Download - Audiometri Dasar

Transcript
  • Audiometri Dasar

    2.1. Gambaran Umum Audiometri

    Audiometri berasal bahasa Latin yaitu dari kata audire yang bearti pendengaran

    dan metrios yang bearti mengukur, jadi secara harfiah audiometri adalah

    pemeriksaan untuk menguji fungsi pendengaran. Audiometri adalah sebuah alat yang

    digunakan untuk mengetahui level pendengaran seseorang.

    Pemeriksaan audiometri dalam ilmu medis maupun ilmu hiperkes tidak saja

    dapat digunakan untuk mengukur ketajaman pendengaran, tetapi juga dapat untuk

    menentukan lokasi kerusakan anatomis yang menimbulkan gangguan pendengaran.

    Audiometri merupakan tes kemampuan pendengaran, selain menentukan tingkat

    pendengaran tetapi juga mengukur kemampuan membedakan intensitas suara dan

    mengenali pitch.

    Alat yang digunakan untuk menguji pendengaran adalah audiometer yang

    diujikan pada kedua belah telinga secara bergantian. Audiometer merupakan suatu

    peralatan elektronik yang digunakan untuk menguji pendengaran, dimana audiometer

    mampu menghasilkan suara yang memenuhi syarat sebagai bahan pemeriksaan yaitu

    frekuensi (125-8000 dan ntensitas suara yang dapat diukur (-10 s/d 110 dB).

    Gambar 2.1. Konsep Audiometri Dasar

    Indikasi pemeriksaan audiometri diantaranya adalah :

    a. Adanya penurunan pendengaran

    b. Telinga berbunyi dengung (tinitus)

    c. Rasa penuh di telinga

    d. Riwayat keluar cairan

    e. Riwayat terpajan bising

    f. Riwayat trauma

    g. Riwayat pemakaian obat ototoksik

    h. Riwayat gangguan pendengaran pada keluarga

    i. Gangguan keseimbangan

  • Pemeriksaan audiometri memerlukan audiometri ruang kedap suara, audiologis,

    dan pasien yang kooperatif. Prinsip dasar pemeriksaan audiometri ini adalah

    pemeriksaan pada bermacam-macam frekunsi dan intensitas suara (dB) ditransfer

    melalui headset atau bone conductor ke telinga atau mastoid dan batasan intensitas

    suara (dB) pasien yang tidak dapat didengar lagi dicatat melalui program computer

    atau diplot secara manual pada kertas grafik.

    Gambar 2.2. Audiometer

    2.2. Manfaat Audiometri

    1. Untuk kedokteran klinik, khususnya menentukan penyakit telinga

    2. Untuk kedokteran kehakiman, sebagai dasar ganti rugi

    3. Untuk kedokteran pencegahan, mendeteksi ketulian pada anak-anak dan

    pekerja pabrik

  • 2.3. Tujuan Audiometri

    Menurut Davis (1978) terdapat empat tujuan dari pemeriksaan audiometri yaidu

    sebagai berikut :

    1. Mendiagnostik penyakit telinga

    2. Mengukur kemampuan pendengaran dalam menangkap percakapan sehari

    hari, atau dengan kata lain validitas sosial pendengaran seperti untuk tugas

    dan pekerjaan, apakah membutuhkan alat bantu dengar, pendidikan khusus,

    atau gantu rugi (misalnya dalam bidang kedokteran kehakiman dan asuransi)

    3. Skrining pada anak balita dan sekolah dasar (SD)

    4. Monitoring untuk pekerja yang bekerja di tempat bising.

    Selain itu audiometri juga bertujuan untuk :

    1. Untuk mengetahui ambang dengar, yaitu kadar suara (dB) minimal yang

    masih bisa didengar oleh telinga.

    2. Untuk mengetahui apakah kerusakan pendengaran (pergeseran ambang

    dengar) memang disebabkan oleh kebisingan (NIHL-Noise Induced Hearing

    Loss).

