1
Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Kemajuan teknologi yang ada pada saat ini membuat banyak
penduduk Indonesia menggunakan media internet untuk mencari atau
memperoleh informasi. Berdasarkan data dari internetworldstats
pengguna internet di indonesia mencapai 30 juta jiwa, atau 12,3 %
dari populasi Indonesia di tahun 2010. Maka dari itu, banyak ISP yang
sudah ada di Indonesia, ada yang menggunakan jalur kabel
Asymmetric Digital Subscriber Line (ADSL) maupun menggunakan
koneksi nirkabel (Wireless).
Solusi lain agar dapat mengakses internet adalah dengan
menggunakan internet mobile broadband. Penggunaan dan
pemasangannya terbilang cukup mudah. Pengguna hanya perlu
membeli modem 3G untuk jaringan GSM atau modem EVDO untuk
jaringan CDMA. Kecepatan yang didapat dapat mencapai 7,2 Mbps.
Biaya langganan perbulan juga dibilang cukup terjangkau mulai dari
50 ribu sampai 250 ribu per bulan. Jangkauan mobile broadband ini
sudah dapat menjangkau perkotaan maupun pedesaan.
Maraknya internet membuat masyarakat tidak bisa lepas dari
internet. Itulah sebabnya di tempat – tempat seperti kampus atau
lingkungan kos sudah disediakan fasilitas hotspot. Hotspot sendiri
adalah lokasi dimana user dapat mengakses internet melalui mobile
computer (seperti laptop atau PDA) tanpa menggunakan koneksi
kabel. Jaringan hotspot menggunakan jaringan wireless yang
2
menggunakan radio frekuensi untuk melakukan komunikasi antara
perangkat komputer dengan access point. Pada umumnya peralatan
wifi hotspot menggunakan standardisasi IEEE 802.11b atau IEEE
802.11g dengan menggunakan beberapa tingkat keamanan seperti
WEP dan atau WPA.
Selain tempat – tempat umum atau pusat perbelanjaan, hotspot
juga bisa dibuat di daerah perumahan atau lokasi padat penduduk.
Itulah sebabnya penelitian ini menggunakan Perumahan Margosari 2.
Dengan luas sekitar 7000 m2 dan penduduk sekitar 500 jiwa, membuat
lokasi ini dapat dijadikan menjadi lokasi penelitian untuk membangun
jaringan hotspot. Pada penelitian ini hanya beberapa tempat saja yang
dijadikan tempat penelitian karena penelitian menggunakan Access
Point (AP) indoor. Lokasi yang dipilih adalah lokasi yang sebagian
besar dihuni anak kost. Penelitian ini juga tidak menggunakan ADSL
untuk koneksi ke internet tetapi menggunakan koneksi internet
nirkabel (wireless) dengan dua buah modem 3G.
Perancangan hotspot yang menggunakan topologi BSS (Basic
Service Set) menyebabkan client kurang efektif saat menggunakan
fasilitas hotspot saat berpindah-pindah lokasi. Masalah yang muncul
adalah user harus melakukan konfigurasi ulang jika berpindah dari
satu access point atau AP ke AP yang lain. Hal ini menyebabkan
mobilitas serta reliability kerja dari jaringan hotspot tersebut
berkurang. Untuk mengatasi hal tersebut maka pada penelitian ini
dirancang suatu sistem external wireless roaming untuk
menggabungkan koneksi AP dari dua jaringan mobile broadband
(Indosat IM3 dan XL), sehingga user (client) dapat berpindah dengan
mudah dari suatu AP ke AP yang lain, meskipun kedua AP terhubung
ke ISP yang berbeda
3
1.2 Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah adalah:
Bagaimana melakukan perancangan dan membangun jaringan
hotspot yang menggunakan sistem external wireless roaming
di perumahan Margosari 2.
Bagaimana menggunakan perangkat Mikrotik RB 751u-2hnd
sehingga dapat digabungkan dengan perangkat modem 3G.
Bagaimana mengembangkan perangkat access point TP link
TL-WR740N sehingga mendukung fitur DHCP forwarder.
Bagaimana menganalisis sistem jaringan hotspot yang
menggunakan sistem external wireless roaming dengan
menggunakan parameter throughput, reliability kinerja, dan
SNR dari jaringan tersebut.
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan yang ingin dicapai dengan adanya penelitian
pengembangan sistem external wireless roaming ini adalah:
1. Merancang, membangun, dan menganalisis sebuah jaringan
komputer menggunakan sistem external wireless roaming.
2. Mengintegrasikan access point dengan dua buah ISP pada
jaringan wireless yang menggunakan sistem external wireless
roaming untuk memperkuat sinyal dan menghindari terjadinya
segmentasi IP dan mengotomatisasi pengalokasian alamat IP
tanpa harus melakukan konfigurasi ulang.
3. Mengembangkan sistem seamless wireless roaming yang hanya
bisa menangani satu buah ISP saja serta mengatasi kelemahan-
kelemahan dari sistem tersebut.
4
4. Memperluas jangkauan dari jaringan hotspot baik dalam hal
jangkauan wilayah maupun jangkauan user.
Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian pengembangan
sistem external wireless roaming adalah :
1 Dapat meningkatkan kinerja dari jaringan hotspot yang
menggunakan topologi BSS baik dari sinyal maupun throughput
yang diberikan.
2 Dapat meningkatkan mobilitas dan reliability jaringan hotspot
dengan menggunakan sistem external wireless roaming.
1.4 Batasan Masalah
1 Perancangan dan konfigurasi, serta analisis sistem external
wireless roaming yang dilakukan pada jaringan hotspot
menggunakan parameter throughput, reliability, dan SNR.
2 Penelitian menggunakan Internet Service Provider (ISP) di tiap
Access Point (AP), sehingga menggunakan dua AP dan dua ISP.
3 Tidak menggunakan ADSL untuk koneksi ke internet tetapi
menggunakan koneksi nirkabel (wireless) dengan dua modem
3G.
4 Tidak membahas lebih lanjut tentang jaringan 3G dan WISP .
5 Keamanan hotspot hanya menggunakan security pada sisi access
point dengan menggunakan WPA personal.
6 Tidak membahas keamanan jaringan WLAN yang lain.
7 Tidak membahas teknologi WLAN lain.
8 Pengujian dilakukan pada sistem operasi Windows XP dan
Windows 7.
9 Perangkat yang digunakan adalah WLAN indoor (access point
TL-WR740N).
5
10 Perangkat lain yang digunakan adalah Router Board (RB) 751u-
2hnd (router yang support modem 3G) sebagai server DHCP.
1.5 Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi terdiri dari lima bab, dimana garis besar adalah
sebagai berikut :
Bab 1 Pendahuluan. Bab pertama ini membahas latar belakang
masalah dari dibuatnya external wireless roaming, perancangan dan
analisis external wireless roaming, rumusan masalah, tujuan
penelitian, batasan masalah atau bisa disebut dengan spesifikasi
penulisan dan sistematika penulisan.
Bab 2 Tinjauan Pustaka. Bab kedua membahas tentang teori-teori
yang mendukung untuk melaksanakan penelitian seperti penelitian-
penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya mengenai wireless
roaming. Dalam bab ini juga diuraikan teori mengenai dasar-dasar dan
konsep dasar WLAN serta external wireless roaming.
Bab 3 Metode dan Perancangan Sistem. Pada bab ini dijelaskan
dan diuraikan mengenai metode testbed dan perancangan sistem yang
juga disertai komponen-komponen kebutuhan dalam membangun
external wireless roaming.
Bab 4 Hasil dan Pembahasan. Bab ini menguraikan tentang hasil
konfigurasi dalam implementasi dari external wireless roaming,
pengujian sistem yang juga disertai analisis sistem. Hasil penelitian
dijabarkan di dalam bab ini.
Bab 5 Kesimpulan dan Saran. Bab terakhir ini berisi tentang
kesimpulan atau ringkasan dari penelitian external wireless roaming
yang dihasilkan. Serta akan memberikan saran yang bermanfaat yang
6
dapat dilakukan guna pembangunan external wireless roaming yang
lebih baik. .
7
Bab 2
Tinjauan Pustaka
2.1 Penelitian Sebelumnya
Dalam penelitian sebelumnya disebutkan bahwa sistem wireless
LAN memberi kemudahan bagi user untuk mengakses informasi real-
time dimanapun mereka berada. Faktor mobilitas yang diberikan juga
mendukung produktifitas dan kesempatan layanan yang tidak
mungkin dilakukan dengan jaringan kabel. Selain itu, sistem wireless
LAN dapat dikonfigurasikan dalam beberapa topologi, disesuaikan
dengan kebutuhan aplikasi khusus user dan instalasi. Konfigurasi
yang mudah diubah dan jarak dari jaringan peer – to - peer sesuai
dengan jumlah user yang sedikit untuk memenuhi infrastruktur
jaringan dari ribuan user sehingga memungkinkan untuk menjelajahi
area luas. Namun terdapat beberapa kekurangan dalam penggunaan
wireless local area network dalam RT/RW Net yaitu dapat terjadi
Interferensi/benturan dengan frekuensi yang digunakan oleh ISP lain
(Arianto, 2009).
Wireless Distribution System (WDS) memungkinkan
interkoneksi beberapa perangkat AP dalam satu area jaringan nirkabel
tanpa menggunakan bantuan kabel jaringan pada masing-masing AP,
setidaknya hanya menggunakan satu kabel jaringan sebagai jalur
backbone pada perangkat AP utama. Sedangkan pada AP yang lain
jalur backbone berasal dari AP utama yang didistribusikan secara
nirkabel. Kekurangan dari WDS adalah pada penurunan maksimum
8
throughput efektif dari perangkat AP karena jalur transmisi nirkabel
terbagi menjadi dua yaitu, untuk akses klien dan untuk link antar AP.
Dengan dibangunnya wireless distribution system pada perangkat
access 802.11g menggunakan openWRT, maka masing-masing klien
akan mendapatkan alokasi kanal yang relatif seimbang antara satu
dengan yang lainnya (Putra, 2011) sedangkan load balance adalah
teknik untuk mendistribusikan beban trafik pada dua atau lebih jalur
koneksi secara seimbang, agar trafik dapat berjalan optimal,
memaksimalkan throughput, memperkecil waktu tanggap dan
menghindari overload pada salah satu jalur koneksi
(Dewobroto,2010).
