1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Isu pemanasan global (Global Warming) dan degredasi lingkungan menjadi
isu global. Tiap negara, bahkan tiap orang tiba-tiba harus berhadapan dengan
masalah tersebut. Pemanasan global sendiri adalah peristiwa meningkatnya
konsentrasi Gas Rumah Kaca di atmosfer akibat aktivitas manusia di berbagai
belahan dunia, menyebabkan meningkatnya radiasi yang terperangkap di
atmosfer, akibatnya suhu rata-rata di seluruh permukaan bumi meningkat
(Armely Meiviana dkk, 2004 : 3). Pemanasan global memberikan dampak atau
akibat yang sangat luas dan memengaruhi kehidupan di bumi, baik itu hewan,
tumbuhan, dan manusia. Dampak pemanasan global dapat terjadi karena berbagai
penyebab-penyebab dari tingkahlaku manusia memanfaatkan segala sumber daya
alam, dan tidak mengenal batas serta kelestarian lingkungan ini.
Gambar 1. Fast Fashion
Sumber : http://www.limitsizenerji.com/cevre-dostu-moda-markalari-hangileri/
1
2
Salah satu penyumbang terbesar dari munculnya global warming ialah industri
fesyen. Tuntutan kebutuhan fesyen yang sangat besar dan cepat yang mengarah
pada fast fashion menyebabkan pabrik-pabrik fesyen menjamur diseluruh penjuru
dunia dengan kapasitas industri yang semaki besar tanpa memperhatikan dampak
lingkungan. Beberapa fakta yang menggambarkan hal tersebut yaitu dalam
industri fesyen ini bertanggung jawab terhadap buangan CO2 dan emisi gas
greenhouse yang berkontribusi besar atas terjadinya perubahan iklim, menjadi
penyumbang buangan bahan-bahan kimia beracun ke lingkungan terbesar karena
industri fesyen menggunakan lebih banyak air daripada industri lainnya,
mengkonsumsi energi dalam jumlah yang sangat besar dalam bentuk minyak dan
listrik dalam proses manufaktur dan produksi sintesis, menggunakan bahan kimia
yang bersifat karsinogenik yang mengakibatkan alergi pada kulit dan iritasi seperti
karbon, nikel, kromiun IV dan formaldehyde, dan dalam penanaman kapas
(tumbuh dengan bantuan pestisida dan herbisida) dapat berdampak
menghancurkan bumi dan juga berakibat buruk pada orang-orang yang
menggunakan serat tersebut (Fletcher, 2014).
Fast Fashion diartikan sebagai “a strategy to bring into stores cheap clothing
that mimics current luxury fashion trends with great frequency” (Joy et al, 2012).
Berarti bahwa fast fashion merupakan suatu strategi untuk membawa pakaian
murah yang meniru tren fashion mewah dengan frekuensi jumlah yang besar.
Dalam pengertian lain disebutkan bahwa “Fast Fashion is a radical method of
retailing that has broke away from seasonal selling and puts out new inventory
constantly throughout the year” (Cline, E, L, 2012 : 9). Berarti bahwa fast fashion
3
merupakan sebuah metode radikal dari ritel yang tidak menggunakan konsep
penjualan musiman sehingga terus menerus tersedia di sepanjang tahun. Dalam
pengertian lainnya disebutkan bahwa :
Fast Fashion isn’t really about speed, but greed : selling more, making
more money. Time is just one factor of production, along with labor,
capital and natural resources that get juggled and squeezed in the
pursult of maximum profits. But fast is not free. Short lead timer and
cheap clothes are only made possible by exploitation of a labor and
natural resources (Kate Fletcher, 2012 : 2).
Diartikan bahwa fast fashion tidak semata-mata tentang kecepatan, namun juga
merupakan keserakahan dengan menjual lebih banyak untuk mendapatkan udang
yang lebih banyak pula. Waktu adalah salah satu faktor produksi, bersama dengan
tenaga kerja, modal dan sumber daya alam untuk menghasilkan keuntungan yang
maksimal. Tetapi cepat bukan berarti gratis, tuntutan waktu yang singkat dan
pakaian yang murah memungkinkan adanya eksploitasi tenaga kerja dan sumber
daya alam.
