Download - BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71863/potongan/S2-2014... · 3. Musyawarah (Mediasi, Konsiliasi, Negosiasi) 4. Dalam hal perjanjian

Transcript

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam suatu transaksi, terdapat kemungkinan debitur lalai melaksanakan kewajiban

(wanprestasi) bukan karena over macht, yang dapat berbentuk :

1. tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2. terlambat memenuhi prestasi.

3. memenuhi prestasi secara tidak baik (tidak sesuai dengan yang diperjanjikan).

Penyelesaian wanprestasi atas suatu kontrak dapat dilakukarn melalui berbagai cara,

yaitu:

1. Melalui gugatan keperdataan (Peradilan Perdata) atau litigasi. Litigasi merupakan

penyelesaian sengketa melalui proses peradilan resmi (ordinary court).

2. Arbitrase

3. Musyawarah (Mediasi, Konsiliasi, Negosiasi)

4. Dalam hal perjanjian utang piutang diikat dengan jaminan kreditur dapat menjual

barang jaminan tersebut

5. Melalui Kepailitan.

Secara etimologis, istilah "kepailitan" berasal dari kata "pailit". Dalam Bahasa

Perancis, istilah ' faillite" artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan

pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah failliet. Sedangkan dalam

2

bahasa Latin dipergunakan istilah ' fallire", dan dalam bahasa Inggris dikena!

dengan kata to fail, untuk arti yang sama. Disamping itu pada negara-negara yang

berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan dipcigunakan istilah-

istilah bankrupt dan bankruptcy.

Ada beberapa pendapat tentang pengertian kepailitan tersebut, antara lain :

1. Kepailitan menurut Memorie van ToelichCing (Penjelasan umum) adalah suatu

pensitaan berdasarkan hukum atas seluruh harta kekayaan si berutang guna

kepentingannya bersama para yang mengutangkan.

2. E. Suherman berpendapat bahwa pada hakekatnya failisemen adalah suatu sita

umum yang bersifat conservatoir dan pihak yang dinyatakan failit hilang

penguasaannya atas harta bendanya. Penyelesaian failit diserahkan kepada

seorang kurator yang dalam melaksanakan tugasnya diawasi oleh seorang

komisaris, yaitu hakim pengadilan yang ditunjuk.

3. Kamus Hukum Ekonomi mengartikan "bankrupt" atau pailit adalah suatu keadaan

debitur yang dinyatakan dengan putusan hakim bahwa ia dalam keadaan tidak

mampu membayar hutang-hutangnya.

4. Dalam UU No. 37 Tahun 2004, kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua

kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh

Kurator di bawah pengawasan Hakim pengawas sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang ini.

Jadi kepailitan merupakan sitaan umum terhadap seluruh harta kekayaan debitur,

yang dinyatakan dengan putusan hakim bahwa ia tidak mampu membayar utang-

3

utangnya. Sitaan mana akan dibagikan secara seimbang bagi kepentingan para para

kreditumya.

Pernyataan pailit ini berkaitan dengan "ketidak mampuan untuk membayar" dari

seorang debitur atas uiang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan itu harus

disertai dengan tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela

oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga, suatu permohonan pernyataan

pailit ke Pengadilan. Jadi pernyataan pailit itu harus dinyatakan dengan putusan hakim.

Kepailitan merupakan lembaga Hukum Perdata Eropa, sebagai realisasi dari asas

yang terdapat dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPer, sebagai berikut : Pasal 1131

KUHPerdata. Segala kebendaan milik debitur, baik yang bergerak atau tidak bergerak,

yang sekarang ada maupun yang akan ada kemudian menjadi jaminan bagi pelunasan

hutangnya.

Pasal 1132 KUHPerdata

Bahwa bila debitur lalai memenuhi kewajibannya, kreditur berhak melakukan pelelangan

atas harta dan benda debitur dan hasilnya digunakan untuk melunasi hutang debitur

sesuai dengan perimbangan jumlah utangnya

Melalui lembaga Kepailitan dilakukan penyitaan umum (eksekusi massal) atas seluruh

harta benda debitur dan selanjutnya akan dibagikan pada para kreditur secara seimbang

dan adil di bawah pengawasan petugas yang berwenang.

Mengingat Kepailitan merupakan realisasi asas hukum yang terkandung dalam

Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata, maka sebagai peraturan umum lembaga kepailitan ini

adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) khususnya Pasal 1 131 dan

1132.

4

Sedangkan dasar hukum khusus tentang kepailitan adalah Undang-Undang No. 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. UU ini

diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2004, dalam LN Tahun 2004 Nomor 131. UU

kepailitan ini terdiri dari 5 Bab dan 308 pasal.

