1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Laut merupakan bagian penting yang sudah diperebutkan oleh umat
manusia baik melalui perang maupun perundingan sejak zaman dahulu. Pada
mulanya seluruh laut dan samudera di dunia ini dibagi menjadi dua bagian oleh
Paus Alexander XII pada tahun 1493 melalui piagam yang disebut dengan Inter
Caetera.1 Piagam tersebut berisi tentang pembagian wilayah dan samudera di dunia
menjadi dua kekuasaan yaitu Portugal dan Spanyol sebagai upaya penyelesaian
konflik diantara keduanya. Hal ini dikarenakan saat itu Portugis dan Spanyol adalah
dua kerajaan yang bersaing secara ketat untuk dapat mengakomodir kepentingan
akan jalur perdagangan.2 Portugis dan Spanyol merupakan kerajaan yang memiliki
angkatan laut yang kuat dilengkapi dengan perlengkapan kapal serta sistem
navigasi yang mumpuni. Selain itu adanya pembagian wilayah ini juga merupakan
konsekuensi dari dikenalnya pemanfaatan laut sebagai kepentingan pelayaran,
perdagangan dan sumber kehidupan seperti penangkapan ikan.3
Keunggulan ini kemudian memunculkan adanya persaingan yang
selanjutnya mendorong kedua belah pihak untuk membentuk suatu perjanjian yang
disebut dengan Perjanjian Tordesilas. Berdasarkan perjanjian yang dibentuk pada
1 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung, 1978, h. 8. 2 Wahyono S. K, “Wilayah Laut”, Jurnal Ketahanan Nasional, VI (2), Agustus 2001, h. 71. 3 Chairul Anwar, Horizon Baru Hukum Laut Internasional, Penerbit Djambatan, Jakarta,
1989, h. 1.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
2
tahun 1494 ini, Portugis dan Spanyol sepakat untuk membagi wilayah laut di
seluruh dunia dan sejak saat itu laut merupakan wilayah yang bersifat tertutup atau
mare clausum. Melalui perjanjian tersebut Spanyol dan Portugis menegaskan
pembagian laut menjadi dua termasuk tanah dan penduduk di dalamnya.4
Pembagian ini dilakukan untuk melarang pihak selain Portugis dan Spanyol
melakukan pelayaran di laut tersebut.5
Pembagian laut ini juga tidak hanya dilakukan oleh Portugis dan Spanyol
melainkan jaga dilakukan oleh Kerajaan Denmark atas klaimnya yang disebut
dengan klaim dominio maris.6 Kerajaan Denmark menyatakan bahwa pihak mereka
tidak pernah mengakui pemberlakuan pembagian wilayah yang dilakukan oleh
Portugis dan Spanyol. Selain Kerajaan Denmark, Kerajaan Inggris di bawah raja-
raja dari Skotlandia juga menerapkan klaim dominio maris khususnya di wilayah
lautan sekitar Kepulauan Inggris.7 Klaim ini dilakukan oleh Raja Charles II untuk
melindungi perairannya dari nelayan asing. Usaha pembatasan dilakukan
sedemikian rupa oleh beberapa kerajaan tersebut atas dasar kepentingan
perlindungan perikanan dan monopoli pelayaran.8
Pada abad ke 17 Raja James I memproklamirkan bahwa setiap penangkapan
di perairan Inggris hanya diperkenankan melalui izin. Dengan demikian apabila
Belanda hendak melakukan penangkapan maka Belanda harus mendapatkan izin
4 Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit., h. 8. 5 Ibid. 6 Klaim dominio maris pada mulanya dianut oleh Denmark dan Inggris dalam upayanya
untuk melindungi wilayah laut miliknya dari bajak laut. Atas klaimnya tersebut Kerajaan Denmark mampu mempengaruhi Portugis dan Spanyol untuk tidak mengganggu wilayah kekuasaannya. Portugis dan Spanyol pada saat itu juga mengakui kedaulatan Kerajaan Denmark atas alut di sekitaran Norway, Ibid, h. 10.
7 Ibid, h. 11. 8 Ibid, h. 11.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
3
terlebih dahulu dari Inggris. Mengacu pada hal tersebut maka mulai muncul kritikan
dari Hugo Grotius melalui bukunya yang berjudul Mare Liberum.9 Garis besar
kritikan yang disampaikan oleh Grotius didasarkan pada perbedaan pengertian
antara imperium (sovereignty) dan dominium (ownership).10 Kritikan tersebut
menyebutkan bahwa laut seharusnya bersifat mare liberum, artinya diberlakukan
prinsip freedom of the sea11 dan prinsip freedom of navigation12 di seluruh wilayah
laut di dunia. Mare liberum dalam hal ini memiliki arti bahwa laut bersifat bebas.
Konsep mare liberum dikembangkan oleh Hugo Grotius yang menyatakan bahwa
laut pada dasarnya tidak dapat dimiliki oleh siapapun.13 Laut bersifat terbuka dan
dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat manusia untuk kemaslahatannya. Konsepsi
ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pelayaran internasional bagi
perdagangan. Menurut Hugo Grotius, perikanan harus terbuka bagi semua orang
dikarenakan laut merupakan sumber kekayaan yang dapat dikelola oleh setiap
negara.
9 Chairul Anwar, Op.Cit., h. 2. 10 Menurut Hugo Grotius terdapat perbedaan yang sangat fundamental antara sovereignty
dengan ownership. Suatu negara dapat berdaulat atas bagian-bagian laut tertentu akan tetapi mereka tidak dapat memiliki laut tersebut, Sudirman Saad, Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan, LKIS, Yogyakarta, 2009, h. 34.
