1
1. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yg memiliki kurang lebih 18.300 pulau,
terletak pada tiga lempeng yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan
lempeng Pasifik. Letak tersebut menyebabkan Indonesia secara spasial sangat
rawan bencana letusan gunungapi. Menurut Wahyono (2002) dalam Kumalawati
(2015), gunungapi adalah suatu jalan keluar di permukaan Bumi yang dilalui oleh
magma dan gas serta debu hingga bongkah hasil erupsi, sampai saat ini terdapat
129 gunungapi yang masih aktif dan 500 tidak aktif di Indonesia. Gunungapi aktif
yang ada di Indonesia merupakan 13 persen dari seluruh gunung berapi aktif di
dunia, 70 gunung diantaranya merupakan gunungapi aktif yang rawan meletus dan
15 gunungapi kritis. BAKORNAS PB (2006) menyatakan bahwa luas daerah rawan
bencana gunungapi di seluruh Indonesia sekitar 17.000 km2 dengan jumlah
penduduk yang bermukim di kawasan rawan bencana gunungapi sebanyak kurang
lebih 5,5 juta jiwa. Berdasarkan data frekuensi letusan gunungapi, diperkirakan tiap
tahun terdapat sekitar 585.000 orang terancam bencana letusan gunungapi.
Gunungapi Kelud merupakan salah satu gunungapi berdanau kawah di
puncaknya yang sangat aktif dan berbahaya di Indonesia, terletak pada koordinat
7˚56' LS dan 112˚18.5' BT dengan ketinggian 1.731 m di atas permukaan laut (m
dpl). Gunungapi Kelud berada di Kabupaten Kediri, Blitar, dan Malang. Nama
Gunungapi Kelud berasal dari singkatan bahasa Jawa ke (kebak) dan lud (ludira)
artinya penuh darah, banyak merenggut korban jiwa. Kata jarwodhosok Gunungapi
Kelud tersebut terbukti dengan banyaknya korban jiwa, luka-luka, dan kerugian
material dari erupsi-erupsi yang telah berlangsung sebelumnya. Kelud dalam
bahasa Jawa juga berarti sapu, memiliki kaitan dengan tipe erupsi eksplosif dan
berada di skala 4 Volcanic Explosivity Index (VEI) yang dapat menyapu daerah di
sekitarnya dan mengakibatkan dampak serius pada daerah daerah tersebut. Menurut
Kusumadinata (1979) dalam Zaennudin (2009), erupsi Gunungapi Kelud pada
tahun 1586 sebanyak 10.000 orang meninggal dunia akibat erupsi. Erupsi tahun
2
1919 mengakibatkan 5.190 orang meninggal diakibatkan lahar erupsi freatik, dan
tahun 1990 yang menyebabkan 32 korban jiwa. Erupsi terakhir Gunungapi Kelud
pada tahun 2014. Daerah yang terkena dampak langsung erupsi Gunungapi Kelud
adalah daerah yang mencapai radius 10 km, meliputi 35 desa, 9 kecamatan, dan 3
kabupaten yaitu Blitar, Kediri, dan Malang. Kabupaten tersebut Kabupaten Kediri
merupakan Kabupaten terdampak di antara Kabupaten lainnya. Daerah yang
terkena dampak erupsi Gunungapi Kelud tahun 2014 dapat dilihat pada gambar 1.1
berikut.
Kabupaten Blitar dalam sejarah erupsi Gunungapi Kelud terdampak sangat
parah. Menurut laporan tanggap darurat 2014, BPBD Blitar (2014) menyatakan
terdapat empat kecamatan dan enam belas desa terdampak letusan Gunungapi
Kelud. Salah satu kecamatan tersebut adalah kecamatan Nglegok dengan jumlah
penduduk paling banyak di antara tiga kecamatan lainnya yaitu 12.127 jiwa.
Gambar 1.1. Dampak Erupsi Gunungapi Kelud 2014 (Sumber: Badan Penanggulangan
Bencana Nasional Tahun 2014 dengan Modifikasi)
3
Empat desa di kecamatan Nglegok yang terdampak langsung yaitu desa
Sumberasri, Kedawung, Penataran, dan Modangan.
Erupsi Gunungapi Kelud siklus pendek adalah tujuh tahun dan siklus panjang
dua puluh lima tahun. Erupsi Gunungapi Kelud umumnya hanya berlangsung relatif
singkat (beberapa jam) akan tetapi sangat berbahaya karena itulah masyarakat yang
tinggal di sekitar kawasan menyebut erupsi Gunungapi Kelud sebagai erupsi yang
“jujur’, selesai dalam sekali erupsi. Desa Modangan merupakan satu dari empat
desa di Kecamatan Nglegok yang rawan terhadap erupsi Gunungapi Kelud.
Berdasarkan peta rawan bencana Gunungapi Kelud tahun 2014, Desa Modangan
berada di KRB-I (radius 14 km dari puncak) dan KRB-II (radius 10 km dari
puncak). Bahaya letusan Gunungapi Kelud di Desa Modangan adalah bahaya
primer (bahaya langsung), untuk KRB-I berpotensi terlanda lahar, kemungkinan
terkena penyimpangan aliran lahar, dan berpotensi tertimpa jatuhan piroklastik
berupa hujan abu dan lontaran batu (pijar) apabila letusan membesar. KRB-II
berpotensi terlanda awan panas, lahar letusan, aliran lava, lontaran batu (pijar), dan
hujan abu lebat. Menurut RPJM Desa tahun 2014-2019, wilayah Desa Modangan
terdiri dari pemukiman penduduk seluas 59,150 ha pemukiman penduduk dan
1.015,03 ha adalah tanah tegalan, perkebunan rakyat, dan lahan sawah. Mayoritas
penduduk Desa Modangan merupakan petani, pekebun, dan peternak. Luas lahan
pertanian sawah dan non sawah yang kurang lebih 90% dari luas total wilayah desa
menjadi sumber penghidupan sekaligus berpotensi menimbulkan kerugian yang
besar jika terjadi erupsi Gunungapi Kelud. Letusan Gunungapi Kelud tahun 2014
dan 1990 menyebabkan kekacauan aktivitas masyarakat Desa Modangan terutama
pada aktivitas ekonomi yaitu peternakan, pertanian, dan perkebunan yang menjadi
sumber penghidupan masyarakat setempat.
Masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana pada umumnya memiliki
pengetahuan lokal dan strategi untuk menghadapi bencana yang serupa berdasarkan
pengalaman bencana sebelumnya yang disampaikan dalam bentuk tindakan atau
oral history meliputi aspek sosial, budaya, teknologi, atau ekonomi yang disebut
coping strategies. Identifikasi coping strategies untuk mengetahui adanya
pengetahuan lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dapat digunakan
4
sebagai strategi penanggulangan kerugian yang mengganggu penghidupan
masyarakat. Coping strategies menjadi salah satu aspek yang mempengaruhi
kapasitas masyarakat. Keberadaan strategi coping di tengah-tengah masyarakat
akan membantu untuk menghadapi bencana serta mengurangi risiko. Risiko adalah
kolaborasi dari tiga komponen yaitu bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability),
dan kapasitas (capacity). Besar risiko berbanding lurus dengan besar bahaya dan
keretanan serta berbanding terbalik dengan besar kapasitas
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat ditarik permasalahan penelitian sebagai
berikut:
1. bagaimanakah tingkat kapasitas masyarakat Desa Modangan dalam
menghadapi ancaman bencana erupsi Gunungapi Kelud?,
2. apakah faktor usia, pekerjaan, tingkat pendidikan, dan jenis kelamin
berhubungan terhadap tingkat kapasitas masyarakat Desa Modangan dalam
menghadapi erupsi?, dan
3. bagaimanakah coping strategies yang dilakukan masyarakat Desa Modangan
dalam menghadapi ancaman erupsi Gunungapi Kelud?.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. menganalisis tingkat kapasitas masyarakat Desa Modangan dalam
menghadapi ancaman bencana erupsi Gunungapi Kelud,
2. mengetahui hubungan faktor usia, pekerjaan, tingkat pendidikan, dan jenis
kelamin terhadap tingkat kapasitas masyarakat Desa Modangan dalam
menghadapi erupsi, dan
3. mengidentifikasi coping strategies yang dilakukan masyarakat Desa
Modangan dalam menghadapi ancaman erupsi Gunungapi Kelud.
5
1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. menambah ilmu pengetahuan kepada masyarakat, pemerintah, dan
akademisi tentang kapasitas masyarakat dalam menghadapi ancaman
bencana erupsi,
2. memberikan informasi kepada masyarakat dan informasi data kepada
pemerintah setempat dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan
ancaman bencana erupsi, dan
3. bahan referensi kepada pihak-pihak terkait dalam perintisan desa tangguh
bencana di kabupaten Blitar dari aspek peningkatan kapasitas masyarakat
dalam menghadapi bencana.
1.5 Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya
1.5.1 Telaah Pustaka
1.5.1.1 Gunungapi
Gunungapi (vulkan dalam bahasa Italia, vulkaan dalam bahasa Belanda,
atau volcano dalam bahasa Inggris) didefinisikan sebagai proses magmatisme yang
berlangsung secara alamiah, yang dicirikan oleh bergeraknya magma dari dalam
Bumi (reservoir magma) ke permukaan Bumi melalui suatu rekahan yang terbentuk
secara tektonika (Mulyaningsih, 2015). Gunungapi adalah lubang kepundan atau
rekahan dalam kerak Bumi tempat keluarnya cairan magma atau gas atau cairan
lainnya ke permukaan Bumi. Matrial yang dierupsikan ke permukaan Bumi
umumnya membentuk kerucut terpancung. Menurut PVMBG (2015,) gunungapi
diklasifikasikan ke dalam empat sumber erupsi, yaitu: (1) erupsi pusat, erupsi keluar
melalui kawah utama; dan (2) erupsi samping, erupsi keluar dari lereng tubuhnya;
(3) erupsi celah, erupsi yang muncul pada retakan/sesar dapat memanjang sampai
beberapa kilometer; dan (4) erupsi eksentrik, erupsi samping tetapi magma yang
keluar bukan dari kepundan pusat yang menyimpang ke samping melainkan
langsung dari dapur magma melalui kepundan sendiri . Struktur dan penampang
gunungapi dapat digambarkan pada gambar 1.2 berikut.
6
Gambar 1.2. Penampang Suatu Gunungapi Dan Bagian-Bagiannya (Sumber:
Modifikasi dari Kraff, 1989 dalam PVMBG, 2015)
Letusan gunungapi yang terjadi pada era ini pernah terjadi di masa lalu, dengan
mengetahui karakteristik letusan dan tipe gunungapi maka dapat dilakukan
penanganan yang tepat terhadap korban terpapar, prediksi kerugian serta kerusakan
lingkungan yang ditimbulkan. Menurut PVMBG (2015), beberapa tipe erupsi
gunungapi berdasarkan tinggi rendahnya derajat ragentasi dan luasnya, kuat
lemahnya letusan, serta tinggi tiang asap adalah sebagai berikut.
1. Erupsi Tipe Hawai bersifat effusif dari magma basaltic atau mendekati basalt,
umumnya berupa semburan lava pijar, dan sering diikuti leleran lava secara
simultan, terjadi pada celah atau kepundan sederhana. Erupsi dalam bentuk
aliran lava yang terjadi di G. Batur tahun 1962 dan G. Tangkuban Perahu.
2. Erupsi Tipe Stromboli hampir sama dengan tipe Hawai berupa semburan lava
pijar dari magma yang dangkal, umumnya terjadi pada gunungapi sering aktif
di tepi benua atau di tengah benua. Erupsi yang selama ini terjadi di G. Anak
Krakatau merupakan tipe ini.
7
3. Erupsi Tipe Vulkano, material yang dierupsikan berupa klastin, terdiri dari
campuran abu dan material lain yang diletuskan dari kawah gunungapi,
menyembur lebih tinggi dari puncak tinggi kolom erupsinya. Material erupsi
terdiri atas abu, lapilli dan blok/bom dari letusan freatomagmatik, membentuk
kolom letusan setinggi hingga 20 km. Sebagian besar gunungapi di Indonesia
mempunyai tipe erusi Vulkano dengan berbagai variannya. Contoh gunungapi
yang meletus dengan tipe vulkan yaitu G. Merapi dan G. Galunggung
4. Erupsi tipe Plini atau Vesuvius merupakan erupsi yang sangat ekslposif dari
magma berviskositas tinggi atau magma asam, komposisi magma bersifat
andesitik sampai riolitik, kecepatan gaya konveksi letusan beberapa ratus meter
per detik. Material yang dierupsikan berupa batuapung dalam jumlah besar.
5. Erupsi tipe Ultra Plini merupakan erupsi sangat eksplosif menghasilkan
endapan batuapung lebih banyak dan luas dari Plinian biasa. Salah satu contoh
dikenal terbaik adalah letusan G. Krakatau pada tahun 1883 yang memberikan
efek pada iklim dunia. Salah satu dari bencana gunungapi yang terbesar di
zaman sejarah menjadi letusan dari G. Tambora pada 1815. Selama letusan ini
tentang 150 juta m3 produk gunungapi dikeluarkan dan menyebabkan 92.000
korban yang merupakan seperempat total korban dari letusan gunungapi di
dunia.
6. Erupsi Tipe Sub Plini merupakan erupsi eksplosif dari magma asam/riolitik
dari gunungapi strato, tahap erupsi efusifnya menghasilkan kubah lava riolitik.
Erupsi subplinian dapat menghasilkan pembentukan ignimbrit.