Wireless mesh network merupakan salah satu jenis wireless
networking yang menggunakan node-node berulang dan terdistribusi
untuk menyediakan reliability dan juga jangkauan yang lebih baik
pada jaringan wireless. Sejumlah node yang berukuran lebih kecil,
bernama repeater, terhubung pada node-node besar atau router
wireless untuk menyediakan jangkauan melalui area yang lebih besar
(Ian, 2004). Bonding adalah teknologi yang memungkinkan
penggabungan beberapa ethernet menjadi sebuah link virtual tunggal,
sehingga mendapatkan kecepatan data yang lebih tinggi dan juga
mendukung fasilitas failover (Watts, 2006).
Dengan penerapan sistem seamless wireles roaming, sistem
jaringan hotspot memiliki reliability yang lebih baik dibandingkan
dengan jaringan hotspot tanpa seamless wireles roaming. Dengan
menggunakan seamless wireles roaming, klien yang sedang
melakukan download tidak terputus serta tidak perlu autentifikasi
ulang apabila klien tersebut melakukan perpindahan antar access
9
point, tetapi sistem seamless wireles roaming hanya dapat
menggunakan satu buah ISP saja (Apriyadi, 2012).
Untuk melengkapi penelitian sebelumnya, maka dalam
penelitian ini diterapkan sistem external wireless roaming yang dapat
menghilangkan interferensi ketika menggunakan lebih dari satu ISP
pada jaringan hotspot. Selain itu juga dapat memperluas coverage
area dan mengatasi kehilangan koneksi saat salah satu access point
mati serta overlaping antar access point pada home network ketika
menuju foreign network. Perbedaan penelitian ini dengan WDS,
wireless mess network , load balance, dan bonding adalah penelitian
ini menggunakan satu router untuk satu koneksi internet sehingga
diharapkan hasil yang didapat lebih baik dan dapat lebih mudah dalam
konfigurasi.
2.2 Wireless LAN
Jaringan Lokal Nirkabel atau wireless local area network
(disingkat Wireless LAN atau WLAN) adalah jaringan komputer
dimana media transimisnya menggunakan udara. Berbeda dengan
jaringan LAN konvensional yang menggunakan kabel sebagai media
transmisi sinyalnya. Spesifikasi 802.11 adalah standar komunikasi
untuk WLAN yang disahkan oleh Institute of Electrical and
Electronics Engineers (IEEE) pada tahun 1997. Versi 802.11 ini
menyediakan kecepatan transfer data 1 Mbps dan 2 Mbps. Versi ini
juga menyediakan dasar-dasar metode persinyalan dan layanan
lainnya. Seperti semua standar 802 IEEE, standar 802.11 berfokus
pada 2 level model Open System Interconnection (OSI) yang paling
bawah, yaitu physical layer dan link layer (Ergen, 2009).
10
Gambar 2.1 Contoh Sederhana Jaringan WLAN (Pullis, 2007)
Gambar 2.1 menunjukkan contoh singkat penerapan jaringan
WLAN. Terlihat untuk pengaksesan data tidak lagi menggunakan
media kabel tetapi sudah menggunakan media radio. Teknologi yang
dipakai dalam adalah spread spectrum. Spread spectrum dalam
telekomunikasi adalah salah satu teknik modulasi dimana sinyal
ditransimisikan dalam bandwidth yang jauh lebih lebar dari frekuensi
sinyal awal informasi. Saat ini teknologi spread spectrum banyak
diapliksikan khususnya pada WLAN dan mobile communication
technology karena menyediakan bandwidth yang lebar dan sinyalnya
lebih kebal terhadap noise / derau (Pasaribu, 2006).
2.3 Topologi Jaringan Wireless
Terlepas dari tipe PHY (lapisan fisik) yang dipilih, IEEE 802.11
mendukung tiga (3) topologi dasar untuk WLAN - Independent Basic
Service Set (IBSS), Basic Service Set (BSS), dan Extended Service Set
(ESS).
11
a. Independent Basic Service Set (IBSS)
Konfigurasi IBSS juga dikenal sebagai konfigurasi independen
atau jaringan ad-hoc. Secara logika, konfigurasi IBSS mirip jaringan
office peer-to-peer dimana tidak ada satu node yang berfungsi sebagai
server. Dalam WLAN IBSS sejumlah node wireless berkomunikasi
secara langsung satu dengan lainnya secara ad-hoc, peer-to-peer. Jadi
IBSS terdiri dari beberapa mobile station (MS) yang berkomunikasi
secara langsung satu sama lain tanpa menggunakan access point atau
koneksi ke jaringan kabel.
Gambar 2.2 Topologi Jaringan IBSS ( Purbo, 2001)
Hal ini berguna untuk mempercepat dan mempermudah dalam
menyiapkan jaringan nirkabel di mana infrastruktur nirkabel tidak ada
atau tidak diperlukan untuk layanan, seperti kamar hotel, pusat
konvensi, atau bandara, atau di mana akses ke jaringan kabel dilarang
(seperti untuk konsultan di sebuah situs klien). Secara umum,
implementasi IBSS mencakup wilayah terbatas dan tidak terhubung ke
jaringan yang lebih besar.
b. Basic Service Set (BSS)
BSS terdiri dari setidaknya satu access point yang terhubung ke
infrastruktur jaringan kabel dan satu set end station nirkabel.
12
Konfigurasi ini disebut Basic Service Set (BSS). Dengan demikian,
konfigurasi BSS mengandalkan sebuah Access point yang bertindak
sebagai server logis untuk sebuah sel tunggal atau saluran WLAN.
Komunikasi antara node A dan node B benar-benar mengalir dari
node A ke AP dan kemudian dari AP ke node B.
c. Extended Service Set (ESS)
Sebuah Extended Service Set (ESS) terdiri dari serangkaian BSS
yang saling overlaps (masing-masing terdapat AP) yang terhubung
bersama membentuk suatu Distribution System (DS). Meskipun DS
bisa dibentuk pada semua jenis jaringan khususnya ethernet Local
Area Network (LAN). Mobile node dapat melakukan roaming antara
AP sehingga dapat mencakup kawasan yang cukup luas.
Gambar 2.3 Jaringan ESS yang Terdiri dari Beberapa Jaringan
BSS (Purbo, 2001)
Sebagian besar perusahaan yang sudah memakai WLAN tetap
memerlukan akses ke jaringan kabel LAN untuk layanan seperti file
server, printer, link internet, maka beroperasi pada topologi BSS /
ESS ( Purbo, 2001).
13
2.4 External Wireless roaming
Wireless roaming adalah keadaan dimana seorang klien dapat
berpindah dari satu AP ke AP yang lain dan masih dalam subnet yang
sama tanpa harus melakukan konfigurasi ulang. Mobile station (MS)
menemukan AP terbaik kemudian memutuskan kapan untuk
berpindah ke AP yang lain dan melakukan asosiasi dan otentikasi
apapun yang diperlukan sesuai keamanan dan kebijakan yang
berlaku. Semua proses tersebut membutuhkan waktu dalam pemilihan
AP terbaik maupun konfigurasi IP address. Wireless roaming dapat
membantu klien untuk mendapatkan alamat IP yang baru tanpa
mempengaruhi koneksi. Pemindaian dan pengambilan keputusan
adalah bagian dari proses roaming yang memungkinkan klien untuk
menemukan AP baru pada saluran yang cocok ketika pengguna
berpindah tempat. Ketika ini terjadi, klien harus mengasosiasikan
dengan AP baru (McKeag, 2004).
Gambar 2.4 Wireless Roaming (Siddiqui, 2011)
Pada Gambar 2.4 terlihat proses perpindahan dari satu AP ke
AP yang lain untuk mengambil service dari AP tersebut. Dalam
Jaringan wireless, roaming antara dua jaringan terdiri dari internal
14
roaming dan external roaming. Internal roaming terjadi jika mobile
station berpindah ke jaringan lain melalui satu AP ke AP yang lain
tetapi masih dalam satu home network. Sedangkan external roaming
terjadi jika mobile station sudah berpindah antar ISP jaringan yang
digunakan (Siddiqui, 2011).
Gambar 2.5 External Wireless Roaming (Geier, 2008)
Pada Gambar 2.5 terlihat bagaimana cara kerja dari external
wireless roaming. Mobile station bergerak dari home network menuju
foreign network tanpa harus melakukan konfigurasi ulang. External
wireless roaming terjadi ketika MS (Mobile Station) atau klien
berpindah ke jaringan WLAN yang menggunakan Wireless Internet
Service Provider (WISP) lain. Pengguna dapat secara independen
berpindah dari home network ke foreign network jika layanan terbuka
untuk pengguna umum. Jika tidak, harus ada otentikasi khusus dan
sistem penagihan untuk layanan mobile di foreign network (Geier,
2008).
2.5 Hotspot
Hotspot adalah suatu koneksi jaringan wireless yang tersedia
dan siap pakai, di mana pengguna dengan perangkat WLAN yang
15
compatible, dapat terhubung ke internet, atau private intranet,
mengirim dan menerima e-mail dan men-download file tanpa harus
menggunakan kabel ethernet. Hotspot, atau yang lebih dikenal sebagai
Wi-Fi hotspot tersusun atas perangkat atau komponen WLAN,
ditambah web server, dan ISP, bila terhubung ke internet. Wi-Fi
hotspot banyak dijumpai pada tempat-tempat umum seperti pada kafe,
bandara, lobi hotel, dan tempat-tempat lainnya (Minoli, 2003).
2.5.1 Proses Mengakses Wi-Fi Hotspot
Beberapa proses yang terjadi sebelum stasiun dapat mengakses
jaringan Wi-Fi, antara lain:
Authentication, adalah proses untuk membuktikan identitas klien
sebelum berasosiasi dengan AP.
De-authentication, adalah proses penolakan persetujuan yang
telah dimiliki oleh stasiun.