Dari beberapa pengertian tersebut, Fast fashion menggambarkan fenomena
yang muncul akibat tuntutan pasar terhadap produk fesyen yang sangat tinggi dan
cepat yang digunakan oleh para produsen pakaian untuk mendapatkan keuntungan
yang maksimal dengan biaya produksi yang minim dan memungkinkan adanya
eksploitasi terhadap tenaga kerja dan sumber daya alam. Zara, H&M, dan
Forever21 merupakan contoh brand produk fesyen yang menerapkan fast fashion.
Fast fashion mendorong konsumen membeli baju dengan sangat murah. Joy A, et
al, 2012 menyebutkan “It is a common now to buy a t-shirt a Zara for $ 5, just a
speedily and cheaply as a meal at McDonald’s. The term Mcfashion has been
used to describe this new way of producing and selling clothes.
4
“McDonaldization” is a term that became fashionable in discussing changes in
capitalist economics as they moved toward greater rationalization”. Berarti
bahwa menjadi hal yang umum sekarang untuk sebuah membeli t-shirt dengan
harga hanya sebesar $5, secepat dan semurah seperti membeli makanan di
McDonald. McFashion merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
cara baru untuk memproduksi dan menjual sebuah pakaian dengan cepat dan
murah.
Gambar 2. Insiden Rhana, Bangladesh
Sumber : http://projects.aljazeera.com/2015/08/rana-plaza/
Film The True Cost memperlihatkan berbagai insiden yang terjadi seperti
insiden Rhana di Bangladesh pada tahun 2013 yang menewaskan 1126 orang
yang diakibatkan karena ketidakpedulian para pemilik modal, limbah-limbah
kimia yang beracun yang mengalir setiap hari di sungai-sungai, mencemari air
yang digunakan untuk mengairi sawah-sawah dan diminum serta dimakan
masyarakat sekitarnya, sehingga di Pujab India di sebuah desa yang dekat industri
garmen, puluhan anak lahir cacat fisik dan mental, dan dengan upah yang hanya
5
10 dolar AS per bulan mereka habiskan untuk berjuang untuk tetap hidup serta
menyelamatkan diri dan keluarganya dari penyakit kuning dan penyakit yang
muncul akibat dampak pabrik-pabrik tekstil di sekitarnya, sementara di Amerika
terjadi pola belanja yang sangat ironis1.
Dampak yang ditimbulkan dari munculnya fenomena ini sangatlah besar
karena konsep fast fashion banyak menimbulkan polusi, baik dalam proses
produksi pakaian dan pembuatan bahan sintetis, juga limbah tekstil yang
ditimbulkan dari hasil mass production. Limbah tekstil yang paling banyak
dihasilkan adalah dari penggunaan pewarna sintetis. Pewarna sintetis banyak
digunakan karena dipandang praktis dan ekonomis, padahal dampak yang
dihasilkan sangatlah besar dalam menyumbang kerusakan alam.
Kini gerakan slow fashion dan gerakan kembali ke alam (back to nature)
mulai digalakkan karena ketakutan dan kegelisahan akan pengaruh pencemaran
yang dihasilkan oleh zat pewarna sintetis seperti ancaman penyakit kanker dan
rusaknya lingkungan. Gerakan ini menggunakan fesyen sebagai media dalam
penyampaian pesan kepada masyarakat, yaitu pesan untuk menjaga kelestarian
lingkungan. Gerakan slow fashion ini lebih mengarah pada munculnya eco
fashion yang sering dikaitkan dengan fasion ramah lingkungan atau green fashion
dan juga sustainable fashion.
Eco fashion diartikan dengan bentuk industri fesyen yang ramah lingkungan
dengan menggunakan bahan baku organik, rendah dalam penggunaan bahan kimia
baik dalam proses produksi maupun dalam proses pewarnaan, dalam proses
1 Dikutip dari film The True Cost (2015) tentang dampak fast fashion
6
produksi menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan dan tahan lama2.
Eco fashion merupakan subjek yang sangat luas, dengan cabang-cabang yang
mempunyai relasi dengan konsep-konsep fesyen yang lain, seperti ethical fashion
yang merupakan suatu pendekatan etis antara fesyen desain dengan konsumsi
produk dan produksi pakaian yang memaksimalkan manfaat bagi orang lain dan
komunitas, sembari meminimalisir dampak buruk terhadap lingkungan. Dalam
terciptanya sebuah produk eco fashion terdapat strategi-strategi yang mendukung
antara lain strategi desain, adalah desain untuk meminimalisir sampah (limbah),
desain untuk upcycling yang merupakan proses mengolah sampah atau barang-
barang yang sudah tidak digunakan menjadi material yang baru dan inovatif,
dengan kualitas yang lebih baik atau dampak yang lebih baik untuk lingkungan.
