memanah
hingga pernikahannya dengan Arjuna. Lakon wayang dengan judul yang sama
yakni Srikandhi Maguru Manah sering sekali dipentaskan dalam pertunjukan
wayang orang, antara lain paguyuban wayang orang Bathara dari Jakarta
mementaskan lakon tersebut di Senen Jakarta Pusat pada tanggal 3 Juli 2010.
16
Group wayang Sriwedari juga mementaskan dengan lakon yang sama pada
tanggal 18 April 2016 di TVRI pusat Jakarta dan masih banyak lagi. Selain
pertunjukan seni, dalam karya literatur pun, sosok Srikandhi sering dijadikan
sumber inspirasi dalam pembuatan karya literatur, antara lain buku dengan judul
“Pesona Wanita dalam Khasanah Pewayangan” karangan Srikandhi Wintala
Achmad, yang mana dalam buku tersebut, juga membahas tentang sosok
Srikandhi sebagai tokoh wayang emansipasi.
Upaya penyelamatan naskah terhadap SSMM (naskah A dan B)
penangannya hanya sebatas pendeskripsian atas dasar keperluan katalogisasi saja,
bukan identifikasi secara lengkap dan terperinci apalagi secara filologis.
Sedangkan naskah C sudah mendapatkan sedikit upaya penyelamatan, yakni
dengan cara transliterasi teks, akan tetapi teks ditransliterasi dengan apa adanya
tanpa membenarkan teks yang kurang tepat. Mengingat usia naskah (A) yang
tergolong tua, yakni ditulis antara tahun 1893-1939 M, maka teks naskah dirasa
perlu untuk segera diselamatkan selagi teks sebagian besar masih dapat terbaca
Alasan-alasan tersebut di atas yang menguatkan tekat peneliti untuk
mengkaji lebih lanjut, baik secara filologis maupun kajian isinya terhadap teks
naskah SSMM ini. Peneliti memprediksi penelitian ini nantinya akan sangat
membantu sekali dalam dunia ilmu pengetahuan, baik secara tekstual maupun
substansial dari isi ceritera itu. maka dari itulah penelitian ini wajib dilakukan dan
harus dikembangkan di hari esok demi perkembangan dunia ilmu pengetahuan.
17
B. Rumusan Masalah
Penelitian terhadap naskah SSMM ini difokuskan pada rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana suntingan teks dari SSMM yang dipandang asli dan bersih
dari kesalahan?
2. Bagaimana perspektif etik serta kesetaraan gender dalam Sêrat
Srikandhi Maguru Manah?
C. Tujuan penulisan
Tujuan yang akan dicapai pada penelitian ini adalah :
1. Menyajikan suntingan teks dari SSMM yang dipandang asli dan bersih
dari kesalahan, serta menyajikan ringkasan isi teks pada tiap pupuh-
nya.
2. Mengupas isi dari teks SSMM yang ditinjau dari perspektif etik serta
kesetaraan gender.
D. Batasan Masalah
Melalui naskah ini, baik secara kodekus, tekstualitas, bahasa maupun
substansi ceriteranya dapat dikaji melalui berbagai perspektif dan disiplin ilmu,
seperti halnya penelitian yang terfokus pada kodeks/naskahnya saja, yang mana
penelitian ini kaprah disebut dengan penelitian kodikologis. Melalui sejarah
teksnya, peneliti bisa saja mengkaji dari perspektif tekstologis. Kajian terhadap
substansi ceriteranya, seorang peneliti dapat melakukan pendekatan ilmiah
melalui sudut pandang intertekstualitas, berangkat dari perspektif verbal, peneliti
18
juga berhak mengkajinya dengan pendekatan linguistik deskriptif, serta tidak
menutup kemungkinan dari perspektif kesusastraannya, ataupun juga melalui
pendekatan kajian budaya dan sosisal humaniora lainnya.
Permasalahan demi permasalahan diperkirakan akan bermunculan, oleh
karena itulah dalam penelitian ini memberikan adanya pembatasan permasalahan.
Pada kajian kali ini menitikberatkan permasalahannya pada dua masalah utama,
yakni dari perspektif filologis dan kajian isinya. Kajian filologis digunakan
sebagai pisau analisis untuk mengupas segala permasalahan yang terdapat dalam
naskah, seperti adanya varian-varian dan kelainan bacaan yang diangap akan
menyesatkan para pembaca kemudian, sehingga penelitian ini harus dilakukan,
sedangkan dari perspektif kajia isinya, akan diungkapkan nilai-nilai didalamnya
melalui dua perspektif, yakni perspektif etik dan kesetaraan gender.
E. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini tentunya peneliti mengharapkan agar penelitiannya
berguna dan bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan. Dalam penelitian ini
peneliti mengharapkan dua manfaat yang dapat tercapai, yakni secara teoritis dan
manfaat secara praktis.
Pertama-tama adalah manfaat secara teoritis yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah:
1. Memberikan kontribusi terhadap dunia penilitan terutama penelitian
pernaskahan secara filologis.
2. Memperkaya penerapan filologis sebagai disiplin ilmu dalam
memberikan penanganannya terhadap naskah Jawa.
19
3. Mampu memperluas cakrawala peneliti lebih lanjut karena terbukanya
ladang kajian yang baru.
4. Ingin menunjukan kepada khalayak umum bahwasanya kajian filologis
itu luas, dan tidak melulu pada filologi secara struktural saja.
Sedangkan manfaat praktis yang ingin tercapai pada peneitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Menyelamatkan naskah Sêrat Srikandi Maguru Manah agar terhindar dari
kepunahan, sehingga data yang tersimpan didalamnya yang notabene
penting itu akan tetap ada dan dapat dikembangkan di masa mendatang.
2. Diharapkan melalui kajian ini, para pembaca awam yang notabene
kesulitan membaca manuskrip Jawa dapat terbantu di dalam memahami
secara tekstual maupun kandungannya.
3. Dapat membantu para praktisi kesenian seperti para dhalang, maupun
budayawan didalam memahami isi ceritera, sehingga ceritera dalam Sêrat
Srikandhi Maguru Manah ini dapat dikembangkan menjadi suatu karya
yang baru (pakem wayang, pementasan wayang kulit, drama modern dll).
F. Kajian Teori
1. Pengertian Filologi
Secara etimologis, filologi berasal dari bahasa Yunani philologia yang
merupakan gabungan dari dua kata philos yang berarti “teman” dan logos berarti
“pembicaraan” atau ilmu, kemuadian diartikan menjadi “senang berbicara” dan
akhirnya melebar menjadi “senang ilmu” (Siti Baroroh Baried. 1994:2). Dalam
perkembangannya istilah filologi disebut sebagai suatu disiplin yang mengkaji
tentang bahasa, sastra dan budaya masa lampau yang ditulis oleh nenek moyang
20
di dalam suatu teks yang diwadahi dalam satu media yang disebut naskah.
Noorduyn mengungkapkan bahwa Filologi merupakan suatu disiplin yang
“mempelajari hasil pemakaian bahasa yaitu isinya yang sudah dihasilkan oleh
bahasa itu maupun sebagai percakap tetapi lebih khusus pemakaian bahasa secara
tertulis terutama pemakaian bahasa dari abad yang lalu” (1975: 19). Naskah yang
dimaksud dalam filologi ialah semua peninggalan tertulis nenek moyang kita yang
termaktub pada kertas, lontar, kulit kayu dan rotan. Naskah ini disebut
manuscripts atau handscripts.
2. Objek Filologi
Kodeks merupakan suatu bentuk yang kongkrit yang mewadahi daripada
suatu yang abstrak yaitu teks. Kodeks atau naskah beserta kandungannya (teks)
itulah yang sesungguhnya menjadi objek utama dalam penelitian filologi. Naskah
itulah yang menyimpan khasanah budaya, sastra dan bahsa masa lampau dimana
para leluhur masih hidup. Siti Baroroh Baried mengatakan bahwa “dari sejarah
lahirnya filologi sebagai istilah, dapat diketahui bahwa filologi mempunyai
sasaran kerja yang berupa naskah” (1994: 7).
3. Langkah Kerja Penelitian Filologi.
Seorang filolog di dalam mencari, memproses hingga pada penyajian
datanya, tentunya harus menjalani langkah-langkah kerja sebagaimana mestinya
pada penelitian filologi. Langkah kerja penelitian filologi menurut Masyarakat
Pernaskahan Nusantara (Manassa), terdiri atas penentuan sasaran penelitian,
inventarisasi naskah, observasi pendahuluan, penentuan naskah dasar, transliterasi
naskah dan penerjemahan teks. Dalam penelitian kali ini tidak hanya terfokus
pada langkah kerja menurut salah seorang ahli saja, melainkan juga ditambahkan
21
pendapat ahli lainnya yakni Edi S. Ekadjati yang mengemukakan bahwa langkah
kerja penelitian filologi itu meliputi; (1) Inventarisasi naskah, (2) Deskripsi
naskah (identifikasi naskah), (3) Perbandingan naskah, (4) Pemilihan teks yang
akan diterbitkan, (5) Ringkasan isi naskah, (6) Alih aksara dan penyuntuingan
teks (1980 : 1-8). Sedangkan menurut Edward Djamaris (1991) langkah kerja
dalam penelitian filologi meliputi; (1) pengumpulan data naskah (inventarisasi),
(2) pengolahan data (deskripsi naskah), (3) perbandingan naskah, (4) kritik teks,
yang meliputi recentio, eliminatio, pengelompokan naskah, dan penentuan naskah
autoritarif, (5) transliterasai, Suntingan teks dan aparat kritik (Hal. 1-18).