11 Konsep freedom of the high sea berarti bahwa tidak ada satupun negara yang dapat menundukkan kegiatan apapun di laut lepas karena laut lepas merupakan wilayah yang dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan damai, Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2003, h. 314.
12 Konsep freedom of the navigation adalah prinsip tertua yang paling diakui dalam hukum laut internasional. Menurut Hugo Grotius, konsep ini dibentuk dikarenakan laut merupakan salah satu wadah untuk melakukan komunikasi dan kerjasama antar negara-negara, dengan demikian laut pada saat itu harus bebas dari hambatan dan tidak dikendalikan oleh negara manapun, Rüdiger Wolfrum, “Freedom of The Navigation: New Challenges”, www.itlos.org, diakses pada tanggal 10 Juli 2019, h. 2.
13 Awal mula diterbitkannya Buku Mare Liberum milik Hugo Grotius adalah karena pada tahun 1609 muncul larangan dari raja James I kepada nelayan Belanda untuk menangkap ikan di sekitaran pantai Inggris. Mare Liberum sendiri memiliki arti bahwa laut bersifat bebas. Walaupun Mare Liberum ditulis untuk membela kebebasan berlayar (freedom of navigation) di laut terhadap klaim bangsa-bangsa Portugis dan Spanyol namun buku ini menyinggung juga perihal kebebasan menangkap ikan, Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit, 1978, h. 14.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
4
Pada perkembangannya, seiring dengan meningkatnya kesadaran global
akan pentingnya wilayah laut, konsep yang dikembangkan oleh Hugo Grotius
diejawantahkan melalui pembentukan regulasi-regulasi internasional serta berbagai
macam pedoman dan langkah aksi yang dapat digunakan oleh negara-negara untuk
mewujudkan penggunaan laut secara bebas namun diseimbangi dengan tata cara
yang bertanggung jawab.14 Pada regional Asia Tenggara dan Australia misalnya,
terdapat soft law yang disebut dengan Regional Plan of Action to Promote
Responsible Fishing Practices Including Combating Illegal, Unreported and
Unregulated Fishing in the Southeast Asia Region 2007 atau yang selanjutnya
disebut dengan RPOA-IUU 2007. RPOA-IUU 2007 memberikan pedoman khusus
mengenai penangkapan ikan dengan menerapkan prinsip penangkapan perikanan
yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Terdapat 11 negara dan empat advisory bodies yang menyepakati RPOA-
IUU 2007 sebagai salah satu upaya pemberantasan illegal fishing di tataran
regional. Negara-negara tersebut diantaranya 10 negara Asia Tenggara yang terdiri
dari: Brunei Darussalam; Kamboja; Indonesia; Malaysia; Papua Nugini; Filipina;
Singapura; Thailand; Timor Leste; dan Vietnam, satu negara di luar Asia Tenggara
yakni Australia, dan empat advisory bodies yakni Asia-Pacific Fishery Commision
(APFIC); Southeast Asian Fisheries Development Centre (SEAFDEC)15; InfoFish
14 Bebas dalam hal ini tidak mengacu pada kebebasan mutlak dalam koridor anarchy
melainkan merujuk pada kebebasan dalam pemanfaatan wilayah laut sebagaimana dinyatakan oleh Hugo Grotius melalui konsep mare liberum.
15 ASEAN telah mengadakan pertemuan Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC) Council ke-51 untuk membahas mengenai komitmen regional terkait keberlanjutan sumber daya perikanan di Kawasan Asia Tenggara. Beberapa isu yang menjadi pembahasan utama dalam pertemuan ini adalah illegal fishing serta penggunaan prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan dalam melakukan penangkapan ikan. Kedua isu tersebut memiliki keterkaitan dikarenakan dalam menerapkan prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan dibutuhkan komitmen
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
5
and Worldfish Center.16 RPOA-IUU 2007 bertujuan untuk meningkatkan dan
memperkuat keseluruhan pengelolaan perikanan pada tataran regional. Selain itu
RPOA-IUU 2007 juga dibentuk untuk mempertahankan sumber daya perikanan
dan lingkungan laut serta untuk mengoptimalkan manfaat dari penerapan
penangkapan ikan yang bertanggung jawab dan pengelolaan perikanan yang
berkelanjutan.
Latar belakang didirikannya RPOA-IUU 2007 berangkat dari peran
perikanan yang berkontribusi penting bagi kehidupan perekonomian dan ketahanan
pangan suatu negara. Dengan demikian tindakan pencegahan dan pemberantasan
illegal fishing yang dilakukan oleh RPOA-IUU 2007 dilakukan melalui konservasi
sumber daya perikanan serta lingkungannya, pengelolaan kapasitas perikanan dan
pemberantasan penangkapan illegal fishing yang akan difokuskan di wilayah Laut
Cina Selatan, Laut Sulu-Sulawesi, Bagian Teluk Thailand dan Laut Arafura.17 11
negara yang telah menyepakati pembentukan RPOA-IUU 2007 sebagai langkah
aksi yang akan digunakan oleh negara-negara untuk melakukan pemberantasan
illegal fishing selanjutnya membentuk National Plan of Action yang disesuaikan
dengan kondisi dan regulasi negaranya masing-masing. Pembentukan National
Plan of Action ini juga didasari oleh instruksi Food and Agriculture Organization
atau yang selanjutnya disebut menjadi FAO, melalui International Plan of Action
to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing 2001
antar negara untuk menghentikan praktik illegal fishing, Lilly Aprilya Pregiwati, “Indonesia Bersama SEAFDEC Dorong Penguatan Kerja Sama Regional Untuk Keberlanjutan Sumber Daya Perikanan”, www.kkp.go.id, 19 Maret 2019, diakses pada tanggal 30 Agustus 2019. 16 Regional Plan of Action Official Website, www.rpoaiuu.org, diakses pada tanggal 1 September 2019.