Meminimalisir penggunaan bahan kimia, bahkan hingga membuat desain produk
sebagai media untuk memberikan suara atau kritik sosial dengan membangun
kesadaran sosial lewat produk. Strategi-strategi ini dapat digunakan oleh desainer
untuk lebih bertanggung jawab terhadap cara kerja dan bagaimana dampaknya
untuk lingkungan.
Dengan adanya fenomena eco fashion, kini dalam memproduksi suatu fesyen
mulai mengarah pada konsep eco fashion yang lebih ramah lingkungan baik dari
teknik produksi maupun material yang digunakan. Salah satu teknik tekstil yang
sedang berkembang saat ini adalah eco printing. Eco printing ini dipelopori India
Flint, yang mengartikan eco printing sebagai proses mentransfer warna dan
bentuk objek tertentu ke kain melalui kontak langsung (Flint, 2008).
2 Dikutip dari katalog Eco Fashion Week dengan judul History of Fashion, Coco Chanel Chronology
7
Berdasarkan perkembangan fenomena tersebut terdapat peluang untuk
mengembangkan eco printing dengan beberapa alasan yaitu Indonesia masih
sedikit pelaku industri fesyen yang menggunakan teknik ini padahal potensi dan
bahan baku alam yang dimiliki Indonesia sangatlah banyak sehingga sangat
memungkinkan untuk eco printing ini dikembangkan, masih banyak produk
fesyen yang tidak mempertimbangkan lingkungan, tidak ramah lingkungan, dan
kesadaran ekologi masih rendah, eco printing merupakan teknik yang sederhana
dan dapat dilakukan orang banyak (konsep do it yourself) bisa menjadi gerakan
sadar lingkungan dalam memproduksi sebuah fesyen. Eksplorasi teknik eco
printing ini akan menghasilkan karya-karya estetik yang bernilai tinggi, unik,
berbeda dalam ragam corak maupun warna karena dihasilkan dengan proses cetak
langsung dibanding dengan menggunakan pewarna sintetis. Produk yang
dihasilkan memiliki nilai tambah dalam budaya lokal yang ramah lingkungan.
8
B. STUDI PUSTAKA
1. Eco Fashion
Dalam katalog Eco Week tentang History of Fashion : Eco Fashion,
Coco Chanel Chronology, Eco fashion menyebutkan :
Eco Fashion or Eco Friendly Fashion is a term used to refer when
something cause a minimal or null impart on the environment. There is
not thing like a 100 % eco-friendly clothing, this is because to
manufacture clothes is required the use of water and energy. Eco friendly
clothes promote green living that help to converse energy, air, water and
noise pollution.
Eco fashion diartikan dengan bentuk industri fesyen yang ramah lingkungan
dengan menggunakan bahan baku organik, rendah dalam penggunaan bahan kimia
baik dalam proses produksi maupun dalam proses pewarnaan, dalam proses
produksi menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan dan tahan lama. Eco
fashion merupakan subjek yang luas, dengan cabang-cabang yang mempunyai
relasi dengan konsep-konsep fesyen yang lain, seperti ethical fashion yang
merupakan suatu pendekatan etis antara fesyen desain dengan konsumsi produk
dan produksi pakaian yang memaksimalkan manfaat bagi orang lain dan
komunitas, sembari meminimalisir dampak buruk terhadap lingkungan. Selain
membuat produk baru yang dalam eco fashion juga melakukan pembuatan produk
baru dari produk lama yang biasa disebut dengan remanufactured fashion atau
Upcycle.
9
Remanufactured Fashion defined as the process of remaking used clothes
into new clothing that is at least equal to if not better than the original
manufacture specification from the consumers perspective and the brand
and garment labels attached to the garment will indicate that the
garment has been remanufactured to at least equal quality to that of a
newly manufactured equivalent (Subramanian Senthilkanna Muthu, 2016
: 5).