Mengingat naskah yang akan diteliti dalam penelitian kali ini merupakan
naskah profan, serta kondisinya yang tidak memungkinkan apabia hanya dikupas
dengan satu langkah kerja menurut seorang ahli saja, maka teori ketiganya
dianggap akan saling melengkapi dan sangat mendukung. Sehingga hasil akhir
dalam penelitian filologis ini akan sesuai dengan yang diharapkan serta mengena
pada analisis datanya. Langkah kerja yang diterapkan pada penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Penentuan sasaran penelitian.
Dunia pernaskahan Jawa sangatlah luas, baik secara bentuk kongkrit
maupun abstraknya (naskah dan teks). Dalam tradisi literatur Jawa, sebelum
dikenalkannya media tulis berbentuk kertas oleh para pemerintah kolonial, tradisi
literer Jawa sudah mengenal suatu media tulis seperti daun tal atau disebut dengan
lontar (disebut juga rontal), kulit kayu, kulit binatang dan sebagainya. Dalam
naskah jawa kuna, banyak diketemukan naskah-naskah yang bermediakan
lontar/rontal yang di mana sebuah alat bernama pengutik sebagai alat untuk
22
memberi goresan pada lontar tersebut, dan diberikan minyak kemiri agar gorsan-
goresan itu nampak jelas (Zoetmulder, 1994: 43). Secara tekstualitas, pada
transmisi penyalinannya teks-teks kesusastraan Jawa banyak yang mendapatkan
apresisasi dari penyalin kemudian sehingga penyalin kemudian memposisikan
dirinya sebagai pengarang yang baru, oleh karenanya banyak terlahir versi-versi
yang baru pula. Selain versi yang ditimbulkan dari apresiasi para pengarang Jawa,
pengaruh yang ditimbulkan dunia barat pun juga mempengaruhi tradisi
kesusastraan Jawa. Setelah lahirnya tradisi cetak, kemudian banyak sekali teks-
teks naskah Jawa yang dicetak menjadi sebuah naskah yang baru.
Berdasar pada urian di atas, penentuan sasaran penelitian difokuskan pada
data naskah manuskrip Jawa yang dituliskan pada sebuah media kertas yang
berbentuk puisi Jawa baru (sêkar alit/macapat), dan berisi tentang ceritera
pewayangan yang bersumber dari epos Mahabarata (lakon gubahan), serta berisi
tentang kisah percintaan Arjuna dengan Dewi Wara Srikandhi yang bermula
ketika pertemuan mereka di Dwarawati hingga berujung pada pernikahan.
Menurut Nancy K. Florida (1993) Ceritera Srikandhi Maguru Manah ini
merupakan bagian ke dua dari ceritera Parta Yagnya (Hal. 229).
b. Inventarisasi Data
Inventarisasi merupakan langkah dini filologi sebelum menginjak langkah
kerja yang lain. Inventarisasi ialah suatu kegiatan filolog di dalam mencari dan
mengumpulkan data sebagai objek kajiannya (naskah) yang seversi dan sejenis.
Sebelum terjun ke lapangan filolog terlebih dahulu dapat memanfaatkan katalog-
katalog naskah terlebih dahulu, hal ini bertujuan untuk mempermudah para filolog
23
didalam mengumpulkan naskah yang sejenis dan seversi sebagai data utama
dalam penelitiannya.
c. Observasi pendahuluan
Setelah menginventarisir data dari sumber data berupa katalog, langkah
selanjutnya adalah melakukan pengecekan secara langsung ke tempat-tempat
penyimpanan naskah terkait. Dalam hal ini peneliti akan dapat mengetahui secara
langsung mengenai kondisi naskah yang akan dijadikan objek penelitiannya.
