1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian
1.1.1. Budaya Lokal dalam Perkembangan Globalisasi
Globalisasi adalah suatu fenomena global yang tidak dapat dihindari dan
akan mengubah perilaku manusia. John Naisbit (1994) telah memperkirakan
trend-trend yang muncul dari globalisasi ini dengan istilah global paradox. Salah
satu fenomena globalisasi adalah perubahan konsep ruang dan waktu. Perubahan
konsep ruang dan waktu diakibatkan berkembangnya teknologi informasi yang
dapat meminimalisasi ruang dan waktu, manusia dapat berinteraksi dengan
mudah, kapan saja dan di mana saja dengan manusia lainnya. Gelombang
globalisasi menciptakan perubahan pola-pola substantif dan kreatif dalam
masyarakat di seluruh belahan bumi (Hardiman,2003;72). Giddens (1990, dalam
Sutrisno, 2005; 188) mengungkapkan bahwa pergerakan modernisasi melalui
gelombang globalisasi mengakibatkan adanya proses perubahan sosial
kontemporer dan pengaruhnya pada individu. Kondisi perubahan yang
mengakibatkan runtuhnya asas keselarasan yang dahulu mempersatukan manusia
dengan lingkungannya. Ada suatu upaya hilangnya konsepsi humanistik dalam
diri manusia akibat globalisasi (Hossein Nasr, 1994).
Hilangnya konsepsi humanistik menggiring rasionalisasi dalam pemikiran
manusia global. Rasionalisasi yang menekankan materialistik untuk kepentingan
kelompok tertentu. Rasionalisasi terjadi pula dalam kebijakan ruang perkotaan.
Fenomena ini terlihat dari wajah kota yang “modern” (sarat dengan bangunan
perumahan mewah, pusat perbelanjaan, perkantoran). Wajah kota yang
memunculkan keserakahan kaum mapan (Eko Budihardjo dan Sudanti
Hardjohubojo;1993;40). Keserakahan kaum mapan dan kebijakan pengelola
pembangunan memberi indikasi hilangnya humanisme akibat tekanan globalisasi.
Tekanan globalisasi tidak dapat dihindari akan tetapi harus segera dicegah
melalui internalisasi budaya lokal. Penggalian nilai-nilai budaya harus terus
diupayakan hingga dapat dijadikan pedoman kehidupan bangsa Indonesia.
Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
Pendapat Kartono mengatakan bahwa adat istiadat dan kebudayaan mempunyai
nilai pengontrol dan nilai sanksional terhadap tingkah laku anggota masyarakat
(dalam Sujarwa; 2005). Dengan demikian maka penangkalan globalisasi
diupayakan melalui internalisasi nilai lokal dan budaya bangsa dalam kebijakan
pembangunan termasuk penataan ruang.
1.1.2. Pengembangan Perencanaan Berbasis Lokalitas dan Kawasan
Dalam konteks ilmu perencanaan, mengindikasikan adanya
perkembangan pemikiran perencanaan. Perkembangan pemikiran berawal pada
abad ke 19. Pemikiran yang diawali oleh konsep pendekatan pengembangan
wilayah dan kota. Konsep pemikiran tersebut dianggap dapat memberikan konsep
yang lebih bermanfaat bagi pengembangan wilayah dan kota. Selanjutnya konsep
pemikiran perencanaan utopia (Utopia Planning) muncul pada tahun 1925, yang
dipelopori oleh 3 pemikiran, yaitu : Lewis Munford, Howard Odum, Thomas
Adam. Inti dari konsep ini adalah ingin menciptakan keadaan yang akan
membentuk suatu hubungan yang harmonis antara makhluk hidup dan alam, juga
dalam rangka menyesuaikan diri menghadapi perkembangan peradaban industri.
Didasari oleh kegagalan yang dialami perencanaan utopia yang menganut dasar
pemikiran dari aliran filsafat utopianiame idealisme, maka muncul teori-teori
perencanaan baru seperti Positive Planning, Normative Planning, dan Blue Print
Planning, yang kesemuanya mengandung dasar pemikiran filsafat aliran
positivisme.
