1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belang Masalah
Tindak Pidana Korupsi saat ini dipandang sebagai
kejahatan exra ordinary crime1, sehingga memerlukan
penanganan yang sangat luar biasa, karena itu
penanganannya tidak dapat lagi secara konvensional.
Kebijakan yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah antara
lain sebagai berikut mengganti Undang-undang Nomor 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Namun kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
saat ini belum juga memperoleh hasil yang memadai karena
jumlah kasus korupsi tidak berkurang serta pengembalian
kerugian negara belum juga optimal dilakukan, sehingga
1 Firma wijaya.Peradilan Korupsi dan Praktik. Maharani Press.Jakarta,hlm.2
2
tetap saja korupsi di Indonesia masih besar dengan berbagai
bentuk dan modus operandinya.
Dalam hal ini perlu diketahui bahwa korupsi
menimbulkan implikasi yang buruk terhadap kerugian
keuangan negara dan perekonomian negara. Selain itu
korupsi juga dapat merusak sendi-sendi kehidupan
masyarakat dan negara. Namun dalam hal ini belum ada
pengaturan yang jelas tentang pengembalian kerugian
keuangan negara.2
Uang pengganti sebagai pidana tambahan dalam
perkara korupsi harus dipahami sebagai bagian dari upaya
pemidanaan terhadap mereka yang melanggar hukum. Dalam
hal ini hukum yang dilanggar adalah tindak pidana korupsi.
Untuk memahami lebih lanjut tentang masalah ini ada
baiknya mengingat kembali konsep pemidanaan secara lebih
lengkap. Secara umum pemidanaan tidak dimaksudkan untuk
memberikan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat
2 Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
3
manusia. Namun pemidanaan seperti pernah diungkapkan
oleh Lobby Lukman bertujuan untuk:
1. mencegah agar orang tidak melakukan tindak pidana
dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat;
2. memasyarakatkan narapidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadikan orang yang baik dan
berguna;
3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak
pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
4. membebaskan rasa bersalah pada narapidana.3
Sebelum mengetahui latar belakang pembayaran uang
pengganti dalam tindak pidana korupsi, terlebih dahulu harus
diketahui alasan korupsi dijadikan suatu tindak pidana. Hal
ini sangat penting terutama dalam mencari keterkaitan antara
perbuatan yang dijadikan tindak pidana dengan sanksi apa
yang sebaiknya digunakan. Sudarto mengungkapkan bahwa
perbuatan yang diusahakan untuk dicegah dan ditanggungi
dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang
dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian
(materiil dan spiritual) atas warga masyarakat.
3Efi Laila Kholis.Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi. Solusi
Publicsing.Hlm. 6
4
Dalam hal ini dilakukan untuk kesejahteraan dan
pengayoman masyarakat yang harus sejalan pula dengan
tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat
adil dan makmur.4
Mengingat bahwa korupsi telah mengakibatkan
pelaku memperoleh keuntungan finansial dan sebaliknya
negara sebagai korban menderita kerugian finansial. Pada
pokoknya korupsi telah mengakibatkan kemiskinan,
sehingga pelaku korupsi harus dikenakan pidana tambahan
berupa pembayaran uang pengganti.
Dalam konteks pidana tambahan dalam pembayaran
uang pengganti yaitu yang mempunyai unsur merugikan
keuangan negara. Bahwa yang dimaksud dengan merugikan5
adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi
berkurang. Maka yang dimaksud dengan unsur merugikan
keuangan Negara6 adalah menjadi ruginya keuangan negara
atau berkurangnya keuangan negara. Adapun yang
4 Efi Laila Kholos, op-cit.hal 13.
5 R. Wiyono. Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 32. 6 R. Wiyono. Ibid.Hlm. 32.
5
dimaksud dengan Keuangan Negara di dalam penjelasan
umum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Tindak Pidana Korupsi, disebutkan bahwa keuangan negara
adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun yang
dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya
segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban
yang timbul karena.7
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawaban pejabat lembaga negara,
baik tingkat pusat maupun di daerah.
b. Berada dalam penguasaan, pengurusan,
pertanggungjawaban badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan,
badan hukum dan perusahaan yang
menyertakan modal negara, atau perusahaan
yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan negara.
