BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejalan dengan kehidupan yang sulit dan meningkatnya kebutuhan
hidup, menyebabkan bertambahnya stresor psikososial sehingga manusia tidak
mampu menghindari tekanan hidup yang dialami. Kondisi kritis ini membawa
dampak terhadap peningkatan kualitas maupun kuantitas penyakit mental-
emosional manusia (Hidayati, 2008).
Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat
masalah kesehatan utama di negara-negara berkembang, maju, modern, dan
industri. Keempat masalah utama tersebut adalah penyakit degeneratif, kanker,
gangguan jiwa, dan kecelakaan (Hawari, 2009). Menurut data dari WHO (2001)
masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi
masalah yang sangat serius. Dan pada tahun 2001 kira-kira 450 juta orang dewasa
dari populasi dunia mengalami gangguan jiwa. Di Indonesia diperkirakan
sebanyak 246 dari 1.000 anggota rumah tangga menderita gangguan kesehatan
jiwa. Angka ini menunjukkan jumlah penderita gangguan jiwa di masyarakat
sangat tinggi, yakni satu dari empat penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa
seperti cemas, depresi, stres, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja, sampai
skizofrenia (Yosep, 2007). Jenis dan karakteristik gangguan jiwa sangat beragam,
salah satunya gangguan jiwa berat atau psikosa yang sering kita temukan dan
dirawat yaitu skizofrenia (Maramis, 2005).
1
2
Prevalensi pasien skizofrenia di Indonesia adalah 0,3% sampai 1% dan
biasanya timbul pada usia sekitar 18 sampai 45 tahun, namun ada juga yang baru
berusia 11 sampai 12 tahun sudah menderita skizofrenia (Arif, 2006 dalam
Wulansih, 2008). Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali adalah salah satu institusi
pemerintah yang mengupayakan kesehatan jiwa. Berdasarkan data dari catatan
medik Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali tahun 2011 menunjukkan bahwa sebagian
besar pasien menderita skizofrenia (95,57%). jumlah rata-rata pasien yang dirawat
tiap bulan dalam tiga bulan terakhir yaitu bulan Oktober sampai dengan bulan
Desember tahun 2011 sebanyak 282 pasien. Dari 286 pasien tersebut 68 orang
(24,1%) adalah pasien dengan halusinasi.
Halusinasi merupakan suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya
rangsangan dari luar. Walaupun tampak sesuatu yang “khayal”, halusinasi
sebenarnya merupakan bagian dari hidup pasien yang “teresepesi”. Halusinasi
dapat terjadi karena dasar-dasar organik fungsional, psikotik, maupun histerik
(Yosep, 2007). Menurut Hamid (2001), perilaku halusinasi seperti bicara sendiri,
senyum sendiri, ketawa sendiri, dan menarik diri dari orang lain serta tidak dapat
membedakan yang nyata dan tidak nyata. Pasien yang mengalami halusinasi
disebabkan karena ketidakmampuan pasien dalam menghadapi stresor dan
kurangnya kemampuan dalam mengenal dan cara mengontrol halusinasi.
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon
neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh
penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas
dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal, dan limbik
3
berhubungan dengan perilaku psikotik. Selain itu penelitian mengenai beberapa
zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmiter yang berlebihan dan masalah-
masalah pada sistem reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
Serta pembesaran ventrikel dan penurunan masa kortikal menunjukkan terjadinya
atrofi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak pasien dengan
skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atrofi korteks bagian
depan dan atrofi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut
didukung oleh otopsi (post-mortem).
Halusinasi yang tidak mendapatkan pengobatan maupun perawatan lebih
lanjut dapat menyebabkan perubahan perilaku seperti agresi, bunuh diri, menarik
diri dari lingkungan, dan dapat membahayakan diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan (Stuart, 2007).
Pasien skizofrenia dengan halusinasi, memiliki tingkat frekuensi
halusinasi yang berbeda-beda pada tiap individunya. Tingkat frekuensi halusinasi
dapat memberikan cerminan tentang penanganan yang diberikan kepada pasien.
Jumlah pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali yang dirawat dengan halusinasi
cukup tinggi, hal ini tentunya perlu mendapat perhatian serta penanganan yang
serius karena semakin awal pasien ditangani dapat mencegah pasien mengalami
fase yang lebih berat sehingga resiko kekerasan dengan sendirinya dapat dicegah
(Megayanthi, 2009). Menurut Tirta & Putra (2008) penanganan pasien skizofrenia
dengan halusinasi yang dilakukan dengan kombinasi psikofarmakologi dan
intervensi psikososial seperti psikoterapi, terapi keluarga, dan terapi okupasi
menampakkan hasil yang lebih baik. Setelah diberikan terapi okupasi, pasien
4
halusinasi yang mengalami disfungsional mengalami perbaikan sehingga
pengaruh halusinasi dapat diminimalkan. Kegiatan terapi okupasi hanya sebatas
mengisi waktu luang sebagai langkah distraksi sehingga halusinasi bisa dialihkan
sementara itu belum ditemukan adanya laporan tentang penanganan terkait dengan
stimulasi kemampuan otak pasien dengan halusinasi.
