21
Bab 2
KONSEP PENGUPAHAN DALAM HUKUM POSITIF
DAN HUKUM ISLAM
Upah Berdasarkan Hukum Positif
Gaji merupakan balas jasa yang dibayarkan kepada pemimpin-pemimpin, pengawas-
pengawas, pegawai tata usaha, dan pegawai kantor serta para manajer lainnya. Jumlah
pembayaran gaji biasanya ditetapkan secara bulanan. Gaji umumnya tingkatannya
dianggap lebih tinggi daripada pembayaran-pembayaran kepada pekerja-pekerja
upahan, walaupun kenyataannya sering tidak demikian.
Seorang pegawai atau karyawan diberitahu bagaimana harus melakukan
pekerjaannya, berada di bawah perintah dan harus mengikuti petunjuk-petunjuk pemberi
kerja mengenai pelaksanaan pekerjaan itu. Atas pekerjaannya itu pegawai atau
karyawan diberikan imbalan yang disebut gaji.
Upah adalah penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada penerima
kerja termasuk tunjangan, baik untuk pekerja sendiri maupun keluarganya. Upah
biasanya diberikan kepada pekerja yang melakukan pekerjaan kasar dan lebih banyak
mengandalkan kekuatan fisik. Jumlah pembayaran upah biasanya ditetapkan secara
harian atau berdasar unit pekerjaaan yang diselesaikan. Upah/gaji pokok merupakan
jumlah imalan yang dianggap layak bagi seorang pegawai/karyawan untuk memenuhi
penghidupan selama satu bulan (Winarni dan Sugiyarso 2006, hal.10)
Definisi lain menyatakan bahwa istilah (wage) dan gaji (salary) menggambarkan
banyaknya variasi dalam metode pembayaran. Dalam penggunaan yang sudah umum,
upah adalah pembayaran yang diberikan kepada karyawan produksi dengan dasar
lamanya jam kerja. Gaji adalah pembayaran yang diberikan kepada pegawai tata usaha,
22
pengawas, dan manajerial. Upah dibayarkan kepada mereka yang biasanya tidak
mempunyai jaminan pekerjaan secara terus menerus sepanjang minggu, bulan, atau
tahun. Gaji adalah imbalan jasa yang dibayarkan atau diperhitungkan secara bulanan
atau tahunan. (Moekijat 2007, hal 6). Perbedaan ini tidak mutlak dalam tahun-tahun
belakangan ini beberapa perusahaan memberikan gaji kepada pegawa-pegawai tetap
atau pegawai-pegawai yang tidak dalam percobaan. Pendapatan adalah upah yang
sebenarnya dikurangi dengan lembur, uang jasa, komisi dan faktor-faktor lainnya.
Upah riil (real wage) menunjukkan daya beli dari pembayaran berupa uang.
Upah riil dapat menunjukkan tarip upah atau pendapatan. Dalam kedua-duanya hal,
upah riil dengan jalan membagi upah (jumlah rupiah) dengan biaya hidup yang layak
atau dengan indeks harga konsumen.
Upah/gaji bersih (take-home-pay) adalah jumlah pendapatan yang mencakup
pembayaran premi tetapi tidak mencakup pengurangan atau potongan untuk
kesejahteraan sosial, pajak, penghasilan, surat obligasi, ansuransi dan beban-beban
lainnya. Dengan kata lain, upah/gaji bersih adalah pendapatan dikurangi dengan
potongan pajak, kesejahteraan sosial, asuransi, iuaran serikat pekerja, sumbangan dan
sebagainya.
Upah yang sesungguhnya (actual wage) atau yang sering disebut upah saja,
adalah dasar upah kali jam kerja (upah berdasarkan waktu) ; atau dasar upah kali unit /
satuan yang dihasilkan (upah satuan atau upah borongan atau upah insentif).
Penghasilan (income) adalah jumlah imbalan seluruh jasa, termasuk upah dalam
pembayaran khusus (yakni pendapatan) bunga, laba, uang sewa dan keuntungan saham.
Komisi dan uang jasa (commissions and bonuses) biaanya berupa imbalan jasa
yang didasarkan atas harga penjualan suatu barang atau jasa ; komisi dan jasa juga dapat
menunjukkan hadiah. Misalnya hadiah lebaran.
23
Fringe items atau employee benefits adalah imbalan jasa yang diberikan kepada
pegawai (diatas upah) yang sering tidak langsung berhubungan dengan hasil, prestasi
atau waktu kerja.
Biaya tenaga kerja (labour cost) adalah upah dibagi banyaknya satuan produk
yang dihasilkan. Biaya tenaga kerja langsung dihitung untuk pekerjaan yang
berhubungan dengan suatu produk, misalnya operator mesin cetak, dan biaya tenaga
kerja tidak langsung yang dihitung untuk pekerjaan yang tidak langsung berhubungan
dengan suatu produk, misalnya tukang sapu.
Tarip premi (premium rates) adalah tarip khusus yang dibayarkan untuk suatu
waktu tertentu, seperti waktu lembur, hari minggu dan hari besar.
Tarip dasar (base rates) adalah diatas mana pembayaran insentif, upah borongan
atau premi diberikan.
Di dalam ketentuan umum undang-undang ketanakerjaan, upah dirumuskan
sebagai hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha kepada pekerja atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau
akan dilakukan, ditetapkan, dan dibayarkan menurut suatu perjanjian lerja, kesepakatan,
atau peraturan perundang-undangan.
Di dalam ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Tentang Upah Minimum
Nomor : PER-01/MEN/1999 dijelaskan sebagai berikut :
1. Upah Minimum adalah upah bulanan terendah itu pekerja
diartikan adalah tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja para pengusaha
yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap.
2. Upah Minimum Regional Tingkat I untuk selanjutnya disebut
UMR Tk.I adalah upah minimum yang berlaku di satu provinsi
3. Upah Minimum Regional Tingkat II untuk selanjutnya
disebut UMR Tk.II adalah adalah upah minimum yang berlaku di daerah
24
Kabupaten/Kotamadya atau menurut wilayah pembangunan ekonomi daerah atau
karena kekhususan wilayah tertentu.
4. Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat I untuk
selanjutnya disebut UMSR Tk.I adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral
di satu provinsi.
5. Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat II untuk
selanjutnya disebut UMR Tk.II adalah adalah upah minimum yang berlaku secara
sektoral di daerah Kabupaten/Kotamadya atau menurut wilayah pembangunan
ekonomi daerah atau karena kekhususan wilayah tertentu.
6. Sektoral adalah kelompok lapangan usaha beserta
pembagiannya menurut klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI).
7. Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan
kerja para pengusaha dengan menerima upah
8. Pengusaha adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang diIndonesia
mewakili perusahaan sebagai dimaksud dalam hurup (a) dan (b) yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia
9. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum
atau tidak yang memperkerjakan pekerja dengan tujuan mencari keuntungan atau
tidak milik orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara.
25
10. Serikat Pekerja adalah organisasi pekerja atas dasar lapangan
pekerjaan yang bersifat mandiri, demokratis, bebas, dan tanggung jawab yang
dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja, untuk memperjuangkan hak dan kepentingan
kaum pekerja dan keluarganya.
11. Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara
tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja serta tata tertib perusahaan.
12. Kesepakatan Kerja bersama adalah kesepakatan hasil
perundingan yang diselenggarakan oleh serikat pekerja atau gabungan serikat
pekerja dengan pengusaha atau gabungan pengusaha yang memuat syarat-syarat
kerja, untuk melundungi hak dan kewajiban kedua belah pihak.
13. Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian kerja antara pekerja
dan pengusaha secara lisan dan/atau tertulis, baik, untuk tertentu maupun untuk
waktu yang tidak tertentu yanh memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para
pihak.
14. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
Sedangkan Upah Minimum Sektoral (UMS) adalah upah bulanan terendah pada
sektor yang bersangkutan terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap. Hal tersebut
berdasarkan Keputusan Gubernur Sumatera Selatan No. 797 Tahun 2009. Untuk
melengkapi pengertian –pengertian diatas menurut Winarni dan Sugiyarso (2006) ada
beberapa pengertian tentang jenis-jenis pegawai :
1. Pegawai adalah setiap orang pribadi yang melakukan
pekerjaan bedasarkan suatu perjanjian atau kesepakataan kerja baik tertulis maupun
tidak tertulis, termasuk yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan
usaha milik Negara dan bada usaha milik daerah.
26
2. Pegawai Tetap adalah orang pribadi yang bekerja pada
pemberi kerja, yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara
berkala, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang
secara teratur dan terus menerus ikut mengeloala perusahaan secara langsung.
3. Pegawai Lepas adalah orang pribadi yang nekerja pada
pemberi kerja dan hanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang
bersangkutan bekerja.
4. Penerima Pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya
yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa
lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima tabungan hari tua
atau tunjangan hari tua.
5. Penerima Honorarium adalah orang pribadi yang menerima
atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, atau kegiatan yang
dilakukannya. Yang dimaksud kegiatan adalah keikutsertaan dalam suatu rangkaian
tindakan, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, workshop, pendidikan,
pertunjukkan, dan olahraga.
6. Penerima upah adalah orang pribadi yang menerima upah
harian, upah mingguan, upah borongan, atau upah satuan.
a. Upah harian merupakan upah yang dibayarkan atas dasar jumlah hari
kerja.
b. Upah mingguan merupakan upah yang dibayarkan secara mingguan
c. Upah borongan merupakan upah yang dibayarkan atas dasar
penyelesaian pekerjaan tertentu
d. Upah satuan merupakan upah yang dibayarkan atas dasar banyaknya
satuan yang dihasilkan.
27
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penetuan Upah
Di kebanyakan perusahaan keputusan menentukan tingkat besar kecilnya upah
dipengaruhi oleh banyak hal. Lebih lanjut Winarni dan Sugiyarso (2006) menjelaskan
tentang Faktor-faktor penting yang dipergunakan sebagai acuan dalam menetukan
tingkat upah antara lain :
1. Ketetapan Pemerintah
Dalam penentuan gaji dan upah yang perlu diingat adalah bahwa setiap pekerja
berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusian. Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghasilan yang
memenuhi penghasilan yang layak bagi kemanusian, pemerintah menetapkan
kebujakan pengupahan yang melindungi pekerja.
Kebijaksanaan pengupahan yang melindungi pekerja, meliputi :
a. Upah minimum;
b. Upah kerja lembur;
c. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. Upah tidak masuk kerja karena melakukan kegitan lain di luar pekerejaannya;
e. Bentuk dan cara pembayaran upah;
f. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
g. Struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
h. Upah unmtuk pembayaran pesangon;
i. Upah umtuk perhitungan pajak penghasilan.
2. Tingkat Upah di Pasaran
Besarnya upah yang dibayarkan oleh perusahaan-perusahaan sejenis, yang
beroperasi pada sektor yang sama, dihgunakan sebagai acuan untuk menentukan
besarnya upah pada perusahaan tersebut. Tingkat upah yang berlaku di pasaran
dapat diperoleh melalui survai.
24
28
3. Kemampuan Perusahaan
Kemampuan prusahaan untuk membayar upah tergantung daripada kemampuan
finansial perusahaan. Untuk mempertahankan karyawan, perusahaan mungkin akan
membayar upah yang sama atau lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan lain,
akan tetapi itu tergantung daripada kondisi finansial perusahaan.
4. Kualifikasi SDM Yang Digunakan
Saat ini tingkat teknologi yang dipergunakan oleh perusahaan menentukan tingkat
kualifikasi sumber daya manusianya. Semakin canggih teknologinya akan semakin
dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Disamping itu segmen pasar
dimana perusahaan itu bersaing juga menentukan tingkat kualifikasi sumber dauya
manusianya
5. Kemauan Perusahaan
Perusahaan kadang tidak ingin repot dengan faktor-faktor seperti harga pasar dan
lain-lain, perusahaan hanya akan berpegang pada yang menurutnya wajar.
6. Tuntutan Pekerja
Tuntutan para pekerja dan kemauan perusahaaan biasanya di pertemukan dalam
meja perundingan dengan cara musyawarah atau tawar menawar. Organisasi pekerja
dan pengusaha secara sendiri-sendiri atau gabungan organisasi pekerja dan
gabungan perusahaan dapat melakukan hal ini.
lebih mendalam Winarni dan Sugiyarso (2006, hal. 22) menguraikan Syarat –Syarat
Kebijakan Dan Sistem Pengupahan:
1. Adil
Penetapan tingkat besarnya harus adil dan fair. Hal yang dianggap adil adalah
apabila sistem penggajian perusahaan itu memberikan golongan kepangkatan dan
29
gaji pokoknyang lebih tinggi kepada pegawai yang mempunyai pendidiakan formal
yang lebih tinngi.
2. Atraktif Dan Kompetitif
Tingkat upah yang ditawarkan harus menarik dan kompetitif dibandingkan dengan
perusahaan lain yang sejenis. Karena itu perusahaan harus secara rutin melakukan
survey pada sektor industri yang sama atau lebihl luas lagi.
3. Tetap, Mudah, Mutakhir
Kebijakan dan sistem pengupahan yang digunakn perusahaan mestinya sesuai untuk
perusahaan tersebut ditinjau dari berbagai aspek, termasuk budaya perusahaan.
4. Mematuhi Ketentuan Undang-Undang Dan Peraturan
Pemerintah
Semua kebijakan, sistem dan aturan pengupahan perusahaan haruslah memenuhi
ketentuan peraturan perundangan pemerintah dan peraturan mentri yang berlaku.
5. Cukup Layak
Tingkat upah harus relatif cukup layak bagi penerimanya, sesuai dengan
kemampuan perusahaan.
Dalam penetapan upah minimum terdapat Prinsip – prinsip yang menurut
Moekiyat (1992) dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menentukan besaran upah
minimum tersebut ;
a. Upah yang diberikan harus cukup untuk hidup pekerja dan keluarganya dengan
kata lain besarnya upah harus memenuhi kebutuhan minimum
b. Pemberian upah harus adil, artinya besar kecilnya upah tergantung pada berat
ringannya kewajiban dan tanggungjawab yang dibebankan kepada pekerja yang
bersangkutan. Pekerja yang pekerjaannya sulit tanggungjawabnya berat harus diberi
upah yang lebih besar dibanding pekerja/buruh yang kewajiban dan tanggung
jawabnya ringan.
30
c. Upah harus diberikan tepat pada waktunya, supaya mengurangi produktivitas
kerja.
d. Besar kecilnya upah harus mengikuti perkembangan harga pasar, hal ini perlu
diperhatikan karena yang penting bagi pekerja bukan banyaknya uang yang diterima
tetapi berapa banyak barang-jasa yang dapat diperoleh dengan upah tersebut. Jadi
yang terpenting adalah upah riil bukan upah nominal
e. Sistem pembayaran upah harus mudah dipahami dan dilaksanakan sehingga
pembayaran dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat
f. Perbedaan dalam tingkat upah harus didasarkan atas evaluasi jabatan objektif.
g. Struktur upah harus ditinjau kembali dan mungkin diperbaiki apabila kondisi
berubah.
Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999
Tentang Upah Minimum, maka Penetapan upah minimum dilakukan dengan
mempertimbangkan beberapa unsur yaitu :
a. Kebutuhan hidup minimum (KHM)
b. Indeks harga konsumen (IHK)
c. Kemampuan, perkembangan dan kelangsungan perusahaan
d. Upah pada umumnya berlaku di daerah tertentu dan antardaerah; Kondisi
pasar kerja; dan Tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan per kapita
Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999
Nomor Kep-226/Men/2000, dalam melaksanakan upah minimum perlu
memperhatikan hal:
a. Perusahaan dilarang membayar upah lebih rendah dari
b. Upah minimum provinsi (UMP)/ Upah Minimum Kabupaten/kota (UMK) atau
Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP)/Upah Minimum Sektoral
Kabupaten/Kota (UMKS).
31
c. Bagi perusahaan yang telah memberikan upah lebih tinggi dari pada upah
minimum yang berlaku, pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan
upah.
d. Bagi pengusaha yang melanggar Pasal 7, Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) dan
ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999 dikenakan
sanksi :
1) Pidana kurungan maksimal 3 (tiga) bulan atau denda maksimal Rp.
100.000,00.
2) Membayar upah pekerja sesuai dengan putusan hakim.
Namun dalam upaya peningkatan kesejahteraan tidak semata-mata hanya
melalui penetapan upah, tetapi juga dapat dilakukan melalui perbaikan fasilitas
kesejahteraan seperti; penyediaan fasilitas transportasi, makan, penyediaan perumahan
pekerja termasuk rumah sewa bagi pekerja/buruh, klinik kesehatan (Suparno 2010, hal
3).
Peraturan Bersama 4 (empat) Menteri Dalam Penetapan Upah Minimum
Peraturan Bersama 4 Menteri di putuskan berdasarkan aturan PER.16/MEN/X/2008,
49/2008, 922.1/M-IND/10/2008 dan 39/MDAG/PER/10/2008, yang diterbitkan sejak
tanggal 22 Oktober 2008, adapun nama Peraturan Bersama 4 (empat) Menteri tersebut
adalah dalam rangka Pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam
mengantisipasi perkembangan perekonomian global.
Setiap kebijakan pemerintah mengandung konsekuensi adanya pro kontra di
masyarakat, mengingat tarik ulur pihak-pihak yang memiliki kepentingan berbeda-beda.
Pekerja/buruh yang jumlahnya banyak dan perusahaan yang terbatas untuk menampung
pekerja/buruh, sehingga kedudukan mereka tidak lagi terjalin dalam hubungan
32
kemitraan yang satu sama lain saling membutuhkan, dengan munculnya Peraturan
Bersama 4 (empat) Menteri menuai protes terutama para pekerja/buruh, maraknya aksi
pekerja/buruh yang menolak Peraturan Bersama 4 (empat) menteri tersebut.
Penetapan Peraturan Bersama 4 Menteri, yakni Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Menakertrans), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Perindustrian
(Menperin), dan Menteri Perdagangan (Mendag). Pro kontra di masyarakat dengan
munculnya Peraturan Bersama Empat Menteri di antaranya (www.kompas.com 9
Agustus 2010) :
a. Penetapan upah minimun provinsi (UMP) tidak melebihi pertumbuhan
ekonomi nasional dinilai hanya untuk menekan upah minimum.
b. Pemerintah mengurangi tanggug jawabnya dalam memelihara
kesejahteraan masyarakat terutama para pekerja/buruh. Mengarahkan pembahasan
upah minimum melalui mekanisme bipartit.
c. Membatasi kenaikan upah pekerja/buruh, terutama di sektor padat karya,
dan membiarkan mekanisme penetapan upah ditentukan oleh kehendak pasar.
Kebutuhan Hidup Layak (KHL)
Kebutuhan Hidup Layak yang selanjutnya diingkat KHL adalah standar kebutuhan yang
harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup layak baik secara
fisik, non fisik dan sosial, untuk kebutuhan 1 (satu bulan).1 Nilai KHL diperoleh melalui
survai harga. Dalam melakukan survei harga dibentuk tim terdiri dari unsur tripartif
yang dibentuk oleh ketua dewan pengupahan Provinsi atau kabupaten kota.
Dewan Pengupahan Provinsi/Kabupaten/Kota adalah lembaga non struktural
yang bersifat tripartif, dibentuk oleh Gubernur/Bupati/Walikota dan bertugas
memberikan saran serta pertimbangan kepada Gubernur/Bupati/Walokota dalam
1 Peraturan Mentri Tenaga Kerja Dan Transnigrasi Republik Indonesia Nomor : PER-17/ MEN/VIII / 2005, Pasal 1.
29
33
penetapan upah minimum.2 Nilai KHL digunakan sebagai salah satu bahan
pertimbangan dalam penetapan upah minimum yang berlaku bagi buruh dengan masa
kerja kurang dari 1 (satu) tahun adapun upah bagi pekerja/buruh dengan masa kerja 1
(satu) tahun atau lebih dirundingkan secara bipartif antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/ serikat buruh dengan pengusaha di Perusahaan yang bersangkutan.
Dalam hal gubernur menetapkan upah minimimum provinsi, maka penetapan
upah minimum didasarkan pada nilai KHL Kabupaten/Kota terendah di Provinsi yang
bersangkutan dengan mempertimbangkan produktifitas, pertumbuhan ekonomi dan
usaha yang paling tidak mampu (marginal).3
Upah dalam Islam
Pengertian Upah
Upah berasal dari kata “al-ajru” yang berarti “al-iwadlu” (ganti), upah atau
imbalan (Sabiq 1987 hlm 5). Menurut Afzalurrahman (2000, hlm 295) upah adalah
harga tenaga kerja yang dibayarkan atas jasa-jasanya dalam produksi. Sedangkan
Hafiduddin dan Tanjung (2008 hal. 29) menyatakan bahwa Upah adalah imbalan yang
diterima seseorang atas bentuk pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (adil
dan layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).
Dalam Islam, upah merupakan salah satu unsur ijârah4 selain tiga unsur lainnya; âqid
(orang yang berakad), ma’qûd ‘alaih (barang yang menjadi objek akad), dan manfaat.
Syarat Sahnya Perjanjian Kerja
2 Ibid 3 Ibid pasal 4 butir ke 5
4 Beberapa ulama yaitu Syafi’i, Hanafi Maliki dan Hambali, tidak berselisih dalam definisi Ijarahyaitu, transaksi terhadap suatu manfaat dengan suatu imbalan dan sifatnya tertentu. Konsep upah muncul dalamkontrak ijârah, yaitu pemilikan jasa dari seseorang ajîr (orang yang dikontrak tenaganya) oleh musta’jir (orangyang mengontrak tenaga). Ijârah merupakan transaksi terhadap jasa tertentu yang disertai dengan kompensasi.Kompensasi atas imbalan tersebut berupa al-ujrah (upah). Mas’adi (2002, hlm 182). Dalam terminologi fiqhmua’malah, kompensasi dalam transaksi antara barang dengan uang disebut dengan tsaman (harga), sedangkantransaksi uang dengan tenaga kerja manusia disebut dengan ujrah (upah/wages). Anto (2003, hlm 224).
34
Adapun yang menjadi syarat sahnya perjanjian kerja menurut
Basyir (1993, hal. 192) yaitu :
1. Pekerjaan yang diperjanjikan termasuk jenis pekerjaan yang
mubah atau halal menurut ketentuan syara’, berguna perorangan
atau masyarakat . pekerjaan –pekerjaan yang haram menurut
ketentuan syara’, berguna bagi perorangan ataupun masyarakat.
Pekerjaan-pekerjaan yang haram menurut ketentuan syara’tidak
dapat menjadi obyek perjanjian kerja
2. Manfaat kerja yang diperjanjikan dapat diketahui dengan jelas.
Kejelasan manfaat pekerjaan ini dapat diketahui dengan cara
mengadakan pembatasan waktu atau jenis pekerjaan yang harus
dilakukan.
3. Upah sebagai imbalan pekerjan harus diketahui dengan jelas,
termasuk jumlahnya, ujudnya, dan juga waktu pembayarannya.