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa dengan adanya
kerugian yang diderita Negara dan berdampak juga pada
7 R. Wiyono .Ibid.Hlm.32.
6
masyarakat, maka untuk mewujudkan keadilan sosial
diperlukan upaya-upaya pengembalian kerugian negara hasil
tindak pidana korupsi. Pengaturan pengembalian kerugian
negara dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yaitu
dengan gugatan perdata.
Dalam hal ini bahwa uang pengganti tidak otomatis
disetorkan ke kas negara, tapi harus didahului upaya
kejaksaan untuk menggugat perdata terpidana. Berdasarkan
proses perdata tersebut diperlukan waktu yang cukup lama
dalam pengembalian keuangan negara. Sedangkan
Pengaturan pengembalian keuangan negara8 hasil tindak
pidana korupsi diatur dalam Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu
pendekatan pidana melalui proses penyitaan dan perampasan.
Berdasarkan pendekatan pidana, maka salah satu cara
yaitu memberikan pidana tambahan. Pidana tambahan diatur
8 Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang mapun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Pasal 1 huruf (1) Undang-undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
7
selain dalam KUHP juga diatur tersendiri dalam Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 diubah menjadi Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
tindak Pidana Korupsi yaitu pengaturannya sebagai
berikut:9
a. perampasan barang bergerak yang berwujud
atau yang tidak berwujud atau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang
bertindak pidana korupsi, termasuk perusahaan
milik terpidana dimana tindak pidana korupsi
dilakukan, begitu pula dari barang-barang yang
menggantikan barang-barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan
untuk waktu paling lama 1 tahun;
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak
tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu, yang telah atau dapat
diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
Pidana tambahan diatur dalam Pasal 18 ayat (1)
huruf a, b, c, d, ayat (2) dan ayat (3)10
. Berdasarkan Pasal-
Pasal di atas , bahwa pidana tambahan wajib dilaksanakan
sesuai dengan Putusan Hakim yang sudah in kracht van
9 Efi Laila Kholis. Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi.(Jakarta: Solusi Publishing. 2010). Hlm 11.
10 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi,
8
gewijsde. Pidana Tambahan bisa dijatuhkan terhadap pelaku
tindak pidana korupsi yang unsurnya merugikan keuangan
negara. Berkaitan dengan pidana tambahan Penulis akan
membahas lebih mendalam mengenai Pidana tambahan yaitu
dengan cara pembayaran uang pengganti.
Definisi pidana pembayaran uang pengganti yaitu
“pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-
banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi.”11
Dalam menentukan dan
membuktikan berapa sebenarnya jumlah “harta benda yang
diperoleh terpidana dari tindak korupsi” tidak hanya
ditafsirkan harta benda yang masih dikuasai oleh terpidana
pada saat putusan pengadilan dijatuhkan tetapi juga harta
benda hasil korupsi yang pada waktu pembacaan putusan
sudah dialihkan terdakwa kepada orang lain.
Berkaitan dengan pelaksanaan pidana pembayaran
uang pengganti, kenyataannya dalam praktik sampai
sekarang belum dapat dilaksanakan secara efektif, karena
11
Pasal 18 UU ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
9
banyak faktor yang menghambat baik dari terpidana,
penegak hukum, hukum dan aturan-aturan pelaksananya.
Dalam pidana tambahan yaitu pembayaran uang pengganti
hasil tindak pidana korupsi sampai saat ini belum bisa
membuahkan hasil yang maksimal.
Berdasarkan penelitian yang di lakukan Penulis di
Kejaksaan Negeri Sragen bahwa dalam kurun waktu 3 (tiga)
tahun kerugian Negara mencapai Rp12.876.761.644 (dua
belas milyar delapan ratus tujuh puluh enam juta tujuh ratus
enam puluh ribu enam ratus empat pulu empat rupiah) dari
putusan hakim .12
Bahwa dari kerugian keuangan negara
tersebut di atas yang baru biasa kembali kenegara yaitu Rp.
648.179.000 (enam ratus juta empat puluh delapan juta
seratus tujuh puluh sembilan ribu rupiah).13
Dari 4 kasus
yang sudah In Kracht Van Gewijsde, 1(satu) orang terpidana
yang membuat pernyataan menjalani pidana subsider dari
12
Data yang di peroleh dari Kejaksaan Negeri Sragen tahun 2011-2013 13
Ibid.