d. Identifikasi Naskah
Ketika peneliti sudah mengetahui secara langsung mengenai keadaan
datanya, maka langkah kerja yang dikerjakan selanjutnya adalah mengidentifikasi
objek penelitiannya itu. Peneliti wajib menuliskan mengenai kondisi naskah
dengan sebenar-benarnya baik secara kualitas, maupun kuantitas naskah yang
ditemukan. Identifikasi naskah ialah gambaran umum dan jelas serta terperinci
tentang aspek-aspek yang terdapat di dalam naskah, dengan tujuan mempermudah
pengenalannya terhadap naskah beserta konteks isinya (Emuch Hermansoemantri,
1986: 2). Melalui langkah kerja ini, filolog akan dengan mudah membandingkan
kualitas naskah yang telah dipilihnya sebagai naskah yang dianggapnya lebih baik
daripada naskah yang dieliminasinya, serta nantinya akan memudahkan para
pembaca untuk mengetahui wujud fisik maupun tekstual dari daskah yang
bersangkutan tanpa harus bertemu langsung dengan naskahnya.
e. Perbandingan Naskah
Langkah kerja ini dilakukan karena naskah yang dijadikan data primer
dalam penelitian ini merupakan naskah profan. Bagaimanapun telitinya,
kecermatan dan kehati-hatiannya seorang penyalin di dalam bekerja, tetap saja
24
tidak terhindar dari kesalahan meskipun sedikit (Edi S. Ekadjati, 1980). Oleh
karena banyaknya kegiatan penyalinan naskah, sehingga banyak terdapat teks
yang diwakili oleh lebih dari satu naskah, dan teks dalam naskah-naskah tersebut
tidak selalu sama bacaannya, atau yang berbeda dalam berbagai hal (Siti Baroroh
Baried, 1994). Pada tahapan ini, bacaan dari tiap-tiap naskah yang dikutipkan
dari bagian awal teks, tengah dan akhir teks (sebagai sempel) disejajarkan lalu
dibandingakan secara kualitas bacaan dengan mempertimbangkan beberapa unsur
seperti ketuaan leksikal, kesesuaiannya dengan konvensi puisi dll. Mungkin dalam
bacaan teks itu terdapat berbagai penyimpangan, seperti adanya tempat yang
korup, bagian teks yang terlampaui (lakuna), adanya tambahan (interpolasi) dari
penyalinan kemudian, kelebihan atau adanya penambahan pada suku kata, kata,
maupun kelompok kata (adisi) pada bagian teks, atau bahkan terjadi perbedaan
versi ceritera.
Berdasar pada perbandingan teks naskah, maka akan dapat diketahui teks
naskah yang secara kualitas lebih unggul dari teks-teks naskah lainnya. Seperti
halnya teks naskah yang merupakan salinan langsung dari teks naskah lainya,
teks-teks yang berbeda versi, dan teks yang mungkin hanya berupa fragmen, teks-
teks tersebut di pertimbangkan (recentio) guna memperoleh teks yang berkualitas
(Edwar Djamaris, 1991: 2). Teks-teks naskah yang secara kualitas kurang baik
akan digugurkan (eliminatio) dari data primer penelitian. Hal itu guna
menentukan naskah yang paling baik (ditinjau dari berbagai aspek) dan dapat
dipertanggungjawabkan sebagai dasar suntingan naskah.
25
f. Pemilihan teks yang akan diterbitkan (penentuan teks sebagai dasar
suntingan)
Naskah yang telah melalui tahapan perbandingan, akan terlihat kualitas
dari masing-masing naskah itu, dan naskah yang memiliki kualitas lebih unggul
atau autoritatif tentunya akan menjadi naskah landasan. Edwar Djamaris (1991: 2)
mengemukaan bahwa “metode yang digunakan untuk menentukan naskah yang
autoritatif ini adalah metode objektif”. Dalam metode objektif ini penelitian
dilakukan secara sistematis mengenai hubungan kekeluargaan pada tiap-tiap teks
naskah atas dasar perbandingan naskah yang mengandung kesalahan bersama atau
kesalahan yang diturunkan (Siti Baroroh Baroied, 1994: 66).
Naskah-naskah yang memiliki kemiripan pada varian-variannya,
diasumsikan naskah-naskah tersebut dulunya berasal dari induk yang sama.
Dengan memperhatikan kelainan-kelainan bacaan bersama pada tiap-tiap teks
naskah, dapat ditentukan silsilah naskah (Siti Baroroh Baroied, 1994: 67). Metode
objektif yang sampai pada penentuan silsilah naskah ini disebut juga metode
stema, metode stema ini dianggap penting karena dapat menghindari subjektivitas
selera baik dan akal sehat pada pemilihan naskah landasan (Siti Baroroh Baroied,
1994: 67).
g. Transliterasi teks naskah.