Pada era selanjutnya mulai berkembang teori-teori perencanaan lainnya
yang dipayungi oleh aliran filsafat rasionalisme yaitu seperti, Procedural
Planning, Rational Comprehensive Planning. Dengan melihat beberapa
kelemahan pada era sebelum, muncullah teori perencanaan lain seperti Plural
Planning, Politics of Planning, Social Planning, Implementation and Policy
Pragmatisme Planning, The New Humanism, Political Economy Empowerment.
Sampai tahun 1980an, teori perencanaan lebih banyak menekankan pada aspek
demokrasi dalam pendekatan kapitalisme, aplikasi teknik sesuai perkembangan
teknologi atau perencanaan modern sebagai suatu proses sosial dan politis yang
Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
harus mempertimbangkan isu-isu seputar berbagai kepentingan. Gambaran ini
merupakan gambaran perencanaan berdasarkan teori Comprehensive Planning
atau pendekatan komprehensif rasional.
Perencanaan dengan dan pendekatan komprehensif rasional ini ternyata
memiliki keterbatasan. Ini diungkapkan dari hasil studi tentang Chicago Housing
Authority oleh Meyerson dan Banfield (1959 dalam Faludi 1973;143). Mereka
berpendapat bahwa praktek dan teori terjadi perbedaan. Praktek bukan merupakan
kegiatan rasional dengan menggunakan pengetahuan ilmiah akan tetapi
merupakan proses irrasional yang didominasi peran politisi. (Altshuler, 1965
dalam Faludi, 1973;209). Sebagai akibatnya terjadi persoalan masyarakat yang
tersingkirkan, degradasi lingkungan, hilangnya bangunan bersejarah karena
kepentingan-kepentingan politis, sehingga perencana dipersepsikan sebagai
keputusan politik. Banfield (1959 dalam Faludi, 1973;140) juga mengatakan
bahwa perencanaan adalah “oppurtunistic decision making”. Ini semakin
menegaskan keputusan perencanaan sangat didasarkan pada pemikiran
rasionalitas yang berbeda antara teori dan prakteknya. Dukungan pernyataan
kesenjanganan antara praktek dan teori ditegaskan pula oleh pendapat Lindblom
yang mengatakan ukuran benar tidaknya suatu sasaran perencanaan tidak pernah
ada pengujiannya (Lindblom,1959 dalam Faludi, 1973;159). Pada akhir abad ke
19 dan awal abad ke 20 kondisi ini dipertentangkan karena munculnya peran serta
masyarakat dan isu plurarisme.
Selanjutnya berkembang paradigma postmodernisme. Postmodernisme
merupakan suatu fenomena yang banyak ragamnya sehingga sulit menemukan
makna spesifik. Beberapa penulis mencoba mendefinisikan postmodern sebagai
pernyataan kebebasan dalam perbedaan dan kebenaran. Salah satu karakter utama
postmodernisme adalah kepedulian pada “yang lain” dengan demikian
postmodernisme mengangkat kembali isu pluralisme yang dibungkam oleh
modernitas. Postmodernisme adalah suatu realitas yang tidak terdefinisikan karena
penuh dengan aspek yang kontradiksi. Dalam perencanaan memunculkan
pendekatan collaborative/communicative planning (Healey; 1997) dan rasional
komunikatif dari Habermas yang menjadi pilihan dalam proses perencanaan.
Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
Pendekatan ini lebih pada upaya membangun kapasitas masyarakat, sehingga isu
pemberdayaan dan proses pengambilan keputusan lebih sering diterapkan dalam
proses perencanaan.
Postmodern planning membuka peluang terhadap : adanya kemungkinan
penerimaan terhadap transrasional dalam pendekatan perencanaan. Juga
menyediakan pengembangan teori-teori lokal yang beragam dan unik. Kerangka
indigenous planning atau perencanaan adat dibangun dari perspektif teori sosial
dan exogenous theory (Allmendinger ; 2001). Dengan demikian perkembangan
perencanaan berbasis lokalitas akan berkembang seiring perkembangan
perencanaan ruang.
