5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ginjal
Ginjal merupakan organ utama ekskresi bahan-bahan yang sudah tidak
dibutuhkan oleh tubuh, ginjal bekerja pada plasma yang mengalir melaluinya
untuk menghasilkan urin, mempertahankan bahan-bahan yang masih
diperlukan oleh tubuh dan mengeluarkan bahan-bahan yang tidak dibutuhkan
melalui urin (Sherwood, 2014).
2.1.1 Anatomi
(Drake RL, Vogl AW, Mitchell AW, 2014)
Gambar 2.1
Letak Ginjal
Ginjal mempunyai bentuk seperti kacang dan terletak di rongga
retroperitonial, tepatnya pada kedua sisi kolumna vertebralis pada
vertebrae thorakalis ke 12 sampai vertebrae lumbalis ke 3, posisi ginjal
kanan sedikit lebih rendah dibanding ginjal sebelah kiri disebabkan oleh
6
adanya organ hepar yang letaknya di atas ginjal kanan. Terdapat
kelenjar adrenal (kelenjar suprarenal) di atas ginjal. Ginjal orang
dewasa berukuran antara 12-13 cm, lebarnya ± 6 cm dan beratnya
antara 120-150 gram (Marieb & Hoehn, 2015).
(Drake, Vogl & Mitchell, 2014)
Gambar 2.2
Anatomi Ginjal
Ginjal memiliki 2 bagian yaitu korteks dan medula. korteks terletak
di bagian luar dan mengandung jutaan alat penyaring yang disebut
nefron. Setiap nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus. Di bagian
dalam ginjal terdapat medula, terdiri dari beberapa piramida ginjal
dengan basis menghadap korteks dan apeks yang menonjol ke medial.
Piramida ginjal berfungsi untuk mengumpulkan hasil ekskresi yang
kemudian disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis ginjal.
Permukaan medial ginjal yang cekung terdapat hilus, yang merupakan
7
tempat keluar-masuknya vasa renalis dan tempat keluarnya pelvis
renalis (Tortora & Derrickson, 2011).
Ginjal mempunyai tiga lapis jaringan penyokong yang
mengelilinginya, yaitu (Marieb & Hoehn, 2015) :
1. Fascia renalis, merupakan lapisan terluar berupa jaringan ikat
fibrosa padat yang menyandarkan ginjal dan kelenjar adrenal ke
struktur sekitarnya.
2. Perirenal fat capsule, merupakan massa lemak yang mengelilingi
ginjal dan bantalannya terhadap pukulan.
3. Fibrous capsule, merupakan kapsul transparan yang mencegah
infeksi di daerah sekitarnya menyebar ke ginjal.
(Martini FH, Nath JL, Bartholomew EF, 2012)
Gambar 2.3
Mikroskopis Ginjal
Aliran darah ginjal berasal dari arteri renalis, merupakan cabang
langsung dari aorta abdominalis, sedangkan yang mengalirkan darah
balik adalah vena renalis (Marieb & Hoehn, 2015). Asal persyarafan
8
ginjal dari pleksus simpatikus renalis dan tersebar sepanjang cabang-
cabang arteri vena renalis. Serabut aferen yang berjalan melalui pleksus
renalis masuk ke medulla spinalis melalui Nervus Torakalis X, XI, dan
XII (Netter & Frank, 2014).
2.1.2 Fisiologi
Ginjal memiliki beberapa fungsi, yaitu ekskresi produk sisa
metabolit tubuh, mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh,
pengaturan tekanan arteri, pengaturan keseimbangan air dan elektrolit,
pengaturan osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit,
memelihara keseimbangan asam basa, dan ekskresi senyawa asing
seperti obat-obatan (Sherwood, 2014).
Organ ini melakukan fungsi yang paling penting dengan cara
menyaring plasma dan memisahkan zat dari filtrat dengan kecepatan
yang bervariasi, bergantung pada kebutuhan tubuh. Akhirnya ginjal
membuang zat-zat yang tidak diinginkan dari filtrat dengan cara
mengekskresikannya ke dalam urin, sementara zat yang dibutuhkan
dikembalikan ke dalam darah (Price & Wilson, 2012).
9
(Sherwood, 2014)
Gambar 2.4
Nefron
Terdapat tiga proses dasar yang terlibat dalam pembentukan urin
yakni filtrasi glomerulus, reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus. Proses
pertama dimulai dengan filtrasi cairan yang hampir bebas protein dari
kapiler glomerulus ke kapsula Bowman. Semua zat dalam plasma
kecuali protein difiltrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada
filtrat glomerulus dalam kapsula Bowman hampir sama dengan plasma
(Sherwood, 2014). Filtrat glomerulus yang terbentuk di korpuskel ginjal
akan masuk ke dalam Tubulus Kontortus Proksimal (TKP). Di TKP,
akan terjadi absorpsi seluruh glukosa dan asam amino, ±85% NaCl, dan
air dari filtrat selain fosfat dan kalsium. Mekanisme absorpsi ini terjadi
secara transport aktif yang melibatkan pompa Na+/K+ ATPase
(Mescher, 2014).
