5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Otak
2.1.1 Anatomi otak
Otak terdiri dari otak besar (serebrum), batang otak (brain stem), dan otak
kecil (serebelum) (Bahrudin, 2012).
(Agur dan Dalley, 2009 )
Gambar 2.1
Anatomi Otak
1. Otak Besar (Serebrum)
Otak besar adalah bagian terbesar otak dan terdiri dari belahan
(hemisfer) kiri dan kanan yang dihubungkan oleh sekumpulan serabut
besar yang disebut korpus kalosum (Bahrudin, 2012).
Serebrum dibagai menjadi 2 yaitu telesefalon dan diencephalon.
6
a. Telesefalon
Pada bagian korteks serebri terdapat beberapa fisura dan sulkus
di permukaan otak yang memisahkan lobus yang satu dengan lobus
yang lain. Lobus-lobus tersebut adalah lobus frontalis, lobus
parietalis, lobus temporalis, dan lobus oksipitalis. Sedangkan pada
bagian sub korteks, substansia alba di bagian tengah hemisfer
serebri (sentrum semiovale) berisi serabut-serabut transversa
(komisura), proyeksi, dan asosiasi (Bahrudin, 2012).
Ganglia basalis adalah sepasang masa substansia abu-abu di
belahan otak. Dalam setiap hemisfer inferior menuju ventrikel
lateral terdapat nukleus yang tertanam di pusat substansia putih dan
terdapat proyeksi radiasi dan perjalanan serabut disekitar atau
diantara nukleus. Ganglia basalis terdiri dari nukleus kaudatus,
putamen, globus pallidus, dan area abu-abu lain di dasar otak
(Bahrudin, 2012).
b. Diencephalon
Diencephalon menghubungkan belahan otak ke batang otak
dan terdiri dari epitalamus, talamus kiri dan kanan, serta
hipotalamus. Epitalamus merupakan atap ventrikel ketiga yang
terdiri dari trigonum habenulae, korpus pineale, dan komisura
posterior. Sedangkan talamus adalah masa abu-abu berbentuk oval
yang terdapat pada tiap-tiap hemisfer otak dan masing-masing
memiliki 5 kelompok inti yaitu kelompok inti anterior, median
(midline), medial, lateral, dan posterior. Pada bagian bawah dan
7
depan talamus, terdapat hipotalamus yang merupakan lantai dan
dinding bawah dari ventrikel III. Beratnya sekitar 4 gram atau 0,3%
dari berat otak (Bahrudin, 2012).
2. Batang Otak (brain stem)
Batang otak terdiri dari tiga bagian yaitu mesensefalon, pons,
dan medula oblongata. Mesensefalon terdiri dari beberapa bagian
yaitu basis, tegmentum, dan tektum. Pada bagian inferiornya
terdapat pons yang membentuk tonjolan pada permukaan anterior
batang otak. Pons melekat pada serebelum oleh 3 pedunkulus
serebri. Bagian-bagiannya adalah basis dan tegmentum. Sedangkan
medula oblongata adalah struktur yang menghubungkan otak
dengan medula spinalis (Bahrudin, 2012).
3. Otak kecil (Serebelum)
Serebelum mempunyai 2 hemisfer otak. Terdiri dari 2 lobus
(anterior dan posterior) yang dipisahkan oleh fisura dan terdapat
vermis disepanjang garis tengah yang memisahkan hemisfer otak
kecil (Bahrudin, 2012).
2.1.2 Anatomi serebelum
Serebelum merupakan bagian dari otak yang terletak di fosa posterior.
Permukaan superiornya diselubungi oleh tentorium serebeli yakni lapisan
durameter yang memisahkan serebelum dan serebrum. Serebrum hanya sekitar
10% dari berat otak keseluruhan, tetapi serebrum mengandung lebih dari 50%
seluruh neuron otak (Baehr and Frotscher, 2012).
8
Serebelum terbagi menjadi 3 lobus antara lain lobus anterior, lobus
medius, dan lobus flokulonodularis (Guyton and Hall, 2012). Sedangkan secara
fungsional, serebelum terdiri dari bagian vestibuloserebelum (lobus
flokulonodularis), spinoserebelum (pars intermedialis), dan serebroserebelum
(Baehr and Frotscher, 2010).