Apabila peneliti telah menemukan naskah yang diasumsikan sebagai
naskah yang paling mendekati otograf, maka seorang filolog dapat langsung
mentransliterasi teks naskah tersebut. Transliterasi dalam hal ini adalah
pengalihan aksara dari aksara sumber ke aksara sasaran (Jawa ke latin), dengan
memperhatikan EYD dalam bahasa Jawa yang didasarkan pada Parama Sastra
26
Gagrak Anyar Basa Jawa (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2013), dan kamus
Baoesastra Djawa (Poerwadarminta, dkk, 1939) sebagai dasar acuan dalam
penulisan suntingan teks ini. Pentransliterasian aksara Jawa yang menggunakan
Sastra laku tetap ditulis sebagaimana ejaan dalam kaidah penulisan huruf latin
pada umumnya, tidak ditulis rangkap konsonan, seperti halnya penulisan pada
frasa prawirèng ngayuda (aksara Jawa) diteransliterasikan pada ejaan latin
menjadi prawirèng ayuda dsb. Hal ini tidak dimaksudkan merusak kemurnian
bahasa lama melainkan untuk menghindarkan pembaca dari kesesatan, apabila
pentransliterasian bahasa lama seperti kata ywang, ywa (aksara Jawa) pada huruf
Latin tetap ditulis ywang, ywa dan lain sebagainya.
h. Kritik Teks
Setelah selesai ditransliterasi seluruh bagian dari teks itu, maka barulah
peneliti mengkritisi bacaan teks naskah yang menjadi objek penelitianya. Kritik
teks bertujuan untuk menelusuri kembali suatu teks dalam bentuknya yang seasli
mungkin melalui jalan perbandingan teks yang sejenis dalam berbagai jenis dan
aspeknya (Achdiyati Ikram, 1992: 1). Dalam penelitian ini pengkritisian terhadap
teks dilakukan dalam bentuk tabel, varian-varian yang terdapat dalam teks akan
digolongkan pada jenisnya masing-masing dan akan dibetulkan atas dasar bacaan
lain yang terdapat pada teks naskah pembanding. Melalui kritik teks, bacaan pada
teks naskah akan bersih dari kesalahan dan akan dihasilkan sebuah suntingan teks
yang dianggap sebagai teks otentik, teks asli yang ditulis pengarang.
i. Suntingan Teks dan Aparat Krititk.
Suntingan teks merupakan hasil akhir dari sebuah penelitian filologi
tradisional. Dikarenakan objek pada kajian kali ini merupakan naskah jamak,
27
maka metode yang digunakan adalah metode penyuntingan naskah jamak, lebih
tepatnya yakni metode landasan. Pada tahapan ini, peneliti menyajikan teks yang
bersih dari kesalahan yang dianggap sebagai bentuk mulanya (autograf), dengan
landasan satu naskah yang diasumsikan sebagai naskah yang memiliki kualitas
paling unggul. Pada suntingan teks ini peneliti menyajikan teks dalam bentuk
yang sudah murni, artinya teks yang sudah diproses secara filologis. Segala
bentuk kelainan bacaan dibenarkan atas dasar naskah pembanding, sedangkan
varian-varian pada teks landasan akan ditampilkan pada aparat kritik. Hal ini
bertujuan agar pembaca ataupun peneliti kemudian mengetahui kondisi teks
semula dan teks yang sudah direkonstruksi.
j. Ringkasan Isi teks
Naskah SSMM merupakan naskah yang mempergunakan aksara Jawa dan
bahasa Jawa arkais yang notabene tidak semua orang dapat memahaminya lagi,
oleh karena hal tersebut ringkasan isi dapat memudahkan para pembaca atau para
peneliti lebih lanjut dalam penelaahan pertama isi teks naskah (Edi. S Ekadjati,
1980: 1). Ringkasan isi teks naskah kali ini diterapkan pada tiap-tiap pupuh teks
naskah guna mempermudah pembaca dalam memahami isi pokok teks naskah
pada tiap-tiap pupuh-nya.
4. Pengertian Etik dan Etika
Etik menurut Budiono adalah “pantas, sopan santun, susila”, sedangkan
etika adalah “kaidah-kaidah yang membimbing manusia untuk mengatur
kelakuannya untuk menjadi lurus dan baik dalam keselarasannya antara individu
dan masyarakat, semesta alam dan Tuhan” (2005: 163). Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia etik adalah “(1) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
28
dengan akhlak, (2) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan
atau masyarakat”(http://kbbi.web.id). Etika menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah “ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak
dan kewajiban moral (akhlak)” (http://kbbi.web.id).
Penerapan perspektif etik diterapkan untuk menilai kelakuan dua tokoh
utama dan seorang tokoh figuran dalam SSMM, dua tokoh utama tersebut adalah
Srikandhi dan Arjuna, sedangkan seorang tokoh figurannya adalah Rarasati.