Sedangkan syarat-syarat mengenai subyek yang melakukan
perjanjian kerja sama dengan syarat subyek perjanjian pada
umumnya.
Hak-Hak Buruh Dalam Islam
Syariat Islam secara eksplisit memerintahkan agar keadilan menjadi tolak ukur dalam
intraksi sosial agar tercipta pola sinergi dan harmonisasi sehingga terwujud kehidupan
masyarakat yang makmur dan sejahtera penuh semangat solidaritas dan ukhwah
Islamiyah
Sesungguhnya, kekayaan diproduksi oleh tenaga kerja secara
bersama-sama dengan pemilik modal yang sepenuhnya diakui oleh
Islam. Tetapi, karena tenaga kerja berada pada posisi yang lemah,
35
maka keutungan mereka seakan-akan dirugukan oleh pemodal.
Karenanya Islam memberikan perhatian khusus untuk melindungi
hak-hak tenaga kerja. Rasulullah memperlakukan pelayannya seperti
anggota keluarganya sendiri dan menganjurkan pada para sahabat
beliau untuk memberlakukan pelayan mereka dengan baik. Beliau
berkata: “Budak dan pelayan harus harus diberi makanan dan
pakaian sebagaimana lazimnya dan tidak boleh dibebani dengan
pekerjaan yang tidak mampu dipikulnya” (Mu’atta). Beliau selalu
menganjurkan para sahabatnya untuk membayar upah yang pantas
pada buruh mereka. Anas yang bekerja pada Rasulullah mengatakan
bahwa Rasulullah tidak pernah memberikan upah yang rendah pada
siapapun (Bukhâri). Hadist ini meriwayatkan bahwa Rasulullah
memerintahkan,
أعطوا الأجير أجره قبل ان يجفّ عرقه
‘berikanlah buruh (pekerja) akan upahnya sebelum kering keringatnya ” (HR Bukhari dan Muslim).
Dan Rasulullah bersabda : من استأجر أجيرا فليسم له أجره
‘Barang siapa menyewa orang upahan, maka berikanlah upahnya ((HR Bukhari dan Muslim).
Kemudian lebih lanjut mengenai upah Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah
r.a. bahwa Nabi saw. Bersabda :
ا فَأَكَلَ ثَمَنُهُ، وَرَجُلٌ إِسْتَأْجَرََ »ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: رَجُلٌ اَعْطَى بِيْ ثُمَّ غَدَرَ، رَجُلٌ بَاعَ حُرَّ
«أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَىَ مِنْهُ وَلَمْ يُوْفِهِ أَجْرَهُ
“Tiga orang yang Aku musuhi pada hari kiamat nanti adalah orang yang telahmemberikan (baiat kepada khalifah) karena Aku, lalu berkhianat; orang yang menjual
36
(sebagai budak) orang yang merdeka, lalu dia memakan harga (hasil) penjualannya;serta orang yang mengontrak pekerja, kemudian pekerja tersebut menunaikanpekerjaannya, sedangkan orang itu tidak memberikan upahnya” (HR Ahmad, Bukhari,dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Rasulullah telah melarang memperkerjakan para buruh tanpa
membereskan terlebih dahulu masalah upahnya (Baihaqi). Rasulullah
sangatlah baik hati pada pelayannya, dan ketika salah seorang
pelayannya sakit, Rasulullah menjenguk ke rumahnya dan
menanyakan tentang kesehatannya. ’Umar, Khalifah kedua,
memandang hal itu sebagai salah satu kewajiban pejabat pemerintah
agar agar memelihara budak-budak (pelayan) serta mengunjungi
mereka jika mereka menderita sakit.
Dengan demikian, Islam berusaha keras dengan ajaran
moralnya membujuk para pengusaha agar membayar upah dengan
wajar pada para buruhnya dan meningkatkan fasilitas di dalam
pekerjaan mereka. Namun jika mereka tidak mengikuti perintah-
perintah tersebut, Menurut Islam Negara berhak untuk turut campur
dalam persoalan ini dan memberikan jaminan bahwa mereka akan
mendapatkan bagian hak mereka.jika para kapitalis membayar
mereka dengan upah yang sangat minim atau memberi pekerjaan
berat. Atau menyuruh mereka bekerja untuk waktu yang lebih lama
tanpa imbalan yang setimpal, atau jika mereka menyuruh mereka
bekerja dalam kondisi yang tidak sehat (lemah), maka Islam
mempunyai hak untuk turut campur demi melindungi hak-hak para
buruh (Afzalurrahman 2000, hal. 255).
Abû Mas’ud Ansari menyampaikan bahwa pada suatu hari ia
memukul budaknya, seketika itu ia mendengar teriakan dari arah
37
belakangnya, “Hai Abû Mas’ud ! Kamu harus tahu bahwa Allah
mempunyai kekuatan yang lebih kuat daripada kamu!. “ketiak ia
melihat kebelakang disitu terdapat Rasulullah . pada suatu waktu ia
berkata, “ Ya, Rasulullah, saya membebaskan budak ini untuk
mencari ridha Allah,”Rasulullah berkata,”jika kamu tidak
mengerjakannya, maka api neraka akan membakarmu” (Mu’atta).
‘Umar pernah pergi ke suatu daerah pinggiran kota Madinah,
ketika ia menemukan orang-orang yang sedang bekerja lebih berat
daripada yang dilakukannya, maka ia membantu meringankan
bebannya (Muatta). Umar memang sangat keras melindungi hak-hak
tenaga kerja. Umar sendiri dengan teliti menyelidiki seluruh peraturan
yang berhubungan dengan ketenagakerjaan dan memaksa orang lain
untuk mengikutinya. Ketika ia ke Yarusalem untuk menandatangani
kontrak perdamaian dengan orang-orang Kristen. Ia dengan budaknya
menunggang kuda secara bergiliran. ketika mereka memasuki
gerbang kota, giliran budaknya yang menunggangi kuda, dan ‘Umar
berjalan kaki. Suatu kali ‘Umar melihat lelaki tua meminta-minta di
jalanan, setelah mengadakan penyelidikan ia menetapkan
pembayaran uang untuk kaum miskin dan mengeluarkan perintah
bahwa semua orang yang miskin harus diberi biaya dari bendahara
(Negara). (Afzalurrahman 2000, hal. 252).
Dengan demikian Syariat Islam sebenarnya telah mempelopori dunia dengan
mewajibkan pemerintah, pengusaha, majikan untuk bersikap adil terhadap pekerja serta
menunaikan semua hak-hak mereka. Ketentuan syariat yang tidak sempit ini
memungkinkah manusia leluasa merancang berbagai peraturan, termasuk Komponen
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang menjadi barometer utama penetapan UMP.
38
Hal ini bertujuan supaya tidak ada pihak yang mengeruk keuntungan diatas
penderitaan pihak lain, dan agar satu golongan tidak mengeksploitasi golongan lain
demi mencari keuntungan, serta menutup peluang bagi pihak-pihak ketiga opurtunis
yang memanfaatkan situasi konflik kepentingan pengusaha-buruh yang
mengatasnamakan pembelaan hak dan kepentingan buruh yang identik golongan wong
cilik ini.
Islam memandang upah adalah hak syar’i bagi bagi seorang pekerja sesuai
dengan aqad awal yang ditetapkan pertama kali. Islam sangat memperhatikan hak buruh
dalam upah, sampai-sampai Allah swt akan memberi ancaman dengan permusuhan,
pertentangan, pertengkaran dengan orang yang memanfaatkan jasa buruh akan tetapi dia
tidak memenuhi hak buruh yang telah disyari’atkan yaitu upah.
