BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan selama ini bertujuan
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Indikator derajat kesehatan
masyarakat komponen kesehatan,diantaranya adalah Angka Kematian Ibu (AKI)
dan Angka Kematian Bayi (AKB). Indonesia masih menuai presentasi di ASEAN
(Association of South East Asia Nations) Angka kematian bayi di negara-negara
ASEAN seperti Singapura 3/1000 per kelahiran hidup, Malaysia 5,5/1000 per
kelahiran hidup, Thailand 17/1000 per kelahiran hidup, Vietnam 18/1000 per
kelahiran hidup, dan Philipina 26/1000 per kelahiran hidup. Sedangkan angka
kematian bayi di Indonesia cukup tinggi yakni 26,9/2000 per kelahiran hidup.
Tingkat kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu indikator di suatu Negara.
Angka kematian Maternal dan Neonatal masih tinggi, salah satu faktor penting
dalam upaya penurunan angka tersebut dengan memberikan pelayanan kesehatan
maternal dan neonatal yang berkualitas kepada masyarakat yang belum terlaksana.
Menurut Pola penyakit penyebab kematian bayi menunjukkan bahwa proporsi
penyebab kematian neonatal kelompok umur 0-7 hari tertinggi adalah premature
dan Berat Badan Lahir Rendah / BBLR (35%), kemudian asfiksia lahir (33,6%).
Penyakit penyebab kematian neonatal kelompok umur 8-28 hari tertinggi adalah
infeksi sebesar 57,1% (termasuk tetanus 9,5%, sepsis, pneumonia, diare),
kemudian feeding problem (14,3%).
Berdasarkan data dari The Fifty Sixth Session of Regional Committee,
WHO (World Health Organization), pada tahun 2003, kematian bayi terjadi pada
usia neonatus dengan penyebab infeksi 33%, asfiksia/ trauma 28%, BBLR 24%,
kelainan bawaan 10%, dan lain-lain 5%. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi
baru lahir adalah ensefalopati biliaris (lebih dikenal sebagai kernikterus).
Ensefalopati biliaris merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat.
Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa
1
berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralysis dan displasia dental yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup. Ikterus adalah suatu keadaan kulit dan membran
mulkosa yang warnanya menjadi kuning akibat peningkatan jumlah pigmen
empedu di dalam darah dan jaringan tubuh. Hiperbiliirubin adalah suatu keadaan
dimana kadar bilirubiin mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi
menimbulkan kern-ikterus, jika tidak ditanggulangi dengan baik.
Sebagian besar hiperbilirubin ini proses terjadinya mempunyai dasar yang
patologik. Angka kejadian bayi hiperbilirubin berbeda di satu tempat ke tempat
lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam faktor penyebab seperti umur
kehamilan, berat badan lahir, jenis persalinan dan penatalaksanaan.
(http://jurnalpendidikanbidan.com/arsip/39-mei-2013/113-faktor-faktor-yang-
berpengaruh-terhadap-kejadian-hiperbilirubinemia-pada-neonatus-di-rumah-sakit-
umum-daerah-kota-bandung-periode-april-2010-maret-2011.html)
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah pada
sebagian neonates, ikterus akan di temukan pada minggu pertama dalam
kehidupannya. Di kemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60 %
bayi cukup bulan dan 80 % pada bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian lagi
mungkin bersifat patologik yang dapat menimbulkan gangguan menetap atau
menyebabkan kematian, karenanya setiap bayi dengan ikterus harus mendapat
perhatian terutama bilaikterus di temukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi.
Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari satu
minggu serta bilirubin direk lebih dari1 mg/dl juga keadaan yang menunjukan
kemungkinan adanya ikterus patologik. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan
harus di lakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat di hindarkan.
1.2. RUMUSAN MASALAH
a. Apa pengertian dari hiperbilirubin ?
b. Apa penyebab timbulnya hiperbilirubin pada anak ?
c. Bagaimana proses terjadinya hiperbilirubin pada anak ?
d. Bagaimana tanda dan gejala yang timbul dari hiperbilirubin pada anak ?
e. Apa saja pemeriksaan diagnostic untuk mengetahui kadar bilirubin ?
2
f. Bagaimana penatalaksanaan hiperbilirubin pada anak ?
g. Bagaimana asuhan keperawatan yang harus di lakukan pada pasien anak yang
terkena hiperbilirubin ?
1.3. TUJUAN
a. Mahasiswa mengetahui pengertian dari hiperbilirubin
b. Mahasiswa mengetahui penyebab timbulnya hiperbilirubin pada anak
c. Mahasiswa mengetahui proses terjadinya hiperbilirubin pada anak
d. Mahasiswa mengetahui tanda dan gejala yang timbul dari hiperbilirubin pada
anak
e. Mahasiswa mengetahui pemeriksaan diagnostic untuk mengetahui kadar
bilirubin
f. Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan hiperbilirubin pada anak
g. Mahasiswa mengetahui asuhan keperawatan yang harus di lakukan pada
pasien anak yang terkena hiperbilirubin
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. KONSEP HIPERBILIRUBINEMIA
1. Pengertian
Hiperbilirubinemia adalah akumulasi berlebihan dari bilirubin di dalam
darah. (Wong, 2003 : 432)
Peningkatan kadar bilirubin serum dihubungkan dengan hemolisis sel
darah merah dari bilirubin yang tidak terkonjugasi dari usus kecil, yang ditandai
dengan joundice pada kulit, sklera mukosa, dan urine. (Mitayani, 2012 : 191)
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang
kadar nilainya lebih dari normal. (Suriadi dan Rita, 2001 : 143)
Menurut Klous dan Fanaraft (1998) bilirubin dibedakan menjadi dua jenis
yaitu:
1. Bilirubin tidak terkonjugasi atau bilirubin indirek (bilirubin bebas) yaitu
bilirubin tidak larut dalam air, berikatan dengan albumin untuk transport
dan komponen bebas larut dalam lemak serta bersifat toksik untuk otak
karena bisa melewati sawar darah otak.
2. Bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk (bilirubin terikat) yaitu bilirubin
larut dalam air dan tidak toksik untuk otak.
Perbandingan jenis-jenis utama hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
(Wong, 2003 : 432) :
Ikterik
fisiologis
Ikterik
berhubungan
dengan
menyusui ASI
Ikterik ASIPenyakit
hemolitik
Penyebab Fungsi Masukan susu Faktor-faktor Ketidakcocokan
4
hepatik
imatur
ditambah
peningkatan
beban
bilirubin dari
hemolisis
SDM
yang buruk
berhubungan
dengan
sedikitnya
kalori yang
dikonsumsi
oleh bayi
sebelum ASI
terbentuk
yang mungkin
terdapat dalam
ASI yang
memecahkan
bilirubin
menjadi
bentuk lemak
yang dapat
larut, yang
direabsorpsi
dari usus
Defekasi
kurang sering
antigen darah
menyebabkan
hemolisis
sejumlah besar
SDM
Hati tidak mampu
mengkonjugasi
dan
mengekskresikan
kelebihan
bilirubin dari
hemolisis
Awitan Setelah 24
jam (bayi
prematur,
lebih lama)
Hari kedua-
ketiga
Hari keempat-
kelima
Selama 24 jam
pertama
Puncak 72 jam Hari kedua-
ketiga
Hari
kesepuluh-
kelimabelas
Bervariasi
Durasi Menurun
pada hari ke
lima sampai
ke tujuh
Dapat tetap
ikterik selama
beberapa
minggu
Terapi Fototerapi
bila kadar
bilirubin
meningkat
terlalu cepat
Sering
menyusu ASI
Suplemen
kalori
Fototerapi
untuk bilirubin
18-20 mg/dl
Penghentian
ASI sementara
sampai 24 jam
untuk
menentukan
penyebab; bila
kadar bilirubin
Pasca natal-
fototerapi, bila
hebat, transfusi
tukar
Pra natal-transfusi
(janin)
Pencegahan
5
menurun, ASI
dapat diminum
lagi
Dapat meliputi
fototerapi di
rumah dengan
pemberian ASI
tanpa
gangguan
sensitisasi
(ketidakcocokan
Rh) dari ibu Rh
negatif dengan
RhoGAM
2. Anatomi Fisiologi
Hati, yang merupakan organ terbesar tubuh dapat dianggap sebagai sebuah
pabrik kimia yang membuat, menyimpan, mengubah, dan mengekskresikan
sejumlah besar substansi yang terlibat dalam metabolisme. Lokasi hati sangat
penting dalam pelaksanaan fungsi ini karena hati menerima darah yang kaya
nutrien langsung dari traktus gastrointestinal; kemudian hati akan menyimpan
atau mentransformasikan semua nutrien ini menjadi zat-zat kimia yang digunakan
di bagian lain dalam tubuh untuk keperluan metabolik. Hati merupakan organ
yang penting khususnya dalam pengaturan metabolisme glukosa dan protein. Hati
membuat dan mengeksresikan empedu yang memegang peranan utama dalam
proses pencernaan serta penyerapan lemak dalam traktus gastrointestinal. Organ
ini mengeluarkan limbah produk dari dalam aliran darah dan mengeksresikannya
ke dalam empedu. Empedu yang dihasilkan oleh hati akan disimpan untuk
sementara waktu dalam kandung empedu (vesika velea) sampai kemudian
dibutuhkan untuk proses pencernaan; pada saat ini, kandung empedu akan
mengosongkan isinya dan empedu memasuki intestinum (usus). (Brunner
Suddart, 2001 : 1150).
Ekskresi Bilirubin
6
Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan hemoglobin oleh
sel-sel pada sistem retikuloendotelial yang mencakup sel-sel Kupffer dari hati.
Hepatosit mengeluarkan bilirubin dari dalam darah dan melalui reaksi kimia
mengubahnya lewat konjugasi menjadi asam glukuronat yang membuat bilirubin
lebih dapat larut di dalam larutan yang encer. Bilirubin terkonjugasi disekresikan
oleh hepatosit ke dalam kanalikulus empedu di dekatnya dan akhirnya dibawa
dalam empedu ke duodenum.(Brunner & Suddart, 2001 : 1152).
Dalam usus halus, bilirubin dikonversikan menjadi urobilinogen yang
sebagian akan diekskresikan ke dalam feses dan sebagian lagi diabsorpsi lewat
mukosa intestinal ke dalam darah portal. Sebagian besar dari urobilinogen yang
diserap kembali ini dikeluarkan oleh hepatosit dan disekresikan sekali lagi ke
dalam empedu (sirkulasi enterohepatik). Sebagian urobilinogen memasuki
sirkulasi sistemik dan dieksresikan oleh ginjal ke dalam urin. Eliminasi bilirubin
dalam empedu menggambarkan jalur utama ekskresi bagi senyawa ini.(Brunner &
Suddart, 2001 : 1152).
Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika terdapat penyakit
hati, bila aliran empedu terhalang (yaitu, oleh batu empedu dalam saluran
empedu) atau bila terjadi penghancuran sel-sel darah merah yang berlebihan. Pada
obstruksi saluran empedu, bilirubin tidak memasuki intestinum dan sebagai
akibatnya, urobilinogen tidak terdapat dalam urin. (Brunner & Suddart, 2001 :
1152).
Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi bilirubin (merubah bilirubin
yang larut dalam lemak menjadi bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam
hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan
kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan albumin (albumin binding site). Pada
bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan
menghasilkan enzim glukoronil transferase yang memadai sehingga serum
bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.
7
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada
neonatus, perlu diketahui sedikit tentang metabolisme bilirubin pada neonatus.
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh
tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degredasi hemoglobin darah
dan sebagian lagi dari hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif.
Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan
biliverdin serta beberapa zat lain.
Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau
bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya
mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran
biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian
bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar.
Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh
reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam
sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin (protein-Y) protein Z dan glutation
hati lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya
proses konjugasi.
Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukotonil transferase yang
kemudian menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut
dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian
besar bilirubin yang terkonjugasi ini dikeskresi melalui duktus hepatikus ke dalam
saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan tinja
sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus
dan terbentuklah proses absorbsi enterohepatik.
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek
pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses
fisiologik tertentu pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya
kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan
belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke
2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun kembali
8
pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada
bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan.
Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan
karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul apabila produksi
bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga kumulasi di
dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan
kerusakan sel tubuh tertentu, misal kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan
gejala sisa dihari kemudian.
Diagram Metabolisme Bilirubin
9
Eritrosit
Hemoglobin
GlobinHem
Besi/FE Bilirubin Indirek(tidak larut dalam air)
Terjadi pada Limpha, Makrofag
Bilirubin berikatan dengan albumin
Melalui hati
Bilirubin berikatan dengan
Glukoronat/gula residu bilirubin direk (larut
dalam air)
Terjadi dalam plasma darah
Hati
Kandung empedu ke duodenum
Bilirubin direk diekskresi melalui
urine dan feses
Bilirubin direk diekskresi ke kandung
empedu
Melaui Duktus Billiaris
(http://ebookbrowse.com/askep-bayi-hiperbilirubinemia-doc-d443563044)
10
3. Etiologi
Etiologi pada bayi dengan hiperbilirubinemia diantaranya :
1. Produksi bilirubin berlebihan, yang dapat terjadi karena; polycethemia,
issoimun, hemolytic disease, kelainan struktur dan enzim sel darah merah,
keracunan obat (hemolisis kimia : salisilat, kortikosteroid, klorampenikol),
hemolisis ekstravaskuler, cephalhematoma, ecchymosis.
2. Gangguan fungsi hati; obstruksi empedu/atresia biliari, infeksi, masalah
metabolik; hypothyroidisme, jaundice ASI.
3. Gangguan pengambilan dan pengangkutan bilirubin dalam hepatosit.
4. Gagalnya proses konjugasi dalam mikrosom hepar.
5. Gangguan dalam ekskresi.
6. Peningkatan reabsorpsi pada saluran cerna (siklus enterohepatik).
(Mitayani, 2012 : 191) dan (Suriadi dan Rita, 2001 : 144)
4. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada bayi dengan
hiperbilirubinemia diantaranya :
1. Ikterus pada kulit dan konjungtiva, mukosa, dan alat-alat tubuh lainnya.
Bila ditekan akan timbul kuning.
2. Bilirubin direk ditandai dengan kulit kuning kehijauan dan keruh pada
ikterus berat.
3. Bilirubin indirek ditandai dengan kulit kuning terang pada ikterus berat.
4. Bayi menjadi lesu.
5. Bayi menjadi malas minum.
6. Tanda-tanda klinis ikterus jarang muncul.
7. Letargi.
8. Tonus otot meningkat.
9. Leher kaku.
10. Opistotonus.
11
11. Muntah, anorexia, fatigue, warna urine gelap, warna tinja pucat.
(Mitayani, 2012 : 192)
5. Patofisiologi
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y
dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang
memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan
konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya
sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat
menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan
timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak
hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui
sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah ,
Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991).
(http://ebookbrowse.com/askep-bayi-hiperbilirubinemia-doc-d443563044)
12
Pathway
13
6. Klasifikasi
Penggolongan Hiperbilirubinemia berdasarkan saat terjadi Ikterus:
1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.
Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya
kemungkinan dapat disusun sebagai berikut:
- Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
- Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-
kadang Bakteri)
- Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
- Kadar Bilirubin Serum berkala.
- Darah tepi lengkap.
- Golongan darah ibu dan bayi.
- Test Coombs.
- Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau
biopsi Hepar bila perlu.
2. Ikterus yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir.
- Biasanya Ikterus fisiologis, timbul pada hari ke 2 atau ke 3,
tampak jelas pada hari ke 5-6 dan menghilang pada hari ke 10.
- Bayi tampak biasa, minum baik, berat badan naik biasa
- Kadar bilirubin serum pada bayi cukup bulan tidak lebih dari
12 mg %, pada BBLR 10 mg %, dan akan hilang pada hari ke
14.
- Penyebab ikterus fisiologis diantaranya karena kekurangan
protein Y dan Z, enzim Glukoronyl transferase yang belum
cukup jumlahnya.
14
- Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh,
atau golongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar
Bilirubin cepat misalnya melebihi 5mg% per 24 jam.
- Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih
mungkin.
- Polisetimia.
- Hemolisis perdarahan tertutup (pendarahan subaponeurosis,
pendarahan Hepar, sub kapsula dll).
Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka
pemeriksaan yang perlu dilakukan:
- Pemeriksaan darah tepi.
- Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.
- Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.
- Pemeriksaan lain bila perlu.
3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu
pertama.
- Sepsis.
- Dehidrasi dan Asidosis.
- Defisiensi Enzim G6PD.
- Pengaruh obat-obat.
- Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.
4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:
- Karena ikterus obstruktif.
- Hipotiroidisme
- Breast milk Jaundice.
- Infeksi.
- Hepatitis Neonatal.
- Galaktosemia.
15
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:
- Pemeriksaan Bilirubin berkala.
- Pemeriksaan darah tepi.
- Skrining Enzim G6PD.
- Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.
Berikut adalah beberapa keadaan yang menimbulkan ikterus patologis :
1. penyakit hemolitik, isoantibodi karena ketidakcocokan golongan darah ibu
dan anak seperti Rhesus antagonis, ABO, dsb.