Association, proses ini memperbolehkan pembentukan wireless
link antara stasiun dan AP dalam sebuah jaringan infrastruktur.
Disassociation, proses pemutusan link antara stasiun wireless
dengan AP dalam jaringan infrastruktur.
Re-association, proses dimana stasiun wireless bergerak dari satu
BSS ke BSS yang lain. Proses ini dapat disebut juga dengan
roaming.
Privacy, proses ini berfungsi untuk melindungi informasi yang
dikirim agar tidak didengarkan secara sembunyi-sembunyi oleh
stasiun lainnya yang berada dalam jangkauan AP.
Data transfer, adalah proses mentransmisikan frame data.
16
Distribution, proses ini dihasilkan oleh Distribution System (DS)
dan digunakan dalam suatu kondisi khusus yaitu bila terjadi
proses transmisi antara AP satu dengan AP yang lain.
Integration, proses yang dihasilkan oleh portal, dimana pada
dasarnya portal didesain untuk menghasilkan logical integration
antara wired LAN dan Wi-Fi.
Power management, terdiri atas active mode, dimana stasiun
wireless diberikan power (tenaga) untuk mentransmisikan dan
menerima frame data, dan power save mode, dimana stasiun tidak
dapat mentransmisikan atau menerima frame data bila power
yang dipakai kurang (Robby, 2008).
2.6 Mobile Broadband
Istilah broadband mengacu pada koneksi internet yang
memungkinkan dukungan untuk data, suara, dan informasi video pada
kecepatan tinggi, biasanya diberikan oleh konektivitas berkecepatan
tinggi seperti DSL atau layanan kabel dan nirkabel atau wireless yang
disebut wireless broadband dan mobile broadband. Mobile broadband
termasuk layanan dari penyedia layanan telepon seluler seperti
Verizon, Sprint, dan AT & T Mobility, yang memungkinkan versi
yang lebih mobile dari akses internet. User dapat memakai PC card,
laptop card, atau modem USB untuk menghubungkan PC atau laptop
ke internet via tower ponsel. Koneksi dengan mobile broadband stabil
di hampir semua daerah yang juga menerima koneksi ponsel secara
kuat. Koneksi ini memakan biaya lebih untuk kenyamanan mobilitas
serta memiliki keterbatasan kecepatan dan hanya menjangkau
lingkungan perkotaan (Ergen, 2009).
17
2.7 Firmware DD-WRT
Firmware juga bisa disebut sebagai sistem operasi, karena
firmware merupakan jembatan agar hardware bisa menjalankan
suatu software. Akan tetapi firmware ini berbeda dengan sistem
operasi yang tertanam dalam komputer seperti Windows, Linux yang
memerlukan media penyimpanan besar. Jadi firmware bisa dikatakan
sebagai suatu software atau piranti perangkat lunak yang tertanam
didalam flash memory (Flash ROM) seperti contoh di motherboard
adalah BIOS (Basic Input Output System) (Purbo, 2007).
DD WRT merupakan sebuah firmware alternatif yang populer
bagi perangkat keras access point. Firmware ini memasukkan
beberapa fitur tambahan seperti fitur pengaturan daya pancar,
tambahan berbagai captive portal, VPN, WDS, dukungan QoS, dan
lebih banyak lagi. Firmware ini memakai konfigurasi berbasis web
yang tidak terenkrip atau via HTTPS, dan juga menyediakan akses
SSH dan Telnet (Asadoorian, 2007).
18
Bab3
Metode dan Perancangan Sistem
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
testbed. Testbed adalah suatu metode yang digunakan untuk
melakukan eksperimen dan pengembangan suatu penelitian. Testbed
menyediakan penerapan eksperimen dan pengembangan suatu
penelitian berdasarkan teori sains dan teknologi baru secara tepat dan
transparan. Berdasarkan bab-bab sebelumnya, dapat dibahas
perancangan external wireless roaming pada jaringan hotspot yang
memanfaatkan fitur dhcp forwarder pada firmware DD-WRT. Dalam
perencanaan sistem ini dibagi dalam beberapa tahapan pembangunan,
tahapan pembangunan ini merupakan urutan dari kegiatan
pembangunan testbed. Pada Gambar 3.1 memperlihatkan diagram alir
dari tahapan pembangun metode testbed. Tahapan-tahapan tersebut
meliputi menentukan topologi jaringan, menentukan spesifikasi alat
yang digunakan, instalasi software, menentukan lokasi testbed, dan
konfigurasi jaringan external wireless roaming.
19
Mulai
Menentukan Topologi
Jaringan
Menentukan Spesifikasi Alat
yang Digunakan
Menentukan Lokasi Testbed
Instalasi Software
Konfigurasi Jaringan
External Wireless Roaming
Selesai
Gambar 3.1 Diagram Alir Tahapan Pembangunan Testbed
3.1 Menentukan Topologi Jaringan
Topologi jaringan yang dibangun disesuaikan dengan konsep external
wireless roaming dengan arsitektur tipe Extended Service Set (ESS).
20
Gambar 3.2 Topologi Jaringan yang Dibangun
Gambar 3.2 memperlihatkan topologi jaringan yang dibangun.
Terlihat penelitian menggunakan dua buah ISP melalui mobile
broadband untuk menerapkan external wireless roaming.
3.2 Menentukan Spesifikasi Perangkat yang Digunakan
AP yang dibutuhkan untuk external wireless roaming harus
menyediakan fungsi DHCP forwarder untuk meneruskan IP address
ketika terjadi roaming antar AP. Perangkat yang digunakan meliputi
AP, router, DHCP server, MS, dan modem 3G
3.2.1 Perangkat Access Point
Untuk membangun hotspot yang menggunakan topologi ESS
sehingga menerapkan external wireless roaming maka digunakan dua
buah access point yang menjalankan fungsi DHCP forwarder. Access
point yang digunakan adalah TP-Link model TL-WR740N, yang
memang dikhususkan untuk keperluan modifikasi dengan platform
opensource berbasis Linux dan sejenisnya, karena firmware bawaan
21
dari pabrik milik TP-Link mempunyai keterbatasan dalam hal
memodifikasi aplikasi firmware tersebut. Access point ini telah
dilengkapi dengan perlengkapan yang dibutuhkan seperti unit power
supply dan kabel LAN ethernet standar. Spesifikasi dari access point
TP-Link TL-WR740N adalah sebagai berikut:
1. 4 Interface 10/100Mbps LAN Ports
2. 1 Interface 10/100Mbps WAN Port
3. Wireless Standards IEEE 802.11n, IEEE 802.11g, IEEE 802.11b
4. 5dBi Fixed Omni Directional
5. Wireless Security 64/128/152-bit WEP / WPA / WPA2,WPA-
PSK / WPA2-PSK
3.2.2 Perangkat DHCP Server
Perangkat DHCP server yang digunakan dalam testbed ini adalah
RB 751u-2hnd. Penggunaan router ini diharapkan dapat lebih
memaksimalkan penggunaan sebagai DHCP server selain bentuknya
yang ringkas juga mempunyai performa yang baik. Untuk lebih
memudahkan dalam pengetesan, maka versi Operating System (OS)
dari masing – masing router dibedakan. Router yang terkoneksi
dengan ISP IM3 menggunakan versi 5.6 sedangkan yang terkoneksi
dengan ISP XL menggunakan versi 5.14.
Spesifikasi dari RB 751u-2hnd adalah sebagai berikut:
1. CPU AR7241 400MHz
2. Main Storage/NAND sebesar 64MB
3. Memory RAM 32MB
4. LAN Ports sejumlah 5 buah
5. RouterOS License Level4
22
3.2.3 Perangkat Mobile Station
Perangkat mobile station yang ideal untuk digunakan dalam
testbed ini adalah notebook/laptop. Penggunaan laptop sebagai mobile
station adalah agar dapat memperlihatkan kuat sinyal dari masing -
masing AP serta perpindahan ketika terjadi roaming. Selain itu dengan
menggunakan laptop maka bandwidth yang didapatkan dapat terlihat
dengan jelas. Pada percobaan yang dilakukan menggunakan dua buah
Mobile Station (MS) yang mempunyai OS yang berbeda yaitu
Windows XP dan Windows 7.
Spesifikasi minimal yang harus dimiliki oleh perangkat mobile station
adalah sebagai berikut:
1 OS Windows XP,
2 Processor Pentium III,
3 Memory 256 Mb,
4 LAN card (port koneksi ethernet),
5 WLAN card .
Laptop yang digunakan harus dilengkapi dengan kartu jaringan
(LAN card) agar dapat dihubungkan dengan AP untuk masuk ke
dalam firmware- nya, sedangkan wireless LAN card dibutuhkan agar
konsep user dapat terhubung dengan AP dapat terpenuhi.
3.2.4 Perangkat Mobile Broadband
Perangkat mobile broadband yang digunakan dalam penelitian
adalah modem 3G. Penggunaan modem 3G dimaksudkan agar
penelitian ini tidak perlu menggunakan koneksi ADSL untuk dapat
terhubung ke internet. Selain itu jangkauan dari modem 3G lebih luas
asal masih terjangkau dalam BTS telepon seluler yang sudah support
23
3G. Modem 3G yang digunakan menggunakan ISP yang berbeda yaitu
menggunakan ISP IM3 dan XL.
Spesifikasi dari perangkat mobile broadband yang digunakan adalah
sebagai berikut:
1. Memiliki interface ke PC USB 2.0 High Speed Data Transfer
2. Support 3G UMTS dengan Tri Band UMTS/HSDPA : 850, 1900,
2100 MHz
3. Support 3.5G HSDPA dengan Tri Band UMTS/HSDPA : 850,
1900, 2100 MHz
4. Support 3.75G HSUPA dengan Single-Band WCDMA/HSDPA :
2100 MHz
5. HSDPA Downlink Speed Up to 3.6 Mpbs
6. HSUPA/WCDMA Downlink Speed up to 7.2 Mbps
7. Memiliki Antena Internal
8. Compability Supported OS : Windows® Vista, XP, 2000, dan
Mac OS X
3.3 Instalasi Software
Instalasi software dilakukan pada perangkat AP dan MS.
