Download - BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/115733/potongan/S1-2017... · pembentukkan muka bumi (genesis), ... jenis batuan dan sturuktur geologi. ...

Transcript

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peristiwa bencana alam dari tahun ke tahun menunjukkan adanya tren

peningkatan intesitas kejadian yang cukup tinggi. Peningkatan ini terjadi di dunia

maupun Indonesia. Banjir, kekeringan, longsor, tsunami, gempabumi, dan badai

merupakan bencana alam yang dapat memberikan efek kerugian yang besar terhadap

kehidupan manusia. Indonesia terletak pada kondisi wilayah yang kompleks dan rawan

terhadap bencana baik secara geologis, geomorfologis, klimatologis, dan sosial

ekonomi sangat rawan terhadap bencana (Sudibyakto, 2009).

Indonesia terletak pada wilayah yang memiliki kondisi iklim tropis dengan

intesitas curah hujan yang tinggi dan memiliki kondisi topografi yang kasar berpotensi

terhadap terjadinya bencana longsor (Sudibyakto, 2009). Longsor merupakan

fenomena bencana geomorfologi yang disebabkan kondisi ketidakseimbangan proses

geomorfologi yang terjadi dalam ruang dan waktu tertentu (Panizza, 1996). Kondisi

yang menyebabkan peristiwa longsor dipengaruhi oleh dua aspek yaitu aspek fisik dan

aspek manusia. Aspek fisik yang mempengaruhi longsor yaitu bentuklahan,

kemiringan lereng, dan ketinggian tempat sedangkan aspek manusia yang

menyebabkan peristiwa longsor yaitu adanya perubahan penggunaan lahan yang dapat

mempercepat terjadinya longsor (Walker dan Shiels, 2013). Peristiwa bencana longsor

merupakan salah satu bencana alam yang menimbulkan kerugian. Kerugian yang

terjadi tidak hanya berupa kerugian secara material seperti kerugian ekonomi namun

juga dapat menyebabkan hilangnya harta benda, kerusakan infrastruktur, namun juga

mengakibatkan trauma dan kehilangan nyawa pada manusia (Schneid dan Collins,

2001).

2

Bencana longsor merupakan salah satu bencana yang sering terjadi hampir

setiap tahunnya di Indonesia. Proses dinamika lempeng yang cukup intensif terjadi

Indonesia telah membentuk relief permukaannya khas dan bervariasi dengan lereng-

lereng yang curam seakan menyiratkan potensi longsor yang tinggi (Bemmelen, 1984;

Noor, 2011). Faktor penyebab longsor selain disebabkan oleh faktor alam, tetapi

disebabkan juga oleh faktor manusia. Karnawati (2005) menyebutkan bahwa longsor

dapat terjadi jika intensitas curah hujan tinggi, kondisi lereng yang miring hingga terjal,

pelapukan tebal, batuan dan struktur geologi bervariasi dan penggunaan lahan yang

kurang sesuai dengan karakteristik lainnya.

Peristiwa longsor dalam dimensi luasan besar yang terjadi di Sub-DAS DAS

Merawu menjadi salah satu pertimbangan mengenai perlunya penelitian yang lebih

mendalam mengenai distribusi longsor yang dapat menjadi dasar dalam menentukan

potensi terjadinya longsor baru pada masing-masing satuan bentuklahan. Kajian

distribusi longsor ini dapat dijadikan rujukan dalam melakukan analisis aspek

geomorfologi yang menjadi pengontrol utama terjadinya longsor. Oleh karena itu,

penulis melakukan penelitian yang berjudul: “DISTRIBUSI LONGSOR PADA

SETIAP SATUAN BENTUKLAHAN BERDASARKAN PENDEKATAN

GEOMORFOLOGI DI SUB-DAS MERAWU KABUPATEN BANJARNEGARA”.

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian mengenai distribusi longsor dengan menekankan pada pendekatan

geomorfologi dalam melakukan analisis mengenai faktor yang mempengaruhi terhadap

terjadinya longsor belum pernah dilakukan secara mendalam pada wilayah kajian.

Pemahaman dalam melakukan identifikasi dan analisis terhadap distribusi longsor

ditinjau dari aspek geomorfologi dapat menjadi sumber rujukan dalam melakukan

upaya mitigasi bencana longsor pada Sub-DAS Merawu.

Sub-DAS Merawu tersusun dari material yang berasal dari perombakan lereng

yang terbentuk dari proses denudasi yang sangat intesif dengan ketebalan tanah yang

3

bervariasi disertai dengan kondisi lereng yang tidak stabil akibat pengaruh dari pola

penggunaan lahan yang berkembang pada Sub-DAS Merawu.

Kondisi tanah yang bersumber dari proses denudasi menunjukkan dari genesis

tanah yang tua dan pada umumnya memiliki nilai permeabilitas yang tinggi akibat

kondisi tanah yang tidak padat sehingga mengakibatkan ketika terjadinya presipitasi

air yang mengalami proses infiltrasi dan masuk ke tanah dapat dengan mudah terserap

oleh tanah yang mengakibatkan tanah akan memiliki pertambahan berat dan apabila

ketebalan material tanah semakin tebal maka kapasitas infiltrasi yang dimiliki semakin

besar yang dapat memicu terjadinya longsor. Berdasarkan uraian tersebut dapat

dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana tingkat distribusi longsor yang terjadi pada setiap satuan

bentuklahan di Sub-DAS Merawu?