Remanufactured fashion biasanya mengubah fungsi dari produk sebelumnya,
misalnya dari sebuah dress diubah menjadi rok.
Dalam terciptanya sebuah produk eco fashion terdapat stategi-strategi yang
mendukung antara lain stategi desain adalah desain untuk meminimalisir sampah
(limbah), desain untuk upcycling yang merupakan proses mengolah sampah atau
barang-barang yang sudah tidak digunakan menjadi material yang baru dan
inovatif, dengan kualitas yang lebih baik atau dampak yang lebih baik untuk
lingkungan. Meminimalisir bahan kimia, bahkan hingga desain untuk memberikan
suara atau kritik sosial dengan membangun kesadaran sosial lewat produk.
Strategi-strategi ini dapat digunakan oleh desainer untuk lebih bertanggung jawab
terhadap cara kerja dan bagaimana dampaknya untuk lingkungan. Dalam hal ini
eco fashion dijadikan sebagai acuan dasar dalam pembuatan karya dengan
menerapkan kriteria dan konsep sebuah produk dikatakan eco fashion.
2. Sustainable fashion
Sustainably oriented fashion are based on innovative design thingking
and high aesthetic values allied to an appreciation of craftmanship and
quality materials. Sustainable, green of eco fashions continued to suffer
from negative connotations and the concept was largely sidestepped by
the mainstream fashion and textile industries, until the new millenium.
Wether made from totally organic fabrics, or recycled fashions using
vintage clothing or fashion and accessories designed for multiple lives,
10
the design approaches taken by a new wave of independent designers
stand or fall on their fashion merits (Sandy Black, 2012 : 15).
Sustainable fashion diartikan sebagai suatu konsep di mana produk fesyen
yang dihasilkan bisa digunakan berkali-kali (timeless), desain bukan hanya cantik,
tetapi dalam teknik pembuatannya harus dibuat dengan baik (well-made) dengan
menggunakan material yang ramah lingkungan (lebih baik material hasil recycle)
dengan transportasi atau distribusi yang terbatas untuk mencapai produk yang
komplit.
Sustainable fashion bukan hanya berbicara mengenai desain yang ramah
lingkungan, tetapi juga penggunaan material ramah lingkungan, metode proses
produksi ramah lingkungan, transportasi selama produksi yang pendek, serta fair
trade antara industri dengan petani yang menghasilkan serat atau bahan baku
untuk membuat produk fesyen. Konsep sustainable fashion ini muncul karena
adanya fakta-fakta bahwa:
a. Pakaian, sepatu, dan industri tekstil merupakan salah satu industri yang
terbesar di dunia. Industri ini bertanggung jawab terhadap buangan CO2
dan emisi gas greenhouse yang berkontribusi besar atas terjadinya
perubahan iklim.
b. Industri ini menggunakan air lebih banyak daripada industri yang lain serta
membuang sejumlah besar bahan-bahan kimia beracun ke lingkungan.
c. Industri ini juga mengkonsumsi energi dalam jumlah yang sangat besar
dalam bentuk minyak dan listrik dalam proses manufaktur, produksi
sintesis, serta dalam shipping dan air travel.
11
d. Beberapa bahan kimia berbahaya yang sering digunakan dalam industri
tekstil ini adalah karbon, nikel, kromium IV, dan formaldehyde. Beberapa
bahan kimia ini menempel di kulit meskipun telah dicuci. Beberapa di
antaranya merupakan bahan-bahan karsiogenik dan sisanya
mengakibatkan alergi pada kulit dan iritasi.
e. Kapas yang biasa digunakan (tumbuh dengan bantuan pestisida dan
herbisida) tidak hanya menghancurkan bumi, tetapi juga berakibat buruk
pada petani yang bekerja seperti halnya berakibat buruk pada orang-orang
yang menggunakan serat tersebut (Kate Fletcher, 2014).
3. Eco Printing
Eco printing, a contemporary application of traditional natural dye
knowledge, is a direct or contact printing technique that extracts natural
dyes from plant materials, depositing them as prints onto the substrate.
While dyeing whole cloth evenly in one color is usual in traditional
natural dyeing, the aim is to obtain prints in a variety of shapes and
colors with a strongly impressionistic or abstract character ( Wendy
Feldberg, 2014 : 4).