Sewaktu filtrat mengalir melewati tubulus, bahan-bahan yang
bermanfaat bagi tubuh dikembalikan ke plasma kapiler peritubulus.
Perpindahan selektif bahan-bahan dari bagian dalam tubulus (lumen
10
tubulus) ke dalam darah ini disebut reabsorbsi tubulus. Bahan-bahan
yang direabsorbsi tidak keluar dari tubuh melalui urin tetapi dibawa
oleh kapiler peritubular ke sistem vena dan kemudian ke jantung untuk
diresikulasi. Dari 180 liter plasma yang disaring per hari, sekitar 178,5
liter direabsorbsi. Sisa 1,5 liter di tubulus mengalir ke dalam pelvis
ginjal untuk dikeluarkan sebagai urin (Guyton & Hall, 2014).
Proses ketiga adalah sekresi tubulus, pemindahan selektif bahan-
bahan dari kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus. Hanya sekitar
20% dari plasma yang mengalir melalui kapiler glomerulus difiltrasi ke
dalam kapsul Bowman, 80% sisanya mengalir melalui arteriol eferen ke
dalam kapiler peritubulus. Sekresi tubulus adalah mekanisme untuk
mengeluarkan bahan dari plasma secara cepat dengan mengekstraksi
sejumlah bahan tertentu dari 80% plasma yang tidak terfiltrasi di kapiler
peritubulus dan memindahkannya ke bahan yang sudah ada di tubulus
sebagai hasil filtrasi (Sherwood, 2014).
Ekskresi merupakan proses pengeluaran bahan-bahan dari tubuh,
merupakan hasil dari tiga proses pertama di atas. Semua konstituen
plasma yang terfiltrasi atau disekresikan tetapi tidak direabsorbsi akan
tetap di tubulus dan mengalir ke pelvis ginjal untuk dieksresikan
sebagai urin lalu akan dikeluarkan dari tubuh. Sedangkan semua bahan
yang difiltrasi dan kemudian direabsorbsi atau tidak difiltrasi sama
sekali, akan masuk ke darah vena dari kapiler peritubulus dan
dipertahankan di dalam tubuh (Sherwood, 2014).
11
(Sherwood, 2014)
Gambar 2.5
Proses-proses Dasar di Ginjal
2.1.3 Histologi
Ginjal dibagi menjadi korteks di sebelah luar yang berwarna gelap
dan medula di sebelah dalam yang berwarna terang. Korteks dilapisi
oleh jaringan ikat regular padat, kapsul ginjal. Korteks mengandung
tubulus kontortus proksimal dan distal, glomerulus serta medullary
rays. Medula terdiri dari beberapa piramid ginjal. Bagian basal piramid
terletak dekat dengan korteks dan apeksnya membentuk papila ginjal
menonjol ke dalam struktur berbentuk corong, kaliks minor. Terdapat
arteri dan vena interlobaris pada sinus renalis yang merupakan cabang
dari arteri dan vena renalis. Pembuluh darah ini masuk ke ginjal
menjadi arteri dan vena arkuata melengkung di bagian dasar piramid
kemudian membentuk pembuluh darah interlobularis yang berjalan
12
secara radial ke dalam korteks ginjal dan nantinya membentuk kapiler
glomerulus (Eroschenko, 2015).
(Eroschenko, 2015)
Gambar 2. 6
Penampang Histologi Ginjal Normal
2.1.3.1 Korpuskulum ginjal
Korpuskulum ginjal terdiri dari glomerulus, berkas kapiler
yang terbentuk dari arteriol aferen glomerulus ditopang oleh
Tubulus
Proksimal
Duktus
koligens
Glomerulus
Kapsul
Ginjal
Basis
Piramidis
Arteri dan Vena
Arkuata
Arteri Interlobularis
Vena Interlobularis
Papila
Renalis
Epitel
Silindris
Kaliks minor dan
epitel transisional
Jaringan ikat dan
adiposa sinus renalis
13
jaringan ikat halus dan dilingkupi oleh kapsul glomerulus
(Bowman). Lapisan internal (viseral) kapsul menyelubungi
kapiler glomerulus dengan epitel termodifikasi yang disebut
podosit. Lapisan parietal/eksternal membentuk permukaan luar
kapsul tersebut yang merupakan epitel skuamosa. Setiap
korpuskel ginjal memiliki kutub vaskular, tempat masuknya
arteriol aferen dan keluarnya arteriol eferen, serta memiliki
kutub urin, tempat tubulus kontortus proksimal berasal. Epitel
skuamosa kutub urin berubah menjadi epitel selapis kuboid
tubulus proksimal (Mescher, 2014).