Senam otak (brain gym) adalah rangkaian latihan gerakan sederhana yang
dilakukan untuk memudahkan kegiatan belajar. Rangkaian gerakan yang
dilakukan bisa memperbaiki daya ingat individu, meningkatkan rasa percaya diri,
menguatkan motivasi, serta membuatnya lebih mampu mengendalikan stres. Otak
kita terdiri dari dua belahan, kiri dan kanan. Dari segi fungsi, otak yang terdiri
dari dua belahan kiri dan kanan itu seolah memiliki tiga dimensi yang saling
berhubungan, dengan mengoptimalkan penggunaan seluruh bagian otak.
Rangkaian gerakan pada keseluruhan senam otak dibuat untuk merangsang
seluruh bagian otak, baik otak kanan, otak kiri, otak depan maupun otak belakang
secara sinergis (Kiki, 2006).
Gangguan dalam komunikasi, putaran balik otak dan abnormalitas dalam
otak pada pasien halusinasi mengakibatkan ketidakmampuan secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan sehingga
pasien mengalami gangguan memori baik jangka pendek maupun jangka panjang
serta kesulitan dalam mengontrol emosionalnya. Senam otak merupakan
serangkaian gerakan sederhana yang menyenangkan yang dapat menstimulasi
beberapa bagian otak individu sehingga bisa mempengaruhi interpretasi
berorientasi ke alam realitas. Berdasarkan hal tersebut dan belum pernah
5
dilakukannya senam otak pada pasien halusinasi mendorong peneliti untuk
mengadakan penelitian tentang pengaruh senam otak (brain gym) terhadap
penurunan frekuensi halusinasi pada pasien skizofrenia di Rumah
Sakit Jiwa Provinsi Bali.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan suatu
permasalahan yaitu “Apakah senam otak berpengaruh untuk menurunkan
frekuensi halusinasi pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali?”
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh senam otak terhadap
perubahan frekuensi halusinasi pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Bali.
1.3.2 Tujuan Khusus
(1) Mengidentifikasi frekuensi halusinasi yang dialami pasien skizofrenia pada
kelompok perlakuan sebelum diberikan senam otak dan kelompok kontrol
yang tidak diberikan senam otak.
(2) Mengidentifikasi frekuensi halusinasi yang dialami pasien skizofrenia pada
kelompok perlakuan sesudah diberikan senam otak dan kelompok kontrol
yang tidak diberikan senam otak.
6
(3) Menganalisa frekuensi halusinasi yang dialami pasien skizofrenia sebelum dan
sesudah pelaksanaan senam otak baik pada kelompok perlakuan maupun pada
kelompok kontrol yang tidak diberikan senam otak.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah dapat menjadi
informasi bagi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali dalam pengembangan pelayanan
dan perawatan serta sebagai pedoman dalam pengembangan keterampilan perawat
dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien skizofrenia yang mengalami
halusinasi.
1.4.2 Manfaat Teoritis
Adapun manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat menjadi bukti
dasar yang dipergunakan dalam wahana pembelajaran keperawatan jiwa,
khususnya tentang materi pembelajaran mengenai senam otak terhadap perubahan
frekuensi halusinasi pada pasien skizofrenia serta diharapkan dapat digunakan
sebagai data tambahan untuk variabel penelitian selanjutnya.
7
1.5 Orisinalitas Penelitian
Penelitian ini membahas tentang Senam Otak pada Populasi Pasien
Skizofrenia yang mengalami halusinasi yang tidak dijumpai sebelumnya.
Beberapa penelitian terdahulu antara lain sebagai berikut :
No. Judul Desain Penelitian
Hasil Sumber Pustaka
1. Brain Exercise improve reading and memory
Kuasi Eksperimental
Peningkatan pada anak disleksia :1. Kefasihan
membaca2. Kecepatan
pemahaman3. Memori kerja
jangka pendekdan panjang
Donczik (2001) Brain Gym Journal 2001;15:8-10
2. Pilot Study: first grade students improve their writing skills
Kuasi Eksperimental
Menemukan peningkatan kemampuan menulis pada anak kelas 1
Honegger (2004) Brain Gym Journal 2004;18(1)3-5
3. The effect of Brain Gym on cognitive perforcement of Alzheimer’s patients
Kuasi Eksperimental
Perbaikan pada proses mengingat spontan dan penamaan barang keseharian
Drabben-Theiman(2001) Brain Gym Journal 2002 Available from: URL:http//www.braingym.org/Alzheimer.html
4. The efficacy of specific patterns of movements and brain exercises on the cognitive performance of Healthy senior citizen in Jakarta
One Group Pre-Post test design
Kenaikan bermakna dalam lima tes kognitif
Sidiarto (2003) Med J Indones 2003; 12(3):155-161
Top Related