BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Studi ini bermaksud mengkaji tata kelola penggunaan dana desa, yang
merupakan salah satu sumber pendapatan desa yang langsung berasal dari
anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Kapasitas pemerintah desa
dalam pengelolaan dana desa secara langsung akan berimplikasi pada
pemanfaatan dana desa tersebut untuk kemajuan pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat desa. Kajian ini penting untuk dilakukan karena berdasarkan berbagai
regulasi yang ada, setiap desa di Indonesia mendapatkan alokasi anggaran dana
desa dalam jumlah yang cukup besar. Regulasi tersebut adalah Undang-Undang
No.6 Tahun 2014 tentang Desa, Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014, PP No.
60 Tahun 2014 yang kemudian direvisi menjadi PP No. 22 Tahun 2015. Untuk
tahun 2015 pelaksanaan teknisnya didasarkan pada Peraturan Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No. 5 Tahun 2015, Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.07/2015, Peraturan Menteri Dalam Negeri
No. 113 Tahun 2014, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 114 Tahun 2014, dan
Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi tentang Percepatan
Penyaluran, Pengelolaan dan Penggunaan Dana Desa Tahun 2015. Sedangkan
untuk tahun 2016 didasarkan pada Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi No. 21 Tahun 2015 yang kemudian diubah menjadi
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No. 8
Tahun 2016, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 247/PMK.07/2015, yang
kemudian direfisi menjadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 49/PMK.07/2016,
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 113 Tahun 2014, dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 114 Tahun 2014. Meskipun demikian, pelaksanaan kebijakan
dana desa tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah
desa. Beberapa permasalahan yang terjadi antara lain terlambatnya perencanaan
dan pencairan dana desa, belum maksimalnya keterlibatan masyarakat, dan
penggunaan dana yang masih tidak sesuai dengan peruntukannya. Persoalan-
persoalan ini erat kaitannya dengan kapasitas pemerintah desa yang belum mampu
menciptakan tata kelola dana desa yang baik.
Desa (menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014) adalah wilayah yang
memiliki hak otonomi terkait penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan
wilayah dan pemberdayaan masyarakat. Salah satu fokus utama UU No. 6 Tahun
2014 adalah peningkatan pembangunan di wilayah desa. Oleh sebab itu, desa
diberi kepercayaan untuk menjalankan pemerintahan dan membangun daerahnya
dengan cara mengatur serta mengelola keuangannya sendiri berdasarakan
peraturan yang berlaku. Untuk melaksanakan hal tersebut desa memerlukan
sumber-sumber keuangannya sendiri yang dapat digunakan untuk membiayai
berbagai macam urusan rumah tangganya seperti pendapatan asli desa, bagi hasil
pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, bagian dari dana perimbangan
keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota, bantuan keuangan
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi dan
kabupaten/kota, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga serta
alokasi anggaran dari APBN ke kas desa.
Dana desa dinilai sebagai bentuk kepercayaan pemerintah pusat kepada
desa sebagai pemerintahan otonom yang mampu mengelola anggaranya sendiri.
Dalam tujuannya, dana desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan
pemberdayaan masyarakat desa. Hal ini dimaksudkan agar peningkatan
pelayanan publik di desa dapat terwujud sehingga berdampak pada peningkatan
kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa. Selain itu, dana desa
diharapkan mampu mengatasi kesenjangan pembangunan antar desa serta
memperkuat masyarakat desa sebagai subjek dari pembangunan.
Pemerintah pusat menganggarkan Rp 20,766 triliun untuk dana desa pada
tahun 2015, yang disalurkan dalam tiga tahap penyaluran. Tahap pertama
penyaluran dilakukan pada bulan April sebesar 40%, tahap kedua pada bulan
Agustus sebesar 40% dan tahap ke tiga pada buan November sebesar 20%.
Dalam hal ini, pelaksanaan prioritas penggunaan Dana Desa tahun 2015 diatur
dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi No. 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana
Desa Tahun 2015. Permen tersebut menjelaskan bahwa prioritas penggunaan
dana desa adalah untuk pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.
Sedangakan untuk tahun 2016, pemerintah pusat menganggarkan sebesar Rp 46,
982 triliun. Penyaluran dilakukan pada bulan April sebesar 40%, bulan Agustus
sebesar 40% dan bulan Oktober sebesar 20% dimana pelaksanaan prioritas
penggunaan Dana Desa tahun 2015 diatur dalam Peraturan Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi No. 8 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Permendes PDTT No. 21 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas
Penggunaan Dana Desa Tahun 2016 yang menjelaskan bahwa prioritas
penggunaan dana desa adalah untuk pembangunan desa dan pemberdayaan
masyarakat desa.
Dalam pelaksanaannya, berbagai permasalahan pengelolaan dana desa
terjadi di lapangan. Keterlambatan penyusunan perencanaan baik dalam bentuk
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), Rencana Kerja
Pembangunan Desa (RKPDes), dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBDes) akan berdampak pada terlambatnya proses pencairan dana. Belum
maksimalnya keterlibatan masyarakat dalam penyusunan anggaran dan
pengawasan membuka celah pada penyalahgunaan dana desa. Oleh sebab itu,
dibutuhkan tata kelola dana desa yang baik. Untuk mewujudkan hal tersebut,
maka prinsip-prinsip good governance harus dapat dilakukan mulai tingkatan
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban penggunaan
dana desa.
Pemerintah desa harus dapat memastikan kebijakan dana desa berjalan
sebagai mana mestinya. Namun demikian, keberhasilan pelaksanaan kebijakan
dana desa akan sangat dipengaruhi oleh kapasitas pemerintah desa tersebut.
Secara umum, kapasitas dapat dimaknai sebagai kemampuan untuk menjalankan
fungsi, menyelesaikan masalah, menetapkan, serta mencapai tujuan.1 Dengan
kata lain pemerintah desa harus memiliki kapasitas yang baik untuk melaksanakan
tugas dan fungsi yang dibebankan kepadanya. Selain itu, pemerintah desa harus
mampu menetapkan dan menjalankan berbagai kebijakan yang ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta menyelesaikan berbagai masalah
yang terkait dengan tugas pokoknya.
Kapasitas merupakan sebuah esensi dan basis otonomi (kemandirian)
desa.2 Dalam hal ini, kapasitas tidak hanya dipandang sebagai kemampuan
sumber daya manusia semata namun juga merupakan sesuatu yang sistemik dan
manajerial. Kapasitas pemerintah desa juga berkaitan dengan proses interaksi
yang terjadi antara pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD),
lembaga-lembaga masyarakat seperti Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa
(LPMD), karang taruna, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan lembaga
lainnya, beserta warga desa tersebut. Dengan demikian, kapasitas pemerintah
desa tidak dapat dilihat hanya dengan mengandalkan sisi pekerjaan rumah
pemerintah desa dalam menjalankan peraturan dan perintah dari supra desa,
namun juga bagaimana kemampuan pemerintah desa untuk menghadirkan ruang
partisipasi. Oleh sebab itu, kapasitas pemerintah desa dapat dibagi menjadi
kapasitas teknokratik dan kapasitas politik.
1 Sakiko Fukuda-Parr, Carlos Lopes, dan K. Malik, Overview: Institutional Innovation for
Capacity Development (New York: Earthscan-UNDP, 2002), dikutip dalam StéphaneWillems dan
Kevin Baumert, Institutional Capacity and Climate Actions (Paris: OECD, 2003), 5.
2 Sutoro Eko, dkk., Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa (Yogyakarta: IRE, 2005),
105.
Kapasitas teknokratik berupa kemampuan pemerintah dalam hal teknis
seperti pengelolaan perencanaan, anggaran, administrasi, dan lain sebagainya.
Sedangkan kapasitas politik berupa kemampuan pemerintah memberikan ruang
politik kepada masyarakat untuk aktif dan berpartisipasi dalam proses kebijakan.