(Eroschenko, 2015)
Gambar 2.7
Korpuskulum dan Tubulus Ginjal
Tubulus
Proksimal
Tubulus
Distal
Glomerolus
14
2.1.3.2 Tubulus kontortus proksimal
Tubulus kontortus proksimal mempunyai lumen kecil tak rata
dan satu lapisan sel kuboid dengan sitoplasma granular
eosinofilik. Sel-sel tersebut dilapisi oleh brush-border yang
berguna untuk reabsobsi tetapi tidak selalu terlihat dalam
sediaan. Batas-batas sel di tubulus kontortus proksimal juga
tidak jelas (Eroschenko, 2015).
2.1.3.3 Gelung nefron (Ansa Henle)
Lanjutan dari tubulus kontortus proksimal berbentuk tubulus
lurus yang lebih pendek dan memasuki medula dan menjadi
gelung nefron. Gelung ini adalah struktur yang berbentuk U
dengan segmen desenden dan segmen asenden, keduanya terdiri
atas selapis epitel kuboid di dekat korteks, tetapi berupa epitel
skuamosa di dalam medula (Mescher, 2014).
Di kutub vaskular, terdapat sel epitelioid termodifikasi
dengan granula sitoplasma menggantikan sel otot polos di tunika
media arteriol aferen glomerulus. Sel-sel ini adalah sel
jukstaglomerulus (Eroschenko, 2015).
2.1.3.4 Tubulus kontortus distal
Tubulus kontortus distal memiliki perbedaan dengan tubulus
kontortus proksimal, yakni tidak memiliki brush border dan
ukuran yang lebih kecil. Sel-sel pada tubulus yang lebih kecil ini
15
membuat jumlah sel dan intinya tampak lebih banyak di dinding
epitelnya (Eroschenko, 2015).
Tubulus ini mengadakan kontak dengan kutub vaskular di
korpuskel ginjal sehingga mengakibatkan terjadinya modifikasi
dari Tubulus Kontortus Distal (TKD) yaitu bentuknya menjadi
silindris dan intinya berhimpitan. Bagian dengan susunan sel-sel
yang lebih padat dan lebih gelap di tubulus kontortus distal ini
dinamai makula densa (Mescher, 2014).
2.1.3.5 Tubulus duktus koligens
Tubulus koligens yang lebih kecil dilapisi oleh epitel kuboid.
Di sepanjang perjalanannya, tubulus dan koligens terdiri atas
sel–sel yang tampak pucat dan batas sel yang jelas (Eroschenko,
2015).
2.1.3.6 Interstitium ginjal
Celah yang terdapat di antara tubulus uriniferus, dan
pembuluh darah dan limfe disebut interstitium ginjal. Celah ini
berada di ruang kecil di korteks ginjal yang melebar hingga
medula. Pada bagian ini terdapat sedikit jaringan fibroblas dan
sedikit serat kolagen. Di dalam medula ini terdapat substansi
dasar berhidrasi tinggi yang kaya dengan proteoglikan, serta
terdapat sel-sel sekresi yang disebut sel interstitial (Mescher,
2014).
16
(Eroschenko, 2015)
Gambar 2.8
Korteks ginjal
2.2. Kotrimoksazol
2.2.1 Sifat fisikokimia
(UI, 2009).
Gambar 2.9
Struktur kimia kotrimoksazol:(a) Struktur Kimia Sulfametoksazol,
(b) Struktur Kimia Trimetoprim
Kotrimoksazol merupakan kombinasi dari antibiotika trimetropin
dan sulfametoksazol. Sulfametoksazol yang mempunyai rumus molekul
C10H11N3O3S merupakan derivate sulfisoksazol yang umumnya
a b
17
digunakan dalam bentuk kombinasi tetap dengan trimetropim,
sedangkan trimetropim yang mempunyai rumus molekul C14H18N4O3
adalah suatu diamino-pirimidin yang bersifat basa lemah dengan pKa
7,3 dan sedikit larut dalam air (Mariana Y & Setiabudy R, 2016)..
2.2.2 Mekanisme kerja
Kotrimoksazol memiliki dua mekanisme kerja dari kedua obat
tersebut, sulfametoksazol menghambat sintesis asam folat dan
pertumbuhan bakteri dengan menghambat susunan asam dihidrofolat
dari asam para-aminobenzen, sedangkan trimetoprim menghambat
terjadinya reduktasi asam dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat yang
secara tidak langsung mengakibatkan penghambatan enzim pada siklus
pembentukan asam folat. Kombinasi tersebut mempunyai aktivitas
bakterisidal yang besar karena menghambat pada dua tahap biosintesa
asam nukleat dan protein yang sangat esensial untuk mikroorganisme.
Kotrimoksazol mempunyai spektrum aktivitas luas dan efektif terhadap
bakteri gram-positif dan gram-negatif, misalnya Streptococci,
Staphylococci, Pneumococci, Neisseria, Bordetella, Klebsiella, Shigella
dan Vibrio cholera (Mariana Y & Setiabudy R, 2016).