7. Erupsi Tipe Surtseyan dan Tipe Freatoplini, merupakan erupsi yang terjadi
pada pulau gunungapi, gunungapi bawah laut atau gunungapi yang berdanau
kawah. Surtseyan merupakan erupsi interaksi antara magma basaltic dengan air
permukaan atau bawah permukaan, letusannya disebut freatomagmatik.
1.5.1.2 Bahaya Gunungapi
Tilling (1989) dalam Mulyaningsih (2013) mendefinisikan bahaya gunungapi
(volcanic hazards) adalah probabilitas/kemungkinan suatu daerah dilanda oleh
proses-proses gunungapi atau hasil-hasil kegiatan gunungapi yang berpotensi
8
merusak pada waktu tertentu. Menurut PVMBG (2015), bahaya letusan gunungapi
dapat berpengaruh secara langsung (primer) dan tidak langsung (sekunder) yang
menjadi bencana bagi kehidupan manusia. Bahaya yang langsung oleh letusan
gunungapi adalah sebagai berikut.
1. Leleran lava: leleran lava merupakan cairan lava yang pekat dan panas dapat
merusak segala infrastruktur yang dilaluinya. Kecepatan aliran lava tergantung
dari kekentalan magmanya, makin rendah kekentalannya, maka makin jauh
jangkauan alirannya. Suhu lava pada saat dierupsikan berkisar antara 800˚C
sampai 1200˚C. Leleran lava yang dierupsikan gunungapi di Indonesia pada
umumnya komposisi magmanya menengah sehingga pergerakannya cukup
lamban sehingga manusia dapat menghindarkan diri dari terjangannya.
2. Aliran piroklastik (awan panas): aliran piroklastik dapat terjadi akibat runtuhan
tiang asap erupsi plinian, letusan langsung ke satu arah, guguran kubah lava
atau lidah lava dan aliran pada permukaan tanah (surge). Aliran piroklastik
sangat dikontrol oleh gravitasi dan cenderung mengalir melalui daerah rendah
atau lembah. Mobilitas tinggi aliran piroklastik dipengaruhi oleh pelepasan gas
dari magma atau lava atau dari udara yang terpanaskan pada saat mengalir.
Kecepatan aliran dapat mencapai 150 250 km/jam dan jangkauan aliran dapat
mencapai puluhan kilometer walaupun bergerak di atas air/laut.
3. Jatuhan piroklastik: jatuhan piroklastik terjadi dari letusan yang membentuk
tiang asap cukup tinggi, pada saat energinya habis, abu akan menyebar sesuai
arah angina kemudian jatuh lagi ke muka Bumi. Hujan abu ini bukan
merupakan bahaya langsung bagi manusia, tetapi endapan abunya akan
merontokkan daun-daun dan pepohonan kecil sehingga merusak agro dan pada
ketebalan tertentu dapat merobohkan atap rumah. Sebaran abu di udara dapat
menggelapkan Bumi beberapa saat serta mengancam bahaya bagi jalur
penerbangan.
4. Lahar Letusan: lahar letusan terjadi pada gunungapi yang mempunyai danau
kawah. Apabila volume air alam kawah cukup besar akan menjadi ancaman
langsung saat terjadi letusan dengan menumpahkan lumpur panas.
9
5. Gas vulkanik beracun: gas beracun umumnya muncul pada gunungapi aktif
berupa CO, CO2, HCN, H2S, SO2 dll, pada konsentrasi di atas ambang batas
dapat membunuh.
Bahaya sekunder, terjadi setelah atau saat gunungapi aktif berikut.
1. Lahar hujan: lahar hujan terjadi apabila endapan material lepas hasil erupsi
gunungapi yang diendapkan pada puncak dan lereng, terangkut oleh hujan atau
air permukaan. Aliran lahar ini berupa aliran lumpur yang sangat pekat
sehingga dapat mengangkut material berbagai ukuran. Bongkahan batu besar
berdiameter lebih dari 5 m dapat mengapung pada aliran lumpur ini. Lahar juga
dapat merubah topografi sungai yang dilaluinya dan merusak infrastruktur.
2. Banjir bandang: banjir bandang terjadi akibat longsoran material vulkanik lama
pada lereng gunungapi karena jenuh air atau curah hujan cukup tinggi. Aliran
lumpur disini tidak begitu pekat seperti lahar, tapi cukup membahayakan bagi
penduduk yang bekerja di sungai dengan tiba-tiba terjadi aliran lumpur.
3. Longsoran vulkanik: longsoran vulkanik dapat terjadi akibat letusan
gunungapi, eksplosi uap air, alterasi batuan pada tubuh gunungapi sehingga
menjadi rapuh, atau terkena gempa bumi berintensitas kuat. Longsoran
vulkanik ini jarang terjadi di gunungapi secara umum sehingga dalam peta
kawasan rawan bencana tidak mencantumkan bahaya akibat longsoran
vulkanik.
Tingkat aktivitas gunungapi dapat dikategorikan menjadi empat kategori berikut.
1. Aktif normal (Level 1) yaitu kegiatan gunungapi berdasarkan pengamatan dari
hasil visual, kegempaan dan gejala vulkanik lainnya tidak memperlihatkan
adanya kelainan.
2. Waspada (Level II) yaitu terjadi peningkatan kegiatan berupa kelainan yang
tampak secara visual atau hasil pemeriksaan kawah, kegempaan dan gejala
vulkanik lain.
3. Siaga (Level III) yaitu peningkatan semakin nyata hasil pengamatan
visual/pemeriksaan kawah, kegempaan dan metoda lain saling mendukung.
Berdasarkan analisis, perubahan kegiatan cenderung diikuti letusan.
10
4. Awas (Level IV) yaitu menjelang letusan utama, letusan awal mulai terjadi
berupa abu/asap dan segera akan diikuti letusan utama.
1.5.1.4 Konsep Risiko Bencana
Risiko memiliki berbagai pengertian dalam disiplin ilmu yang berbeda.
Secara umum risiko didefinisikan sebagai kombinasi kemungkinan suatu kejadian
dan akibat negatifnya (UNISDR, 2009 dalam Hamid, 2015). Risiko biasanya
dikaitkan dengan sejauh mana manusia tidak dapat mengatasi (kekurangan
kapasitas) situasi tertentu (misalnya bencana alam). Risiko bencana menurut UU
No.24 Tahun 2007 adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada
suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit,
jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta,
dan gangguan kegiatan masyarakat. Risiko bencana merupakan fungsi dari tiga
elemen yaitu bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability), dan kapasitas (capacity).
Hubungan dari ketiganya digambarkan dengan rumus berikut.