2. Bagaimana pendekatan geomorfologi dalam menunjukkan kondisi

distribusi longsor dan faktor yang mengontrol terjadinya longsor di Sub-

DAS Merawu?

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dijelaskan

sebelumnya maka penelitian yang akan dilakukan ini berjudul “DISTRIBUSI

LONGSOR PADA SETIAP SATUAN BENTUKLAHAN BERDASARKAN

PENDEKATAN GEOMORFOLOGI DI SUB-DAS MERAWU KABUPATEN

BANJARNEGARA”

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Menganalisis hubungan persebaran longsor terhadap faktor-faktor yang

mempengaruhi di Sub-DAS Merawu Kabupaten Banjarnegara.

4

2. Menentukan pola spasial longsor yang terdapat di Sub-DAS Merawu

Kabupaten Banjarnegara

3. Menganalisis faktor pengontrol dominan yang mempengaruhi terjadinya

longsor di Sub-DAS Merawu Kabupaten Banjarnegara

4. Menentukan tingkat kerawanan longsor di Sub-DAS Merawu Kabupaten

Banjarnegara

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu:

1. Mengembangkan ilmu geomorfologi terapan di bidang bencana longsor.

2. Distribusi longsor yang telah dipetakan dapat digunakan sebagai acuan

untuk mengetahui sebaran wilayah yang berada di Sub-DAS Merawu yang

rawan terhadap bencana longsor.

3. Masukan bagi pemerintah Kabupaten Banjarnegara dalam hal

penanggulangan bencana dan perencanaan wilayah berbasis mitigasi

bencana dalam berbagi bentuk intrumen penanggulangan bencana.

4. Sebagai informasi, acuan, dan pembanding serta pengembangan penelitian

yang serupa di masa yang akan datang.

1.5 Tinjauan Pustaka

1.5.1 Geomorfologi

Geomorfologi merupakan ilmu yang berfokus pada studi bentuklahan. Verstappen

(1983) menjelaskan bahwa geomorfologi merupakan ilmu yang mengkaji mengenai

studi bentuklahan baik yang terdapat di daratan permukaan dan di dasar lautan

permukaan bumi dengan menekankan pada lingkup kajian meliputi proses

pembentukkan muka bumi (genesis), perkembanganya hingga saat ini, dan hubungan

interaksi dengan lingkungan dalam konteks keruangan. Bentuklahan merupakan

5

rangkaian konfigurasi medan yang terbentuk oleh proses geomorfik yang memiliki

bentukan secara fisik dan visual dalam periode waktu tertentu (Zuidam, 1983).

Thornburry (1956) mengemukakan mengenai proses geomorfologi sebagai proses

fisik dan kimia yang mempengaruhi perubahan bentuk permukaan bumi yang dibawa

oleh agen geomoforlogi (geomorphic agent). Agen geomorfologi didefinisikan sebagai

beragam media alami yang mengangkut dan membawa material bumi yang

dipengaruhi oleh adanya tenaga geomorfologi berupa tenaga endogen dan tenaga

eksogen.

Verstappen (1983) mengklasifikasikan aspek-aspek gemorfologi menjadi empat

aspek yaitu:

1. Morfologi

Aspek morfologi berkaitan dengan kesan topografis yang

dideskripsikan baik secara kuantitatif dan kualitatif. Aspek morfologi

dikelompokkan menjadi dua yaitu morfografi yang merupakan deskripsi

morfologi secara kualitatif seperti datar, landai, berbukit, bergunung.

Sedangkan aspek morfologi yang menekankan pada deskripsi secara kuantitatif

berupa morfometri yang dilakukan dengan memperhatikan nilai absolut pada

beberapa parameter morfologi seperti panjang lereng, kemiringan sudut, dan

beda tinggi.

2. Morfogenesis

Aspek morfogenesis berkaitan dengan asal mula proses pembentukan

dan perkembangan yang berkeja pada bentuklahan. Aspek morfogenesis

dikelompokkan menjadi tiga yaitu morfostruktur aktif, morfostruktur pasif, dan

dan morfostruktur dinamik. Morfostruktur aktif berkaitan dengan asal mula

proses pembentukan muka bumi yang dipengaruhi oleh tenaga yang berasal

dari dalam bumi (endogen) seperti tektonisme dan vulkanisme. Morfostruktur

pasif berkaitan pada kondisi litologi yang terdapat di dalam bentuklahan seperti

pelapukan dan erosi. Morfostruktur dinamik menekankan pada pengaruh yang

6

berasal dari luar bumi (eksogen) seperti aktivitas gerakan massa tanah, angin

yang mempengaruhi konfigurasi bentuklahan.

3. Morfokronologi

Aspek morfokronologi menjelaskan mengenai umur dari suatu

bentuklahan. Aspek morfokronologi dikelompokkan menjadi dua yakni umur

absolut dan umur relatif. Umur absolut mendeskripsikan usia bentuklahan

secara pasti dan jelas dengan melakukan analisis perhitungan. Umur relatif

merupakan pendeskripsian usia suatu bentuklahan dengan memperhatikan

analisis dari tahapan perkembangan bentuklahan.

4. Morfoaransemen

Aspek morfoaransemen mengkaji bentuklahan dengan mengacu pada

hubungan antara suatu bentuklahan dengan bentuklahan lainnya secara spasial.

Berdasarkan pada aspek geomorfologi tersebut, Verstappen (1983)

mengelompokkan kajian geomorfologi menjadi empat yakni:

1. Geomorfologi Statik, studi geomorfologi yang berfokus pada bentuklahan

aktual.