Eco printing diartikan sebagai aplikasi konstemporer mengenai pengetahuan
pewarna alami. Eco printing ini pertama kali dipelopori oleh India Flint, yang
diartikan sebagai proses untuk mentransfer warna dan bentuk ke kain melalui
kontak langsung. Eco print merupakan suatu proses untuk mentransfer warna dan
bentuk ke kain melalui kontak langsung (Flint, 2008). Eco printing ada dua
macam yaitu dengan menggunakan teknik bundle dengan cara menggulung
material tanaman pada kain lalu diikat dan disteam, dan menggunakan teknik
dipukul yaitu dengan cara memukul material tumbuhan secara perlahan-lahan
12
pada kain hingga warna daun menempel pada permukaan kain dengan tujuan
untuk mendapatkan cetakan dalam berbagai bentuk dan warna dengan karakter
yang kuat, impresionistik atau abstrak.
4. Morfologi Tumbuhan
Tumbuhan merupakan organisme multiseluler yang bersifat autotrof.
Tumbuhan berperan penting dalam rantai makanan sebagai produsen. Ilmu yang
mempelajari dunia tumbuhan disebut sebagai ilmu botani. Ilmu botani mencakup
beberapa kajian seperti bentuk tumbuhan yang tampak dari luar (morfologi),
struktur penyusun tumbuhan dari dalam (anatomi), kekerabatan tumbuhan
(taksonomi), fungsi faal organ-organ tumbuhan (fisiologi), tumbuhan dan
lingkungan (ekologi), serta beberapa kajian khusus yang lebih spesifik. Setiap
kajian berkaitan satu sama lain, sehingga dalam mempelajari tumbuhan
diperlukan pengetahuan yang menyeluruh.
Untuk mempelajari tumbuhan, biasanya dimulai dari sel-sel tumbuhan yang
menyusun jaringan, organ, sistem organ, dan satu individu tumbuhan yang
lengkap. Setiap organ penyusun tumbuhan dapat dikatakan sebagai struktur,
dengan fungsi yang berbeda. Biasanya dalam mempelajari hal tersebut lebih
diutamakan mempelajari struktur tumbuhan dari bentuk luarnya, yang dikenal
dengan istilah morfologi tumbuhan. Pengetahuan tentang morfologi tumbuhan
dapat menjadi dasar dalam mempelajari keseluruhan struktur penyusun tubuh
tumbuhan, karena morfologi tumbuhan mencakup bagian-bagian yang merupakan
struktur pokok yang dapat diamati, yaitu akar, daun, batang, bunga, buah, serta
13
struktur lain yang terbentuk dari proses metamorfosis tumbuhan (.Dewi Rosanti,
2013 : 2).
5. Morfologi Daun
Daun mempunyai nama ilmiah folium. Secara umum, daun memiliki struktur
berupa helaian, berbentuk bulat atau lonjong dan berwarna hijau, walaupun
beberapa jenis daun memiliki warna yang lain selain hijau. Warna hijau
disebabkan oleh kandungan zat hijau daun yang disebut klorofil, yang berfungsi
sebagai penangkap energi cahaya matahari melalui fotosintesis.
Daun memiliki fungsi antara lain sebagai resorpsi. Dalam hal ini helaian daun
bertugas menyerap zat-zat makanan dan gas. Daun juga berfungsi mengolah
makanan melalui fotosintesis. Selain itu daun juga berfungsi sebagai alat
transportasi atau pengangkut, zat makanan hasil fotosintesis ke seluruh tubuh
tumbuhan. Dan daun juga berperan sebagai alat transportasi (penguapan air) dan
respirasi (pernapasan dan pertukaran gas).
Bila ditinjau dari jumlah helaian daunnya, daun dibedakan menjadi daun
tunggal dan daun majemuk. Bila setiap satu tangkai daun didukung oleh satu
helaian daun, maka daun tersebut dinamakan daun tunggal. Bila dalam satu
tangkai daun didukung oleh lebih dari satu helaian daun, maka daun tersebut
dinamakan sebagai daun majemuk.
a. Daun Tunggal
Struktur daun tunggal memiliki tiga struktur pokok, yaitu pelepah (vagina),
tangkai (petiolus), dan helaian (lamina). Berdasarkan struktur pokok tersebut,
14
daun dapat dibedakan menjadi daun lengkap dan daun tidak lengkap. Daun tidak
lengkap sering diistilahkan dengan bagian-bagian yang dimilikinya tersebut,
seperti daun bertangkai, daun berpelepah, daun semu, dan daun duduk. Beberapa
jenis daun memiliki alat tambahan yang berbentuk daun penumpu (stipula),
selaput bumbung (ocrea) dan lidah (ligula).