Instalasi AP menggunakan third party firmware DD-WRT, sedangkan
instalasi pada MS menggunakan software Wireshark, dan BW
monitor. Instalasi software diperlukan agar konsep external wireless
roaming yang dibangun dapat tercapai.
3.3.1 Instalasi DD-WRT pada Access Point
Proses instalasi firmware DD-WRT pada access point
dilakukan melalui dua tahapan yaitu langkah pertama harus
melakukan upgrade dengan menggunakan firmware DD-WRT versi
24
factory-to-ddwrt.bin terlebih dahulu. Setelah proses
ugrade firmware tersebut berhasil, barulah dilakukan upgrade
firmware DD-WRT menggunakan versi tl-wr740n-
webflash.bin. Langkah- langkah upgrade firmware sebagai
berikut :
Gambar 3.3 Tampilan Sebelum Instalasi
Gambar 3.3 menunjukkan tampilan firmware standar dari TL-
WR740N sebelum dilakukan instalasi DD-WRT. Untuk mengakses
firmware bawaan dari AP dapat menggunakan web browser dengan
mengakses 192.168.0.1.
25
Gambar 3.4 Tahapan Instalasi Firmware
Gambar 3.4 menjelaskan cara menginstal firmware TL-
WR740N menjadi DD-WRT. Untuk melakukan upgrade firmware
terdapat pada menu system tools, firmware kemudian upgrade
dilakukan dengan wired LAN.
Gambar 3.5 Tahapan Awal Instalasi Firmware
26
Gambar 3.5 menunjukkan tahapan awal ketika melakukan
instalasi DD-WRT pada AP. Langkah pertama adalah menginstal
firmware factory-to-ddwrt.bin. Setelah melakukan instalasi
firmware pertama, tunggu beberapa saat sampai access point
melakukan restart. Setelah melakukan restart, access point dapat
diakses kembali melalui web browser dengan mengakses 192.168.1.1
karena firmware sudah berubah sehingga IP lokal yang digunakan
juga berubah.
Gambar 3.6 Tahapan Kedua Instalasi Firmware
Setelah melakukan instalasi factory-to-ddwrt.bin
maka tampilan dari firmware menjadi seperti Gambar 3.6. Langkah
berikutnya adalah memasukkan username dan password baru untuk
AP.
27
Gambar 3.7 Proses Instalasi Firmware
Setelah memasukkan username dan password baru untuk
access point maka tahap selanjutnya adalah menginstal tl-wr740n-
webflash.bin. Instalasi firmware terdapat pada menu
administration, kemudian firmware upgrade seperti pada Gambar 3.7.
Instalasi membutuhkan waktu beberapa saat.
Gambar 3.8 Tampilan Firmware DD-WRT
28
Setelah berhasil melakukan instalasi tl-wr740n-webflash.bin
maka firmware DD-WRT terlihat pada Gambar 3.8. Tampilan awal
berisi MAC address dari masing – masing access point, IP address,
dan informasi yang lain.
3.3.2 Instalasi Wireshark
Wireshark digunakan untuk melakukan monitoring dan testing
jaringan hotspot yang sudah dibuat. Aplikasi dan informasi mengenai
Wireshark dapat di download di www.wireshark.org. Testing ini
digunakan untuk memastikan bahwa jaringan home network sudah
berganti ke foreign network, yang ditandai dengan bergantinya DNS
yang didapat dari ISP, sedangkan monitoring hanya digunakan untuk
mengetahui traffic jaringan yang sedang berjalan.
Gambar 3.9 Tampilan dari Wireshark
29
Gambar 3.9 merupakan tampilan awal dari Wireshark.
Terdapat beberapa fitur yang dapat digunakan untuk melakukan
monitoring dan testing dari jaringan hotspot yang sudah dibuat.
Pengujian dan analisis dilakukan terhadap sistem yang sudah
dibangun apakah dapat berjalan sesuai dengan keinginan.
3.3.3 Instalasi BW Monitor
Bandwidth Monitor digunakan untuk mengetahui bandwidth
yang didapat dari ISP. Informasi dan aplikasi mengenai Bandwidth
Monitor dapat di download melalui www.bwmonitor.com. Selain itu,
Bandwidth Monitor juga digunakan untuk melakukan pengetesan
terhadap jaringan hotspot yang menggunakan sistem roaming. Ketika
user atau mobile station berpindah menjauhi access point dari home
network maka bandwidth yang didapatkan mulai menurun. Ketika
user mendekati access point dari foreign network maka bandwidth
mengalami peningkatan sesuai bandwidth yang didapat dari foreign
network. Konfigurasi bandwidth monitor hanya dilakukan pada
adapter yang digunakan.
Selain untuk mengukur bandwidth yang didapat dari ISP,
bandwidth monitor juga dapat menghitung lama waktu dari delay
perpindahan dengan memanfaatkan stopwatch pada Bandwidth
Monitor.
30
Gambar 3.11 Tampilan Bandwidth Monitor
Pada Gambar 3.11 terlihat bandwidth yang sedang didapat baik
download maupun upload. Pada Bandwidth Monitor juga terlihat
bandwidth maksimal yang didapat serta rata – rata dari bandwidth dan
dapat diukur dengan kbps atau KB/s.
Gambar 3.12 Tampilan Stopwatch
Gambar 3.12 menunjukkan tampilan dari stopwatch yang merupakan
fitur tambahan dari aplikasi Bandwidth Monitor sehingga dapat
31
terlihat lama waktu yang digunakan, maximum rate, minimum rate
dan average rate dari bandwidth yang didapat.
Aplikasi lain yang digunakan adalah aplikasi bawaan dari
Windows yaitu Command Prompt. Command Prompt digunakan
untuk melakukan ping dan trace route ke suatu website. Ping
digunakan untuk memeriksa konektivitas jaringan berbasis teknologi
Transmission Control Protocol/Internet Protocol (TCP/IP) dengan
mengirimkan packet ke sebuah DNS atau alamat IP dan mendapatkan
respon berupa waktu dalam ms. Semakin cepat waktu dari ping, maka
akan semakin baik konektivitas dari jaringan. Sedangkan trace route
digunakan untuk melakukan testing perpindahan dari home network
menuju foreign network. Hal ini diketahui dari berubahnya hop ketika
menuju suatu website karena tiap ISP akan memiliki jumlah hop yang
berbeda.
3.4 Penentuan Lokasi Testbed
Dalam rangka membangun testbed yang sesuai dengan
kondisi external roaming, lokasi penempatan antara satu AP dengan
AP yang lain merupakan faktor yang menentukan. Oleh karena itu
dalam penentuan lokasi dan penempatan perangkat yang digunakan
didasarkan atas beberapa pertimbangan yang dinilai dapat
menghasilkan kondisi sesuai dengan apa yang diinginkan,
pertimbangan tersebut meliputi:
1. Pertimbangan Teknis.
Pertimbangan teknis meliputi penentuan lokasi dan penempatan
perangkat adalah ketersediaan ruang yang cukup untuk memenuhi
bentuk dari topologi jaringan testbed yang akan dibangun,
ketersediaan sumber listrik (karena perangkat yang digunakan
32
memerlukan sumber listrik untuk penggunaannya), dan lokasi tersebut
mudah dijangkau untuk keperluan pengetesan dan konfigurasi.
2. Pertimbangan Non Teknis.
Pertimbangan non teknis mengacu pada pertimbangan keamanan
baik yang berasal dari faktor manusia ataupun faktor alam. Faktor
yang berasal dari manusia seperti keamanan penempatan perangkat
dari hilir mudik manusia, dan pengawasan perangkat apabila telah
terpasang. Sedangkan faktor dari alam meliputi perlindungan terhadap
cuaca, seperti hujan dan gangguan petir.
Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut maka lokasi yang
dinilai cocok sebagai lokasi dalam membangunan jaringan testbed ini
adalah beberapa rumah di perumahan Margosari 2 dengan penempatan
di titik-titik yang sekiranya cocok untuk penelitian . Dalam penelitian
ini AP dan mobile station ditempatkan pada beberapa posisi yang
berbeda dengan jarak tertentu, agar didapatkan fungsi external
wireless roaming. Lokasi penempatan dari perangkat-perangkat pada
beberapa rumah di perumahan Margosari 2 dapat dilihat pada Gambar
3.13.
33
Gambar 3.13 Denah Lokasi Penempatan
Pada Gambar 3.13 terlihat peletakan beberapa access point dan
perangkat laptop yang akan digunakan untuk penelitian sehingga
dapat tercapai konsep external wireless roaming.
3.5 Konfigurasi Jaringan
Setelah melakukan proses instalasi firmware DD-WRT di
access point, tahap berikutnya adalah mengkonfigurasi jaringan agar
dapat beroperasi dengan baik dan dapat memenuhi syarat tercapainya
jaringan hotspot yang menggunakan external wireless roaming.
Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut ini:
3.5.1 Konfigurasi Mikrotik Router OS
Konfigurasi Mikrotik OS bertujuan untuk membuat server
DHCP dan membuat router agar dapat beroperasi dengan modem 3G.
Langkah-langkah konfigurasinya adalah sebagai berikut.
34
Kode Perintah 3.1 Mendeteksi Jenis Modem 3G
[admin@mikrotik] > system serial-terminal usb1 Channel=0
[Ctrl-A is the prefix key]
Pada potongan Kode Perintah 3.1, USB1 berarti modem berada pada
USB1 dan pada channel 0. Untuk pemilihan channel harus dicoba mulai
dari channel 0,1,2, dan seterusnya sampai muncul tulisan [Ctrl-A is the
prefix key].
Kode Perintah 3.2 Informasi Jenis Modem 3G
ATI
Manufacturer: huawei
Model: E220
Revision: 11.117.03.00.00
IMEI: 358193014692702
+GCAP: +CGSM,+DS,+ES
OK
Setelah mengetikkan Kode Perintah 3.1 langkah selanjutnya
adalah mengetikkan ATI dan jika muncul informasi seperti Kode
Perintah 3.2 maka modem bisa digunakan pada RB 751U-2HND.