2. Geomorfologi Dinamik, studi geomorfologi yang menekankan pada proses

yang terjadi pada bentuklahan dalam kurun waktu singkat.

3. Geomorfologi Genetik, studi geomorfologi pada bahasan perkembangan dan

pembentukkan bentuklahan dalam periode panjang.

4. Geomorfologi Lingkungan, studi geomorfologi yang berfokus pada hubungan

antara ekologi bentanglahan terhadap geomorfologi dan aspek kajian lainnya

yang menjadi bagian dari parameter yang menyusun suatu bentanglahan.

7

1.5.2 Longsor

Longsor didefinisikan sebagai peristiwa gerakan massa tanah yang dipengaruhi oleh

gravitasi (Zaruba dan Mencl, 1982). Noor (2011) menjelaskan kondisi yang

mempengaruhi terjadinya longsor berasal dari karakteristik material tanah atau batuan

itu sendiri sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi baik secara endogen dan

eksogen. Longsor merupakan proses geomorfologis yang terjadi dengan beragam

faktor secara kompleksitas yang berkaitan dengan bentuklahan, litologi, struktur

geologi, hidrologi, iklim, vegetasi dan aspek manusia yang menyebabkan terjadinya

longsor (Cruden dan Varnes, 1996).

Panizza (1996) mendeskripsikan mengenai faktor yang menyebabkan terjadinya

longsor dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor intenal dan faktor eskternal. Faktor

internal berkaitan dengan terjadinya reduksi tingkat tegangan material seperti kondisi

geologis, iklim, dan aspek morfologi. Sedangkan pada faktor eksternal berkenaan

dengan terjadinya peningkatan karakteristik tegangan pada material seperti tekanan

lateral, beban material yang berlebihan, pengurangan komposisi ekosistem yang ada di

atas tubuh tanah, dan aktivitas tektonik seperti kenaikan daratan, seismik.

Gambar 1.1 Faktor Penyebab Terjadinya Longsor (Panizza, 1996) dengan modifikasi

Faktor Internal Faktor Eksternal

Penyebab Terjadinya

Longsor

1. Faktor Geologi (Batuan

dan Tektonisme)

2. Kondisi Iklim

3. Morfologi (Lereng, Sudut

Kemiringan Lereng)

1. Tekanan lateral

2. Beban Massa Tanah yang berlebihan

3. Aktivitas Tektonik (kenaikan

daratan, seismik)

4. Aktivitas pengurangan ekosistem di

atas tubuh tanah (penebangan)

8

Karnawati (2005) menjelaskan proses terjadinya longsor disebabkan oleh dua

faktor yang mempengaruhi meliputi faktor internal dan faktor pemicu. Faktor internal

berkaitan dengan kondisi dari dalam bumi yang rentan terhadap bencana longsor

seperti morfologi, stratigrafi, jenis batuan dan sturuktur geologi. Faktor pemicu

terjadinya longsor berkaitan dengan kondisi yang menimbulkan bencana longsor

meliputi gempabumi, infiltrasi air hujan, dan akibat pengaruh manusia dapat berupa

alih fungsi perubahan penggunaan lahan. Arsyad (2006) mengemukakan bahwa

manusia merupakan komponen penting yang mempengaruhi tingkat kerusakan tanah.

Perkembangan aktivitas kegiatan manusia memberikan dampak terhadap tanah baik

secara langsung dan tidak langsung yang menjadi pemicu terjadinya bencana longsor.

Cruden dan Varnes (1996) mengklasifikasikan tipe-tipe longsor, diantaranya sebagai

berikut.

1. Jatuhan Batu (Falls)

Jatuhan merupakan gerakan jatuh dari material pembentuk lereng yang

dapat berupa tanah atau batuan di udara yang disebabkan adanya interaksi

antara bagian-bagian material yang longsor yang disajikan pada Gambar 1.2

di bawah ini. Jatuhan umumnya terjadinya pada karakteristik lereng yang curam

yang terjadi dengan sangat cepat.

Gambar 1.2 Longsor Tipe Jatuhan (Sumber: Cruden dan Varnes, 1996)

9

2. Robohan (Topples)

Longsor tipe robohan merupakan longsor yang terjadi dengan

karakteristik berupa pergerakan rotasi jatuh ke depan dan putus atau terpisah

dengan lereng utama yang terjadi melalui bidang axis yang berada di bawah

pusat gravitasi tanpa melalui bidang gelincir yang ditunjukkan pada Gambar

1.3 di bawah ini. Longsor robohan dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan

karakteristik beban tanah dan atuan batuan yang terdapat di atas permukaan

lereng.

Gambar 1.3 Longsor Tipe Robohan (Sumber: Cruden dan Varnes, 1996)

3. Longsoran

Tipe ini merupakan gerakan luncuran dari material (batuan, tanah,

debris, atau kombinasi dari ketiganya) menuruni lereng melalui permukaan

bidang gelincir. Berdasarkan tipenya terdapat dua klasifikasi pada jens

longsoran, yakni.

a. Rotasional (Slump)

Longsoran rotasional memiliki karakteristik berupa bidang gelincir

yang melengkung sehingga menimbulkan material longsor mengalami

gerakan rotasi. Longsoran rotasional terjadi dengan kecenderungan

material penyusun yang bersifat homogen. Pergerakan kecepatan

longsoran rotasional dipengaruhi oleh dimensi volume mass tanah,

10

kemiringan lereng, dan panjang lereng. Bentuk dari longsoran rotasional

ditunjukkan pada Gambar 1.4 di bawah ini.

