1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penelitian ini akan mengkaji seluk-beluk altruisme yang sangat melekat
pada citra non-state actors seperti INGOs/NGOs dan kaitannya dengan karakter
kosmopolit untuk menjelaskan penyebab mengapa INGOs mau melibatkan diri
untuk menolong ‗the distant others‘. Selama ini, NGOs dikenal sebagai aktor
yang memiliki citra sebagai penyelamat bagi kelompok-kelompok rentan dan
dirugikan (Wang 2010: 207-208), termasuk di antaranya fringe community1 seperti
komunitas masyarakat adat. Kajian mengenai masyarakat adat dalam Hubungan
Internasional semakin didalami karena menawarkan alternatif baru dalam
menjelaskan hubungan antara manusia dan alam yang melampaui pandangan yang
berpusat pada negara (state-centric). (Corntassel dan Woons, 2018).
Dalam kaitannya dengan masyarakat adat yang terpinggirkan bahkan di
negaranya sendiri, aktor-aktor seperti INGOs/NGOs hadir sebagai ―magic bullet‖
yang lebih fleksibel, berkomitmen dan responsif terhadap komunitas yang
1 fringe community adalah konsep yang awalnya berdimensi spasial dan merujuk pada wilayah
tidak berpenghuni (unincorporetaed territory) yang berada dalam jarak pengaruh wilayah kota.
Tetapi berseiring dengan semakin meluasnya dampak globalisasi, konsep fringe community dan
juga fringe stakeholders, secara luas juga dipakai untuk merujuk kelompok-kelompok atau
komunitas pinggiran yang tidak beruntung dan justru mengalami dampak negatif globasliasi (lihat
misalnya, Matthew Murphy & Daniel Arenas, ―Through Indigenous Lenses: Cross—Sector
Collaborations with Fringe Stakeholders‖, Journal of Business Ethics, 2010, Vol. 94, pp. 103-121;
Jacob Vakkayil, ―Resistance and integration: Working with capitalism as its fringes‖,
M@n@gement, 2017, vol. 20(4): 394-417.)
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
2
menjadi targetnya, serta ―quick fix‖ berupa solusi inovatif dan cepat untuk
masalah-masalah yang ditanganinya. (Lewis dan Opoku, 2006: 666; Werker dan
Ahmed, 2007: 4). Pada umumnya, NGOs berisi anggota dan relawan altruistik
yang mengupayakan tujuan mulia sesuai dengan ideologi tertentu dan tidak
mengejar keuntungan finansial belaka. Semisal dalam kasus NGOs yang bergerak
dalam sektor masyarakat adat biasanya erat dengan ideologi-ideologi indigenism-
nya. Para founder NGOs pada umumnya adalah individu-individu kreatif, peduli,
dan berjiwa sosial tinggi. Bahkan karena sisi altruisme yang melekat itu, tak
jarang para founder dan anggota NGOs yang miskin dan bahkan berstatus
anonim. (Werker dan Ahmed, 2007).
Namun demikian, tentu ada sejumlah pendapat lain yang bertolak belakang
dengan asumsi umum terkait altruisme NGOs/INGOs tersebut. Altruisme NGOs
tak jarang hanya dianggap sebagai ‗retorika‘ belaka, (Lewis dan Opoku, 2006:
627) dan pandangan NGOs/INGOs sebagai aktor altruistik dianggap sebagai
persepsi yang terlalu optimistis (Heiss dan Kelley, 2017: 3). Menurut perspektif
neo-realis, ‗altruisme‘ tidak begitu relevan dalam Hubungan Internasional. Negara
yang dipandang sebagai aktor utama lebih memilih self-help dibanding
mempercayai adanya altruisme aktor lain dalam sistem internasional yang anarki.
(Brown dkk, 1995: 383-384). Kekuatan institusi atau organisasi menurut
pandangan kaum neo-realis juga tidak begitu besar dan jika institusi ingin
mengubah motif negara dari yang mulanya berorientasi self-interest ke altruistik,
maka tentunya itu merusak asumsi dasar dari neo-realisme. (Brown dkk, 1995:
411).
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
3
Di era globalisasi yang semakin meleburkan batas-batas negara, tentu
perspektif yang state-centric dianggap tidak begitu relevan lagi. Globalisasi
sangat erat kaitannya dengan liberal worldview yang di satu sisi memang dapat
memberi platform bagi fringe community termasuk masyarakat adat untuk
menyuarakan kepentingannya, meningkatkan pengaruh politiknya, atau mendapat
sorotan di level internasional melalui advokasi INGOs/NGOs, kelompok
lingkungan, aktivis HAM, dsb (Naim, 2003). Namun demikian, di sisi lain
seringkali liberal worldview justru hanya membahas mengenai dampak positif
dari globalisasi dan mengabaikan dampak negatifnya. Aktor-aktor yang semakin
kuat dalam globalisasi justru didominasi oleh negara dan korporasi yang sama-
sama berkepentingan untuk memperoleh kekuasaan di tingkat global. (IRD,
2011).
Di Indonesia, masyarakat adat yang tergolong sebagai fringe community
telah mengalami peminggiran baik dalam bentuk kekerasan, kriminalisasi, dan
perampasan sumber daya yang menyebabkan kemiskinan bahkan sejak Indonesia
merdeka. Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUUP) yang sedang
dirumuskan oleh DPR dinilai sangat ‗liberal‘ dan akan mempermudah pemerintah
serta korporasi untuk merampas lahan-lahan adat dengan dalih pembangunan.
Tidak hanya semakin terpinggirkan, terusir dari tanah adatnya, bahkan bisa
memicu konflik di lahan adat. (AMAN, 2019). Akhir-akhir ini juga marak
disuarakan tentang bagaimana Omnibus Law atau RUU Cipta Lapangan Kerja
(RUU CiLaKa) mendukung dan mempermudah investasi di Indonesia sehingga
dianggap berpotensi merugikan masyarakat adat dan lingkungan hidup, (AMAN,
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
4
2020). Omnibus Law juga beresiko menyebabkan semakin masifnya perusahaan-
perusahaan yang akan mengambil alih hutan dan lahan adat untuk kepentingannya
tanpa mempedulikan kondisi masyarakat adat yang terdampak, keanekaragaman
hayati di dalamnya, dan juga bagaimana peran besar hutan dalam mencegah serta
mengurangi dampak climate change yang tengah menjadi isu global saat ini.
Gambar Peta Kepulauan Mentawai
Sumber: Google Maps dan mapsof.net/Indonesia/mentawai-islands-topography
Salah satu masyarakat adat di Indonesia yang mendapat sorotan sampai ke
tingkat internasional adalah Suku Mentawai di Sumatera Barat, Indonesia. Selain
karena terkenal dengan sektor pariwisata surfing dan keunikan budaya masyarakat
adat nya, (Henry, 2012: 1) banyak pula orang asing yang tertarik mempelajari
budaya masyarakat adat Mentawai dan bahkan membentuk organisasi non-profit
untuk melestarikan budaya adat tersebut. Hal ini tak terlepas dari fakta jika
masyarakat adat yang telah ada sejak 500 SM (Mongabay 2017) ini, kini justru
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
5
harus berjuang untuk survive di tengah gerusan arus globalisasi. (Henry, 2012: 1).
