1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembahasan tentang politik Islam tidak pernah kering dari kajian‐kajian
yang dilakukan oleh para akademisi baik dari kalangan Muslim maupun Barat.
Beratus pemikir dan beribu jilid buku berkaitan dengan politik Islam menghiasi
sejumlah perpustakaan di dunia. Beragam bentuk karya ilmiah baik berupa
jurnal, skripsi, tesis atau disertasi yang membahas politik Islam telah
memberikan kontribusi pengayaan pemikiran politik Islan. Perbedaan
pemahaman pun tak terelakkan lagi baik antara kalangan muslim sendiri atau
bahkan antara kalangan Barat sekalipun. Ini menunjukkan bahwa kajian politik
Islam merupakan kajian yang cukup rumit akan tetapi tetap menarik dan
menantang untuk dikaji.
Kajian tentang hubungan Islam dan politik adalah suatu kajian yang tidak
aka nada habis‐habisnya sebagaimana diumpamakan oleh Nurcholis Madjid
laksana menimba air Zamzam di tanah suci. Kenapa? Pertama, disebabkan
kekayaan sumber bahasan, sebagai buah limabelas abad sejarah akumulasi
pengalaman Dunia Islam dalam membangun kebudayaan dan peradaban. Kedua,
kompleksitas permasalahan, sehingga setiap pembahasan dengan sendirinya
tergiring untuk memasuki satu atau beberapa pintu pendekatan yang terbatas.
Pembahasan yang menyeluruh akan menuntut tidak saja kemampuan yang juga
menyeluruh, tapi juga kesadaran untuk tidak membiarkan diri terjerembab ke
2
dalam reduksionisme dan kecenderungan penyederhanaan persoalan. Ketiga,
pembahasan tentang agama dan politik dalam Islam ini agaknya akan terus
berkepanjangan, mengingat sifatnya yang mau‐tak‐mau melibatkan pandangan
ideologis berbagai kelompok masyarakat, khususnya kalangan kaum Muslim
sendiri.1
Masih menurut pendapat Nurcholis Majdid pula bahwa usaha memahami
masalah politik dalam Islam memang bukan perkara sederhana. Hal itu karena
ada dua alasan. Pertama, bahwa Islam telah membuat sejarah selama lebih dari
empat belas abad. Jadi akan merupakan suatu kenaifan jika kita menganggap
bahwa selama kurun waktu yang panjang tersebut segala sesuatu tetap stationer
dan berhenti. Kesulitannya ialah, sedikit sekali kalangan kaum Muslim yang
memiliki pengetahuan, apalagi kesadaran, tentang sejarah itu. Kedua, selain
beraneka ragamnya bahan‐bahan kesejarahan yang harus dipelajari dan diteliti
kekuatan‐kekuatan dinamik di belakangnya, juga terdapat perbendaharaan
teoritis yang kaya raya tentang politik yang hambpir setiap kali muncul bersama
dengan munculnya sebuah peristiwa atau gejala sejarah yang penting.2
Kesulitan dalam memahami masalah politik dalam Islam, berimplikasi
pada belum adanya kesepakatan pendapat mengenai konsep negara Islam.
Musdah Mulia, dalam karya disertasinya tentang pemikiran politik Islam Husain
1Nurcholish Madjid, Islam dan Politik: Suatu Tinjauan Atas Prinsip‐Prinsip Hukum dan
Keadilan dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Volume I Nomor I, Juli Desember 1998 (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 48.
2 Nurcholish Madjid, “Kata Sambutan” dalam Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI‐Press, 1993), h. vi‐vii
3
Haekal yang mengutip pendapat John L. Esposito dalam Islam dan Politik
(Jakarta: Bulan Bintang, 1990), menyebutkan beberapa faktor ketidaksepakatan
itu: 1) negara Islam yang didirikan Nabi Muhammad SAW di Madinah yang
dipandang ideal ternyata tidak memberikan suatu model terperinci, 2)
pelaksanaan khilafah pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbas hanya
memberikan suatu kerangka mengenai lembaga‐lembaga politik dan perpajakan,
3) pembahasan mengenai rumusan ideal (hukum Islam dan teori politik) hanya
menghasilkan rumusan idealis dan teoritis dari suatu masyarakat yang utopian,
dan 4) hubungan agama dan negara dari masa ke masa menjadi subyek bagi
keragaman interpretasi.3
Munawir Sadzali menyebutkan tiga aliran tentang hubungan antara Islam
dan kenegaraan. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata‐
mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara
manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna dan
yang lengkap dengan peraturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk
kehidupan bernegara. Karena itu, Islam tidak perlu atau bahkan jangan meniru
sistem negara Barat. Sistem politik Islam yang harus diteladani adalah sistem
yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan oleh empat al‐Khulafa
al‐Rasyidin.
Aliran kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian
Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran
3 Musdah Mulia, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 2‐3
4
ini Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang rasul biasa seperti rasul‐rasul
sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada
kehidupan yang mulia, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan
dan mengepalai satu negara.