Gambar 1.4 Karakteristik Longsor Jenis Longsoran Tipe Rotasional (Sumber:

Cruden dan Varnes, 1996)

b. Luncuran (Translational)

Longsoran translasional terjadi apabila bentuk dari morfologi bidang

gelincir lurus yang sejajar dengan kemiringan lereng yang menimbulkan

material bergerak secara translasi. Longsor tipe translasi memiliki

karakteristik berupa bidang longsor yang mengikuti arah perlapisan tanah

dan permukaan pada batuan dasar. Bentuk dari longsoran translasional

ditunjukkan pada Gambar 1.5 di bawah ini.

Gambar 1.5 Karakteristik Longsor Jenis Longsoran Tipe Luncuran (Sumber:

Cruden dan Varnes, 1996)

11

4. Sebaran (Spreads)

Longsor tipe sebaran merupakan kondisi pergerakan material yanah yang

terjadi secara horizontal, umumnya terjadi pada lereng landai dan biadanya

dikombinasikan dengan gerakan penurunan pad amaterial tanah atau batuan

yang menyebabkan material tanah bergerak.

Umumnya terjadinya longsor tipe sebaran terdapat pada material lempung

berlapis-lapis (varved) yang menimbulkan tekanan air pada pori tanah menjadi

semakin tinggi karena terletak pada sisipan lapisan tipis pasir atau lanau yang

terdapat di dalam lempung sehingga material tanah yang terdapat pada lapisan

atas menjadi hancur dan membetuk aliran (mudflow). Bentuk dari tipe longsor

ini ditunjukkan pada Gambar 1.6 di bawah ini.

Gambar 1.6 Longsor Tipe Sebaran (Sumber: Cruden dan Varnes, 1996)

5. Aliran (Flows)

Tipe longsor ini terjadi akibat adanya pergerakan aliran dari material tanah

yang mengalami penjenuhan akibat kecepatan pergerakan yang dibawa oleh

air sangat cepat dalam periode waktu yang singkat. Berdasarkan jenis

materialnya, tipe longsor aliran dikelompokkan menjadi dua yaitu aliran debris

(debris flow) dan aliran tanah (earth flow).

12

a. Aliran Debris (Debris Flow)

Tipe longsor berupa aliran debris memiliki karakteristik berupa material

yang memiliki butir tanah kasar (Hardiyatmo, 2006). Aliran debris terjadi

pada intensitas curah hujan yang tinggi yang mengakibatkan

terkonsentrasinya aliran dalam cekungan yang panjang dan sempit.

Aliran debris dapat berupa gerakan tanah yang terjadi secara beriringan

antara air dan udara yang mengalir dengan cepat menuju lereng rendah.

Anderson dan Sitar (1995) menjelaskan bahwa dalam banyak kejadian

longsor berupa aliran debris, pada awalnya terbentuk pada lereng dangkal.

Bentuk dari tipe longsor aliran debris disajikan pada Gambar 1.7 di bawah

ini.

Gambar 1.7 Longsor Tipe Aliran Debris (Sumber: Cruden dan Varnes, 1996)

b. Aliran Tanah (Earth Flow)

Aliran tanah terjadi pada tanah-tanah berlempung dan berlanau dengan

intensitas hujan yang sangat tinggi. Rombaknya material tanah disebabkan

oleh terjadinya peningkatan secara bertahap tekanan air pada pori-pori tanah

dan penurunan kuat geser tanah (Hardiyatmo, 2006). Kecepatan aliran tanah

memiliki variasi tergantung pada konfigurasi kemiringan lereng dan kadar air

13

yang ada pada tanah. Bentuk longsor tipe aliran tanah ditunjukkan pada

Gambar 1.8 di bawah ini.

Gambar 1.8 Longsor Tipe Aliran Tanah (Sumber: Cruden dan Varnes, 1996)

6. Rayapan (Creep)

Tipe longsor berupa rayapan merupakan jenis longsor yang terjadi sangat

lambat. Pergerakan tipe longsor ini dapat diamati secara jelas dan dapat

diidentifikasi ciri-cirinya. Longsor tipe rayapan dicirikan pada tingkat sangat

lambat yang ditunjukkan dengan pertmbuhan pohon dengan batang utama yang

miring, dan jalan-jalan pada bukit yang menjadi miring namun tidak secara

signifikan serta tiang-tiang listrik yang menjadi miring. Bentuk longsor rayapan

ditunjukkan pada Gambar 1.9 di bawah ini.

Gambar 1.9 Longsor Tipe Rayapan (Sumber: Cruden dan Varnes, 1996)

14

1.5.3 Analisis Pola Spasial

Pola berkaitan erat dengan lokasi di dalam perspektif keruangan geografi. Pola

merupakan hasil dari susunan informasi keruangan pada setiap lokasi yang terbentuk

membentuk suatu susunan bentuk dari sekumpulan obyek secara keruangan (Kwan dan

Ding, 2008). Bailey dan Gatrey (1995) mengemukakan bahwa pembagian dari analisis

spasial terdiri dari tiga jenis meliputi: 1). Analisis pola titik; 2). Analisis pola area, dan;

3). Analisis interaksi spasial.