Menurut Afalurraman (2000, hal. 253) hak-hak tenaga kerja sebagai berikut :
Pertama, para buruh harus memperoleh upah yang semestinya agar dapat
menikmati taraf hidup yang layak
Kedua, seorang buruh tidak tidak dapat diberi pekerjaan yang melampaui
kekuatan fisik yang dimilikinya, dan apabila suatu waktu ia dipercaya melakukan
pekerjaan yang berat, harus disediakan bantuan dalam bentuk tenaga kerja atau modal
yang lebih banyak, atau keduanya.
Ketiga, buruh juga harus memperoleh bantuan medis jika sakit, dan dibantu
membayar biaya perawatannya pada saat itu. Sumbangan dari tempat ia bekerja dan
modal pada si sakit sangat diperlukan sekali, dan pembayarannya disempurnakan oleh
bantuan pemerintah (mungkin diambil dari sumbangan zakat).
Keempat, ketentuan yang wajar harus dibuat untuk pembayaran pensiun yang
lanjut usia. Pengusaha dan pekerja dapat diminta untuk memberikan kontribusinya
sebagai dana bantuan.
39
Kelima, para pengusaha harus diberikan dorongan untuk menafkahlkan sedekah
mereka (amal yang dilakukan dengan sukarela) pada pekerja dan anak-anak.
Keenam, mereka harus memberi jaminan asuransi pada para pengangguran
(selama masih menganggur) dari dana zakat. Hal itu akan memperkuat kekuasaaan
mereka dan akan membantu menstabilasi tingkat upah dalam negeri pada tingkat yang
wajar.
Ketujuh, mereka harus membayar ganti rugi kecelakaan yang cukup selama
bekerja.
Kedelapan, barang-barang yang dihasilkan dipabriknya harus diberikan pada
mereka secara bebas atau dengan tarif yang lebih murah.
Kesembilan, para buruh harus diperlakukan dengan baik dan sopan, serta
memaafkan mereka jika berbuat kesalahan selama bekerja.
Kesepuluh, mereka harus disediakan akomadasi yang cukup sehingga kesehatan
dan efesiensinya terganggu.
Kemudian Al-mişrî (1986, hal. 57) dalam tulisannya dalam kitab A’dalatuttawji’
As-şarwah fil iIslâm mereduksi bahwa Islam telah menetapkan hak-hak pekerja dalam
hubungan industrial sebagai berikut :
1. Hak seorang pekerja yang bekerja dengan orang lain dengan upah yang tidak
kurang dari cukup dengan :
a. Adanya landasan batasan-batasan jam bekerja dan upah tambahan
b. Mengaikatkan bekerja dengan ibadah dan sepenuh hati
c. Menjamin masa depan si pekerja sampai tuanya dan ini tanggung jawab
baitul maal
2. Seorang pekerja memiliki hak musyarokah sebagaimana dalam akad
mudhorabah dan akad muzaro’ah
40
3. Menggunakan upah untuk kepemilikan barang, jika si pekerja telah
mendapatkan gaji yang lumayan
4. Harga pasar disesuikan dengan gaji pekerja
Teori Maslahah Mursalah dan ‘urf.
Maslahah diartikan oleh para ulama Islam dengan rumusan hampir bersamaan, di
antaranya al-Khawarizmi (w. 997 H.) menyebutkan, maslahah yaitu memelihara tujuan
hukum Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan diri manusia
(makhluq). Sedangkan ulama telah berkonsensus, bahwa tujuan hukum Islam adalah
untuk memelihara agama, akal, harta, jiwa dan keturunan atau kehormatan Tidak jauh
berbeda dengan al-Khawarizmi di atas, al-Ghazali merumuskan maslahah sebagai suatu
tindakan memelihara tujuan syara’ atau tujuan hukum Islam.
Sedangkan tujuan hukum Islam menurut al-Ghazali adalah memelihara lima hal
di atas. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara salah satu dari lima hal di
atas disebut maslahah (Keer 1968, hal. 279). Adapun maslahah mursalah yaitu yang
mutlak, menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh ialah: suatu kemaslahatan dimana
syar’i tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak
ada dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya. disebut mutlak
karena tidak terikat oleh dalil yang mengakuinya atau dalil yang membatalkannya.
Jumhur ulama berpendapat bahwasannya maslahah mursalah adalah hujjah syariyah
yang dijadikan dasar pembentukan hukum. (Khallâf 1994, hlm 116).
Dalam pandangan at-Tufi Bahasan lafaz maslahat berdasarkan wazan
maf'alatun dari kata salah. Artinya, bentuk sesuatu dibuat sedemikian rupa sesuai
dengan kegunaannya. Misalnya, pena dibuat sedemikian rupa agar dapat digunakan
untuk menulis. Pedang dibikin sedemikian rupa sehingga bisa dipakai untuk
memenggal. Sedangkan definisi maslahat adalah sarana yng menyebabkan adanya
41
maslahat dan manfaat. Misalnya, perdagangan adalah sarana untuk mencapai
keuntungan. Pengertian berdasarkan syari'at adalah sesuatu yang menjadi penyebab
untuk sampai kepada maksud syar'i, baik berupa ibadat maupun adat. Kemudian,
maslahat ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu perbuatan yang memang merupakan
kehendak syari', yakni ibadat dan apa yang dimaksudkan untuk kemanfaatan semua
umat manusia dan tatanan kehidupan, seperti adat istiadat (At tufi 1954, hal. 243).
At-Tufi menganggap bahwa maslahat hanya ada pada masalah-masalah yang
berkaitan dengan mu'amalat dan yang sejenis - bukan pada masalah-masalah yang
berhubungan dengan ibadat atau yang serupa. Sebab, masalah ibadat hanya hak Syari'.
Tidak mungkin seseorang mengetahui hakekat yang terkandung di dalam ibadat, baik
kualitas maupun kuantitas, waktu atau tempat, kecuali hanya berdasarkan petujuk resmi
Syari'. Kewajiban hamba hanyalah menjalankan apa saja yang telah diperintahkan oleh
Tuhannya. Sebab, seseorang pembantu tidak akan dikatakan sebagai seorang yang taat
jika tidak menjalankan perintah yang telah diucapkan oleh tuannya, atau mengerjakan
apa saja yang sudah menjadi tugasnya. Demikian halnya dalam masalah ibadat.
Karenanya, ketika para filosof telah mulai mempertuhankan akal, dan mulai menolak
syari'at, Allah swt. amat murka terhadap mereka. Mereka tersesat jauh dari kebenaran.
Bahkan mereka sangat menyesatkan. Berbeda halnya dengan kaum mukallaf, hak-hak
mereka di dalam memutuskan hukum adalah perpaduan antara siyasah dan syari'ah
yang sengaja oleh pencipta dicanangkan untuk maslahat umat manusia. Itulah yang
menjadi ukuran berpikir mereka.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah menurut at-Tufi bahwa maslahat-maslahat
yang tidak dapat diketahui adalah maslahat yang terkandung di dalam masalah ibadat.
Namun, mengenai maslahat yang bertalian dengan kehidupan sosial kaum mukallaf dan
hak-hak mereka, hal ini dapat diketahui oleh mereka melalui akal pikiran mereka.
Dengan kata lain, jika kami tidak melihat dalil syari'at yang tidak menyebutkan
42
maslahatnya, kami berpegang bahwa syari'at telah membolehkan kami untuk mencari
maslahat sendiri.
Menyangkut “teori maslahat” dalam kaitannnya dengan hubungan industrial.