2.2.3 Farmakokinetika
Trimetoprim biasanya diberikan secara oral, baik tunggal maupun
dikombinasikan dengan sulfametoksazol, kombinasi ini merupakan
bentuk terakhir yang dipilih karena trimetoprim dan sulfametoksazol
memiliki waktu paruh yang hampir sama. Trimetoprim diabsorbsi
18
dengan baik dari usus dan didistribusikan secara luas dalam cairan-
cairan dan jaringan-jaringan tubuh, termasuk cairan serebrospinal.
Karena trimetoprim lebih larut dalam lemak dibandingkan
sulfametoksazol, maka volume distribusi trimetoprim lebih banyak
dibandingkan sulfametoksazol. Jika 1 bagian trimetoprim diberikan
dengan 5 bagian sulfametoksazol, maka konsentrasi plasma puncaknya
adalah pada rasio 1 : 20 yang merupakan konsentrasi optimal (Katzung,
2014).
2.2.4 Efek samping
Efek samping penggunaan kotrimoksazol biasanya berupa gangguan
kulit, gangguan lambung-usus dan stomatitis. Pada dosis tinggi efek
sampingnya juga berupa demam dan gangguan fungsi hati dan efek-
efek vaskular (neutropenia dan trombositopenia) sehingga penggunaan
lebih dari dua minggu hendaknya disertai dengan pengawasan darah.
Efek lainnya juga dapat menyebabkan acute interstitial nephritic,
Risiko kristaluria dapat dihindari dengan meminum lebih dari 1,5 liter
air sehari (Mariana Y & Setiabudy R, 2016).
2.2.5 Kegunaan
Kegunaan kombinasi sulfametoksazol dan trimetoprim merupakan
pengobatan yang efektif untuk infeksi-infeksi saluran kemih dengan
komplikasi, prostatitis dan infeksi saluran cerna (Katzung, 2014).
19
2.2.6 Bentuk sediaan
Bentuk sediaan kotrimoksazol tersedia dalam bentuk tablet oral yang
mengandung 400mg sulfametoksazol dan 80mg trimetoprim atau
800mg sulfametoksazol dan 160mg trimetoprim. Untuk anak- anak
tersedia dalam bentuk suspensi oral yang mengandung 200mg
sulfametoksazol dan 40mg trimetoprim / 5ml, serta tablet pediatrik yang
mengandung 100mg sulfametoksazol dan 20mg trimetoprim. Untuk
pemberian intravena tersedia sediaan infus yang mengandung 400mg
sulfametoksazol dan 80mg trimetoprim / 5ml (KEMENKES RI, 2016).
2.2.7 Dosis
Dosis dewasa 800mg sulfametoksazol dan 160mg trimetoprim setiap
12 jam. Pada infeksi yang berat diberikan dosis lebih besar. Dosis yang
dianjurkan untuk anak-anak ialah sulfametoksazol 40mg/kg/BB/hari
dan 8mg/kg/BB/hari trimetoprim (Mariana Y & Setiabudy R, 2016).
2.3 Acute Intertitial Nephritic
2.3.1 Definisi
Acute interstitial nephritic (AIN) merupakan kerusakan parenkim
ginjal karena suatu inflamasi akut yang bersifat eksudat dan disertai
dengan adanya cairan pada jaringan interstitial, eksudat tersebut tidak
bersifat purulen dan lesi yang timbul dapat bersifat difus atau lokal.
(Raghavan R & Eknoyan G, 2014).
20
2.3.2 Etiologi
Banyak penyebab dari AIN diantaranya akibat cedera langsung oleh
obat, reaksi terhadap infeksi sistemik, infeksi ginjal langsung (virus dan
bakteri), respon imun humoral (anti-tubular basement membran),
keturunan dan gangguan metabolisme, obstruksi dan refluks pada tahap
akut. Perubahan serupa juga bisa diamati dalam ginjal pada penyakit
sistemik seperti Systemic lupus Erythematosus (SLE) dan reaksi rejeksi
dari transplantasi ginjal (Raghavan R & Eknoyan G, 2014 ).
2.3.3 Patogenesis
Mekanisme AIN dipengaruhi oleh Immune-Mediated yang memulai
dan mempertahankan kerusakan interstitial. Antigen yang memulai
kerusakan Immune-Mediated dapat berasal dari eksogen atau endogen.
Antigen eksogen dapat terperangkap langsung atau bersirkulasi dengan
bentuk imun komplek yang terdeposit pada interstitial ginjal, kemudian
berikatan dengan antigen tubular sebagai hapten atau meniru antigen
interstitial yang akhirnya menyebabkan reaksi imun. Kelainan ini
termasuk imunitas seluler dari hipersensitivitas tipe lambat dan
kemungkinan termasuk jenis sitotoksisitas langsung, imunitas humoral
seperti pembentukan antibodi anti-TBM (tubular basement membrane),
dan lain-lain yang kemungkinan termasuk pelengkap aktivasi dan
peningkatan ekspresi komplek major histokompatibilitas (MHC)
antigen kelas I atau kelas II (Sudhana, 2017).
