5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pisang Kepok
2.1.1 Definisi
Pisang kepok (Musa paradisiaca L.) adalah buah tropis dari keluarga
Musaceae yang berasal dari daerah tropis di Asia Tenggara. Memenuhi
sekitar 16% dari total buah di seluruh dunia sebagai produksi buah terbesar
kedua yang dihasilkan setelah jeruk. Buah ini menjadi salah satu yang
paling banyak dari buah-buahan tropis yang tumbuh, dibudidayakan di
lebih dari 130 negara (Sirajudin et al, 2014).
2.1.2 Taksonomi Pisang Kepok
Kedudukan tanaman pisang kepok dalam sistematika taksonomi
tumbuhan adalah sebagai berikut (Shenvi et al, 2015)
Kingdom : Plantae
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Zingiberales
Famili : Musaceae
Genus : Musa
Spesies : Musa paradisiaca L.
6
2.1.3 Morfologi Pisang Kepok
Karakterisasi morfologi Pisang Kepok adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Morfologi pisang kepok
No Parameter Karakter
1 Tinggi batang ≥3 m
2 Aspek batang Normal
3 Warna batang Hijau
4 Ketegakan daun Sedang
5 Kenampakan permukaan daun Mengkilat
6 Bentuk pangkal daun Kedua sisinya membulat
7 Warna punggung tulang daun Hijau kekuningan
8 Panjang tangkai tandan 31-60 cm
9 Posisi tandan Menggantung bersudut 45 derajat
10 Bentuk tandan Spiral
11 Kenampakan tandan Longgar
12 Bentuk jantung Bulat
13 Bentuk pangkal braktea Berbahu kecil
14 Bentuk ujung braktea Membulat dan pecah
15 Warna luar braktea Merah keunguan
16 Posisi buah Lurus terhadap tangkai
17 Jumlah sisir per tandan 4-7
18 Jumlah buah per sisir 13-16
19 Panjang buah ≤ 15 cm
20 Bentuk buah Lurus
21 Ujung buah Runcing
22 Permukaan tangkai buah Berbulu
23 Warna kulit buah belum masak Hijau
24 Warna kulit buah masak Kuning
25 Warna daging buah masak Putih
(Ambarita & Bayu, 2015)
7
Karakter morfologi pisang
Kepok :
(a) pohon pisang Kepok
(b) batang
(c) daun
(d) jantung
(e) tandan
(f) buah
(g) daging buah.
Gambar 2.1 Morfologi pisang kepok
2.1.4 Kandungan dan Manfaat Pisang Kepok
Hampir seluruh bagian tanaman pisang kepok bisa digunakan dan
memberikan manfaat, seperti bunga, jantung pisang, buah pisang baik yang
sudah matangmaupun yang belum matang, daun dan juga batangnya. Ekstrak
dan kandungan senyawa aktif bagian-bagian tanaman pisang kepok tersebut
telah digunakan untuk pengobatan sejumlah besar penyakit. (Lakhsmi, 2015)
Berbagai bagian tanaman pisang kepok seperti daun, akar dan bunga
telah digunakan untuk tujuan pengobatan. Getah tanaman telah digunakan
sebagai obat epilepsi, histeria, disentri dan diare, sedangkan akar sebagai obat
cacing, bunga sebagai astringent dan buahnya digunakan sebagai obat pencahar
ringan (Okareh, Adeolu, & Adepoju, 2015).
8
Buah pisang kepok telah dilaporkan memiliki kandungan serat yang
tinggi, mampu menurunkan kolesterol dan membantu untuk meringankan
sembelit sehingga bisa digunakan sebagai pencegahan kanker usus besar
(Asuquo & Udobi, 2016). Sumber lain menyatakan bahwa daging buah pisang
kepok bermanfaat sebagai anti ulkus, penyembuh luka, hepatoprotektif,
analgesik, antioksidan dan merangsang pertumbuhan rambut (Lakhsmi, 2015).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Velumani (2016), kulit pisang
kepok (Musa paradisiaca L.) mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, tannin.
Alkaloid, flavanoid dan tanin bermanfaat sebagai antioksidan. Alkaloid juga
berguna sebagai analgesik, antispasmodik dan bakterisidal. Flavonoid
dilaporkan mempunyai efek menghambat berbagai macam virus dan juga telah
terbukti sebagai antimikroba. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.2
Tabel 2.2 Kandungan kulit pisang kepok (Musa paradisisaca L.)