Modernisasi semakin menggerus tradisi dan pengetahuan adat, di mana sekitar
93.8% siswa dan 89.9% komunitas adat Mentawai di Matatonan mengaku tidak
belajar cukup tentang Arat Sabulungan yang telah beribu tahun lamanya
dipertahankan oleh leluhur dan tetuah adat. (Henry, 2012: 16). Selain itu,
masyarakat adat acapkali diabaikan posisinya karena identik dengan kelompok
terbelakang dan menghambat pembangunan, padahal mereka jugalah yang selama
ini memiliki kearifan dalam menjaga hutan dan alam. (Balairung Press, 2018).
Dalam ―Transforming Our World: the 2030 Agenda for Sustainable
Development‖ United Nations, sebanyak 73 dari 169 target memiliki keterkaitan
dengan UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples. Karena itulah
pelestarian budaya dan lahan masyarakat adat sangat krusial untuk diupayakan
sehingga kedepannya masyarakat global bisa belajar dari mereka tentang
pengetahuan, kebijaksanaan maupun keselarasannya dengan alam. (Indigenous
Education Foundation, 2019). Dengan bermitra bersama masyarakat adat,
lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat adat termasuk INGOs bisa belajar
pengetahuan, budaya adat, dan kebijaksanaan ekologi tradisional mereka dalam
melestarikan keanekaragaman hayati demi masa depan planet bumi yang kian
lama semakin memburuk kondisinya. (Indigenous Education Foundation, 2019).
Sejumlah INGOs/NGOs yang pernah tercatat terlibat dalam perjuangan
pelestarian hak-hak masyarakat adat diantaranya seperti Native Planet, A Perfect
Foundation, Indigenous Education Foundation (IEF), Sinchi Foundation, Suku
Mentawai Cultural Education Foundation, dsb. Dalam penelitian ini, penulis
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
6
fokus pada salah satu organisasi yang sampai saat ini masih aktif dan
berkolaborasi dengan NGO lokal Yayasan Pendidikan Budaya Mentawai (YPBM)
yaitu Indigenous Education Foundation (IEF). Pada mulanya, Rob Henry selaku
founder IEF telah hidup di Mentawai sejak tahun 2008 dengan melakukan
penelitian dan dokumentasi terkait dampak pergeseran budaya adat di Mentawai.
Dengan mendengar langsung dari komunitas adat, akhirnya dibuatlah
pemberdayaan komunitas adat dengan pendekatan capacity-building.
―IEF was built from the ground up to empower a marginalised community
in the Mentawai Islands, whom had initiated a strategy to reconnect with
their Indigenous culture but lacked important resources to get their
program off the ground‖. (IEF - Our Foundation).
Jika melihat sekilas dari penjelasan di atas, tentu motif IEF yang paling
kuat terlihat adalah altruisme berupa kepedulian terhadap fringe community
(komunitas adat) di Mentawai. Namun demikian, menurut sejumlah hasil
penelitian, nyatanya justru banyak NGOs berbasis pasar (market-based NGOs)
yang diciptakan atau disetir oleh para ‗donor‘ dengan visi yang berorientasi pada
pembangunan neoliberal. Hal ini jelas berkebalikan dengan citra NGOs yang
independen dan sangat berorientasi pada kelompok akar rumput (Hemment, 2004:
215 dalam Heiss dan Kelley, 2017: 4). Terkait dengan hal ini, para donor dari
INGOs/NGOs yang bergerak dalam sektor masyarakat adat mengalami benturan
antara memperjuangkan pelestarian budaya dan lahan adat, atau sebaliknya
mengompromikan permintaan dari pada ‗donor‘ untuk memasukkan agenda
pembangunan neoliberal dan modernisasi. Terlebih kian lama NGOs/INGOs
semakin saling bersaing dalam ‗harsh Darwinian marketplace‘ untuk mendapat
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
7
sorotan, simpati dan pendanaan. (Bob, 2002: 37 dalam Heiss dan Kelley, 2017: 5).
Berdasarkan penelusuran awal penulis, sejumlah NGOs seperti Native Planet
yang bergerak dalam perjuangan masyarakat adat justru tampak terhenti
programnya. Namun penulis tidak bisa memastikan apakah hal itu disebabkan
karena faktor ‗persaingan‘ untuk mendapat sorotan, simpati, pendanaan atau
faktor lainnya.
Hal yang perlu dipertimbangkan lagi terkait motif altruisme INGOs adalah
pengaruh donor. IEF merupakan organisasi non-profit yang berbasis di Victoria,
Australia. IEF tidak hanya bermitra dengan organisasi lokal seperti Suku
Mentawai Cultural Education Foundation dan Yarn Bark, namun juga dengan
Victoria State Government Department of Transport, The University of
Melbourne, Monash University, Practera, iress, dsb. (IEF - Partnership).
Dalam hal national interest, pemerintah Australia memang memiliki
ketertarikan dan minat besar terkait masyarakat adat yang dibuktikan melalui
penyelenggaraan konferensi internasional tentang masyarakat adat, membuat
forum dan jaringan bisnis masyarakat adat dunia, membuka pasar bagi masyarakat
adat untuk terlibat dalam Free Trade Agreement (FTA), dsb. (Australian
Government DFAT, 2017). Dari sekilas pemaparan di atas, penulis berasumsi jika
INGOs/NGOs yang bergerak memperjuangkan hak-hak komunitas adat memiliki
karakter kosmopolit. Dalam Hubungan Internasional, posisi kosmopolitan melihat
bahwa semua manusia setara sehingga moralitas seharusnya bersifat universal.
Kosmopolitan menganggap bahwa jarak, perbedaan dan keanggotaan komunitas
tertentu tidak seharusnya membatasi tanggung jawab moral di mana saja.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
8
(Devetak, 2012: 122). Jika dikaitkan dengan kasus masyarakat adat, kehadiran
INGOs/NGOs menjadi dibutuhkan ketika aktor-aktor seperti negara dan korporasi
tidak bisa memenuhi permintaan masyarakat dan justru sebaliknya
mengekspolitasi mereka. Namun, alasan di balik ketertarikan organisasi yang
diinisiasi pihak asing terhadap komunitas adat di negara lain (the distant others)
ini menarik untuk dikaji lebih lanjut.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Sejalan dengan latar belakang masalah di atas, penelitian ini melakukan
eksplorasi dan analisis seberapa jauh di tingkat aplikasi altruisme kosmopolitan
sebagai alasan yang mendorong peran International Non-Governmental
Organizations (INGOs) dapat berfungsi dan apa saja variabel-variabel lain yang
ikut memengaruhi. Dengan mengambil studi kasus keterlibatan Indigenous
Education Foundation (IEF) dalam pemberdayaan masyarakat adat di Mentawai,
Indonesia, secara lebih spesifik pertanyaan penelitan tesis ini adalah: Apakah
altruisme kosmopolitan menjadi alasan utama keterlibatan IEF di dalam
membantu pelestarian budaya masyarakat adat di Mentawai, Indonesia? Dimensi-
dimensi apa saja yang turut memengaruhi peran IEF di dalam melestariakan
budaya masyarakat Mentawai, Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini sejalan dengan pertanyaan penelitian di atas, yaitu
untuk mengetahui alasan keterlibatan INGOs yang dalam studi kasus penelitian
ini dicontohkan dengan Indigenous Education Foundation (IEF) dalam membantu
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
9
pelestarian budaya masyarakat adat di Mentawai, Indonesia. Penulis ingin
mengetahui lebih dalam tentang konsep altruisme dan karakter kosmopolit non-
state actors seperti NGOs/NPOs dalam kajian Hubungan Internasional.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan terkait altruisme
dalam Hubungan Internasional yang biasa melekat pada aktor non-negara seperti
NGOs/INGOs, Non-Profit Organizations, Yayasan, dsb. Dalam penelitian ini juga
lebih difokuskan pada organisasi non-negara yang bergerak dalam membantu
pihak-pihak terpinggirkan (fringe community) seperti masyarakat adat di negara
lain. Sehingga dari penelitian ini akan dilihat apakah motif altruisme benar-benar
dominan dalam organisasi yang membantu fringe community di negara lain.