    3. Sebagai kebutuhan indikator pada Hearing Loss Prevention Program

    (HLPP) yaitu kehilangan kemampuan pendengaran terjadi secara bertahap,

    sehingga pekerja tidak merasakan perubahan pada pendengaran mereka.

    4. Memberikan rekomendasi kepada pihak manajemen untuk perbaikan

    lingkungan kerja.

    2.4. Waktu Pelaksanaan Audiometri

    Audiometri dilakukan pada :

    1. Masa rekruitmen pekerja (Pre-employment).

    2. Masa sebelum penempatan di lingkungan kerja yang bising

    (Prereplacement).

    3. Pemeriksaan berkala di tempat kerja bising (85-100 dB) atau dua kali

    setahun untuk pemaparan tingkat kebisingan diatas 100 dB.

    4. Saat akan ditempatkan di luar area bising.

    5. Saat pemutusan hubungan kerja.

    2.5. Komponen Audiometri

    Komponen yang ada pada audiometri yaitu:

  • 1. Oscilator: untuk menghasilkan bermacam nada murni

    2. Amplifier: alat untuk menambah intensitas nada

    3. Interuptor/pemutus : alat pemutus nada

    4. Atteneurator: alat mengukurintensitas suara

    5. Earphone: alat merubah sinyal listrik yang ditimbulkan audiometer menjadi

    sinyal suara yang dapat didengar

    6. Masking noise generator: untuk penulian telinga yang tidak diperiksa

    2.6. Audiogram

    Audiogram merupakan hasil pemeriksaan dengan audiometer yang berupa

    catatan grafis yang diambil dari hasil tes pendengaran dengan audiometer, yang

    berisi grafik ambang pendengaran pada berbagai frekuensi terhadap intensitas suara

    dalam desibel (dB).

    Gambar 2.3. Audiogram

    Keterangan :

    Gunakan tinta merah untuk telinga kanan, dan tinta biru untuk telinga kiri

    Hantaran udara (Air Conduction = AC)

  • Kanan = O

    Kiri = X

    Hantaran udara (Air Conduction = AC) dengan masking

    Kanan =

    Kiri =

    Hantaran tulang (Bone Conduction = BC)

    Kanan =

    Hantaran tulang (Bone Conduction = BC) dengan masking

    Kanan =

    Kiri =

    Hantaran udara (AC) dihubungkan dengan garis lurus ( )

    dengan menggunakan tinta merah untuk telinga kanan dan biru untuk telinga

    kiri

    Hantaran tulang (BC) dihubungkan dengan garis putus-putus ( - - - - - - - - )

    dengan menggunakan tinta merah untuk telinga kanan dan biru untuk telinga

    kiri

    2.7. Prosedur Audiometri

    1. Persiapan Alat

    1) Nyalakan power audiometer 10 menit sebelum pemeriksaan

    2) Tombol :

    Output, untuk memilih earphone (kiri atau kanan), AC atau BC

    Frekuensi, memilih nada

    Hearing Level, mengatur Intensitas

    Tone, memberikan Sinyal

    Masking, memberikan bunyi Masking pada NTE (Non-Test Ear)

    apabila diperlukan

    2. Persiapan Pasien

    1) Pemeriksaan kemampuan komunikasi penderita sebelum pemeriksaan

    Telinga mana yang mampu mendengar lebih jelas

    Telinga mana yang lebih sering digunakan bertelpon

    Pemeriksaan tinitus

    Daya tahan terhadap suara yang keras.

  • 2) Pemeriksaan Liang Telinga, periksa dan bersihkan dahulu liang telinga

    dari serumen.

    3) Memberikan instruksi secara singkat dan sederhana

    Penderita menekan tombol (atau mengangkat tangan) saat mendengar

    sinyal yang diberikan.