Goodchild (1986) menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis pola spasial yaitu acak

(random), mengelompok (clustered), dan dispersi (dispersed). Pola spasial berupa acak

terbentuk apabila rerata jarak antar semua titik lebih besar daripada jarak setiap titik

fenomena keruangan yang terjadi. Pola spasial mengelompok terbentuk apabila rerata

jarak semua titik yang ada lebih dekat dari jarak antar titik yang terbentuk. Pola spasial

dispersi terbentuk apabila rerata jarak setiap titik memiliki jarak yang sama dengan

jarak antar titik. Pola yang terbentuk merepresentasikan fenomena geografi yang terjadi

(Montello et al, 2003). Pola yang memiliki kedekatan antar setiap titik menunjukkan

adanya indikasi terhadap persamaan proses, sebab terjadinya fenomena, dan interaksi

hubungan antara berbagai fenomena baik fenomena yang bersifat biotik dan abiotik.

Semakin jauh jarak antar setiap titik mengindikasikan adanya perbedaan proses, dan

tidak adanya keterkaitan pada setiap fenomena baik biotik dan abiotik.

Metode analisis pola spasial dilakukan dengan berbagai bentuk perhitungan.

Analisis pola spasial memberikan perhitungan dalam melakukan analisis fenomena

geografi yang dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif (Fotheringham et al, 2000).

Penentuan analisis pola spasial secara kualitatif dilakukan dengan memperhatikan

gejala kejadian suatu fenomena dengan cara mengkaitkan dengan berbagai faktor

lainnya yang cenderung mempengaruhi. Sedangkan, analisis pola spasial yang

dilakukan secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan penentuan secara statistik

pada data spasial dengan memperhatikan pada aspek jumlah sampel, dan populasi data

yang membentuk pola spasial terhadap suatu fenomena geografi (Fotheringham et al,

2000; Lloyd, 2011).

15

1.5.4 Bahaya (Hazard)

Bahaya merupakan kemungkinan terjadinya peristiwa yang terjadi pada waktu

tertentu pada suatu wilayah yang menyebabkan terjadinya fenomena kerusakan

(Varnes, 1984). Van Westen et al (2009) mendeskripsikan bahwa bahaya merupakan

kondisi probabilitas kejadian yang dapat terjadi dalam periode waktu tertentu

(temporal probability) , area tertentu (spatial probability), dan magnitudo (magnitude).

1. Probabilitas Keruangan (Spatial Probability)

Glade et al (2005) mendefinisikan probabilitas keruangan sebagai rasio dari

wilayah yang terdampak oleh longsor yang ditentukan berdasarkan luas satuan

wilayah yang dikalikan dengan luas wilayah yang terdampak dengan longsor.

Penentuan probabilitas keruangan dilakukan dengan menggunakan dua metode

pengukuran, yakni pengukurun langsung dan tidak langsung (Van Westen et al,

2008) . Metode pengukuran langsung dilakukan dengan melalui pemetaan

geomorfologi dengan menyajikan informasi frekuensi kejadian longsor yang

terjadi pada masa lampau dan sekarang. Metode pengukuran tidak langsung

dilakukan dengan mengacu pada penyusunan prediksi kerawanan longsor

berdasarkan parameter-parameter yang menyebabkan terjadinya longsor.

Metode pengukuran tidak langsung dikelompokkan menjadi dua, yaitu

heuristik dan statistik. Metode heuristik merupakan metode kualitatif yang

melakukan identifikasi dan analisis longsor dengan parameter yang

mempengaruhi longsor. Metode statistik didasarkan pada penilaian longsor

yang terjadi pada masa lampau dan masa sekarang. Penentuan dengan

menggunakan metode statistik dikelompokkan menjadi dua yakni multivariate

dan bivariate. Analisis multivariate menekankan pada setiap faktor

berhubungan satu sama lain, sedangkan bivariate menekankan bahwa antar

faktor yang mempengaruhi tidak saling berhubungan satu sama lain.

16

2. Probabilitas Temporal (Temporal Probability)

Probabilitas temporal merupakan probabilitas kejadian longsor yang terjadi

dalam waktu tertentu yang dapat menimbulkan fenomena kerusakan (Wu and

Chen, 2013). Penentuan probabilitas temporal terdiri dari dua yakni aspek fisik

dan aspek empiris. Aspek fisik merupakan probabilitas temporal yang

berdasarkan pada faktor yang terdapat dari karakteristik fisik yang berkembang

pada tempat itu sendiri yang memicu terjadinya longsor, seperti geologi,

litologi, kemiringan lereng, ketebalan dan kedalaman tanah. Sedangkan aspek

empiris merupakan aspek yang terjadi secara dinamis sehingga menimbulkan

terjadinya longsor seperti iklim, dan cuaca yang cenderung mengalami

perubahan secara dinamis dan memberikan pengaruh terhadap jumlah dan

luasan longsor yang terjadi.

3. Magnitudo

Magnitudo merupakan besaran longsor yang dinyatakan dalam satuan

tertentu (Glade et al, 2005). Magnitudo dapat diklasifikasikan berdasarkan

volume, tipe, dan karakteristik longsor yang menimbulkan potensi kerusakan

dan ancaman terhadap masyarakat setempat. Corominas dan Moya (2010)

melakukan identifikasi frekeunsi kejadian longsor dengan menggunakan

pendekatan dendrogeomorfologi untuk mendeskripsikan perkembangan

longsor yang terdapat di suatu satuan bentuklahan.