(Hansen, 2009)
Gambar 2.2
Anatomi Serebelum
2.1.3 Histologi serebelum
Terdapat tiga lapisan utama korteks serebelum yaitu lapisan luar (lapisan
molekuler), lapisan tengah (lapisan sel purkinje), dan lapisan dalam (lapisan
granuler) (Guyton and Hall, 2012).
9
Pada lapisan molekuler dengan badan sel saraf yang relatif lebih sedikit
dan kecil serta banyak serat yang berjalan sejajar dengan panjang folium. Pada
lapisan purkinje terletak di bagian tengah atau sentral korteks. Sel purkinje
(neuron purkinje) memiliki bentuk priform atau piramid dengan dendrit
bercabang-cabang yang masuk ke dalam lapisan molekuler. Lapisan granulosum
di sebelah dalam dengan banyak neuron kecil menunjukkan nukleus yang
terwarnai secara kuat. Pada substansi alba terdiri akson atau serat saraf bermielin.
Akson saraf merupakan serat aferen dan eferen korteks serebelum (Eroschenko,
2010).
2.1.4 Fisiologi serebelum
Serebelum merupakan bagian dari susunan saraf pusat yang memiliki tiga
fungsi utama yaitu sebagai koordinasi gerakan, keseimbangan tubuh dan
mengontrol tonus otot (Rubin et al, 2007). Serebelum juga sebagai organ yang
menerima informasi propioseptif, menunjukkan posisi tubuh (rasa posisi) dari
sumsum tulang belakang dan memantau semua sensasi propioseptif, visual,
sentuhan, keseimbangan, dan pendengaran yang diterima oleh otak (Bahrudin,
2012).
Serebelum mempunyai sekitar tiga puluh juta unit fungsional yang hampir
identik. Pusat unit fungsional ini terletak pada sel purkinje yang banyak
didapatkan di korteks serebeli dan berhubungan dengan sel nuklear dalam. Selain
dikarenakan karena jumlahnya yang banyak, sel purkinje juga menjadi pusat
penjalaran sinyal di korteks serebelum sehingga berperan sebagai fungsional yang
utama. Serebelum membantu mengurutkan aktivitas motorik dan juga memonitor
dan memperbaiki penyesuaian aktivitas motorik tubuh ketika aktivitas tersebut
10
sedang dijalankan sehingga dapat menyesuaikan diri terhadap sinyal-sinyal
motorik yang dicetuskan oleh korteks serebri dan bagian otak lainnya. Untuk
melakukan hal itu, terjadi perubahan eksitabilitas neuron-neuron serebelar yang
sesuai sehingga selanjutnya menghasilkan kontraksi otot yang lebih baik
sehubungan dengan gerakan yang diinginkan. Berdasarkan fungsinya, lobus
anterior dan posterior tak tersusun sebagai lobus-lobus melainkan tersusun
sepanjang sumbu longitudinal. Di sebelah bawah pusat serebelum terdapat pita
sempit dinamakan vermis. Pada area ini terletak sebagian fungsi pengatur
serebelar untuk pergerakan-pergerakan otot menurut sumbu tubuh, leher, bahu,
serta pinggul. Pada setiap sisi vermis ada bagian yang besar dan menonol ke
lateral yang disebut hemisferium serebeli, dan setiap hemisferium ini dibagi
menjadi zona intermedia dan zona lateral. Zona intermedia hemisferium
berhubungan dengan pengaturan kontraksi otot yang terletak di bagian distal
anggota tubuh atas dan anggota tubuh bawah, khususnya tangan dan jari tangan
serta kaki dan jari kaki. Sedangkan zona lateral hemisferium bekerja pada tempat
yang lebih jauh karena tampaknya area ini ikut berperan dalam seluruh ragkaian
gerakan motorik. Tanpa adanya zona lateral ini, sebagian besar aktivitas gerakan
tubuh yang khas akan tidak tepat lagi sehingga menjadi sangat tak teratur. Korteks
serebelum manusia terdiri dari lipatan lembaran yang besar, panjang sekitar 120
cm, dan lebar sekitar 17 cm, dengan arah lipatan yang menyilang. Setiap lipatan
disebut folium. Pada bagian dalam massa korteks serebelum yang berlipat-lipat
terdapat nuklei serebeli profunda (Guyton dan Hall, 2012).