Penggalian nilai-nilai lokal akan semakin berkembang mengingat di
Indonesia sangat beragam budaya lokal yang dapat digali. Seiring dengan
berkembangnya globalisasi maka nilai-nilai lokal menjadi penting untuk
dipertahankan dan menjadi ciri jati diri bangsa. Sementara nilai-nilai lokal saat ini
tidak terangkum dalam teks yang dapat dijadikan referensi. Dengan demikian
penggalian nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) perlu didokumentasikan
sebagai bahan acuan untuk perencanaan ruang masa yang akan datang.
Indonesia adalah negara hukum yang menjadikan peraturan hukum
sebagai acuan yang mengatur kehidupan. Demikian pula dengan perencanaan
ruang maka peraturan menjadi sarana acuan praktek perencanaan ruang di
Indonesia. Praktek perencanaan ruang di Indonesia diatur melalui UU No. 26
Tahun 2007 tentang penataan ruang. UU tersebut mengatur substansi perencanaan
dalam lingkup nasional hingga lingkup Kota/Kabupaten. UU tersebut menjadi
acuan penting dalam praktek perencanaan di Indonesia
Undang-undang penataan ruang cenderung mengatur substansi
perencanaan kawasan. Pembuktiannya bisa dilihat pada penjelasan ketentuan
umum UU tersebut di mana terdapat kategorisasi untuk sembilan kawasan.
Artinya lingkup kawasan menjadi fokus penataan ruang dan mengabaikan batasan
administratif daerah. Salah satunya adalah kawasan strategis nasional. Kawasan
strategis nasional mengatur substansi kawasan budaya, karena dinilai memiliki
pengaruh sangat penting terhadap kedaulatan negara.
Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang mendetilkan substansinya
melalui buku pedoman perencanaan ruang kawasan strategis nasional. Salah satu
substansi perencanaan kawasan mengatur perwujudan suatu kawasan budaya.
Berdasarkan buku pedoman tersebut, substansi untuk mewujudkan kawasan
budaya masih belum memasukkan substansi pluralisme budaya di tingkat lokal.
Dengan demikian maka pluralitas budaya lokal tidak tercipta dalam substansi
perencanaan ruang. Pernyataan ini seperti yang diungkapkan Sudaryono (2006)
“Perencanaan belum mampu mengakomodasikan pluralisme dalam skala
komunitas lokal”.
Perencanaan ruang kawasan budaya membutuhkan substansi yang
mengakomodasi pluralisme dalam skala lokal. Usulan Sudaryono (2006) dalam
penguatan perencanaan keruangan pluralisme budaya lokal adalah: (1) radius
keunikan, (2) eksistensi spasial/ruang lokal, (3) ketahanan spasial/ruang lokal, (4)
penguatan komunitas lokal, (5) solusi lokal. Usulan tersebut belum terakomodasi
dalam pedoman perencanaan kawasan budaya. Pedoman tersebut hanya
mengeneralisasi kawasan budaya menjadi kawasan inti dan kawasan penyangga
saja. Dengan demikian substansi keunikan dalam skala lokal belum menjadi
substansi yang diatur. Untuk itu membutuhkan upaya yang dapat mengisi
substansi keunikan dalam skala lokal.
1.1.3. Keraton Sebagai Pusat Budaya
Keraton adalah tempat tinggal Raja dan keluarganya. Pada masa lalu
keraton berperan pula sebagai pusat pemerintahan raja, kini keraton hanyalah
suatu tempat cagar budaya. Keraton sebagai tempat cagar budaya dilindungi oleh
negara melalu UU No 5 Tahun 1992 karena memiliki nilai-nilai pengetahuan dan
kebudayaan. Dengan demikian peran keraton sangat penting sebagai wahana
warisan budaya bangsa dan pilar kedaulatan bangsa. Artinya keraton berperan
dalam pertahanan kebudayaan bangsa Indonesia dari serangan budaya-budaya
asing terutama globalisasi.