21
Beberapa studi melaporkan obat-obatan yang menginduksi ATN
mempunyi peranan sekitar 6,54 dari penemuan biopsi nontransplantasi.
Hipersensitivitas lambat seperti mekanisme penyebab AIN yang
disebabkan oleh obat-obatan, terutama antibiotika. Sel T yang
membawa antigen CD4 dan CD8 telah diidentifikasi oleh ginjal sebagai
drug-induced AIN. Variabilitas ini mungkin berhubungan dengan bahan
yang dikaitkan atau perjalanan saat dilakukan biopsi. Sel-sel T telah
terbukti membawa penanda aktivasi dan oleh karena itu dianggap
menjadi sel efektor dalam proses hipersensitivitas. Juga ditemukan sel-
sel B sampai batas tertentu (Brewster UC & Rastegar A, 2015).
2.3.4 Diagnosis
Saat ini dignosis AIN memerlukan temuan patologis edema
interstitial, tubulitis dan infiltrasi sel intersisil. Dari volume urin
menunjukkan polyuria (>2000 mL/hari) sedangkan secara mikroskopi
urin ditemukan hematuria, piuria, dan eosinofiluria.75% kejadian AIN
disebabkan oleh agen Farmakologis, Pada pemeriksaan laboratorium
ditandai dengan adanya peningkatan ureum kreatinin dan penurunan
laju filtrasi (Brewster UC & Rastegar A, 2015).
Acute Interstitial Nephritic biasanya menunjukkan gambaran acute
kidney injury (AKI), kadang-kadang secara klinis muncul manifestasi
infeksi sistemik seperti demam arthralgia, eosinofilia dan ruam,
biasanya sebagai konsekeuensi hipersentitivits obat (Chamarthi G et al.,
2018)
22
2.3.5 Acute intertitial nephritic sebagai efek samping kotrimoksazol
Obat-obatan dengan efek nefrotoksik langsung dapat merangsang
terjadinya cedera ginjal melalui berbagai mekanisme. Mekanisme
tersering adalah obat-obatan yang diekskresikan oleh ginjal langsung
memberikan efek toksik kepada tubulus ginjal, menyebabkan cedera
seluler atau menyebabkan terjadinya inflamasi di interstitial ginjal.
Sebagian besar studi menunjukkan bahwa adanya infiltrasi sel radang
pada interstitial disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap
antigen yang sebagian besar adalah obat (Krishnan & Perazella, 2015).
Infiltrasi sel radang pada AIN lebih dominan sel-sel mononuclear
diantaranya sel limfosit, sel plasma, makrofag dan eosinofil pada
intersisil, serta adanya tubulitis dan non-necrotizing granulomas (Fogo
et al., 2016).
Infiltrasi sel radang interstitial dapat disebabkan oleh berbagai obat
yang berbeda, namun antibiotik seperti kotrimoksazol diketahui sebagai
obat yang dianggap sebagai antigen tersering dari terjadinya infiltrasi
sel radang interstitial. Kotrimoksazol juga merupakan antibiotik yang
bersifat bakterisidal. Secara umum antibiotik yang bersifat bakterisidal
dapat meningkatkan ROS dengan melibatkan siklus metabolisme asam
trikarboksilat atau siklus krebs yang menyebabkan deplesi NADH.
Adanya deplesi NADH juga akan mengakibatkan deplesi GSH, yaitu
antioksidan dalam tubuh yang merupakan mekanisme proteksi dalam
23
menetralkan radikal bebas. Penurunan GSH dapat menyebabkan
peningkatan ROS intraseluler. (Vatansever et al, 2013).
Kerusakan sel ginjal bisa disebabkan oleh adanya peningkatan stres
oksidatif yang dikarenakan adanya peningkatan Reactive Oxygen
Species (ROS), Reactive Nitrogen Species (RNS), dan penurunan kadar
antioksidan di dalam tubuh (Palipoch, 2013). ROS adalah senyawa
pengoksidasi turunan oksigen yang bersifat sangat reaktif. ROS dapat
menyebabkan kerusakan pada semua makromolekul utama dalam sel
tubuh dan dapat berujung pada peroksidasi lipid. Salah satu akibat
signifikan dari peroksidasi lipid adalah peningkatan permeabilitas
membran yang mengarah pada influx Ca2+ serta ion lainnya dan
kemudian terjadi pembengkakan sel (Gorlach et al., 2015)
Peningkatan ROS dapat berkontribusi pada proses kerusakan ginjal
baik secara langsung maupun tidak langsung melalui peningkatan
inflamasi. Inflamasi dapat memberikan umpan balik untuk
meningkatkan pembentukan ROS atau merangsang produksi sitokin dan
faktor pertumbuhan (Hosohata, 2016). Sitokin adalah polipeptida yang
mengatur banyak proses biologis penting bertindak sebagai mediator
peradangan dan respon kekebalan tubuh. Sitokin berhubungan erat
dengan perbaikan jaringan yang rusak dan berpotensi sebagai biomarker
nefrotoksisitas karena mereka terlibat dalam kerusakan dan perbaikan,
selain itu, ROS juga memodulasi produksi sel T helper (Th) 2 dan
produksi IL-4 (Yarosz EL & Chang CH, 2018). Aktivasi sel Th 2 yang
24
akan memproduksi sitokin pro inflamasi seperti IL-4 dan IL-5, aktivasi
makrofag, sel mast dan respon eosinofil nantinya akan menimbulkan
infiltrasi sel radang pada interstitial (Krishnan M & Perazella MA,
2015).