Kapasitas teknokratik yang baik tanpa disertai dengan kapasitas politik nantinya
hanya akan membawa sistem pemerintahan yang otoriter dan tertutup karena tidak
adanya partisipasi dari masyarakat. Sedangkan kapasitas politik yang baik tanpa
disertai dengan kapasitas teknokratis nantinya akan berpengaruh pada tidak
berjalannya pembangunan daerah sesuai dengan aturan yang ada. Oleh karena itu,
baik kapasitas teknokratik maupun kapasitas politik dilihat sebagai sebuah
kesatuan yang mempengaruhi kemampuan pemerintah dalam menjalankan
pemerintahan dan mengembangkan daerah. Dengan demikian, semakin baik
kapasitas teknokratik dan kapasitas politik yang dimiliki pemerintah dalam
melakukan tata kelola desa maka semakin baik pula output yang dihasilkan dari
pelaksanaan kebijakan, begitu pula sebaliknya.
Kapasitas pemerintah khususnya pemerintah desa selama ini lebih
banyak diukur berdasarkan kemampuan menjalankan regulasi yang ada bukan
diukur dengan keberhasilan mewujudkan visi dan misi desa. Kondisi ini
berdampak pada terbatasnya ruang gerak pemerintah desa dalam mewujudkan
inovasi pemerintahan di tingkat lokal. Hal ini merupakan efek sentralisasi yang
cukup lama dianut dalam pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia.
Perubahan sistem sentralisasi menjadi desentralisasi yang diikuti pelaksanaan
otonomi di tingkat desa tidak serta merta merubah kapasitas dan kualitas
pemerintah desa dalam menjalankan pemerintahannya. Nyatanya, hingga
sekarang kondisi tersebut masih terjadi dibanyak desa di seluruh Indonesia
sehingga berpengaruh pada pelaksanaan tata kelola desa tidak terkecuali pada tata
kelola kebijakan dana desa.
Dalam kasus pengelolaan dana desa, dari total penyaluran dana desa
tahun 2015 sebesar Rp 20,766 triliun, Kabupaten Banyumas mendapatkan alokasi
dana sebesar Rp 89,291 miliar yang dibagikan kepada 301 desa yang ada, dimana
Desa Rawalo mendapatkan total dana sebesar Rp 298.160.825,00. Sedangkan
untuk tahun 2016 dana desa yang dianggarkan dari APBN sebesar Rp 46,98
triliun, dimana Kabupaten Banyumas mendapatkan Rp 200,450 miliar yang
kemudian dialokasi untuk Desa Rawalo sebesar Rp 671.057.490,00. Desa Rawalo
adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas,
Jawa Tengah. Wilayah desa yang dilewati oleh jalan raya nasional jalur selatan
Pulau Jawa dan biasa dilalui kendaraan dengan rute Bandung – Yogyakarta
menjadikan Desa Rawalo sebagai salah satu desa yang cukup maju baik dalam
aspek pembangunan maupun perekonomian. Posisinya yang berada di pusat kota
kecamatan menjadi nilai tambah tersendiri akan kemudahan akses informasi. Hal
ini dapat dilihat sebagai keuntungan bagi pemerintah Desa Rawalo untuk
menjalankan tugas dan fungsinya dengan lebih baik.
Jika melihat dari potensi yang dimiliki oleh Pemerintah Desa Rawalo
berupa infomasi maupun infrastruktur yang ada, seharusnya penggunaan dana
desa di Desa Rawalo dapat difungsikan sesuai dengan peraturan yang ada.
Namun pada pelaksanaannya, penggunaan dana desa di Desa Rawalo tidak
sepenuhnya sesuai dengan prioritas penggunaan yang telah diatur. Berbagai
permasalahan seperti kurangnya profesionalitas pemerintah dalam penyusunan
berbagai dokumen pemerintahan, rendahnya transparansi penetapan pihak ketiga
dalam pelaksanaan program pembangunan dengan dana desa, kurang
proposionalnya pembagian dana desa, rendahnya kerja sama pemerintah dengan
lembaga desa yang ada, serta kurangnya keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan dana desa mewarnai pengelolaan dana desa di Desa Rawalo. Apa
yang terjadi di Desa Rawalo ini menarik untuk diteliti, ketika berbagai kemudahan
informasi yang dimiliki pemerintah desa nyatanya tidak berkorelasi pada baiknya
proses tata kelola dana desa. Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Desa
Rawalo saja, banyak desa lain yang juga memiliki persoalan yang sama. Oleh
sebab itu, apa yang terjadi di Desa Rawalo memberikan peluang untuk dilakukan
generalisasi di wilayah lainnya.
Untuk memahami pengelolaan dana desa di Desa Rawalo maka pintu
masuk utama yang harus dituju adalah melihat bagaimana kapasitas pemerintah
desa mengawal perencanaan pengelolaan dana desa yang dilakukan pada
tingkatan Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan Desa (Musrenbang).
Kemudian, bagaimana pelaksanaan kebijakan dana desa dilakukan di Desa
Rawalo, dimana adanya pengawasan dari masyarakat dan pihak-pihak terkait
lainnya menjadi pendorong kesuksesan pelaksanaan dana desa. Selanjutnya,
pertanggung jawaban Pemerintah Desa Rawalo terkait penggunaan dana desa
kepada pemerintah diatasnya menjadi penting untuk dilakukan sebagai gambaran
seberapa baik kebijakan dana desa dilakukan di desa tersebut. Permasalahan
pengelolaan dana desa yang terjadi di Desa Rawalo kemungkinan besar erat
kaitannya dengan kurangnya kapasitas pemerintah baik teknokratik maupun
politik dalam menjalankan tata kelola pemerintahan. Dengan demikian
selanjutnya penelitian ini berusaha untuk memahami bagaimana penggunaan dana
desa di Desa Rawalo yang dilihat sebagai dampak dari kapasitas pemerintah
menjalankan tata kelola yang ada.
1.2. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah, peneliti membangun pertanyaan
penelitian sebagai berikut: Mengapa kapasitas pemerintah Desa Rawalo buruk
dalam pengelolaan dana desa?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Memahami dinamika pelaksanaan tata kelola dana desa di Indonesia.
2. Mengetahui bagaimana kapasitas pemerintah desa berpengaruh terhadap
pelaksanaan kebijakan dana desa.
3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas pemerintah desa
dalam tata kelola dana desa.
1.4. Literatur Review
Literatur review ini dimaksudkan untuk memetakan posisi penelitian
yang dilakukan dengan menelusuri hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan
sasaran penelitian. Tulisan mengenai kapasitas pemerintah bukanlah sebuah hal
baru. Telah banyak penulis dan peneliti yang menjadikan kapasitas pemerintah
sebagai objek kajiannya. Berikut penelitian terdahulu yang dijadikan literatur
review dalam penelitian ini.
Novita Sari, dkk., menulis jurnal mengenai pengembangan kapasitas
kelembagaan pemerintah daerah pada Kantor Pelayanan dan Perijinan Terpadu
(KPPT) di Kabupaten Kediri.3 Tulisan ini membahas kapasitas kelembagaan di
KPPT dalam tiga level yaitu : 1) dimensi pengembangan kapasitas individu
berupa pemberian bimtek dan diklat, pemberian motivasi saat apel dan rapat, juga
pengadaan komitmen bersama antara kepala daerah, kepala KPPT, dan staf KPPT;
2) dimensi organisasi yang berupa pemberian jabatan dalam struktur organisasi
yang sesuai dengan kemampuan, adanya prosedur kerja yang sesuai dengan SOP,
pemberian sarana dan prasarana yang memadai; 3) dimensi sistem seperti
penyusunan regulasi dan kebijakan di tingkat daerah yang menjadi pedoman kerja
KPPT.