Serebelum terdiri atas tiga komponen anatomis utama yaitu lobus
flokulonodular (archi serebelum), lobus anterior (paleo serebelum) dan lobus
11
posterior (neo serebelum). Lobus flokulonoduler menerima proyeksi terutama dari
inti-inti vestibuler. Lobus anterior terutama pada bagian vermis menerima input
dari jaras spinocereberalis. Lobus posterior menerima proyeksi dari hemisfer
serebri. Korteks serebelum terdiri atas tiga lapisan yaitu lapisan molekuler, lapisan
sel-sel purkinje dan lapisan granuler. Pada hemisfer serebri terdapat empat pasang
inti yaitu fastigial, globosus, emboliformis, dan dentatus. Terdapat tiga pasang
berkas proyeksi utama yaitu pedunkulus serebeli superior (brachium
conjuncyivum), pedunkulus serebeli media (brachium pontis), dan pedunkulus
serebeli inferior (corpus restiforme). Fungsi serebelum adalah sebagai pusat
koordinasi untuk memepertahankan keseimbangan dan tonus otot. Serebelum
diperlukan untuk mempertahankan postur dan keseimbangan untuk berjalan dan
berlari (Japardi, 2002).
2.1.5 Fisiologi keseimbangan
Keseimbangan merupakan faktor gerak dasar dan sebagai aspek dari
merespon gerak yang efisien. Keseimbangan adalah kemampuan untuk menjaga
atau memelihara sistem otot saraf dalam keadaan diam (keseimbangan diam/
statis) atau untuk mengendalikan tubuh saat bergerak (keseimbangan dinamis).
Keduanya akan efisien bila kesiapan dan kestabilan terpenuhi yang ditandai
dengan keringanan dan ketenangan dalam mempertahankan posisi (Siswantoyo,
2013).
Keseimbangan merupakan integrasi yang kompleks dari sistem
somatosensorik (visual, vestibular, proprioceptive) dan motorik (musculoskeletal,
otot, sendi jaringan lunak). Bagian otak yang mengatur keseluruhan kerja tersebut
12
yang dipengaruhi internal dan eksternal tubuh meliputi basal ganglia, serebelum,
area asosiasi (Batson, 2009).
Banyak komponen fisiologis dari tubuh manusia yang memungkinkan
untuk melakukan reaksi keseimbangan. Proprioseptif merupakan bagian
terpenting dalam menjaga keseimbangan yaitu untuk merasakan posisi bagian
sendi atau tubuh dalam gerak (Goble., 2006). Beberapa jenis reseptor sensorik di
seluruh kulit, otot, kapsul sendi, dan ligamen memberikan tubuh kemampuan
untuk mengenali perubahan lingkungan baik internal maupun eksternal pada
setiap sendi dan akhirnya berpengaruh pada peningkatan keseimbangan.
Proprioseptik dihasilkan melalui respon secara simultan, visual, vestibular,
dan sistem sensorimotor, yang masing-masing memainkan peran penting dalam
menjaga stabilitas postural. Paling diperhatikan dalam meningkatkan
proprioseptik adalah fungsi dari komponen pengolahan yang terlibat dalam
mempertahankan homeostasis bersama selama tubuh bergerak, sistem
sensorimotor mencakup informasi yang diterima melalui reseptor saraf yang
terletak di ligamen, kapsul sendi, tulang rawan, dan geometri tulang yang terlibat
dalam struktur setiap sendi. Mechanoreceptors sensorik khusus bertanggung
jawab secara kuantitatif terhadap peristiwa hantaran mekanis yang terjadi dalam
jaringan menjadi impuls saraf (Riemann dan Lephart., 2002). Empat jenis utama
dari mechanoreceptors yang membantu dalam proprioseptif yaitu, termasuk
reseptor ruffini, reseptor pacinian, golgi tendon organ (GTO), dan muscle spindle.