2. kelainan dalam se darah merah seperti pada defisiensi G-6-PD
3. hemolisis, hematoma, polisitemia, perdarahan karena trauma lahir
4. infeksi : septisemia, meningitis, infeksi saluran kemih, penyakit karena
toksoplasmosis, sifilis, rubela, hepatitis
5. kelainan metabolik, hipoglikemia, galaktosemia
6. obat2an yang menggantikan ikatan bilirubin dengan albumin seperti :
sulfonamid, salisilat, sodium benzoat, gentamisin.
7. Pirau enteropatik yang meninggi, obstruksi usus letak tinggi, penyakit
hirschsprung, stenosis pilorik, mekonium ileus, dsb.
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan diantaranya :
1. Tes Coomb pada tali pusat bayi baru lahir. Hasil positif tes Coomb indirek
menandakan adanya antibodi Rh-positif, anti-A, atau anti-B dalam darah
ibu. Hasil positif dari tes Coomb direk menandakan adanya sentisasi (Rh-
positif, anti-A, anti-B) sel darah merah dari neonatus.
2. Golongan darah bayi dan ibu : mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.
3. Bilirubin total : kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1,0-1,5
mg/dl, yang mungkin dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek (tidak
terkonjugasi) tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dl dalam 24 jam,
16
atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dl
pada bayi praterm (tergantung pada berat badan).
4. Protein serum total : kadar kurang dari 3,0 g/dl menandakan penurunan
kapasitas ikatan, terutama pada bayi praterm.
5. Hitung darah lengkap: Hemoglobin (Hb) mungkin rendah (kurang dari 14
g/dl) karena hemolisis. Hematokrit (Ht) mungkin meningkat (lebih besar
dari 65 %) pada polisitemia, penurunan (kurang dari 45 %) dengan
hemolisis dan anemia berlebihan.
6. Glukosa : kadar Dextrostix mungkin kurang dari 45 % glukosa darah
lengkap kurang dari 30 mg/dl, atau tes glukosa serum kurang dari 40
mg/dl bila bayi baru lahir hipoglikemi dan mulai menggunakan simpanan
lemak dan melepaskan asam lemak.
7. Daya ikat karbon dioksida. Penurunan kadar menunjukkan hemolisis.
8. Meter ikterik transkutan : mengidentifikasi bayi yang memerlukan
penentuan bilirubin seru.
9. Jumlah retikulosit : peningkatan retikulosit menandakan peningkatan
produksi SDM dalam respons terhadap hemolisis yang berkenaan dengan
penyakit Rh.
10. Smear darah perifer : dapat menunjukkan SDM abnormal atau imatur,
eritroblastosis pada penyakit Rh, atau sferositis pada inkompabilitas ABO.
11. Tes Betke-Kleihauer: evaluasi smear darah maternal terhadap eritrosit
janin.
8. Komplikasi
Komplikasi yang biasa terjadi adalah sebagai berikut :
1. Ikterik ASI.
2. Kernik ikterus (bilirubin ensefalitis).
Menghilangkan bilirubin yang terkontaminasi, menggantikan faktor
koagulasi pada kernik ikterus, menghilangkan antibodi (Rh, ABO), dan
17
hemolisis yang menghasilkan sel darah merah, serta tersensititasi dari sel
darah merah dilakukan dengan cara berikut ini.
a. Menghilangkan bahan yang kurang dalam proses metabolisme
bilirubin (misalnya menambahkan glukosa pada keadaan
hipoglikemia) atau menambahkan bahan untuk memperbaiki
transportasi bilirubin (misalnya albumin). Penambahan albumin
dilakukan walaupun tidak terdapat hipoalbuminemia, tetapi perlu
diingat adanya zat-zat yang merupakan kompetitor albumin yang juga
dapat mengikat bilirubin (misalnya sulfonamid atau obat-obatan
lainnya).
Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstrasi
bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini mengakibatkan kadar
bilirubin plasma meningkat, ini tidak berbahaya karena bilirubin
tersebut berada dalam ikatan dengan albumin. Albumin diberikan
dalam dosis yang tidak melebihi 1 gram/kgBB sebelum maupun
sesudah tindakan transfusi untuk mengganti darah.
b. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral
dini.
c. Fototerapi
Ikterus klinis dan hiperbilirubinemia indirek berkurang pada
perpanjangan cahaya yang berintensitas tinggi pada spektrum yang
dapat dilihat. Bilirubin menyerap cahaya secara maksimal pada kisaran
biru (dari 420-470 mm). Cahaya putih yang berspektrum luasan
berwarna biru (super). Spektrum sempit khusus dan hijau efektif
menurunkan kadar bilirubin dapat memengaruhi foto reaksi bilirubin
yang terikat oleh albumin. Bilirubin dalam kulit menyerap energi
cahaya yang dengan foto isomerisasi mengubah bilirubin (-42 sampai
dengan -15) tak terkonjugasi alamiah yang bersifat toksik menjadi
isometer konfigurasi terkonjugasi, yaitu bilirubin (-42 sampai -15e).
Foto terapi mengubah bilirubin alamiah melalui suatu reaksi yang
18
menetap pada ismer bilirubin struktural yang diekskresi oleh ginjal
pada keadaan yang tidak terkonjugasi.
Indikasi tranfusi untuk mengganti darah bayi dapat dilakukan pada
keadaan berikut ini :
1. Hidrops.
2. Adanya riwayat penyakit berat.
3. Adanya riwayat sensitisasi.
Tujuan dilakukannya transfusi adalah sebagai berikut :
1. Mengoreksi anemia.
2. Menghentikan hemolisis.
3. Mencegah peningkatan bilirubin.
((Mitayani, 2012 : 193)
9. Penatalaksanaan
a. Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital.
Pengobatan dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu
48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yangberarti. Mungkin lebih
bermanfaat bila diberikan pada ibu kira-kira 2 hari sebelum melahirkan.
b. Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi.
Contohnya : pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas.