Aliran ketiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang
serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem negara. Tetapi aliran ini
juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang
hanya mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya. Dalam Islam tidak
terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi
kehidupan bernegara.4
Berdasarkan ketiga aliran tersebut, Sukron Kamil, dalam tulisannya di
Jurnal Universitas Paramadina, melakukan tipologisasi pemikiran politik Islam:
tradisional, sekuler, dan moderat. Tipologi tradisional, memandang bahwa Islam
adalah agama dan negara. Hubungan Islam dan negara betul‐betul organic
dimana negara berdasarkan syariat Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi
eksekutif. Yang termasuk tipologi ini adalah Rasyi Ridla, Sayyid Qutub, Al‐
Maududi, dan di Indonesia Muhammad Natsir. Tipologi Sekuler, memandang
bahwa Islam adalah agama murni bukan negara. Tipologi ini terbelenggu dan
sangat terpesona oleh pemikiran nation state Barat Modern. Pemikir yang
termasuk tipologi ini adalah Ali Abd al‐Raziq, A. Luthfi Sayyid, dan di Indonesia
Soekarno. Tipologi Moderat, memandang bahwa meskipun Islam tidak
4 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1993), h. 1‐2
5
menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam Islam
terdapat prinsip‐prinsip moral atau etika dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Untuk pelaksanaannya umat Islam bebas memilih sistem manapun
yang terbaik. Yang termasuk tipologi ini adalah Muhammad Husein Haikal (1888‐
1956), Muhammad Abduh (1862‐1905), Fazlurrahman, Mohamed Arkoun, dan di
Indonesia Nurcholish Madjid.5
Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, yang dikenal dengan Buya Syafii Maarif,
adalah seorang cendekiawan muslim yang concern dalam bidang politik Islam. Ia
berlatar belakang pendidikan formal Muallimin Jogjakarta yang kemudian
melanjutkan kesarjanaannya dalam bidang sejarah. Karya disertasinya yang
diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul “Islam dan Masalah Kenegaraan:
Studi tentang Percaturan dalam Konstituante”, adalah sebuah refleksi dari
pemikirannya tentang politik Islam meskipun tidak secara utuh. Penelitian ini
akan mengerucutkan pemikiran politik Islam Syafii Maarif secara utuh yang
masih berserakan di berbagai makalah dan buku‐bukunya.
Sebagai pembuka wacana pemikirannya tentang politik Islam, pak Syafii
membagi Islam kedalam dua pandangan, yaitu Islam sejarah dan Islam cita‐cita.
Islam sejarah ialah Islam sebagaimana dipahami dan diterjemahkan ke dalam
konteks sejarah oleh umat Islam Indonesia dalam jawaban mereka terhadap
tantangan sosio‐politik dan cultural yang dihadapkan kepada mereka sebelum
dan sesudah kemerdekaan. Sedangkan Islam cita‐cita ialah Islam sebagaimana
5Sukron Kamil, Peta Pemikiran Politik Islam Modern dan Kontemporer, Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 3 No. 1, September 2003: h. 63‐76
6
yang dikandung dan dilukiskan oleh al‐Qur’an dan al‐Sunnah, tetapi yang belum
tentu senantiasa terefleksi dalam realitas sosio‐historis umat sepanjang abad.
Islam cita‐cita ini menggambarkan suatu totalitas pandangan hidup muslim,
sekalipun belum dirumuskan secara sistematis oleh yuris dalam sejarah Islam.6
Paling tidak ada tiga pokok pemikiran politik Islam Syafii Maarif: Pertama
dalam Islam cita‐cita, negara tidak lain dari sebuah alat yang perlu bagi agama.
Dengan kata lain, ia menolak tesis yang menyatakan bahwa Islam itu din dan
daulah. Tentang penolakan terhadap tesis ini ia menulis:
Tapi kuatkah tesis yang mengatakan bahwa Islam itu din dan daulah? Dari al‐Qur’an dan Sunnah, begitu pula dari Piagam Madinah, kita tidak menemukan landasan yang kuat untuk mengikuti pendapat itu…. Yang kita gagal memehaminya ialah daulah ditempatkan sejajar dengan din yang berasal dari wahyu. Bukankah tesis ini dapat bermakna bahwa kita secara tidak sadar telah menyamakan alat dengan risalah?7
Kedua, bentuk negara adalah hasil kreasi manusia, karena itu ia dapat
saja berubah sesuai perkembangan zaman. Prinsip utama bagi suatu negara
untuk dapat dikatakan bercorak Islam ialah jika keadilan, persamaan, dan
kemerdekaan, benar‐benar terwujud dan terasa di dalamnya, serta
mempengaruhi seluruh kehidupan rakyat. Tentang hal ini ia menulis:
Al‐Quran nampaknya tidak tertarik pada teori khas tentang negara yang harus diikuti oleh umat Islam. Perhatian utama al‐Quran ialah agar masyarakat ditegakkan atas keadilan dan moralitas. Maka atas dasar nilai‐nilai etik al‐Quran‐lah bangunan politik Islam wajib ditegakkan. Tapi karena al‐Quran tidak menegaskan bentuk khas suatu negara, maka
6 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam
Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 4 7 Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan,
1993), h. 205
7
model dan struktur ketatanegaraan Islam bukanlah sesuatu yang tak dapat diubah. Ia senantiasa terikat dengan perubahan, modifikasi, dan perbaikan menurut kebutuhan waktu dan ummat.8
Ketiga, karena konsep syura merupakan gagasan politik utama dalam al‐
Quran, maka sistem politik demokrasi nampaknya lebih dekat kepada cita‐cita
politik Qur’ani, sekalipun ia tidak semestinya identik dengan praktek demokrasi
Barat.9
Dari pemaparan tentang pemikiran politik Islam Syafii Maarif tersebut, ia
dapat dimasukkan kedalam tipologi moderat yang menolak klaim ekstrim bahwa
Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik,
tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa Islam tidak ada
kaitannya dengan politik. Dalam setiap karya tulisnya tentang politik Islam, baik
berupa makalah maupun buku, selalu mengutip pendapat‐pendapat
Fazlurrahman. Ini menandakan bahwa pemikiran politik Islam Syafii Maarif
dipengaruhi secara kuat oleh pemikiran Fazlurrahman. Sebagaimana diakuinya
bahwa Fazlurrahman adalah pembimbingnya yang utama dalam penyusunan
disertasi doktoralnya sekaligus mentornya dalam pemikiran Islam.