Sejalan dengan Novita Sari, dkk, Hanif Nurcholis membahas upaya
pengembangan kapasitas pemerintah daerah (pemda).4 Dalam tujuannya untuk
menciptakan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kapasitas tidak hanya
dibutuhkan oleh aparatur pemda namun juga oleh anggota DPRD. Hal ini dapat
dilakukan dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu pengembangan sumber daya
3 Novita Sari, Irwan Noor, dan Wima Yudho Prasetyo, “Pengembangan Kapasitas
Kelembagaan Pemerintah Daerah dalam Meningkatkan Kualitas Pelayanan Perijinan Terpadu
(Studi pada Kantor Pelayanan dan Perijinan Terpadu Kabupaten Kediri),” Jurnal Administrasi
Publik (JAP), Volume 2, No. 1 (2014).
4 Hanif Nurcholis, “Pengembangan Kapasitas Pemda: Upaya Mewujudkan Pemda yang
Menyejahterakan Masyarakat,” Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 1, No. 1 (2005).
manusia, pengembangan kelembagaan, dan pengembangan sistem yang
diwujudkan dengan cara pengembangan keterampilan, pelatihan, dan pendidikan
politik bagi aparatur pemda dan anggota DPRD. Tidak hanya itu, pemda juga
dituntut untuk mengetahui, mencari dan mengembangkan potensi yang ada
sebagai modal utama dalam menyejahterakan masyarakat. Menurut Hanif
Nurcholis, dengan adanya pengembangan kapasitas maka akan tercipta pemda
yang kompetens dan excellent dalam pelayanan publik sehingga berdampak
positif pada kesejahteraan masyarakat.5
Sementara itu, tesis yang ditulis oleh Simon Yopeng pada tahun 2009
berusaha menjawab pertanyaan penelitian mengenai bagaimana kapasitas
pemerintah Distrik Kiwirok dalam melaksanakan fungsi pemberdayaan
masyarakat.6 Sebagai agen intermediari, Pemerintah Distik Kiwirok memiliki
kapasitas potensial untuk melaksanakan fungsi pemberdayaan masyarakat melalui
setting regulasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Namun kapasitas
potensial tersebut belum dapat diaplikasikan secara optimal. Hal ini dipengaruhi
oleh adanya empat masalah kapasitas yaitu masalah kapasitas di level sistemik,
masalah di level institusi, masalah di level individu, dan masalah di level
lingkungan. Meskipun Pemerintah Distrik Kiwirok memiliki kapasitas yang
rendah, namun pelaksanaan fungsi pemberdayaan masyarakat tetap berjalan walau
hasilnya kurang optimal. Dalam pelaksanaannya, terdapat dua strategi
5 Ibid., 57.
6 Simon Yopeng, “Kapasitas Pemerintah Distrik Kiworok dalam Melaksanakan Fungsi
Pemberdayaan Masyarakat (Studi Tentang Kapasitas Pemerintah Distrik Kiworok dalam
Melaksanakan Fungsi Pemberdayaan Masyarakat di Distrik Kiworok Kabupaten Pegunungan
Bintang Provinsi Papua)” (Tesis, FISIP Universitas Gadjah Mada, 2009).
pemberdayaan masyarakat yang dilakukan yaitu dengan pelaksanaan tugas
musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) dan pelaksanaan program
rencana strategis pemberdayaan kampung (respek) tahun 2007. Ketiga literatur
diatas membantu penulis untuk lebih memahami mengenai dimensi kapasitas baik
di level individu, organisasi dan sistem. Dari ketiga literatur diatas peneliti
mendapatkan gambaran riil bagaimana penggunaan dan penerapan dimensi
kapasitas pada penelitian yang akan dilakukan. Penelitian yang ditulis Simon
Yopeng bahkan menambahkan lingkungan sebagai dimensi yang penting untuk
diperhatikan. Ini dapat digunakan untuk membantu peneliti dalam memahami
dimensi eksternal yang mempengaruhi kapasitas.
Andi Samsu Alam dan Ashar Prawitno menulis mengenai pengembangan
kapasitas di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone.7 Tulisan ini
melihat upaya peningkatan kapasitas birokrasi dari tiga indikator yaitu kapasitas
sumber daya fisik, kapasitas proses oprasional, dan kapasitas sumber daya
manusia. Dalam kapasitas sumber daya fisik, ada empat indikator yang menjadi
parameter penilaian yaitu kapasitas struktur, kapasitas keuangan, kapasitas sarana
dan prasarana, kapasitas perangkat hukum (aturan). Peningkatan kapasitas proses
oprasional diukur dengan indikator kapasitas prosedur kerja, kapasitas budaya
kerja, dan kapasitas kepemimpinan. Sedangkan kapasitas sumber daya manusia
diukur dengan indikator kapasitas pengetahuan pegawai, keterampilan pegawai,
perilaku dan etika kerja para aparatur yang ada di lingkungan Dinas Kehutanan
7 Andi Samsu Alam dan Ashar Prawitno, “Pengembangan Kapasitas Organisasi dalam
Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Bone,”
Government: Jurnal Ilmu Pemerintahan, Volume 8, No. 2 (2015).
dan Perkebunan. Literatur tersebut dapat dijadikan salah satu contoh bagi peneliti
agar lebih mudah mengelompokkan indikator-indikator yang akan digunakan
untuk melihat kapasitas pemerintah desa dalam pengelolaan dana desa.
Disisi lain, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Rahmad pada tahun
2006 di Kecamatan Pontianak Selatan mengenai kapasitas pemerintah kecamatan
dalam memberdayakan ekonomi masyarakat lokal.8 Meskipun secara
kelembagaan kecamatan tidak didesain untuk menjalankan tugas-tugas sektoral
seperti yang dilakukan dinas dan lembaga teknis daerah, namun Kecamatan
Pontianak Selatan telah mengoptimalkan kapasitas potensial yang ditujukan untuk
memberdayakan usaha kecil sektor informal. Optimalisasi kapasitas potensial
yang telah dilakukan adalah: 1) Kecamatan melaksanakan tugas fasilitasi yang
bersumber dari tugas pokok dan fungsi seksi ekonomi dan pembangunan; 2)
Melaksanakan mekanisme musrenbang secara bottom up dalam rangka menyusun
rencana pembangunan daerah untuk menggali potensi, kebutuhan dan partisipasi
masyarakat dibidang pembangunan ekonomi; 3) Melaksanakan kebijakan
pemerintah daerah yang berupa Program Pengembangan Kecamatan (PPK) tahun
2002/2003 yang secara khusus menempatkan kecamatan sebagai tim kordinator
dalam upaya peningkatan usaha ekonomi mikro melalui penguatan modal usaha;
4) Melaksanakan kewenangan yang diserahkan oleh kepala daerah dan sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang No. 30 tahun 2004 untuk mengelola anggaran
satuan kerja kecamatan. Upaya yang dilakukan Kecamatan Pontianak Selatan
8 Rahmad, “Kapasitas Pemerintah Kecamatan dalam Memberdayakan Ekonomi Masyarakat
Lokal (Studi Tentang Identifikasi Kapasitas Potensial yang Dimiliki Kecamatan dalam rangka
Memberdayakan Usaha Ekonomi Sektoral Informal di Kecamatan Pontianak Selatan Kota
Pontianak)” (Tesis, FISIP Universitas Gadjah Mada, 2006).
dalam melaksanakan keempat kapasitas potensial yang ada pada dasarnya sudah
berjalan dengan baik. Namun terdapat beberapa kendala yang dihadapi seperti
masalah kewenangan kecamatan yang masih terbatas untuk melakukan ekspansi
akses pada institusi yang berada di luar struktur kecamatan, kualitas aparatur
kecamatan yang rendah dan dukungan masyarakat yang kurang, serta masih
rendahnya limitasi alokasi APBD kepada anggaran satuan kerja kecamatan.