Selain melalui UU No 5 Tahun 1992, pemerintah mengupayakan
perwujudan eksistensi budaya bangsa melalui berbagai upaya. Salah satu upaya
Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
pemerintah dalam mewujudkan eksistensi budaya tersebut dengan penerbitan
peraturan. Peraturan yang mengupayakan perwujudan eksistensi budaya bangsa
adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No 39 Tahun 2007 tentang pedoman
fasilitasi organisasi kemasyarakatan bidang kebudayaan dan kelembagaan adat
dalam pelestarian dan pengembangan budaya daerah. Berdasarkan peraturan
tersebut semakin menguatkan bahwa pemerintah menyadari peran penting
kebudayaan melalui peran kelembagaan termasuk keraton sebagai entitas
pelestari budaya daerah atau lokal.
Akan tetapi pada realisasinya peraturan tersebut belum mampu menjadi
pilar untuk mempertahankan eksistensi dan adaptasi zaman bagi suatu keraton.
Kondisi ini dapat dilihat dari pernyataan Wakil Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan yaitu WN yang mengatakan bahwa ratusan keraton di Indonesia
kondisinya sangat memprihatinkan dengan struktur dan keberadaan yang tidak
jelas. Maksudnya tidak jelas adalah wujud keberadaan suatu keraton yang tidak
ada raja atau sebaliknya. Setelah melakukan pendataan terdapat 189 keraton
yang terdapat di Indonesia. Keraton tersebut membutuhkan bantuan pendanaan
untuk kelangsungan eksistensinya (http://microsite.metrotvnews.com). Eksistensi
keraton sebagai pusat budaya dan identitas bangsa membutuhkan campur tangan
pemerintah yang lebih dari sekedar suatu peraturan yang mengatur eksistensinya
seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 39 Tahun 2007
tersebut tetapi juga memerlukan dukungan peratururan-peraturan lainnya bagi
kelangsungan eksistensinya. Salah satunya adalah pelestarian dalam sistem
keruangan keraton yang merupakan wujud fisik dari keberadaan suatu keraton.
1.1.4. Budaya Lokal dan Komunitas dalam Perwujudan Eksistensi Ruang
Keraton Kasepuhan
Kawasan Keraton Kasepuhan di Kota Cirebon merupakan ruang yang
eksistensinya hingga kini masih tetap terjaga. Walaupun keraton-keraton di
Cirebon tidak lagi memiliki otoritas dalam sistem pemerintahan daerah karena
telah lama dicabut oleh pemerintahan Hindia Belanda, termasuk Keraton
Kasepuhan. Akan tetapi eksistensi keraton masih berlangsung hingga saat ini.
Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
Salah satu bukti eksistensinya masih terjaga adalah kunjungan pejabat termasuk
Gubernur Jawa Barat AH ke Keraton Kasepuhan pada saat kunjungan kerja ke
Kuningan dan juga pada saat perayaan Muludan (panjang jimat tahun 2013).
Selain itu upacara caos yaitu pemberian upeti hasil bumi dari petani-petani yang
tersebar di Pulau Jawa seperti : Indramayu, Subang, Brebes, Bekasi, Kuningan,
Majalengka dan lainnya kepada Gusti Sepuh XIV (Sultan Keraton Kasepuhan).
Fenomena tersebut menunjuk masih adanya suatu pengakuan terhadap eksistensi
Keraton Kasepuhan.
Eksistensi Keraton Kasepuhan di Kota Cirebon sangat penting dalam
membantu kaum marginal. Peran penting ini ditunjukkan dari fenomena ruang
sebagai wadah tradisi budaya maupun fenomena ruang untuk para pedagang kaki
lima. Masyarakat marginal tersebut berasal dari berbagai daerah di luar Kota
Cirebon. Umumnya mereka bekerja di sektor informal. Mereka masih meyakini
bahwa ruang-ruang keraton masih menyimpan tata nilai yang bersifat
transrasional. Salah satunya adalah keyakinan “keberkahan” dari keraton.