R = 𝐻 × 𝑉/𝐶 …………………….……… (1.1)
Keterangan:
R (Risk) = Risiko
H (Hazard) = Bahaya
V (Vulnerability) = Kerentanan
C (Capacity) = Kapasitas
Pengurangan risiko bencana dapat dilakukan dengan menurunkan
kerentanan, mengurangi bahaya dan menaikkan kapasitas sebaliknya, semakin
tinggi bahaya, kerentanan dan ketidakmampuan maka semakin besar risiko yang
dihadapi. Bahaya adalah suatu peristiwa besar atau ekstrem di alam atau di
lingkungan buatan manusia yang berpotensi merugika kehidupan manusia, harta,
benda, atau aktivitas apabila meningkat menjadi bencana (UNDP/UNDRO, 1992).
Bahaya menunjukkan kemungkinan kejadian alam maupun buatan di suatu tempat.
Kerentanan menunjukkan kerawanan yang dihadapi masyarakat dalam menghadapi
ancaman. Kapasitas atau kemampuan adalah upaya atau kegiatan yang dapat
11
mengurangi korban jiwa atau kerusakan (Rosalina, 2015). Hubungan mengenai
bahaya, ancaman, dan ketidakmampuan dapat dilihat pada gambar 1.3 berikut.
Gambar 1.3 Hubungan Konseptual Antara Bahaya, Kerentanan, dan
Ketidakmampuan (Sumber: UNDP/UNDRO, 1992 dalam Rosalina, 2015)
Penanganan bencana yang sering terjadi adalah saat bencana terjadi dengan
pemberian bantuan darurat yaitu pangan, penampungan, dan kesehatan. Upaya
menggeser paradigma respon darurat menjadi manajemen risiko memberikan
dampak yang lebih baik dengan pengelolaan pra bencana, saat terjadi bencana, dan
pasca terjadi bencana dengan melibatkan masyarakat sebagai “pemain utama”.
Manajemen risiko bencana dapat dianggap sebagai implementasi dari pengurangan
risiko bencana karena menggambarkan tindakan untuk mencapai tujuan
pengurangan risiko. Menurut Haruman (2012) paradigma pengurangan risiko
bencana merupakan kombinasi sudut pandang teknis dan ilmiah dengan fokus
perhatian terhadap faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik dalam perencanaan
pengurangan risiko bencana. Masyarakat yang semula diposisikan sebagai objek
pasif menjadi subyek aktif dan dengan kesadaran diri bertanggung jawab untuk
melakukan upaya pengurangan risiko bencana dalam proses pembangunan
berkelanjutan, dengan demikian upaya pengurangan risiko bencana diupayakan
untuk mengadopsi dan memperhatikan kearifan lokal dan pengetahuan tradisional
yang ada dan berkembang dalam masyarakat. Pengurangan risiko bencana
dilakukan dengan memperhatikan siklus bencana. Tahapan bencana terdiri dari
sebelum/pra bencana, saat bencana, dan setelah/pasca bencana. Pemulihan
12
(recovery) pada tahap pasca bencana merupakan proses yang lebih panjang
dibandingkan dengan yang lainnya, upaya pengembalian keadaan ke kondisi
semula adalah PR bersama terutama masyarakat yang terpapar. Penanganan yang
selama ini lebih terfokus pada tahap saat terjadinya bencana dapat dibagi ke tahap
pra bencana dan pasca bencana. Gambar 1.4 berikut menggambarkan siklus
bencana.
Gambar 1.4. Siklus Bencana (Sumber: Twigg, 2004)
- Preparedness (kesiapsiagaan): rencana bagaimana untuk merespon, contohnya
rencana kontijensi; training/pelatihan darurat bencana; dan sistem peringatan.
- Response (tanggap darurat): upaya untuk meminimalisir bahaya yang
ditimbulkan oleh bencana, contohnya pencarian dan penyelamatan serta
pertolongan darurat.
- Recovery (pemulihan): mengembalikan masyarakat ke kondisi semula/ kondisi
normal, contohnya perumahan sementara; bantuan; perawatan medis.
- Mitigation (mitigasi): mengurangi dampak bencana, contohnya konstruksi
bangunan dan zonasi; analisis kerentanan; edukasi publik.
13
1.5.1.5 Kapasitas Masyarakat
Menurut United Nations Development Programme/UNDP (2004) kapasitas
adalah cara di mana orang dan organisasi menggunakan sumber daya yang ada
secara reaktif, untuk membatasi kerugian selama peristiwa bencana. Dapat
ditambahkan kapasitas adaptif, yang menunjukkan kemungkinan bagi masyarakat
untuk mengarahkan kembali kegiatannya secara proaktif untuk menyesuaikan
pembangunan di tempat yang minimal risiko bencananya.
Kemampuan (capacity) merupakan penguasaan sumberdaya, cara dan
kekuatan yang dimiliki masyarakat, yang memungkinkan mereka untuk
mempertahankan dan mempersiapkan diri mencegah, menanggulangi, meredam,
serta dengan cepat memulihkan diri akibat bencana (Bakornas, 2007). Kapasitas
adalah kombinasi dari semua kekuatan, atribut dan sumber daya yang tersedia
dalam sebuah masyarakat, komunitas atau organisasi yang dapat digunakan untuk
mencapai tujuan yang disepakati (UNISDR, 2009).
Kapasitas merupakan salah satu fungsi dari komponen risiko bencana.
Hubungan antara kapasitas dan kerentanan adalah berbanding terbalik. Sesuai yang
disampaikan oleh Cardona, et al (2012) bahwa kerentanan adalah hasil dari
kurangnya kapasitas, kerentanan adalah kebalikan dari kapasitas, sehingga
meningkatkan kapasitas berarti mengurangi kerentanan, dan kerentanan yang tinggi
berarti kapasitas rendah.
1.5.1.6 Coping Strategies
Bencana alam bukanlah hal baru, selama berabad-abad manusia tinggal di
daerah rawan bencana. Mereka memiliki metode sendiri untuk melindungi diri dan
mata pencaharian. Metode tersebut didasarkan pada kemampuan dan sumber daya,
sesuai dengan pengalaman suatu masyarakat. Sistem pengetahuan, kemampuan dan
teknologi disebut sebagai indigenous knowledge atau pengetahuan lokal. Aplikasi
atau penerapan pengetahuan lokal dalam menghadapi bahaya dan ancaman lainnya
disebut coping strategy. Kemampuan dan sumber daya yang akan diterapkan
tergantung pada ancaman bencana yang ada, kapasitas dalam menghadapi, dan
prioritas suatu komunitas dan individu yang dapat berubah selama bencana
berlangsung (Twigg, 2004). Strategi coping didefinisikan sebagai kebiasaan atau
14
perilaku masyarakat dalam upaya mengurangi risiko terjadinya bencana dan
mengurangi dampak yang timbul akibat bencana (Heryanti, 2012).