Modem yang dapat digunakan dapat dilihat di mikrotik.co.id. Setelah
itu, langkah selanjutnya adalah membuat profile PPP baru.
Kode Perintah 3.3 Membuat Profile PPP Baru
[admin@mikrotik] > /ppp profile add change-tcp-mss=default comment=""
name=profile2 only-one=default \
\... /ppp profile add change-tcp-mss=default comment="" name=profile2
only-one=default \
\... use-compression=default use-encryption=no use-vj-compression=default
35
Kode Perintah 3.3 memperlihatkan konfigurasi profile ppp yang
berisi dari nama PPP yaitu profile2, compression dari PPP default dari
mikrotik, dan yang lainnya. Setelah itu konfigurasi selanjutnya adalah
membuat PPP client seperti pada potongan Kode Perintah 3.4.
Kode Perintah 3.4 Membuat PPP-client
[admin@mikrotik] > / interface ppp-client
[admin@mikrotik] /interface ppp-client> add add-default-route=yes
allow=pap,chap comment="" data-Channel=0 apn=indosatgprs dial-
command=ATDT dial-on-deman=no disabled=no info-Channel=0 max-
mru=1500 max-mtu=1500 modem-
init="at+cgdcont=1,\"IP\",\"ISP.CINGULAR\"" mrru=disabled name=ppp-
out2 null-modem=no password="indosatgprs phone=*99# port=usb1
profile=profile2 use-peer-dns=yes User="indosatgprs"
Pada potongan Kode Perintah 3.4 terlihat dari konfigurasi PPP
client yang berisi dari konfigurasi modem 3G yang digunakan seperti
channel modem, APN, username dan password yang disesuaikan
dengan ISP yang digunakan. Pada penelitian ini menggunakan ISP
IM3 dan XL maka apn, username, dan password diisi sesuai
konfigurasi dari masing – masing ISP. Selanjutnya dilakukan
konfigurasi firewall NAT agar client yang terkoneksi dengan router
juga dapat mengakses internet seperti Kode Perintah 3.5.
Kode Perintah 3.5 Membuat Firewall NAT
[admin@mikrotik] > /ip firewall nat add chain=srcnat src-
Address=192.168.88.0/24 out-interface=ppp-out2 action=masquerade
36
Kode Perintah 3.5 memperlihatkan konfigurasi firewall pada router
yang digunakan agar semua IP dari network 192.168.88.0/24 dapat
mengakses internet lewat ppp-out2 dengan action masquerade.
Kode Perintah 3.6 Konfigurasi IP Router
[admin@mikrotik] > ip address add address=192.168.88.1
netmask=255.255.255.0 interface=bridge-local
Kode Perintah 3.6 merupakan konfigurasi untuk memberikan
IP address lokal di router. IP lokal yang digunakan adalah
192.168.88.1 dan netmask 255.255.255.0 yang berarti masih masuk ke
IP class C. Interface yang digunakan adalah bridge-local karena
router mempunyai dua interface yaitu WLAN dan LAN .
Kode Perintah 3.7 Membuat IP Pool
[admin@mikrotik] > ip pool add name=dhcp_pool1 ranges
192.168.88.10-192.168.88.250 next-pool=none
Setelah memberikan IP lokal pada router, langkah selanjutnya
adalah membuat IP pool. IP pool digunakan untuk menampung
sejumlah IP yang dapat digunakan oleh client yang terhubung ke
router. IP pool yang dibuat diberi nama dhcp_pool1 dengan range IP
yang dapat digunakan antara 192.168.88.10 sampai 192.168.88.250
sehingga terdapat 241 IP yang dapat digunakan oleh client seperti
yang terlihat pada Kode Perintah 3.7.
Kode Perintah 3.8 Membuat DHCP Server
[admin@mikrotik] > ip dhcp-server add interface=bridge-local
address-pool=dhcp_pool1 authoritative=after-2sec-delay bootp-
support=static disabled=no lease-time=01:00:00 name=dhcpd2
37
Langkah berikutnya adalah membuat DHCP server dengan
konfigurasi seperti pada Kode Perintah 3.8. Konfigurasi yang dibuat
adalah interface dari DHCP server menggunakan bridge-local , IP
pool menggunakan konfigurasi yang sudah dibuat pada Kode Perintah
3.7, lease time yang berarti waktu kadaluarsa untuk setiap IP yaitu
satu jam, dan lain sebagainya.
Kode Perintah 3.9 Konfigurasi DHCP Server Network
[admin@mikrotik] > /ip dhcp-Server network add
address=192.168.88.0/24 comment="" dns-Server=192.168.88.1,
192.168.88.1 gateway=192.168.88.1 netmask=24
Setelah berhasil membuat DHCP server, maka langkah
berikutnya adalah melakukan konfigurasi dari DHCP server yang
sudah dibuat pada Kode Perintah 3.8. Konfigurasi yang digunakan
dapat dilihat pada Kode Perintah 3.9. IP yang digunakan pada DHCP
server adalah 192.168.88.1, DNS server dari DHCP server adalah
192.168.88.1, dan gateway dari DHCP server adalah 192.168.88.1.
Kode Perintah 3.10 Konfigurasi DNS
[admin@mikrotik] > ip dns static add name=router
address=192.168.88.1 ttl=1d
[admin@mikrotik] > ip dns set allow-remote-requests=yes
Kode Perintah 3.10 digunakan untuk konfigurasi DNS server
pada router. Perintah ip dns set allow-remote-requests=yes digunakan
agar user yang terhubung dengan router dapat ikut menggunakan
DNS pada router. Untuk router yang terkoneksi dengan AP (IM3)
akan dibedakan subnetnya sehingga akan memakai IP dengan network
ID 192.168.8.0/24.
38
3.5.2 Konfigurasi DD-WRT
Pada tahap konfigurasi ini merupakan tahapan yang paling
penting. Hal ini bertujuan untuk membuat sebuah jaringan hotspot
yang menggunakan sistem wireless roaming. Beberapa konfigurasi
harus diterapkan pada setiap access point agar didapatkan sistem
seperti yang diharapkan. Dalam pembuatan wireless roaming, access
point yang digunakan tidaklah harus mempunyai merk dan vendor
yang sama. Namun dalam penelitian ini access point yang digunakan
dibuat sama untuk mempermudah proses konfigurasi. Langkah-
langkah konfigurasinya adalah sebagai berikut:
:
Gambar 3.14 Konfigurasi IP Address
Gambar 3.14 menjelaskan konfigurasi awal yang dilakukan
pada access point pertama. Langkah pertama yang harus dilakukan
adalah memberi nama pada access point, dalam hal ini access point
dibiarkan dengan nama default yaitu DD-WRT dengan IP address
192.168.1.1 dan subnet mask 255.255.255.0. Kemudian WAN
connection type di-disable, begitu juga konfigurasi yang harus
dilakukan terhadap access point kedua.
39
. Gambar 3.15 Disable DHCP Server
Pada Gambar 3.15 menunjukkan konfigurasi DHCP type untuk
setiap access point. Access point tidak akan berfungsi menjadi DHCP
server tetapi menjadi DHCP forwarder yang hanya berfungsi
meneruskan IP DHCP dari router yang berfungsi sebagai DHCP
server.
Gambar 3.16 Konfigurasi SSID Untuk Access point Pertama
Gambar 3.16 menunjukkan konfigurasi mulai dari pemberian nama
SSID dan wireless channel yang digunakan oleh Access Point (AP)
pertama. SSID yang digunakan adalah HOTSPOT-MARGOSARI.
40
Gambar 3.17 Konfigurasi SSID Untuk Access point Kedua
Pada Gambar 3.17 menjelaskan konfigurasi SSID pada AP
kedua. Tidak jauh berbeda dengan AP yang pertama, pemberian nama
SSID haruslah sama di semua AP karena DHCP forwarder bekerja
berdasarkan SSID sedangkan channel harus berbeda agar tidak terjadi
interferensi antar frekuensi.
Gambar 3.18 Konfigurasi Security untuk Setiap Access point
Langkah selanjutnya adalah konfigurasi security yang akan
digunakan di setiap AP. Security akan diletakkan di sisi AP karena
jika security diletakkan di sisi router atau captive portal maka DHCP
forwarder tidak dapat bekerja dengan baik, karena captive portal akan
41
melakukan blok terhadap semua jaringan yang masuk. Hal ini akan
menyebabkan koneksi terputus karena sudah berbeda router. Berbeda
dengan internal roaming yang masih berada dalam satu router atau
server, DHCP server akan bekerja baik jika menggunakan captive
portal. Untuk WPA shared key yang digunakan adalah m4rg0s4r1
seperti yang terlihat pada Gambar 3.18. .
42
Bab 4
Hasil dan Pembahasan
4.1 Hasil Konfigurasi Software
Pada bab ini ditampilkan beberapa hasil konfigurasi dari software
yang dipakai seperti hasil konfigurasi Mikrotik pada router dan hasil
konfigurasi DD-WRT pada access point.
4.1.1 Hasil Konfigurasi Router
Dalam penelitian ini, router digunakan sebagai gateway dan
DHCP server. Setelah melalui beberapa tahap konfigurasi yang
diterapkan pada router maka didapat hasil konfigurasi seperti yang
terlihat pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Log Pada Mikrotik
Gambar 4.1 adalah tampilan log pada Mikrotik yang
memperlihatkan ketika ppp-out2 melakukan initializing sampai
connected. Setelah terkoneksi, maka dapat diuji dengan melakukan
ping ke suatu website. Jika sudah mendapat reply, maka router sudah
terhubung dengan internet seperti yang terlihat pada Gambar 4.2.
43
Gambar 4.2 Ping Melalui Mikrotik
Hasil konfigurasi berikutnya adalah hasil konfigurasi yang didapat
setelah melakukan konfigurasi firewall NAT yang bertujuan agar user
yang terkoneksi dengan router juga dapat mengakses internet.
Gambar 4.3 Hasil Konfigurasi Firewall
Terlihat pada Gambar 4.3 sudah ada packets yang melewati firewall
yang dibuat. Dengan demikian konfigurasi pada router sudah dapat
digunakan.