    Saat sinyal tidak terdengar, penderita diminta untuk tidak menekan

    tombol

    3. Posisi Pemeriksaan

    1) Penderita duduk di kursi

    2) Penderita tidak boleh melihat gerakan pemeriksa, minimal menghadap

    30 dari posisi pemeriksa

    Gambar 2.4. Posisi Pasien

    4. Presentasi Sinyal

    1) Nada harus diberikan selama 1 3 detik.

    2) Nada harus diberikan secara acak.

    3) Pasien tidak boleh melihat gerakan pemeriksa dan menebak interval

    waktu pemberian sinyal.

    5. Pemeriksaan Air Conduction (AC)

    1) Mulai pada telinga yang lebih baik.

    2) Atur frekuensi dengan ketentuan sebagai berikut :

    Mulai pada 1000 Hz, kemudian naik setiak 1 oktaf ke 8000 Hz, dan

    kembali lagi ke 500 Hz dan 250 Hz.

    Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang pada frekwensi 1000 Hz.

  • 3) Bila terjadi perubahan 20 dB atau lebih, antar oktaf perlu dilakukan

    pemeriksaan pada oktaf.

    4) Intensitas awal diperoleh dengan memberikan sinyal yang terdengar jelas

    (50 dB atau 60 dB)

    Bila tidak terdengar, naikkan 20 dB secara gradual hingga

    memperoleh respon.

    Bila ada respon, turunkan 10 dB hingga tidak terdengar.

    Bila telah tidak tidak terdengar, naikkan 5 dB hingga terdengar.

    Lakukan berulang hingga diperoleh ambang terendah

    Ambang terendah diperoleh pada respon terhadap 2 kali

    perangsangan ulangan dengan cara yang sama (turun 10 dB, naik 5

    dB).

    5) Lakukan cara tersebut pada semua frekuensi.

    6. Pemeriksaan Bone Conduction

    1) Hanya dilakukan bila ambang AC meningkat. Bila AC berada dalam

    batas normal, BC tidak diperlukan.

    2) Vibrator harus dipasang pada mastoid pasien dengan baik, dengan sedikit

    penekanan.

    3) Cara pemeriksaan sama dengan AC, tetapi dengan frekuensi dan

    intensitas yang terbatas (500 Hz s.d. 4000 Hz, hanya sampai 45 dB 80

    dB).

    7. Masking

    1) Pada prinsipnya masking perlu dilakukan apabila salah satu telinga

    normal dan satu telinga mengalami gangguan pendengaran.

    AC : perbedaan lebih besar dari 40 dB antara AC TE dan AC NTE

    BC : Perbedaan lebih besar dari 5 dB antara BC TE dan BC NTE

    2) Pemeriksaan dimulai pada frekuensi 1000 Hz

    3) Masking berbeda pada setiap frekuensi :

    Frekuensi (Hz) 250 500 1000 2000 4000Intensitas (dB) 60 50 40 40 40

  • Gambar 2.5. Pemeriksaan Audiometri

    Gambar 2.6. Pemeriksaan Audiometri

    2.8. Pembagian Audiometri

  • Dalam melakuakan evaluasi audiometri, pemeriksaan standar audiometri yang

    dilakuakan adalah Audiometri Nada Murni dan Audiometri Tutur, yang dijelaskan

    sebagai berikut.

    2.8.1. Audiometri Nada Murni

    Audiometri nada murni adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengukur

    sensivitas pendengaran dengan alat audiometer yang menggunakan nada murni (pure

    tone). Ambang nada murni diukur dengan intensitas minimum yang dapat didengar

    selama satu atau dua detik melalui antaran udara ataupun hantaran tulang. Frekwensi

    yang dipakai berkisar antara 125 8000 Hz dan diberikan secara bertingkat

    (Feldman dan Grimes, 1997).