Strategi coping adalah faktor kunci dalam menentukan ketahanan suatu
masyarakat dalam menghadapi bencana alam. Kemampuan untuk mengatasi suatu
kondisi merugikan, memerlukan kesadaran untuk menggunakan sumber daya dan
pengelolaan yang baik, baik dalam kondisi normal maupun selama masa krisis atau
kondisi yang merugikan. Kemampuan untuk mengatasi kondisi yang merugikan
tersebut memberi kontribusi terhadap pengurangan risiko bencana (Haruman,
2012). Strategi coping dapat diartikan sebagai strategi penanggulangan terhadap
kerugian yang ditimbulkan bencana meliputi pra bencana, saat terjadi bencana,
maupun pasca terjadi bencana. Strategi-strategi dan skenario yang dipersiapkan
berdasarkan pengetahuan lokal yang dimiliki suatu masyarakat.
Menurut Twigg (2004) coping strategies dapat dikategorikan menjadi
empat hal yaitu ekonomi/materi, teknologi, sosial/organisasi, dan budaya.
a. Ekonomi/materi: kategori ini menjadi sebuah sumber pendapatan bagi
masyarakat ketika beberapa sumber pendapatan yang lain tidak dapat
diandalkan. Misalnya membuat kerajinan tangan, pertukangan kayu,
bangunan, dan pandai besi. Kepemilikan tabungan di bank juga merupakan
salah satu kapasitas untuk tumbuh mengurangi kerentanan. Coping
strategies ekonomi juga dilakukan dengan menyimpan cadangan makanan
pokok dan uang tunai yang dapat dipergunakan sewaktu masa-masa sulit.
Jika krisis menjadi akut, maka aset mata pencaharian akan dijual misalnya
hewan ternak, peralatan, benih, dan lahan. Memiliki keluarga besar (jumlah
anggota keluarga banyak) bahkan dipandang sebagai bentuk coping
strategies ekonomi. Banyaknya jumlah anggota keluarga berbanding lurus
dengan jumlah tenaga kerja yang ada sehingga dapat membantu dalam hal
perekonomian keluarga.
b. Teknologi/struktural: difokuskan pada pembangunan yang bersifat fisik dan
aplikasi dari teknologi yang bertujuan untuk mengurangi kerugian.
Teknologi dibutuhkan dalam pembuatan sistem penanganan bahaya di area
rawan bencana yang bertujuan untuk mencegah dan memprediksi bahaya
15
yang akan terjadi, sehingga masyarakat dapat membuat peringatan dini dan
barang berharga. Pembangunan fisik seperti pembangunan desain atau tata
letak interior rumah dalam mengantisipasi bencana.
c. Sosial/organisasi: kategori ini menekankan pada hubungan sosial dan
adanya suatu organisasi lokal yang saling mendukung misalnya jaringan
kekerabatan, saling membantu dalam swadaya masyarakat, dan adanya
modal sosial.
d. Budaya: faktor kultural meliputi persepsi risiko dan pandangan keagamaan
yang seringkali berhubungan. Pengetahuan dan persepsi masyarakat
terhadap bencana merupakan suatu kunci kapasitas masyarakat. Persepsi
terhadap bencana sangat bervariasi antara dan di dalam komunitas menurut
budaya dan pengalaman masyarakat. Bencana sebagai tindakan Tuhan yang
tidak dapat dicegah dalam beberapa pandangan para ahli adalah hal yang
fatal. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar, kepercayaan kekuatan Illahi
tidak bertentangan dengan tindakan mengurangi risiko, seperti kearifan
lokal masyarakat yang telah diwariskan secara turun temurun dari generasi
ke generasi yang merupakan salah satu cara agar terhindar dari bencana.
Istilah pembeda antara coping strategies dengan coping capacity, coping
mechanism, adaptive capacity, resilience, adaptation, dan capacity akan dijabarkan
pada tabel 1.1 berikut.
16
Coping Strategy Coping Capacity Capacity Resilience Adaptation Adaptive Capacity
Strategi coping adalah
bentuk aplikasi atau
penerapan
pengetahuan lokal
dalam menghadapi
bahaya dan ancaman
yang dapat
dikategorikan menjadi
empat yaitu
ekonomi/materi,
teknologi/struktural,
sosial/organisasi, dan
budaya (Twigg,
2004).
Strategi coping atau
strategi
penanggulangan dapat
diartikan sebagai
strategi
penanggulangan
Kapasitas bertahan
merupakan
kemampuan
penduduk,
organisasi dan
sistem untuk
menghadapi dan
mengelola kondisi-
kondisi, keadaan
darurat atau
bencana yang
merugikan dengan
menggunakan
ketrampilan dan
sumber daya yang
ada. (Terminologi
UN/ISDR)
Kombinasi dari semua
kekuatan dan sumber
daya yang tersedia
dalam komunitas,
masyarakat, atau
organsasi yang dapat
mengurangi tingkat
risiko, atau dampak
dari bencana. Kapasitas
termasuk didalamnya
sarana fisik,
kelembagaan, sosial
ekonomi seperti
keterampilan individu
atau kolektif berupa
kepemimpinan dan
manajemen. Kapasitas
juga dapat
didiskripsikan sebagai
kapabilitas/kemampuan
Ketahanan adalah
ukuran sistem atau
bagian dari
kapasitas sistem
untuk menyerap dan
memulihkan dari
kejadian bencana
yang berbahaya
(Timmerman, 1981)
Menurut Reivich
dan Shatte. A
(2002) Resilience
adalah kemampuan
untuk mengatasi
dan beradaptasi bila
terjadi sesuatu yang
merugikan hidup.
Kemampuan untuk
menyembuhkan
diri, beradaptasi,
Adaptasi dalam
konteks dimensi
manusia dari
perubahan global
biasanya mengacu
pada proses,
tindakan atau hasil
dalam sistem (rumah
tangga, komunitas,
kelompok, sektor,
wilayah, negara)
agar sistem lebih
mampu mengatasi,
mengelola, atau
menyesuaikan diri
dengan beberapa
perubahan kondisi,
stress bahaya, risiko,
atau kesempatan.
Berbagai definisi
Kapasitas adaptif
adalah
kemampuan
umum institusi,
sistem, dan
individu untuk
menyesuaikan
diri terhadap
potensi
kerusakan,
memanfaatkan
peluang, atau
untuk mengatasi
konsekuensinya
(Greenfacts,
2018).
Bentuk
perwujudan dari
Tabel 1.1. Daftar Istilah Pembeda dengan Coping Stategies
17
terhadap kerugian
yang ditimbulkan
bencana meliputi pra
bencana, saat terjadi
bencana, maupun
pasca terjadi bencana
berdasarkan
pengetahuan lokal
yang dimiliki
masyarakat.
. (UN/ISDR, Words
Into Action: A Guide
for Implementing te
Hyugo Framework,
Switzerland, 2007,
p.153)
Kapasitas merupakan
salah satu fungsi dari
komponen risiko
bencana. Hubungan
antara kapasitas dan
kerentanan adalah
berbanding terbalik.
atau bangkit
kembali ke kondisi
normal.