Sementara itu, tim peneliti dari Pusat Studi Kependudukan dan
Kebijakan UGM telah mengeluarkan laporan mengenai kinerja tata pemerintahan
daerah di Indonesia.9 Penelitian ini dilakukan di sepuluh pemerintah provinsi di
Indonesia. Kinerja tata pemerintahan dalam penelitian tersebut dilihat dalam
enam indikator yaitu kemampuan memenuhi hak-hak politik warga, kemampuan
menyelenggarakan pelayanan publik, kemampuan mengendalikan korupsi,
kemampuan mewujudkan stabilitas politik, kemampuan membuat perda yang
sehat, dan kemampuan menegakkan hukum. Penelitian ini menghasilkan temuan
bahwa upaya memperbaiki kinerja tata pemerintahan di daerah masih menghadapi
banyak tantangan. Secara umum, pemerintah daerah di Indonesia masih belum
berhasil memenuhi harapan dari para pemangku kepentingan dalam mewujudkan
tata pemerintahan yang baik. Profil kinerja secara keseluruhan menunjukkan
kemampuan pemerintah provinsi untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik
masih belum memenuhi harapan publik dan pemangku kepentingan yang ada
didaerah. Kedua tulisan di atas membantu peneliti untuk memahami lebih jauh
9 Agus Dwiyanto, dkk., Kinerja Tata Pemerintahanan Daerah di Indonesia (Yogyakarta:
PSKK UGM, 2007).
bagaimana kapasitas teknoktarik dan kapasitas politik dilihat dalam gambaran
kasus nyata yang terjadi di lapangan.
Sutoro Eko dkk, dalam buku Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa
juga telah membahas mengenai pentingnya kapasitas dalam proses pembangunan
desa.10
Kapasitas dipandang sebagai komponen sentral kemandirian desa namun
kemampuan yang dimiliki desa sangat terbatas sehingga yang terjadi adalah
ketergantungan desa kepada pemerintah. Oleh sebab itu dibutuhkan adanya
penguatan kapasitas desa. Pendekatan tradisional yang memandang kapasitas
sebagai penopang desentralisasi tidak efektif dilaksanakan, sebaliknya
desentralisasi dan penguatan kapasitas bisa berjalan bersama bahkan mampu
menjadi cara yang baik untuk membangun kapasitas lokal. Selama ini, desa
memiliki kapasitas yang lemah dikarenakan konstruksi sosial masyarakat yang
tidak relefan dengan pengembangan kapasitas desa yang mana desa memang tidak
disiapkan untuk menjadi siap dalam melaksanakan otonominya. Selain itu,
jabatan perangkat desa tidak dipahami sebagai sebuah tantangan untuk
menciptakan inovasi dan perubahan, namun dipandang sebagai kedudukan yang
dekat dengan kekuasaan, kekayaan dan hak istimewa. Sentralisme yang telah
lama dipraktikan juga mempengaruhi rendahnya kapasitas desa. Hal ini
diperparah dengan tidak adanya keseriusan pemerintah supra desa dalam
mengembangkan kapasitas desa melalui kebijakan yang agendatif dan
berkelanjutan. Oleh sebab itu dibutuhkan adanya pengembangan kapasitas desa
baik kapasitas regulasi, kapasitas ekstraksi (mengelola aset-aset desa), kapasitas
10 Sutoro Eko, dkk., Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa (Yogyakarta: IRE, 2005).
distributif dalam membagi sumberdaya, kapasitas responsif, serta kapasitas
jaringan dan kerjasama. Tulisan Sutoro Eko mengenai lima kapasitas yang harus
ada dalam pengembangan kapasitas desa nantinya dapat digunakan untuk
memperjelas sejauh mana kapasitas teknokratik dan kapasitas politik yang
dimiliki oleh pemerintah desa dalam pengelolaan dana desa.
Dari beberapa tulisan yang telah dipaparkan di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa riset-riset mengenai kapasitas pemerintah daerah bukanlah hal
yang baru. Namun kebanyakan riset-riset tersebut hanya melihat kapasitas
pemerintah daerah dari segi kemampuan teknokratiknya. Meskipun tidak
membagi dan memberi lebel kapasitas pemerintah kecamatan sebagai kapasitas
teknokratik dan kapasitas politik, tulisan Rahmad11
secara tidak langsung
mengkaji mengenai kedua kapasitas tersebut yang dimiliki oleh Pemerintah
Kecamatan Pontianak Selatan. Laporan dari tim peneliti PSKK UGM12
lebih jelas
mengkaji kapasitas teknokratik, kapasitas politik dan juga kapasitas lainnya yang
dimiliki pemerintah daerah di sepuluh propinsi di Indonesia. Sedangkan tulisan
Sutoro Eko dkk. memfokuskan pada mengapa penguatan kapasitas desa
diperlukan dan bagaimana penguatan tersebut dapat dilakukan. Sepengetahuan
penulis, kajian yang membahas mengenai kapasitas teknokratik disertai dengan
kapasitas politik masih jarang ditemui. Selain itu, belum ada tulisan yang
membahas mengenai kapasitas teknokratik dan kapasitas politik yang dimiliki
11 Rahmad, “Kapasitas Pemerintah Kecamatan dalam Memberdayakan Ekonomi
Masyarakat Lokal (Studi Tentang Identifikasi Kapasitas Potensial yang Dimiliki Kecamatan dalam
rangka Memberdayakan Usaha Ekonomi Sektoral Informal di Kecamatan Pontianak Selatan Kota
Pontianak)” (Tesis, FISIP Universitas Gadjah Mada, 2006).
12 Agus Dwiyanto, dkk., Kinerja Tata Pemerintahanan Daerah di Indonesia (Yogyakarta:
PSKK UGM, 2007).
pemerintah daerah di tingkat desa. Sehingga kemudian perlu dikaji lebih
mendalam melalui penelitian ini.
1.5. Kerangka Teori: Kapasitas Pemerintah Desa dan Tata Kelola Dana
Desa
Sebagai landasan posisi penelitian, kerangka teori juga menjadi alat
untuk menjelaskan bagaimana kapasitas pemerintah desa dalam pelaksanaan tata
kelola dana desa dapat dipahami. Adapun konsep dan teori yang digunakan akan
dijabarkan dibawah ini.
Untuk memahami apa itu kapasitas pemerintah desa, maka sebelumnya
pengertian mengenai pemerintah desa harus dipahami terlebih dahulu. Menurut
UU No. 6 Tahun 2014, pemerintah desa adalah Kepala Desa atau yang disebut
dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggaraan
pemerintahan desa.13
Dalam hal ini, pemerintah desa memiliki tugas
menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa,
pembinaan kemasyarakatan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Selain itu,
UU No. 6 Tahun 2014 juga mengatur mengenai kewenangan dan hak yang
dimiliki oleh pemerintah desa untuk menjalankan tugas-tugasnya. Dengan kata
lain, pemerintah desa adalah Kepala Desa beserta aparat desa yang menjalankan
pemerintahan desa sesuai dengan tugas dan kewenangan yang dimilikinya.
Dalam pelaksanaan pemerintahan desa, kapasitas yang dimiliki
pemerintah desa menjadi penting untuk diperhatikan. Kapasitas dapat diartikan
13 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, pasal 1 ayat 3.
sebagai kemampuan aktor-aktor (individu, kelompok, organisasi, negara) untuk
mewujudkan fungsi atau tujuan tertentu secara efektif, efisien dan
berkesinambungan.14
Sejalan dengan hal tersebut, Anneli Milèn mengartikan
kapasitas sebagai ability of individuals, organisations or systems to perform
appropriate functions effectively, efficiently and sustainably (kemampuan
individual, organisasi, dan sistem untuk menjalankan dan mewujudkan fungsi-
fungsinya secara efektif, efisien dan berkelanjutan).15
Beberapa akademisi
berpendapat bahwa pengertian kapasitas dengan kapabilitas adalah sama. Teece,
Pisano dan Shuen memberikan definisi kapabilitas sebagai seperangkat
keterampilan yang berbeda, aset pelengkap, dan rutinitas yang memeberikan dasar
untuk kapasitas kompetitif organisasi dan keuntungan yang berkelanjutan dalam
usaha tertentu.16
Secara sederhana, kapasitas dapat diartikan sebagai kemampuan
berupa keterampilan maupun aset yang dimiliki aktor-aktor untuk mencapai
tujuan tertentu. Dalam hal ini, kapasitaslah yang nantinya mempengaruhi
tindakan yang diambil oleh seseorang atau organisasi.