17 Ibid.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
6
atau yang selanjutnya disebut sebagai IPOA-IUU 2001 yang merupakan bagian
integral dari Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995 atau yang selanjutnya
disebut sebagai CCRF 1995. Sebagai bentuk perwujudan dari implementasi CCRF
1995, IPOA-IUU 2001 dan RPOA-IUU 2007, Indonesia dianjurkan untuk
membentuk sebuah National Plan of Action yang berfungsi sebagai pedoman
pemberantasan illegal fishing secara nasional.
Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan selama tahun 2012
hingga tahun 2016 telah membentuk National Plan of Action To Prevent, Deter and
Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing atau yang selanjutnya
disebut sebagai Indonesian National Plan of Action. Pembentukan rencana aksi ini
dimaksudkan agar unit organisasi di Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki
pedoman terkait upaya pencegahan dan pemberantasan illegal fishing sesuai
dengan tugas dan fungsinya. Selain itu Indonesian National Plan of Action juga
dapat dijadikan referensi untuk melakukan koordinasi antara kementerian atau
lembaga terkait untuk mencegah dan memberantas illegal fishing. Pembentukan
Indonesian National Plan of Action ditujukan untuk menguatkan implementasi
RPOA-IUU 2007 di tataran nasional, guna mendukung pengelolaan dan
pengembangan perikanan yang tertib, bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Indonesian National Plan of Action menggunakan 18 peraturan nasional yang
keseluruhannya berkaitan dengan perikanan dan konservasi lingkungan sebagai
landasan hukum.
Praktik illegal fishing pada dasarnya tidak berkesesuaian dengan poin
berkelanjutan sebagaimana diterapkan oleh Indonesia dikarenakan dalam Pasal 17
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
7
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Perikanan. Pemerintah
mengkoordinasikan pengelolaan ikan serta memfasilitasi terwujudnya industri
perikanan dengan cara bekerjasama dengan negara lain serta memanfaatkan
ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional guna menciptakan kelestarian
sumber daya ikan serta iklim usaha perikanan yang kondusif bagi pembangunan
perikanan berkelanjutan. Praktik illegal fishing tidak memenuhi ketentuan-
ketentuan tersebut mengingat praktik ini mencakup kegiatan penangkapan ikan
dalam kapasitas besar tanpa memperhatikan jumlah tangkapan yang diperbolehkan
dan dikelola oleh pihak-pihak tertentu serta hanya memenuhi kepentingan bisnis
beberapa pihak yang tidak bertanggungjawab.
Indonesia pada dasarnya telah menerapkan Indonesian National Plan of
Action dalam mengupayakan pemberantasan illegal fishing. Selama menjabat
sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan pada tahun 2014 lalu, Susi Pudjiastuti
telah menerapkan beragam upaya dalam mewujudkan pengelolaan perikanan
berkelanjutan melalui pemberantasan praktik illegal fishing di wilayah Indonesia.
Upaya-upaya tersebut seperti moratorium izin kapal perikanan18, melarang
penggunaan beberapa alat penangkap ikan19 serta menerapkan penenggelaman
kapal bagi pelaku praktik illegal fishing.20 Upaya yang dilakukan oleh Susi
18 Moratorium izin dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia Nomor 56/PERMEN-KP/2014 Tentang Penghentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Pemberlakuan aturan ini bersifat sementara dengan tujuan untuk membenahi dan mengarsip ulang perizinan kapal yang telah secara sah dinyatakan resmi oleh pemerintah Republik Indonesia.
19 Pelarangan penggunaan beberapa alat penangkap ikan berbahaya seperti pukat hela dan pukat tarik dilakukan dengan berdasar pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/PERMEN-KP/2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
20 Sesuai dengan Pasal 69 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
8
Pudjiastuti pada tahun 2016 diperkuat dengan diberlakukannya Indonesian
National Plan of Action. Akan tetapi praktik illegal fishing di Indonesia masih
terjadi dan terus berkembang. Hal ini disebabkan karena akumulasi dari beberapa
faktor seperti jenis perikanan di wilayah laut Indonesia yang diminati oleh banyak
negara21 dan perjanjian batas negara yang belum juga diselesaikan. Sepanjang
Agustus 2014 hingga Agustus 2015 terdapat 36 kapal pelaku illegal fishing yang
siap untuk diledakkan.22 Selanjutnya selama September 2015 terdapat 16 kapal baru
yang telah ditangkap, rinciannya sembilan kapal ditangkap oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan dengan TNI Angkatan Laut dan tujuh kapal ditangkap oleh
kapal patroli TNI Angkatan Laut.23
Pada tahun 2016 khususnya selama periode 17 Agustus 2016 hingga awal
Desember 2016, Kementerian Kelautan dan Perikanan beserta Satgas 115 telah
menangkap 122 kapal pelaku illegal fishing. Kapal ilegal tersebut didominasi oleh
kapal Vietnam. Sebanyak 22 kapal Vietnam ditangkap oleh TNI Angkatan Laut, 11
kapal oleh Polisi Air, dan satu kapal oleh Badan Keamanan Laut.24 Selanjutnya
tahun 2017 jumlah kasus penanganan tindak pidana perikanan pada tahun 2017
21 Praktik illegal fishing di Indonesia masih terus terjadi disebabkan karena keberagaman
sumber daya hayati yang terdapat di wilayah perbatasan Indonesia dengan Vietnam yakni Laut Natuna. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan terhadap para nelayan kapal ikan Vietnam yang tertangkap melakukan praktik illegal fishing di wilayah Indonesia, mereka menyatakan bahwa ikan-ikan yang terdapat di Laut Natuna lebih mendominasi dari segi rasa dan kuantitas dibanding yang terdapat di perairan mereka, Muhammad Idris, “Tak Jera, Ini Alasan Nelayan Vietnam Sering Curi Ikan di Laut RI”, www.finance.detik.com, 18 Juli 2017, dikunjungi pada tanggal 29 September 2019.