44
Untuk lebih memastikan hasil konfigurasi yang didapat,
pengujian dapat dilakukan pada MS yang sudah terkoneksi dengan
router. Pengujian ini menggunakan MS yang terkoneksi melalui
jaringan kabel. Jika ping sudah mendapatkan reply, maka jaringan
hotspot sudah dapat digunakan seperti pada Gambar 4.4.
Gambar 4.4 Ping Melalui Windows
4.1.2 Hasil Konfigurasi DD-WRT pada Access Point
Setelah menyelesaikan semua proses konfigurasi pada tiap – tiap
access point, hasil yang didapatkan dari konfigurasi terlihat pada
Gambar 4.5 dan 4.6.
45
Gambar 4.5 Hasil Konfigurasi AP Pertama (IM3)
Gambar 4.5 menunjukkan access point pertama atau access point
yang terkoneksi dengan ISP IM3 mempunyai SSID HOTSPOT-
MARGOSARI menggunakan channel 1 (2412 MHz).
Gambar 4.6 Hasil Konfigurasi AP Kedua (XL)
Gambar 4.6 menunjukkan access point kedua atau access
point yang terhubung dengan ISP XL juga mempunyai SSID yang
sama yaitu HOTSPOT-MARGOSARI menggunakan channel 10
(2457 MHz). Syarat dari sistem wireless roaming adalah SSID yang
digunakan haruslah sama karena wireless roaming bekerja dengan
46
menggunakan SSID. Dalam pembuatan suatu jaringan hotspot yang
baik adalah menghindari terjadinya interferensi sinyal, maka dalam
pembuatan sistem wireless roaming ini membedakan dalam
pemilihan channel frekuensi.
4.2 Pengujian Sistem
Pengujian sistem dilakukan dengan melakukan pengujian dan
analisis terhadap koneksi, throughput serta reliability kinerja dari
sistem yang sudah dibangun. AP pertama terkoneksi router dengan
OS v5.6 yang memakai ISP IM3, sedangkan AP kedua terkoneksi
router dengan OS v5.14 yang memakai ISP XL. Hasil dari pengujian
serta analisis sistem dijelaskan pada sub bab berikutnya.
4.2.1 Pengujian Koneksi
Pengujian yang dilakukan dengan cara mencoba koneksi
semua AP dengan menggunakan satu Mobile Station (MS) terlebih
dahulu.
Gambar 4.7 Tampilan SSID
Gambar 4.7 menunjukkan tampilan SSID yang terdeteksi oleh
MS. Terlihat SSID HOTSPOT-MARGOSARI seperti SSID yang
47
dibuat pada konfigurasi sebelumnya. Selanjutnya user harus
memasukkan network key dari AP seperti pada Gambar 4.8.
Gambar 4.8 Memasukkan Network Key
Pada Gambar 4.8 menunjukkan tampilan dari MS ketika
memasukkan network key. Network key yang digunakan adalah
m4rg0s4r1. Setelah memasukkan network key, MS mendapat IP dari
router seperti pada Gambar 4.9.
Gambar 4.9 Detail IP ketika Terkoneksi dengan AP (IM3)
48
Gambar 4.9 menunjukkan MS yang mempunyai MAC address
00-16-6F-BB-A9-D8 sudah berhasil mendapatkan IP 192.168.88.245
dari router. Untuk default gateway dan DNS sesuai dengan
konfigurasi yang dibuat sebelumnya pada router. Langkah yang
dilakukan selanjutnya adalah mencoba koneksi mulai dari ping di
command prompt, pengujian download, uji coba menggunakan
winbox loader dan bandwidth monitor yang terlihat pada Gambar
4.10.
Gambar 4.10 Pengujian Pada AP IM3
Pada Gambar 4.10 terlihat hasil uji koneksi pada AP IM3
seperti pada winbox loader hanya terlihat router dengan OS v5.6.
Bandwidth yang didapatkan sekitar 365,5 kbps seperti yang didapat
dari ISP IM3.
49
Gambar 4.11 Uji Koneksi Dengan Traceroute (IM3)
Pada Gambar 4.11 terlihat hasil uji koneksi dengan
menggunakan fasilitas bawaan Windows yaitu trace route. Terlihat
jika menggunakan AP IM3 hop yang dihasilkan pada google.com
sebanyak 18 hop. Jumlah hop yang dihasilkan akan berbeda antara
ISP yang satu dengan ISP yang lain. MS juga terlihat pada daftar
active clients pada AP (IM3) seperti pada Gambar 4.12.
Gambar 4.12 Daftar Clients pada AP (IM3)
50
Pada Gambar 4.12 terlihat MS dengan MAC address 00-16-6F-BB-
A9-D8 sudah terdaftar di AP (IM3) yang mempunyai channel 1.
Pengujian berikutnya menggunakan AP XL dan melakukan uji
coba dengan beberapa langkah. Untuk langkah – langkah yang
dilakukan sama seperti pada Gambar 4.7 dan 4.8. Yang membedakan
hanya pada pengujian throughput, informasi pada winbox loader,
trace route pada command prompt serta daftar clients di AP (XL)
seperti pada Gambar 4.13, 4.14 ,dan 4.15.
Gambar 4.13 Pengujian pada AP (XL)
Pada Gambar 4.13 terlihat hasil uji koneksi pada AP (XL)
seperti pada winbox loader hanya terlihat router dengan OS v5.14.
Bandwidth yang didapatkan sama dengan yang didapat dari ISP XL
yaitu 372,2 kbps. Pengujian berikutnya adalah menggunakan trace
route seperti pada Gambar 4.14.
51
Gambar 4.14 Uji Koneksi dengan Traceroute (XL)
Pada Gambar 4.14 terlihat hasil uji coba koneksi menggunakan
trace route. Hasil yang didapatkan jika trace route pada google.com
menghasilkan jumlah hop sebanyak 12. Berbeda dengan trace route
yang menggunakan AP (IM3) yang berjumlah lebih banyak yaitu 18
hop.
Gambar 4.15 Daftar Clients pada AP XL
Pada Gambar 4.15 terlihat MS dengan MAC address 00-16-
6F-BB-A9-D8 sudah terdaftar di AP (XL) yang mempunyai channel
10.
52
Pengujian berikutnya dilakukan dalam dua tahap. Pengujian
pertama menguji throughput yang dihasilkan ketika MS berada dalam
area roaming sebelum wireless roaming diaktifkan. Setelah itu
menguji throughput yang dihasilkan jika wireless roaming sudah
diaktifkan. MS bergerak dari AP (IM3) menuju AP (XL) sehingga
mulai terlihat pengurangan sinyal sehingga menyebabkan throughput
yang dihasilkan berkurang dan ping time menjadi bertambah besar.
Pengujian dilakukan dengan ping time, trace route, download
menggunakan Internet Download Manager (IDM), dan bandwidth
monitor.
4.2.2 Pengujian Bandwidth, Throughput, dan Ping Time Sebelum
Menggunakan Wireless Roaming
Pengujian dilakukan dengan cara melakukan tes berupa
download, ping time, dan trace route pada MS yang terkoneksi
dengan AP (IM3) tetapi masih dalam jangkauan sinyal AP (IM3).
Setelah itu, MS dibuat menjauhi AP (IM3) sampai diluar jangkauan
AP (IM3). Hasil dari pengujian sebelum menggunakan wireless
roaming dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil Pengujian Sebelum Menggunakan Wireless Roaming
Pengujian
Dalam
jangkauan AP
(IM3)
Jauh Dari
Jangkauan
AP (IM3)
Diluar Jangkauan
AP (IM3)
Bandwidth 365,5 kbps 175,9 kbps Koneksi Terputus
Throughput 44,4 KB/s 23,7 KB/s Koneksi Terputus
Ping time 160 ms 450 ms Koneksi Terputus
53
Dapat dilihat pada Tabel 4.1 ping time yang dihasilkan jika
masih dalam jangkauan AP (IM3) adalah 160m yang berarti waktu
yang dibutuhkan untuk mendapatkan reply dari google.com sebesar
160ms. Selain itu throughput yang dihasilkan jika masih dalam
jangkauan AP (IM3) adalah 44,4 KB/s.
Pengujian yang dilakukan berikutnya adalah menjauhkan MS
dari AP (IM3). Ping time menjadi bertambah besar dan throughput
yang didapatkan menurun seperti yang terlihat pada Tabel 4.1. Ping
time yang tadinya 160ms menjadi 450ms, sedangkan bandwidth yang
didapat melalui download yang tadinya 365,5 kbps turun menjadi 175
kbps. Ini berarti terjadi penurunan kualitas dari jaringan AP (IM3).
Pengujian selanjutnya adalah menjauhkan MS dari AP (IM3)
sampai berada diluar jangkauan AP (IM3) sehingga throughput yang
dihasilkan menurun dan akhirnya terputus sehingga menyebabkan
koneksi user yang sedang download atau browsing ikut terputus
seperti yang terlihat pada Tabel 4.1.
4.2.3 Pengujian Bandwidth, Throughput, dan Ping Time Setelah
Menggunakan External Wireless Roaming
Pengujian berikutnya tidak berbeda jauh dari pengujian
sebelum menggunakan wireless roaming. Beberapa hasil pengujian
sama seperti Tabel 4.1, tetapi ketika MS sudah berada diluar
jangkauan AP (IM3), MS mengalami putus koneksi ke ISP tetapi tetap
terhubung dengan router. MS secara otomatis pindah ke AP (XL) dan
mengambil service dari AP (XL) yang berarti koneksi internet sudah
berpindah ke ISP XL. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4.2.
54
Dalam perpindahan tersebut terdapat delay waktu. Jika
menggunakan ping time , terdapat beberapa kali Request Time Out
(RTO) sedangkan jika menggunakan download koneksi mengalami
drop beberapa detik sebelum kembali berjalan normal, tergantung dari
server download.