Kapasitas yang dimiliki negara atau pemerintah dapat dilihat dari
aktifitas yang dilakukan dalam menjalankan pemerintahannya. Bowman dan
Karney17
menyatakan bahwa:
14 Laporan Akhir Penyusunan Pedoman Diklat Teknis Bagi Pegawai Pemda Kabupaten
Sleman, Konkorsiun (Yogyakarta: PT. Widya Graha Asana-PSPPR UGM-CEISS, 2008), 3.
15 Anneli Milèn, What Do We Know About Capacity Building?An Overview of existing
knowledgr and good practice (Geneva: Department of Health Service Provision WHO, 2001), 4.
16 D.J. Teece, G. Pisano dan A. Shuen, Firm Capabilities, Resources and the Concept of
Strategy (California: Center for Research In Management University of California, 1990), 509,
dalam Belaova Kusumasari, Manajement Bencana dan Kapabilitas Pemerintah Lokal
(Yogyakarta: Gava Media, 2014), 44-45.
17 Ann O’M. Bowman dan Richard C. Kearney, “Dimension of State Government
Capability,” The Western Political Quarterly, Vol 41, No. 2 (1988): 343.
“State government capability has at its core the selection and
development of institutional arrangements to carry out a board range of
activities. Our devinition includes three activities that most salient for
state goverment: (1) to respond effectively to change; (2) to make
decisions efficiently, effectively (i.e., rationally) and responsively; and
(3) to manage conflict. (state government capability memiliki inti
pemilihan dan pengembangan dari penyusunan institusi untuk
mengangkat suatu jangkauan aktivitas-aktivitasnya. Definisi kami
termsuk tiga area yang paling menonjol dalam pemerintah negara yaitu:
1) pemberian respon secara efektif pada perubahan, 2) pembuatan
keputusan secara efisien, efektif (rasional), dan responsif, dan 3)
pengelolaan konflik.)”
Pengertian ini dapat digunakan untuk melihat kapasitas pemerintah desa.
Sebagai pelaksana pemerintahan, pemerintah desa diharapkan mampu
menjalankan fungsinya secara optimal. Hal ini hanya dapat dicapai jika para aktor
didalamnya memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan, mampu
menghadapi hambatan dan menemukan solusi untuk permasalahan yang
dihadapinya. Pemerintah desa juga diharapkan mampu untuk memanfaatkan
sumber daya yang ada secara optimal sehingga tujuan yang ditetapkan dapat
tercapai. Berkaitan dengan konsep mengenai kapasitas di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa kapasitas pemerintah desa adalah kemampuan pemerintah desa
untuk menjalankan fungsi dan tugas-tugasnya, menyelesaikan masalah,
menetapkan kebijakan dengan menggunakan kewenangan dan sumber daya yang
dimiliki secara optimal untuk mencapai tujuan.
Cara mudah yang dapat digunakan untuk memahami kapasitas
pemerintah desa adalah dengan melihatnya dalam beberapa indikator. Kapasitas
pemerintah desa bekerja pada tiga level yang saling terkait yaitu: 18
1. Level individu, yaitu tingkat keterampilan dan kualifikasi individu berupa
uraian pekerjaan, motivasi dan sikap kerja.
2. Level organisasi, yaitu tingkat kemampuan badan atau lembaga dengan
struktur organisasi tertentu, proses-proses kerja, dan budaya kerja.
3. Level sistem, yaitu tingkat yang menetapkan kondisi-kondisi kerangka yang
memungkinkan (enabling) dan yang membatasi (constraining) bagi
pemerintah, dan dimana berbagai komponen sistem berinteraksi satu sama
lain.
Ketiga indikator kapasitas di atas biasanya digunakan oleh banyak peneliti sebagai
dimensi dan fokus pengembangan kapasitas. Namun dalam penelitian ini, ketiga
indikator tersebut akan digunakan untuk memperjelas dan mempermudah dalam
melihat kapasitas yang dimiliki pemerintah Desa Rawalo dalam pelaksanaan Dana
Desa tahun 2015.
Selama ini, kapasitas pemerintah umumnya lebih banyak dilihat dari sisi
kemampuan teknokratik pemerintah dalam menjalankan pemerintahan. Dalam hal
ini, kapasitas teknokratik dapat diartikan sebagai pengetahuan dan keterampilan
para pelaku desa dalam hal pengelolaan perencanaan, penganggaran keuangan,
18 Sutoro Eko, dkk., Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa (Yogyakarta: IRE, 2005),
108.
administrasi, sistem informasi dan sebagainya.19
Tidak jauh berbeda, Sutoro Eko,
dkk. juga memandang kapasitas adalah konsep yang sangat teknokratik yang
didalamnya mengandung esensi keahlian, keterampilan, profesionalitas,
efektivitas, efisiensi kinerja, dan seterusnya.20
Namun demikian, kinerja
pemerintah tidak hanya dipengaruhi oleh kapasitas teknokratik yang dimilikinya.
Pemerintah desa juga membutuhkan kapasitas politik dalam menjalankan
pemerintahannya.
Kapasitas politik yang dimiliki pemerintah desa pada dasarnya
merupakan sebuah usaha untuk melegitimasi dan memperkuat otonomi lokal.
Oleh sebab itu, kemampuan pemerintah dalam memenuhi hak-hak politik
masyarakat dalam proses kebijakan publik dan mengelola konflik menjadi penting
untuk dilakukan. Governance Assessment Survey (GAS 2006)
menyatakan
bahwa setiap warga negara yang demokratis memiliki hak politik yang dijamin
oleh pemerintahnya.21
Demokrasi merupakan solusi terbaik untuk menata ulang
hubungan antar desa dengan warga atau antara pemimpin desa dengan warga
masyarakat.22
Oleh sebab itu, masyarakat memiliki hak untuk ikut menyampaikan
aspirasi baik dalam proses pengambilan keputusan maupun menyampaikan
keluhan dan kritik dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik.
19 Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian
Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, Buku Acuan
Kepemimpinan Desa, (Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi Republik Indonesia, 2015), 28.
20 Suroto Eko, dkk., Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa, (Yogyakarta: IRE Press,
2005), 108.
21 Agus Dwiyanto, dkk, Kinerja Tata Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Yogyakarta:
PSKK UGM, 2007), 13.
22 Sutoro Eko, dkk., Desa Membangun Indonesia, (Yogyakarta: FPPD, 2014), 139-140.
Sutoro Eko, dkk. menyebutkan bahwa untuk mengembangkan kapasitas
desa dengan mengikuti pendekatan yang sistemik dalam proses politik dan
pemerintahan terdapat lima bentuk kemampuan (kapasitas) desa yang dapat
digunakan yaitu kapasitas regulasi, kapasitas ekstraksi, kapasitas distributif,
kapasitas responsif, serta kapasitas jaringan dan kerjasama.23
Lima bentuk
kemampuan tersebut dapat digunakan untuk membahas kapasitas yang dimiliki
pemerintah desa. Dalam hal ini kelima kapasitas di atas akan dibagi dan
dikelompokkan berdasarkan kapasitas teknokratik dan kapasitas politik. Hal ini
berguna untuk mempermudah dan memperjelas cara melihat kapasitas teknokratik
dan kapasitas politik yang dimiliki pemerintah desa dalam tata kelola dana desa.