S.NO PHYTOCHEMICALS WATER ETHANOL CHLOROFORM
1 Test for Alkaloids + + +
2 Test for Flavonoids + + -
3 Test for Tannins + + -
4 Test for Saponins + + +
(Velumani, 2016)
Aboul-Enein et al. melakukan penelitian untuk mengetahui
komposisi kimia dan senyawa bioaktif dalam ekstrak kulit pisang kepok
(Musa pardisiaca L.), serta mengevaluasi aktivitas antioksidan dan
antimikroba. Dari hasil penelitian tersebut, dapat diketahui kandungan dari
senyawa fenol, flavonoid dan tannin dari pisang kepok per gram.
9
Kandungan total fenol pada ekstrak methanol tercatat sebanyak 17.89 mg/g
DW, hasil tersebut merupakan kandungan tertinggi dibandingkan ekstrak
lain yaitu aseton, etanol dan aquades. Sama halnya dengan senyawa
flavonoid dan tannin, kandungan tertinggi didapatkan pada ekstrak methanol
yaitu 21.04 mg/g DW dan 24.21 mg/g DW, sehingga dari hasil tersebut
dapat disimpulkan, senyawa tannin merupakan kandungan tertinggi pada
kulit pisang kepok (Musa paradisiaca L.) jika dibandingkan dengan
senyawa flavonoid dan fenol. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Komposisi senyawa aktif kulit pisang kepok (Musa paradisisaca L.)
Extracts
Total Phenolic
(mg*/g DW)
Total Flavonoids
(mg**/g DW)
Total Tannins
(mg***/g DW)
Aqueous 9.89 ± 0.16 8.56 ± 0.22 14.69 ± 0.34
Methanol 80% 17.89 ± 0.16 21.04 ± 0.28 24.21 ± 0.17
Ethanol 80% 15.21 ± 0.09 18.52 ± 0.06 17.66 ± 0.34
Acetone 80% 15.44 ± 0.19 16.15 ± 0.28 15.90 ± 0.28
(Aboul-Enein et al, 2016)
Menurut Zahid et al. jantung pisang mengandung alkaloid, flavonoid,
lignin, karbohidrat, sedangkan Adeolu dan Enesi (2013) melakukan
penelitian lebih lanjut tentang kandungan kimia,vitamin dan mineraldari
Musa paradisiaca. Kandungan mineral tinggi yang diperoleh dari sampel
penelitian tersebut yaitu sodium, kalsium, fosfor dan potasium, sedangkan
kandungan besi dan magnesiumnya rendah. Kandungan kalium yang tinggi
dalam sampel jantung pisang bermanfaat sebagai bahan baku industri sabun
tradisional dan juga dalam perawatan keasaman tanah. Kalsium dan fosfor
sangat penting dalam pembentukan tulang dan gigi yang kuat, pertumbuhan,
10
menjaga agar saraf dan aktivitas otot tetap normal, pembekuan darah, fungsi
jantung dan metabolisme sel.
Secara empiris air batang pisang kepok banyak digunakan sebagai
pengobatan untuk menurunkan panas. Berdasarkan hasil pengujian
fitokimia pada air batang pisang kepok (Musa paradisiaca L.),menunjukan
bahwa uji tannin, alkaloid, dan saponin memberikan hasil yang positif
sedangkan uji flavonoid dan steroid memberikan hasil negatif. Dari hasil
penelitian tersebut, air batang pisang kepok mengandung senyawa fitokimia
tanin, alkaloid dan saponin dan memiliki efek antipiretik (Maya, 2015).
Dari hasil penelitian yang dilakukan Zahid et al., bunga pisang kepok
mengandung senyawa alkaloid, glikosida, resin, flavonoid, protein,
tritirpenoid dan steroid, sedangkan hasil penelitian yang dilakukan Rao et
al. ekstrak methanol dan etanol bunga pisang kepok banyak mengandung
senyawa glikosida dan fenol. Pada ekstrak ini juga menunjukkan adanya
flavonoid dan saponin, selain itu dengan pelarut aquades ekstrak bunga
pisang kepok mengandung glikosida, fenol dan banyak mengandung
flavonoid sedangkan senyawa saponin tidak terdeteksi dengan ekstrak
aquades.