10
pidana tambahan dan 3 orang terpidana membayar uang
pengganti.14
Dalam hal ini pelaksanaan putusan pidana yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, menurut Pasal 270
KUHAP serta Pasal 30 huruf b Undang-undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
dilakukan oleh jaksa selaku eksekutor.
Berdasarkan putusan Hakim yang sudah in kracht
van gewijsde, maka Jaksa Penuntut Umum selaku eksekutor
melakukan penagihan kepada terpidana untuk membayar
uang pengganti. Proses pembayaran uang pengganti tersebut
diatur dalam Pasal 18 ayat (1), (2), dan (3) Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999. Namun berdasarkan studi kasus yang
dilakukan oleh Penulis bahwa Jaksa Eksekutor mengalami
kendala ketika harta benda terdakwa belum diketahui
keberadaannya. Dalam Undang-undang menjelaskan apabila
terpidana tidak membayar uang pengganti , harta bendanya
dapat disita oleh jaksa yang mana tidak boleh melebihi
14
Http://www.antikorupsi.org, Pengadilan masih milik koruptor, diakses tanggal 2 Mei 2006
11
tenggang waktu 1 (satu) bulan. Oleh karena dapat dipahami
bahwa waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang tidak
cukup dalam pencarian aset terpidana , mengingat bahwa
penyitaan tidak dilakukan pada waktu proses Penyidikan.
Dengan kendala tersebut memungkinkan terpidana
kasus korupsi tidak membayar uang pengganti dan memilih
menjalani pidana subsider. Dalam hal ini Penulis melakukan
penelitian di Kejaksaan Sragen yaitu kasus Korupsi atas
nama terpidana H.Untung Sarono Wiyono Sukarno, SH.
Berdasarkan Penelitian penulis bahwa H.Untung Sarono
Sukarno, SH dalam hal ini merugikan keuangan Negara yang
mencapai Rp 10.501.445.352,- berdasarkan tuntutan Jaksa
Penuntut Umum maka hakim berdasarkan Putusan No. 1361
K/Pid.Sus/2012 dalam hal ini menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa antara lain.
1. Dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan
pidana denda sebesar Rp200.000.000,- (dua ratus
juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda
12
tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan
pidana kurungan selama 6 (enam) buan.
2. Membayar uang pengganti sebesar Rp.
10.501.445.352,- (sepuluh milyar lima ratus satu
juta empat ratus empat puluh lima ribu tiga ratus
lima purupiah) dan apabila terdakwa tidak
mempunyai harta benda yang mencukupi, maka
dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun.
Dalam hal ini terpidana H.Untung Sarono wiyono
Sukarno, SH berdasarkan Putusan Hakim tersebut ternyata
memilih membuat pernyataan tidak mampu untuk membayar
uang pengganti dan menjalani pidana subsider. Padahal
terpidana diduga mempunyai harta benda yang mencukupi
untuk membayar uang pengganti, namun Jaksa selaku
eksekutor tidak mengetaui secara jelas dimana letak harta
benda milik Untung Wiyona karena keterbatasan waktu yang
diberikan Undang-undang.
Berdasarkan kasus diatas maka dapat dipahami
bahwa belum ada pengaturan yang lebih jelas ketika
13
terpidana diketahui mempunyai harta benda namun Jaksa
Penuntut umum belum mengetahui letak atau tempat yang
pasti keberadaan aset yang dimiliki untung wiyono,
mengingat undang-undang memberikan waktu tenggang
selama (1) bulan.
Dalam hal ini bahwa mengenai penentuan pidana
pembayaran uang pengganti berpedoman pada Surat Jaksa
Agung No. B -28 / A / Ft.1 / 05 / 2009 tanggal 11 Mei 2009,
mengenai petunjuk kepada jaksa penuntut umum dalam
membuat surat-surat tuntutan yang salah satu diantara
petunjuk adalah mengenai pidana pembayaran uang
pengganti. 15
Sedangkan Tata cara penyelesaian uang
pengganti juga berpedoman pada Surat Jaksa Agung No. B-
020/A/J.A/04/2009.