22 Laporan Tahunan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Tahun 2017, www.kkp.go.id, 2017, diakses pada tanggal 25 September 2019, h. 5.
23 Sebanyak tujuh kapal berasal dari Vietnam, empat kapal dari Filipina dan lima kapal milik perusahaan Indonesia, Ibid.
24 Data Kementerian Kelautan dan Perikanan kepada Kata Data, databoks.katadata.co.id, 12 September 2016, diakses pada tanggal 25 September 2019.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
9
mencapai 193 kasus dengan keputusan inkracht van gewijsde atau telah mendapat
kekuatan hukum tetap mencapai 57 kasus.25 Apabila mengacu pada rekapitulasi
Kementerian Kelautan dan Perikanan maka sepanjang periode 2014-2017 jumlah
tindak pidana perikanan mencapai 621 kasus dengan jumlah kasus tindak pidana
perikanan yang telah mendapat kekuatan hukum tetap sebanyak 266 kasus.26
Pada pertengahan tahun 2018 Kementerian Kelautan dan Perikanan berhasil
menangkap 106 kapal perikanan yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal.
Sejumlah kapal pelaku illegal fishing tersebut terdiri dari 38 kapal perikanan asing
dan 65 kapal perikanan Indonesia yang ditangkap oleh sejumlah 34 armada Kapal
Pengawas Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan.27 Direktorat Jenderal
PSDKP bersama-sama dengan Kejaksaan Agung, TNI Angkatan Laut, Polisi Air,
dan intansi terkait lain yang dikoordinasikan Satgas 115 pada tahun 2018 secara
keseluruhan telah menenggelamkan sebanyak 125 kapal perikanan dengan rincian
121 kapal perikanan asing dan empat kapal perikanan Indonesia.28
Kapal yang berasal dari Vietnam merupakan kapal yang mendominasi
dalam praktik illegal fishing di perairan Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan data
25 Laporan Tahunan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Tahun
2017, Ibid. 26 Ibid. 27 Kapal perikanan asing yang ditangkap oleh Kapal Pengawas Perikanan didominasi oleh
kapal berbendera Vietnam sebanyak 29 kapal, diikuti oleh kapal berbendera Malaysia 7 kapal, dan Filipina sebanyak 5 kapal, dikutip dari. Menurut data yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2018 terdapat 26 kapal perikanan Vietnam yang sudah berstatus inkracht di pengadilan, Direktorat Jenderal PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan, “Kapal Pengawas KKP Tangkap 106 Kapal Illegal Fishing di 2018”, www.kkp.go.id, 28 Januari 2019, diakses pada tanggal 26 September 2019.
28 Kapal perikanan asing tersebut terdiri atas 83 kapal Vietnam, 22 kapal Malaysia, 15 kapal Filipina, satu kapal Thailand, Lilly Aprilya Pregiwati, “Hari Kemerdekaan, Pemerintah Tenggelamkan 125 Kapal Pelaku Illegal Fishing”, www.kkp.go.id, 21 Agustus 2018, diakses pada tanggal 26 Sepetember 2019.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
10
dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang terhitung sampai awal April 2019
terdapat 13 kapal perikanan Vietnam yang terlibat kasus praktik illegal fishing di
Wilayang Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia atau yang kemudian
disebut sebagai WPP-NRI, dengan rincian sebagai berikut:
a. 7 kapal dalam tahap penyidikan, berada di Stasiun PSDKP Pontianak;
b. 2 kapal dalam tahap penyidikan, berada di Satwas SDKP Natuna;
c. 2 kapal dalam tahap II, berada di Satwas SDKP Natuna;
d. 2 kapal dalam tahap pemeriksaan pendahuluan berada di Pangkalan PSDKP
Batam.
Agus Suherman dari bagian PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan
menyatakan dalam hal penangkapan kapal illegal fishing, sejak Januari hingga
pertengahan April 2019 telah berhasil menangkap 38 kapal ikan ilegal yang terdiri
dari 28 kapal perikanan asing dan 10 kapal perikanan Indonesia.29 Apabila jumlah
penangkapan kapal illegal fishing tersebut dirangkum secara singkat dalam sebuah
tabel, maka didapatkan data sebagai berikut:
Tahun Kapal Asing Kapal Domestik Jumlah Kapal Tertangkap
2014-2015 52 - 52
2016 122 - 122
2017 123 4 127
29 Kapal perikanan asing tersebut terdiri atas 15 kapal yang berasal dari Vietnam dan 13
kapal yang berasal dari Malaysia, Direktorat Jenderal PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan, “Kinerja Pengawasan KKP Sepanjang Triwulan 1/2019 Tunjukan Capaian Positif”, www.kkp.go.id, 12 April 2019, diakses pada tanggal 25 September 2019.
Tabel 1.1 Kapal Pelaku Praktik Illegal Fishing sejak tahun 2015 sampai dengan pertengahan tahun 2019
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
11
2018 38 65 106
2018-2019 28 10 38
Total 363 79 442
Sebagaimana terlihat pada tabel 1.1 kapal asing yang melakukan illegal fishing
cenderung mengalami peningkatan pada tiga tahun pertama dan mengalami
penurunan pada dua tahun terakhir. Akan tetapi penurunan ini juga disertai dengan
peningkatan jumlah kapal domestik yang melakukan illegal fishing.