    1) Istilah dalam Audiometri Murni

    a. Nada murni (pure tone), merupakan bunyi yang hanya mempunyai

    satu frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran per detik.

    b. Bising, merupakan bunyi yang mempunyai banyak frekuensi, terdiri

    dari spectrum terbatas (Narrow band), spektrum luas (White noise).

    c. Frekuensi, merupakan nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu

    benda yang sifatnya harmonis sederhana (simple harmonic motion).

    Dengan satuannya dalam jumlah getaran per detik dinyatakan dalam

    Hertz (Hz).

    d. Intensitas bunyi: dinyatakan dalam desibel (dB). Dikenal dB HL

    (hearing level), dB SL (sensation level), dB SPL (sound pressure

    level). dB HL dan dB SL dasarnya adalah subjektif, dan inilah yang

    biasanya digunakan pada audiometer,

    e. Ambang dengar, merupakan bunyi nada murni yang terlemah pada

    frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang.

    Terdapat ambang dengar menurut konduksi udara (AC) dan menurut

    konduksi tulang (BC). Bila ambang dengar ini dihubung-hubungkan

    dengan garis, baik AC maupun BC, maka akan didapatkan

    audiogram.

    f. Nilai nol audiometrik (Audiometric Zone), merupakan dalam dB HL

    dan dB SL, yaitu intensitas nada murni yang terkecil pada suatu

    fekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga rata-rata

    dewasa muda yang normal (18-30 tahun). Pada tiap frekuensi

    intensitas nol audiometrik tidak sama. Pada audiogram angka-angka

  • intensitas dalam dB bukan menyatakan kenaikan linier, tetapi

    merupakan kenaikan logaritmik secara pembanding. Terdapat dua

    standar yang dipakai adalah ISO (International Standard

    Organization) dan ASA (American standard Association). Dengan

    nilai berupa : 0dB ISO = -10 dB ASA atau 10dB ISO = 0 dB ASA.

    g. Notasi audiogram, untuk pemeriksaan audiogram dipakai grafik AC,

    yaitu dibuat dengan garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa

    antara 125 8000 Hz) dan grafik BC yaitu dibuat dengan garis

    terputus-putus (intensitas yang diperiksa: 250 4000 Hz). Untuk

    telinga kiri dipakai warna biru sedangkan untuk telinga kanan, warna

    merah.

    h. Grafik audiogram, garis vertical menandakan frekuensi. 125 Hz pada

    garis vertical paling kiri grafik menandakan frekuensi nada rendah.

    Semakin ke kanan maka frekuensi nada makin tinggi (gambar 2.7.a).

    Frekuensi berbicara terdapat pada 500- 3000 Hz. Garis horizontal

    menyatakan intensitas suara. 0 dB pada garis paling atas menandakan

    suara yang sangat lemah, dan semakin kebawah intensitas bunyi

    makin tinggi (gambar 2.7.b).

    Bunyi yang dihasilkan disalurkan melalui ear phone atau melalui bone

    conductor ke telinga orang yang diperiksa pendengarannya. Hasilnya akan diperiksa

    secara terpisah, untuk bunyi yang disalurkan melalui ear phone mengukur ketajaman

    pendengaran melalui hantaran udara, sedangkan melalui bone conductor telinga

    mengukur hantaran tulang pada tingkat intensitas nilai ambang. Dengan membaca

    audiogram yang dihasilkan kita dapat mengetahui jenis dan derajat kurang

    pendengaran seseorang.

  • Gambar 2.7.a. Analogi garis vertical pada grafik audiogram; b. Analogi garis horizontal

    pada grafil audiogram

    2) Syarat Pemeriksaan Audiometri Nada Murni

    a. Alat Audiometer

    Audiometer yang tersedia di pasaran terdiri dari enam komponen utama,

    yaitu :

    Oscilator, untuk menghasilkan bermacam nada murni

    Amplifier, alat untuk menambah intensitas nada hingga nada dapat

    terdengar

    Interuptor/pemutus, alat pemutus nada

    Atteneurator, alat yang digunakan untuk mengukut intensitas nada

    Earphone, alat yang merubah sinyal listrik yangditimbulkan

    audiometer menjadi sinyal suara yang dapat didengar

    Masking noise generator/sumber suara pengganggu, alat yang

    digunakan untuk meniadakan bunyi ke telinga yang tidak diperiksa

    (penulian telinga yang tidak diperiksa).