Albumin dapat diganti dengan plasma dosis 15 – 20 ml/kgbb. Pemebrian
glukosa perlu untuk kojugasi hepar sebagai sumber energi.
c. Melakukan dekompensasi bilirubin dengan fototerapi
Terapi sinar diberikan jika kadar bilirubin darah indirek lebih dari 10 mg
%. Terapisinar menimbulkan dekomposisi bilirubin dari suatu senyawa tetrapirol
yang sulitlarut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air dan
dikeluarkan melalui urin, tinja, sehingga kadr bilirubin menurun. Selain itu pada
terapi sinar ditemukan pula peninggian konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan
empedu duodenum dan menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu
19
kedalam usus sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan keluar
bersama feses.
Pelaksanaan Terapi Sinar :
1. Baringkan bayi telanjang, hanya genitalia yang ditutup (maksmal 500 jam)
agar sinar dapat merata ke seluruh tubuh.
2. Kedua mata ditutup dengan penutup yang tidak tembus cahaya. Dapat
dengan kain kasa yang dilipat lipat dan dibalut. Sebelumnya katupkan
dahulu kelopak matanya. (untuk mencegah kerusakan retina)
3. Posisi bayi sebaiknya diubah ubah, telentang, tengkurap, setiap 6 jam bila
mungkin, agar sinar merata.
4. Pertahankan suhu bayi agar selalu 36,5-37 C, dan observasi suhu tiap 4- 6
jam sekali. Jika terjadi kenaikan suhu matikan sebentar lampunya dan bayi
diberikan banyak minum. Setelah 1 jam kontrol kembali suhunya. Jika
tetap hubungi dokter.
5. Perhatikan asupan cairan agar tidak terjadi dehidrasi dan meningkatkan
suhu tubuh bayi.
6. Pada waktu memberi bayi minum, dikeluarkan, dipangku, penutup mata
dibuka. Perhatikan apakah terjadi iritasi atau tidak.
7. Kadar bilirubin diperiksa setiap 8 jam setelah pemberian terapi 24 jam
8. Bila kadar bilirubin telah turun menjadi 7,5 mg % atau kurang, terapi
dihentikan walaupun belum 100 jam.
9. Jika setelah terapi selama 100 jam bilirubin tetap tinggi / kadar bilirubin
dalam serum terus naik, coba lihat kembali apakah lampu belum melebihi
500 jam digunakan. Selanjutnya hubungi dokter. Mungkin perlu transfusi
tukar.
10. Pada kasus ikterus karena hemolisis, kadar Hb diperiksa tiap hari.
20
Komplikasi terapi sinar :
1. Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan mengakibatkan
peningkatan insesible water loss.
2. Frekuensi defekasi meningkat sebagai akibat meningkatnya bilirubin
indirek dalam cairan empedu dan meningkatkan peristaltik usus.
3. Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar (berupa
kulit kemerahan) tetapi akan hilang jika terapi selesai.
4. Gangguan retina jika mata tidak ditutup.
5. Kenaikan suhu akibat sinar lampu. Jika hal ini terjadi sebagian sinar lampu
dimatikan terapi diteruskan. Jika suhu naik terus lampu semua dimatikan
sementara, bayi dikompres dingin, dan berikan ektra minum.
6. Komplikasi pada gonad yang menurut dugaan dapat menimbulkan
kelainan ( kemandulan ) tetaapi belum ada bukti.
7. Transfusi tukar.
Indikasi untuk melakukan transfusi tukar adalah :
1. kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg %
2. kenaikan kadar bilirubin indirek cepat, yaitu 0,3 – 1 mg % / jam
3. anemia berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
4. bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat kurang 14 mg % dan uji coomb’s
positif.
Tujuan transfusi tukar adalah mengganti eritrosit yang dapat menjadi
hemolisis, membuang natibodi yang menyebabkan hemolisis, menurunkan kadar
bilirubin indirek, dan memperbaiki anemia.
21
2.2. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
HIPERBILIRUBINEMIA
1. Pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
Letargi, malas.
b. Sirkulasi
- Mungkin pucat, menandakan anemia.
- Bertempat tinggal di atas ketinggian 5000 ft.
c. Eliminasi
- Bising usus hipoaktif.
- Pasase mekonium mungkin lambat.
- Feses mungkin lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin.
- Urin gelap pekat; hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)
d. Makanan/cairan
- Riwayat pelambatan/makan oral buruk, lebih mungkin disusui
daripada menyusu botol.
- Palpasi abdomen dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar.
e. Neurosensori
- Sefalhematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang
parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran/kelahiran
ekstraksi vakum.
- Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis mungkin ada
dengan inkompatibilitas Rh berat.
- Kehilangan refleks Moro mungkin terlihat.
- Opistotonus dengan kekakuan lengkung punggung, fontanel menonjol,
menangis lirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
f. Pernapasan
- Riwayat asfiksia.
- Krekels, mukus bercak merah muda (edema pleural, hemoragi
pulmonal).
22
g. Keamanan
- Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus.
- Dapat mengalami ekimosis berlebihan, petekie, perdarahan
intrakranial.
- Dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah dan berlanjut pada
bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)
sebagai efek samping fototerapi.
h. Seksualitas
- Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi dengan
retardasi pertumbuhan intrauterus (IUGR), atau bayi besar usia gestasi
(LGA), seperti bayi dengan ibu diabetes.
- Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stres dingin, asfiksia,
hipoksia, asidosis, hipoglikemia, hipoproteinemia.
- Terjadi lebih sering pada pria daripada bayi wanita.
2. Diagnosis Keperawatan
1. Cedera, risiko tinggi terhadap keterlibatan sistem saraf pusat berhubungan
dengan prematuritas, penyakit hemolitik, asfiksia, asidosis,
hipoproteinemia, dan hipoglikemia.