Keyakinan tersebut menunjukkan peran penting Keraton Kasepuhan untuk
kehidupan ekonomi maupun spiritual mereka.
Keraton Kasepuhan mampu menjaga eksistensinya walaupun dalam
tekanan globalisasi. Faktanya menunjukkan setting ruang maupun budaya yang
terjalin antara raja-abdi dalem serta komunitas masih tetap berlangsung. Fakta
lainnya ditunjukkan dari kawasan alun-alun dan Magersari yang masih utuh
menjadi satu kesatuan ruang Kawasan Keraton Kasepuhan. Bagian selatan
Kawasan Keraton dibatasi oleh Sungai Kriyan. Sungai merupakan cikal bakal
pertumbuhan perkotaan diawali dari sekelompok permukiman kecil (Boechari,
2011). Keraton Kasepuhan dibangun dengan dasar filosofis kosmologis. Dasar
kosmologis masih tetap bertahan hingga saat ini. Raja berperan sebagai layaknya
dewa-raja atau wakil Tuhan. Bentukan sistem keruangan tercermin dari simbol
ruang keraton yang merupakan bagian integral dari makrokosmos atau jagat
raya. Dengan filosofis itu menjadikan ruang-ruang keraton memiliki sistem
keruangan yang peletakkannya sesuai ketentuan simbol kosmologis tersebut.
Simbol kosmologis masih tetap terjaga di Keraton Kasepuhan
Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
1.1.5. Gejala Pergeseran Makna dalam Mempertahankan Wujud
Eksistensi Ruang Keraton Kasepuhan
Gejala perubahan ruang yang terjadi mengindikasikan adanya pergeseran
makna di Keraton Kasepuhan. Salah satunya realitas perubahan ruang yang terjadi
adalah pendirian sekolah umum setingkat SMK ( Sekolah Menengah Kejuruan) di
dalam benteng Keraton Kasepuhan. Perubahan–perubahan ini mulai menggejala
di dalam benteng keraton maupun di luar benteng keraton. Perubahan ruang
seperti itu tentunya menarik untuk diteliti. Gejala perubahan ruang tersebut
memberi indikasi adanya pergeseran makna ruang.
Pergeseran makna berkonotasi pada adanya suatu gerak dari makna.
Pembahasan tentang makna akan berkait pada sesuatu yang bersifat abstrak.
Abstrak karena makna terletak di alam mental manusia. Dengan demikian
pergeseran makna adalah adanya gerak yang terjadi di alam mental. Gerak alam
mental yang memunculkan suatu kesadaran spiritual seperti pendapat Robert E.
Ornstein (1972) menyatakan bahwa dimensi kesadaran dibagi menjadi dua, yaitu
dimensi verbal yang bersifat eksoterik (berkaitan dengan rasional) dan dimensi
nonverbal yang bersifat esoterik (berkaitan dengan emosi dan kemampuan
intuitif). Bukti yang lainnya muncul dari pernyataan Ken Wilber (2012;295)
menegaskan bahwa di dalam ruang (alam dan lingkungan) terdapat garis
perkembangan kesadaran spiritual yang termanifestasikan. Dengan demikian
maka gerak makna adalah gerak di alam mental akibat kesadaran spiritual yang
dapat mewujud dalam realitas di dalam ruang.
Kata makna memiliki pemahaman yang berhubungan dengan ciri-ciri di
luar bahasa atau penalaran. Selain itu kata makna memberi pengertian arti yang
berkaitan dengan intepretasi dan manfaat, nilai (value) dan juga mempunyai
pengertian yang berkaitan dengan sistem pengukuran, hierarki, dan kualitas.
(Bagus, 2000). Wujud realitas ruang keraton adalah simbol suatu kekuasaan pada
masa lalu. Makna yang melekat pada ruang keraton memiliki keterhubungan
dengan rasa/emosi dari simbol masa lalu tersebut. Masa kini ruang keraton
memiliki masalah dalam upaya mempertahankan eksistensi keruangannya.