Berdasarkan pedoman Surat Jaksa Agung sudah
cukup jelas mengatur tentang pidana pembayaran uang
pengganti dan tata cara penyelesaian uang pengganti, namun
dalam hal ini masih mengalami kendala. Kendala yang
15
Efi Laila Kholis. Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi.Jakarta: Solusi Publishing. Hlm 20.
14
dihadapi oleh penegak hukum yaitu pengaturan yang tidak
jelas tentang pembayaran uang pengganti. Selain itu kendala
Jaksa Penuntut Umum yaitu sebagai berikut:16
1. terpidana suda tidak memiliki harta bendanya;
2. terpidana sudah meninggal dan tidak mengetahui
domisinya;
3. kesulitan dalam eksekusi dalam penyitaan aset
karena pada saat penyidikan tidak dilakukan
penyitaan terhadap harta benda.
Dalam hal ini bahwa Putusan Hakim dalam pidana
tambahan yaitu berupa pidana pembayaran uang pengganti
atau pidana subsider. Berdasarkan Pasal 18 ayat (2) dan (3)
pembayaran uang mengganti juga mengalami kelemahan.
Ramelan juga pernah mengungkapkan bahwa Kendalam
dalam penjatuhan pembayaran uang pengganti dalam rangka
penyelesaian keuangan Negara yaitu17
.
1. Kasus korupsi dapat diungkapkan setelah
berjalan dalam kurun waktu yang lama sehingga
sulit untuk menelusuri uang atau harta kekayaan
yang diperoleh dari korupsi.
16
Wawancara JPU kejaksaan Negeri Sragen 1 Januari 2014 17
Efi Laila Kholis. Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi.Jakarta: Solusi Publishing. Op.cit. Hlm 15
15
2. Dengan berbagai upaya pelaku korupsi telah
menghabiskan uang hasil korupsi atau
mempergunakan / mengalihkan dalam bentuk
lain termasuk mengatasnamakan nama orang lain
yang sulit terjangkau hukum.
3. Dalam pembayaran pidana uang pengganti, si
terpidana banyak yang tidak sanggup membayar.
4. Adanya pihak ketiga yang menggugat pemerintah
atas barang bukti yang disita dalam rangka
pemenuhan pembayaran uang pengganti.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (2) yaitu “jika terpidana
tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam 1 (satu) bulan
sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa
dan di lelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Maka
dapat dipahami bahwa kalau terpidana tidak membayar uang
pengganti, harta bendanya dapat disita oleh jaksa yang mana
tidak boleh melebihi tenggang waktu 1 (satu) bulan.
16
Penyitaan dan pelelangan bersifat fakultatif, yaitu baru
dilakukan dalam hal terpidana belum atau tidak membayar
uang pengganti sejumlah yang ditentukan dalam putusan
dalam waktu yang telah ditentukan seperti diatas.18
Penyitaan
terhadap harta benda kepunyaan terdakwa tidak perlu terlebih
dahulu mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat
karena penyitaan ini bukan dalam rangka penyidikan tetapi
dalam rangka pelaksanaan putusan pengadilan. Berdasarkan
Surat Jaksa Agung Nomor B-020/A/J.A/04/2009 tanggal 08
april 2009 bahwa apabila terpidana tidak membayar uang
pengganti, maka JPU membuat Berita Acara Pelaksanan
Putusan Pengadilan Pidana Penjara (Pasal 18 ayat (3))19
.
Dalam Pasal 18 ayat (3) yaitu dijelaskan bahwa apabila
terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti , maka dipidana dengan pidana
penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum
dari pidana pokok sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
18
Efi Laila Kholis.Ibid. Hlm.23. 19
Undang-undang Nomor. 31 tahun 1999 di ubah menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
17
undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan
dalam putusan pengadilan.
Perlu diketahui bahwa tujuan adanya pidana uang
pengganti adalah untuk memidana dengan seberat mungkin
para koruptor agar mereka jera dan untuk menakuti orang lain
agar tidak melakukan korupsi. Bahwa tujuan lainnya adalah
untuk mengembalikan uang negara yang hilang akibat suatu
perbuatan korupsi. Dengan tujuan hukum tersebut akan
tercapai manakala terdapat keserasian antara kepastinan
hukum dengan kesebandingan hukum sehingga menghasilkan
suatu keadilan.20
Oleh karena itu Pidana tambahan harus ada
dan diberikan kepada koruptor. “Bahwa hukum mempunyai 3
(tiga) peranan utama dalam masyarakat, yakni pertama,
sebagai sarana pengendalian sosial; kedua, sebagai sarana
untuk memperlancar proses interaksi sosial; ketiga, sebagai
sarana untuk menciptakan keadilan tertentu.” 21
Berdasarkan pada konsep rasionalitas ini, maka
kebijakan penetapan sanksi dalam pidana tersebut tidak
20
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi. op.cit., Hlm.7.