2. Cedera, risiko tinggi terhadap efek samping tindakan fototerapi
berhubungan dengansifat fisik dari intervensi terapeutik dan efek
mekanisme regulasi tubuh.
3. Cedera, risiko tinggi terhadap komplikasi dari transfusi tukar berhubungan
dengan prosedur invasif, profil darah abnormal, ketidakseimbangan kimia.
4. Kurang pengetahuan [kebutuhan belajar], mengenai kondisi, prognosis,
dan kebutuhan tindakan berhubungan dengan kurang pemajanan,
kesalahan interpretasi, tidak mengenal sumber informasi dibuktikan
dengan pernyataan masalah/kesalahan konsep, meminta informasi,
ketidaktepatan mengikuti instruksi.
23
3. Intervensi
1. Cedera, risiko tinggi terhadap keterlibatan sistem saraf pusat berhubungan
dengan prematuritas, penyakit hemolitik, asfiksia, asidosis,
hipoproteinemia, dan hipoglikemia.
Kriteria hasil :
- Menunjukan kadar bilirubin indirek di bawah 12 mg/dl pada bayi
cukup bulan pada usia 3 hari.
- Resolusi ikterik pada akhir minggu pertama kehidupan
- Bebas dari keterlibatan SSP
TINDAKAN / INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
Perhatikan kelompok dan golongan
darah ibu / bayi
Tinjau catatan intrapartum terhadap
faktor risiko yang khusus, seperti
berat badan lahir rendah (BBLR) atau
IUGR, prematuritas, proses metabolic
abnormal, cedera vascular, sirkulasi
abnormal, sepsis, atau polisitemia.
Inkompatibilitas ABO mempengaruhi
20% dari semua kehamilan dan paling
umum terjadi pada ibu dengan golongan
darah O, yang antibodinya anti – A dan
anti – B melewati sirkulasi janin,
menyebabkan aglutinasi dan hemolisis
SDM. Serupa dengan itu, bila ibu Rh –
negative sebelumnya telah disensitisasi
oleh antigen Rh – positif, antibody ibu
melewati plasenta dan bergabung pada
SDM janin, menyebabkan hemolisis
lambat atau segera.
Kondisi klinis tertentu dapat
menyebabkan pembalikan barier darah
– otak, memungkinkan ikatan bilirubin
terpisah pada tingkat membran sel atau
dalam sel itu sendiri, meningkatkan
risiko terhadap keterlibatan SSP.
24
Perhatikan penggunaan ekstrator
vakum untuk kelahiran. Kaji bayi
terhadap adanya sefalohematoma dan
ekimosis atau petekie yang
berlebihan.
Tinjau ulang kondisi bayi pada
kelahiran, perhatikan kebutuhan
terhadap resusitasi atau petunjuk
adanya ekimosis atau petekie yang
berlebihan, stress dingin, asfiksia, atau
asidosis.
Pertahankan bayi tetap hangat dan
kering; pantau kulit dan suhu inti
dengan sering.
Mulai pemberian makan oral awal
dalam 4 sampai 6 jam setelah
kelahiran, khususnya bila bayi diberi
ASI. Kaji bayi terhadap tanda – tanda
hipoglikemia. Dapatkan kadar
Dextrostix, sesuai indikasi.
Resorpsi darah yang terjebak pada
jaringan kulit kepala janin dan
hemolisis yang berlebihan dapat
meningkatkan jumlah bilirubin yang
dilepaskan dan menyebabkan ikterik.
Asfiksia dan asidosis menurunkan
afinitas bilirubin terhadap albumin.
Stress dingin berpotensi melepaskan
asam lemak, yang bersaing pada sisi
ikatan pada albumin, sehingga
meningkatkan kadar bilirubin yang
bersirkulasi dengan bebas (tidak
berikatan).
Keberadaan flora usus yang sesuai
untuk pengurangan bilirubin terhadap
urobilinogen; turunkan sirkulasi
enterohepatik bilirubin (melintasi hepar
dengan duktus venosus menetap); dan
menurunkan resorpsi bilirubin dari usus
dengan meningkatkan pasase
mekonium. Hipoglikemia memerlukan
penggunaan simpanan lemak untuk
asam lemak pelepas energy, yang
25
Evaluasi tingkat nutrisi ibu dan
prenatal; perhatikan kemungkinan
hipoproteinemia neonates, khususnya
pada bayi praterm.
Observasi bayi dalam sinar alamiah,
perhatikan sclera dan mukosa oral,
kulit menguning segera setelah
pemutihan, dan bagian tubuh tertentu
terlibat. Kaji mukosa oral, bagian
posterior dari palatum keras, dan
kantung konjungtiva pada bayi baru
lahir yang berkulit gelap.
Perhatikan usia bayi pada awitan
ikterik; bedakan tipe ikterik (mis,
fisiologis, akibat ASI, atau patologis)
bersaing dengan bilirubin untuk bagian
ikatan pada albumin.
Hipoproteinemia pada bayi baru lahir
dapat mengakibatkan ikterik. Satu gram
albumin membawa 16 mg bilirubin
tidak terikat (indirek), yang dapat
melewati barier darah – otak.
Mendeteksi bukti / derajat ikterik.
Penampilan klinis dari ikterik jelas pada
kadar bilirubin lebih besar dari 7 – 8
mg/dl pada bayi cukup bulan. Perkiraan
derajat ikterik adalah sebagai berikut,
dengan ikterik yang dimulai dari kepala
ke jari kaki, 4 – 8 mg/dl ; batang tubuh
5 – 12 mg/dl; lipat paha, 8 – 16 mg/dl;
lengan / kaki, 11 – 18 mg/dl; dan tangan
/ kaki, 15 – 20 mg/dl. Pigmen dasar
kuning mungkin normal pada bayi
berkulit gelap.