1.5.5 Kerawanan Longsor (Landslide Susceptibility)

Kerawanan longsor (landslide suscepbility) merupakan kondisi secara geologi,

geomorfologi, dan klimatologi, topografi, hidrologi yang dapat dengan mudah

menimbulkan terjadinya longsor yang terjadi baik secara keruangan dan temporal di

suatu wilayah (Sabokbar et al, 2014). Hong et al (2015) menjelaskan semakin mudah

dan besarnya intensitas kejadian longsor di suatu tempat, maka semakin tinggi tingkat

kerawanan longsor yang terjadi.

17

Penentuan tingkat kerawanan longsor dapat dilakukan dengan melakukan

penyusunan zonasi kerawanan longsor (Panizza, 1996). Penyusunan peta kerawanan

longsor dilakukan dalam menyajikan dua aspek informasi meliputi aspek spasial dan

aspek temporal terhadap kejadian longsor (Hartlen dan Viberg, 1988). Aspek spasial

berisi informasi dimana terjadinya proses yang menyebabkan terjadinya longsor

sedangkan aspek temporal menekankan waktu kejadian terjadinya peristiwa longsor.

Metode dalam melakukan pemetaan kerawanan longsor dapat dilakukan secara

langsung dan tidak langsung (Duman et al, 2006). Pemetaan secara langsung menurut

(Pavel et al, 2011) merupakan teknik pemetaan yang didasarkan pada pengamatan

secara langsung lokasi kejadian longsor dengan memperhatikan kondisi medan secara

subjektif berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki dalam melakukan

analisis dan penetaan kerawanan longsor . Sedangkan pemetaan dengan metode tidak

langsung dilakukan dengan menggunakan analisis statitistik dan penyusunan model

dalam memprediksi wilayah yang memiliki tingkat kerawanan longsor dengan

menghubungkan faktor-faktor yang mempengaruhi penyebab terjadinya longsor.

1.6 Penelitian Sebelumnya

Penelitian terkait longsor dari wakti ke waktu mengalami perkembangan dalam

hal penggunaan metode dan analisis. Longsor yang terjadi secara luas pada setiap

wilayah menyebabkan perkembangan penelitian mengenai longsor sangat luas dengan

cakupan perspektif yang holistik dan multidisiplin. Selain itu, dampak yang

ditimbulkan oleh bencana longsor menyebabkan terjadinya kerusakan. Beberapa

peneliti melakukan kajian terhadap longsor yang berkaitan dengan kejadian longsor,

dampak longsor, dan bahaya longsor.

Ghosh et al (2009) melakukan identifikasi generalisasi longsor yang terdapat di

Pegunungan Himalaya untuk melakukan rekonstruksi terhadap kejadian longsor lama

dengan keterbatasan data historis longsor melalui penggunaan data penginderaan jauh

berbagai resolusi. Tujuan dari penelitian yang dilakukan yakni untuk memperoleh data

18

sebaran longsor yang terdapat di Pegunungan Himalaya secara multitemporal.

Analisis yang dilakukan secara statistik multivariate antara kejadian longsor

berdasarkan paramater geomorfologi dan geologis terhadap curah hujan. Sehingga

diperoleh peta multitemporal kejadian longsor dan peta kerapatan longsor secara

multitemporal pada setiap unit medan di Pegunungan Himalaya.

Rahmadana (2011) melakukan penelitian mengenai kerawanan longsor dengan

melakukan identifikasi bentuklahan rawan longsor. Penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan kerapatan longsor sehingga diperoleh nilai kerawanan longsor. Hasil

dari penelitian ini yaitu diperoleh peta inventarisasi longsor dan peta kerawanan

longsor.

Penelitian yang dilakukan oleh Wu dan Chen (2013) mengenai integrasi

probabilitas baik secara spasial, temporal, dan ukuran longsor yang digunakan untuk

menentukan tingkat bahaya longsor di DAS Shihmen, Taiwan. Penelitian dilakukan

dengan melakukan inventarisasi sebaran longsor kemudian dilakukan analisis statistik

log pearso type 5 sehingga diperoleh penyusunan peta indeks kerawanan longsor dan

peta probabilitas longsor baik secara spasial, temporal, dan ukuran longsor.

Irawati (2014) menggunakan informasi yang terdapat pada Peta Rupa Bumi

Indonesia (RBI) untuk menentukan distribusi longsor purba dan longsor baru di

Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo. Metode yang digunakan dilakukan

dengan interpretasi pada informasi RBI dan sensus longsor. Hasil dari penelitian ini

diperoleh peta sebaran titik longsor di Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo

Dalam pelaksanaannya, penelitian ini tidak terlepas dari beberapa penelitian

yang telah dilakukan sebelumnya. Tabel 1.1 di bawah ini menunjukkan beberapa

penelitian mengenai longsor yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti yang dapat

menjadi beberapa referensi penelitian yang terkait dan dapat dibandingkan dengan

penelitian ini.

19

Tabel 1.1 Perbandingan Penelitian Longsor Sebelumnya

No Nama Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil

1 Ghosh et al (2009) Generating Event-Based

Landslide Maps in a Data-

Scarce Himalayan

Environment For

Estimating Temporal and

Magnitude Probabilities

1. Melakukan identifikasi

inventarisasi longsor

berdasarkan kejadian

dengan keterbatasan

data historis longsor

2. Menghitung

probabilitas temporal

dan magnitudo

perkembangan aktivitas

longsor dari waktu ke

waktu

Metode analisis

dilakukan dengan

analisis statistik

multivariate antara

kejadian longsor dengan

tingkat curah hujan.