Tabel 4.2 Hasil Pengujian Setelah Menggunakan Wireless Roaming
Pengujian
Dalam
jangkauan
AP (IM3)
Jauh Dari
Jangkauan
AP (IM3)
Area
Roaming
Dalam
jangkauan
AP (XL)
Bandwidth 372,5 kbps 145,6 kbps 0-382 kbps 393,1 kbps
Ping time 160 ms 460 ms RTO-200 ms 200 ms
Throughput 46,5 KB/s 18,3 KB/s 0-47,7 KB/s 53,7 KB/s
Pada Tabel 4.2 terlihat beberapa hasil ketika melakukan
pengujian dengan parameter bandwidth, ping time, dan throughput.
Bandwidth yang tadinya 372,5 kbps turun menjadi 145,6 kbps ketika
MS sudah berada jauh dari jangkauan dan jika sudah berada diluar
jangkauan AP (IM3), MS masuk ke area roaming sehingga koneksi
terputus ke ISP tetapi tetap terhubung ke router.
Pada pengujian yang dilakukan terdapat delay waktu yang
dibutuhkan ketika MS berpindah dari AP (IM3) ke AP (XL) seperti
informasi pada Tabel 4.2 terdapat hasil 0-382 kbps. Informasi tersebut
mempunyai arti bandwidth yang didapat turun ke 0 kbps selama
beberapa detik sebelum kembali berjalan normal. Delay waktu yang
didapatkan dari hasil pengujian dapat dilihat pada tabel 4.3.
55
Tabel 4.3 Hasil Pengujian Delay Setelah Menggunakan Wireless Roaming
Pengujian Delay waktu RTO DHU
Throughput 43 detik n/a n/a
Ping time n/a 6 kali 4 kali
Selain pengujian menggunakan bandwidth, pengujian juga
menggunakan ping time untuk mengetahui delay perpindahan antar
AP. Ketika MS berada jauh dari jangkauan AP (IM3) dan sudah mulai
mendeteksi adanya AP lain (yang dalam pengujian ini adalah AP
(XL)), MS secara otomatis melakukan perpindahan koneksi ke AP
(XL) yang menyebabkan beberapa kali RTO (Request Time Out).
Jumlah RTO yang didapat dalam beberapa kali pengujian mempunyai
hasil yang relatif sama yaitu sekitar enam kali RTO dan empat kali
DHU (Destination Host Unreachable) seperti pada Tabel 4.3.
Selain menggunakan ping time, pengujian juga menggunakan
download untuk menguji delay melalui beberapa server yaitu youtube,
4shared, dan Indowebster. Hasil delay yang didapat ketika terjadi
roaming rata-rata 43 detik sebelum download kembali berjalan
normal. Hasil pengujian delay dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Pada pengujian delay, hasil antara MS yang menggunakan
Windows XP dan Windows 7 sedikit berbeda. Hasil perbandingan
antara MS yang menggunakan Windows XP dan Windows 7 dapat
dilihat pada Tabel 4.4.
56
Tabel 4.4 Hasil Perbandingan Delay Antara Windows XP dan Windows 7
Pengujian Windows XP Windows 7
Throughput 43 detik 43 detik
Ping (ke google.com) 6 kali RTO 8 kali RTO
Pada Tabel 4.4 dapat dilihat jika menggunakan Windows 7
delay yang diperlukan untuk perpidahan antar AP lebih lama
dibandingkan menggunakan Windows XP. Hal ini disebabkan karena
Windows 7 memiliki proteksi yang lebih kompleks dari Windows XP
sehingga autentikasi berjalan lebih lama.
4.2.4 Pengujian Reliability Kinerja Jaringan
Dalam pengujian berikutnya, pengujian reliability kinerja
jaringan dilakukan beberapa kali untuk memastikan apakah sistem
yang dibangun sudah dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan.
Reliability jaringan yang dimaksud adalah dimana seorang user yang
terkoneksi dengan AP (IM3) tidak perlu melakukan konfigurasi ulang
ketika terjadi perpindahan ke AP (XL). Dalam jaringan wireless,
device menangkap sinyal paling baik yang dipancarkan oleh access
point. Secara otomatis MS berpindah menuju access point yang lain
tanpa melakukan konfigurasi ulang.
57
Gambar 4.16 Detail IP AP IM3
Pada Gambar 4.16 terlihat IP yang didapat oleh MS adalah
192.168.88.245. MS yang mempunyai mac Address
00:16:6F:BB:A9:D8 juga sudah tercatat di AP IM3 yang mempunyai
channel 1 seperti terlihat pada Gambar 4.17.
Gambar 4.17 User Sudah Tercatat di AP (IM3)
Pada Gambar 4.17 terlihat MS sudah terdaftar pada AP (IM3)
yang mempunyai channel 1 (2412 Mhz) dengan rincian signal -34
58
dBi, noise -94 dBi dan SNR 57 dengan signal quality yang didapat
sebesar 70%. Percobaan berikutnya dilakukan dengan download
menggunakan IDM, ping time, bandwidth monitor, dan status pada
aplikasi winbox yang dapat dilihat pada Gambar 4.18.
Gambar 4.18 Pengujian ketika di AP (IM3)
Terlihat pada Gambar 4.18 hasil pengujian ketika MS masih
dalam jangkauan AP IM3. Jika sudah terkoneksi dengan AP (IM3)
maka MS dapat melakukan remote ke router dengan OS v5.6
menggunakan winbox loader. Bandwidth yang didapatkan juga
berkisar di 377,2 kbps seperti yang didapat dari ISP IM3.
Percobaan berikutnya dilakukan dengan membuat MS yang
terkoneksi dengan AP (IM3) menjauh sehingga sinyal mulai
berkurang dan koneksi mulai terganggu. Ketika MS mendekati dan
mulai mendeteksi adanya AP (XL), MS mulai memilih sinyal yang
59
lebih baik dan otomatis berpindah ke AP (XL). Proses perpindahan
dari AP IM3 ke AP Xl dapat dilihat pada Gambar 4.19.
Gambar 4.19 Proses perpindahan
Pada Gambar 4.19 dapat dilihat proses perpindahan MS dari
AP IM3 ke AP XL. Ping time mengalami RTO beberapa kali dan jika
melakukan uji coba dengan download mengalami drop selama
beberapa detik seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.19. Jika
sudah beberapa detik maka koneksi dari MS kembali seperti semula
dan MS sudah terkoneksi dengan AP (XL) seperti pada Gambar 4.20.
60
Gambar 4.20 MS sudah terkoneksi dengan AP (XL)
Pada Gambar 4.20 dapat dilihat koneksi pada MS sudah
berjalan dengan baik. Ditunjukkan dengan ping time yang lancar,
bandwidth yang didapat sesuai dari ISP XL, dan terkoneksi dengan
OS v5.14. Pengujian perpindahan dari AP (IM3) ke AP (XL)
dilakukan secara berulang – ulang, tetapi karena hasil yang didapat
tidak berbeda jauh maka hanya ditampilkan satu pengujian saja.
4.3 Analisis Hasil Pengujian
Untuk melakukan analisis dalam penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan beberapa software dan tools yang dirasa sangat
dibutuhkan untuk mendukung penelitian ini. Analisis yang dilakukan
hanya meliputi beberapa parameter saja seperti yang sudah dijelaskan
dalam batasan masalah penelitian, yaitu meliputi throughput, SNR dan
reliability kinerja jaringan yang sudah dibangun.
61
4.3.1 Analisis Cara Kerja Wireless Roaming
Untuk melayani area yang luas, beberapa access point
dipasang dengan sebuah sudut yang saling menumpuk (overlap).
Overlap memungkinkan ”roaming” diantara cell. Hal ini sama dengan
layanan yang diberikan oleh perusahaan telepon seluler. Meskipun
tidak dijelaskan pada standar IEEE, overlap yang dibutuhkan sekitar
20%-30%. Banyaknya overlap memungkinkan roaming diantara cell,
memungkinkan untuk memutus dan menyambung lagi koneksi tanpa
interupsi layanan. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan
penggunaan SSID yang sama untuk menyediakan roaming pada
jaringan tersebut. Ketika MS aktif dalam jaringan wireless LAN, MS
mulai ”mendengar” untuk perangkat yang sesuai dan kemudian
berkomunikasi. Hal ini disebut ”scanning” yang mungkin aktif atau
pasif. Scanning aktif menyebabkan probe request dikirimkan dari host
untuk bergabung ke jaringan.
Probe request berisi Service Set Identifier (SSID) dari jaringan
yang diharapkan bergabung. Ketika access point dengan SSID yang
sama ditemukan, access point membalas probe request tersebut.
Langkah autentifikasi dan asosiasi telah selesai. Scanning pasif
membuat host mendengar beacon management frames (beacons),
yang dikirimkan oleh access point atau host lainnya. Ketika host
menerima sebuah beacon yang berisi SSID dari jaringan dan berusaha
bergabung. Station melihat kedalam beacon untuk mengetahui SSID
dari jaringan mana yang digabungi. Kemudian station mencari tahu
alamat MAC address dimana beacon berasal mengirimkan
autentifikasi request dengan tujuan untuk meminta kepada access
point untuk dapat bergabung dengannya. Apabila station diset untuk
62
dapat menerima semua macam SSID, maka station mencoba
bergabung dengan access point yang pertama kali mengirimkan sinyal
dan bergabung dengan access point yang sinyalnya paling kuat. Untuk
lebih jelasnya lagi, proses perpindahan dari AP (IM3) ke AP (XL)
dilihat melalui hasil capture Wireshark seperti pada Gambar 4.21.