Peningkatan jumlah kapal domestik yang melakukan praktik illegal fishing
dapat disebabkan karena beberapa faktor seperti pengurusan administrasi kapal
yang masih tidak menyentuh daerah pelosok sedangkan sebagian besar nelayan
Indonesia berasal dari daerah pelosok.30 Kurangnya alternatif mata pencaharian lain
juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kapal domestik turut berperan
dalam praktik illegal fishing. Selain itu faktor lainnya bisa jadi berasal dari kurang
efektifnya pengelolaan perikanan di Indonesia yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran kapasitas penangkapan. Penangkapan ikan secara berlebihan terutama
di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif disebabkan karena monitoring, controlling and
30 Pengusaha atau nelayan kapal perikanan wajib mengurus administrasi, sebagaimana
diatur dalam regulasi di Indonesia mengenai perikanan. Sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2006, kapal perikanan dengan berat 10 hingga 30 GT wajib memiliki SIPI dan/atau SIKPI. Sementara kapal-kapal di bawah 10 GT telah dibebaskan dari perizinan dan tinggal melaut tapi tetap berkewajiban untuk melaporkan diri dan berkoordinasi dengan birokrasi pemerintahan daerah. Akan tetapi kewajiban ini tidak disertai dengan fasilitas yang mumpuni dikarenakan birokrasi yang lambat seringkali dikeluhkan nelayan yang ingin mengurus perizinan. Selain itu sebagian besar nelayan datang dari pelosok daerah sehingga pengurusan administrasi sulit terjangkau oleh nelayan-nelayan tersebut.
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
12
surveillance yang kurang memadai.31 Dengan demikian selanjutnya dipertanyakan
mengenai langkah nyata dari penerapan Indonesia Plan of Action sebagai pedoman
nasional dalam memberantas praktik illegal fishing di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang tersebut maka dapat ditarik dua rumusan
masalah, antara lain:
a. Prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan dalam Indonesian National
Plan of Action;
b. Penerapan Indonesian National Plan of Action untuk memberantas praktik
illegal fishing di Indonesia.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana disebutkan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
a. Untuk menganalisa prinsip-prinsip pengelolaan perikanan internasional dan
awal mula hadirnya prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan di
Indonesia serta pengimplementasiannya dalam Indonesian National Plan of
Action;
31 Peningkatan kualitas monitoring, controlling and surveillance merupakan isu nasional
yang perlu dikaji lebih lanjut oleh Indonesia. Hal ini dikarenakan terdapat tiga kendala yang dihadapi oleh Indonesia terkait dengan monitoring, controlling and surveillance, antara lain: penataan perijinan; armada dan sarana yang kurang masif untuk melakukan pengawasan di lapangan; dan sistem penegakan hukum khususnya yang berkaitan dengan kewenangan lembaga yang melakukan pengawasan, Harmin Sarana, “Desain Sistem Monitoring, Control and Surveillance Nasional dalam Pembangunan Kelautan Indonesia”, Disertasi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 2007, h. 45.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
13
b. Untuk menganalisa implikasi dari dibentuknya Indonesian National Plan of
Action terhadap perwujudan pengelolaan perikanan berkelanjutan di
Indonesia melalui pemberantasan illegal fishing.
1.4 Manfaat Penulisan
a. Data-data yang dijadikan sebagai referensi pada penelitian ini nantinya
mampu menjadi rujukan dalam melakukan pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya terkait prinsip-prinsip pengelolaan perikanan
internasional dan penerapan upaya pemberantasan illegal fishing di
Indonesia sebagai bentuk Pengimplementasian Indonesian National Plan of
Action;
b. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi
masyarakat luas, baik akademisi maupun praktisi, dalam melakukan
penerapan Indonesian National Plan of Action sebagai bentuk
pengembangan terhadap pengelolaan perikanan berkelanjutan.
1.5 Tinjauan Pustaka
1.5.1 Konsep Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan
Perikanan merupakan sektor yang memiliki peranan penting dalam
perkembangan suatu bangsa.32 Dengan demikian negara wajib mengelola sumber
daya perikanan yang dimilikinya dengan prinsip pengelolaan yang tepat sehingga
dapat terus berkembang dan tidak menjadi langka di masa yang akan datang. Pola
pemikiran bahwa ikan merupakan renewable resource merupakan salah satu
32 Akhmad Fauzi, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, h. 98.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
14
pemikiran yang menyebabkan pengelolaan sumber daya perikanan menuju titik
kegagalan. Pemikiran ini menjadikan negara-negara menyalahgunakan hak
berdaulat yang dimilikinya di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif sehingga ikan di
lautan menjadi over exploited. Selain itu pola pikir memaksimalkan produksi
perikanan untuk mengejar keuntungan juga merupakan pemikiran yang tidak tepat
dalam melakukan pengelolaan perikanan. Dengan demikian dibutuhkan konsep
pengelolaan perikanan yang berkelanjutan untuk mencegah terjadinya over
exploited terhadap perikanan di laut.
Konsep pengelolaan perikanan berkelanjutan merupakan konsep
pengelolaan yang mengedepankan tanggung jawab, artinya pengelolaan harus
dilakukan secara bijaksana dalam melestarikan persediaan sumber daya ikan.