1. Peta multi-

temporal

inventarisasi

longsor

2. Peta distribusi

kerapatan longsor

berdasarkan setiap

unit medan secara

multitemporal

2 Rahmadana (2011) Kajian Bentuklahan

Rawan Longsor di

Kecamatan Samigaluh

Kabupaten Kulonprogo

Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta

1. Melakukan pemetaan

satuan bentuklahan

rawan longsor

2. Menentukan tingkat

kerawanan longsor

Metode penentuan

kerawanan longsor

dilakukan dengan

perhitungan kerapatan

longsor yang

dikelompokkan menjadi

tiga kelas kerawanan

longsor

1. Peta satuan

bentuklahan

2. Peta sebaran titik

longsor

3. Peta kerawanan

longsor

20

Lanjutan Tabel 1.1

3 Wu dan Chen (2013) Integrating Spatial,

Temporal, and Size

Probabilities for the

Annual

Landslide Hazard Maps in

the Shihmen Watershed,

Taiwan

1. Menentukan distibusi

longsor, probabilitas

keruangan dan temporal

Metode analisis dengan

menggunakan

perhitungan log pearson

type 5

1. Peta indeks

kerawanan longsor

2. Peta probabilitas

longsor

4 Irawati (2014) Interpretasi Informasi

Topografis Pada Peta Rupa

Bumi Indonesia (RBI)

Untuk Mengidentifikasi

Sebaran Longsor Purba dan

Longsor Baru di

Kecamatan Girimulyo,

Kabupaten Kulonprogo

1. Mengidentifikasi

sebaran longsor purba

di Kecamatan

Girimulyo melalui

interpretasi informasi

topografis pada Peta

Rupa Bumi Indonesia

2. Mengetahui persebaran

titik-titik longsor baru

di Kecamatan

Girimulyo

3. Mencari hubungan

spasial antara sebaran

titik longsor baru

dengan area longsor

purba pada jaman

dahulu

Metode analisis yang

digunakan dengan

menggunakan metode

sensus longsor baik

longsor baru dan longsor

purba yang diekstraksi

dari informasi Peta RBI

yang disajikan dalam

bentuk crosstab

1. Peta sebaran

longsor purba

2. Peta sebaran

longsor baru

21

Lanjutan Tabel 1.1

5 Utama (2016) Distribusi Longsor Pada

Setiap Satuan Bentuklahan

Berdasarkan Pendekatan

Geomorfologi di Sub-DAS

Merawu Kabupaten

Banjarnegara

1. Menganalisis hubungan

persebaran longsor

terhadap faktor yang

mempengaruhinya

2. Menentukan pola

spasial longsor

3. Mengetahui faktor

pengontrol dominan

yang berpengaruh

terjadinya longsor

4. Menentukan tingkat

kerawanan longsor

Metode deskriptif-

kuantitatif dengan

melakukan klasifikasi

sebaran pola dan tipe

longsor, serta dilakukan

penentuan secara

kuantitatif tingkat

kerapatan longsor

dalam menentukan

kerawanan longsor

1. Peta sebaran

distribusi longsor

2. Penampang

melintang

ketebalan material

longsor.

3. Peta tingkat

kerawanan

longsor

22

1.7 Kerangka Pemikiran

Studi geomorfologi sangat berkenaan dengan obyek kajian berupa bentuklahan

yang dibahas secara mendalam. Kajain terhadap bentuklahan dilakukan dengan

mempertimbangkan aspek-aspek yang terdapat dalam geomorfologi, yaitu aspek

morfologi, aspek morfokronologi, aspek morfostruktur, dan morfoaransemen yang

masing-masing dari aspek geomorfologi tersebut memiliki kondisi yang khas. Adanya

proses geomorfologi yang bekerja menghasilkan kondisi konfigurasi dari bentuklahan

yang bervariasi dan khas.

Proses geomorfologi memiliki sumber tenaga yang berasal dari tenaga endogen

dan tenaga eksogen. Proses eksogen didominasi olegh pengaruh proses yang memiliki

sifat destruktif terhadap suatu bentuklahan berupa kemampuan dalam mengikis,

mengangkut, dan memindahkan material yang terdapat di permukaan bumi dari suatu

tempat ke tempat yang lain. Salah satu bentuk proses dari hasil geomorfologi yaitu

berupa peristiwa longsor.

Longsor merupakan peristiwa perpindahan pada material tanah yang

dipengaruhi oleh gravitasi bumi. Peristiwa longsor terjadi dipengaruhi oleh

karakteristik material tanah dan batuan serta kondisi yang dipengaruhi dari luar yang

disebabkan oleh proses eksogen. Longsor merupakan salah satu indikator terhadap

kondisi lereng dan material penyusun bentuklahan dalam kondisi tidak stabil sehingga

saat terjadi longsor merupakan salah satu bentuk untuk mencapai keseimbangan dan

kestabilan ditinjau secara geomorfologi. Peristiwa longsor terjadi semakin intensif

pada bentuklahan yang secara morfokronologi mengalami fase yang semakin tua.