Ikterik fisiologis biasanya tampak
antara hari pertama dan kedua dari
kehidupan, seperti kelebihan SDM yang
diperlukan untuk mempertahankan
oksigenisasi adekuat pada janin tidak
lagi diperlukan oleh bayi baru lahir dan
dihemolisis, sehingga melepaskan
bilirubin, produk pemecahan akhir dari
heme. Ikterik karena ASI biasanya
26
Gunakan meter ikterik transkutaneus
Kaji bayi terhadap kemajuan tanda –
tanda dan perubahan perilaku ; Tahap
I meliputi neurodepresan (mis, letargi,
hipotonia, atau penurunan / tadak
adanya reflex). Tahap II meliputi
neurohiperefleksia (mis, kedutan,
kacau mental, opistotonus, atau
demam). Tahap III ditandai dengan
adanya manifestasi klinis. Tahap IV
tampak antara hari keempat dan keenam
kehidupan, mempengaruhi hanya 1% -
2% bayi menyusu. ASI dari banyak
wanita dianggap mengandung enzim
(pregnanidiol) yang menghambat
glukoronil transferase 9enzim hepar
yang berkonjugasi dengan bilirubin),
atau mengandung beberapa kali
konsentrasi ASI normal dari asam
lemak bebas tertentu, yang juga
dianggap menghambat konjugasi
bilirubin. Ikterik patologis tampak
dalam 24 jam pertama kehidupan dan
lebih mungkin menimbulkan
perkembangan kernikterus /
ensefalopati bilirubin.
Memberikan skrining noninvasive
terhadap ikterik, menghitung warna
kulit dalam hubungannya dengan
bilirubin serum total.
Bilirubin tidak terkonjugasi yang
berlebihan (dihubungkan dengan ikterik
patologis) mempunyai afinitas terhadap
jaringan ekstravaskular, meliputi
ganglia basal jaringan otak. Perubahan
perilaku berhubungan dengan
kernikterus biasanya terjadi antara hari
ke – 3 dan ke – 10 kehidupan dan jarang
terjadi sebelum 36 jam kehidupan.
27
meliputi gejala sisa seperti palsi
serebral atau retardasi mental.
Evaluasi bayi terhadap pucat, edema
atau hepatomegali.
Tanda – tanda ini mungkin
berhubungan dengan hidrops fetalis,
inkompatibilitas Rh, dan pada hemolisis
uterus SDM janin.
Kolaborasi
Pantau pemeriksaan laboratorium,
sesuai indikasi.
Bilirubin direk dan indirek.
Tes Coombs darah tali pusat
Bilirubin tampak dalam dua bentuk;
bilirubin direk, yang dikonjugasi oleh
enzim hepar glukoronil transferase, dan
bilirubin indirek, yang dikonjugasi dan
tampak dalam darah atau terikat pada
albumin. Bayi potensial terhadap
kernikterus diprediksi paling baik
melalui peningkatan bilirubin indirek.
Peningkatan kadar bilirubin indirek 18 –
20 mg/dl pada bayi cukup bulan, atau
lebih besar dari 13 – 15 mg/dl pada bayi
praterm atau bayi sakit, adalah
bermakna (Catatan: Bayi stress atau
praterm rentan pada deposisi pigmen
empedu dalam jaringan otak pada kadar
sangat rendah daripada bayi cukup
bulan yang tidak mengalami stress).
Hasil positif dari tes Coombs indirek
28
direk / indirek.
Kekuatan kombinasi
karbondioksida (CO2)
Jumlah retikulosit dan smear
perifer
Hb / Ht
menandakan adanya antibodi (Rh-
positif atau anti-A atau anti-B) pada
adarah ibu dan bayi baru lahir; hasil
positif tes Coombs indirek menandakan
adanya sensitisasi (Rh-positif, anti-A
atau anti-B) SDM pada neonatus.
Penurunan konsisten dengan hemolisis.
Hemolisis berlebihan menyebabkan
jumlah retikulosit meningkat. Smear
mengidentifikasi SDM abnormal atau
imatur.
Peningkatan kadar Hb/Ht (Hb lebih
besar daripada 22 g/dl; Ht lebih besar
dari 65%) menandakan polisitemia,
kemungkinan disebabkan oleh
pelambatan pengkleman tali pusat,
transfuse maternal – ibu, transfuse
kembaran – kembaran, ibu diabetes,
atau stress intrauterus kronis dan
hipoksia, seperti terlihat pada bayi BLR
atau bayi dengan penurunan sirkulasi
pada senta. Hemolisis kelebihan SDM
menyebabkan peningkatan kadar
bilirubin dengan 1 g Hb menghasilkan
35 mg bilirubin. Kadar Hb rendah (14
mg/dl) mungkin dihubungkan dengan
hidrops fetalis atau dengan
29
Protein serum total
Hitung kapasitas ikatan plasma
bilirubin – albumin
Mulai fototerapi per protokol, dengan
menggunakan bola lampu fluoresen
yang di tempatkan di atas bayi atau
bile blanket (kecuali untuk bayi baru
lahir dengan penyakit Rh). (Rujuk
pada DK: cedera, risiko tinggi
terhadap efek samping tindakan
fototerapi; cedera, resiko tinggi
terhadap komplikasi tranfusi tukar).
Hentikan menyusui ASI selama 24-48
inkompatibilitas Rh yang terjadi dalam
uterus serta menyebabkan hemolisis,
edema, dan pucat.
Kadar rendah protein serum (kurang
dari 3,0 g/dl) menandakan penurunan
kapasitas ikatan terhadap bilirubin.
Membantu dalam menentukan risiko
kernikterus dan kebutuhan tindakan.
Bila nilai bilirubin total dibagi dengan
kadar protein total serum kurang dari
3,7 bahaya kernikterus sangat rendah.
Namun, risiko cedera tergantung pada
derajat prematuritas, adanya hipoksia
atau asidosis, dan aturan obat (mis.
Sulfonamide, kloramfenikol).