Ruffini dan pacinian reseptor berhubungan dengan sensasi sentuhan dan tekanan
pada umumnya terletak di kulit (Shier et al., 2004). Reseptor ruffini dianggap
sebagai reseptor statis dan dinamis berdasarkan ambang rendahnya, reseptor ini
13
lambat-mengadaptasi karakteristik. Melalui perubahan impuls tekanan terjadi
perubahan tarik statis dan dinamis pada kulit dan sangat sensitif terhadap
peregangan. Sedangkan reseptor pacinian, agak cepat beradaptasi, namun reseptor
dengan ambang batas rendah yang dianggap reseptor lebih dinamis (Rieman et al.,
2002). Sementara juga sensor tekanan, reseptor pacinian mendeteksi tekanan berat
dan mengenali perubahan percepatan dan perlambatan gerak (Shier et al., 2004).
Golgi tendon organ dan muscle spindle mempunyai yang lebih besar untuk
mengetahui posisi sendi selama gerak. Pertama GTOs berada di persimpangan
musculotendinous dan bertanggung jawab untuk memantau kekuatan kontraksi
otot untuk mencegah otot dari kelebihan beban (Brown et al., 2006). Terhubung
ke satu set serat otot dan diinervasi oleh neuron sensorik, GTOs memiliki ambang
batas yang tinggi dan dirangsang oleh ketegangan otot yang meningkat.
Keseimbangan tubuh dipengaruhi oleh sistem indera yang bekerja secara
bersamaan. Jika salah satu sistem mengalami gangguan maka akan terjadi
gangguan keseimbangan pada tubuh (imbalance), sistem indera yang
mengatur/mengontrol keseimbangan seperti visual, vestibular, dan somatosensoris
(taktil dan propioseptif).
Sistem vestibular berperan penting dalam keseimbangan, gerakan kepala,
dan gerak bola mata. Sistem vestibular meliputi organ-organ di dalam telinga
bagian dalam. Berhubungan dengan sistem visual dan pendengaran untuk
merasakan arah dan kecepatan gerakan kepala. Sebuah cairan yang disebut
endolymph mengalir melalui tiga kanal telinga bagian dalam sebagai reseptor saat
kepala bergerak miring dan bergeser. Gangguan fungsi vestibular dapat
menyebabkan vertigo atau gangguan keseimbangan. Melalui refleks vestibulo-
14
occular, mereka mengontrol gerak mata, terutama ketika melihat obyek yang
bergerak kemudian pesan diteruskan melalui saraf kranialis VIII ke nukleus
vestibular yang berlokasi di batang otak (brain stem). Beberapa stimulus tidak
menuju langsung ke nukleus vestibular tetapi ke serebelum, formatio retikularis,
thalamus dan korteks serebri. Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari
reseptor labyrinth, formasi (gabungan reticular), dan cerebelum. Hasil dari
nukleus vestibular menuju ke motor neuron melalui medula spinalis, terutama ke
motor neuron yang menginervasi otot-otot proksimal, kumparan otot pada leher
dan otot-otot punggung (otot-otot postural). Sistem vestibular bereaksi sangat
cepat sehingga membantu mempertahankan keseimbangan tubuh dengan
mengontrol otot-otot postural (Watson et al., 2008).
Sistem visual (penglihatan) memberi informasi kepada otak tentang posisi
tubuh terhadap lingkungan berdasarkan sudut dan jarak dengan obyek sekitarnya.
Dengan input visual, maka tubuh manusia dapat beradaptasi terhadap perubahan
yang terjadi dilingkungan sehingga sistem visual langsung memberikan informasi
ke otak, kemudian otak memerikan informasi agar sistem musculoskeletal (otot &
tulang) dapat bekerja secara sinergis untuk mempertahankan keseimbangan tubuh
(Guyton dan Hall, 2012).
Sistem somatosensori adalah sistem sensorik yang beragam yang terdiri
dari reseptor dan pusat pengolahan untuk menghasilkan modalitas sensorik seperti
sentuhan, temperatur, proprioseptif (posisi tubuh), dan nosiseptif (nyeri)
(Bahrudin, 2012).