UU No. 37 Tahun 2004 mencabut berlakunya Undang-Undang Kepailitan yang berlaku

sebelumnya yaitu :

1. " Fuillissement Verordening, Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto

Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348, yang judul lengkapnya adalah " Verordening

op de Ezrropanen in Nederlands Indie" (Peraturan untuk Kepailitan dan

Penundaan Pembayaran bagi orang-orang Eropa di Hindia Belanda.

2. Undang-undang Nomor 4 tahun 1998 tentang Penetapan Perpu Nomor I Tahun

1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan menjadi undang--

undang.

Seiarah pengaturan masalah kepailitan di Indonesia dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Failissements Verordening (Fv) atau Peraturan Kepailitan, S.1905 No.217 jo. S.

1906 No. 348. Fv ini tidak popular dan jarang digunakan dalam menyelesaikan

masalah utang piutang. Fv menggunakan Hukum Acara Perdata dalam

penyelesaian perkara kepailitan sehingga memakan waktu lama dan tidak efisien.

2. Tanggal 22 April 1998, dikeluarkan Perpu No. I Tahun 1998 tentang Perubahan

atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan sebagai

Undang-Undang dengan Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan

Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang

5

Kepailitan menjadi Undang-Undang. Perubahan dilakukan karena materi Undang-

Undang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat dalam

penyelesaian utang piutang.

Dalam UU No. 4 Tahun 1998 diatur berbagai ketentuan baru,

a. Syarat dan prosedur permintaan pernyataan pailit, termasuk time frame yang lebih

pasti.

b. Tambahan pengaturan tentang tindakan sementara yang dapat diambil oleh pihak

kreditur atas kekayaan debitur sebelum adanya putusan kepailitan.

c. Peneguhan fungsi kurator dan dibukanya kemungkinan adanya curator swasta.

d. Pengesahan bahwa upaya hukum yang mungkin adalah kasasi (tanpa banding)

serta tata caranya yang lebih jelas.

e. Adanya mekanisme "slay" yang merupakan penangguhan pelaksanaan hak

kreditur preferens, dan pengaturan status hukum tentang perikatan yang telah

dibuat sebelum putusan pernyataan pailit.

f. Penyempurnaan ketentuan mengenai tundaan pembayaran.

g. Pembentukan Pengadilan khusus yang disebut dengan Pengadilan Niaga.

3. UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan clan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang. Undang-Undang ini mencabut clan menyatakan tidak berlaku

UU No. 4 Tahun 1998, karena perubahan di atas yang dilakukan dengan

menambah, merubah clan meniadakan ketentuan dalam FV yang tidak sesuai

dengan kebutuhan masyarakat, jika ditinjau dari materi yang diatur masih

6

mengandung berbagai kekurangan dan kelemahan, antara lain tidak ada

pengertian tentang "utang" yang menjadi dasar putusan pailit.

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU diundangkan pada

tanggal 18 Oktober 2004, dalam LN Tahun 2004 Nomor 131. Undang-Undang ini terdiri

dari 5 Bab dan 308 pasal.

Perseroan Terbatas merupakan salah satu bentuk usaha kegiatan ekonomi yang

paling diminati saat ini,1 disamping karena pertanggungjawabannya yang terbatas,

Perseroan Terbatas juga memberikan kemudahan bagi pemegang sahamnya untuk

menjual atau mengalihkan perusahaannya tersebut.2 Sifat pertangungjawabannya yang

terbatas dan kemudahan untuk menjual sahamnya tersebut merupakan salah satu alasan

bagi para pelaku usaha untuk mendirikan suatu badan usaha berbentuk Perseroan

Terbatas.3

Perseroan Terbatas adalah kegiatan bisnis yang penting dan banyak terdapat di

dunia ini, termasuk di Indonesia. Kehadiran Perseroan sebagai salah satu kendaraan

bisnis memberikan kontribusi pada hampir semua bidang kehidupan manusia. Perseroan

telah menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan

memberikan kontribusi yang tidak sedikit untuk pembangunan ekonomi dan sosial.

1 Banyak pelaku menggunakan PT sebagai bentuk usahanya karena PT lebih mudah

dalam mengumpulkan dana usaha. Pemilik modal pasif tertarik karena risiko yang kecil dengan tanggung jawabnya sebatas saham yang dimiliki, lihat Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan soal-soal aktual Hukum Perusahaan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 3

2 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999, hlm. 1

3 Badriyah Rifai Amirudin, Peran Komisaris Independen dalam Mewujudkan Good Corporate Governance di Tubuh Perusahaan Publik, <http://researchengines.com/badriyahamirudin.html> , diakses 23 Desember 2009