Buya Ahmad Syafii Maarif adalah seorang cendekiawan muslim Indonesia
yang selalu mengedepankan hati nuraninya dalam tulisan‐tulisannya. Ia seorang
tokoh yang memiliki integritas yang tinggi dalam memegang sebuah prinsip.
8 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam
Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 18 9 Said Tuhuleley, Pencarian Tiada Henti: Spiral dan Sikap Syafii Maarif, dalam
Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif: 70Tahun Ahmad Syafii Maarif, (Jakarta: Maarif Institute, 2005), h. 96‐98
8
Kiprahnya dalam bidang dakwah dan kemasyarakatan telah membawanya ke
posisi puncak di persyarikatan Muhammadiyah sebagai Ketua Umum PP
Muhammadiyah antara tahun 1998‐2005. Ada yang menarik dari sisi pribadinya,
dimana ketika orang mendapatkan posisi puncak dalam sebuah organisasi
biasanya tergoda untuk terjun dalam politik praktis yang memberikan harapan
kekuasaan, ia tidak menggunakan “peluang”tersebut untuk memasuki dunia
politik praktis, justru lebih memilih berkiprah di Muhammadiyah dan memainkan
peran Muhammadiyah sebagai civil society. Lebih dari itu, ia ,dalam pemaparan
tulisan‐tulisannya, kaya akan ungkapan metaforanya.
Salah satu kelebihan Buya Syafii Maarif adalah memiliki sikap empati
yang tinggi kepada stiap orang meskipun terhadap orang yang berbeda
pendapat. Kritiknya terhadap partai Islam yang menginginkan Islam sebagai
dasar negara dalam perdebatan di sidang Majelis Konstituante, disampaikan
dengan sikap empati yang cukup tinggi. Akan tetapi, dalam konteks pemikiran
kenegaraan, ia tidak memberikan sikap empatinya terhadap al‐Maududi.
Misalnya, dalam karya disertasinya tersebut ia mengkritik tentang konsep
“Kedaulatan Tuhan” yang diyakini secara kuat oleh al‐Maududi, dengan menulis:
Bila teori di atas kita hadapkan kepada konsep “Kedaulatan Tuhan” yang dipercaya sebagai inti dari sistem politik Islam dan yang dibela dan dinyatakan oleh sebagian penulis muslim kontemporer, seperti Abul ‘Ala al‐Maududi, kita menemukan sesuatu yang aneh. Pendapat macam ini telah “banyak menimbulkan kebingungan….”10
10 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam
Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 51
9
Padahal,al‐Maududi adalah pemikir muslim yang sangat berpengaruh
pada masanya di seluruh dunia terutama di dunia muslim. Tulisan‐tulisannya
tentang pemikiran Islam sangat bernash dan selalu mengembalikan kepada al‐
Quran dan al‐Sunnah sebagai pedoman dasar dalam mengungkapkan pemikiran‐
pemikirannya. Termasuk dalam pemikiran politik Islam, seperti dalam bukunya
Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam dan Khilafah dan Kerajaan yang kedua
bukunya diterbitkan oleh Mizan, bandung, selalu menyandarkan kepada syariat
Islam. Sementara dari hasil kajian penulis terhadap pemikiran politik Islam Buya
Syafii Maarif nampaknya kering dari konsep syar’i. Karena itu, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian ini yang kemudian ditinjau dari perspektif ulama al‐
salaf al‐shalih.
Sebagai seorang muslim sudah semestinya mengkaji kembali dan
menimbang‐nimbang perbedaan pemahaman dari para akademisi yang memang
berkompeten untuk kemudian menentukan sebuah keyakinan akan kebenaran
yang dipilihnya. Sudah barang tentu tidaklah mudah untuk memutuskannya.
Perlu kajian yang komprehensif dan bernash berdasarkan kaidah‐kaidah ilmiah
yang benar. Karena berkaitan dengan pemikiran Islam, tentunya kita
memandang dengan kaca mata Islam yang berlandaskan al‐Qur’an dan al‐Sunnah
sebagaimana yang dipahami para ulama salaf, bukan dengan kaca mata orang
Barat yang tidak meyakini Islam sebagai kebenaran yang hakiki.
10
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi latar belakang di atas, penulis merumuskan
penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana pemikiran Ahmad Syafii Maarif tetang hubungan Islam dan
negara?
2. Bagaimanakah tinjauan al‐salaf al‐shaleh terhadap pemikiran Ahmad
Syafii Maarif tentang hubungan Islam dan negara?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan jawaban atas pertanyaan‐
pertanyaan yang telah diajukan dalam perumusan masalah. Lebih rinci, peneltian
ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang hubungan
Islam dan negara.
2. Menganalisis dan mengkritisi pemikiran Ahmad Syafii Maarif tetang
hubungan Islam dan negara dalam timbangan al‐salaf al‐shaleh.
b. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara akademis, penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan
khasanah pemikiran politik Islam di Indonesia.