Karakteristik material yang menyusun bentuklahan akan memiliki kemampuan

respon yang berbeda pada setiap proses geomorfologi yang terjadi sehingga

mengakibatkan adanya perbedaaan intensitas, luasan, dan distribusi longsor yang

terdapat pada setiap satuan bentuklahan. Kondisi morfologi yang berbeda memiliki

23

konfigurasi dari bentuk permukaan bumi yang berbeda pada setiap satuan bentuklahan

menyebabkan adanya perbedaan karakteristik dari kemiringan lereng dan ketebalan

material penyusun bentuklahan. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap tingkat

kerawanan longsor yang terjadi pada setiap satuan bentuklahan.

Kerawanan merupakan probabilitas bahaya dari suatu wilayah yang berpotensi

mengalami peristiwa longsor. Analisis dari kerawanan longsor dapat ditinjau dari

kondisi inheren yang menyebabkan terjadinya longsor, yaitu berupa ketebalan material

tanah dan kemiringan lereng. Ketebalan material tanah diukur dari lapisan permukaan

tanah hingga batuan induk. Material tanah terbentuk dari proses pedogenesis yang

menghasilkan solum tanah danproses geogenesis yang dipengaruhi oleh erosi,

sedimentasi material.

Kerawanan longsor tidak hanya ditinjau dari faktor inheren penyebab longsor

namun juga ditentukan oleh jumlah dan sebaran kejadian longsor sebelumnya.

Kerawanan longsor semakin tinggi pada kondisi solum tanah yang tebal dan

kemiringan lereng yang semakin curam maka intesitas longsor yang terjadi juga akan

semakin tinggi. Semakin banyaknya longsor yang terjadi serta dengan distribusi yang

bervariasi maka menunjukkan semakian besar kecilnya suatu potensi longsor yang

dimiliki.

24

Geomorfologi

Bentuklahan

Morfologi Morfogenesis

Morfokronologi Morfoaransemen

Morfografi Morfometri

Aspek Topografi

Morfostruktur Aktif

Morfostruktur Pasif

Mofrostruktur Dinamik

Faktor Penyebab

Longsor Pola Spasial Longsor

Gambar 1.10 Diagram Alir Kerangka Pemikiran

Usia Relatif dan

Absolut Bentuklahan Hubungan

Keruangan

Bentuklahan

Proses Geomorfologi

Kerawanan

Longsor

25

1.8 Batasan Operasional

Bentuklahan, merupakan konfigurasi medan yang terbentuk oleh proses-proses

alam yang mempunyai komposisi dan serangkaian karakteristik fisik dan visual

dalam rentang waktu tertentu (Zuidam, 1983)

Daerah Aliran Sungai (DAS), suatu wilayah yang dibatasi oleh igir topografi dan

berfungsi sebagai pengumpul, penyalur air, unsur hara, sedimen dalam sistem

sungai yang berakhir pada outlet tunggal serta merupakan kesatuan ekosistem

bentanglahan (Seyhan, 1990)

DEM (Digital Elevation Model), data digital yang berisi informasi konfigurasi

bentuk permukaan bumi atau elevasi medan yang tersusun dari himpunan titik-titik

koordinat yang berasal dari pengambilan data di permukaan bumi (Guzetti et al,

2012)

Geomorfologi, merupakan ilmu yang mengkaji mengenai studi bentuklahan baik

yang terdapat di daratan permukaan dan di dasar lautan permukaan bumi dengan

menekankan pada lingkup kajian meliputi proses pembentukkan muka bumi

(genesis), perkembanganya hingga saat ini, dan hubungan interaksi dengan

lingkungan dalam konteks keruangan (Verstappen, 1983)

Kemiringan lereng, merupakan perbandingan beda tinggi antara dua titik dengan

jarak horisontal kedua titik tersebut (Hardiyatmo, 2006)

Kerawanan longsor (landslide suscepbility), merupakan kondisi secara geologi,

geomorfologi, dan klimatologi, topografi, hidrologi yang dapat dengan mudah

menimbulkan terjadinya longsor yang terjadi baik secara keruangan dan temporal

di suatu wilayah (Sabokbar et al, 2014).

Longsor, merupakan peristiwa translasi pada material tanah yang dipengaruhi oleh

gravitasi bumi. Kondisi yang mempengaruhi terjadinya peritiwa longsor yaitu

berasal dari dalam yaitu pada karakteristik material tanah atau batuan itu sendiri

26

dan faktor yang berasal dari luar yang disebabkan oleh proses-proses eksogen yang

mempengaruhi dinamika material tanah atau batuan (Noor, 2011)

Tipe Longsor, bentuk (tipologi) longsorlahan yang dilihat dari jenis material,

mekanisme, morfologi bidang gelincir dan kecepatan pergeraknannya

(Hadmoko dan Mauro, 2012)

Pola spasial, susunan atau konfigurasi yang terdiri dari beberapa data spasial yang

membentuk rangkaian bentuk (Lloyd, 2011)

Pola spasial longsor, konfigurasi susunan kejadian longsor yang dideskripsikan

secara keruangan yang berkaitan dengan faktor pengontrol terjadinya longsor

(Zaruba, 1982)

Penggunaan lahan, berbagai bentuk aktivitas manusia yang memberikan

intervensi terhadap lahan dalam rangka kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup

(Arsyad, 2006)

Raster, data digital yang tersusun dari sel berbentuk sama yang memiliki informasi

piksel (picture element) yang memiliki ukuran grid yang bervariasi sesuai dengan

tingkat keakuratan data yang diperlukan (Gao, 2009)

Vektor, data digital yang tersusun dari informasi titik, garis, atau luasan yang

memiliki susunan geomotris dengan keakuratan tinggi (Lloyd, 2011)