21 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah.Ibid.halm. 7.
18
terlepas dari penetapan tujuan yang ingin dicapai oleh
kebijakan criminal secara keseluruhan, yakni perlindungan
masyarakat.22
Dengan disebabkanya pidana sebagai sarana
untuk mencapai tujuan itu, maka haruslah dirumuskan
terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat
menunjang tujuan umum tersebut.23
Maka pemidanaan
tersebut kemudian, berorientasi dari tujuan itu untuk
menetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan
dilakukan.
Dengan demikian penggantian uang negara perlu
dilakukan karena korupsi sudah dalam tahap darurat.
Diperlukan kebijakan hukum pidana untuk mengatur tentang
pengembalian uang Negara yang bersifat pemiskinan para
koruptor. Bahwa diperlukan penanganan yang khusus, karena
tindak pidana korupsi sudah masuk tahap yang berbahaya.
22
Efi Laila Kholis. Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi.Jakarta: Solusi Publishing. Hlm 16.
23 Efi Laila Kholis.ibid.Hlm.17.
19
Dengan demikian diperlukan kebijakan hukum pidana yaitu
tahap formulasi, tahap aplikasi dan tahap eksekutif.24
Dalam tahap formulasi bahwa diperlukan perencanaan
dan perumusan peraturan perundang-undangan pidana. Bahwa
dalam hal ini diperlukan pengaturan yang lebih jelas tentang
pembayaran uang pengganti berdasarkan Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Tahap aplikasi yaitu perlunya penerapan dari ketentuan
peraturan perundang-undangan tersebut diatas. Sedangkan
tahap eksekusi sendiri adalah tahap pelaksanaan dari putusan
pengadilan atas perbuatan pidana yang memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Pengembalian keuanga negara bertujuan untuk
memidana dengan seberat mungkin para koruptor agar mereka
jera dan untuk menakuti orang lain agar tidak melakukan
korupsi. Pembembalian uang Negara merupakan salah satu
upaya penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
24
Barda Namawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Hlm. 75.
20
Oleh karena itu Penulis mencoba mengangkat permasalahan
tersebut dan menuangkan dalam penulisan Tesis yang berjudul
“Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pengembalian Kerugian
Keuangan Negara Berupa Pembayaran Uang pengganti Oleh
Terpidana Korupsi”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka
rumusan masalah dalam penulisan tesis ini adalah :
1. Bagaiman Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Berupa
Pembayaran Uang pengganti Oleh Terpidana
Korupsi?
2. Bagaiman Pembaharuan Hukum Pidana Dalam
Pengembalian Kerugian Keuangan negara Berupa
Pembayaran Uang Pengganti Oleh Terpidana
Korupsi?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis
Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pengembalian Kerugian
21
Keuangan Negara Berupa Pembayaran Uang pengganti Oleh
Terpidana Korupsi dan Pembaharuan Hukum Pidana Dalam
Pengembalian Kerugian Keuangan negara Berupa
Pembayaran Uang Pengganti Oleh Terpidana Korupsi.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat dalam penulisan ini adalah hasil penulisan ini
diharapkan dapat digunakan sebagai kontribusi bagi
pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan di
bidang hukum, khususnya Hukum Pidana Korupsi. Manfaat
lain yang diharapkan yakni dari hasil penulisan ini
diharapkan dapat dijadikan acuan yang berharga bagi pihak-
pihak yang terlibat dalam pemeriksaaan tindak pidana
korupsi khususnya dalam pengembalian keuangan negara
melalui pembayaran uang pengganti.
22
E. Kerangka Pemikiran
1. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari
istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda).25
Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah
“kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan
istilah “politik hukum pidana”. Pengertian kebijakan
atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik
hukum maupun dari politik kriminal. Menurut
Prof.Sudarto, Politik Hukum adalah.26
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan
yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi
pada suatu saat.27
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan
yang berwenang untuk menetapkan peraturan-
peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan
25
Barda Nawawi.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta:Kencana Prenadamedia Group.Hlm.26.