    Pada audiometri terdapat pilihan nada dari oktaf yaitu 125, 250, 500, 1000,

    2000, 4000 dan 8000 Hz yang memungkinkan intensitas lebih dari 110 dB. Standar

    alat yang digunakan berdasarkan BS EN 60645-1(IEC 60645-1).

  • Alat audiometer harusnya selalu dapat dikalibrasi dengan exhaustive

    electroacoustic calibrations oleh badan pengkalibrasian nasional. Pemeriksaan

    termasuk pemeriksaan cara pakai, dan penyesuaian bioakustik seharusnya dilakukan

    tiap hari sebelum digunakan, sesuai standar BS EN ISO 389 series.

    b. Lingkungan Pemeriksaan yang Baik

    Orang yang diperiksa seharusnya dapat dilihat sepenuhnya oleh

    pemeriksa. Orang tersebut tidak boleh melihat atau mendengar

    pemeriksa dan audiometernya. Pemeriksaan dilakukan di dalalam

    ruangan dengan tingkat kebisingan terendah sehingga kepekaan

    pendengaran pasien tidak terganggu. Suara tambahan tidak boleh lebih

    dari 38 dB. Pemeriksaan ini sesuai standard BS EN ISO 8253-1.

    Gambar 2.8. Ruangan Pemeriksaan Audiometri /Ruang Kedap Suara

    c. Kontrol Infeksi

    Alat yang telah terkena kontak dengan pasien harus dilakukan prosedur

    kontrol infeksi. Alat yang dipakai harus dibersihkan dan disinfeksi setiap

    kali pemakaian. Pemakaian disposable ear phone sangat

    direkomendasikan. Pemeriksa harus cuci tangan dengan sabun ataupun

    alkohol sebelum menyentuh pasien.

    3) Teknik Pemeriksaan

    a. Pemeriksaan liang telinga

    Hanya untuk memastikan kanal tidak tersumbat. Telinga harus bebas dari

    serumen. Alat bantu dengar harus dilepas setelah instruksi pemerisa sudah

    dijalankan.

  • b. Pemberian instruksi

    Berikan perintah yang sederhana dan jelas. Jelaskan bahwa akan terdegar

    serangkaian bunyi yang akan terdengar pada sebelah telinga. Pasien harus

    memberikan tanda dengan mengangkat tangannya, menekan tombol atau

    mengatakan ya setiap terdengar bunyi bagaimanapun lemahnya.

    c. Pemasangan earphone atau bone conductor

    Lepaskan dahulu kacamata atau giwang, regangkan headband, pasangkan di

    kepalanya dengan benar, earphone kanan ditelinga kanan kemudian

    kencangkan sehingga terasa nyaman. Perhatikan membrane earphone tepat di

    depan liang telinga di kedua sisi.

    d. Seleksi telinga

    Mulailah dengan telinga yang sehat dahulu.

    e. Urutan frekuensi

    Prosedur dasar pemeriksaan ini adalah, a) dimulai dengan signal nada yang

    sering didengar (familiarization), b) pengukuran ambang pendengaran. Dua

    cara menentukan nada familiarization:

    1. Dengan memulai dari 1000 Hz, dimana pendengaran paling stabil,

    lalu secara bertahap meningkatkan oktaf lebih tinggi hingga

    terdengar.

    2. Pemberian nada 1000 Hz pada 30 dB. Jika terdengar, lakukan

    pemeriksaan ambang pendengaran. Jika tidak terdengar nada awal di

    tinggkatkan intensitas bunyi hingga 50 dB, dengan menaikkan tiap 10

    dB hingga tedengar.