Maslahat merupakan tujuan yang dikehendaki oleh al-Syâri‘ dalam hukum-hukum yang
ditetapkan-Nya melalui teks-teks suci Syariah (nusûs al-syarî‘ah) berupa al-Qur’an dan
Hadis. Tujuan tersebut mencakup 5 (lima ) hal pokok, yaitu untuk memelihara agama,
akal, harta, jiwa dan keturunan atau kehormatan Maslahat itu bertingkat-tingkat, yakni
darûriyyât, hâjiyyât dan tahsîniyyât. Sesuatu yang mampu menjamin eksistensi masing-
masing dari keenam hal pokok itu merupakan maslahat pada tingkat darûriyyât. Sesuatu
yang mampu memberi kemudahan dan dukungan bagi penjaminan eksistensi masing-
masing dari kelima hal pokok itu merupakan maslahat pada tingkat hâjiyyât. Sesuatu
yang mampu memberi keindahan, kesempurnaan, keoptimalan bagi penjaminan
eksistensi masing-masing dari keenam hal pokok itu merupakan maslahat pada tingkat
tahsîniyyât.
Intervensi penguasa terhadap ketentuan upah buruh/pekerja menurut Islam
termasuk dalam pembahasan fiqh siyasah. Seperti yang diketahui bahwa fiqh siyasah
adalah hukum Islam yang obyek bahasannya mengenai kekuasaan dan bagaimana
menjalankan kekuasaan tesebut. Apabila disederhanakan, fiqh siyasah meliputi Hukum
Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Internasional. Apabila dilihat dari
sisi hubungan, fiqih siyasah berbicara tentang hubungan antara rakyat dengan
pemimpinnya sebagai penguasa yang konkret di dalam sebuah Negara atau antarnegara
atau dalam kebijakan-kebijakan ekonominya baik nasional maupun internasional
(Jazuli 2006, hal. 147).
Arah dari konsep kebijakan-kebijakan intervensi pemerintah terhadap ketentuan upah
minimum berdasarkan kaidah :
تصرف الإمام علي الرعية منوط بالمصلحة
43
“kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada kemaslahatan”.
Maka dalam hal ini konsep kemaslahatan yang akan dijadikan sebagai landasan tehadap
pembuatan suatu kebijakan. dimana maslahat inilah yang nantinya akan membawa dan
mengantarkan kepada sebuah munculnya kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah.
Kriteria dan Batasan Maslahat
Kemaslahatan membawa manfaat bagi kehidupan manusia, sedangkan mafsadah
mengakibatkan kemudharatan bagi kehidupan manusia. Apa yang disebut dengan
maslahat perlu mendapat kriteria dan batasan-batasan tertentu sehingga keberadaan
maslahat tidak dijadikan sebagai satu “tempat lindung” untuk bisa melegalisasi
permasalahan-permaslahan yang sebenarnya tidak masuk dalam kategori maslahat.
Menurut jumhur ulama’, untuk kriteria maslahat apabila dilihat akan muncul sebagai
beikut (Jazuli. 2003, hal. 53).
1. kemaslahatan itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqashid al syariah, dalil-
dalil kulli, (general dari Al Qur’an dan As Sunnah), semangat ajaran, dan kaidah
kulliyah hukum Islam.
2. kemaslahatan itu harus meyakinkan, dalam arti harus berdasarkan penelitian
yang akurat, hinga tidak meragukan lagi.
3. kemaslahatan itu harus memberi kemanfaatan bagi sebagian besar masyarakat
Indonesia, bukan sebagian masyarakat kecil.
4. kemaslahatan itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan dalam
arti dapat dilaksanakan
Dalam musyawarah Nasional MUI yang ke VII tahun 2005, dalam keputusannya
No. 6/MUNAS/VII/MUI/10/2005 memberikan kriteria sebagai berikut :
44
1. kemaslahatan menurut hukum Islam adalah tercitanya tujuan syari’ah (maqâşid
al- syarî’ah), yang diwujudkan dalam bentuk terpeliharanya lima kebutuhan primer
(Al-dharŭriyât al-khams) yaitu: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.
2. kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari’at adalah kemslahatan yang tidak
betentangan dengan nash
3. yang berhak menentukan maslahat atau tidaknya sesuau menurut syari’ah adalah
lembaga yang mempunyai kompetensi di bidang syari’ah dan dilakukan melalui
ijtihad jam’i.
Adapun ‘urf menurut Imam Al-Ghazali yaitu keadaan yang tetap pada jiwa
manusia, dibenarklan oleh akal dan diterima pula oleh tabiat yang sehat. Sedangkan
‘urf menurut syara’ dalam kajian usul fiqh ialah suatu kebiasaan masyarakat yang
sangat dipatuhi dalam kehidupan mereka sehingga mereka merasa tentram. Kebiasaan
yang telah berlangsung lama itu dapat berupa ucapan dan perbuatan, baik yang bersifat
khusus maupun yang bersifat umum. (Khallâf 1994. hal.123).
Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan ‘adat kebiasaan”
namun ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar, ringkasnya ‘urf Adalah
sesuatu yang diterima oleh tabiat akal sehat. Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda
namun kalau kita lihat dengan jeli, sebenarnya keduanya adalah dua kalimat apabila
bergabung akan berbeda arti namun bila berpisah maka artinya sama.
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut
istilah para ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan ‘urf itu bisa dijadikan
sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash sar’i atau
lafadz sohih (tegas) yang bertentangan dengannya.
Karakteristik Ekonomi Islam
45
Dalam hubungan industrial dan ketenagakerjaan ekonomi Islam memiliki karakteristik
yang berbeda dengan ekonomi konvensional, yang diuraikan secara cukup rinci oleh
Yafie et al. (2003 hal. 29) sebagai berikut :
1. Harta Kepunyaan Allah Dan Manusia Khalifah Harta.
Karakteristik pertama ini terdiri dari dua bagian, yaitu : pertama, semua harta baik
benda maupun alat produksi adalah milik (kepunyaan) Allah: “kepunyaan Allah-lah
segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi”. (QS al-Bawarah : 284).
Ayat ini menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada dialam semesta adalah
kepunyaan Allah. Firman Allah QS Al-Maidah : 17:“kepunyaan Allahlah kerajaan
langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya; Dia menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Allah sebagai pemilik alam dijelaskan dalam firman Nya QS Ibrahim : 32 : “
Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi”. Namun di lain pihak, dalam Al-
Qur’an terdapat pula firman Allah yang menyebut manusia adalah pemilik harta,
seperti dalam firman Nya QS An-Nisa : 29 :“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil”.
Kesimpulan dari ayat tersebut :
a. Sebutan “harta kamu” (maksudnya adalah manusia), sebagaimana dalam QS An-
Nisa : 29) diatas, hanyalah ditinjau dari segi keberadaan harta itu di tangan
manusia dan adanya hak-hak manusia untuk mentasharruf-kan (memanfaatkan)
harta itu.
b. Adapun pemilik yang sesungguhnya adalah Allah swt.
Kedua, manusia adalah khalifah atas harta miliknya. Karakteristik ini
merupakan dasar terpenting dalam teori ekonomi dalam Islam, karena menjadi
pedoman asasi hubungan manusi dengan kekayaan di bumi. karakteristik ini
ditemukan dalam ekonomi marxisme, karena yang terakhir ini mengingkari wujud
46
tuhan. Ia juga tidak diakui dalam ekonomi kapitalisme. Karena para pendukung
sistem ekonomi yang terakhir ini dengan sengaja menganut pandangan bahwa
“agama terlepas dari kehidupan madani dan aktifitas ekonomi”.
2. Ekonomi Terikat Dengan Akhlak, Syari’ah (Hukum), Dan Moral
Allah swt telah menyampaikan, sebagaimana firman-Nya: pada hari ini telah Ku-
sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, aku
ridhoi Islam itu jadi agama bagimu (QS Al-Ma’idah : 3). “Kata Ku sempurnakan
agamamu” berindikasi tidak ada lagi ajaran Islam yang belum disampaikan Allah.
Ajaran-ajaran Islam mengandung berbagai segi kehidupan manusia yaitu : akidah,
syari’ah, dan akhlak. Bahkan, para ulama mutakhir membagi kandungan Islam lebih
terperinci lagi, diantaranya ekonomi.