7

Sebagai suatu badan hukum4, pada prinsipnya Perseroan Terbatas dapat memiliki

segala hak dan kewajiban yang dapat dimiliki oleh setiap orang perorang, dengan

pengecualian hal-hal yang bersifat pribadi, dan hanya mungkin dilaksanakan oleh orang

perorang. Guna melaksanakan segala hak dan kewajiban yang dimilikinya tersebut, yang

berbeda satu dengan yang lainnya. Organ-organ tersebut dikenal dengan sebuatan Rapat

Umum Pemegang Saham (selanjutnya disebut RUPS), Direksi, dan Komisaris.5

Salah satu organ yang cukup penting dalam menjalankan kegiatan Perseroan adalah

Direksi. Disebut cukup penting, karena Direksi yang menjalankan dan mengendalikan

perusahaan dalam setiap aktivitas usahanya. Keberadaan Direksi dalam suatu Perseroan

merupakan suatu keniscayaan, karena Perseroan sebagai artificial person tidak dapat

berbuat apa-apa tanpa direfesentasikan oleh Direksi sebagai natural person.6 Kedudukan

Direksi menjadi sangat penting karena tanpa Direksi, Perseroan tidak akan dapat

menjalankan fungsinya sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu, sekalipun

Perseroan sebagai badan hukum memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan pendiri

atau pemegang saham lainnya, tetapi hal ini hanya berdasarkan teori organ hukum, bahwa

Perseroan dianggap sebagai realitas dari subyek hukum yang dapat memiliki hak dan

kewajiban serta dapat menjalankan pengurusan perseroan melalui organ-organnya.

4 Terdapat perbedaan mendasar antara usaha yang berbadan hukum dan yang tidak.

Sebagai badan hukum, perusahaan menjadi subyek hukum yang terpisah dari pendirinya (separate legal personality), dengan konsekuensi bahwa kekayaan perusahaan terpisah dari pendiri maupun pemegang saham lainnya. Hesty D. Lestari, Konsekuensi PT sebagai Badan Hukum, Diktat bahan kuliah Program Studi Magister Ilmu Hukum, Jakarta, Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2009

5 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm. 77 6 IG.Rai Wijaya, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Jakarta: Kesain

Blanc,2002,hlm. 1

8

Direksi diberikan kepercayaan oleh seluruh pemegang saham melalui mekanisme

RUPS untuk menjadi organ Perseroan yang akan bekerja untuk kepentingan Perseroan,

serta kepentingan seluruh pemegang saham yang mengangkat dan mempercayakan

sebagai satu-satunya organ yang mengurus dan mengelola Perseroan. Setelah RUPS

menyetujui pengangkatan direksi Perseroan, maka seluruh pemegang saham tidak lagi

berhubungan dengan Direksi Perseroan, dan oleh karena itu maka Direksi tidak dapat

menggunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya tersebut untuk dipergunakan dalam

kapasitasnya, untuk merugikan kepentingan satu atau lebih pemegang saham minoritas,

meskipun tindakan yang dilakukannya tersebut baik bagi Perseroan menurut

pertimbangannya.7

Dalam hubungan hukum, di satu sisi Direksi diperlakukan sebagai penerima kuasa

dari Perseroan untuk menjalankan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan

sebagaimana telah digariskan dalam anggaran dasar Perseroan. Di sisi lain Direksi juga

diperlakukan sebagai karyawan Perseroan, dalam hubungan atasan dan bawahan dalam

suatu perjanjian perburuhan yang mana berarti Direksi tidak diperkenankan untuk

melakukan sesuatu yang tidak atau bukan menjadi tugasnya. Disinilah sifat

pertanggungjawaban Direksi sangat relevan, di mana Direksi dapat diminta

pertanggungjawabannya secara pribadi apabila ia terbukti melakukan kesalahan atau

kelalaian dalam mengelola perseroan.8

Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan jalannya Perseroan untuk

mencapai maksud dan tujuan Perseroan. Tanggung jawab Direksi ditentukan oleh adanya

7 Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Pemilik, Direksi, dan Komisaris Perseroan

Terbatas, Piercing the Corporate Veil memberlakukan tanggung jawab pribadi pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris menurut UUPT No. 40 Tahun 2007, hlm. 53

8 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Op.Cit., hlm. 98

9

unsur kesalahan atau kelalaian, itikad baik, dan tanggung jawab dalam menjalankan

tugas. Akan muncul tiga kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, apabila ada itikad

baik dan tanggung jawab serta dilengkapi dengan adanya kewenangan untuk bertindak,

maka apabila timbul kerugian, Direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, karena

tindakan Direksi yang demikian adalah sah dan mengikat PT. Kedua, apabila tidak ada

itikad baik dan tanggung jawab tetapi ada kewenangan untuk bertindak, maka tindakan

Direksi adalah sah dan tetap mengikat PT, sehingga apabila timbul kerugian, maka

pemenuhan kewajiban atas kerugian tersebut akan diambilkan dari aset PT, namun

apabila aset PT masih kurang, maka aset Direksi pribadi yang tanpa itikad baik dan

tanggung jawab tersebut yang akan diambil untuk pemenuhan kewajiban.