Ketiga tokoh tersebut merupakan tokoh yang mana dalam ceritera dinilai banyak
melanggar kode etik dalam keraton, seperti tindakan terselubung Srikandhi,
penyembunyian Srikandhi oleh Arjuna, dan ketidakpatuhan Rarasati terhadap
perintah Arjuna. Tindakan terselubung Srikandhi sebagai wujud dari
perlawanannya terhadap perintah ayahnya ketika hendak dijodohkan dengan
Jungkung Mardeya sekilas nampak tidak etis bagi kalangan keraton sentris, akan
tetapi dari pada itu, apabila hal tersebut dilihat dari kacamata yang lain, Srikandhi
dapat dianggap sebagai seorang yang terpuji bahkan tindakannya itu dianggap
muluia apabila dilihat dari motif Srikandhi melakukan hal itu. Secara tidak
langsung Srikandhi ingin menyelamatkan rakyat dan negara Pancala dari seorang
raja dari tanah seberang yang ingin menguasai negara Pancala, selain itu Ia
sebagai putri prajurit ingin menambah pengetahuannya dalam hal berolah senjata
khususnya panah kepada Arjuna. Begitu pula dengan tindakan Arjuna
menyembunyikan Srikandhi di dalam taman Maduganda, hal itu sangat tidak etis
sebagai seorang kesatria, bahkan Ia dianggap mencoreng nama baik kakaknya
sendiri Prabu Yudhisthira raja negara Amarta. Tindakan Arjuna tersebut tidak
mutlak dianggap sebagai perbuatan tercela, karena sebenarnya dibalik itu semua
29
Ia mempunyai niat baik untuk menyelamatkan Srikandhi dari sebuah pernikahan
paksa, serta ingin mengajari Srikandhi dalam memanah dengan tanpa ada seorang
pun sebagai pengganggu. Selain dua tokoh utama tersebut, ada satu tokoh figuran
yakni Rarasati yang dianggap tidak mematuhi perintah suaminya sendiri. Ketika
Arjuna memerintahkan Rarasati untuk pulang ke Madukara, Rarasati menolaknya
dengan tegas, dan Ia nekat untuk menandingi Srikandhi dalam memanah. Hal ini
sangat tidak etis bagi seorang istri yang tidak mematuhi perintah suaminya
sendiri, akan tetapi tindakan Rarasati ini dapat dikatakan baik apabila dilihat dari
niat Rarasati yang ingin memuliakan suaminya dengan cara menunjukan
kepiawaianya dalam memanah di hadapan orang banyak.
5. Pengertian Feminisme
Feminisme secara harfiah berarti emansipasi wanita (Budiono, 2005: 175).
Secara definitif feminisme merupakan suatu gerakan sosial yang menginginkan
adanya penghargaan terhadap kaum perempuan beserta kesetaraan gender
(Wiyatmi, 2012: xv). Sebagaimana isi daripada teks naskah SSMM ini, yang
mana sangat menonjolkan seorang tokoh yakni Srikandhi, salah satu tokoh dalam
pewayangan, putri dari sang Raja Drupada yang berani menentang ayahnya
sendiri karena Ia akan dijodohkan dengan salah seorang raja dari negara
Paranggubarja yang bernama Jungkung Mardeya.
Hal inilah yang menarik, dimana perbedaan mencolok sekali dengan teks-
teks tulisan para carik keraton, yang mana selalu menggambarkan sosok wanita
yang harus patuh kepada perintah ayahnya apalagi ayahnya adalah seorang raja.
Sistem patriarkat ternyata tidak mempengaruhi isi dari karya sastra ini, disini tidak
sepenuhnya seorang ayah bahkan raja sekalipun berkuasa seenak dirinya sendiri.
30
Srikandhi sebagai seorang perempuan pun tidak pasrah begitu saja, ada suatu
upaya yang besar didalam menentukan jodohnya sendiri, serta keinginannya yang
besar untuk berolah kanuragan dan terampil memanah yang mana hal itu tidak
wajar dipelajari oleh wanita, hal ini lebih menonjolkan sisi emasipasi wanita.