1.5 Tinjauan Pustaka
Sejumlah studi terdahulu terkait altruisme INGOs serta peran INGOs
dalam mengangkat isu dan hak masyarakat adat ke level internasional. Tulisan
Friedman dapat menjadi salah satu penguat argumen bahwa eksistensi altruisme
dalam Hubungan Internasional termasuk yang dilakukan oleh INGOs. Friedman
menjelaskan bahwa pada umumnya, individu-individu dari negara majulah yang
‗simpatik‘ pada kondisi penderitaan orang-orang di negara-negara lain yang
dilanda kemiskinan, penyakit, atau bencana alam, sehingga akhirnya mereka
membentuk INGOs. Dengan kata lain, INGOs diartikan sebagai wujud aktivisme
para aktivis negara-negara maju (Utara) untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat di negara-negara berkembang (Selatan). (Friedman, 2016).
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
10
Sejalan dengan itu, Stromquist dalam tulisannya menyatakan bahwa
NGOs memang beragam dan memiliki kepentingan serta tujuan yang berbeda-
beda antar satu sama lain. Namun selama ini yang menjadi potret umum adalah
NGOs kebanyakan tidak terlalu mementingkan kepentingan pribadinya (self-
interests) melainkan lebih mengutamakan kepentingan kelompok-kelompok yang
direpresentasikannya. Misalnya membela dan menyuarakan isu yang dihadapi
kelompok marginal atau fringe community terutama di negara-negara
berkembang. (Stromquist, 1998: 62). NGOs dapat menjadi aktor yang
menjembatani antara pihak pendonor, pemerintah, dan komunitas. (Stromquist,
1998: 67). Kajian yang dilakukan oleh Zettler dan Hilbig juga menekankan bahwa
tindakan altrusitik pada umumnya mengadvokasikan kesetaraan sosial dan ide-ide
egalitarianisme seperti tolong-menolong, rasa simpati, dan kelembutan hati.
(Zettler dan Hilbig, 2010: 340). Hal ini sesuai dengan karakter INGOs yang
sangat lekat dengan peran advokasi dan pemberi bantuan. Selain itu, motif
altruisme juga relevan untuk diangkat dalam kajian Hubungan Internasional
sekalipun pada umumnya motif aktor-aktor di ranah HI tidak jauh dari motif
ekonomi, politik, sosial dan lebih seringnya untuk kepentingan negara (national-
interest).
Berkebalikan dengan argumen-argumen yang mengamini motif altruisme
dalam HI, Cunningham dalam tulisannya menyatakan bahwa motif altruisme
dalam sektor bantuan kemanusiaan terutama antar-negara adalah hal yang utopis.
Pengambilan keputusan tetap terpengaruh oleh kepentingan pihak pendonor dan
penyedia bantuan dibandingkan oleh populasi yang terkena dampaknya. ‗Donasi
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
11
internasional‘ pada umumnya cenderung bersifat ‗realis‘ dibanding altruistik.
Realis dalam hal ini berarti menguntungkan negara pendonor atau setidaknya ada
hubungan timbal balik antar keduanya. Tak jarang, rezim bantuan kemanusiaan
bahkan lebih menyerupai donor bisnis semacam investor yang pada akhirnya
meminta pengembalian atas investasinya. (Cunningham, 2012: 113-114). Sejalan
dengan itu, Heiss dan Kelley menjelaskan bahwa NGOs yang biasanya memang
saling berkompetisi untuk mendapat donor dan pihak donor memberi pengaruh
yang besar terhadap kinerja NGOs. (Heiss dan Kelley, 2017: 14). Dengan
demikian, motif altruism saja tidak cukup untuk menjamin keberlangsungan
NGOs.
Argumen kontra altruisme juga dinyatakan oleh Blok dalam tulisannya
menyoal tentang motif para aktivis NGOs. Berkebalikan dengan anggapan yang
selama ini dipercaya bahwa para aktivis NGOs sangat menjunjung tinggi ideologi
yang menjadi identitas organisasinya, nyatanya para aktivis NGOs sebenarnya
jarang yang berorientasi pada kepedulian sosial namun lebih kepada peningkatan
finansialnya. Blok menyatakan bahwa ideologi yang dianut oleh para aktivis
NGOs justru adalah ideologi kapitalis. Mereka juga berekspektasi untuk
memperoleh keuntungan sebagai kompensasi atas keterlibatannya seperti
memperoleh keterampilan bekerja, pengalaman kerja untuk CV nya sehingga
meningkatkan nilai di mata perekrutnya kelak, dan juga networking seperti
memperoleh kontak-kontak berharga untuk kepentingan masa depan karirnya. Tak
jarang pula pihak yang bekerja dalam NGOs ingin kenaikan jabatan sehingga
upahnya pun bertambah. (Blok, 2013).
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
12
Sejalan dengan itu, Galbreath menyatakan bahwa negara-negara kaya mau
bekerjasama atau membantu negara lain bukan semata-mata karena motif
altruisme melainkan untuk membuat mereka tetap kaya dan membuat negara-
negara miskin tetap miskin. Kenyataannya, kerjasama internasional tidak begitu
didasari oleh altruisme, idealisme, atau nilai-nilai dalam budaya tertentu
(Galbreath, 2008: 122) sekalipun banyak juga kerjasama yang dijalin karena
kesamaan kepentingan, norma, nilai, atau sistem kepercayaan. (Galbreath 2008:
122 dalam Salmon dan Imber, 2008).
Selanjutnya terkait dengan motif altruisme, Hu T-Y dkk dalam
penelitiannya menjelaskan bahwa di level individual, altruisme bersifat non-
ekonomis dan bahkan bisa mengancam survival karena harus berbagi energi dan
sumberdaya miliknya dengan orang lain tanpa memperoleh pengembalian. (Hu T-
Y, 2016:1). Namun demikian, tindakan altruistik memberi reward psikologis
berupa perasaan hangat bahkan kebahagiaan. (Hu T-Y, 2016: 9). Terkait dengan
altruisme sebagai konsep, sejumlah penelitian berargumen bahwa bahwa
altruisme, seperti halnya egoisme, merupakan human nature. Dengan kata lain,
dorongan untuk peduli dan menolong satu sama lain memang ada dalam genetik
manusia, lebih tepatnya dapat diobservasi pada daerah prefrontal cortex di otak.