Dalam kaitannya untuk menerangkan kapasitas teknokratik maka bentuk
kapasitas desa yang dapat digunakan antara lain adalah:
1. Kapasitas regulasi (mengatur), yang berupa kemampuan pemerintah desa
mengatur kehidupan desa beserta isinya (wilayah, kekayaan dan penduduk)
dengan peraturan desa, berdasarkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat
setempat; dan
2. Kapasitas ekstraksi, kemampuan mengumpulkan, mengerahkan dan
mengoptimalkan aset-aset desa untuk menopang kebutuhan (kepentingan)
pemerintah dan warga masyarkaat desa. Dimana setidaknya ada enam aset
yang dimiliki desa yaitu aset fisik (kantor desa, balai desa, balai dusun, jalan
desa, dll), aset alam (tanah, sawah, hutan, perkebunan, dll), aset manusia
(penduduk dan SDM), aset sosial (kerukunan warga, gorong royong, lumbung
23 Suroto Eko, dkk., Prakarsa Desentralisasi dan Otonomi Desa, (Yogyakarta: IRE Press,
2005), 115-116.
desa, dll), aset keuangan (tanah kas desa, BUMDes, dll), serta aset politik
(lembaga-lembaga desa, kepemimpinan, forum warga, BPD, renstra, perdes,
dll).
3. Kapasitas distributif, yaitu kemampuan pemerintah desa membagi sumber
daya desa secara seimbang dan merata sesuai dengan prioritas kebutuhan
masyarakat desa.
Ketiga kapasitas diatas nantinya akan dielaborasi dengan prinsip tata kelola
berupa:
a. Akuntabilitas, akuntabilitas adalah suatu derajat yang menunjukkan besarnya
tanggung jawab aparat atas kebijakan maupun proses pelayanan publik yang
dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah.24
Dalam hal ini pemerintah desa
harus mampu mempertanggungjawabkan tindakan dan keputusan yang
diambil baik kepada pemerintah supra desa, masyarakat maupun stakeholder
lainnya. Akuntabilitas pemerintah desa dalam pengelolaan dana desa dapat
dilihat dari ada tidaknya tujuan dan sasaran yang jelas mulai perencanaan
hingga pelaksanaan kegiatan, ada tidaknya sistem pencatatan yang jelas,
akurat dan sederhana terkait pengelolaan dana desa, serta ada tidaknya
mekanisme pertanggungjawaban baik kepada pemerintah supra desa maupun
kepada masyarakat.
24 Wahyudi Kumorotomo, “Pelayanan yang Akuntabel dan Bebas dari KKN” dalam
Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, editor Agus Dwiyanto (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2005), 101-102.
b. Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan
kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.25
Profesionalitas pemerintah desa dalam pengelolaan dana desa dapat dilihat
dari apakah pemerintah desa mampu menjalankan kebijakan dana desa sesuai
peraturannya.
c. Keadilan, seluruh masyarakat berhak mendapatkan perlakuan yang adil dan
kesempatan yang sama untuk meningkatkan kesejahteraannya.26
Dalam
pengelolaan dana desa maka keadilan dapat dilihat dari apakah pelaksanaan
kebijakan yang tidak berpihak pada daerah atau kelompok tertentu.
Sedangkan untuk menerangkan kapasitas politik, bentuk kapasitas desa
yang dapat digunakan antara lain adalah:
1. Kapasitas responsif, kemampuan untuk peka atau memiliki daya tanggap
terhadap aspirasi atau kebutuhan warga masyarakat untuk dijadikan sebagai
basis dalam perencanaan kebijakan pembangunan desa.
2. Kapasitas jaringan dan kerja sama, kemampuan pemerintah dan warga
masyarakat desa mengembangkan jaringan kerjasama dengan pihak-pihak
luar dalam rangka mendukung kapasitas ekstraktif.
Untuk melihat seperapa baik kapasitas politik yang dimiliki oleh pemerintah desa
maka prinsip-prinsip tata kelola berupa:
25 Lembaga Administrasi Negara, Penerapan Good Governance di Indonesia, (Jakarta:
LAN, 2007), 33.
26 Agus Sutiono dan Ambar Teguh Sulistiyani, “Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur
Pemerintah Dalam Birokrasi Publik di Indonesia” dalam Memahami Good Governance
DalamPrespektif Sumber Daya Manusia, editor Ambar Teguh Sulistiyani (Yogyakarta: Gava
Media, 2004), 23.
a. Partisipasi, partisipasi dapat dipahami sebagai proses ketika warga, sebagai
individu maupun kelompok sosial dan organisasi mengambil peran serta ikut
mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kebijakan-
kebijakan yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka.27
Partisipasi
yang baik adalah ketika masyakat memiliki kesadaran untuk ikut aktif
berpartisipasi dalam proses kebijakan publik. Namun kenyataannya, warga
khususnya di pedesaan memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam proses
kebijakan publik. Partisipasi publik bukan merupakan fenomena yang
muncul dengan sendirinya, melainkan didorong oleh kesadaran dari struktur
maupun kultur yang terdapat atau diciptakan dalam masyarakat itu sendiri.28
Oleh karena itu, dalam pengelolaan dana desa pemerintah memiliki
kewajiban untuk memunculkan partisipasi warga yang dapat diwujudkan
melalui musrenbang desa dan media partisipasi lainnya.
b. Transparansi, berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang
berkepentingan terhadap setiap informasi terkait (seperti berbagai peraturan
dan perundang-undangan, serta kebijakan pemerintah) dengan biaya yang
minimal.29
Dengan transparansi dimungkinkan dilakukannya evaluasi oleh
politisi dan masyarakat.30
Dalam hal ini pemerintah dituntut untuk terbuka
27 Hetifah Sj Sumarto, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif
dan Partisipatif di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), 17.
28 Saiful Arif, “Partisipasi, Demokrasi dan Pembangunan” dalam Partisipasi Warga dalam
Pembangunan dan Demokrasi, editor Happy Budi Febriasih (Malang: Averroespress, 2012), 42
29 Max H. Pohan, Mewujudkan Tata Pemerintahan Lokal yang Baik (Local Good
Governance) dalam Era Otonomi Daerah, dalam bappenas.go.id [online] (22 Februari 2017);
diakses dari <http://bappenas.go.id/files/7813/5022/6072/goodgov-
musibanyuasin__20091008103033__2165__0.pdf>.
30 Samodra Wibawa, Reformasi Administrasi Bunga Rampai Pemikiran Administrasi
Negara/Publik, (Yogyakarta: Gava Media, 2005), 241.
dan menjamin akses informasi kepada seluruh pihak mengenai pelaksanaan
kebijakan mulai dari perencanaan, pengelolaan anggaran, hingga evaluasi
pelaksanaan kebijakan. Ada tiga faktor utama dalam transparansi31
yaitu: 1)
ketersediaan data/informasi yang akurat, komprehensif, dan terkini; 2)
kemudahan mengakses data/informasi; serta 3) keseragaman data/informasi
yang disampaikan. Dalam pengelolaan dana desa, ketiga hal ini dapat dilihat
dari ketersediaan berbagai media informasi baik berupa pemberitahuan pada
papan pengumuman, media online, maupun pemberian informasi kepada
pihak-pihak yang dapat menyebarkan informasi kepada masyarakat (tetua
desa, lsm, dll).
Baik kapasitas teknokratik maupun kapasitas politik dipengaruhi oleh
kondisi internal dan eksternal yang ada di sekitar pemerintah desa. David J.
Lawless menggolongkan faktor yang mempengaruhi efektivitas organisasi
(pemerintah desa) menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal
dapat digolongkan kedalam perorangan (individu), kelompok (group), dan faktor-
faktor organisasi (organizational factors). Sedangkan faktor-faktor internal
organisasi lain dan makro sistem yang mempengaruhi organisasi yang
bersangkutan disebut sebagai faktor-faktor eksternal.32
Sutarto menyebutkan
bahwa faktor internal meliputi keseluruhan faktor yang ada dan berkaitan dengan
organisasi itu sendiri, dimana terdapat sekelompok orang yang melakukan
aktivitas kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu dan faktor-faktor itu saling
31 Kelembagaan, dalam bappenas.go.id [online] (22 Februari 2017); diakses dari <
http://www.bappenas.go.id/files/4913/5078/6556/15.pdf>.