Daun pisang kepok mengandung senyawa alkaloid, saponin, tanin,
glikosida , terpen, gula deoksi, flavonoid dan karbohidrat, hasil tersebut
didapatkan dari penapisan fitokimia yang dilakukan oleh Asuquo dan Udobi
(2016).
11
Akar tanaman pisang kepok mengandung aukubin (glikosida) dan
apigenin (flavonoid) yang telah dipelajari secara luas untuk berbagai efek
mereka pada peradangan. Secara medis akar tanaman pisang kepok
digunakan sebagai antibakteri, penangkal racun dan antiseptik. Rebusan
akar digunakan dalam pengobatan berbagai keluhan termasuk diare
(Oyewole et al, 2015).
2.1.5 Mekanisme Senyawa Antimikroba Kulit Pisang Kepok
1. Alkaloid
Alkaloid adalah zat aktif dari tanaman yang berfungsi sebagai obat
dan aktivator kuat bagi sel imun yang dapat menghancurkan bakteri, virus,
jamur, dan sel kanker.Alkaloid mempunyai aktivitas antimikroba dengan
menghambat esterase, DNA, RNA polimerase, dan respirasi sel serta
berperan dalam interkalasi DNA (Bhaskara, 2012).
Sebagai antifungi, alkaloid menyebabkan kerusakan membran sel.
Alkaloid akan berikatan kuat dengan ergosterol membentuk lubang yang
menyebabkan kebocoran membran sel. Hal ini mengakibatkan kerusakan
yang tetap pada sel dan kematian sel pada jamur (Bhaskara, 2012).
2. Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa polifenol.Sebagai antifungi
senyawa fenol bersifat dapat merusak membran sel sehingga terjadi
perubahan permeabilitas sel yang dapat mengakibatkan terhambatnya
pertumbuhanatau matinya sel (Kumalasari & Sulistyani, 2011).
12
Senyawa fenol juga dapat mendenaturasi protein sel dan
mengerutkan dinding sel sehingga dapat melisiskan dinding sel jamur.
Selain itu, senyawa fenol melalui gugus hidroksi yang akan berikatan
dengan gugus sulfihidril dari protein fungi sehingga mampu mengubah
konformasi protein membran sel target (Kumalasari & Sulistyani, 2011).
3. Saponin
Saponin merupakan glikosida kompleks dari steroid atau steroid
alkaloid.Senyawa saponin berfungsi sebagai antibiotik, mempercepat
pertumbuhan sel-sel baru, merangsang pembentukan fibroblast,
menghambat pertumbuhan bakteri, dan juga bersifat antijamur. (Yuliana et
al, 2015).
Saponin memiliki aktivitas sebagai antifungi.Mekanisme aksi dari
saponin terhadap jamur melibatkan pembentukan kompleks dengan sterol
pada membran plasma sehingga menghancurkan semipermeabilitas sel
lalu mengarah kepada kematian sel (Kumalasari & Sulistyani, 2011).
4. Tannin
Tannin merupakan senyawa yang bersifat lipopilik sehingga
mudah terikat pada dinding sel jamur. Mekanisme kerja tannin sebagai
antifungi dengan cara menghambat sintesis kitin yang merupakan
komponen penting penyusun dinding sel jamur sehingga menyebabkan
kerusakan pada dinding sel (Bokhari, 2009).
13
2.2 T.rubrum
2.2.1 Taksonomi
Kingdom :Fungi
Divisi : Ascomycota
Kelas : Eurotiomycetes
Ordo : Onygenales
Famili : Arthgrodermataceae
Genus : Trichophyton
Spesies : Trichophyton rubrum (Kidd et al, 2016)
Gambar 2.2 Biakan dan gambaran mikroskopis T.rubrum
(Wolff et al, 2008)
2.2.2 Morfologi
Spesies jamur ditentukan oleh sifat koloni, hifa, dan spora yang
dibentuk. Pada media Sabouroud Dekstrosa Agar mikrokonodia kecil,
perifer, atau seperti buah pear, berwarna putih, permukaan seperti kapas,
14
dan pigmen merah yang tidak merata jika dilihat dibawah plate.
Makrokonidia berdinding halus berbentuk silinder (Sari, 2010).