Pengelolaan perikanan harus dilaksanakan dengan efisien dan didasari oleh sistem
manajemen yang mumpuni.33 Konsep pengelolaan perikanan berkelanjutan
dilakukan dengan beberapa cara seperti melarang penangkapan ikan pada suatu
musim tertentu, menutup daerah penangkapan tertentu dan membatasi jumlah ikan
yang ditangkap.34 Mekanisme ini tentu membutuhkan dukungan berupa
peningkatan pengawasan dan penegakan hukum secara mendasar, pengaturan pajak
dan pungutan yang dapat mendatangkan investasi akan tetapi disertai juga dengan
kontribusi penuh pemerintah dalam pemberian izin.35 Kontribusi penuh pemerintah
dalam hal pengaturan izin dibutuhkan untuk menyaring investor yang masuk ke
33 Lukman Adam, “Kebijakan Pelarangan Penangkapan Ikan Tuna Sirip Kuning: Analisis
Dampak dan Solusinya”, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, Vol. 7 No. 2 Desember 2016, www.jurnal.dpr.go.id, h 198, diakses pada tanggal 20 September 2019.
34 Ibid. 35 Ibid.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
15
dalam kegiatan pengelolaan perikanan. Apabila pemerintah tidak mengatur izin
yang selektif terhadap investor maka hal ini akan menyebabkan stok ikan di laut
menjadi over exploited. Mengacu pada hal tersebut maka regulasi yang diberikan
oleh pemerintah dalam hal ini berfungsi untuk menstabilkan kegiatan pemanfaatan
sumber daya ikan agar tidak berpotensi instabilitas.36
Pengelolaan perikanan berkelanjutan pada dasarnya dilandasi oleh konsep
pembangunan yang tidak merusak lingkungan guna dapat menyelamatkan bumi.
Pengelolaan perikanan yang berkelanjutan mengacu pada pengelolaan perikanan
yang berusaha memenuhi kebutuhan hari ini tanpa mengurangi kemampuan
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya.37 Konsep ini lahir melalui
United Nations Conference on Environment and Development 1992 di Rio Janeiro
atau yang kemudian disebut dengan UNCED 1992, dengan tiga pilar utama yakni
pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan pelestarian lingkungan hidup.
Konferensi ini menghasilkan lima prinsip utama berkaitan dengan konsep
pembangunan berkelanjutan yakni:38
a. prinsip keadilan antargenerasi (intergenerational equity);
b. prinsip keadilan dalam suatu generasi (intragenerational equity);
c. prinsip keberhati-hatian (precautionary);
d. prinsip perlindungan keragaman hayati (conservation of biological
diversity); dan
36 Instabilitas dalam hal ini berarti pengelolaan perikanan tersebut merusak tatanan dalam
masyarakat. Lukman Adam, Op.Cit., h. 200. 37 Ibid, h. 520. 38 Ibid, h. 523.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
16
e. prinsip internalisasi biaya lingkungan. Penerapan pengelolaan perikanan
berkelanjutan yang dilandasi oleh prinsip pembangunan berkelanjutan
diharapkan dapat membawa pengaruh positif bagi pelaksanaan pengelolaan
sumber daya alam serta pemeliharaan daya dukung lingkungan guna
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Agenda 21 sebagai satu diantara empat dokumen yang dihasilkan dalam
UNCED 1992, merupakan regulasi yang menempatkan pembangunan
berkelanjutan yang merupakan inti dari pengelolaan perikanan berkelanjutan
sebagai pokok yang menjadi prioritas dalam agenda komunitas internasional. Pada
Chapter 17 yang mencantumkan pengaturan mengenai perlindungan sumber daya
yang terdapat di laut dan daerah pesisir. Article 17.1 menyatakan bahwa negara-
negara memiliki kewajiban untuk menentukan dasar yang dapat digunakan baik
dalam tataran internasional, regional maupun nasional untuk melakukan
pengelolaan perikanan berkelanjutan di wilayah laut. Dengan demikian untuk
mewujudukan kewajiban ini negara-negara perlu melakukan perlindungan
lingkungan laut sejak dini dengan menggunakan prinsip kehati-hatian dalam
memanfaatkan sumber daya yang terdapat di wilayah laut. Chapter 17 Agenda 21
pada perkembangannya merupakan ide dari lahirnya CCRF 1995 yang merupakan
pedoman teknis dalam melaksanakan pola perilaku bagi praktik yang bertanggung
jawab dalam pengusahaan pengelolaan perikanan berkelanjutan untuk menjamin
terlaksananya konservasi dan pelestarian sumber daya laut.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
17
1.5.2 Illegal Fishing
Illegal fishing merupakan tindakan pencurian ikan yang tidak hanya
dilakukan oleh kapal perikanan asing, melainkan dapat juga dilakukan oleh kapal
perikanan domestik secara tidak prosedural. Pada dasarnya illegal fishing berangkat
dari istilah Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUU Fishing), akan tetapi
pada penelitian ini selanjutnya akan disebut sebagai illegal fishing karena pada
dasarnya unsur unreported dan unregulated dalam IUU Fishing telah diakomodir
dalam istilah illegal.
Sebagaimana diatur dalam Chapter II, khususnya Article 3.1 IPOA-IUU
2001, praktik illegal fishing mengacu pada beberapa pemenuhan unsur, yakni:
a. Illegal, yang mengacu pada aktivitas-aktivitas sebagai berikut:
1) dilakukan oleh kapal nasional atau asing di perairan di bawah
yurisdiksi suatu negara, tanpa izin dari negara itu, atau bertentangan
dengan hukum dan peraturannya;
2) dilakukan oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negara-
negara yang merupakan pihak pada organisasi manajemen perikanan
regional yang relevan tetapi operasinya bertentangan dengan
langkah-langkah konservasi dan manajemen yang dianut oleh
organisasi tersebut yang merupakan negara terikat dalam langkah-
langkah konservasi dan manajemen tersebut, atau ketentuan terkait
dari rezim hukum internasional; atau
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
18
3) pelanggaran terhadap hukum nasional atau kewajiban internasional,
termasuk yang dilakukan oleh negara-negara yang bekerja sama
dengan organisasi manajemen perikanan regional yang relevan.
b. Unreported, yang mengacu pada kegiatan penangkapan ikan yang:
1) tidak dilaporkan atau telah dilaporkan namun tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan
nasional negara yang bersangkutan;
2) dilakukan dalam kompetensi Regional Fisheries Management
Organization atau yang selanjutnya disebut sebagai RFMO, akan
tetapi tidak memenuhi conservation management measures dari
RFMO tersebut;
c. Unregulated, mengacu pada kegiatan penangkapan ikan yang:
1) dilakukan di dalam kompetensi RFMO tetapi tanpa mengibarkan
bendera yang menunjukkan kewarganegaraan kapal yang
sesungguhnya39;
2) dilakukan tanpa mempertimbangkan kegiatan-kegiatan konservasi
atau pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab.