Bangun daun merupakan bentuk keseluruhan helaian daun (lamina). Untuk
menentukan bangun suatu daun, dapat digambarkan secara sketsa visual
berdasarkan bagian yang terlebar, baik dibagian tengah, bawah, maupun
bagian yang memiliki lebar yang sama. Untuk mengamati struktur daun lebih
terperinci, dapat diperhatikan pangkal daun, ujung daun, tulang-tulang daun,
daging daun, warna daun, dan permukaan daun. Secara umum, keenam
struktur tersebut dapat terbentuk sama. Namun dalam kegiatan
mengidentifikasi tumbuhan, perlu dikaji secara terperinci setiap struktur,
sehingga dapat dibedakan daun dari suatu jenis tumbuhan dengan tumbuhan
lainnya (Dewi Rosanti, 2013 : 18).
b. Daun Majemuk
Daun majemuk merupakan modifikasi dari daun tunggal, akibat lekukan
atau torehan tepi daun yang sangat dalam. Daun majemuk memiliki tiga
struktur pokok, ibu tangkai daun (petiolus communis), tangkai anak daun
(petiololus), dan anak daun (foliolum). Berdasakan posisi anak-anak daunnya
pada ibu tangkai daun, daun majemuk dapat dibedakan menjadi daun
majemuk menyirip (pinnatus), daun majemuk menjari (palmatus), daun
15
majemuk bangun kaki (pedatus) dan daun majemuk campuran
(digitatopinnatus).
c. Tata Letak Daun
Tata letak daun dapat menjelaskan posisi daun secara kualitatif dan
kuantitatif. Berdasarkan jumlah daun pada buku-buku batang, tata letak daun
dibedakan mejadi tiga jenis. Bila dalam satu buku duduk dua daun maka
disebut daun berhadapan. Jika satu buku lebih dari tiga daun maka dinamakan
daun berkarang. Pada daun tersebar dapat diketahui spiral genetik, ortosik,
spirostik, parastiknya, rumus, dan diagram daunnya (Dewi Rosanti, 2013 :
18).
Dalam hal ini morfologi daun digunakan sebagai referensi dalam memilih
material tanaman khususnya daun untuk menentukan daun yang mempunyai
karakter yang khas dan unik untu mendapatkan desain yang menarik secara visual
yang nantinya diterapkan dengan menggunakan eco printing.
6. Tanaman Pepaya
Dalam perancangan ini daun yang digunakan yaitu daun pepaya. Pepaya
termasuk jenis buah dan sayuran yang sudah dikenal di Tanah Air. Meskipun
begitu, pepaya bukan tanaman asli Indonesia. Pusat penyebaran pepaya yaitu dari
Meksiko bagian selatan hingga Nikaragua. Diperkirakan, pepaya disebarkan oleh
pelayar-pelayar Portugis pada abad ke-16, mulai dari Afrika Selatan, Kepulauan
Hawaii, India, hingga Australia. Selanjutnya, menyebar ke berbagai negara tropis
lain. Pepaya sudah dikenal di Indonesia sejak abad ke-17. Penjajah bangsa Eropa
16
yang memiliki hubungan dagang dengan Amerika tropis, menyebarkan biji-biji
pepaya di wilayah kolonialnya.
Pada dasarnya, tanaman yang bersifat tahunan ini dapat tumbuh di mana saja.
Di Indonesia, pepaya dapat dijumpai hampir di setiap daerah, baik yang tumbuh
liar maupun sengaja ditanam. Tidak jarang tanaman ini sering terlihat tumbuh di
halaman-halaman dan kebun-kebun pekarangan rumah dan telah berkembang
menjadi komoditas yang diunggulkan.
a. Klasifikasi Botani Pepaya
Dalam klasifikasi botani, pepaya termasuk dalam famili Caricaceae.