(Wlassoff, 2016 dan Takru, 2011). Altruisme juga dinilai memiliki keterkaitan
dengan pola tertentu dalam aktivitas otak, dimana tindakan altruistik mengaktivasi
bagian otak yang berkaitan dengan sistem reward. Karena hal itulah, tak jarang
orang yang merasa puas jika telah menolong atau memberi pihak lain. Sejumlah
penelitian lain juga menemukan bahwa bagian otak terkait empati mempengaruhi
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
13
tindakan altruistik. (Filkowski, dkk, 2016). Sejalan dengan itu, Abigail A. Marsh
dkk melalui hasil penelitiannya juga berargumen bahwa altruisme memiliki dasar
biologis di level genetik. Ia menemukan bahwa extraordinary altruism dapat
diobservasi dari volume amygdala kanan yang besar dan juga meningkatnya
responsivitas amygdala kanan terhadap ekspresi wajah ketakutan orang lain.
Dengan kata lain, extraordinary altruists merupakan kebalikan dari highly
psychopathic. (Marsh et. al, 2014).
Berbeda dengan sejumlah argumen sebelumnya, terdapat pula argumentasi
yang menyatakan bahwa egoisme merupakan ‗nature‘ atau sifat dasar bawaan,
sedangkan altruisme merupakan ‗nurture‘ yang bisa dibiasakan sejak dini dan
dilatih terus menerus sehingga otak menjadi terpola untuk mampu bertindak
altruistik. (Paccione, 2019). Hal ini sejalan dengan argumen yang dipaparkan
oleh Richard Dawkins dalam bukunya the Selfish Gene, bahwasanya sifat
manusia yang egois tidak terlepas dari pengaruh bawaan genetik. Egoisme
tersebut bermanfaat bagi survival makhluk hidup termasuk manusia dalam dunia
yang kompetitif ini. Namun demikian, manusia bisa belajar untuk bisa menjadi
lebih altruistik sekalipun secara bawaan genetik (nature), manusia tidak
terprogram untuk menjadi altrusitik. Hal ini dikarenakan peradaban manusia
didominasi oleh budaya dan pengaruh yang diajarkan secara turun termurun
(nurture). Dalam sejarahnya, survival juga bisa diraih dengan saling bekerjasama
dan saling membantu antar satu sama lain. (Dawkins, 1989). Dalam bukunya God
Delusion, Dawkins juga menekankan bahwa dalam masa prasejarah, manusia
memang telah hidup dalam lingkungan yang kental dengan perilaku altruistik,
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
14
lebih tepatnya jenis altruisme yang ditujukan pada kerabat terdekat yang memiliki
ikatan darah (kin altruism) dan juga altruisme yang bersifat timbal balik
(reciprocal altruism). Uniknya, kehidupan sosial manusia juga didominasi oleh
bahasa dan gosip sehingga reputasi diri menjadi hal yang penting. Karena itulah,
individu yang altruistik atau simpatik dipandang memiliki reputasi yang baik
karena kemurahatiannya. Dengan reputasi baik maka akan tercipta rasa percaya
dan kerjasama, namun sebaliknya dengan reputasi buruk akibat tindakan yang
egositis, curang, atau ingkar akan memperoleh sanksi atau hukuman dari
masyarakat. (Dawkins, 2006). Dalam argumen-argumennya, Dawkins memang
mendefinisikan altruisme dalam aspek behavioral dan bukan motif psikologi,
sehingga memang sulit untuk menentukan apakah ada motif egois yang tidak
disadari dari tindakan altrusitik. Mungkin iya, mungkin tidak, atau mungkin kita
tidak akan pernah mengetahui motif terselubung tersebut. (Dawkins 1989 &
Dawkins, 2006).
Güntert dkk dalam tulisannya menjelaskan motivasi altruisme dengan
dengan menggunakan self determination theory (SDT). (Güntert, 2016: 312).
Dalam teori tersebut, dijelaskan bahwa terdapat motivasi intrinsik dan ekstrinsik.
Motivasi intrinsik maksudnya adalah ketika individu mencari tantangan optimal
untuk memaksimalkan kapasitas dan mengeksplor lingkungan, sehingga tidak ada
reward atau punishment eksternal yang diperlukan untuk melakukan sesuatu.
Dengan kata lain, seseorang termotivasi melakukan sesuatu karena tertarik atau
senang dengan aktivitas yang dilakukan. Motivasi intrinsik merepresentasikan
bentuk dasar dari self-determined motivation. Sedangkan motivasi ekstrinsik lebih
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
15
kepada aktivitas yang memiliki tujuan diluar aktivitas itu sendiri dan
merepresentasikan motivasi terkontrol (controlled motivation). (Güntert, 2016:
313). Tindakan altruistik merupakan tindakan other-oriented sedangkan tindakan
egoistis merupakan self-oriented. Namun demikian, dengan menggunakan teori
SDT, ditemukan bahwa tindakan suka rela dapat melayani kebutuhan other-
oriented dan sekaligus self-oriented secara bersamaan. (Güntert, 2016: 324).
Terkait dengan mengapa sebagian NGOs menghilang atau terhenti
programnya, menurut hasil penelitian Nazuk dan Shabbir, INGOs memiliki posisi
yang lebih kuat dibanding NGOs lokal, dan NGOs yang memiliki sejumlah
cabang lebih baik dibanding NGOs dengan satu kantor saja. Selain itu, NGOs
yang sering masuk dalam laporan berita lebih mendapatkan sorotan atau exposure.
NGOs memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui
advokasi melalui berbagai bentuk strategi seperti (1) direct lobbying; (2) indirect
lobbying; (3) media advocacy. Terlebih seiring dengan berkembangnya
globalisasi, internet menjadi medium advokasi bagi NGOs terutama yang masih
kekurangan dana untuk melakukan advokasi secara langsung. (Nazuk dan
Shabbir, 2018). Sehingga, selain karena faktor dana, dapat dikatakan bahwa
besarnya suatu NGOs (baik dalam kekuatan jumlah maupun jangkauan)
berpengaruh terhadap keberlangsungannya.
Selanjunya, dalam membahas hubungan antara kosmopolitanisme dan
masyarakat adat, Goodale dalam tulisannya menggunakan kerangka teoritis
indigenous cosmopolitanism untuk menjelaskan fenomena di mana para
pemimpin politik nasional, para rapper muda, aktivis adat di pedalaman, dan
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
16
pihak-pihak lain dalam gerakan sosial masyarakat adat di Bolivia (Goodale, 2006:
634). Indigenous cosmopolitanism merupakan hibridisasi antara antara sisi
modernisme dan tradisi adat. (Goodale, 2006: 635-636). Tujuannya adalah ingin
membuat bentuk inklusi baru dan moral universal yang merepresentasikan
prinsip-prinsip kosmopolitan sekaligus keadatan. Indigenous cosmopolitanism
lebih merujuk pada cara untuk memperoleh kembali atau meredefinisi modernitas
sebagai kategori kultural. Gerakan rapper El Alto dan Movimiento al Socialismo
(MAS) di Bolivia merupakan contoh radikal hibrid indigenous cosmopolitanism
yang mengajarkan untuk berpikir tentang kosmopolitanisme dengan cara yang
baru dan berbeda (tidak sama dengan definisi tradisional kosmopolitanisme)
sebagai politik dan kategori moral (Goodale, 2006: 635).