Tekanan globalisasi akan terus menghantam eksistensi keraton. Sebagai akibatnya
Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
sebagian besar keraton/ kerajaan-kerajaan masa lalu banyak yang hilang
eksistensinya karena ketidak mampuan mempertahankan ruang eksistensi
tersebut. Untuk mempertahankan eksistensi ruang keraton tentunya membutuhkan
upaya-upaya kerja keras dari pelaku ruangnya. Demikian pula dengan pelaku
Keraton Kasepuhan membutuhkan upaya-upaya yang bersifat pragmatis.
Demikian halnya di Keraton Kasepuhan, mengindikasikan adanya pergeseran
makna ruang simbolik ke makna ruang pragmatis. Wujud perubahan ruang terjadi
terutama ketika masa kepemimpinan Gusti Sepuh XIV. Dengan demikian ada
suatu gejala pergeseran makna ruang yang yang menarik untuk diteliti di Kawasan
Keraton Kasepuhan.
1.2. Keaslian Penelitian
Dalam upaya melihat keaslian penelitian maka dilakukan dengan
menginventarisasi penelitian pada lokus yang sama yaitu Keraton Kasepuhan di
Cirebon. Hasil inventarisasi terhadap lokus penelitian di Kawasan Keraton
Kasepuhan Cirebon menghasilkan substansi penelitian yang beraneka ragam.
Akan tetapi keanekaragaman materi tersebut pada dasarnya dapat diklasifikasikan
menjadi empat substansi materi saja. Keempat substansi materi tersebut adalah :
agama, sejarah, arsitektur dan pariwisata. Untuk substansi materi penelitian pada
kontek agama antara lain : Naskah Sattariyah Cirebon ( Mahrus El Mawa , 2010),
Respon Masyarakat Modern Terhadap Eksistensi Tradisi Panjang Jimat Keraton
(Tholibin, 2009), Pluralisme Agama Dalam Warisan Kerajaan (Ali Rahman
,2007).
Konteks materi penelitian untuk substansi sejarah antara lain : Peranan
Pangeran Walangsang Dalam Merintis Kesultanan Cirebon 1445-1529 (Darkum,
2007). Situasi Politik Kesultanan Cirebon Abad 17-18. (Nina H Lubis , 2009).
Lahir, Perkembangan, dan Perpecahan Kesultanan Cirebon Tahun 1677-1803.
(Asep Surya Sumantri, 2010). Masjid Agung Sang Cipta Rasa Kasepuhan
Kaitannya dengan Mistisisme dan Budaya. (Sumiah, 2007). Perubahan Sistem
Pemerintahan Kotamadya Cirebon dari Stadsgemeente sampai Kotamadya Daerah
Tinggkat II Tahun 1926-1974 (Ukon Budiaman, 1996). Kesultanan Cirebon
Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
Studi Tentang Terpecahnya Cirebon Atas Kesultanan Kasepuhan dan Kanoman
Tahun 1677 (R. Subagdja, 1990). Sedangkan untuk substansi bidang arsitektur
merupakan kajian yang terbanyak di antara keempat bidang kajian lainnya.