    4) Interpretasi Audiogram

    a. Audiogram Normal

    Secara teoritis, bila pendengaran normal, ambang dengar untuk hantaran

    udara maupun hantaran tulang sebesar 0 dB. Pada keadaan tes yang baik,

    audiogram dengan ambang dengar 10 dB pada 250 dan 500 Hz, sedangkan 0

    dB pada 1000, 2000, 4000, dan 10000 Hz dan pada 8000 Hz dapat dianggap

    normal.

  • Gambar 2.9. Audiogram Normal

    b. Gangguan Dengar Konduktif

    Diagnosis gangguan dengar kondukstif ditegakkan berdasarkan prinsip

    bahwa gangguan konduktif (telinga tengah) menyebabkan gangguan hantaran

    udara yang lebih besar daripada hantaran tulang, disini terdapat ambang

    hantaran tulang turun menjadi 15 dB pada 200 Hz.

    Penyebab ketulian koduktif seperti penyumbatan liang telinga, contohnya

    serumen, terjadinya OMA, OMSK, penyumbatan tuba eustachius. Setiap

    keadaan yang menyebabkan gangguan pendengaran seperti fiksasi

    kongenitalm fiksasi karena trauma, dislokasi rantai tulang pendengaran, juga

    akan menyebabkan peninggian amabang hantaran udara dengan hantaran

    tulang normal. Gap antara hantran tulang dengan hantaran udara

    menunjukkan beratnya ketulian konduktif. Konfigurasi audiogram pada tuli

    konduktif biasanya menunjukkan pendengaran lebih pada frekuensi rendah.

  • Gambar 2.10. Gangguan Dengar Konduktif

    c. Gangguan Dengar Sensorineural (SNHL)

    Tuli sensorineural terjadi bila didapatkan ambang pendengaran hantaran

    tulang dan udara lebih dari 25 dB. Tuli sensorineural ini terjadi bila terdapat

    gangguan koklea, N.auditorius (NVIII) sampai ke pusat pendengaran

    termasuk kelainan yang terdapat didalam batang otak.2 Kelainan pada pusat

    pendengaaran saja (gangguan pendengaran sentral) biasanya tidak

    menyeababkan gangguan dengar untuk nada murni, namun tetap terdapat

    gangguan pendengaran tertentu. Gangguan pada koklea terjadi karenadua

    cara, pertama sel rambut didalam koklea rusak, kedua karena stereosilia dapat

    hancur. Proses ini dapat terjadi karenainfeksi virus, obat ototoxic, dan biasa

    terpapar bising yang lama, dapat pula terjadi kongenital.

  • Gambar 2.11. Gangguan Dengar Sensorineural

    d. Gangguan Dengar Campuran

    Kemungkinan tarjadinya kerusakan koklea disertai sumbatan serumen

    yang padat dapat terjadi. Level konduksi tulang menunjukkan gangguan

    fungsi koklea ditambah dengan penurunan pendengaran karena sumbatan

    konduksi udara mengambarkan tingkat ketulian yang disebabkan oleh

    komponen konduktif.

    Perbedaan anatara level hantaran udara dan tulang dikenal sebagai jarak

    udara-tulang atau air-bone gap. Jarak udara-tulang merupakan suatu

    ukuran dari komponen konduktif dari suatu gangguan pendengaran. Level

    hantaran udara menunjukkan tingkat patologi koklea, kadang disebut sebagai

    cochlear reserve atau cabang koklea.