Resiliensi
merupakan proses
pengembangan
kapasitas bertahan
dalam menghadapi
tantangan fisik,
sosial, dan
emosional (Glantz
& Johnson, 1999)
adaptasi ditemukan
dalam literatur
perubahan iklim.
(Smit and Wandel,
2006).
Brooks (2003, p.8)
mendiskripsikan
adaptasi sebagai
penyesuaian dalam
perilaku dan
karakteristik yang
meningkatkan
kemampuannya
untuk mengatasi
tekanan eksternal.
kapasitas adaptif
adalah adaptasi.
18
1.5.2 Penelitian Sebelumnya
Berikut ini adalah beberapa penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan
terkait dengan kajian kapasitas masyarakat.
a. Heru Setiawan (2014) melakukan penelitian mengenai tingkat kapasitas
masyarakat dan strategi coping dengan judul “Analisis Tingkat Kapasitas dan
Strategi Coping Masyarakat Lokal dalam Mengadapi Bencana Longsor – Studi
Kasus Di Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah”. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengidentifikasi strategi coping yang dilakukan masyarakat
lokal dan menilai tingkat kapasitas masyarakat lokal dalam menghadapi
bencana longsor. Metode yang digunakan adalah survei dengan pemilihan
responden yang dilakukan secara acak, diaplikasikan untuk mengetahui jenis-
jenis strategi coping dan tingkat kapasitas masyarakat terhadap bencana
longsor. Hasil menunjukkan bahwa masyarakat menerapkan empat tipe strategi
coping yaitu ekonomi, struktural, sosial, dan kultural. Tingkat kapasitas
masyarakat di kecamatan Tawangmangu dalam menghadapi longsor berada
pada tingkat sedang hingga tinggi.
b. Nur Hamid (2015) melakukan penelitian mengenai kapasitas pengetahuan
lokal (indigenous knowledge) dan kapasitas bertahan (coping strategies)
dengan judul “Kajian Kapasitas Masyarakat dalam Menghadapi Ancaman
Erosi Pantai di Kecamatan Kragan Kabupaten Rembang”. Tujuan dari
penelitian ini adalah mengkaji kapasitas masyarakat dan menjelaskan
hubungan antara kapasitas indigenous knowledge dengan coping strategies
dalam menghadapi ancaman erosi pantai. Metode yang digunakan adalah
metode penelitian survey dengan pendekatan deskriptif kuantitatif dan
deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kapasitas
pengetahuan lokal dan kapasitas bertahan masyarakat tergolong tinggi.
Terdapat korelasi antara kapasitas pengetahuan lokal dan kapasitas bertahan,
artinya semakin tinggi kapasitas pengetahuan lokal maka semakin tinggi
coping strategies tetapi kapasitas pengetahuan lokal tidak begitu berpengaruh
terhadap kapasitas bertahan.
19
c. Haruman Hendarsah (2012) melakuan penelitian mengenai pengurangan
risiko bencana dengan mengetahui ancaman, kesiapsiagaan, dan strategi
coping dengan judul “Pemetaan Partisipatif Ancaman, Strategi Coping, dan
Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Upaya Pengurangan Risiko Bencana
Berbasis Masyarakat Di Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang”. Tujuan dari
penelitian ini adalah mengidentifikasi karakteristik ancaman, mengidentifikasi
strategi coping dan kesiapsiagaan masyarakat dalam mengurangi risiko
bencana. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan
menggunakan metode Participatory Geographic Information System (P-GIS)
melalui pemetaan partisipatif dalam kegiatan FGD. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengetahuan dan pengalaman masyarakat dalam
menghadapi bencana lahar membentuk pemahaman yang baik untuk
meningkatkan kapasitas berupa kesiapsiagaan masyarakat menghadapi
ancaman banjir pasca erupsi Merapi 2010.
d. Lameck Frank Chipman Mushabati (2014) melakukan penelitian mengenai
persepsi risiko dan coping strategies dengan judul “Flood Risk Perceptions
and Strategies of Residents in the Kabbe Constituency of the Zambezi Region
(Namibia)”. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentisikasi persepsi dan
coping strategies masyarakat adat di konstituensi Kabbe serta untuk (2)
mengetahui dan memahami respon masyarakat terhadap bahaya banjir di
konstituensi Kabbe untuk meningkatkan tingkat pengurangan risiko bencana
melalui perbaikan komunikasi dan kebijakan. Metode yang digunakan dalam
penelitian empiris ini adalah kualitatif dengan survei lapangan dan wawancara
menggunakan snowball sampling. Desain penelitian kualitatif memungkinkan
peneliti untuk mengidentifikasi pengalaman subyektif masyrarakat adat, yang
memungkinkan pemahaman mendalam mengenai persepsi risiko dan coping
strategies. Hasil penelitian empiris menunjukkan masyarakat Kabbe memiliki
persepsi yang tinggi terhadap banjir dimana perempuan memiliki persepsi yang
lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan pengetahuan lokal terhadap
banjir, penduduk menggunakan strategi persiapan dan strategi coping melalui
20
berbagai tahap yaitu sebelum, selama, dan setelah banjir. Terdapat tiga kategori
coping strategies banjir yaitu: strategi ekonomi, sosial, dan budaya.
e. Annisa Megia Sari (2016) melakukan penelitian mengenai kapasitas
masyarakat dengan pariwisata berbasis bencana dengan judul “Kapasitas
Masyarakat Desa Sugih Waras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri dalam
Menghadapi Bencana dan Kerentanan Gunungapi Kelud dengan Pariwisata
Berbasis Bencana”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat
kerentanan sosial dan ekonomi masyarakat Desa Sugihwaras, tingkat kapasitas
masyarakat terhadap bencana, serta tingkat korelasi dan implikasi kegiatan
pariwisata terhadap kapasitas dan ekonomi masyarakat. Metode peneliian
kualitatif dengan survei lapangan dan wawancara menggunakan snowball
sampling. Tingkat kerentanan sosial masyarakat Desa Sugihwaras terdiri dari
dua kelas yaitu rendah dan tinggi, untuk tingkat kerentanan ekonomi terbagi
menjadi tiga kelas yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Tingkat kapasitas
masyarakat tinggi terjadi di Dusun Mulyorejo, sedangkan kapasitas sedang
terjadi di Dusun Rejomulyo dan Sugihwaras. Tingkat korelasi antara kegiatan
pariwisata terhadap kapasitas masyarakat memiliki koefisien korelasi 1, yang
artinya hubungan antarvariabel sangat tinggi; sedangkan tingkat korelasi antara
kegiatan pariwisata terhadap ekonomi masyarakat memiliki koefisien 0,316,
yang artinya tingkat korelasi antarvariabel rendah. Implikasi pariwisata
terhadap masyarakat Desa Sugihwaras adalah meningkatkan kapasitas
masyarakat terhadap bencana dan membantu ekonomi masyarakat meskipun
kurang signifikan.
f. Wahyu Budiati (2018) melakukan penelitian mengenai kapasitas masyarakat
dan pengetahuan lokal dengan judul “Kajian Kapasitas Masyarakat dan Coping
Strategies dalam Menghadapi Ancaman Bencana Erupsi Gunungapi Kelud Di
Desa Modangan, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar”. Tujuan dari
penelitian ini adalah (1) menganalisis tingkat kapasitas masyarakat Desa
Modangan dalam menghadapi bencana erupsi (2) mengetahui hubungan faktor
jenis kelamin, pekerjaan, usia, dan tingkat pendikan terhadap tingkat kapasitas
masyarakat (3) mengidentifikasi coping strategies yang dilakukan masyarakat
21
dalam menghadapi bencana erupsi. Metode penelitian survei dengan kuisioner
dan wawancara mendalam menggunakan purposive sampling. Tingkat
kapasitas masyarakat terbagi menjadi dua kelas yaitu sedang dan tinggi.