Menurut Krishnan & Perazella (2015), obat menjadi immunogenik
bergantung kemampuan setiap obat tersebut dalam berpartisipasi pada
beberapa mekanisme seperti:
1) Obat diikat oleh molekul besar seperti protein untuk menjadi
substansi aktif yang bersifat antigenik. Protein tersebut berada di
sirkulasi maupun di jaringan seperti ginjal. Proses pengikatan obat
oleh protein tersebut disebut proses haptenisisasi. Adanya ikatan
tersebut mampu menstimulasi respon dari sel limfosit T. Proses
haptenisasi ini dapat terjadi di sirkulasi dan ikatan substansi aktif
yang bersifat antigenik ini dapat terperangkap di ginjal selama proses
filtrasi.
2) Dalam beberapa kasus, obat dapat bertindak sebagai prohapten dan
membutuhkan metabolisme suatu senyawa reaktif yang kemudian
dapat diikat oleh protein spesifik untuk mengalami proses
haptenisasi. Tubulus proksimal diketahui mampu menghidrolisis dan
memetabolisme antigen eksogen seperti obat dan menyajikannya ke
APC melalui MHC.
25
3) Beberapa obat juga dapat bersifat neo-antigen yang menyebabkan
efek toksik secara langsung yang dapat merusak struktur interstitial
ginjal.
4) Obat juga mampu memiliki kemampuan sebagai Antigen-mimicry
yakni obat meniru antigen endogen yang terdapat pada Renal
Tubular Epitel atau interstitium dan menginduksi respon imun yang
akan diarahkan pada sumber antigen.
5) Obat dapat menstimulasi produksi antibodi dan disimpan serta
beredar di interstitial sebagai kompleks antigen-antibodi.
2.3.6 Penggunaan kotrimoksazol terhadap jumlah infiltrasi sel radang
Seringkali ginjal mengalami kerusakan akibat paparan berbagai
macam bahan toksik dan penggunaan obat-obatan kimia maupun herbal
dalam dosis yang berlebihan, secara histologis, ginjal terdapat empat
komponen yakni glomerulus, tubulus, interstitial dan pembuluh darah
(Hosohata, 2016).
Pola kerusakan ginjal akibat induksi obat bergantung dimana
kerusakan yang terkena pada empat komponen tersebut. Namun,
sebagian besar diketahui bahwa kerusakan ginjal akibat induksi obat
yakni interstitial ginjal dan tubulus proksimal. Pada umumnya, proses
kekebalan humoral dan seluler berperan dalam kerusakan jaringan sela
(interstitial). Mekanisme kerusakan jaringan melibatkan efektor yang
terdiri dari aktivasi komplemen dan kemotaksis sel pengakibat
(Krishnan & Perazella, 2015).
26
Beberapa tanda kerusakan pada ginjal salah satunya dapat dilihat
melalui adanya infiltrasi sel radang interstitial. Infiltrasi sel radang
yaitu penyusupan sel atau masuknya sel-sel radang dari luar jaringan.
Secara mikroskopik, jaringan infiltrasi sel seluruhnya ditandai dengan
adanya sel radang berwarna keunguan (Sugihartini N & Fajri MA,
2016).
(Seely JC & Brix A, 2014)
Gambar 2.10
Infiltrasi Sel Radang Interstitial
27
Mozaffari & Rashidi (2007) melaporkan bahwa pada penelitiannya,
kelompok tikus yang menerima kotrimoksazol, secara histopatologis
menunjukkan adanya Acute Interstitial Nephritic. Penelitian tersebut
dilakukan selama 10 hari dengan hasil sebagi berikut :
(Mozaffari & Rashidi, 2007)
Gambar 2.11
Perbandingan histologi ginjal yang diinduksi dengan ginjal normal : a.