  • Gambar 2.12. Gangguan Dengar Campuran

    e. Audiogram Nonorganis

    Pasien dapat berpura-pura tuli dalam pemeriksaaan, ada yang secara

    sadar atau tidak sadar melebih-lebihkan derajat ketuliannya. Pada keadaan

    ganti rugi atau kompensasi misalnya, hal ini dapat menguntungkan. Indikasi

    adanya keadaan ini adalah bila terdapat ketidakseusaian antara diagnosis

    klinis dan hasil pemeriksaan audiometric. Bila tes diulang akan tampak

    perbedaan nilai ambang. Pemeriksa sebaikya mengulang pemeriksaan

    audiometric dan menerangkan ambang yang tidak tetap dan tidak dapt

    dipercaya

    2.8.2. Audiometri Tutur

    Audiometri tutur adalah system uji pendengaran yang menggunakan kata-kata

    terpilih yang telah dibakukan, dituturkan melalui suatu alat yang telah dikaliberasi,

    untuk mengukur beberapa aspek kemampuan pendengaran. Prinsip audiometri tutur

    hampir sama dengan audiometri nada murni, hanya disni sebagai alat uji

    pendengaran digunakan daftar kata terpilih yang dituturkan pada penderita.

    Dari pemeriksaan audiometri tutur ini dapat diperoleh informasi mengenai : (1)

    jenis ketulian dan derajat ketulian; (2) lokalisasi kerusakan rantai pendengaran; (3)

    kenaikan batas minimum pendengaran operasi timpanoplasti; dan (4) pemilihan alat

    bantu pendengaran yang cocok.

    Pada audiometri tutur ini dikenal dua titik penting, yaitu :

  • Speech Reception Threshold (SRT) merupakan batas minimum

    penerimaan percakapan dan bertujuan untuk mengetahui kemampuan

    pendengaran penderita dalam mengikuti percakapan sehari-hari atau

    disebut Validitas Sosial. Titik SRT ini diperoleh bila penderita telah

    dapat menirukan secara betul 50% dari kata-kata yang disajikan.

    Dengan SRT kita dapat memperoleh gambaran ketulian secara

    Kuantitatif.

    Speech Discrimination Score (SDS) untuk mengetahui

    kemampuan pendengaran penderiata dalam membedakan macam-

    macam kata yang didengar. Normal : 90 100 % Dengan SDS dapat

    diperoleh gambaran ketulian secara Kualitatif.

    1) Material Test Audiometri Tutur

    Material test berupa deretan kata kata yang jumlahnya tertentu pada

    setiap deret, dapat berupa :

    a. Bilangan.

    b. Spondee kata-kata yang terdiri dari 2 suku kata, dimana tiap-tiap

    suku kata mendapat tekanan yang sama dan mempunyai arti sendiri.

    c. Kata-kata yang tidak berarti (Non sens words) terdiri dari kata-

    kata yang tidak mempunyai arti.

    d. Phonetically Balanced Test terdiri dari sederetan kata-kata yang

    merupakan kumpulan kata-kata sehari-hari (PB List).

    2) Teknik Pemeriksaan

    a. Kata-kata terpilih dapat dituturkan langsung oleh pemeriksa melalui

    mikropon yang dihubungkan dengan audiometri tutur, kemudian

    disalurkan melalui telepon kepala ke telinga yang diperiksa

    pendengarannya, atau kata-kata rekam lebih dahulu pada piringan

    hitam atau pita rekaman, kemudian baru diputar kembali dan

    disalurkan melalui audiometer tutur.

    b. Penderita diminta untuk menirukan dengan jelas setip kata yang

    didengar, dan apabila kata-kata yang didengar makin tidak jelas

    karena intensitasnya makin dilemahkan, pendengar diminta untuk

    mnebaknya.

  • c. Pemeriksa mencatat presentase kata-kata yang ditirukan dengan

    benar dari tiap denah pada tiap intensitas. Hasil ini dapat

    digambarkan pada suatu diagram yang absisnya adalah intensitas

    suara kata-kata yang didengar, sedangkan ordinatnya adalah

    presentasi kata-kata yanag diturunkan dengan benar.