Ketiga, apabila tidak ada itikad baik dan tanggung jawab serta tidak ada

kewenangan untuk bertindak, maka tindakan Direksi tidak sah dan tidak mengikat PT,

sehingga apabila timbul kerugian, maka Direksi tersebut bertanggung jawab secara

pribadi. Mengenai tanggung jawab Direksi secara ekstern, maka unsur utama adalah ada

atau tidaknya kewenangan bertindak dari Direksi akan muncul dua kemungkinan kondisi

yang akan terjadi. Pertama, ada kewenangan bertindak dari Direksi, maka yang

bertanggung jawab adalah PT, karena tindakan Direksi yang didasarkan pada

kewenangan akan sah dan mengikat PT. Namun apabila aset PT tidak mencukupi untuk

pemenuhan kewajiban seluruhnya, maka secara residual aset Direksi pribadi akan ikut

juga digunakan untuk pemenuhan kewajiban tersebut, yaitu Direksi yang dalam

menjalankan kewenangannya tersebut diketahui tanpa itikad baik dan tanggung jawab.

Kedua, tidak ada kewenangan bertindak, maka Direksi akan bertanggung jawab secara

10

pribadi karena tindakan yang tanpa didasari kewenangan tidak sah dan tidak akan

mengikat PT, melainkan mengikat Direksi secara pribadi.9

Dalam melaksanakan kepengurusan terhadap Perseroan tersebut, Direksi tidak

hanya bertanggung jawab terhadap Perseroan dan para pemegang saham perseroan

(sharehorlders), melainkan juga terhadap pihak ketiga yang mempunyai hubungan

hukum dan terkait dengan Perseroan (stakeholders), baik langsung maupun tidak

langsung dengan Perseroan.10

Sebagai organ perseroan yang menjalankan pengurusan perseroan, Direksi harus

melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Dengan demikian,

Direksi harus bertindak beriktikad baik dan penuh tanggung jawab. Karena itu, dalam

menjalankan tugasnya, Direksi harus berhati-hati dan tidak boleh mengambil keuntungan

sendiri atas perusahaan, dan/atau tidak memiliki benturan kepentingan baik langsung

maupun tidak langsung dalam menjalankan pengurusan perseroan. Pelanggaran terhadap

prinsip-prinsip tersebut menyebabkan Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban

hukumnya secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukannya, baik kepada pemegang

saham maupun kepada pihak lainnya.11

Dalam sistem common law seperti di Inggris, konsep pertanggungjawaban direksi

dapat dilihat dari sudut pelaksanaan tugas kepercayaan (fiduciary duty). Dalam konsep

tersebut, Direksi dianggap sebagai trustee atau pihak yang diberikan tugas kepercayaan

menjalan pengurusan dan pengelolaan terhadap perseroan. Selama direksi melakukan

9 Ibid.., hlm. 97 10 Umar Kasim, Tanggung Jawab Koorporasi dalam Mengalami Kerugian,

Kepailitan, atau Likuidasi, http://helmilaw-helmi.blogsport.com/2008/07/tanggung jawab-koorporasi, diakses tanggal 23 Desember 2009

11 Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Pemilik, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas, Piercing the Corporate Veil, Op.Cit., hlm. 64

11

pengurusan perseroan dengan prinsip kehati-hatian dan penuh tanggung jawab (duty of

care and diligent), serta tidak adanya benturan kepentingan (duty of loyalty) di dalamnya,

maka segala kebijakan direksi dianggap tidak melanggar fiduciary duty.

Sistem hukum yang dianut oleh Indonesia memang tidak menganut sistem hukum

common law, tetapi juga tidak secara tegas menganut civil law. Namun demikian, dalam

perundang-undangan maupun dalam praktek di Indonesia lebih dekat dengan sistem civil

law. Karena itu konsep fiduciary duty tidak ditemukan dalam sistem hukum di Indonesia.

Konsep pertanggungjawaban direksi dapat dilihat dari penerapan pasal 97 ayat (2) yang

mana direksi dalam pelaksanaan tugas pengurusan Perseroan harus dilakukan dengan

iktikad baik dan penuh tanggung jawab.