Sebelum definisi illegal fishing secara jelas ditemukan dalam IPOA-IUU 2001,
definisi illegal fishing telah terlebih dahulu dikemukakan dalam CCRF 1995. Akan
tetapi CCRF 1995 dalam pembahasannya tidak mencantumkan secara rinci
mengenai definisi illegal fishing. CCRF 1995 pada Article 6 khususnya pada poin
39 Hal ini berarti kapal tersebut secara tidak konsisten mengibarkan bendera yang
digunakan di atas kapal yang berlayar untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah kompetensi RFMO.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
19
6.3 menyatakan bahwa negara-negara harus mencegah adanya praktik penangkapan
ikan berlebih yang pada akhirnya akan memuncak menjadi kerusakan sumber daya
perikanan di dunia. Walaupun tidak dijelaskan dengan rinci namun secara tidak
langsung peraturan ini juga turut menentang adanya praktik illegal fishing
mengingat illegal fishing akan selalu disertai dengan tindakan over fishing ataupun
perusakan lingkungan laut karena alat-alat tangkapnya yang tidak ramah
lingkungan.
CCRF 1995 pada Article 7 khususnya pada poin 7.1.8 bagian umum,
negara-negara diwajibkan mengambil tindakan untuk mencegah adanya over
fishing serta harus memastikan bahwa suatu upaya penangkapan ikan sudah sesuai
dengan penggunaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan. Pada Article yang
sama namun bagian yang berbeda yakni bagian 7.5 mengenai pengaturan
precautionary approach40 khususnya pada poin 7.5.1. Dalam upaya eksplorasi
perikanan, negara-negara harus menerapkan pendekatan ini untuk menghindari
adanya kerusakan laut yang berlebih. Dalam praktiknya, illegal fishing tidak
memperhatikan pendekatan tersebut karena tujuannya hanyalah demi keuntungan
semata.
Secara terminologi illegal fishing berasal dari bahasa Inggris yang terdiri
dari dua kata, illegal dan fishing. Illegal artinya tidak sah, dilarang atau
bertentangan dengan hukum dan fishing artinya penangkapan ikan sebagai mata
pencaharian atau tempat menangkap ikan. Mengacu pada pengertian secara harfiah
40 Deklarasi Rio 1992 menyebutkan bahwa precautionary approach atau pendekatan kehati-hatian adalah pendekatan yang harus diterapkan untuk melindungi lingkungan hidup.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
20
tersebut maka dapat didefinisikan bahwa illegal fishing adalah kegiatan menangkap
ikan atau kegiatan perikanan yang dilakukan secara tidak sah.41 Kegiatan illegal
fishing pada praktiknya dilakukan oleh kapal-kapal asing dari negara-negara di
kawasan yang memasuki perairan suatu negara secara ilegal.42 Akan tetapi pada
perkembangannya praktik illegal fishing tidak hanya dilakukan oleh kapal asing
melainkan juga kapal domestik. Mengacu pada definisi illegal fishing yang
diberikan oleh IPOA-IUU 2001, poin yang menentukan suatu praktik penangkapan
ikan dikategorikan sebagai praktik illegal fishing terletak pada prosedur yang
digunakan untuk menangkap ikan, bukan subjek yang melakukannya. Prosedur
penangkapan yang ditempuh untuk menangkap ikan secara ilegal di perairan negara
yang dituju tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik secara dokumen atau secara
teknik yang digunakan untuk menangkap ikan. Hasil perikanan yang ditangkap
secara ilegal tersebut selanjutnya dijual di luar negara target dengan keuntungan
yang berlipat ganda.43 Penangkapan ikan seperti ini tentu merugikan negara yang
menjadi target praktik illegal fishing karena telah ikut menurunkan produktivitas
dan hasil tangkapan secara signifikan.44 Selain itu praktik sedemikian juga akan
mengancam sumber daya perikanan laut negara yang menjadi target tersebut.
Praktik illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan asing atau nelayan domestik
41 Nunung Mahmudah, Illegal Fishing, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, h. 80. 42 Simela Victor Muhammad, “Illegal Fishing di Perairan Indonesia: Permasalahan dan
Upaya Penanganannya Secara Bilateral di Kawasan”, Politica, Vol. 3 No. 1 Mei 2012, www.jurnal.dpr.go.id, h. 61, diakses pada tanggal 20 September 2019.