32 David J. Lawless, Effective Management: Social Psychological Approach, (New Jersey:
Prentice Hall Inc., 1972), 397.
mempengaruhi.33
Dengan kata lain faktor internal pemerintah desa adalah segala
hal yang mempengaruhi kapasitas pemerintah dan berasal dari dalam diri
pemerintah desa. Faktor-faktor tersebut seperti pengalaman kerja, pendidikan dan
pelatihan yang dimiliki oleh aparat pemerintah desa, kondisi kerja, dan tujuan
organisasi yang ingin dicapai. Sedangkan kondisi eksternal adalah keadaan atau
situasi yang terjadi di luar diri pemerintah desa. Faktor eksternal mencakup
semua jaringan hubungan-hubungan pertukaran dengan sejumlah organisasi dan
melibatkan diri dalam transaksi-transaksi dengan tujuan untuk memperoleh
dukungan, mengatasi hambatan, melakukan pertukaran-pertukaran sumber daya,
menata lingkungan, organisasi yang kondusif, proses transformasi nilai, inovasi
maupun norma sosial yang ada.34
Dalam hal ini faktor eksternal yang
mempengaruhi kapasitas pemerintah desa dalam pengelolaan dana desa adalah
faktor kemajuan teknologi informasi, political oppurtunity akibat perubahan
peraturan perundangan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, melihat kapasitas
pemerintah desa dalam mengelola dana desa maka kondisi internal dan eksternal
yang mempengaruhinya perlu juga untuk diperhatikan.
Dengan demikian, penulis dalam penelitian ini ingin menegaskan bahwa
kapasitas desa tidak hanya dimaknai dengan kapasitas teknokratik yang dimiliki
pemerintah desa namun juga adanya kapasitas politik yang ditujukan untuk
memenuhi hak-hak politik dalam pelaksanaan demokrasi. Dalam konteks
penelitian ini, kerangka teori yang telah diuraikan diatas akan dijadikan sebagai
33 Sutarto, Dasar-Dasar Organisasi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998),
41.
34 Joseph W. Eaton, Institution Building and Development: From Cocepts to Application,
(California: Sage Publications Inc., 1972), 23.
alat untuk mendapatkan penjelasan bagaimana kapasitas yang dimiliki pemerintah
mempengaruhi pelaksanaan tata kelola dana desa tahun 2015 di Desa Rawalo.
1.6. Definisi Konseptual dan Definisi Operasional
1.6.1. Definisi Konseptual
Dalam memberikan arahan pada variabel penelitian ini, maka perlu
dilakukan generalisasi atas fenomena yang abstrak secara empiris yang terdapat
pada variabel tersebut. Oleh karena itu, dikemukakan beberapa definisi konsep
sebagai berikut:
1. Dana desa adalah salah satu sumber pendapatan desa yang dananya langsung
berasal dari APBN.
2. Pemerintah desa adalah Kepala Desa beserta aparat desa yang menjalankan
pemerintahan desa.
3. Kapasitas pemerintah desa adalah kemampuan pemerintah desa menjalankan
tugas dan fungsinya, menyelesaikan masalah, menetapkan kebijakan dengan
menggunakan kewenangan dan sumber daya yang dimiliki secara optimal
untuk mencapai tujuan dalam pelaksanaan pemerintahan di desa.
1.6.2. Definisi Operasional
Definisi konsep yang ada dioperasionalkan kedalam indikator-indikator,
sehingga mampu menggambarkan dan menjelaskan gejala-gejala yang dapat diuji
kebenarannya. Dalam penelitian yang akan dilakukan, definisi operasionalnya
adalah:
1. Tata kelola desa dalam penggeloaan dana desa dapat dilihat mulai dari tahap
dari pembuatan realisasi pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBDes), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan
Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes); kemudian pelaksanaan dan
pengawasan program; dan pertanggung jabawan pemerintah desa terkait
pengelolaan dana desa.
2. Kapasitas pemerintah desa dapat bekerja pada tiga level kapasitas yang saling
terkait yaitu level individu, level organisasi dan level sistem.
3. Kapasitas pemerintah desa dalam pengelolaan dana desa dapat dibagi menjadi
kapasitas teknokratik dan kapasitas politik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
dalam gambar berikut ini:
Gambar 1: Klasifikasi Kapasitas Pemerintah Desa
4. Faktor-faktor internal yang mempengaruhi kapasitas pemerintah desa dapat
dilihat dari pengalaman kerja, pendidikan dan pelatihan, kondisi kerja, dan
tujuan organisasi yang dimiliki oleh pemerintah desa.
5. Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi kapasitas pemerintah desa dapat
dilihat dari kemajuan teknologi informasi dan political oppurtunity akibat
perubahan peraturan perundangan.
1.7. Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dinamika pelaksanaan tata
kelola dana desa di Indonesia, khususnya di Desa Rawalo, Kecamatan Rawalo,
Kabupaten Banyumas. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui
bagaimana kapasitas pemerintah desa berpengaruh terhadap pengelolaan dana
desa serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas pemerintah
desa dalam tata kelola dana desa. Sesuai dengan tujuannya, maka metode
penelitian yang akan digunakan adalah metode kualitatif agar data-data yang
didapatkan lebih lengkap dan akurat. Dengan demikian, maka pendekatan
penelitian yang akan digunakan adalah pendekatan studi kasus. Dalam hal ini
studi kasus digunakan agar kasus yang ada dapat terjelaskan secara intensif,
mendalam, mendetail, dan komprehensif. Dengan menggunakan pendekatan studi
kasus, diharapkan peneliti akan menemukan alasan yang mempengaruhi kapasitas
pemerintah desa dalam pengelolaan dana desa.
Dalam penelitian kualitatif, terdapat dua maksud dalam penetapan fokus
penelitian yaitu sebuah upaya untuk membatasi studi dan berfungsi untuk
memenuhi kriteria inklusi-ekslusi suatu informasi yang diperoleh di lapangan.
Fokus penelitian yang dilakukan adalah mengenai kapasitas pemerintah desa
dalam tata kelola dana desa. Dimana penelitian ini nantinya akan mengambil
lokasi di Kabupaten Banyumas dengan situs penelitiannya di Desa Rawalo.
Alasan pengambilan situs penelitian tersebut karena Desa Rawalo merupakan ibu
kota Kecamatan Rawalo dengan pembangunan infrastruktur yang maju karena
dilewati oleh jalan raya propinsi yang ramai. Hal ini seharusnya menjadikan Desa
Rawalo sebagai salah satu desa yang mudah dalam mengakses berbagai informasi,
tidak terkecuali mengenai kebijakan dana desa. Namun pada kenyataannya,
pengelolaan kebijakan dana desa tidak sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang
ada. Hal ini semakin terlihat jelas jika membandingkan penggunaan dana desa di
Desa Rawalo dengan desa-desa lain yang berada di Kecamatan Rawalo.
Sasaran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Kepala Desa
Rawalo dan perangkatnya; 2) Anggota BPD; 3) Anggota lembaga masyarakat; 4)
Pihak swasta yang menjalankan pembangunan fisik; dan 5) Masyarakat di Desa
Rawalo. Informan dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan teknik
purposive sampling yang dilakukan dengan cara memilih informan yang dianggap
mengetahui informasi yang berkaitan dengan penelitian secara mendalam dan
dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang akurat. Dalam hal ini, pemilihan
informan tidak berdasarkan kuantitas tetapi kualitas dari informan yang akan
diteliti.
Terdapat karakteristik yang digunakan dalam pemilihan informan.