Perkembangan hukum bisnis di dunia menjelaskan bahwa penerapan konsep

pertanggungjawaban direksi juga menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi para

Direksi untuk mengambil keputusan bisnisnya. Dalam dunia bisnis adalah lazim bagi

Direksi untuk mengambil sebuah keputusan yang bersifat spekulatif karena ketatnya

persaingan usaha. Permasalahan timbul ketika keputusan bisnis yang diambilnya ternyata

merugikan perusahaan, padahal dalam mengambil keputusan tersebut, Direksi telah

melakukannya dengan jujur dan iktikad baik. Untuk melindungi para Direksi yang

beriktikad baik, maka muncul teori business judgment rule yang merupakan salah satu

teori yang sangat populer untuk menjamin keadilan bagi para Direksi yang mempunyai

iktikad baik. Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan,

khususnya bagi para Direksi sebuah Perseroan Terbatas dalam membuat keputusan

bisnis. Namun demikian, penerapan teori business judgment rule oleh hakim pengadilan

juga harus diputuskan dengan hati-hati agar tidak dijadikan sebagai alasan pembenar saja

12

untuk melepaskan tanggung jawab Direksi yang atas kesalahan atau kelalaiannya

menyebabkan perseroan pailit.

Dalam berbagai kasus dapat ditemui bahwa Direksi melakukan berbagai kesalahan

dalam mengelola perseroan. Tetapi demi keuntungan yang diraih, Direksi terkadang

bersembunyi dibalik perseroan untuk membatasi tanggung jawabnya. Dalam konteks

yang demikian maka dapat diterapkan tanggung jawab sampai ke harta pribadi Direksi di

mana pengadilan akan mengesampingkan status badan hukum dari perseroan terbatas

tersebut dan membebankan tanggung jawab kepada organ perseroan terbatas tersebut

dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas yang biasanya dinikmati oleh

mereka.12 Kekebalan (immunity) yang biasa dimiliki oleh pemegang saham, direksi dan

komisaris, dapat diterobos menjadi tanggung jawab tidak terbatas hingga kekayaan

pribadi apabila terjadi kelalaian atau kesalahan dalam melakukan pengurusan perseroan.13

Dalam UUPT, pengecualian prinsip pertanggungjawaban terbatas dimuat dalam Pasal 3

ayat (2) dan Pasal 97 ayat (3).

Salah satu kasus yang menarik untuk dianalisis yaitu kasus gugatan yang diajukan

terhadap Direktur PT. yang mana terdapat indikasi kuat bahwa Direksi telah melakukan

12 Ibid, hlm. 8. Tanggung jawab terbatas (limited liability) yang biasa dimiliki

pemegang saham sebenarnya juga dapat diterobos apabila Direksi dan komisaris melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan pengurusan perseroan.. Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal aktual Hukum Perseroan, Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, edisi revisi, 2004, hlm. 7. Lihat juga IG. Ray Wijaya, Op.Cit., hlm. 147

13 Doktrin ini berasal dari common law system dimana apabila Direksi terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian maka maka terhadapnya dapat diterapkan piercing the corporate veil. pengadilan dapat menggunakan doktrin tersebut sebagai dasar pembebanan tanggung jawab terhadap Direksi dengan cara menyingkap tirai perseroan yang dijadikan sebagai kedok oleh Direksi untuk membatasi tanggung jawabnya. Doktrin Fiduciary Duty dan Peran Direksi, <http://www.portalhr.com/majalah/edisisebelumnya/strategi/1id281.html>,7 April 2009.

13

kesalahan dan kelalaian dengan menjalankan pengurusan dan pengelolaan perseroan. Hal

tersebut terlihat dari kebijakan Direksi melakukan perjanjian kerjasama tanpa

sepengetahuan dan peresetujuan Komisaris. Padahal di dalam Anggaran Dasar disebutkan

bahwa perjanjian kerjasama harus mendapat persetujuan Komisaris. Selain itu, Direktur

juga telah melakukan kerjasama dengan PT. yang notabebenya merupakan saudara dari

Direktur PT. tersebut. Karena itu, perjanjian tersebut dapat dianggap lebih berorientasi

untuk meraih keuntungan pribadi (self dealing) sehingga melanggar asas iktikad baik.

Kebijakan tersebut telah menyebabkan perseroan mengalami kerugian dan tidak mampu

membayar utang-utang kreditur yang telah jatuh tempo.

Atas dasar hal tersebut maka penggugat mengajukan tuntutan kepada Direksi PT.

karena dianggap bersalah dan lalai dalam melakukan pengurusan perseroan. Di tingkat

Pengadilan Negeri, gugatan penggugat dikabulkan oleh majelis hakim dan menyatakan

bahwa direksi harus bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan karena

Direksi terbukti bersalah dan lalai memberikan kebijakan tanpa persetujuan komisaris

dan adanya unsur iktikad dalam pengurusan perseroan. Putusan tersebut kemudian

dibatalkan oleh Pengadilan karena pembuktian masalah adanya kesalahan dan kelalaian

direksi harus dibuktikan terlebih dahulu di Pengadilan Niaga dalam proses kepailitan.