2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi keperluan dakwah.
Khususnya dalam menyebarkan Islamic Worldview dalam semua
konsep kehidupan termasuk negara Islam. Menyadari akan maraknya
11
pemikiran‐pemikiran liberalisme, sekularisme, dan pluralism yang
dikumandangkan bukan hanya oleh pemikir non muslim, bahkan oleh
pemikir muslim sendiri, penulis tergerak untuk, paling tidak,
memberikan sedikit kontribusi untuk menangkal pemikiran‐pemikiran
tersebut dengan menggunakan sudut pandang Islamic Worldview
D. Tinjauan Pustaka
Dari hasil penelusuran penulis terhadap hasil penelitian tentang
pemikiran Ahmad Syafii Maarif didapatkan beberapa karya dalam bentuk skripsi.
Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian tentang pemikiran Ahmad Syafii
Maarif.
Dewi Khusna dalam skripsi Negara dan Kekuasaan dalam Pemerintah:
Studi Pemikiran Ahmad Syafii Maarif (2000) menguraikan konsep negara,
kedudukan negara dan kekuasaan rakyat dalam pemerintah.
Nur Khasanah dalam skripsi Relasi Islam dan Demokrasi Pancasila di
Indonesia Menurut Ahmad Syafii Maarif (2003), mendekripsikan pandangan
Syafii Maarif yang melihat prospek demokrasi Pancasila di mata kaum Muslim
masa depan.
Imam Muklis dalam skripsi Dialektika ke‐Islaman dan ke‐Indonesiaan
dalam Pemikiran Politik Ahmad Syafii Maarif (2008), menyimpulkan pemikiran
Ahmad Syafii Maarif bahwa hubungan Islam dan ke‐Indonesiaan bersifat
simbiosis mutualistik. Negara memerlukan agama, karena dengan agama, negara
dapat bertindak sesuai dengan tata nilai, etika, dan moral dalam kehidupan
12
berbangsa dan bernegara. Sebaliknya agama pun memerlukan negara untuk
dapat berkembang.
Ahmad Asroni dalam skripsi yang berjudul Pandangan Ahmad Syafii
Maarif tentang Diskursus Negara Islam dan Formalisasi Syariat Islam di Indonesia
(2009). Dalam tulisannya, Ahmad Asroni menyatakan bahwa Syafii Maarif
termasuk tokoh muslim yang berkeberatan apabila Islam dijadikan sebagai dasar
negara dan formalisasi syariat Islam. Berkaitan dengan relasi antara Islam dan
negara, secara normatif, Islam tidak menetapkan dan menegaskan pola apapun
tentang teori negara Islam yang wajib digunakan oleh kaum muslimin. Ia
menolak gagasan negara Islam karena menurutnya tidak memiliki basis religio‐
intelektual yang kukuh. Adapun secara historis, terminology negara Islam tidak
terdapat dalam literature klasik. Ia juga menolak tesis yang mengatakan bahwa
Islam merupakan din dan daulah. Dalam persoalan formalisasi syariat islam di
Indonesia, Syafii Maarif tidak menolak asalkan dengan cara konstitusional dan
demokratis. Namun demikian, ia tetap mengkritik kalangan yang menginginkan
pendirian negara Islam dan formalisasi syariat islam di Indonesia
Dari hasil penelusuran penelitian yang mengkaji pemikiran Ahmad Syafii
Maarif, khususnya tentang politik Islam, belum didapatkan pemikiran yang utuh
dan bahkan belum ada penelitian yang bersifat studi kritis. Oleh karena itu, pada
penelitian ini penulis akan mengkritisi pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang
hubungan Islam dan negara dalam bingkai Islamic Worldview. Tentunya tanpa
13
mengurangi rasa hormat kepada Ahmad Syafii Maarif yang dalam beberapa
penulis sangat mengaguminya .
E. Landasan Teori
Sebelum memaparkan landasan teori relasi Islam dan negara, akan
dipaparkan teori ilmu politik secara umum sebagaimana yang digunakan oleh
ilmu politik modern. Berikut ini dipaparkan tentang dasar‐dasar teori ilmu politik.
Miriam Budiardjo mengutip pendapat Andrew Heywood, bahwa politik
adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat,
mempertahankan, dan mengamandemen peraturan‐peraturan umum yang
mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan
kerjasama.11 Adapun tentang teori politik, menurutnya adalah bahasan dan
generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Dengan perkataan lain, teori
politik adalah bahasan dan renungan atas tujuan dari kegiatan politik, cara‐cara
mencapai tujuan itu, kemungkinan‐kemungkinan dan kebutuhan‐kebutuhan
yang ditimbulkan oleh situasi politik tertentu, dan kewajiban‐kewajiban yang
diakibatkan oleh tujuan politik itu. Konsep‐konsep yang dibahas dalam teori
politik mencakup: masyarakat, kelas sosial, negara, kekuasaan, kedaulatan, hak
dan kewajiban, kemerdekaan, lembaga‐lembaga negara, perubahan sosial,
pembangunan politik, modernisasi, dan sebagainya.12
11 Miriam Budiardjo, Dasar‐Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2008), h. 16 12 Ibid, h. 43
14
Mengenai konsep negara, Miriam Budiardjo berpendapat bahwa negara
adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi
yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.13 Adapun unsur‐unsur negara adalah
sebagai berikut:
1. Wilayah, kekuasaan negara meliputi tanah, laut di sekelilingnya sampai
batas 12 mil, dan angkasa di atasnya.