Gambar 4.21 Hasil Capture Wireshark
Gambar 4.21 menunjukkan hasil capture ketika MS yang
terkoneksi AP (IM3) berpindah menuju AP (XL). Pengujian dengan
menggunakan ping agar terlihat jelas ketika terjadi perpindahan. AP
(IM3) mempunyai MAC address F8:D1:11:B7:ED:BC, AP (XL)
mempunyai MAC address F8:D1:11:B8:1F:AE, sedangkan user atau
MS mempunyai MAC address 00:16:6F:BB:A9:D8. MS yang sudah
terkoneksi dengan AP (IM3) dikondisikan mulai menjauh dari AP
(IM3) dan mendekati AP (XL), AP (XL) mulai menghubungi MS
dengan protokol Extensible Authentication Protocol over LAN
(EAPOL) agar MS memasukkan key dari AP (XL). Setelah itu MS
mengisikan key yang sudah tersimpan ke AP (XL). AP (XL)
memeriksa key yang diberikan oleh MS, dan jika benar MS dapat
melakukan broadcast ke jaringan dengan protokol ARP untuk
63
menemukan device yang memiliki IP address 192.168.88.1. Karena
MS akan berpindah jaringan, maka MS tidak dapat menemukan device
yang memiliki IP address 192.168.88.1. MS meminta IP DHCP yang
baru tetapi IP yang diberikan tidak bisa diterima, maka MS akan
mencari IP DHCP dari server lain yaitu 192.168.8.1. Setelah
menemukan server DHCP yang baru, MS meminta IP DHCP dan
mendapatkan IP 192.168.8.250 dan ketika sudah mendapatkan IP
baru, maka koneksi sudah terbentuk. Berdasarkan hasil ping, proses
perpindahan membutuhkan waktu kurang lebih 36 detik.
4.3.2 Analisis Throughput dengan Wireless roaming
Analisis berikutnya adalah melakukan analisis dari hasil
throughput setelah memakai wireless roaming yang dihasilkan
dengan melakukan download seperti yang sudah dijelaskan pada
pengujian sistem terlihat pada Gambar 4.22.
Gambar 4.22 Hasil Throughput Pengujian Pertama
Dapat dilihat pada Gambar 4.40 hasil throughput yang
dihasilkan 53,764 KB/s maka dapat dihitung bandwidth yang
didapatkan adalah 53,764KB/s * 8 maka menghasilkan 430,112kbps.
64
Lalu pada pengujian kedua didapatkan hasil seperti pada Gambar
4.23.
Gambar 4.23 Hasil Throughput Pengujian Kedua
Dapat dilihat pada Gambar 4.23 hasil throughput yang
dihasilkan sekitar 49,628 KB/s maka dapat dihitung bandwidth yang
didapatkan adalah 49,628 KB/s * 8 maka menghasilkan 397,024kbps.
Dapat disimpulkan throughput yang didapat tidak ditentukan oleh
external wireless roaming tetapi ditentukan oleh bandwidth yang
didapat dari ISP. Throughput juga tidak dapat berjalan terus menerus
di 48KB/s karena jaringan mobile 3G ditentukan oleh kualitas sinyal
dan padatnya traffic di jaringan.
4.3.3 Analisis Signal, Noise, SNR , dan Signal Quality
Dalam jaringan WLAN sinyal, Noise, SNR dan kualitas
sinyal sangatlah berpengaruh terhadap kinerja jaringan tersebut.
Dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap sinyal, noise, SNR
dan kualitas sinyal dari masing-masing access point yang digunakan.
65
Sinyal, Noise, dan SNR dapat dilihat di status wireless pada firmware
DD-WRT ketika suatu MS sedang terkoneksi dengan sebuah AP
seperti yang terlihat dari Gambar 4.24 dan 4.25.
Gambar 4.24 Kualitas Sinyal MS Terhubung ke AP (IM3)
66
Gambar 4.25 Kualitas Sinyal MS Terhubung ke AP (XL)
Pada Gambar 4.24 dan 4.25 dapat dilihat kualitas SNR dari
tiap AP ketika terkoneksi dengan MS. Untuk lebih jelasnya maka
dibuat tabel dari hasil penelitian kualitas SNR. Tabel hasil kualitas
SNR dapat dilihat pada tabel 4.5.
Tabel 4.5 Hasil Analisis SNR
Mac Address Signal
(dBm)
Noise
(dBm)
SNR
(dB)
Signal
Quality(%)
F8:D1:11:B7:ED:BC -37 -94 57 70
F8:D1:11:B8:1F:AE -39 -81 42 68
Pada Tabel 4.1 dapat dilihat kualitas SNR dari masing –
masing AP ketika terkoneksi dengan MS. AP (IM3) mempunyai mac
Address F8:D1:11:B7:ED:BC dan AP (XL) mempunyai mac Address
F8:D1:11:B8:1F:AE. Sehingga dapat dianalisis sebagai berikut:
SNR AP (IM3) = Signal – Noise
= -37 – (-94)
= 57 dB
SNR AP (XL) = Signal – Noise
= -39 – (-81)
= 42 dB
Klasifikasi SNR :
29,0 dB ke atas = Outstanding (bagus sekali)
20,0 dB - 28,9 dB = Excellent (bagus)
67
11,0 dB - 19,9 dB = Good (baik)
07,0 dB - 10,9 dB = Fair (cukup)
00,0 dB - 06,9 dB = Bad (buruk)
Dari hasil percobaan terlihat bahwa SNR yang terdapat dari
semua access point mempunyai hasil yang bagus, karena AP (IM3)
dan AP (XL) ketika terkoneksi dengan MS mempunyai nilai SNR
lebih dari 29dB. SNR merupakan perbandingan antara signal dan
noise, semakin tinggi nilai SNR maka kualitas dari koneksi tersebut
semakin bagus. Selain mengetahui kualitas sinyal dari masing -
masing AP, nilai SNR juga dapat digunakan untuk mengetahui kapan
koneksi akan pindah, yaitu ketika salah satu nilai SNR dari MS ketika
terkoneksi dengan AP lebih besar dari AP yan lain, maka koneksi
akan langsung berpindah. .
68
BAB 5
Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
1. Dengan menerapkan topologi ESS yang memakai external
wireles roaming, jaringan hotspot yang dibangun memiliki
reliability yang lebih baik dibandingkan dengan jaringan hotspot
yang menggunakan topologi BSS. Ketika MS berjalan menjauhi
salah satu AP atau salah satu AP mati kemudian mulai kehilangan
sinyal, MS secara otomatis terkoneksi dengan AP yang satunya
tanpa harus melakukan konfigurasi ulang.
2. Dengan diterapkannya external wireless roaming, jangkauan dari
suatu jaringan hotspot dapat bertambah luas. Selain itu jaringan
hotspot yang dibuat dapat menampung lebih banyak user jika
dibandingkan dengan seamless wireless roaming yang hanya
menggunakan satu buah ISP saja.
3. Delay waktu perpindahan antar AP berbeda antara MS yang
menggunakan Windows XP dan Windows 7. Delay waktu
cenderung lebih lama jika menggunakan Windows 7 karena
Windows 7 memiliki proteksi yang lebih kompleks dari Windows
XP sehingga autentikasi berjalan lebih lama.
5.2 Saran
1. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai external
wireless roaming yang sudah menggunakan keamanan terpusat
seperti radius server dan captive portal.
xvi
Daftar Pustaka
Apriyadi,2012, Perancangan dan Analisis Seamless Wireless Roaming
pada Jaringan Hotspot di SMA Negeri 2 Salatiga.(Skripsi FTI
UKSW 2012)
Arianto,Tri,2009, Implementasi Wireless Local Area Network dalam
RT/RW Net, Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK XIV, no.2:
152-157.
http://www.unisbank.ac.id/ojs/index.php/fti1/article/view/103
(Diakses tanggal 8 Maret 2012)
Asadoorian,Paul,2007,Linksys WRT54G Ultimate
Hacking,USA:Syngress.
Dewobroto,Pujo,2010, Load Balance menggunakan Metode
PCC.http://www.mikrotik.co.id/artikel_lihat.php?id=34.(Diaks
es tanggal 25 Mei 2012)
Ergen,Mustafa,2009,Mobile Broadband Including WiMAX and
LTE,USA:Springer.
Geier,Jim, 2008,How Wi-Fi Roaming Really
Works.http://www.Wireless-
nets.com/resources/tutorials/how_roaming_works.html.(Diakses
tanggal 8 Maret 2012)
Ian, 2004, Wireless Mesh Network.
http://www.ece.gatech.edu/research/labs/bwn/surveys/mesh.pd
f.(diakses tanggal 25 Mei 2012)
McKeag,Louise,2004, WLAN Roaming – the
basics.http://features.techworld.com/mobile-Wireless/435/wlan-
roaming--the-basics/.(Diakses tanggal 3 Maret 2012)
xvii
Minoli,Daniel,2003, Hotspot Networks: Wi-Fi for Public Access
Locations, New York:McGraw-Hill.
Pasaribu,Parlin,2006,Publication-Wireless
LAN.http://kambing.ui.ac.id/onnopurbo/library/library-ref-
ind/ref-ind-2/physical/Wireless/Parlin-Publication-
Wireless%20LAN-24April2006.pdf.(Diakses tanggal 7 Maret
2012)
Purbo,Onno W,2001, gambaran-wlan-ieee802-05-
2001.http://onno.vlsm.org/v10/onno-ind-
2/physical/Wireless/gambaran-wlan-ieee802-05-
2001.rtf.(Diakses tanggal 7 Maret 2012)
Purbo,Onno W, 2007, Jaringan Wireless di Dunia Berkembang Edisi
ke Dua. http://wndw.net/pdf/wndw-id/wndw-id-ebook.pdf
(diakses tanggal 14 Februari 2012).
Putra,2011, Analisa Kinerja Implementasi Wireless Distribution
System Pada Perangkat Access point 802.11 G Menggunakan
OpenWRT. http://www.eepis-its.edu/id/ta/1305/-Analisa-
Kinerja-Implementasi-Wireless-Distribution-System-Pada-
Perangkat-Access-Point-802.11-G-Menggunakan-Openwrt.
(Diakses tanggal 29 Februari 2012)
Robby,Anugrah, 2009,Analisa Kinerja Jaringan Jembatan Timbang
Online di Jawa Timur Menggunakan Radio
Link.http://digilib.its.ac.id/ITS-Undergraduate-
3100008032225/6734.(Diakses tanggal 7 Maret 2012)
Siddiqui,Shahid K, 2011,Roaming In Wireless Network,New York:
McGraw-Hill.
xviii
Watts,Mark ,2006, Interface Bonding.
http://www.mikrotik.com/testdocs/ros/2.9/interface/bonding.php.
(diakses tanggal 25 Mei 2012)
Top Related