Sedangkan dalam putusan permohonan pernyataan pailit atas PT. tidak disebutkan adanya

bukti kesalahan dan kelalaian yang dilakukan oleh direksi. Selanjutnya putusan

Mahkamah Agung membatalkan hasil Putusan Pengadilan dan menguatkan hasil Putusan

Pengadilan Pengadilan tersebut.

Dari fakta hukum tersebut tergambar bahwa terdapat kesulitan bagi pihak

penggugat untuk membuktikan adanya kesalahan atau kelalaian direksi. Hal tersebut

14

terjadi karena ketidakjelasan mekanisme pertanggungjawaban direksi yang atas kesalahan

dan kelalaian menyebabkan perseroan pailit. Dalam rumusan undang-undang tidak

dijelaskan secara lebih detail mengenai konsep pertanggungjawaban direksi apakah harus

diajukan bersamaan dengan proses kepailitan atau diajukan dalam perkara tersendiri

sehingga menimbulkan berbagai penafsiran hukum.

Kerugian yang dialami oleh Perseroan yang diakibatkan oleh karena kelalaian dan

kesalahan direksi. Maka berdasarkan pasal 97 ayat (3) UUPT, direksi dapat diminta

pertanggungjawabannya atas kerugian tersebut sampai kepada harta pribadi direksi.

Apabila direksi lebih dari seorang maka menurut pasal 97 ayat (4) tanggung jawab

tersebut dibebankan secara tanggung renteng. Sementara menurut pasal 104 ayat (2)

UUPT, apabila perseroan mengalami pailit karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan

harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan

tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh

kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut.

Namun demikian, penerapan Pasal tersebut tidak semudah dengan apa yang dimuat

dalam teks undang-undang. Secara concreto, apabila dikaitkan dengan Undang-undang

No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

mengenai pembuktian unsur-unsur kepailitannya sendiri sering menemui kesulitan,belum

lagi tidak ada pengaturan yang lebih jelas bagaimana prosedur pertanggungjawaban itu

dapat dimintakan. Salah dalam menerapkan Undang-undang tersebut dapat meloloskan

direksi dari jeratan tanggung jawabnya. Akibatnya perlindungan hukum terhadap

kepentingan para kreditur menjadi terabaikan.

Beberapa materi baru yang diatur dalam UU No. 37 tahun 2004 :

15

1. Terdapat batasan yang jelas mengenai pengertian utang demikian juga dengan

penjatuhan waktu.

2. Terdapat ketentuan tentang syarat-syarat clan prosedur pernyataan pailit clan

permohonan PKPU termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu yang pasti

untuk pengambilan putusan pailit clan PKPU (antara lain. putusan pailit harus

diucapkan paling lambat 60 hari sejak pendaftaran permohonan pailit diajukan)

Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 dikemukakan perlunya pengaturan masalah

Kepailitan dan PKPU yaitu :

1. untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalarn waktu yang sama ada

beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur.

2. untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang

menuntut haknya dengan menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan

kepentingan debitur clan para kreditur lainnya.

3. untuk menghindari adanya kecurangan yang dilakukan oleh salah satu kreditur atau

debitur sendiri

Undang-Undang Kepailitan dibuat berdasarkan pada asas -asas hukum sebagai berikut :

1. Asas Keseimbangan,

Undang-Undang memuat ketentuan yang mencegah penyalahgunaan lembaga

kepailitan oleh Debitur yang tidak jujur, di lain pihak memuat ketentuan yang

mencegah penyalah gunaan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad

baik

16

2. Asas Kelangsungan Usaha

Memuat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap

dilangsungkan

3. Asas Keadilan

Ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak

yang berkepentingan. Asas ini mencegah kesewenangan Kreditur/penagih yang

meminta pembayaran dari debitur tanpa memperhatikan kepentingan kreditur lain.

4. Asas Integrasi

Sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh

dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional

Beberapa pengertian dalam UU No. 37 Tahun 2004:

Kepailitan adalah : sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan

pernberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang

yang dapat ditagih di muka pengadilan. Debitur adalah orang yang mempunyai utang

karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka

pengadilan. Debitur pailit adalah debitur yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan

Pengadilan.

Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik

dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang

akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-

17

undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur clan bila tidak dipenuhi memberi hak

kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.

Syarat untuk dinyatakan pailit

Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Th 2004:

Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya

satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan

pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih

krediturnya.

Pasal 6 :

Permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh :

1. Debitur

2. Kejaksaan untuk kepentingan umum

3. Bank Indonesia dalam hal debitur adalah Bank

4. BAPEPAM dalam hal debitur adalah Perusahaan efek, Bursa Efek, Lembaga

Miring dan penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan penyelesaian.

5. Menteri Keuangan dalam hal debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan

Reasuransi, Dana Pensiun, BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik .

Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan menentukan bahwa permohonan

pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti

secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Adapun yang

dimaksud "Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana" itu adalah adanya fakta

dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Undang-

18

Undang Kepailitan mengatur time frame yang pasti untuk penyelesaian kepailitan, antar

lain menentukan jangka waktu putusan pailit harus diucapkan sebagaimana diatur dalam

Pasal 8 ayat (5) UU Kepailitan sebagai berikut :

Putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60

hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan

Pasal 15

Dalam putusan pernyataan pailit tersebut harus diangkat Kurator, yang akan melakukan

pengurusan dan pemberesan harta pailit, serta Hakim Pengawas yang ditunjuk untuk

mengawasi kurator dalam melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit.

Dalam Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan dinyatakan bahwa Kepailitan meliputi

seluruh harta kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala

sesuatu yang diperoieh debitur selama berlangsungnya kepailitan. Menurut Pasal 22 UU

Kepailitan ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap :

1. benda, termasuk hewan yang dibutuhkan debitor sehubungan dengan

peketjaannya, perlengkapan, alat-aiat medis yang digunakan untuk kesehatan,

tempat tidur dan perlengkapannya yang digunakan debitor dan keluarganya,

bahan makanan untuk 30 hari bagi debitor dan keluarganya.

2. segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai

penggajian dari suatu jabatan atau jasa, upah, pensiun, uang tunggu atau uang

tunjangan, sejauh ditentukan Hakim Pengawas;

3. uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi

natkah menurut undang-undang.

19

Selanjutnya Pasal 24 UU Kepailitan mengatur akibat hukum bagi debitor yang

dinyatakan pailit, yaitu Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan

mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak putusan pernyataan pailit

diucapkan.

Pelaksanaan Putusan Pengadilan Niaga atas permohonan pernyataan pailit dilakukan

melalui rangkaian mata acara yang banyak melibatkan peranan kurator dan Hakim

Pengawas di dalamnya, yaitu :

a. Rapat Kreditur,

b. Pencocokan Piutang (Verifikasi),

c. Penawaran Perdamaian (Akkoord),

d. Insolvensi,

e. Pemberesan harta pailit serta pembayaran hutang-hutang pailit pada para

Krediturnya, hingga berakhirnya kepailitan,

f. rehabilitasi bagi debitur pailit.

Rangkaian acara dalarn pelaksanaan putusan Pengadilan Niaga itu dilakukan dengan

tujuan mengadakan pembagian harta kekayaan si pailit (dalam boedel pailit) kepada para

kreditur sebagai realisasi Pasal 1 131 dan 1 132 KUHPerdata.

Pemberesan harta pailit

Pasal 178 UU Kepailitan Ayat (1)

Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian; rencana

perdamaian tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan

20

yang telah memperoleh kekuatan hukurn tetap, derni hukum harta pailit berada dalam

keadaan insolvensi (berada dalam keadaan berhenti membayar)

Pasal 188

Apabila hakim pengawas berpendapat bahwa terdapat cukup uang tunai, kurator

diperintahkan untuk melakukan pembagian kepada kreditur yang piutangnya telah

dicocokkan

Melalui pembagian harta pailit kepada para kreditur ini terpenuhi asas dalam Pasal 1131

dan 1132 KUHPerdata, bahwa seluruh harta debitur meniadi jaminan pelunasan bagi

piutang kreditur. Setelah kreditur mendapat pelunasan piutangnya (debitur memenuhi

kewajiban), berakhirlah kepailitan. Debitur dapat mengajukan rehabilitasi pada

Pengadilan.

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Kepailitan, maka kepailitan akan berakhir karena

beberapa sebab, yaitu :

a. Setelah adanya perdamaian (composition, akkord) yang dihomologasikan dan

berkekuatan pasti.

b. Setelah insolvensi dan pembagian.

c. Atas saran kurator karena harta debitur tidak cukup.

d. Kepailitan dicabut atas anjuran Hakim Pengawas.

e. Jika putusan pailit dibatalkan di tingkat kasasi atau peninjauan kembali.

Utangnya, dapat melanjutkan usaha dan dengan demikian dapat membayar lunas hutang-

hutangnya. PKPU sementara ditetapkan Pengadilan paling lambat 3 hari sejak tan-gal

pendaltaran, dalam hal rermohonan diajukan oleh debitur dan paling lambat 20 hari sejak

21

tanggal pendaftaran apabila PKPU diajukan oleh kreditur. Dalam penetapan PKPU

scmentara itu Pengadilan harus menunjuk :

1. Hakim Pengawas

2. Pengurus, yang bersama debitur mengurus harta debitur

PKPU sementara berlaku sejak tanggal putusan PKNU diucapkan clan berlanosung,

sampai dengan tanggal sidang yang merupakan rapat permusyawaratan hakirn untuk

mcmbicarakan rencana perdamaian yang diajukan debitur dan menetapkan PKPU tetap.