Beberapa strain dari T.rubrum telah dibedakan yaitu :T.rubrum
berbulu halus dan T.rubrum tipe granuler. T.rubrum berbulu halus
memiliki karakteristik yaitu produksi mikrokonidia yang jumlahnya
sedikit, halus, tipis, kecil, dan tidak mempunyai makrokonidia, sedangkan
karakteristik T.rubrum tipe granuler yaitu produksi mikrokonidia dan
makrokonidia yang jumlahnya sangat banyak. Mikrokonidia berbentuk
clavate dan pyriform, makrokonidia berdinding tipis, dan berbentuk seperti
cerutu. T.rubrum berbulu halus adalah strain jamur yang paling banyak
menginfeksi manusia. Strain ini dapat menyebabkan infeksi kronis pada
kulit. Sedangkan T.rubrum tipe granuler menyebabkan penyakit Tinea
korporis (Kidd et al, 2016).
2.2.3 Habitat
Jamur Trichophyton adalah dermatofita yang habitatnya ditanah,
binatang, dan manusia, terutama pada daerah yang beriklim tropis dan
basah. Berkaitan dengan afinitasnya, genus Trichophyton dibagi menjadi
geofilik (hidup di tanah), antropofilik (hidup pada manusia), dan zoofilik
(hidup pada hewan), sedangkan T.rubrum adalah jamur antropofilik,
terutama menghinggapi manusia, menyebabkan kelainan pada kulit,
rambut, dan kuku. Penyakit infeksi jamur yang disebabkan karena
T.rubrum ini dapat ditularkan melalui kontak langsung pada bagian yang
terinfeksi (Wolff et al, 2008).
15
2.2.4 Patogenesis
Dermatofita merupakan jamur yang menginfeksi jaringan keratin
seperti pada kulit, rambut, dan kuku. Infeksi dimulai dengan perlekatan
dermatofita pada jaringan keratin dan kemudian terjadi penetrasi ke
stratum corneum yang dibantu oleh enzim keratolitik proteinase, lipase
dan enzim mucinolitik yang dihasilkan oleh jamur (Wolff et al, 2008).
Berikut ini beberapa manifestasi klinik yang ditimbulkan oleh infeksi
jamur T.rubrum:
1. Tinea Pedis
Tinea Pedis adalah infeksi jamur superficial pada pergelangan kaki,
telapak, dan sela jari-jari kaki. Manifestasi klinisnya berupa eritema,
maserasi serta sisik pada sela jari jari kaki, dapat meluas pada telapak kaki
serta dapat berkembang menjadi pustule dan vesikula (Widaty &
Budimulja, 2015).
2. Tinea manum
Dermatofitosis pada pergelangan tangan, telapak tangan, bahkan
ujung-ujung jari tangan. Klinis tampak bentuk keratosis dan penebalan
lipat (Widaty & Budimulja, 2015).
3. Tinea Kapitis
Menyerang kulit kepala dan rambut. Kelainan ini dapat ditandai
dengan lesi bersisik, kemerah-merahan, alopesia, dan terkadang terjadi
gambaran klinis yang lebih berat disebut kerion (Widaty & Budimulja,
2015).
16
4. Tinea korporis
Tinea korporis merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh tidak
berambut (glabrous skin). Klinis berupa eritema, skuama, kadang-kadang
dengan vesikel dan papul (Widaty & Budimulja, 2015).
5. Tinea unguium
Tinea unguium adalah infeksi jamur dermatofit pada kuku. Gejala
klinis berupa penampakan kuku suram, lapuk dan rapuh, dan dimulai dari
arah distal (Widaty & Budimulja, 2015).
6. Tinea kruris
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah
perineum, dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun
bahkan seumur hidup (Widaty & Budimulja, 2015).
2.2.5 Tes Laboratorium
Untuk mengidentifikasi spesies Trichophyton dapat menggunakan tes
berikut, yaitu:
1. Tes Hidrolisis Urea
Untuk melihat apakah mikroba bisa menggunakan komponen urea
sebagai sumber karbon dan energi untuk pertumbuhan. Jika urea bisa
digunakan oleh mikroba, maka terjadi pemecahan alkalin dan pH menjadi
meningkat dan pH indikator berubah warna untuk mengindikasi produksi
alkali. Pada media ditambahkan 2% urea
pH indikator: phenol red
pH indikator berwarna merah maka pH normal, pH indikator berwarna
kuning maka pH<6,8 dan pH indicator berwarna magenta maka pH>8,4.