43 Ibid, h. 60. 44 Sebagai contoh kerugian ekonomi akibat illegal fishing yang terjadi di Indonesia bukan
hanya berupa kehilangan pendapatan negara yang mencapai Rp 30 triliun per tahun, tetapi juga hilangnya peluang satu juta ton ikan setiap tahunnya yang harus dipanen oleh nelayan Indonesia, Ibid, dikutip dari Akhmad Solihin, Politik Hukum Kelautan dan Perikanan, Nuansa Aulia, Bandung, 2010, h. 8.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
21
yang tidak bertanggung jawab tersebut tidak dilakukan sendirian melainkan
menjadi bagian dari suatu jaringan lintas negara yang beroperasi secara sistematis
dan berkelanjutan.45
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Tipe Penelitian
1.6.1.1 Pendekatan Masalah
Penelitian ini adalah penelitian normatif yuridis yang menggunakan
pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual
(conceptual approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan
dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkutan
dengan rumusan masalah yang sedang dibahas.46 Pendekatan konseptual
(conceptual approach) beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
yang berkembang dalam ilmu hukum untuk membangun sebuah solusi
penyelesaian bagi masalah yang sedang dihadapi.47
1.6.1.2 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan
hukum primer dan sumber hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan
hukum yang bersifat mengikat antara lain: Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945; Peraturan Perundang-Undangan; dan Perjanjian Internasional
seperti UNCLOS 1982, FAO Compliance 1993, UNFSA 1995, CCRF 1995, IPOA-
45 Ibid, h. 61, dikutip dari Pujo Wahjono, “Transnational Crime and Security Threats in
Indonesia,” Strategy Research Project, US Army War College, Pennsylvania, 2010. 46 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h.133. 47 Ibid, h.177.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
22
IUU 2001, RPOA 2007, Indonesian National Plan of Action dan perjanjian lain
yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan berkelanjutan dan pemberantasan
illegal fishing yang hingga saat ini masih berlaku. Indonesian National Plan of
Action merupakan objek yang akan diteliti dalam penelitian ini untuk kemudian
dikaitkan dengan konsep pengelolaan perikanan berkelanjutan serta perannya
dalam kontribusi pemberantasan illegal fishing di Indonesia.
Bahan hukum sekunder memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer. Adapun yang dimaksud sebagai bahan hukum sekunder adalah bahan
hukum yang tidak mengikat namun dapat membantu menganalisis, memahami dan
menjelaskan bahan hukum primer. Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder
meliputi literatur hukum, jurnal hukum, pendapat para ahli hukum serta segala
informasi hukum tentang permasalahan yang sedang dibahas dalam penelitian ini
yang didapat melalui studi kepustakaan, kliping koran/majalah yang berhubungan
dengan objek permasalahan.
1.6.1.3 Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan mencari
peraturan perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan penelitian
ini,48 melakukan penelusuran buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
melakukan wawancara mengenai atau yang terkait dengan penelitian ini.49
48 Ibid, h . 237. 49 Ibid, h. 2.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
23
1.6.1.4 Analisis Bahan Hukum
Analisa bahan hukum dilakukan dengan melakukan penafsiran baik
berdasarkan teori-teori hukum, asas-asas hukum, pendapat para ahli maupun
peraturan perundang-undangan untuk selanjutnya dapat dilakukan pengkajian dan
dapat ditarik kesimpulan berupa uraian permasalahan.
1.6.1.5 Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini disusun dengan sistematika pembahasan yang
terbagi dalam empat bab, yaitu :
a. Bab I adalah pendahuluan yang mengemukakan latar belakang dan rumusan
masalah yang akan dibahas. Hal yang melatarbelakangi penelitian ini adalah
masih banyaknya kapal asing maupun domestik yang melakukan illegal
fishing di perairan Indonesia sedangkan sudah terbentuk Indonesian
National Plan of Action yang merupakan guidelines yang diberlakukan pada
tataran nasional untuk memberantas illegal fishing. Mengacu pada latar
belakang ini kemudian di angkat dua pokok permasalahan. Permasalahan
pertama berkaitan dengan penerapan prinsip pengelolaan perikanan
berkelanjutan dalam Indonesian National Plan of Action. Selanjutnya
permasalahan kedua berkaitan dengan penerapan Indonesian National Plan
of Action yang telah dibentuk dalam upaya pemberantasan illegal fishing di
Indonesia. Permasalahan kedua diangkat berangkat dari pentingnya
meninjau bahwa Indonesia dalam mengupayakan penerapan pengelolaan
perikanan berkelanjutan melalui pemberantasan illegal fishing sudah
menerapkan Indonesian National Plan of Action dengan komprehensif.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
24
b. Bab II adalah pembahasan mengenai rumusan masalah pertama, yaitu
terkait penerapan prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan dalam
Indonesian National Plan of Action. Sebelum mengacu pada pembahasan
tersebut, terlebih dahulu dibahas mengenai instrumen perikanan global yang
melandasi munculnya prinsip-prinsip pengelolaan perikanan internasional,
serta awal mula penerapan prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan di
Indonesia. Setelah itu akan dibahas mengenai bagaimana prinsip
pengelolaan perikanan berkelanjutan tersebut dituangkan dalam langkah
aksi yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pemberantasan
illegal fishing, yakni Indonesian National Plan of Action.
c. Bab III adalah pembahasan mengenai rumusan masalah kedua, yakni
tentang penerapan Indonesian National Plan of Action dalam memberantas
praktik illegal fishing. Praktik illegal fishing masih terjadi dan terus
berkembang, terutama di negara yang kaya akan sumber daya perikanan
seperti Indonesia. Dengan demikian perlu dianalisa bagaimana mekanisme
penerapan Indonesian National Plan of Action dalam melakukan
pemberantasan illegal fishing di Indonesia.
d. Bab IV berisi penutup, merupakan bagian akhir dari penulisan penelitian
yang berisi kesimpulan dari hasil pembahasan secara keseluruhan dan
jawaban dari rumusan masalah. Selain itu dalam bab ini juga akan diberikan
solusi yang kiranya dapat bermanfaat dalam menjawab permasalahan dalam
penelitian ini.
IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
TESIS IMPLEMENTASI NATIONAL PLAN…. ADHITYA NINI RIZKI APRILIANA
Top Related