Acute Intertstitial Nephritic akibat diinduksi oleh kotrimoksazol,
b. Histologi ginjal tikus normal
(Keterangan : R= sel Radang; G = Glomerulus; T = Tubulus)
Penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa jaringan interstitial
ginjal rentan terhadap kerusakan oleh obat-obatan salah satunya
kotrimoksazol. Selain itu jumlah sel inflamasi pada interstitial juga
digambarkan pada penelitian Ndagu dkk (2013) , kelompok tikus yang
menerima induski aspirin menyebabkan acute interstitial nephritic
yang secara histopatologis ginjal tikus ditunjukkan oleh gambar 2.18
a b
G
T
R
28
(Ndagu et al, 2013)
Gambar 2.12
Gambaran mikroskopis ginjal tikus yang diinduksi aspirin yang sebagai
kontrol positif (pewarnaan HE; 400x) nampak adanya a. kongesti b.
peradangan, c. perdarahan, d. nekrosis
Hasil tersebut menunjukkan gambaran acute interstitial nephritic
secara histologis. Zat kimia yang disekresi secara aktif dari darah ke
urin, akan diakumulasikan dulu di dalam tubulus proksimal atau pada
saat zat kimia ini direabsorbsi dari urin maka akan melalui sel epitel
tubulus dengan konsentrasi tinggi sehingga zat-zat toksik ini
menyebabkan kerusakan ginjal, terutama di tubulus ginjal karena pada
tubulus ginjal merupakan tempat terjadinya proses reabsorpsi dan
ekskresi dari zat-zat toksik tersebut (Ndagu et al, 2013)
2.4 Kurma (Phoenix dactylifera)
2.4.1. Taksonomi
Secara taksonomi kurma ‘ajwa dapat dilihat sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
29
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Tracheophyta
Subdivisi : Spermatophytina
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Arecidae
Superordo : Lilianae
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae
Genus : Phoenix
Spesies : Phoenix dactylifera L
(Deshpande NM & Deshpande MM, 2017).
Kurma atau Phoenix dactylifera berasal dari bahasa Yunani,
kata“Phoenix” yang artinya buah merah atau ungu, dan kata
“dactylifera”berasal dari kata“daktulos” yang artinya jari, jadi Phoenix
dactylifera berarti buah yang bewarna merah atau ungu dan berbentuk
seperti jari.
(Rahmani et al., 2014).
Gambar 2.13
Buah kurma (Phoenix dactylifera)
30
2.4.2 Morfologi
Pohon kurma (Phoenix dactylifera) adalah salah satu pohon tertua di
wilayah Arab dan dibudidayakan secara luas. Buah kurma adalah buah
tunggal, lonjong, dan memiliki satu biji. Morfologi buah kurma bahwa
panjang buah berkisar dari min 2,80 cm hingga maksimal 5,92 cm.
Selain itu, terdapat 5 warna dalam buah kurma kurma yaitu berwarna
kuning cerah, kuning dengan bintik-bintik merah, oranye, merah terang,
dan redscarlet. Diameter buah kurma 0,40 cm hingga 1,37 cm.
Kebanyakan tanaman kurma tumbuh di negara-negara Arab dan
menjadi identitas di Negara tersebut maka seolah-olah kurma hanya
dapat hidup di daerah tersebut. Pada kenyataannya kurma dapat juga
tumbuh di Indonesia sama halnya seperti di Arab (Rahmani et al.,
2014)
(Rahmani et al., 2014).
Gambar 2.14
Pohon kurma (Phoenix dactylifera)
31
2.4.3 Jenis-jenis kurma
Berbagai jenis kurma (Phoenix dactylifera) ditemukan di seluruh
dunia terutama Khodry, Khalas, Ruthana, Sukkary, Sefri, Segae, ‘ajwa,
Hilali dan Munifi. Kurma dan konstituennya menunjukkan peran dalam
pencegahan penyakit melalui aktivitas anti-oksidan, anti-inflamasi, dan
anti-bakteri. Jenis kurma yang banyak beredar di Indonesia adalah
kurma ‘ajwa atau sering disebut kurma nabi, kurma ini berwarna gelap
dan terkenal karena rasanya yang manis serta disebutkan dalam banyak
hadits (Rahmani et al., 2014).
(Rahmani et al., 2014)
Gambar 2.15
Jenis-Jenis Kurma
2.4.4 Kurma ‘ajwa (Phoenix dactylifera L.)
Kurma ‘ajwa adalah jenis kurma tumbuh di Arab Saudi / Al-
Madinah Al-Munawara dan memiliki nilai signifikan dalam beberapa
jenis penyembuhan penyakit (Rahmani et al., 2014). Buah kurma jenis
‘ajwa, memiliki ciri berbentuk elips berdiameter 1,845 cm, dengan berat
5,131 gr, panjang 2,459 cm, daging buah setebal 0,466 cm, berwarna
32
merah terang ketika belum matang dan berwarna coklat atau sawo
matang ketika buah matang, serta tekstur daging lembut (Assirey,
2014).
2.4.4.1 Manfaat kurma ‘ajwa (Phoenix dactylifera L).
Buah kurma berperan penting dalam netralisasi radikal bebas
dan akhirnya menekan berbagai jenis perkembangan penyakit.
Sebuah laporan baru-baru ini menunjukkan bahwa ekstrak
kurma mengandung aktivitas antioksidan, antimikroba dan anti-
mutagenik. Dalam penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
kurma memiliki konsentrasi polifenol tertinggi di antara buah-
buahan kering yang dapat memainkan peran penting dalam
menyerap dan menetralkan radikal bebas. Selain dari manfaat
yang telah disebutkan buah kurma juga berperan sebagai
antimikroba, antiinflamasi, antidiabetes, dan perlindungan
terhadap ginjal (Rahmani et al., 2014).