Pasal 228 UU Kepailitan

Ayat (5) Dalam hal PKPU tetap tidak dapat ditetapkan oleh Pengadilan maka debitur

dinyatakan pailit ayat (6) Apabila PKPU tetap disetujui, maka PKPU beserta

perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 hari setelah putusan sementara diucapkan.

Atas dasar pemikiran tersebut maka penulis mengangkat judul penelitian tentang

“Implementasi Tanggung Jawab Direksi Atas Kesalahana Yang Menyebabkan Perseroan

Pailit (Studi Kasus Putusan NO. 1896 K/PDT/2009)”. Hal tersebut menjadi penting

untuk diteliti karena secara faktual pembebanan tanggung jawab terhadap Direksi oleh

hakim pengadilan jarang sekali ditemukan. Selain faktor pembuktian, faktor-faktor lain

non hukum seringkali juga menjadi penghambat penerapan tanggung jawab pribadi

kepada Direksi.

B. Perumusan Masalah

Sesuai dengan apa yang telah diuraikan pada latar belakang di atas, dapat

diidentifikasi persoalan pertanggungjawaban direksi sangat luas, termasuk

pertanggungjawaban perdata dan pidana. Pertanggungjawaban perdata direksi dapat

terjadi misalnya karena direksi tidak memberikan laporan keuangan tahunan mengenai

22

posisi aktiva dan pasiva perseroan. Selain itu juga bisa terjadi misalnya perseroan atau

direksi melakukan kontrak bisnis terdapat benturan kepentingan, perbuatan wanprestasi,

penipuan, dan/atau perbuatan melawan hukum, ataupun lain sebagainya.

Masalah lain yang kemungkinan akan muncul adalah bagaimana perbedaan

pertanggungjawaban direksi apabila perseroan yang dipimpinnya adalah perseroan

tertutup dan/atau terbuka. Apakah ada implikasi tertentu dalam persoalan tersebut. Dan

bagaimana pula kalau misalnya perseroan tersebut adalah milik pemerintah yang

sebagian besar atau seluruh sahamnya adalah milik negara seperti Badan Usaha Milik

Negara/BUMN.

Mengingat begitu umum dan kompleksnya permasalahan yang akan muncul, maka

penulis membatasi penelitian ini pada tanggung jawab direksi perseroan atau perusahaan

yang sudah go public yang memungkinkan keterlibatan banyak penanam modal di

perusahaan tersebut. Selain itu penulis juga membatasi masalah ini pada tanggung jawab

perdata apabila direksi melakukan kesalahan dalam pengurusan perseroan.

Untuk lebih mempertajam obyek penelitian, maka permasalahan-permasalahan

yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penerapan pembuktian pertanggungjawaban Direksi atas kesalahan yang

menyebabkan Perseroan pailit ?

2. Bagaimana pertimbangan hokum majelis hakim terhadap kesalahan direksi yang

mengakibatkan kepailitan suatu Perseroan?

23

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui penerapan pembuktian pertanggungjawaban Direksi atas

kesalahan dan kelalaiannya yang menyebabkan Perseroan pailit

2. Untuk mengetahui dasar-dasar pertimbangan hakim tentang pertanggungjawaban

Direksi PT. atas kesalahan dan kelalaiannya yang menyebabkan Perseroan pailit

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teorities maupun

praktis, yaitu:

1. Manfaat teorities, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah

perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan khususnya terhadap

perkembangan bidang ilmu hukum terutama yang berkaitan dengan substansi hukum

perusahaan.

2. Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada

pembentuk undang-undang, khususnya pemerintah dan DPR, sekaligus dapat

menjadi bahan masukan bagi aparat penegak hukum, terutama hakim, serta kalangan

akademisi akan pentingnya penilaian secara lebih komprehensif mengenai konsep

tanggung jawab direksi apabila perseroan mengalami pailit.

E. Keaslian Penelitian

Penjelasan mengenai orisinalitas penelitian yang akan dilakukan dengan

menyertakan perbedaan dan persamaan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh

peneliti lain jika ada. Baik mengenai objek penelitian maupun sudut pandang penelitian.

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah

24

dilakukan baik di perpustakaan Magister Hukum Muhammadiyah, Perpustakaan

Universitas Pembangunan Nasional maupun pada perpustakaan Magister Hukum di

lingkungan Universitas Gadjahmada Yogyakarta, sejauh yang diketahui tidak ditemukan

judul yang sama dengan judul penelitian ini.

Substansi permasalahan yang dibahas didalam kedua penelitian tersebut diatas

adalah berbeda pembahasannya dengan pembahasan dalam penelitian ini. Oleh karena itu

penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat

dipertanggung jawabkan keasliannya secara akademis, karena belum ada yang melakukan

penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.