    3) Interpretasi Hasil Pemeriksaan Speech Audiometry

    a. Normal SDS = 90 100% pada intensitas 60 dB

    b. Tuli Konduktif (CHL) SDS < 90%

    c. Tuli persepsi (SNHL) SDS < 80%

    d. Tuli campur Bila intensitas suara dinaikkan akan terjadi perbaikan

    score SDS-nya, namun tidak mencapai score yang memuaskan

    e. Seseorang dengan SDS 40%, disebut Critical Level sukar mengikuti

    percakapan sehari-hari, contoh : Acustic Neuroma

    2.9. Kebijakan Audiogram di Lingkungan Kerja

    1. Baseline atau data dasar, dalam 6 bulan mulai bekerja di tempat bising (85

    dA) untuk baseline 14 jam bebas bising, atau menggunakan APD.

    2. Annul audiogram, bagi pekerja yang TWA > 85 dBA.

    3. Evaluasi, setiap tahun dibandingkan dengan base-line bila STS (Significant

    Threshold Shift) > 10 dB (rata-rata pada 2000-3000-4000 Hz), maka disebut

    + (positif). Bila STS (+) maka yang dilakukan adalah :

    periksa dokter

    periksa tempat kerja

    periksa data kalibrasi alat

    komunikasikan dengan karyawan tersebut

    jika karena penyakit, konsulkan ke dokter THT

    periksa ulang dalam waktu 1 (satu) tahun . Bila STS (+) karena

    pekerjaannya :

    Bila belum menggunakan APD, diharuskan memakai

    Bila sudah memakai, beri petunjuk ulang

    Komunikasikan dengan pegawai dan atasan secara tertulis

    Bila perlu, konsul THT

  • Daftar Pustaka :

    Arief, Latar Muhammad. 2012. Noise Control Management. Jakarta : FKIK Program

    Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Esa Unggul.

    http://ikk354.blog.esaunggul.ac.id/files/2012/11/NOISE-CONTROL

    MANAGEMET.pdf. Diakses tanggal 28 Agustus 2013.

    Asroel, Harry A. 2009. Audiologi. Medan : Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran

    Universitas Sumatera Utara.

    http://ocw.usu.ac.id/course/download/sss155_slide_audiologi.pdf. Diakses

    tanggal 29 Agustus 2013.

    Audiometry. http://en.wikipedia.org/wiki/Audiometry. Diakses tanggal 28 Agustus

    2013.

    Balasubramanian. Pure Tine Audiometry. http://www.drtbalu.com/puretone_audio.html.

    Diakses tanggal 30 Agustus 2013.

    Christopher. 2009. Noise Induced Hearing Loss (NIHL). Pekanbaru : Fakultas

    Kedokteran Universitas Riau.

    http://repository.unand.ac.id/17671/1/Case%204%20-

    %20Noise%20Induced%20Hearing%20Loss.pdf. Diakses tanggal 29 Agustus

    2013.

    Herwanto, Yusa. 2010. Test Penala & Audiometri Nada Murni. Medan : Departemen

    THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

    http://library.usu.ac.id/download/ft/07002749.pdf. Diakses tanggal 29 Agustus

    2013.

    Luxson, Muhammad., Sri Darlina, dan Tan Malaka. 2012. Kebisingan di Tempat Kerja.

    Jurnal. Palembang : Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

    http://eprints.unsri.ac.id/745/3/kebisingan_di_tempat_kerja.pdf. Diakses tanggal

    28 Agustus 2013.

    Pratama, Turmaningsih Surya. 2010. Analisis Hubungan Umur dan Lama Pemajanan

    dengan Daya Dengar Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Audiometri Tenaga

    Kerja di Unit Produksi Central Processing Area Jpb P-PEJ Tuban Jawa Timur.

    Skripsi. Surakarta : Fakultas Kedokterab Universitas Sebelas Maret.

  • http://eprints.uns.ac.id/8129/1/144411308201009471.pdf. Diakses tanggal 29

    Agustus 2013.

    Saksono, Dadang. 2010. Audiometri. http://dadang-

    saksono.blogspot.com/2010/07/audiometri.html. Diakses tanggal 28 Agustus 2013.