26Barda Nawawi. Ibid. Hlm. 26.
27 Barda Nawawi, Op. Cit. Hlm. 26.
23
bisa digunakan untuk mengekspresikan apa
yang terkandung dalam masyarakat dan untuk
mencapai apa yang dicita-citakan.28
Sedangkan tindak pidana korupsi merupakan suatu
fenomena kejahatan yang menggerogoti dan mengganggu
pelaksanaan pembangunan, sehingga penanggulangan
dan pemberantasannya harus di prioritaskan. Akibat
yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi sangat luas
dan berpengaruh buruk terhadap semua bidang,
khususnya bidang perekonomian.
Pengertian korupsi dalam Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat pada
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999. Pengertian lain, korupsi dapat diartikan
sebagai “prilaku tidak mematuhi prinsip”, dilakukan oleh
perorangan di sektor swasta atau pejabat publik. Putusan
dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga,
28
Barda Nawawi, Op. Cit. Hlm. 26.
24
korupsi akan timbul, termasuk juga konflik kepentingan
dan nepotisme.29
Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang
berupa perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara. Yang dimaksud dengan
keuangan negara adalah keseluruhan kekayaan negara
dalam bentuk apa pun, baik yang dipisahkan atau yang
tidak dipisahkan, termasuk segala bagian kekayaan
negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena
berada dalam penguasaan, dan pertanggungjawaban
pejabat lembaga negara, baik tingkat pusat maupun
daerah atau BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum dan
perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian
negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun
sebagai usaha masyarakat secara mandiri yang
29
Marwan Effendy. Korupsi & Strategi Nasional Pencegahan Serta Pemberantasannya. Jakarta Selatan: Referensi.hlm.19
25
didasarkan pada kebijakan pemerintah baik di tingkat
pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan bertujuan untuk
memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan
kepada kehidupan rakyat.
Dengan demikian, perekonomian negara yang
disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan atau masyarakat yang didasarkan pada
kebijakan pemerintah untuk kemakmuran rakyat.30
Menurut Barda Nawawi bahwa Stategi dalam
Pemberantasan Korupsi, bukan pada pemberantasan
korupsi itu sendiri melainkan pemberantasan “kausa dan
kondisi yang menimbulkan terjadinya korupsi”,31
pemberantasan korupsi lewat penegakan hukum pidana
hanya merupakan pemberantasan simptomatik,
sedangkan pemberantasan kausa dan kondisi yang
30
Adami Chazawi. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Malang: Bayu Media Publishing.2005 hal 354.
31 Marwan Effendy. Korupsi & Strategi Nasional Pencegahan Serta Pemberantasannya. Jakarta Selatan: Referensi.hlm.150-151.
26
menimbulkan terjadinya korupsi merupakan
pemberantasan Kausatif.32
2. Pengaturan Pidana Tambahan Dalam Pembayaran
Uang Pengganti
Pidana tambahan selain diatur dalam KUHP juga
diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yaitu sebagai
berikut:
1. perampasan barang bergerak yang
berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan
untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan
milik terpidana dimana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula harga dari
barang yang menggantikan barang-barang
tersebut;
2. pembayaran uang pengganti yang
jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi;
3. penutupan seluruh atau sebagian
perusahaan untuk waktu paling lama 1
tahun;
4. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak
tertentu atau penghapusan seluruh atau
sebagian keuntungan tertentu, yang telah
atau dapat diberikan oleh Pemerintah
kepada terpidana.
32
Marwan Effendy .Ibid.op.cit.hlm 151
27
Sedangkan Pembayaran Uang Pengganti di atur
dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b menentukan bahwa
pidana tambahan dapat berupa pembayaran uang
pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana
korupsi.
Terhadap ketentuan tentang pidana tambahan
yang berupa uang pengganti sebagaiman ditentukan
dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b tersebut, maka perlu
adanya alat-alat bukti antara lain keterangan ahli
(sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf b
KUHAP) yang dapat menentukan dan membuktikan
berapa sebenarnya jumlah harta benda yang diperoleh
terpidana dari tindak pidana korupsi yang dilakukannya.