17
Tes hidrolisis urea dikatakan positif jika pH indikator berubah warna dari
merah menjadi magenta, ini menandakan pH berubah jadi basa.
2. Saboraud’s Dextrose Agar (SDA)
Media untuk isolasi primer dari dermatofita. Dapat digunakan untuk
melihat karakteristik fungi pada mikroskop standar. Dextrose adalah
fermentasi karbohidrat yang berasal dari karbon dan energi. Pada media
biasanya ditambahkan dengan antibiotik (kloramfenikol) untuk mencegah
pertumbuhan bakteri dan jamur lain. Konsentrasi dextrose yang tinggi dan
pH asam membuat media ini selektif untuk jamur. Trichophyton
menunjukkan koloni dengan berbagai warna tergantung spesies masing-
masing basa.
3. SDA dengan 5% NaCl
Media ini untuk membedakan T.rubrum dengan Trichophyton
mentagrophytes (T.mentagrophytes). Pada T.rubrum, koloni berbulu halus
berwarna putih dengan pigmen bawah media berwarna kuning-coklat dan
pertumbuhan yang buruk, sedangkan pada T.mentagrophytes koloni
berwarna krem dengan permukaan halus, pigmen bawah media berwarna
coklat gelap dan pertumbuhan yang baik.
4. Trichophyton agar
Untuk mengidentifikasi perbedaan masing-masing spesies
Trichophyton berdasarkan keperluan nutrisi. Terdapat 7 jenis agar dengan
nutrisi yang berbeda yaitu:
No. 1: Bebas vitamin atau nutrisi
No. 2: Penambahan inosol
18
No. 3: Penambahan inosol dan thiamin
No. 4: Penambahan thiamin
No. 5: Penambahan asam nikotinik
No. 6: Penambahan ammonium nitrat
No. 7: Penambahan histidin
Penambahan nutrisi tersebut untuk membantu menentukan vitamin dan
asam amino yang diperlukan isolat atau fungi.
5. Tes perforasi rambut
Tes ini untuk menentukan fungi memproduksi enzim yang akan
menginvasi rambut dan menyebabkan perforasi pada rambut. Interpretasi
dari tes ini adalah positif dan negatif. Positif jika pada mikroskop terdapat
perforasi rambut yang berbentuk kerucut.
2.2.6 Pengobatan
a. Obat Antijamur Topikal
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat topikal diatas:
1. Bahan kimia antiseptik: mempunyai sifat antijamur ringan serta
bersifat mengeringkan, misalnya gentian violet 1%.
2. Bahan keratolitik: bahan yang meningkatkan eksfoliasi stratum
korneum, misalnya asam undesilinat krim dan bedak 3%.
3. Golongan azol: menghambat enzim 14 alfa-demetilase pada
pembentukan ergosterol membrane sel jamur.
4. Golongan alilamin: menghambat enzim epoksidase skualen pada
proses pembentukan ergosterol membran sel jamur.
19
5. Lain-lain: siklospiroksolamin mempunyai efek antiinflamasi, bekerja
dengan menghambat respirasi jamur dan merusak dinding sel jamur.
b. Obat Antijamur Sistemik
1. Grioseofulvin: bersifat fungistatis, bekerja pada inti sel bakteri dengan
cara menghambat mitosis
2. Golongan alilamin: bersifat fungisidal, bekerja pada membran sel jamur
dengan cara menghambat sintesis ergosterol melalui enzim epoksidase
3. Golongan azol: imidazol (ketokonazol) merupakan obat antijamur
spektrum luas, bersifat fungistatik, bekerja menganggu sintesis ergosterol.