Dalam Islam terdapat sebuah asas yang berbunyi “setiap perbuatan orang
Islam, baik ekonomi atau yang lainnya, dapat berubah dari perbuatan biasa
(dilakukan bukan tujuan melaksanakan perintah/bimbingan Allah) menjadi
perbuatan ibadah (dilaksanakan dengan tujuan melaksanakan perintah bimbingan
Allah) dan diberi pahala, jika dilakukan dengan niat melaksanakan bimbingan Allah
dan mengharapkan ridho-Nya”. Ini berbeda halnya dengan aktifitas ekonomi dalam
sistem positif baik kapitalisme maupun sosialisme. Disini tampak pentingnya
peranan niat dalam mengubah status suatu perbuatan, sesuai sabda nabi Saw.
“sesungguhnya amal perbuatan itu sesuai dengan niat”.
3. Keseimbangan Antara Keruhanian dan Kebendaan
47
Islam mewajibkan manusia membebaskan akalnya untuk belajar, mengenal,
mencipta, menemukan, memanfaatkan benda mati yang bertebaran di dunia dan
memanfaatkan kekayaan alam yang sangat luas ini.
4. Keadilan Dan Keseimbangan Dalam Melindungi Kepentingan Ekonomi Individu
Dan Masyarakat
Masyarakat Islam adalah masyarakat pemilik dan pekerja. Ada tiga sistem
kepemilikan, pengembangan, dan pengimfakan harta, yaitu :
a. Kepemilikan individu, dimana ia bebas mengembangkan dan menginfakkannya,
seperti dalam masyarakat kapitalis atau masyarakat pemilik modal. Akibatnya,
lahir kesempatan mengeksploitasi individu dan masyarakat
b. Kepemilikan Negara, dimana Negara membatasi pekerjaan dan upah, seperti
dalam masyarakat buruh. Akibatnya, hilang kemerdekaan individu, bahkan hak
miliknya. Dala hal ini, negaralah yang menjadi pemilik tunggal dalam
masyarakat.
c. Kepemilikan individu, tetapi memberikan kesempatan penyaluran dan
pengembangan harta dalam batas-batas tertentu, sesuai dengan tugas manusi
sebagai khalifah. Tujuan batasan-batasan ini untuk mencegah kezaliman melalui
harta.
Tampaknya Islam memberikan kemungkinan untuk mewujudkan sistem
yang ketiga ( c ) diatas, masyarakat Islam tidak memberikan kekuasaan dalam
masyarakat kepada kelompok berada (kapitalis) saja, karena Al-Qur’an dan Sunnah
tidak memberikan kekuasaan yang istimewa (khusus) kepada kelompok yang berada
saja. Buat memegang kekuasaan. Begitu juga al-Qur’an dan Sunnah tidak
memberikan kepada Negara hak monopoli harta kekayaan.
Kita lihat bagaimana Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya Nabi
Muhammad saw. Agar ia memberikan harta hasil rampasan perang kepada
48
masyarakat. Dengan alasan, agar harta kekayaan tidak berputar di tangan orang kaya
saja. Sebagaimana surat Al-Hasyr (59);7. perintah tersebut dapat dipahami pula,
bahwa Islam tidak memberikan kesempatan kepada Negara untuk memonopoli
kekayaan .dengan difungsikan setiap anggota masyarakat Islam sebagai Khalifah
dengan memanfaatkan harta, maka setiap pemilik harta terikat dengan ketentuan
Allah tentang harta. Ia tidak berhak menggunakan harta semaunya tanpa
mengindahkan petunjuk allah.
Ini merupakan titik pemisah antara masyarakat Islam dengan masyarakat
yang lain. Tugas manusia sebagai khalifah merupakan mandat dari allah, sehingga
setiap pemillik harta harus berhadapan dengan sejumlah pedoman atau prinsip yang
tidak boleh dilanggarnya. Sebagai contoh, pemilik harta harus mengikutsertakan
orang-orang yang sedang memerlukan harta dalam menukmati hartanya. Ia tidak
boleh mengeksploitasi keperluan seseorang atau suatu pihak kepada harta, sebagai
kesempatan untuk menginvestasikan harta. Karena itu, ia tidak boleh melakukan
riba, memakan harta orang lain secara batil, terutama harta orang-orang yang lemah.
Ia tidak boleh menggunakan harta kekayaannya dengan boros, baik untuk
kepentingannya sendiri maupun orang lain.
Dengan batasan-batasan tersebut, maka kepemilikan secara individu
seharusnya sebagai berikut :
a. Tidak akan menjadi alat untuk menganiaya orang lain dan campur
tangan dalam kekuasaan dan pengarahan politik masyarakat.
b. Tidak akan menyebabkan penimbunan harta atau kikir berinfaq, karena
orang yang mengingkari wajib zakat dipandang murtad.
c. Tidak akan terjadi pelanggaran terhadap kehormatan harta karena tidak
akan membuangnya atau menghentikan upaya pengembangannya.
49
d. Para buruh mempunyai hak mendapat upah yang baik dan perlindungan
sebagai manusia, seperti pemilik harta sendiri
Arti keseimbangan dalam sistem sosial Islam adalah tidak mengakui hak
mutlak dan kebabasan mutlak, tetapi mempunyai batasan-batasan tertentu, termasuk
dalam bidang hak milik. Hanya keadilanlah yang dapat melindungi keseimbangan
antara batasan-batasan yang telah ditetapkan dalam sistem Islam untuk kepemilikan
individu dan kepemilikan umum. Keadilan yang dituntut Islam diungkapkan
dengan tugas-tugas yang jelas seperti dalam batas-batas penggunaan harta oleh
miliknya sendiri. Dalam rangka ini, Islam mewajibkan pemilik harta agar
menginvestasikan hartanya pada jalan yang sah.
Apabila para pemilik harta tidak menjalankan tugasnya
sebagai khalifah atas kemauan sendiri, maka Islam memberikan
hak kepada pemerintah untuk mengambil langkah-langkah dan
tindakan yang sesuai. Dalam Islam terdapat sebuah asas:
“kebijakan kepala Negara tentang rakyat hendaklah dalam batas
kemaslahatan”. Penyelesaian problem dalam Islam, terarah
kepada melawan kezaliman dan membatasi tindakan individu,
demi terwujudnya keadilan dan keseimbangan.
5. Bimbingan Konsumsi
Al-Qur’an mengandung pengarahan tentang bagaimana
seharusnya manusia sebagai konsumen memanfaatkan
kekayaannya, firman Allah yang melarang berlaku boros dan kikir
dalam memanfaatkan kekayaannya QS. Al-Furqan : 67: “dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di
50
tengah-tengah antara yang demikian.”. Kekikiran dapat
menimbulkan akibat negatif dalam banyak hal diantaranya :
a. Dalam hubungan keluarga, karena tidak terpenuhinya hak
anggota keluarga menurut selayaknya.
b. Dalam hubungan masyarakat, karena munculnya kecemburuan
sosial.
c. Dalam perekonomian secara umum, karena mengahambat
peredaran modal.
Dari tinjauan agama semata, kekikiran dan ketamakan (sangat
cinta) kepada harta berarti kerugian bagi pemilik harta. Karena
tidak memanfaatkan kesempatan untuk meraih kemulian dan
penghargaan dari allah dan penghargaan dari masyarakat.
Padahal pemilik harta pasti mampu memanfaatkannya. Oleh
karena itu, Islam berupaya membunuh bakteri kekikiran, yaitu
kegemaran menimbun harta dengan mendorong distribusi pada
masyarakat.