Penelitian bidang arsitektur yang pernah dilakukan di Keraton Kasepuhan Cirebon
antara lain : Kajian Konsep dan Bentuk Arsitektur Masjid Agung Kasepuhan
Masa Kesultanan Cirebon (Hermawan, Ibrahim, 2001), Perbedaan Elemen
Arsitektur Hasil Akulturasi Budaya, antara Keraton Kanoman dan Keraton
Kacirebonan, Cirebon, (Susan Hanuningrum Krisanti , 2011), Konservasi Keraton
Kaprabonan Cirebon bagi Pertumbuhan Pariwisata (Marianne Tjitromuljo, 2009),
Perpaduan dan Penyesuaian Bentuk Arsitektur Masjid Merah Panjunan, Cirebon
(Audrey Famush, 2007), Pusat Promosi Kerajinan di Keraton Kasepuhan Cirebon,
Transformasi Arsitektur Tradisional (R. Intan P. Lestari , 2001), Arsitektur Islam
Cirebon Studi Kasus Pusat Syi’ar Islam di Kotamadya Cirebon (Hardy Suhardy,
1991), Pusat Kesenian di Kawasan Keraton Kasepuhan Cirebon (Pramuka W. D
Hardjodiprodjo, 1990). Sedangkan substansi pariwisata antara lain Daya Tarik
Objek Wisata Budaya Keraton Kasepuhan Cirebon terhadap Arus Kunjungan
Wisatawan (Hestri Hurhayati, 2006), Tata Cara Upacara Panjang Jimat di Objek
Wisata Budaya Keraton Kasepuhan Cirebon (Mutiara Andiarini, 2005). Dari
beberapa hasil penetian tersibut walaupun memiliki lokus yang sama tetapi
tidaklah memiliki konteks substansi penelitian yang sama dengan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti. Dengan demikian penelitian pergeseran makna ruang
simbolik ke ruang pragmatis kebermanfaatan di Keraton Kasepuhan Cirebon
merupakan penelitian yang masih asli.
Ada beberapa penelitian yang memiliki fokus yang sama tentang makna
ruang tetapi keaslian penelitian tentang pergeseran makna ruang simbolik ke
ruang kebermanfaatan Keraton Kasepuhan di Cirebon tetap terjaga. Hal ini bisa
dilihat dari beberapa penelitian yang mengkaji pada makna dan nilai ruang seperti
penelitian dengan judul “Nilai Ruang di Kawasan Ampel Surabaya” (Rimadewi
Supriharjo, 2004). Walaupun fokusnya sama tentang makna ruang akan tetapi
memiliki perbedaan yang sangat prinsip karena setting ruang yang berbeda antara
Keraton Kasepuhan dan Kawasan Ampel Surabaya. Demikian juga untuk judul
Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
“Toleransi Keruangan dalam permukiman Padat Rumah Kontrakan di Kampung
Pajeksan Jogonegaran, Yogyakarta (Dermawati Djoko Santoso,2006). Makna
ruang toleransi tidak terkonstruksi di Kawasan Keraton Kasepuhan. Sama halnya
dengan judul penelitian “Rukun Kota : Ruang Perkotaan Berbasis Budaya Guyub
Poros Tugu Pal Putih Sampai dengan Alun-alun Utara Yogyakarta” (Edi
Purwanto,2007) konstruksi makna ruang guyub tidak terkonstruksi di Kawasan
Keraton Kasepuhan. Penelitian dengan judul “Permufakatan dan Desakralisasi
Ruang Di Permukiman Kauman Yogyakarta (Suastiwi Trihatmojo, 2010) yang
menemukan konstruksi makna ruang permukatan dan desakralisasi sebagai hasil
penelitian di Kampung Kauman Yogyakarta tidak sama makna ruangnya dengan
makna ruang Kawasan Keraton Kasepuhan. Demikian pula dengan judul
penelitian “Konsep Saged: Spirit Arsitektur Kota Kecil (Djoko Wijono, 2011)
menunjukkan konsep Saged tidak terkonstruksi di Kawasan Keraton Kasepuhan.
Dengan demikian menegaskan penelitian ini terbukti orisinalitasnya.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Peristiwa berubahnya atau bertambahnya ruang di Kawasan Keraton
Kasepuhan tentunya memiliki tujuan ke arah makna tertentu. Peristiwa ini sangat
menarik untuk dipelajari. Dengan demikian maka penelitian ini akan
berkonsentrasi pada pertanyaan utama : Bagaimanakah makna ruang kekinian di
Kawasan Keraton Kasepuhan dengan adanya pergeseran makna ruang yang
terjadi? Pertanyaan penelitian lanjutan
fenomena apa yang dapat diungkap dari pergeseran makna ruang di Kawasan
Keraton Kasepuhan?
hakikat apa yang mengakibatkan pergeseran makna ruang di Kawasan
Keraton Kasepuhan ?