Karakteristik informan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu informan
utama dan informan pembanding. Informan utama berfungsi untuk memberikan
informasi-informasi yang ingin diketahui peneliti. Sedangkan informan
pembanding berfungsi untuk validasi data sehingga kebenaran akan informasi
yang diberikan oleh informan utama dapat dipertanggung jawabkan. Informasi
yang diperoleh dari para informan penelitian selanjutnya dikumpulkan sebagai
sebuah data. Data merupakan hal yang paling dibutuhkan saat melakukan
penelitian. Data-data yang di dapatkan dari lapangan kemudian diolah untuk
dijadikan laporan penelitian. Dalam pengumpulan data terdapat jenis dan sumber
data yang di gunakan. Jenis data dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan
data sekunder. Sedangkan sumber data utama adalah kata-kata dan tindakan dari
para informan penelitian baik informan utama maupun informan pembanding.
Untuk sumber data sekundernya adalah foto-foto dokumentasi serta dokumen-
dokumen lainnya yang terkait dengan kapasitas pemerintah Desa Rawalo dalam
pelaksanaan tata kelola dana desa tahun 2015 dan 2016.
Dalam proses pengumpulan data di lapangan terdapat teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian. Adapun teknik
pengumpulan data tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu :
1) Wawancara mendalam (indepth interview), yang dilakukan untuk mudahkan
peneliti mendapatkan hasil yang diharapkan terkait dengan kapasitas
pemerintah dalam tata kelola dana desa di Desa Rawalo. Untuk mendapatkan
data yang mendalam, teknik wawancara dilakukan pada saat informan
memiliki waktu senggang sehingga keseluruhan data dapat terkumpul;
2) Observasi yang dilakukan saat peneliti mengamati situs penelitian dan calon
informan dalam penelitian. Setelah itu, dilanjutkan dengan mengobservasi
aspek-aspek yang berkenaan dengan fokus penelitian. Observasi ini
dilakukan untuk memvalidasi informasi yang didapat melalui wawancara
mendalam;
3) Dokumentasi dengan cara mengumpulkan data yang berasal dari buku-buku,
jurnal-jurnal, arsip-arsip, foto-foto, film, ataupun dokumen lain yang dapat
memperkaya data yang berhubungan dengan fenomena yang ada. Dengan
adanya data yang berasal dari dokumen-dokumen maka peneliti lebih mudah
untuk menguji, menafsirkan bahkan meramalkan fenomena yang terjadi.
Penggunaan wawancara, observasi dan dokumentasi ditujukan agar data yang
diperlukan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan kapasitas pemerintah dalam
tata kelola dana desa di Desa Rawalo dapat terkumpul dengan lengkap.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
kualitatif deskriptif dengan model analisis interaktif. Model tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2: Model Analisis Interaktif35
35 Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber
Tentang Metode-Metode Baru (Jakarta: UI Press, 1992), 20.
Dari gambar tersebut, dapat diketahui bahwa tahapan dalam analisis interaktif
dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Pengumpulan data, merupakan proses awal dari keseluruhan rangkaian
analisis data. Pada tahapan ini, data yang berupa hasil wawancara, observasi
dan dokumentasi disusun secara teratur dalam bentuk kata-kata yang sangat
banyak sebelum nantinya dianalisa. Kontekstualisasi pengumpulan data
dilakukan peneliti saat mewawancarai informan penelitian di situs penelitian.
Selain itu, pengumpulan data juga dilakukan peneliti saat mengobservasi situs
penelitian dan mengumpulkan dokumentasi penelitian.
2) Agar mempermudah proses menganalisa, maka satu persatu dari data yang
telah dikumpulkan perlu dipilah-pilah kembali untuk memperoleh data mana
yang relevan dan mana yang tidak. Oleh karena itu, diperlukan langkah
berikutnya yaitu reduksi data. Reduksi data merupakan proses pemilihan,
pemusatan dan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan
transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan,
sehingga peneliti memilih dan memfokuskan data yang relevan dengan
pemisahan data. Reduksi data dilakukan saat peneliti membuat coding hasil
penelitian dan coding dokumen;
3) Penyajian data, yaitu suatu kegiatan yang menyediakan perencanaan kolom
data dalam bentuk matriks gambar atau skema dan tabel bagi data kualitatif
dalam bentuk khusus secara sistematis. Kegiatan ini dilakukan untuk
mempermudah peneliti menyajikan data yang didapat di lapangan, karena
jumlahnya dan terlalu banyak. Dengan demikian, peneliti dapat melihat apa
yang sedang terjadi dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar
ataukah melangkah melalui analisis. Kontekstualisasi penyajian data
dilakukan saat peneliti menulis laporan penelitian dan membuat berbagai
tabel serta skema yang menggambarkan kapasitas pemerintah dalam tata
kelola dana desa di Desa Rawalo,
4) Penarikan kesimpulan, yaitu kegiatan mencari arti benda-benda, mencatat
keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin,
alur sebab-akibat dan preposisi untuk kemudian mengikat lebih rinci serta
mengakar dengan kuat. Dalam hal ini, penarikan kesimpulan dilakukan saat
peneliti membuat kesimpulan di akhir laporan penelitian dari keseluruhan
proses penelitian yang telah dilaksanakan.
Perincian tersebut menunjukan bahwa tahap pengumpulan data merupakan bagian
integral dari kegiatan analisis data. Hal ini dimaksudkan untuk memahami dan
mendapatkan pengertian yang mendalam, komprehensif, dan rinci sehingga
menghasilkan kesimpulan sebagai hasil pemahaman penelitian.
Untuk menjamin validitas data yang diperoleh, maka digunakan
triangilasi sumber. Triangilasi sumber dilakukan dengan pemeriksaan kebenaran
hasil wawancara dibandingkan dengan isi dokumen atau sebaliknya. Dalam hal
ini peneliti lebih memilih cara membandingkan data hasil pengamatan dengan
data hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan informan penelitian di
depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi kepada peneliti,
membandingkan keadaan dan perspektif informan utama dengan berbagai
pendapat dan pandangan informan pembanding, serta membandingkan hasil
wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan dengan kapasitas yang
dimiliki pemerintah desa dalam melakukan tata kelola dana desa di Desa Rawalo
tahun 2015.
1.8. Sistematika Bab
Bab I. Pendahuluan: Bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah,
beserta literatur review, kerangka teori, dan metode penelitian. Di dalamnya
bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada pembaca tentang pokok
permasalahan yang disertai dengan bagaimana landasan pemikiran yang
digunakan dan cara bekerjanya teori tersebut.
Bab II. Peta Umum Kebijakan Dana Desa: Bab ini memiliki misi
untuk menjelaskan setting kebijakan dana desa tahun 2015 dan 2016 baik yang
berupa tata cara pengelolaan hingga permasalahan yang terjadi di tingkat nasional
hingga tingkat desa sebagai pelaksana dana desa.
Bab III. Karakteristik Desa, Dimensi dan Fokus Kapasitas
Pemerintah Desa: Bab ini memiliki misi untuk memaparkan profil Desa Rawalo
dan dimensi kapasitas yang dimiliki Pemerintah Desa Rawalo baik di tingkat
individual, tingkat organisasi, maupun tingkat sistem.
Bab IV. Kapasitas Pemerintah Desa Rawalo dalam Tata Kelola
Dana Desa: Bab ini memiliki misi untuk memaparkan bagaimana kapasitas yang
dimiliki pemerintah Desa Rawalo dalam melaksanakan tata kelola dana desa
tahun 2015. Dalam bab ini kapasitas pemerintah akan dibagi menjadi dua macam
yaitu kapasitas teknokratik dan kapasitas politik. Kedua Kapasitas tersebut
nantinya akan dilihat dan dijelaskan dengan menggunakan prinsip-prinsip tata
pemerintahan yang ada. Selain itu, bab ini akan membahas mengenai faktor-
faktor yang mempengaruhi kapasitas pemerintah desa dalam pengelolaan dana
desa.
Bab V. Penutup: Bab ini berisikan catatan penutup berupa kesimpulan
hasil analisis.
Top Related