2. Penduduk, yang menyatukan masyarakat dalam suatu negara adalah
nasionalisme yang merupakan perasaan subyektif pada sekelompok
manusia bahwa mereka merupakan satu bangsa dan bahwa cita‐cita
aspirasi mereka bersama hanya dapat tercapai jika mereka tergabung
dalam satu negara atau nation. Ernest Renan, filosof prancis mengatakan,
“Pemersatu bangsa bukanlah kesamaan bahasa atau suku bangsa, akan
tetapi tercapainya hasil gemilang di masa lampau dan keinginan untuk
mencapainya lagi di masa depan.
3. Pemerintah, organisasi yang berwenang untuk merumuskan dan
melaksanakan keputusan‐keputusan yang mengikat bagi seluruh
penduduk di dalam wilayahnya.
4. Kedaulatan, kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang‐undang
dan melaksanakannya dengan semua cara (termasuk paksaan) yang
tersedia.14
13 Ibid, h. 17 14 Ibid, h. 51‐54
15
Louay. M. Shafi menyatakan bahwa kata daulah sudah digunakan dalam
al‐Quran dan hanya ada pada satu tempat yaitu pada QS. 59:7 yang berhubungan
dengan pendistribusian harta fa’I agar tidak beredar pada golongan orang kaya
saja. Namun penggunaan kata daulah yang berkonotasi politis baru dimulai sejak
abad ke enam dan tujuh Masehi. Lu’ai M. Shafi menulis:
In the Sixt and seventh centuries of the Muslim era, the term daulah began to acquire a political connotation. Muslim scholars at this time, mainly historians, began to employ the word in reference to the various Muslim dynasties wich emerged when the institution of khilafah lost its executive power, while reduced to a nominal affice symbolizing Muslim units, while the real political and military power fell into the hands of strong clane and families.15 Fred M. Donner mendefenisikan negara sebagai institusi yang harus
memiliki persyaratan sebagai berikut sebagaimana ditulisnya dalam sebuah
jurnal:
the "state" is defined as a set of political institutions resting on a conception of legal authority; the institutions considered relevant are (a) a governing group, (b) army and police, (c) a judiciary, (d) a tax administration, and possibly (e) institutions to implement state policies other than taxation, adjudication, and maintenance of control by the elite.16 Ahmad Ali Nurdin, dalam jurnal internasional, membuat kategori negara‐
negara Islam yang berkaitan dengan aplikasi hubungan Islam dan negara dalam
tiga kategori. Ia menulis:
First, there are countries which still regard syaria as thefundamental law and apply it more or less in its entirety. Saudi Arabia is acase in point.
15 Louay M. Safi, The Islamic State: A Conceptual Frame Work, The American Journal of
Islamic Social Sciences, 1991, Vol. 8, No. 2, h. 222 16 Fred M. Donner, The Formation of The Islamic State, Journal of The American Oriental
Society, Vol. 106, No. 2, (April‐June, 1986), h. 283
16
Second, there countries where syaria law has been abandoned completely and substituted by a secular one. Turkey fits into this category. Third, there are countries which try to reach a compromise between the two domains of law, by adopting secular law preserving syaria at the same time. These include such countries as Egypt, Tunisia, Iraq Indonesia, and Malaysia.17
Mengenai keterkaitan antara Islam dengan persoalan kenegaraan, para
ulama salaf telah menyepakati akan pentingnya kepemimpinan umat yang
diformulasikan dalam institusi imamah. Bahkan para ulama salaf telah
mewajibkan penegakan imamah sebagai fardlu kifayah. Para ulama Ahlu Sunnah
dan Murji’ah secara umum, Mu’tazilah kecuali segelintir dari mereka, dan
Khawarij kecuali kelompok al‐Najdaat berpendapat wajibnya menegakkan
imamah. Pendapat Syi’ah secara umum pun termasuk mewajibkan, meskipun
mereka memiliki pemahaman berbeda dalam makna wajibnya.18
Menurut pendapat Ahlus Sunnah, dasar atau dalil diwajibkannya
penegakkan imamah adalah ijma shahabat, menurut Dhiauddin Rais, bahkan bisa
jadi adalah dalil satu‐satunya dan dalil‐dalil yang lain hanya dianggap
mengikutinya. Dalil ijma ini dibuktikan oleh peristiwa setelah meninggalnya
Rasulullah SAW, dimana para shahabat mengadakan pertemuan di Saqifah milik
Bani Sa’idah untuk memilih pemimpin umat Islam yang menggantikan
kepemimpinan Rasulullah SAW. Dalam pertemuan itu dihadiri oeh para
pembesar Anshar dan Muhajirin. Persoalan pemilihan pemimpi ini didahulukan
17 Ahmad Ali Nurdin, Islam and State: A Study of The Liberal Islamic Network in
Indonesia, 1999‐2004, New Zealand Journal of Asian Studies, Vol. 7, No. 2, (December 2005), h. 28
18 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 91
17
dari urusan yang paling penting bagi mereka, diantaranya persiapan pemakaman
Rasulullah SAW. Perbedaan yang terjadi dalam pertemuan itu bukanlah tentang
wajib atau tidaknya penegakan imamah, akan tetapi perbedaan tentang siapa
yang akan menjadi pemimpin. Akhirnya semua shahabat bersepakat untuk
mengangkat Abu Bakar r.a sebagai pemimpin.19