1.4. Tujuan Penelitian
Secara teoritis tujuan penelitian adalah membangun teori lokal mengenai
makna ruang akibat dari pergeseran makna ruang di Kawasan Keraton Kasepuhan.
Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah :
Menambah khazanah bangunan pengetahuan terutama dalam bangunan
pengetahuan teori-teori lokal, khususnya teori lokal di kawasan keraton.
Indigenous planning melalui paradigma postmodern planning terbuka untuk
menemukan teori lokal keruangan yang baru.
Memberikan bahan pertimbangan dalam upaya perencanaan, khususnya
eksistensi ruang kawasan budaya lokal. Terutama pertimbangan substansi
kawasan budaya di Keraton Kasepuhan. Substansi kawasan budaya telah diatur
dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, akan tetapi masih
bersifat umum. Hasil temuan penelitian ini dapat mengisi substansi yang lebih
spesifik terutama untuk Kawasan Keraton Kasepuhan.
1.6. Batasan Penelitian
1.6.1. Batasan Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian mengambil lokasi di Kawasan Keraton Kasepuhan.
Batasan lingkup kawasan adalah keraton sebagai tempat tinggal dan aktivitas dari
Gusti Sepuh serta Astana Gunung Jati. Kedua lokasi ini berbeda letak posisinya.
Keduanya terpisah oleh jarak sepanjang 7 km antara lokasi Keraton Kasepuhan
dengan lokasi Astana. Kedua tempat ini berada di wilayah administrasi yang
berbeda, Keraton Kasepuhan terletak di Kota Cirebon sedangkan Astana Gunung
Jati terletak di Kabupaten Cirebon. Dengan demikian maka lingkup wilayah
penelitian disebut kawasan karena merupakan ruang yang memiliki fungsi yang
sama yaitu kawasan aktifitas Keraton Kasepuhan. Karena lingkupnya adalah suatu
kawasan maka ruang kajian merupakan ruang meso. Berikut ini wilayah studi
sebagai lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar 1.1.
Substansi penelitian dibatasi pada lingkup substansi bidang keilmuan
perencanaan/planning. Khususnya pada substansi perencanaan kawasan budaya
sesuai UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang. Berdasarkan ketentuan
umumnya membahas tentang kawasan strategis nasional warisan budaya sebagai
Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
salah satu kawasan strategis nasional. Kawasan Keraton Kasepuhan menjadi
substansi kawasan strategis budaya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah No 8
tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cirebon Tahun 2011-
2031.
Substansi materi penelitiannya meliputi nilai budaya dalam
mempertahankan eksistensi ruang lokal Kawasan Keraton Kasepuhan. Substansi
yang dikaji dari pergeseran makna ruang. Dimana pergeseran makna lebih dilihat
dari perspektif kesadaran (konsep mental) yang dimunculkan dari para pelaku
ruang di Kawasan Keraton Kasepuhan pada saat ini ( 2011-2014). Persepsi Ruang
Simbolik dan Ruang Pragmatis juga merupakan persepsi kesadaran mereka bukan
dalam pemahaman wujud struktur keruangannya (fisik) semata. Wujud fisik
struktur keruangan hanya merupakan implikasi (realitas) dari adanya pergeseran
makna dalam tatanan persepsi pelaku ruang.
Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
Batasan Substansi Penelitian
Gambar 1.1 Peta Lokasi Penelitian
Sumber : Hasil Grand Tour, tahun 2012
Deliniasi Astana Sunan Gunung
Jati sebagai lokasi penelitian
Deliniasi Keraton Kasepuhan
Jati sebagai lokasi penelitian
Pergeseran Makna Ruang Simbolik Ke Ruang Pragmatis Kawasan Keraton Kasepuhan CirebonINA HELENA AGUSTINAUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
Top Related