Tingkat kapasitas tinggi terjadi di Dusun Karanganyar Barat dan Dusun Bulu
sedangkan tingkat kapasitas sedang terjadi di Dusun Karanganyar Barat dan
Dusun Modangan. Jenis kelamin, pekerjaan, usia, dan tingkat pendidikan
berhubungan dengan tingkat kapasitas masyarakat pada tingkat signifikasi 5%
dengan koefisien determinasi 0,588. Masyarakat Desa Modangan menerapkan
empat bentuk coping strategies yaitu ekonomi, teknologi, sosial, dan budaya.
Perbandingan mengenai penelitian tingkat kapasitas masyarakat dan strategi
coping yang pernah dilakukan sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan
sekarang dapat dilihat pada tabel 1.2 berikut.
22
Tabel 1.2. Perbandingan Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian Penulis
Nama Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil
Heru Setiawan
(2014)
Analisis Tingkat Kapasitas
dan Strategi Coping
Masyarakat Lokal dalam
Mengadapi Bencana
Longsor – Studi Kasus Di
Tawangmangu,
Karanganyar, Jawa Tengah)
1. Mengidentifikasi strategi
coping yang dilakukan
masyarakat lokal
2. Menilai tingkat kapasitas
masyarakat lokal dalam
menghadapi bencana
longsor
Metode survei dengan
pemilihan responden
yang dilakukan secara
acak
1. Masyarakat menerapkan empat
tipe strategi coping yaitu
ekonomi, struktural, sosial, dan
kultural.
2. Tingkat kapasitas masyarakat di
kecamatan Tawangmangu dalam
menghadapi longsor berada pada
tingkat sedang hingga tinggi
Nur Hamid
(2015)
Kajian Kapasitas
Masyarakat dalam
Menghadapi Ancaman Erosi
Pantai di Kecamatan Kragan
Kabupaten Rembang
1. Mengkaji kapasitas
masyarakat
2. Menjelaskan hubungan
antara kapasitas
indigenous knowledge
dengan coping strategies
dalam menghadapi
ancaman erosi pantai
Metode penelitian
survey dengan
pendekatan deskriptif
kuantitatif dan
deskriptif kualitatif
1. Kapasitas pengetahuan lokal dan
kapasitas bertahan masyarakat
tergolong tinggi
2. Terdapat korelasi antara kapasitas
pengetahuan lokal dan kapasitas
bertahan, artinya semakin tinggi
kapasitas pengetahuan lokal maka
semakin tinggi coping strategies
tetapi kapasitas pengetahuan lokal
tidak begitu berpengaruh terhadap
kapasitas bertahan
23
Haruman
Hendarsah
(2012)
Pemetaan Partisipatif
Ancaman, Strategi Coping,
dan Kesiapsiagaan
Masyarakat dalam Upaya
Pengurangan Risiko
Bencana Berbasis
Masyarakat Di Kecamatan
Salam, Kabupaten
Magelang
Mengidentifikasi
karakteristik ancaman,
mengidentifikasi strategi
coping dan kesiapsiagaan
masyarakat dalam
mengurangi risiko bencana
Metode penelitian
pendekatan kualitatif
dan menggunakan
metode Participatory
Geographic
Information System
(P-GIS
Pengetahuan dan pengalaman
masyarakat dalam menghadapi
bencana lahar membentuk
pemahaman yang baik untuk
meningkatkan kapasitas berupa
kesiapsiagaan masyarakat
menghadapi ancaman banjir
pasca erupsi Merapi 2010
Lameck Frank
Chipman
Mushabati
(2014)
Flood Risk Perceptions and
Strategies of Residents in
the Kabbe Constituency of
the Zambezi Region
(Namibia)
Mengidentisikasi persepsi
dan coping strategies
masyarakat adat di
konstituensi Kabbe serta
mengetahui dan memahami
respon masyarakat terhadap
bahaya banjir di
konstituensi Kabbe untuk
meningkatkan tingkat
pengurangan risiko bencana
melalui perbaikan
komunikasi dan kebijakan
Metode peneliian
kualitatif dengan
survei lapangan dan
wawancara
menggunakan
snowball sampling
1. Masyarakat Kabbe memiliki
persepsi yang tinggi terhadap
banjir dimana perempuan
memiliki persepsi yang lebih
tinggi dibandingkan laki-laki
2. Berdasarkan pengetahuan lokal
terhadap banjir, penduduk
menggunakan strategi persiapan
dan strategi coping melalui
berbagai tahap yaitu sebelum,
selama, dan setelah banjir.
Terdapat tiga kategori coping
strategies banjir yaitu: strategi
ekonomi, sosial, dan budaya
24
Annisa Megia
Sari
(2016)
Kapasitas Masyarakat Desa
Sugihwaras, Kecamatan
Ngancar, Kabupaten Kediri
dalam Menghadapi Bencana
dan Kerentanan Gunungapi
Kelud dengan Pariwisata
Berbasis Bencana
1. Menganalisis kerentanan
sosial dan ekonomi
masyarakat Desa
Sugihwaras terhadap
bencana
2. Menganalisis kapasitas
masyarakat Desa
Sugihwaras, Kecamatan
Ngancar, Kabupaten
Kediri dalam
menghadapi bencana
erupsi Gunungapi Kelud
3. Menganalisis korelasi
dan implikasi kegiatan
pariwisata terhadap
kapasitas dan ekonomi
masyarakat Desa
Sugihwaras, Kecamatan
Ngancar, Kabupaten
Kediri
Metode survey yang
bersifat explanatory
atau confirmatory
yang menjelaskan
hubungan sebab-
akibat (causal) secara
deskriptif
1. Peta Kerentanan Sosial dan
Ekonomi Desa Sugihwaras
2. Peta Kapasitas Masyarakat Desa
Sugihwaras terhadap Bencana
3. Analisis Korelasi dan Implikasi
Pariwisata Terhadap Kapasitas
dan Ekonomi Masyarakat Desa
Sugihwaras.