Sejalan dengan itu, Politano menggunakan lensa indigenous
cosmopolitanism milik Mark Goodale sebagai pisau analitis kajian studi
Hubungan Internasional kontemporer masyarakat adat di Bolivia. (Politano, 2013:
2). Ia menjelaskan pentingnya topik tersebut dalam studi HI karena masyarakat
adat tidak hanya memperjuangkan inklusifitas dalam sistem politik nasional
melainkan juga internasional. (Politano, 2013: 5). Berbeda dengan definisi
kosmopolitanisme tradisional, indigenous cosmopolitanism merupakan bentuk
‗transnasional‘ sekaligus ‗non-global‘ atau dengan kata lain, masyarakat adat
memandang dunia cosmos secara relatif. Indigenous cosmopolitanism juga bisa
dimaknai sebagai bentuk hibrid radikal dari kosmopolitansime yang
mengupayakan kemungkinan modernitas tetapi tetap menjunjung identitas
adatnya di level global. (Politano, 2013: 10-15).
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
17
Jika penelitian-penelitian terdahulu telah melihat keterkaitan antara
masyarakat adat dan kosmopolitanisme, kaitan antara altruisme dan
NGOs/INGOs, maka dalam penelitian ini penulis lebih berfokus pada keterkaitan
antara altruisme dan kosmopolitanisme untuk menjelaskan alasan mengapa
INGOs mau terlibat membantu masyarakat adat yang notabenenya merupakan
fringe community bahkan di negara lain. Penulis mengaitkan antara altruisme
INGO dan karakter kosmopolit INGO yang bergerak dalam sektor masyarakat
adat. Kosmopolitanisme khas dengan istilah ‗world citizen‘ atau ‗world traveler‘
mampu melihat melampaui the self dan the others, dan memandangnya sebagai
satu kesatuan masyarakat global universal dengan nilai-nilai moral universal
sehingga memungkinkan individu dari suatu negara menganggap individu-
individu dari negara lain bukan sebagai liyan melainkan sebagai bagian dari diri
mereka. Dengan demikian, tindakan memberi atau menolong orang asing (the
others) menjadi suatu hal yang biasa dilakukan sebagaimana menolong keluarga
atau kelompoknya sendiri.
1.6 Kerangka Berpikir
1.6.1 Perdebatan Altruisme dalam Hubungan Internasional: Realisme vs
Liberalisme
Realisme dalam kajian Hubungan Internasional dapat dikategorikan
menjadi beberapa jenis seperti realisme fundamental yang menekankan pada
aspek human-nature, realisme konstitusional yang menekankan pada ranah
domestik, dan realisme struktural yang menekankan pada pada sistem inter-state.
(Doyle, 1977 dalam Ozkan dan Cetin, 2016: 89). Pada dasarnya, realisme
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
18
memiliki landasan pemikiran bahwa konflik dan perang berakar dari human-
nature yang egois untuk tujuan survival. Karena itulah, kaum realis memandang
kerjasama yang digadangkan oleh kaum liberalis sebagai hal yang utopis.
Pandangan kaum realis memang tidak sepenuhnya salah, karena egoisme
atau self-interest erat kaitannya dengan survival, sekalipun nyatanya kerjasama
juga merupakan faktor penting yang berkontribusi pada survival manusia.
Manusia memiliki kecondongan pada altruisme, hubungan timbal-balik, serta
memperjuangkan keadilan dan kesetaraan. (Takru, 2011). Dengan kata lain
manusia juga memiliki kecondongan untuk bekerjasama. Sehingga, sekalipun
dianggap berlawanan satu sama lain, nyatanya self-interest, kerjasama, bahkan
altruisme sama-sama merupakan mekanisme survival. Untuk keberlangsungan
diri sendiri (the self), keberlangsungan pihak lain (the others), atau
keberlangsungan banyak pihak (the self and the others, Us and Them). Dalam
kajian Hubungan Internasional misalnya, negara-negara bisa saja memilih
mengutamakan national interest, memilih bekerjasama antar negara, atau bahkan
peduli pada masyarakat dan isu-isu global tanpa pandang bulu.
1.6.1.1 Non-State Actors, Survival, dan Law of the Jungle dalam
Hubungan Internasional
Dalam memandang dunia, perspektif realis menekankan pada ‗apa yang
ada‘, bukan pada ‗apa yang seharusnya‘ seperti halnya perspektif liberalis yang
idealis. (Morgenthau, 1956: 4 dalam Pashakhanlou, 2009: 2). Realisme klasik
menyatakan bahwa seperti halnya manusia, negara juga tidak bisa puas akan
kekuasaan dan dominasi atas pihak lainnya (the others), sehingga tak heran jika
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
19
ada yang namanya peperangan. (Pashakhanlou, 2009). Hal tersebut dikarenakan
sifat dasar manusia yang kompetitif sehingga terdorong untuk bersaing seperti Me
vs You dan Us vs Others. Harari dalam bukunya ―Homo Deus: A Brief History of
Tomorrow‖ menekankan bahwa Hubungan Internasional pada mulanya terjadi
berdasarkan Law of the Jungle. (Harari, 2016: 14). Perspektif realis dalam HI
yang menekankan survival sebagai tujuan dari perebutan kekuasaan (struggle for
power), nyatanya serupa dengan hukum rimba. Sejalan dengan argumen Harari,
Doyle juga menyatakan bahwa kaum realis memandang politik dunia sebagai
arena rimba (jungle) yang selalu berada dalam kondisi siaga perang atau ‗state of
war‘ dengan kemungkinan konstan terjadinya perang antar negara-negara. (Doyle,
1997: 18 dalam Ozkan dan Cetin, 2016: 91). Di sisi lain, liberalis memandang
politik dunia tidak sebagai ‗jungle‘, melainkan sebagai ‗cultivable garden‘ atau
kebun yang bisa ditanami dan dikelola, yang menggabungkan antara ‗state of
war‘ dengan ‗state of peace‘. (Doyle, 1997: 19 dalam Ozkan dan Cetin, 2016: 91).
Dengan kata lain, liberalis juga menekankan pentingnya menanamkan non-state
actors seperti IGOs, INGOs, MNCs, dan aktor-aktor transnasional lain dalam
penyusunan agenda internasional. Dibandingkan berfokus pada konflik dan
perang, kaum liberalis lebih berfokus pada kerjasama dengan meningkatkan peran
organisasi internasional, penegakan demokrasi, hukum internasional, serta
pembangunan. (Ozkan dan Cetin, 2016: 89-91).