Hal ini perlu dilakukan karena penentuan pidana
tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti
hanya terbatas sampai sebanyak-banyaknya sama dengan
28
harta yang diperoleh terpidana dari hasil tindak pidana
korupsi.33
Namun dalam hal ini Jaksa penuntut umum juga
dapat menghitung sendiri berapa besar jumlah harta
benda yang diperoleh terpidana dari tindak pidana
korupsi yang dilakukan.
Berdasarkan Pasal 18 ayat (2) yaitu “jika
terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam 1
(satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya
dapat disita oleh jaksa dan di lelang untuk menutupi uang
pengganti tersebut.
Dalam Pasal 18 ayat (3) yaitu dijelaskan bahwa
apabila terpidana tidak mempunyai harta yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti , maka
dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak
melebihi ancaman maksimum dari pidana pokok sesuai
33
P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung:Sinar Baru.Hlm.129.
29
dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya
pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan
pengadilan.
Pengembalian keuangan negara yang bersifat
pemiskinan melalui pembayaran uang pengganti hasil
tindak pidana korupsi, sebagai bagian dari upaya
pemulihan kesejahteraan sosial, merupakan ruang
lingkup kebijakan hukum pidana dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Menurut tokoh ulitarian, Jeremy bentham
pemidanaan harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan,
dan besarnya pidana tidak boleh melebihi jumlah yang
diperlukan untuk mencegah dilukannya penyerangan-
penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya dibenarkan jika
dapat mencegah terjadinya tindak pidana yang lebih
besar. Berdasarkan teori keadilan sosial, pengembalian
keuangan negara pada hakekatnya adalah kewajiban
moral yang merupakan salah satu kebijakan untuk
bertindak dalam rangka mencapai kepentingan umum .
30
Tujuan adanya pidana uang pengganti yang
bersifat pemiskinan adalah untuk memidana dengan
seberat mungkin para koruptor agar mereka jera dan
untuk menakuti orang lain agar tidak melakukan korupsi.
Tujuan lain pidana uang pengganti adalah untuk
mengembalikan uang negara yang hilang akibat suatu
perbuatan korupsi.34
oleh karena itu perlu pengaturan
yang lebih jelas tentang pidana uang pengganti yang
bersifat pemiskinan para koruptor.
3. Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti
Tata cara pelaksanaan putusan pengadilan secara
umum diatur dalam Bab XIX KUHAP, Eksekusi hanya
bisa dilakukan dalam hal putusan telah berkekuatan
hukum tetap.35
Eksekusi dilakukan oleh jaksa
sebagaimana diatur pasal 1 butir 6 jo pasal 270 KUHAP
juncto pasal 30 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
34
Efi Laila Kholis. Pembayaran Uang Pengganti Ddalam Perkara Korupsi. Jakarta: Solusi Publishing.Hlm.17.
35 Efi Laila Kholis. Ibid. Hlm.21.
31
Pidana pembayaran uang pengganti tidak diatur di dalam
KUHAP, pidana ini merupakan salah satu kekhususan
dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Dalam hal hakim menjatuhkan pidana tambahan
berupa pembayaran uang pengganti. Berdasarkan
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, maka terpidana diberi tenggang
waktu satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan
hukum tetap untuk melunasinya. Jika dalam waktu yang
ditentukan tersebut telah habis dan terpidana belum atau
tidak melunasi, maka jaksa sebagai eksekutor Negara
dapat menyita dan melelang harta benda terdakwa (Pasal
18 ayat (2) UUPTPK).
Dalam eksekusi pembayaran uang pengganti ini
Jaksa selaku eksekutor tidak dapat memperpanjang batas
waktu terpidana untuk membayar uang penggantinya
seperti pidana denda yang diatur pada pasal 273 (2)
32
KUHAP.36
Pidana pembayaran uang pengganti dan
pidana denda memiliki sifat yang berbeda hal ini dapat
dilihat bahwa pidana uang pengganti merupakan pidana
tambahan sedangkan pidana denda merupakan pidana
pokok.