Keterkaitan Islam dengan kenegaraan juga diungkapkan oleh banyak
ulama terutama yang concern terhadap permasalahan politik Islam sebagaimana
yang dikutip Dhiauddin Rais. Diantaranya al‐ Mawardi dalam bukunya al‐Ahkam
al‐Sulthaniyah memberikan alasan diwajibkannya keimamahan dalam Islam, ia
mengatakan: “… Seandainya bukan karena para wali (pemimpin), niscaya mereka
menjadi kacau tidak terurus serta menjadi biadab dan liar…”. Imam al‐Ghazali
berpendapat bahwa pelaksanaan kewajiban‐kewajiban agama baik yang bersifat
individu maupun sosial dapat terlaksana jika ditegakkannya institusi keimamahan
dalam suatu pemerintahan. Karena itu dia mengatakan, “Agama dan kekuasaan
adalah dua anak kembar… Agama adalah fondasi dan kekuasaan adalah
penjaga… Sistem aturan agama tidak akan tercapai selain dengan menggunakan
sistem aturan dunia, dan sistem aturan dunia tidak akan dicapai kecuali dengan
adanya seorang imam yang dipatuhi”.20
Ibnu Khaldun, seorang sosiolog muslim, turut memperkuat teori tentang
keterkaitan Islam dengan kenegaraan. Ia memaparkan teori‐teori politiknya
dalam bukunya al‐Muqaddmimah, ia menulis, “Kemudian bahwa melantik imam
19 Ibid, h. 94 20 Ibid, h. 97‐99
18
adalah wajib yang kewajibannya diketahui dari agama dengan ijma para
shahabat dan tabi’in karena para shahabat Rasulullah SAW, ketika beliau wafat,
segera membai’at Abu Bakar r.a. dan menyerahkan kepadanya untuk mengatur
urusan mereka. Demikian pula dalam setiap era setelah itu. Manusia atau umat
tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan kacau dalam suatu masa dari berbagai
masa. Maka dinyatakanlah hal itu sebagai ijma yang menunjukkan wajibnya
melantik imam.”21
Teori keterkaitan Islam dan kenegaraan ternyata juga disepakati oleh
beberapa orientalis terkenal. Diantaranya, Dhiauddin Rais menukil beberapa
pernyataan orientalis, adalah V. Fitzgerald berkata, “Islam bukanlah semata
agama namun juga merupakan sebuah sistem politik. Meskipun pada decade‐
dekade terakhir ada beberapa kalangan dari kaum umat Islam yang mengklaim
sebagai kalangan modernis, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun
seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fondasi bahwa kedua sisi itu
saling bergandengan dengan selaras dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.”
C.A. Nalinno menulis, “ Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan
agama dan negara. Dan batas‐batas territorial negara yang dia bangun it uterus
terjaga sepanjang hayatnya.” Bahkan H.A.R. Gibb dengan tegas mengatkan,
“Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan agama
individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang
21 Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, (Kairo: Daar al‐Fajr Li al‐Turats, 2004), h.
244
19
independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan,
perundang‐undangan, dan institusi.”22
Untuk memahami politik Islam diperlukan pemahaman konsep‐konsep
dasar yang berlandaskan pada sumber hukum Islam, yaitu al‐Quran, al‐Sunnah,
dan ijma para shahabat. Konsep‐konsep dasar yang harus dipahami terlebih
dahulu adalah konsep tentang Ummah, Syura, dan Imamah atau Khilafah.
Konsep‐konsep ini tidak terdapat dalam konsep politik modern Barat.
Ummah, menurut pengarang Lisan al‐Arab,dalam pengertian bahasa
artinya adalah sekelompok dan kaum di kalangan manusia. Raghib al‐Ashfahani
dalam al‐mufradat fi gharib al‐Quran secara lebih jelas mendefinisikan ummat
adalah setiap jama’ah yang disatukan oleh sesuatu hal; satu agama, satu zaman,
atau satu tempat. Baik factor pemersatu itu dipaksakan ataupun berdasarkan
atas pilihan.23
Secara lebih terperinci, Sa’id Hawwa, menjelaskan unsur‐unsur pemersatu
ummah dalam hal ini adalah umat Islam. 1) Kesatuan aqidah, dimana umat Islam
mempunyai suatu sistem yang menghimpun setiap orang yang mengucapkan la
ilaha illa Allah secara ikhlash. Sehingga barang siapa tidak mengucapkannya,
maka tidak termasuk bagian umat ini. 2) Kesatuan ibadah, ibadah yang
diwajibkan Allah kepada umat Islam semua adalah satu. Setiap muslim
diwajibkan shalat lima waktu sehari semalam, shaum di bulan ramadlan setiap
22 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 5‐6 23 Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, Menuju Jama’atul Muslimin: Telaah Sistem
jama’ah dalam Gerakan Islam, (Jakarta: Rabbani Press, 1991), h. 43‐44
20
tahun, zakat apabila telah cukup nishab, dan kewajiban‐kewajiban Islam yang
lain. 3) Kesatuan adat dan prilaku, setiap umat Islam mempunyai keteladanan
yang baik pada diri Rasulullah SAW. 4) Kesatuan sejarah, seorang muslim tidak
terikat oleh tanah air atau warna kulit tertentu, dan hanya sejarah Islamlah yang
menjadi ikatan dan kebanggaannya. 5) Kesatuan bahasa, merupakan suatu yang
alami jika bahasa Arab menjadi salah satu factor pemersatu umat Islam, karena