Sejalan dengan itu, Harari juga menjelaskan bahwa di era modern ini,
agensi-agensi pemerintahan internasional (IGOs) maupun International NGOs
(INGOs) memiliki peran penting dalam menyediakan bantuan untuk menjamin
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
20
keberlangsungan hidup (survival) orang-orang yang membutuhkan, sekalipun
bantuan-bantuan tersebut tidak menjamin pihak yang dibantu akan keluar dari
masalahnya. (Harari, 2016: 4). Selain itu, di era modern ini, perdamaian telah
mengalami pergeseran makna. Perdamaian atau ‗state of peace‘ tidak lagi
diartikan sebagai kondisi ketiadaan perang, melainkan ketidakmungkinan adanya
perang. (Harari, 2016: 16). Di era modern ini, peperangan mulai berkurang
sekalipun masih ada. Hal tersebut dikarenakan negara-negara super power lebih
memilih untuk mencari cara damai dalam menyelesaikan konflik. (Harari, 2016:
15). Munculnya istilah ‗new peace‘ dan ‗new war‘, menegaskan bahwa kini
perang dan damai tidak lagi sekedar mendeskripsikan hubungan antar-bangsa
saja, melainkan juga hubungan antara masyarakat dengan pemerintah yang haus
kekuasaan, atau dengan korporasi-korporasi yang tamak. (Harari, 2016: 16).
Seperti yang seringkali dialami oleh masyarakat adat, yang bentrok dengan
pemerintah maupun korporasi terkait konflik perebutan lahan adat di negara
sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa eksploitasi tidak lagi dilakukan oleh negara
lain, melainkan juga di dalam negeri sendiri, yang sering dialami oleh fringe
community atau kelompok marjinal. Dengan power yang kecil, mereka lebih
mudah ditindas dan dieksploitasi oleh aktor-aktor yang lebih berkuasa.
1.6.1.2 Altruisme dan Kosmopolitanisme: Melampaui Perdebatan
Realisme vs Liberalisme dalam Hubungan Internasional
Zackharchenko dalam tulisannya yang berjudul ‗Altruism and Profit in
International Relations‘, menyatakan bahwa tindakan negara yang secara
tradisional dianggap sebagai aktor utama dalam Hubungan Internasional pada
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
21
umumnya memang tidak terlalu didasari oleh motif altruisme dan tidak begitu
tertarik untuk membantu negara-negara tetangganya. (Zackharchenko, 2009: 177).
Jika berbicara tentang aktor-aktor negara, memang sangat erat dengan istilah self-
interest atau national-interest namun lain halnya dengan aktor-aktor non-negara
seperti NGOs/INGOs yang selama ini terkenal dengan citranya sebagai aktor
penolong sejuta umat yang altruistik.
Hal menarik lainnya adalah bahwa negara-negara yang peduli isu-isu
HAM termasuk dalam kasus ini hak-hak masyarakat adat pada umumnya
merupakan negara-negara maju (high powers) atau middle powers yang memang
memiliki kapabilitas finansial, sumberdaya-sumberdaya lainnya, dan juga level
moral kemasyarakatan yang tinggi. Zackharchenko juga menekankan bahwa
―good samaritans‖ atau aktor-aktor yang murah hati dan berkeinginan untuk
menolong pihak lain sebagaimana dimaksudkan oleh A Brisk, pada umumnya
merupakan negara-negara demokratis dengan situasi domestik yang stabil dan
masyarakat sipil yang maju. (Zackharchenko, 2009: 177). Sehingga, jika berbicara
tentang altruisme dalam Hubungan Internasional, maka tatanan dunia
kosmopolitan ala Kant tetap menjadi situasi ideal di sistem internasional.
(Zackharchenko, 2009: 177).
INGOs dikenal sebagai aktor Hubungan Internasional yang benar-benar
kosmopolitan karena dinilai memiliki karakter kosmopolitan yang kuat. Karakter
tersebut bisa dilihat dari bagaimana agenda dan tujuan NGOs yang melampaui
batas-batas komunitas lokal bahkan melampaui batas-batas negara, memiliki
kemampuan analitis transnasional, dan juga memiliki legitimasi moral universal.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
22
(Yanacopulos dan Smith, 2013: 15). NGOs terutama development NGOs
dianggap sebagai bagian dari pembangunan demokrasi kosmopolitan karena
mereka merupakan aktor transnasional yang bisa mendesak negara, korporasi, dan
institusi-institusi global dengan berdasar pada semangat solidaritas dan nilai-nilai
universal. (Yanacopulos dan Smith, 2013: 15-16). Dengan kata lain, NGOs
memiliki peran penting dalam merombak sistem masyarakat dan politik global.
(Yanacopulos dan Smith, 2013: 16). Hal tersebut dilakukan dengan
mempromosikan agenda-agenda post-national cosmopolitanism. Berkebalikan
dengan pandangan tradisional yang menganggap negara sebagai aktor utama
paling berkuasa, NGOs dinilai mampu mengkomunikasikan ide-ide global dan
memersuasi aktor-aktor lain baik negara maupun non-negara untuk merespon isu-
isu yang menimpa pihak lain (the others). (Yanacopulos dan Smith, 2013: 18).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terdapat keterkaitan antara
kosmopolitanisme dan altruisme NGOs/INGOs sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa altruisme lebih menekankan pada kepentingan the others
dibanding self-interest. Tentunya keterkaitan tersebut tidak bisa digeneralisir,
sehingga dalam penelitian ini penulis hanya berfokus pada keterkaitan antara nilai
kosmopolitanisme dan altruisme INGO dalam sektor masyarakat adat.
Kosmopolitanisme memiliki nilai-nilai dan prinsip kemanusiaan, keadilan,
dan toleransi, sehingga dianggap sesuai dengan komitmen-komitmen INGOs
terhadap hak-hak universal, advokasi, dan kontribusi pada ‗distant others‘.
(Yanacopulos dan Smith, 2013: 18). INGOs menjadi aktor penting dalam ranah
Hubungan Internasional terutama dalam pembangunan, humanitarianisme, dan
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
23
demokratisasi internasional. Hal ini tidak terlepas dari kapasitas mereka untuk
menarik perhatian media global bahkan membuat ―kerangka moral‖ bagi
komunitas internasional yang disebut dengan ―global moral frame‖. (Yanacopulos
dan Smith, 2013: 20-21).
Di sisi lain, terdapat kritik terkait universalisme kosmopolitan yang justru
dinilai sebagai bentuk kolonialisme baru dan implementasi agenda-agenda Barat
atas nama nilai-nilai universal atau transnasionalisme. Terlebih kosmopolitanisme
memiliki akar dari modernisasi, kolonialisme, dan seringkali dianggap sebagai
kedok menjalin hubungan dengan ‗the others‘ untuk menciptakan image baik dari
―self‖ itu sendiri. (Van deer Veer, 2002, 166-168 dalam Yanacopulos dan Smith,
2013: 19). Hal ini menjadi berbenturan dengan masyarakat adat yang selama ini
pada umumnya menolak agenda-agenda modernisasi atau globalisasi yang dinilai
semakin menggerus tradisi, budaya, bahkan sumberdaya mereka.