G. Sumber Data dan Data Penelitian
Sumber data merupakan tempat dimana data itu diperoleh, atau segala
sesuatu yang mampu memberikan informasi mengenai tempat di mana data itu
dapat diperoleh. Sumber data dalam suatu penelitian dapat berupa informan,
tempat, dokumen, kejadian, situs, dan lain sebagainya, selain itu penggunaan
sumber data tersebut juga tergantung pada kompleksitas dan fokus penelitianya
(Riyadi Santosa, 2014: 5). Nyoman Kutha Ratna berpendapat mengenai sumber
data penelitian adalah sebagai berikut:
Sumber data, baik untuk jenis data kuantitatif maupun kualitatif ada dua
macam, yaitu: a) sumber data primer, sumber aktual pada saat terjadinya
peristiwa pengumpulan data, seperti informan, responden, dan b) sumber
sekunder, dari tangan ke dua atau sumber lain yang telah ada sebelum
penelitian dilakukan, seperti artikel pada media masa, buku teks, publikasi
organisasi dan pemerintah, hasil penelitian baik yang dipublikasikan ataupun
tidak (Nyoman Kutha Ratna, 2010: 143)
Teori di atas tidak semuanya diterapkan pada analisis filologisnya,
dikarenakan penelitian filologi tradisional merupakan penelitian yang terfokus
pada studi pustaka, maka sumber data utama dalam penelitian filologi ini adalah
katalog, sedangkan informan, seperti orang-orang yang tahu mengenai tempat
penyimpanan naskah terkait didudukan sebagai sumber data sekunder. Buku cetak
serta penelitian sejenis juga dijadikan sebagai sumber data sekunder dalam
penelitian kali ini.
31
Data menurut Kerlinger adalah “hasil penelitian, baik yang diperoleh
melalui pengamatan, wawancara, dan proses pemahaman lain, melaluinyalah
ditarik inferensi” (dalam Nyoman Kutha Ratna 2010: 141). Oleh karena data
penelitian filologi adalah naskah dan teks, maka data primer dalam penelitian kali
ini adalah naskah manuskrip yang berisi teks berjudul Sêrat Srikandhi Maguru
Manah.
H. Metode dan Teknik Penelitian
1. Bentuk dan Jenis Penelitian
Bentuk penelitian terhadap naskah berjudul Sêrat Srikandhi Maguru
Manah ini adalah penelitian filologi, guna menemukan teks yang benar-benar
murni bersih dari berbagai bentuk penyimpangan dan dipandang sebagai bentuk
mulanya.
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, atau dengan kata lain melalui
pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif. Jenis penelitian ini adalah jenis
penelitian pustaka (library research), yakni jenis penelitian yang melakukan
penelitiannya di kamar kerja peneliti atau di sebuah perpustakaan, dimana peneliti
dapat memperoleh informasi dan data tentang objek penelitiannya melalui buku-
buku atau alat-alat elektronik seperti kamera digital dan audiovisual (Atar Semi,
1993:8).
2. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Sebagaimana etimologinya, metode berasal dari akar kata meta dan hodos
(bahasa latin), meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, sedangkan hodos
berarti jalan, cara, arah, hal itu berarti metode merupakan cara-cara, strategi yang
32
digunakan seorang peneliti, di dalam memahami realitas serta memecahkan suatu
permasalahan atau sebab akibat berikutnya (Nyoman Kutha Ratna, 2010: 84).
Menurut Nyoman Kutha Ratna “metode pada umumnya ada tiga macam,
yaitu: (a) metode pengumpulan data, (b) analisis data, dan (c) metode penyajian
analisis data” (Nyoman Kutha Ratna, 2010:84). Metode dalam penelitian filologi
terdapat beberapa macam disesuaikan dengan tahapan penelitiannya, metode yang
digunakan pada saat pengumpulan data adalah metode studi pustaka, yakni
pelacakan data pada sumber-sumber data berbentuk buku yakni katalog naskah
(Edwar Djamaris, 1991: 1), sedangkan teknik yang dilakukan untuk memperoleh
data adalah membaca dan mencatat. Pasca menginventarisir keseluruhan judul
naskah, langkah selanjutnya adalah verifikasi tentang keberadaan objeknya
dengan teknik observasi lapangan (tempat naskah itu diperoleh). Setelah data
ditemukan semua, data disimpan pada file digital dengan melalui tekhnik
digitalisasi, yakni naskah difoto dan hasil dari foto itu disimpan pada dokumen di
komputer peneliti.
3. Metode dan Teknik Analisis Data
Guna memperoleh makna penelitian yang maksmal, maka metode analisis
data dilakukan secara ekletik, baik terhadap teori, metode, teknik, maupun
datanya (Nyoman Kutha Ratna, 2010: 511). Sebagaimana yang tertera pada
bagian sebelumnya, bahwa metode pada penelitian filologi bermacam-macam
disesuaikan dengan tahapan penelitiannya, maka pada saat pengolahan data atau
analisis datanya, di tahap ke dua (pasca inventarisasi) menggunakan metode
deskriptif, yakni semua data yang diketemukan dideskripsikan dengan sejelas-
jelasnya, sehingga dapat terwujud gambaran umum dan terperinci mengenai data,
33
hal ini dilakukan guna mempermudah tahapan penelitian selanjutnya yakni kolasi
atau perbandingan naskah (Edwar Djamaris, 1991: 1). Teknik yang dilakukan
dalam metode ini adalah membaca dan mencatat. Membaca sekilas keseluruhan
teks, mengamati kondisi fisik naskah maupun isi naskah lalu dicatat, guna
memperoleh gambaran umum dan terperinci mengenai kondisi naksah secara
keseluruhan.