undang‐undang Islam adalah al‐Quran yang diturunkan dalam bahasa Arab. 6)
Kesatuan jalan, sesungguhnya jalan kaum muslimin adalah satu, yaitu jalan para
Nabi dan Rasul. Karena itu, seorang muslim dituntut agar teguh dan konsisten di
jalannya. 7) Kesatuan undang‐undang, sumber undang‐undang umat Islam
adalah al‐Quran dan al‐Sunnah. Kaum muslimin dilarang mengambil rujukan,
untuk menata dan mengatur gerakan mereka di atas bumi ini, kecuali dari apa
yang diturunkan Allah dan dibawa Rasul‐Nya. 8) Kesatuan pimpinan, umat Islam
sepakat bahwa pemimpinnya yang pertama adalah Rasulullah SAW, kemudian
para khalifah‐nya yang terpimpin. Masing‐masing dari mereka menjadi pemimpin
pada zamannya.24
Makna syura menurut bahasa adalah meminta‐keluar, seperti dalam
ungkapan syara’ al‐‘asala yasyuruhu syauran, artinya mengeluarkan madu dari
sarang lebah.25 Secara istilah, musyawarah dapat berarti meminta pendapat dari
para ahli tentang suatu masalah. Menurut pengarang al‐Munjid menyimpulkan
24 Sa’id Hawwa, Al‐Islam, (Jakarta: Al‐I’tisham Cahaya Umat, Terj., 2002 M)m, 2/112‐117 25 Ibnu Manzhur, Lisan al‐‘Arab, (Beirut: Daar Shadir, 1388 H), 6/103
21
bahwa Majelis Syura ialah majlis yang dibentuk untuk membahas urusan‐urusan
negara.26 Jadi, konsep syura merupakan unsur yang sangat penting dalam
hubungannya Islam dan kenegaraan. Sebagaimana Sayyid Quthb, ketika
menafsirkan ayat “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”,
mengatakan, “Ini adalah nash yang tegas yang tidak boleh diragukan lagi oleh
umat Islam, bahwa syura adalah dasar asasi bagi tegaknya sistem pemerintahan
Islam. Islam tidak boleh tegak kecuali di atass prinsip ini.”27
John L. Esposito menyatakan bahwa umat Islam menerima demokrasi
dalam kehidupan politiknya karena hampir sama dengan konsep syura yang
terdapat dalam al‐Quran. Ia menulis:
Muslim interpretation of democracy build on the well established Qur’anic concept of shura (consultation), but place varying emphases on the extend to wich “the people” are able to exercise this duty. One school of thought argues that Islam is inherently democratic not only because of the ptonciple of consultation, but also because of the concept of ijtihad and ijma’ (consensus).28 Istilah imam, khalifah atau amir al‐mu’minin ditujukan kepada satu
pengertian, yaitu kepemimpinan tertinggi umat Islam, tetapi masing‐masing dari
istilah tersebut mempunyai latar belakang historis dan politis tersendiri. Al‐
Mawardi mendefinisikan imam dengan mengatakan, “Imamah dibentuk untuk
menggantikan kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.”29
Adapun penyebutan khalifah berawal dari pemilihan Abu Bakar r.a pada
26 Al‐MunjidFi al‐Lughah Wa al‐A’lam, (Beirut: Daar al‐Masyriq, 1986 M) h. 407 27 Sayyid Quthb, Fi Zhilal al‐Quran, (Bairut: Daar al‐Syuruq, 1992), 4/117 28 John L. Esposito and James P. Piscatori, Democratization and Islam, The Middle East
Journal, Vol. 45, No. 3, (Summer, 1991). 29 Al‐Mawardi, Al‐Ahkam Al‐Sulthaniyah, (Beirut: Daar al‐Kutub al‐‘Ilmiyah), h. 5
22
peristiwa saqifah untuk menggantikan Rasulullah SAW dalam memimpin umat
Islam dan memelihara kemaslahatan mereka.30 Adapun gelar amir al‐Mu’minin
diberikan pertama kali kepada khlaifah yang kedua, Umar ibn al‐Khaththab.31
F. Metode Penelitian
Penelitian yang baik dan benar adalah penelitian yang berdasarkan
landasan ilmiah dengan mengacu kepada metodologi peneltian yang benar. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini penulis akan memaparkan metode penelitian
sebagai berikut:
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan
data kepustakaan berupa buku‐buku yang terkait dengan focus kajian sebagai
sumber data (library research).32 Data‐data yang dikumpulkan adalah berupa
jurnal‐jurnal ilmiah, buku‐buku, dan karya tulis baik berupa skripsi ataupun tesis
yang berkaitan dengan tema penelitian.
b. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan historis‐
filosofis. Pendekatan historis adalah penyelidikan kritis terhadap keadaan‐
keadaan, perkembangan serta pengalaman di masa lampau dan menimbang
secara cukup teliti dan hati‐hati terhadap bukti validitas dari sumber sejarah
30 M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 78 31 Ibid, h. 82 32 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1990), h. 9
23
serta iterpretasi dari sumber keterangan tersebut. Pendekatan ini digunakan
untuk menggambarkan kenyataan‐kenyataan sejarah yang berkaitan dengan
pemikiran Ahmad Syafii Maarif, sehingga dapat dipelajari faktor lingkungan yang
mempengaruhi pemikirannya. Adapun pendekatan filosofis digunakan untuk
mengkaji dan menganalisis keseluruhan data yang diperoleh dari pendekatan
historis.
c. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara dokumentasi, yaitu dengan
mengumpulkan data yang diperoleh kemudian dikelompokan menjadi data
primer dan data sekunder.