Triazol (flukonazol dan intrakonazol) bekerja menghambat enzim 14 alfa-
demetilase
2.3 Mekanisme Kerja Bahan Antimikroba
Cara kerja zat antimikroba dalam melakukan efeknya terhadap
mikroorganisme adalah sebagai berikut:
a. Merusak dinding sel
Pada umumnya bakteri memiliki suatu lapisan luar yang kaku disebut
dinding sel. Dinding sel ini berfungsi untuk mempertahankan bentuk dan
menahan sel, dinding sel jamur tersusun atas lapisan peptidoglikan yang
merupakan polimer komplek yang terdiri atas rangkaian asam N-
asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramat yang tersusun secara
bergantian. Struktur dinding sel dapat dirusak dengan cara menghambat
pembentukannya atau dengan mengubahnya setelah dibentuk. Pada
20
konsentrasi rendah, bahan antimikroba yang ampuh akan menghambat
pembentukan ikatan glikosida sehingga pembentukan dinding sel
terganggu, selanjutnya dijelaskan bahwa pada konsentrasi tinggi bahan
antimikroba akan menyebabkan ikatan glikosida menjadi terganggu dan
pembentukan dinding sel terhenti (Jawetz et al., 2008).
b. Merubah molekul protein dan asam nukleat
Kelangsungan hidup sel sangat tergantung pada molekul-molekul
protein dan asam nukleat. Hal ini berarti bahwa gangguan apapun yang
terjadi pada pembentukan atau fungsi zat-zat tersebut dapat
mengakibatkan kerusakan total pada sel. Bahan antimikroba yang dapat
mendenaturasi protein dan asam nukleat dapat merusak sel tanpa dapat
diperbaiki lebih lanjut (Jawetz et al., 2008).
c. Merubah permeabilitas sel
Sitoplasma dibatasi oleh selaput yang disebut membran sel yang
mempunyai permeabilitas selektif, membran ini tersusun atas fosfolipid
dan protein. Membran sitoplasma berfungsi mengatur keluar masuknya
bahan-bahan tertentu dalam sel. Proses pengangkutan zat-zat yang lebih
diperlukan baik kedalam maupun keluar sel kemungkinan karena didalam
membran sel terdapat protein pembawa, didalam membran sitoplasma juga
terdapat enzim protein untuk mensintesis peptidoglikan komponen
membran luar. Apabila fungsi membran sel terganggu oleh adanya bahan
antimikroba, maka permeabilitas sel jamur akan mengalami perubahan,
21
sehingga akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau
kematian sel (Jawetz et al., 2008).
d. Menghambat kerja enzim
Didalam sel terdapat enzim protein yang membantu kelangsungan
proses-proses metabolisme. Banyak zat kimia telah diketahui dapat
menganggu reaksi biokimia misalnya logam berat, golongan tembaga,
perak, air raksa, dan senyawa logam berat lain, umumnya efektif sebagai
bahan antimikroba pada konsentrasi relatif rendah, dengan demikian kerja
enzim yang terhambat akan menyebabkan proses metabolisme terganggu,
sehingga aktifitas sel jamur akan terganggu, hal ini dapat menyebakan sel
jamur hancur dan akan mati (Jawetz et al., 2008).
e. Menghambat sintesis asam nukleat dan protein
DNA, RNA dan protein memegang peranan penting dalam proses
kehidupan normal sel. Beberapa bahan antimikroba dalam bentuk
antibiotik dapat menghambat sintesis protein. Apabila keberadaan DNA,
RNA dan protein mengalami gangguan atau hambatan pada pembentukan
atau fungsi zat tesebut dapat mengakibatkan kerusakan sel sehingga proses
kehidupan sel terganggu (Jawetz et al., 2008).
2.4 Uji Kepekaan Antimikroba in vitro
2.4.1 Metode Dilusi
Metode dilusi yang digunakan bertujuan untuk menentukan konsentrasi
minimal antimikroba untuk menghambat atau membunuh
22
mikroorganisme. Hal ini dapat dicapai dengan pengenceran antimikroba
baik di media agar atau broth (Lalitha & Thomas, 2009).
2.4.2 Metode Difusi Cakram
Difusi dari agen antimikroba menjadi hasil media kultur unggulan
dalam gradien antimikroba. Ketika konsentrasi antimikroba menjadi begitu
encer yang tidak bisa lagi menghambat pertumbuhan mikroba uji, maka
zona inhibisi dibatasi. Diameter zona inhibisi yang mengitari disk
antimikroba berhubungan dengan KHM untuk mikroba tertentu. Secara
umum, semakin besar zona inhibisi, semakin rendah konsentrasi
antimikroba yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan organisme
(Jawetz et al., 2008).
Top Related