Menurut Wiryono dikutip oleh Efi Laila Kholis
dalam bukunya yang berjudul pembayaran uang
pengganti dalam perkara korupsi yaitu walaupun jaksa
tidak memperpanjang tenggang waktu pembayaran tetapi
mengingat bunyi pasal 18 ayat (2) Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka jaksa masih
dapat menentukan tahap-tahap pembayaran uang
pengganti, tetapi tetap tidak melebihi tenggang waktu
satu bulan tersebut.37
Penyitaan dan pelelangan bersifat fakultatif, yaitu
baru dilakukan dalam hal terpidana belum atau tidak
membayar uang pengganti sejumlah yang ditentukan
dalam putusan dalam waktu yang telah ditentukan seperti
36
Efi Laila Kholis.Ibid.22. 37
Efi Laila Kholis. Ibid.Hlm. 22.
33
diatas.38
Dalam Hal ini penyitaan terhadap harta benda
milik terpidana tidak perlu mendapat izin dari Ketua
Pengadilan Negeri setempat karena penyitaan ini bukan
dalam rangka penyidikan tetapi dalam rangka
pelaksanaan putusan pengadilan.
Dalam pasal 18 ayat (3) Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditentukan dalam
hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti dalam
tenggang waktu yang ditentukan ayat (2) maka terpidana
dipidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman
maksimum pidana pokoknya dan pidana tersebut sudah
dicantumkan dalam putusan. Pidana subsider penjara
dalam pasal tersebut terlihat terdapat tiga syarat.39
1. Pidana subsidier baru berlaku dalam hal
terpidana tidak mempunyai harta benda yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti.
Terpidana dalam waktu 1 bulan setelah
putusan memperoleh kekuatan hukum tetap
ternyata tidak mempunyai lagi uang tunai
untuk membayar uang pengganti, juga hasil
38
Efi Laila Kholis. Ibid.23. 39
Efi Laila Kholis. Ibid.23-24.
34
lelang dan harta bendanya tidak mencukupi
untuk membayar uang pengganti.
2. Lamanya pidana penjara pengganti tidak
melebihi ancaman pidana maksimum dari
pasal UU PTPK yang dilanggar terdakwa.
3. Lamanya pidana penjara pengganti telah
ditentukan dalam putusan pengadilan.
Dengan adanya ketentuan tersebut maka juga
menjadi kewajiban hakim dalam putusan
untuk mencantumkan pidana pengganti ini
menghindari apabila uang pengganti tidak
dapat dibayar seluruh atau sebagian.
F. Sistematik Penulisan
Sistematika penulisan tesis ini terbagi ke dalam V
(lima) BAB, adapun urutan tata letak masing-masing adalah
sebagai berikut:
BAB I. Pendahuluan, bahwa pada bab ini akan
diuraikan tentang latar belakang masala, perumusan masalah,
tujuan penulisan, dan manfaat penulisan.
BAB II. Tinjauan Pustaka, dalam bab ini berisi
landasan teori yang akan digunakan sebagai acuan untuk
menganalisis permasalahan terkait dengan Kebijakan Hukum
Pidana Dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara
35
Berupa Pembayaran Uang Pengganti Oleh Terpidana
Korupsi.
BAB III Medote Penelitian, dalam bab ini akan
diuraikan metode yang akan digunakan dalam penulisan
tesis. Metode yang digunakan dalam penulisan ini
menggunakan tipe yuridis normatif dengan pendekatan
Undang-undang (stratute appoach, pendekatan kasus,
pendekatan teori dan conseptual approac. Spesifikasi
penulisan deskriptif analitis, Tehnik pengumpulan data
dalam penelitian tesis ini disusun dengan menggunakan studi
kepustakaan.
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, yang akan
menguraikan hasil penelitian yang relevan dengan
permasalahan dan analisis yaitu menjelaskan kebijakan
hukum pidana pengembalian kerugian keuangan negara
berupa pembayaran uang pengganti yaitu Pasal 18 ayat (1)
huruf a, b dan c, ayat (2) dan ayat (3) dan Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 diubah menjadi Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
36
Pidana Korupsi dengan Surat Jaksa Agung Nomor B-
20/A/J.A/04/2009 dan Surat Jaksa Agung Nomor B-
28/A/Ft.1/05/2009 tanggal 11 Mei 2009.
BAB V Penutup, merupakan penutup yang berisi
kesimpulan dan saran dari hasil penulisan.
Top Related