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku‐buku asli
karya Ahmad Syafii Maarif tentang politik Islam. Diantaranya adalah:
1. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam
Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1996).
2. Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin
(1959‐1965), (Jakarta: GIP, 1996).
3. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993).
Adapun datan sekunder adalah semua sumber data yang mendukung
dalam pembahasan penelitian tentang negara Islam baik tentang pemikiran
24
Ahmad Syafii Maarif maupun tentang pemikiran tokoh muslim yang lainnya.
Diantara sumber data sekunder yang dibunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Buku Muhammadiyah & Politik Islam Inklusif: 70 Tahun Ahmad Syafii
Maarif, (Jakarta: Maarif Institute, 2005, editor Abd Rohim Ghazali &
Saleh Partaonan Daulay), adalah merupakan kumpulan tulisan
tentang pemikiran politik Islam Ahmad Syafii Maarif.
2. Jurnal Ahmad Asroni Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Negara
dan Syariat Islam di Indonesia, (Millah Vol. X, No 2, Februari 2011)
3. Buku Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, (Jakarta:
Paramadina, 2001), buku ini merupakan hasil karya disertasi Musdah
Mulia yang diterbitkan oleh penerbit Paramadina.
4. Buku M. Dhiauddin Rasi, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001)
5. Buku Al‐Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam,
(Bandung:Penerbit Mizan, 1995)
6. Buku Al‐Maududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Penerbit Mizan,
1993)
7. Buku Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan
Pemikiran, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1993)
25
d. Analisis Data
Penelitian ini bersifat deskriptif‐analitis. Deskripsi, berarti
menggambarkan secara tepat sifat‐sifat suatu individu, keadaan, gejala atau
kelompok tertentu untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu
gejala/frekuensi adanya hubungan tertentu suatu gejala dengan gejala lain
dalam masyarakat. Sedangkan analisis, adalah jalan yang diteliti untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan perincian terhadap
obyek yang diteliti dengan jalan memilah‐milah antara pengertian yang satu
dengan pengertian yang lain untuk sekadar memperoleh kejelasan mengenai
halnya.33 Metode deskriptif‐analitik dengan demikian adalah metode dengan
cara menguraikan sekaligus menganalisis. Dengan menggunakan kedua cara
secara bersama‐sama maka diharapkan objek dapat diberi makna secara
maksimal.34
Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke
dalam suatu rumusan pada kategori dan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan
tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja yang disarankan untuk menganalisis
data.35
Data yang diperoleh akan dianalisis secara berurutan dan interaksionis
yang terdiri dari tiga tahap, yaitu sebagai berikut:
33 Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 1996), h. 47‐49 34 Nyoman Kutha Ratna, Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosial
Humaniora pada Umumnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 336 35 Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995, h.
112
26
Pertama, setelah pengumpulan data selesai dilakukan, langkah
selanjutnya adalah reduksi data, yaitu menggolongkan, mengarahkan,
membuang yang tidak perlu dan mengoraganisasikan sehingga data terpilah‐
pilah. Kedua, data yang telah direduksi akan disajikan dalam bentuk narasi.
Ketiga, penarikan simpulan dari data yang telah disajikan pada tahap kedua
dengan mengambil simpulan.
Setelah dilakukan analisis dengan metode di atas, kemudian data
dianalisis kembali dengan menggunakan perspektif ulama al‐salaf al‐shalih, yakni
melakukan deskriptis analitis berdasarkan metodologi yang digunakan oleh para
ulama al‐salaf al‐shalih. Pada tahap ini, peminjaman metode yang dibangun oleh
perkembangan ilmu pengetahuan perlu dilakukan secara kriris‐selektif, dengan
menjadikan Islam sebagai basic of knowledge.
G. Sistematika Penulisan
Pembahasan dalam penelitian ini menggunakan sistem penulisan sebagai
berikut:
Bab pertama, berupa pendahuluan yang terdiri dari; latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
landasana teori, metode penelitian, sistematika penulisan dan penutup.
Bab kedua, memaparkan biografi Ahmad Syafii Maarif yang terdiri dari;
biografi Ahmad Syafii Maarif, Latar Belakang intelektual Ahmad Syafii Maarif,
27
metodologi dan corak pemikiran Ahmad Syafii Maarif dan Karya‐karya Ahmad
Syafii Maarif.
Bab ketiga, mendeskripsikan pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang
hubungan Islam dan negara yang terdiri dari; landasan teori politik Islam, konsep
negara Islam, konsep Piagam Madinah, konsep syura sebagai prinsip dasar politik
Islam, dan cita‐cita negara Islam dalam konteks ke‐Indonesiaan.
Bab keempat, membahas analisis pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang
relasi Islam dan negara perspektif ulama al‐salaf al‐shalih yang terdiri dari;
konsep pemahaman ulama al‐salaf al‐shalih,dasar‐dasar teori politik Islam, relasi
Islam dan negara menurut ulama al‐salaf al‐shalih, tinjauan pemahaman ulama
al‐salaf al‐shalih terhadap pemikiran Ahmad Syafii Maarif.
Bab kelima, adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran‐saran.
Top Related