1.6.2 Cosmopolitan Altruism
Cosmopolitan altruism merupakan istilah yang digunakan untuk
menggambarkan suatu keinginan untuk membantu orang asing (the others) yang
membutuhkan ata terancam. (Galston, 1993: 118). Galston membagi altruisme
menjadi tiga jenis berdasarkan objeknya, diantaranya yaitu (1) Personal altruism
yang ditujukan bagi orang-orang terdekat, misalnya anggota keluarga dan teman-
teman; (2) Communal altruism yang ditujukan bagi kelompok yang memiliki
karakteristik serupa seperti anggota kelompok etnis (etnisitas), kelompok agama
(religiusitas), masyarakat negara tertentu (nasionalisme), dsb; (3) Cosmopolitan
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
24
altruism yang ditujukan bagi umat manusia secara keseluruhan (universal), yakni
pada orang-orang yang tidak memiliki ikatan khusus, baik itu berbeda
kebangsaan, berbeda ras, berbeda agama, dsb. (Galston, 1993: 123). Namun
demikian, bukan berarti bahwa cosmopolitan altruism lebih baik atau lebih
penting dibanding personal dan communal altruism. Spektrum dari personal,
communal, ke cosmopolitan altruism tidak merepresentasikan progress moral.
Dalam praktiknya, personal altruism yang ditujukan pada sanak saudara dan
teman-teman, memang lebih sering terjadi dibanding cosmopolitan altruism yang
menjangkau seluruh umat manusia tanpa pandang bulu. (Galston, 1993: 124). Hal
itu dikarenakan personal dan communal altruism lebih dinilai menguntungkan
dan memberi manfaat timbal balik (reciprocal altruism), dibandingkan dengan
cosmopolitan altruism yang dipandang tidak memberi jaminan timbal balik.
Sebagaimana argumen sejumlah peneliti lainnya, menurut Galston, self-
interest dan altruisme bukanlah dua kubu yang saling berlawanan, melainkan
seperti spektrum, dari yang sangat altruistik sampai ke yang sangat egois.
(Galston, 1993: 126). Galston menjelaskan bahwa motif seseorang melakukan
tindakan altruistik bisa karena faktor rasa simpati, pertimbangan rasionalitas, atau
karena faktor identitas. (Galston, 1993: 124). Sekalipun cosmopolitan altruism
dinilai ideal oleh sebagian orang, namun nyatanya konsep tersebut justru dianggap
irasional dan sewenang-wenang. (Galston, 1993: 125). Hal itu dikarenakan,
sekalipun cosmopolitan altruism bisa diartikan sebagai kewajiban moral
universal, namun dalam praktiknya itu merupakan hal yang sangat sulit dilakukan.
Dengan demikian, cosmopolitan altruism seharusnya memang dianggap bagus,
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
25
tapi secara moral tidak wajib dilakukan. (Galston, 1993: 131). Pada umumnya,
individu-individu yang melakukan tindakan cosmopolitan altruism melakukannya
semata-mata karena merasa harus, mau tidak mau, dan bahkan secara internal
mereka tidak merasa luar biasa atas apa yang telah dilakukannya. Cosmopolitan
altruists mengidentifikasi diri mereka begitu dekat dengan orang asing (the
others) dan seolah kehilangan pembatas terkait perbedaan antara diri mereka,
kelompok mereka, dengan pihak lain. (Galston, 1993: 132). Dengan kata lain,
pandangan mereka terkait ‗us vs them‘ atau ‗the self vs the others‘ sudah
memburam dan melebur menjadi identitas yang universal.
Namun demikian, moral universality dalam cosmopolitan altruism
memang bisa bertabrakan dengan moral particularity dalam personal altruism
maupun communal altruism karena bisa saja seseorang mengabaikan ikatan
personal dan komunalnya atas nama pertimbangan kosmopolitan. Terlebih, nilai-
nilai moral tidak mudah begitu saja disama-ratakan dalam segala konteks.
Kecondongan terhadap moral particularity mungkin bisa mengurangi
kecondongan terhadap cosmopolitan altruism, namun sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, itu tetap mengarahkan pada bentuk tindakan moral lainnya seperti
lebih peduli pada keluarga atau komunitasnya sendiri. Dan itu tidak lebih buruk
dari kepedulian terhadap manusia secara universal. (Galston, 1993: 134).
1.6.3 Bounded Altruism INGOs
Bounded altruism merupakan teori yang menjelaskan bahwa tindakan
NGOs pada dasarnya disebabkan oleh faktor pendorong (internal) dan faktor
struktural (eksternal) yang mereka hadapi. (Irvine dan Halterman, 2014: 4).
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
26
Berdasarkan data sejumlah penelitian terkait NGOs yang telah dianalisis oleh
Irvin dan Halterman, motif INGOs pada umumnya memang bersifat altruistik.
Definisi dari altruistik sendiri adalah tindakan yang didorong oleh misi
kemurahan hati, dan bukan untuk memaksimalkan profit semata. Namun
demikian, selain altruisme, terdapat faktor lain yang harus mereka hadapi yaitu
kebutuhan akan sumberdaya dan keberlangsungan institusi (survival). Dengan
demikian, ―bounded altruism‖ berarti bahwa NGOs secara independen
mengupayakan misi atas dasar altruisme, dengan syarat ‗apabila mereka mampu‘.
Namun, jika keberlangsungan organisasinya terancam oleh ketiadaan dana, maka
NGOs akan menerima permintaan para pendonornya. (Irvine dan Halterman,
2014: 5). Sehingga untuk berbuat kebajikan, NGOs/INGOs harus bertahan bahkan
dengan upaya maksimalisasi keuntungan seperti halnya perusahaan. Irivin dan
Halterman juga berargumen jika semakin banyak INGOs masuk dalam pasar
persaingan antar sesamanya, maka pendanaan bagi INGOs juga semakin langka.
Sehingga tak heran jika INGOs kemudian sangat bergantung pada keinginan para
pendonor terutama pendonor dari negara-negara maju. Dalam hal ini, INGOs
biasanya didanai untuk menjadi kendaraan bagi kepentingan pendonor, namun di
waktu yang sama mereka juga meningkatkan kepentingan mereka sendiri yang
‗altruistik‘. (Irvine dan Halterman, 2014: 6). Anehnya, dalam sejumlah kasus,
tanpa dipaksapun INGOs berupaya untuk memprioritaskan keinginan para
pendonor yang telah memberi mereka dana.
Secara ringkas, terdapat tiga hambatan struktural bagi INGOs yang
menghambat mereka bertindak independen: Pertama, level kompetisi antara
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
27
sesama INGOs untuk memperoleh dana dari pendonor baik dari pemerintah atau
sektor swasta; Kedua, faktor supply-demand terhadap bantuan dan jasa yang
ditawarkan INGOs. Apabila demand pemerintah akan layanan jasa INGOs tinggi,
maka INGOs punya kesempatan untuk bertindak otonom, dan mempengaruhi para
pendonor termasuk pemerintah; dan Ketiga, lingkungan regulasi birokrasi yang
dipengaruhi oleh agensi-agensi donor. Pada umumnya mereka memiliki cara
untuk mempengaruhi para INGOs yang menerima dana. (Irvine dan Halterman,
2014: 6-7).