6. Dampak lebih jauh dari sifat kikir itu adalah timbulnya pemborosan
yang dapat mengakibatkan lenyapnya modal yang berharga,
lemahnya iklim investasi, terjadinya penyaluran harta kekayaan
pada tempat yang tidak selayaknya atau malah tidak pada
tempatnya, dan pemborosan pada tingkat makro dapat
menyengsarakan rakyat banyak. Oleh karena itu, Al-Qur’an
melarang keras pemborosan. Larangan itu ditujukan kepada
pemerintah dan rakyat, meskipun pemborosan itu dilakukan
terhadap orang yang berhak menerima harta
51
7. Cara Pemenuhan Kebutuhan
Dalam diri orang Islam keinginan melakukan atau memperoleh
sesuatu, seperti melaksanakan ibdah haji, umrah, dan ziarah ke
masjid Nabawi. kebutuhan tersebut dapat memberikan
keuntungan ekonomi, dibandingkan dengan tour (perjalanan)
umum. Dalam setiap biaya yang dikeluarkan orang Islam dalam
tour ibadah tersebut, bagaimana pun kecil jumlahnya, terkandung
unsur ekonomi dan sosial di kalangan Islam. Sedangkan
pengeluaran turis-turis lain, pada umumnya, malah merusak
manusi dan ekonomi seperti pemborosan.
8. Petunjuk Investasi
Dalam buku scientific and practical encyclopedia of Islamic bank
dikemukakan dua contoh yang pantas menjadi karakteristik
ekonomi Islam, yaitu :
a. Larangan menimbun atau menyimpan harta.
Ekonomi Islam tidak mengenal penimbunan atau penyimpangan
harta begitu saja sehingga peredarannya terhalang. Karena itu,
secara asas Islam menjatuhkan sanksi keras atas pelakunya. Di
pihak lain Al-Qur’an meletakkan perbuatan berinfak sebagai
salah satu sifat penting yang berindikasi takwa dan iman. Al-
qur’an meletakkan informasi tentang hal ini pada bagian
terdepan, untuk mendorong kaum muslimin agar memilikinya
dan menjadikannya sebagai bagian dari
kehidupannya :”Diantara tanda orang-orang bertakwa adalah
menafkahkan sebagian rezeki (memberikan sebagian dari harta
yang telah direzekikan oleh tuhan).(QS Al-Baqarah :3). Nabi
52
Muhammad saw. Juga menekankan kewajiban berinfak tersebut
dalam rukun Islam. Hanya saja nabi Muhammad saw.
Menyebutnya dengan istilah zakat. Jelaslah dalam ayat dan
hadis diatas menunjukkan adanya keterkaitan pendapatan,
yaitu rezeki dengan produksi yaitu infak dan pemberian. Islam
menekankan agar infak (zakat) tersebut terus berkelanjutan,
karena itu wajib dilaksanakan setiap tahun.
b. Tentang kriteria atau standar dalam menilai
proyek investasi Al-Mawsuah Al-‘ilmiyyah wa Al-amaliyyah Al-
Islâmiyyah memandang ada lima kriteria yang sesuai dengan
Islam untuk dijadikan pedoman dengan menilai dengan proyek
investasi yaitu :
1) Proyek yang baik menurut Islam
2) Memberikan rezeki seluas mungkin kepada
anggota masyarakat
3) Memberantas kefakiran, memperbaiki
pendapatan, dan kekayaan
4) Memelihara dan menumbuhkembangkan
harta
5) Melindungi kepentinagn masyarakat.
9. Kelangkaan Sumber Daya Alam
Al-Mawsuah Al-‘ilmiyyah wa Al-amâliyyah Al-Islamiyyah menilai
karakteristik ini sebagai terpenting dalam ekonomi Islam. Ekonomi
Islam menghadapi problem kelangkaan dengan mendorong
semangat manusia dan mengarahkannya agar aktif dalam tugas-
53
tugas kekhalifahan, baik dalam membahas, meneliti, membangun,
maupun menemukan hal-hal baru.
Teori ekonomi barat selalu mendengung-dengingkan teori
kelangkaaan sumber alam (scarcity). Filsafat Islam, menurut
sumber rujukan diatas, memandang tunduk dan menyerah kepada
teori kelangkaan tersebut, tidak lain dari pelarian dari tanggung
jawab terhadap tugas-tugas kekhalifahan manusia. Menurutnya,
dunia memiliki kekayaan yang sangat banyak, baik bahan baku,
bahan makanan, dan harta, sehingga mampu memenuhi
kebutuhan manusia.
Problem ekonomi dalam pandangan Islam tidak terletak
pada kelangkaan sumber alam, tetapi secara langsung terletak
pada kelemahan dan kelalaian upaya dam amal usaha manusia.
Fenomena kelangkaan adalah akibat kemalasan, kelemahan, dan
kesibukan manusia dengan berbagai problem yang negatif , sepert
peperangan, kemewahan yang berlebihan, dan penciptaan
kebiasaan yang merugikan kebutuhan-kebutuhan yang seharusnya
dihindari.
Dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menggugah
perhatian manusia terhadap alam semesta yang berlimpah dan
mampu memenuhi kebutuhan manusia, sebagaimana firman Allah
swt QS Al-fushilat : 10 “Dia (Allah) menciptakan di bumi itu
gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan
Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya
dalam empat masa.
54
Begitu pula firman Allah dalam QS Al-Hijr :19:21 :” Kami
telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-
gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut
ukuran. dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-
keperluan hidup, dan (kami menciptakan pula) makhluk-makhluk
yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezki kepadanya. dan tidak
ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah
khazanahnya(sumbernya dari kami) dan Kami tidak
menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang semakna. Di
awal surat Al-nahl, terdapat 18 ayat yang menjelaskan nikmat
Allah kepada manusia, mulai dari pemberian tenaga jasmani, akal
pikiran, bahan baku, kekayaan hewan, tumbuh-tumbuhan,
kemudian kekayaan laut dan kekayaan darat, dan lain-lain. Ditutup
firman Allah: jika kamu menghitung nikmat allah, niscaya kamu tak
dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah maha
pengampun lagi maha penyayang.
10. Kerja
Islam memansang bahwa bekerja untuk mencari rezeki yang halal
merupakan bagian dari jihad fi sabilillah. pembangunan dan
kelangsungan hidup manusia di muka bumu tergantung pada
usahanya. Allah menjelaskan kepada Adam A.S.. bahwa kebutuhan
hidupnya dan istrinya akan terpenuhi selama di surga, tanpa
memerlukan pengerahan tenaganya, karena semua sudah
tersedia.
55
Firman Allah : Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalam
surga, dan tidak akan telanjang, dan kamu tidak akan kehausan
dan tidak pula akan ditimpa panas matahari didalamnya (QS Thâ
ha: 118;119). Tetapi Allah memperingatkan Adam as. Bahwa ia jika
turun kebumi, maka ia harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya (QS. Thâ-ha : 117).
11. Zakat
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pemilik harta kekayaan
sebenarnya adalah Allah. Allah mewajibkan muslim sebagian kecil
dari harta yang ada padanya sebagai zakat. Sebagai pembersih
jiwa dari sifat kikir, dengki, dan dendam.
Zakat adalah salah satu karakeristik ekonomi mengenai harta yang
tidak dimiliki dalam bentuk perekonomian diluar Islam, tidak
mengenal tuntutuan Allah kepada pemilik harta agar menyisihkan
sebagian harta terten
tu sesuai dengan syarat-syarat tertentu pula.
12. Larangan Riba
Islam menekankan pentingnya memfungsikan uang pada
bidangnya yang normal, yaitu transaksi dan alat penilaian barang.
Diantara faktor yang menyelewengkan uang dari bidangnya yang
normal adalah bunga (riba), disamping penyimpanannya.
56
Menurut ekonomi Islam, asas yang adil bagi pendapatan
adalah hasil kerja, sedangkan bunga tidak sejalan dengan asas
tersebut, karena itu, Islam menawarkakan Sistem bagi hasil.
Top Related