Famili ini memiliki empat genus, yaitu Carica, Jarilla, Jacaranda, dan
Cylicomorpha. Ketiga genus pertama merupakan tanaman asli Amerika
tropis, sedangkan yang keempat berasal dari Afrika. Carica memiliki 24
species, salah satu diantaranya adalah pepaya. Tanaman pepaya dalam
bahasa ilmiah disebut Carica pepayae L., marga Carica, famili
Caricaceae. Dalam ilmu botani, kedudukan pepaya diklasifikasikan
sebagai berikut.
Nama Botani dan Taksonomi Pepaya
Kingdom : Platae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Super divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Sub Kelas : Dilleniidae
17
Ordo : Violales
Famili : Caricaceae
Genus : Carica
Spesies : Carica pepayae L.
Nama pepaya dalam Bahasa Indonesia diambil dari Bahasa
Belanda, yaitu pepaya. Di beberapa daerah di Indonesia, pepaya dikenal
dengan beberapa nama lokal, seperti kates, gandul dan gedang. Di
Malaysia pepaya disebut betik, katelah dan kepaya. Di Filipina, pepaya
dikenal dengan nama kapaya dan lapaya. Sementara itu, negara-negara di
Asia lainnya mengenal pepaya dengan beberapa nama yang berbeda,
seperti du du (Vietnam), mala kaw (Thailand), dan fan mu gua (Cina)
(Amir Hamzah, 2014 : 10).
b. Morfologi Tanaman Pepaya
Pepaya tumbuh tegak, berbatang tungga, dan bertajuk rimbun.
Tanaman ini termasuk perdu dengan perakaran kuat dan tidak memiliki
percabangan. Daun tersusun spiral menutupi ujung pohon. Bentuk dan
susunan fisik eppaya tergolong perdu. Umur tanaman sampai berbunga
tergolong tanaman buah-buahan semusim, tetapi dapat tumbuh setahun
atau lebih.
1. Batang Tidak Berkayu
Pepaya memiliki batang bersifat basah (herbaceus), tidak berkayu,
lurus, berbuku-buku, silindris, berongga, berwarna putih kehijauan,
serta mengandung banyak getah dan berair. Tinggi tanaman berkisar
18
5-10 m dengan diameter 10-13 cm. Bantangnya tungga dan tidak
memiliki percabangan. Namun, jika batang atas ditebang, batang juga
dapat bercabang. Cabang-cabangnya juga dapat menghasilkan buah.
2. Berakar Tunggang
Pepaya berakar tunggang dan berakar cabang yang tumbuh mendatar
ke semua arah di kedalaman hingga 50 cm lebih dan menyebar sekitar
60-150 cm dari pusat batang tanaman. Pepaya juga memiliki
perakaran yang kuat, tidak mengayu dan berwarna putih kekuningan.
Perkembangan akar membutuhkan tanah yang gembur, kecukupan air
pada musim kemarau, dan air tidak menggenang pada musim hujan.
3. Daun Tersusun Spiral
Daun pepaya tersusun sprial menutupi ujung batang. Daunnya
termasuk tunggal, bulat, ujung meruncing, pangkal bertoreh, dan
memiliki bagian tepi bergerigi. Diameter daun berkisar 20-75 cm.
Daun pepaya ditopang oleh tangkai daun yang berongga dengan
panjang sekitar 25-100 cm. Daun permukaan atas berwarna hijau tua,
sedangkan permukaan bawah berwarna hijau muda. Daun pepaya
memiliki pertulangan daun menjari sehingga helaian daun menyerupai
telapak tangan. Jika daunnya dilipat menjadi dua, akan tampak daun
itu simetris (Amir Hamzah, 2014 : 13).
19
c. Kandungan Kimia Daun Pepaya
Kandungan kimia dari daun pepaya adalah alkaloid karpain,
dehidrokarpaian, flavonoid, tannin, nikotin, prunasin dan glikosida
sianogenik. Selain itu, daun pepaya juga mengandung enzim papain yang
dilaporkan merupakan enzim proteolitik cictein dimana enzim ini
mempunyai kemampuan proteolitik, yaitu mampu memecah molekul-
molekull protein menjadi bentuk asam amino (Amir Hamzah, 2014 : 20).
20
C. Fokus Permasalahan
Fokus permasalahan yang diselesaikan dalam proyek ini adalah bagaimana
merancang karya tekstil dengan eksplorasi eco printing dan aplikasinya untuk
fesyen wanita.
Top Related