Pada tahapan ke tiga adalah perbandingan naskah guna menentukan teks
yang autoritatif sebagai naskah landasan/dasar suntingan. Pada tahapan ini metode
yang digunakan adalah metode objektif, yakni naskah diteliti secara sistematis
mengenai hubungan kekeluargaannya atas dasar sifat-sifat khusus pada tiap-tiap
teks naskah terkait (Edwar Djamaris, 1991: 2). Pada metode ini teknik yang
digunakan adalah membaca, mencatat, dan mengkomparasikan. Dalam hal ini
peneliti membaca teks literatur, dan mencatat (mentransliterasikan) beberapa bait
tembang sebagai sempel, yakni sepuluh bait teks bagian awal, sepuluh bait teks
bagian tengah, dan sepuluh bait teks bagian akhir, lalu dari bacaan tiap-tiap teks
naskah itu dibandingan dan diresensi kualitas teks dari masing-masing saksi, guna
menemukan teks naskah yang autoritatif atau teks yang berkualitas paling baik
sebagai dasar suntingan. Sebelum adanya perbandingan bacaan, terlebih dahulu
diadakan perbandingan umur naskah, dan perbandingan jumlah dan urutan bait
guna menentukan versi pada tiap-tiap naskah yang ditemukan. Mayoritas jenis
perbandingan dikemas dalam bentuk tabel.
Setelah naskah autoritatif ditemukan, maka akan disajikan suntingannya.
Namun demikian hal yang perlu diperhatikan sebelum penyuntingan teks adalah
transliterasi teks naskah. Pada tahapan ini, metode yang digunakan adalah metode
34
transliterasi. Dalam metode ini tekhnik yang digunakan adalah membaca, alih
aksara, dan mencatat. Membaca dalam artian membaca teks yang akan
ditransliterasi, lalu mengalih aksarakan melalui proses berfikir peneliti, dan hasil
dari berifikir itu dicatat pada sebuah kertas.
Tahap berikutnya yakni kritik teks. Sebelum memasuki tahapan akhir yakni
suntingan teks, langkah yang harus dilalui terlebih dahulu adalah kritik teks dalam
rangka pemurnian teks naskah yang akan disajikan suntingannya. Pada tahapan ini
metode yang digunakan adalah metode landasan. Metode induk atau legger
(landasan) ini digunakan apabila ditemukan salah satu naskah yang lebih unggul
kualitasnya apabila dibandingkan naskah sejenis yang ditemukan, ditinjau dari
perspektif bahasa, sastra, sejarah dan lain sebagainya sehingga dinyatakan sebagai
teks yang mengandung bacaan terbaik (Siti Baroroh Baied, 1994: 67). Tekhnik
yang dignakan dalam metode ini nyaris sama dengan tahap perbandingan, yakni
membaca, mencatat, dan membandingkan bacaan. Segala jenis kelainan bacaan
akan diklasifikasikan berdasarkan jenisnya masing-masing. Teks naskah yang
telah bersih dari bacaan yang menyesatkan akan disajikan sebagai teks terpilih,
dan bacaan lain dari teks naskah sejenis akan ditampilkan pada aparat kritik.
35
J. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan.
Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, batasan masalah, manfaat penelitian,
Kajian teori, data dan sumber data, metode dan teknik, serta
sistematika penyajian.
BAB II Isi.
Pembahasan diawali dengan pembahasan kajian filologi yang
meliputi identifikasi naskah, perbandingan naskah, pemilihan teks
yang akan diterbitkan, transliterasi teks naskah beserta terjemahnya
ke dalam bahasa sasaran, kritik teks, suntingan teks dan aparat
krititk. Hal ini dilakukan guna menyajikan teks yang bersih dari
kesalahan, sehingga nantiunya tidak akan menyesatkan para
pembaca, serta bermanfaat untuk kajian bidang lain yang akan
menggunakan teks naskah ini sebagai bahan kajiannya.
Pada bagian kedua disajikan kajian isi guna mengupas isi teks
SSMM yang ditinjau dari perspektif etik dan kesetaraan gender.
BAB III Penutup.
Berisi simpulan dan saran, pada bagian akhir dicantumkan daftar
pustaka dan lampiran-lampiran.
Daftar Pustaka
Lampiran
Top Related