15
1.1.6 Metode balance beam
Balance beam test adalah untuk menguji koordinasi motorik, efek dari
sedasi, dan kelainan sendi. Uji ini lebih sensitif daripada rotarod untuk beberapa
tipe defisit koordinasi motorik (Gulinello, 2008).
(Gulinello, 2008)
Gambar 2.3
Balance Beam Test
Balance beam test adalah uji dengan menggunakan pena (kayu panjang)
dengan diameter 1 cm dan panjang 20 cm berbahan plexyglass. Hewan coba di
biarkan meletakkan keempat lenganya terlebih dahulu lalu akan dilepaskan dan
akan melintasi titian ke sisi seberang. Selama satu menit akan dicatat waktu
apabila tikus terjatuh. Setelah satu menit, tikus akan dikembalikan ke dalam
kandang (Kothary, 2014).
2.2 Tinjauan Umum Monosodium Glutamat (MSG)
2.2.1 Pengertian MSG
Monosodium glutamat (MSG) adalah garam natrium dari asam glutamat
(glutamic acid). MSG dalam bentuk L-glutamic acid telah dikonsumsi secara luas
16
di seluruh dunia sebagai penambah rasa makanan, karena penambahan MSG akan
membuat rasa makanan menjadi lebih lezat ( Prawirohardjono et al., 2000 ).
MSG memiliki rumus bangun C5H6NO4NaH2O (Freeman, 2006) serta
berupa bubuk kristal putih yang akan berdisosiasi menjadi sodium sebagai kation
dan glutamat sebagai anion (Onaolapo et al., 2012)
2.2.2 Sejarah MSG
Monosodium glutamat (MSG) pertama kali ditemukan oleh seorang ahli
kimia Jepang dr. Kikunae Ikeda pada tahun 1909 dengan mengisolasi asam
glutamat dari rumput laut “kombu” yang sudah biasa digunakan dalam pembuatan
masakan Jepang. Ikeda menemukan rasa lezat dan gurih yang berbeda dari MSG
dengan rasa yang pernah dikenal sebelumnya. Oleh karena itu, dia memberi rasa
itu nama ‘umami’ yang berasal dari bahasa Jepang ‘umai’ yang berarti enak dan
lezat. Rasa umami ini dapat bertahan lama karena di dalamnya terdapat suatu
komponen L-glutamat dan 5-ribonukleotida. Kombinasi rasa yang khas dari efek
sinergis MSG dengan komponen 5-ribonukleotida yang terdapat di dalam
makanan, yang bekerja pada membran sel reseptor kecap atau lidah menciptakan
rangsangan selera dari makanan yang diberi MSG (Wakidi, 2012).
2.2.3 Glutamat dalam tubuh manusia
Glutamat secara normal banyak terdapat di tubuh manusia baik dalam
bentuk bebas maupun terikat sebagai protein. Sebagai neurotransmitter terbanyak
di otak, glutamat bersifat eksitatorik. Glutamat secara endogen dibentuk dari asam
amino glutamin yang diubah menjadi glutamat oleh sel glia otak. Glutamat ini
sangat penting untuk perkembangan sistem saraf, perkembangan plastisitas sinaps,
proses pembelajaran, dan memori (Awad, 2000 ; Wang & Qin, 2010). Namun bila
17
berlebih, dapat menjadikan glutamat sebagai eksitotoksin endogen yang dapat
menimbulkan kematian sel neuron dan sel glia.
2.2.4 Efek negatif dari MSG
Pada beberapa penelitian dengan menggunakan tikus menunjukkan bahwa
pemberian MSG memberikan dampak negatif terhadap beberapa organ dan
fungsinya. Contohya penelitian yang dilakukan Diniz menunjukkan adanya
disfungsi metabolik berupa peningkatan kadar glukosa darah, triasilgliserol,
insulin, dan leptin setelah diberi MSG 100 gram/kgBB/hari. Hal ini karena
terjadinya stress oksidatif berupa peningkatan kadar hiperoksidasi lipid dan
penurunan bahan-bahan antioksidan (Diniz, 2005).