(Rahmani et al., 2014)
Gambar 2.16
Manfaat buah kurma dalam pencegahan penyakit
33
2.4.4.2 Kandungan kurma ‘ajwa (Phoenix dactylifera L.)
‘Ajwa merupakan salah satu buah kurma yang memiliki
banyak keunggulan dilihat dari kandungannya. Kandungan
nutrisi yang ada pada buah kurma ‘ajwa yaitu:
Tabel 2.1. Kandungan Kimiawi Kurma ‘Ajwa (gr/100gr)
Kandungan Kimiawi gr/100gr
Moisture 22,8
Total gula 74,3
Sukrosa 3,2
Glukosa 51,3
Fruktosa 48,5
Protein 2,91
Lipid 0,47
Ash 3,43
(Assirey, 2014)
Tabel 2.2. Kandungan Mineral Kurma ‘Ajwa (mg/100gr)
Kandungan Mineral mg/100gr
Calcium
Phosphorus
Pottasium
Sodium
Magnesium
187
27
476,3
7,5
150
(Assirey, 2014)
Tabel 2.3. Kandungan Asam Amino Kurma ‘Ajwa (mg/100gr)
Ala
Arg
Asp
Cys
Glu
Gly
82
93
186
-
205
83
His
Iso
Leu
Lys
Met
Phe
26
44
57
73
27
45
Pro
Ser
Thr
Try
Tyr
Val
86
59
53
44
-
65
(Assirey, 2014)
34
Tabel 2.4. Kandungan Phytochemical dari bagian-bagian Kurma
Bagian
Daun
Buah
Biji
Kulit
Alkaloids
+
+
+
+
Steroids
+
+
+
-
Saponins
+
+
-
-
Flavonoids
-
+
-
+
Tannins
-
+
-
+
Carbohydrates
+
+
+
+
Sumber: (Assirey, 2014)
Tabel 2.5. Kandungan Vitamin pada Kurma ‘Ajwa
Macamnya
Vitamin A
Vitamin B1
Vitamin B2
Vitamin B3
Vitamin B5
Vitamin B6
Vitamin B9
Vitamin B12
Vitamin C
Vitamin E
Vitamin K
Jumlah/100gr
9 IU
0,046mg
0,059mg
1,134mg
0,525mg
0,147mg
17mcg
-
0,4mg
0,04mg
2,4mcg
(Hammid, 2014)
Konsentrasi polifenol yang tinggi dalam sari kurma (Phoenix
dactylifera) varietas ‘ajwa (455,88mg / 100g) adalah yang
tertinggi dibandingkan dengan verities lain berperan penting
sebagai antioksidan dan menonaktifkan radikal bebas sehingga
mencegah stress oksidatif (Rahmani et al., 2014).
2.5 Kurma Menghambat Peningkatan ROS
Kurma memiliki kandungan phenolic dan flavonoid yang bertindak
sebagai antioksidan un tuk melindungi tubuh dari spesies oksigen reaktif. Sel
dan jaringan tubuh terus terancam oleh kerusakan yang disebabkan oleh
35
radikal bebas dan spesies oksigen reaktif, yang diproduksi selama
metabolisme oksigen normal atau diinduksi oleh zat eksogen. Mekanisme dan
urutan peristiwa di mana radikal bebas mengganggu fungsi seluler tidak
sepenuhnya dipahami, tetapi salah satu peristiwa paling penting tampaknya
adalah peroksidasi lipid, yang mengakibatkan kerusakan membran sel.
Kerusakan sel ini menyebabkan pergeseran muatan bersih sel, mengubah
tekanan osmotik, menyebabkan pembengkakan dan akhirnya kematian sel.
Radikal bebas dapat menarik berbagai mediator inflamasi, berkontribusi
terhadap respons inflamasi umum dan kerusakan jaringan. Untuk melindungi
diri dari spesies oksigen reaktif, organisme hidup telah mengembangkan
beberapa mekanisme pertahanan antioksidan tubuh termasuk enzim seperti
superoksida dismutase, katalase, dan glutatione peroksidase, tetapi juga
nonenzimatik seperti glutathione, asam askorbat, dan α-tokoferol.
Peningkatan produksi spesies oksigen reaktif selama cedera menghasilkan
konsumsi dan penipisan senyawa antioksidan endogen (Sani et al., 2015).
Flavonoid dapat mencegah cedera yang disebabkan oleh radikal bebas
dengan bertindak sebagai antioksidan langsung terhadap radikal bebas.
Flavonoid dioksidasi menghasilkan radikal yang lebih stabil dan kurang
reaktif. Dengan kata lain, flavonoid menstabilkan spesies oksigen reaktif
dengan bereaksi dengan senyawa reaktif radikal (Rahmani et al., 2014).