1.7 Alur Pemikiran
1.8 Argumen Penelitian
Argumen penelitian ini adalah: Karakter cosmopolitan altruism yang
melekat pada sektor non-profit termasuk INGOs seperti halnya IEF menjadi
alasan utama yang mendorong keterlibatan IEF di dalam upaya pelestarian budaya
masyarakat adat di Mentawai, Indonesia. Studi kasus keterlibatan IEF pada
Alasan dan variabel yang memengaruhi peran Indigenous Education Foundation (IEF) di dalam membantu pelestarian budaya
masyarakat adat di Mentawai, Indonesia.
Cosmopolitan Altruism
Bounded Altruism
- Pengaruh donor;
Level Kompetisi sesama
NGOs/INGOs
- Faktor supply-demand jasa NGOs
- Lingkungan regulasi birokrasi
- Kepentingan nasional
negara asal INGOs
- Sektor non-profit dan
altruisme masyarakat
negara asal INGOs
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
28
masyarakat adat Mentawai menunjukkan, altruisme ini dibatasi oleh sejumlah
variabel (bounded altruism) pengaruh donor, level kompetisi sesama
NGOs/INGOs di sektor adat, faktor supply-demand jasa NGOs/INGOs, serta
lingkungan regulasi birokrasi. Selain itu, kepentingan nasional Australia sebagai
negara asal IEF dan juga sektor non-profit serta altruisme penduduk Australia
juga menjadi salah faktor ikut berpengaruh.
1.9 Metode Penelitian
1.9.1 Jenis dan Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang dalam
pengumpulan dan analisis datanya lebih menekankan pada kata-kata dibanding
kuantifikasi serta menggunakan pendekatan induktif sehingga bisa dihasilkan
gambaran yang lebih holistik. (Silalahi 2009, 77-78). Selain itu, penelitian ini juga
tidak bertujuan untuk membuat generalisasi melainkan memberi wawasan baru
dari hasil temuan penelitian melalui studi kasus terkait. Sedangkan jenis penelitian
ini adalah penelitian eksporatif dengan tujuan untuk menjajaki dan
mengidentifikasi suatu fenomena sosial. Penelitian eksplanatif juga ditujukan
untuk memformulasi atau merangkai pertanyaan maupun teknik pengukuran data
bagi penelitian lanjutan kedepannya. (Silalahi 2009, 25). Penulis memutuskan
untuk menggunakan jenis penelitian eksploratif karena penelitian ini bertitik tolak
pada pertanyaan dasar ―apa‖ (Silalahi 2009, 30) untuk menjajaki dan memahami
secara lebih mendalam suatu fenomena sosial sebagaimana yang tertera dalam
rumusan masalah ―Apakah altruisme kosmopolitan menjadi alasan utama
keterlibatan IEF di dalam membantu pelestarian budaya masyarakat adat di
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
29
Mentawai, Indonesia? Dimensi-dimensi apa saja yang ikut memengaruhi peran
IEF di dalam melestariakan budaya masyarakat Mentawai, Indonesia?‖. Salah
satu kekurangan dari jenis penelitian eksplanatif adalah rentan bias karena
umumnya berdasarkan interpretasi dari sumber data kualitatif. Penelitian ini juga
memiliki sejumlah keterbatasan karena menggunakan sumber primer yang
mayoritas berupa laporan IEF, partnernya, dan juga dari video dokumenter karya
IEF sehingga sangat rentan terhadap penilaian yang subjektif dan bias. Akibat
pandemi covid-19 dan sejumlah hambatan lainnya, rencana awal penulis untuk
terjun langsung ke lapangan dan mewawancarai masyarakat adat Mentawai yang
merupakan mitra serta terlibat dalam program-program IEF terpaksa dibatalkan.
1.9.2 Ruang Lingkup dan Jangkauan Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini di mulai sejak founder IEF memutuskan
untuk pergi ke Mentawai, Indonesia pada tahun 2008 hingga pertengahan tahun
2020. Selain itu penulis juga mengaitkan peran IEF dengan penyelesaian konflik
yang dialami masyarakat adat Mentawai dalam lingkup waktu tersebut terlebih
janji Jokowi atas dukungannya terhadap RUU Rancangan Undang-Undang
Masyarakat Adat masih belum terealisasi dan mengalami stagnansi. Penelitian ini
tidak berfokus ke salah satu aspek saja yakni budaya adat atau lahan adat
melainkan pada kedua aspek tersebut karena lahan dan budaya masyarakat adat
pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dan saling berkaitan satu sama lain. Tanpa
lahan adat, masyarakat adat kehilangan uma (rumah adat) dan hutan adat sehingga
tidak bisa melakukan kegiatan yang dulu biasa dilakukan seperti ritual, berburu,
dan berdampak pada tergerusnya bahasa serta budaya adat.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
30
1.9.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian yang
bersumber pada data primer dan sekunder. Data primer penulis upayakan melalui
analisis video dokumenter resmi karya Indigenous Education Foundation (IEF)
yang berjudul ―As Worlds Divide‖. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari
sejumlah laporan-laporan tertulis maupun media visual seperti buku, jurnal,
artikel, berita, video dokumenter, film pendek, laporan penelitian, laporan resmi
pemerintahan, dsb yang diperoleh secara online maupun offline.
1.9.4 Teknik Analisis Data
Teknik analsis data yang digunakan dalam penelitian eksploratori ini
adalah teknik analisis data kualitatif (Silalahi, 2009 : 26-27). Hasil perolehan data
penelitian mayoritas berupa kata-kata yang merupakan hasil telaah dokumen baik
berupa dokumen tertulis maupun dokumen visual seperti foto, video, webinar,
film dokumenter, dan lain-lain yang kemudian diproses tanpa menggunakan
penghitungan matematis. Data-data yang diperoleh tersebut diketik, disunting, dan
setelah data penelitian direduksi, maka data tersebut kemudian disajikan dalam
bentuk laporan ilmiah dan dibuat kesimpulannya. (Silalahi 2009, 339).
1.9.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan tesis ini dibagi menjadi sejumlah bab diantaranya
BAB I berisi tentang pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pertanyaan,
tujuan, dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka berpikir, argumen
penelitian, metode penelitian, dan alur pemikiran. BAB II berisi tentang deskripsi
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
31
mengenai sektor non-profit dan masyarakat adat dalam Hubungan Internasional,
BAB III berisi tentang profil Indigenous Education Foundation (IEF) dan
masyarakat adat Mentawai, Indonesia; Bab IV berisi analisis data menggunakan
kerangka teoritis untuk mengetahui bagaimana motif altruisme IEF melalui
perspektif cosmopolitan altruism, bounded altruism, dan juga penjelasan terkait
kepentingan nasional Australia dalam sektor masyarakat adat, serta sektor non-
profit dan altruisme penduduk Australia; sedangkan BAB V berisi kesimpulan
penelitian, kritik, dan saran bagi penelitian lanjutan.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS Altruisme Kosmopolitan Ingos: Studi Kasus Keterlibatan IEF dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat di Mentawai, Indonesia
Izzah, Nur Diana
Top Related