Kerusakan pada bagian otak juga sering ditemukan dalam penelitian.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Kiss mengenai efek MSG terhadap reflek
neurologis dan koordinasi motorik mendapatkan hasil bahwa terdapat perubahan
sementara pada reflek dan koordinasi motorik pada bayi tikus yang diberi MSG
(Kiss et al., 2005). Selain itu pada sel otak astrosit juga terlihat adanya
peningkatan jumlah sedangkan mikroglia mengalami proliferasi dan hipertrofi
(Martinez et al., 2002). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Moreno, melihat
adanya kerusakan pada nukleus arkuata di hipotalamus dan dapat menyebabkan
penurunan densitas, volume, ukuran serta sekresi kortikotropin, thyrotropin FSH
dan LH gonadotropin (G Moreno et al., 2006).
2.3 Efek MSG terhadap Sel Purkinje Serebelum
MSG sebagai neurotoksin memungkinakan terjadinya efek negatif pada
serebelum. Kandungan glutamate di dalamnya berfungsi sebagai exitatory
neurotransmitter. Secara normal apabila glutamate berlebih akan secara cepat
18
dibersihkan oleh sel glia. Namun bila mekanisme kompensasi ini gagal
dikarenakan pemasukan yang banyak atau clearance yang kurang baik di daerah
post sinaps dapat menyebabkan sel saraf mengalami degenerasi dan kematian.
Mekanisme awal adalah jumlah ion yang terlalu banyak di dalam sel, lalu secara
akut menyebabkan sel mengembang dan sel akan mati dengan adanya koagulasi
sitoplasma dan eosinofil yang akan terlihat secara histologi (Cantile C dan
Youssef S, 2016). Penggunaan MSG jangka panjang menyebabkan kerusakan
pada pembentukan perilaku, fungsi motorik dan kognitif terutama pada masa
remaja karena perkembangan sinaps dan sirkuit otak masih berlangsung (Kiss et
al., 2005 ; Blaylocks, 1997). Masa remaja (periadolescence) pada tikus
terdefinisikan maksimal 30-42 hari setelah kelahiran atau sekitar 4-5 minggu
(Spear dan Varlinskaya, 2005).
Dilaporkan bahwa pemberian MSG dengan dosis 3 gram dan 6 gram pada
tikus wistar dewasa, secara histologi menunjukkan adanya kerusakan dan
kematian sel Purkinje Serebelum yang menyebabkan terjadinya perubahan fungsi
koordinasi motorik (Eweka & Om ‘Iniabohs, 2007). Gangguan anatomis tersebut,
berdasasarkan hasil penelitian sebelumnya oleh Dani Prastiwi, sudah dapat dilihat
pada pemberian MSG selama 10 hari (Prastiwi, 2015).
Tikus dipilih sebagai objek penelitian dikarenakan memiliki gambaran
histologi otak yang hampir sama terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan granular,
purkinje, dan molekuler. Meskipun dalam jumlah sel dan kandungan sitoplasma
sel purkinje tikus lebih sedikit, namun lapisan sel purkinje pada manusia dan tikus
memiliki kesamaan yaitu terdiri dari satu baris sel saraf dengan akson tunggal
yang masuk kedalam (Hagan CE et al., 2012). Pemilihan tikus jenis Rattus
19
Novergicus Strain Wistar dikarenakan sudah banyak literatur yang di publish
tentang tikus tersebut, mudah dikendalikan dan dapat sebagai model penyakit
untuk berbagai macam kelainan dan penyakit pada manusia (University Animal
Care Comittee, 2009).
2.4 Efek MSG terhadap Keseimbangan
Pemberian MSG dalam jumlah berlebih akan meningkatkan jumlah
glutamate dalam otak. Dan fungsi excitatory yang tinggi ini akan merusak sel
purkinje yang merupakan fungsional utama di korteks serebelum karena
fungsinya sebagai pusat penjalaran sinyal. Fungsional serebelum yang dapat
terganggu salah satunya adalah fungsi keseimbangan tubuh (Guyton dan Hall,
2012).
Top Related