Wahyu Budiati
(2018)
Kajian Kapasitas
Masyarakat dan Coping
Strategies dalam
Menghadapi Ancaman
1. Menganalisis tingkat
kapasitas masyarakat
Desa Modangan dalam
menghadapi ancaman
Metode penelitian
survei dengan
kuisioner dan
wawancara mendalam
1. Peta Tingkat Kapasitas
Masyarakat Desa Modangan
dalam menghadapi bencana
erupsi. Tingkat kapasitas tinggi
25
Bencana Erupsi Gunungapi
Kelud Di Desa Modangan,
Kecamatan Nglegok,
Kabupaten Blitar
bencana erupsi
Gunungapi Kelud
2. Mengetahui hubungan
faktor jenis kelamin,
pekerjaan, usia, dan
tingkat pendikan
terhadap tingkat
kapasitas masyarakat
Desa Modangan dalam
menghadapi bencana
erupsi
3. Mengidentifikasi coping
strategies yang
dilakukan masyarakat
Desa Modangan dalam
menghadapi ancaman
bencana erupsi
menggunakan
purposive sampling
terjadi di Dusun Karanganyar
Barat dan Dusun Bulu sedangkan
tingkat kapasitas sedang terjadi di
Dusun Karanganyar Barat dan
Dusun Modangan
2. Analisis hubungan faktor jenis
kelamin, pekerjaan, usia, dan
tingkat pendidikan terhadap
kapasitas masyarakat
menggunakan regersi logistik
ordinal. Hasil menunjukkan
faktor-faktor tersebut
berhubungan dengan tingkat
kapasitas masyarakat pada tingkat
signifikasi 5% dengan koefisien
determinasi 0,588
3. Identifikasi coping strategies
yang diterapkan masyarakat Desa
Modangan yaitu ekonomi,
teknologi, sosial, dan budaya
26
1.5 Kerangka Penelitian
Banyak penduduk yang tinggal di daerah rawan bencana seperti lereng
gunungapi, bantaran sungai, lereng bukit, pesisir pantai, dan daerah rawan lainnya.
Penduduk yang tinggal di daerah tersebut terancam bahaya lebih besar di
bandingkan dengan penduduk di luar zona bahaya bencana alam. Bencana alam
menimbulkan dampak yang mempengaruhi kehidupan dan penghidupan
masyarakat disekitar bencana. Potensi kerugian yang ditimbulkan dari bencana
dapat berupa kehilangan harta benda, sakit, luka, bahkan kehilangan nyawa.
Penanganan bencana yang sering terjadi adalah saat bencana terjadi dengan
pemberian bantuan darurat yaitu pangan, penampungan, dan kesehatan. Upaya
menggeser paradigma respon darurat menjadi manajemen risiko memberikan
dampak yang lebih baik dengan pengelolaan pra bencana, saat terjadi bencana, dan
pasca terjadi bencana dengan melibatkan masyarakat sebagai “pemain utama”.
Risiko bencana merupakan bentukan dari tiga komponen penyusun yaitu
bahaya, kerentanan, dan kapasitas (kemampuan). Besar risiko berbanding lurus
dengan kapasitas namun berbanding terbalik dengan bahaya dan kerentanan. Salah
satu upaya pengurangan risiko bencana dapat dilakukan dengan meningkatkan
kapasitas masyarakat dan identifikasi strategi coping yang berkembang di
masyarakat. Tingkat kapasitas masyarakat menjadi penting karena masyarakat
sebagai subyek aktif dalam upaya pengurangan risiko bencana. Mengetahui tingkat
kapasitas masyarakat berarti mengetahui tingkat kemampuan masyarakat dalam
menghadapi bencana. Pengalaman masyarakat terhadap bencana menimbulkan
kemampuan menghadapi bencana dan kemampuan melindungi diri. Identifikasi
coping strategies menurut Twigg (2004) dibagi menjadi empat jenis yaitu ekonomi,
teknologi, sosial, dan kultural. Strategi coping adalah strategi untuk mengatasi
bencana yang meliputi preventative strategies, response strategies, dan recovery
strategies. Tingkat kapasitas masyarakat dan coping strategies yang ada di daerah
dapat dijadikan input dan bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terkait
dengan pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction). Diagram alir
kerangka pemikiran dapat digambarkan pada gambar 1.5 berikut.
27
Bahaya
Kapasitas Masyarakat
Coping Srategies
- Ekonomi
- Teknologi
- Sosial
- Kultural
Pengetahuan Lokal
Risiko
Output:
- Tingkat kapasitas
masyarakat dalam
menghadapi bencana
dan jenis coping
strategies
- Bahan pertimbangan
kebijakan
pengurangan risiko
bencana
Gambar 1.5. Diagram Alir Kerangka Pemikiran (Sumber: Hasil Analisis, 2017)
Kapasitas
Bencana
Pengurangan
28
1.7 Batasan Operasional
Bahaya adalah suatu peristiwa besar atau ekstrem di alam atau di
lingkungan buatan manusia yang berpotensi merugika kehidupan manusia, harta,
benda, atau aktivitas apabila meningkat menjadi bencana (UNDP/UNDRO, 1992).
Bencana adalah peristiwa atau atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik
oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis (UU No.24 Tahun 2007).
Bencana Alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angina topan, dan tanah longsor
(Kumalawati, 2015).
Risiko Bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana
pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka,
sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan
harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (UU No.24 Tahun 2007).
Pencegahan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan
ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana (UU No.24
Tahun 2007).
Mitigasi adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana,
baik secara fisik struktural melalui pembuatan bangunan-bangunan fisik, maupun
non fisik-struktural melalui perundang-undangan dan pelatihan (BAKORNAS PB,
2006).
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat
guna dan berdaya guna (UU No.24 Tahun 2007).
29
Kapasitas adalah kombinasi dari semua kekuatan, atribut dan sumber daya
yang tersedia dalam sebuah masyarakat, komunitas atau organisasi yang dapat
digunakan untuk mencapai tujuan yang disepakati (UNISDR, 2009).
Pengetahuan Lokal atau pengetahuan tradisional adalah pengetahuan yang
dimiliki atau dikuasai dan digunakan oleh sutau komunitas, masyarakat atau suku
bangsa tertentu, yang bersifat turun temurun dan terus berkembang sesuai dengan
perubahan lingkungan (Sardjono, 2004 dalam Endraswara, 2013)
Coping Strategies adalah aplikasi atau penerapan pengetahuan lokal dalam
menghadapi bahaya dan ancaman lainnya. Kemampuan dan sumber daya yang
akan diterapkan tergantung pada ancaman bencana yang ada, kapasitas dalam
menghadapi, dan prioritas suatu komunitas dan individu yang dapat berubah
selama bencana berlangsung (Twigg, 2004).
Top Related