Menyebabkan foto-oksidasi bilirubin
pada jaringan subkutan, sehingga
meningkatkan kemampuan larut air
bilirubin, yang memungkinkan ekskresi
cepat dari bilirubin dalam feses dan
urine. Kecepatan hemolisis dalam
penyakit Rh biasanya melebihi
kecepatan reduksi bilirubin yag
berhubungan dengan fototerapi,
sehingga tranfusi satu-satunya tindakan
yang tepat
Pendapat bervariasi apakah
30
jam, sesuai indikasi. Bantu ibu sesuai
kebutuhan dengan pemompa payudara
dan memulai lagi menyusui.
Berikan agens induksi enzim
(fenobarbital, etanol) bila di butuhkan.
Bantu dengan persiapan dan
pemberian tanfusi tukar. Gunakan
golongan darah yang sama dengan
bayi, tetapi darah Rh negative atau
golongan O negative, bila hasil tes
Coombs direk pada serum tali pusat
lebih besar dari 3,5 mg/dl pada
minggu pertama kehidupan, kadar
bilirubin serum yang tidak
terkonjugasi lebih besar dari 20 mg/dl
pada 48 jam pertama kehidupan, atau
Hb lebih rendah dari 12 g/dl pada
kelahiran bayi dengan hidrops fetalis.
(rujuk pada DK: cedera, resiko tinggi
terhadap komplikasi tranfusi tukar).
menghentikan menyususi ASI perlu bila
terjadi ikterus. Namun, mencerna
formula meningkatkan motilitas
gastrointestinal dan ekskresi feses dan
pigmen empedu, dan kadar bilirubin
serum mulai turun dalam 48 jam setelah
penghentian menyusui.
Merangsang enzim hepatik untuk
meningkatkan bersihan bilirubin
Tranfusi tukar perlu dalam kasus
anemia hemolitik berat, yang biasanya
berkenaan dengan inkompatibilitas Rh,
untuk menghilangkan SDM tersentisasi
yang akan segera melisis; untuk
menghilangkan bilirubin serum; untuk
memberikan albumin bebas-bilirubin
untuk meningkatkan bagian ikatan
untuk bilirubin; dan untuk mengatasi
anemia dengan memberikan SDM yang
tidak rentan terhadap antibodi ibu.
31
2. Cedera, risiko tinggi terhadap efek samping tindakan fototerapi
berhubungan dengansifat fisik dari intervensi terapeutik dan efek
mekanisme regulasi tubuh.
Kriteria hasil :
BBL akan :
- mempertahankan suhu tubuh dan keseimbangan cairan dalam batas
normal.
- Bebas dari cedera kulit/ jaringan.
- Mendemonstrasika pola interaksi yang di harapkan.
- Menunjukan penurunan kadar bilirubin serum.
TINDAKAN/INTERVENSI RASIONAL
Perhatikan adanya/ perkembangan bilier
atau obstruksi usus.
Ukur kuantitas fotoenergi bola lampu
fluoresen (sinar putih atau biru) dengan
menggunakan fotometer.
Fototerapi dikontraindikasikan pada
kondisi ini karena fotoisomer bilirubin
yang di produksi dalam kulit dan
jaringan subkutan dengan pemajanan
dalam terapi sinar tidak dapat siap
diekskresikan.
Intensitas sinar menembus permukaan
kulit dari spectrum biru (sinar biru)
menentukan seberapa dekat bayi di
tempatkan terhadap sinar. Sinar biru
dan biru khusus di pertimbangkan lebih
efektif dari pada sinar putih dalam
meningkatkan pemecahan bilirubin,
tetapi hal ini membuat kesulitan dalam
mengevaluasi bayi baru lahir terhadap
sianosis.
32
Dokumentasikan tipe lampu fluoresen,
jumlah jam total sejak bola lampu di
tempatkan, dan pengukuran jarak antara
permukaan lampu dan bayi.
Berikan tameng untuk menutup mata;
inspeksi mata setiap 2 jam bila tameng
di lepaskan untuk pemberian makan.
Sering pantau posisi tameng.
Tutup testis dan penis bayi pria
Pasang lapisan Plexigas diantara bayi
dan sinar
Pantau kulit neonatus dan suhu inti
Emisi sinar dapat bekurang dengan
jalannya waktu. Bayi harus di
tempatkan kira-kira 18-20 inci dari
sumber lampu untuk keuntungan
maksimal. (catatan: penggunaan
selimut fiberoptik yang di sambungkan
ke illuminator [sumber sinar]
memungkinkan bayi “terbungkus”
dalam sinar terpeutik tanpa resiko pada
kornea. Selain itu, bayi dapat di
gendong dan di beri makan tanpa
perhentian terapi).
Mencegah kemungkinan kerusakan
retina dan konjungtiva dari sinar
intensitas tinggi. Pemasangan yang
tidak tepat atau pergeseran tameng
dapat menyebabkan iritasi, abrasi
kornea, dan konjungtivitis, dan
penurunan pernafasan oleh obstruksi
pasase nasal.
Mencegah kemungkinan kerusakan
pada testis dari panas.
Menyaring radiasi sinar ultraviolet
(panjang gelombang lebih sedikit dari
380 nm) dan melindungi bayi bila bola
lampu pecah.
Fluktuasi pada suhu tubuh dapat terjadi
33
setiap 2 jam atau lebih sering sampai
stabil (misal, suhu aksila 97,8ºF, suhu
rektal 98,9ºF). Aur suhu
inkubator/isolette dengan tepat.
Ubah posisi bayi setiap 2 jam.
Pantau masukan dan haluaran cairan;
timbang berat badan bayi dua kali
sehari. Perhatikan tanda-tanda dehidrasi
(misal, penurunan haluaran urin,
fontanel tertekan, kulit hangat atau
kering dengan turgor buruk, dan mata
cekung). Tingkatkan masukan cairan
per oral sedikitnya 25%.
Perhatikan warna dan frekuensi defekasi
dan urin.
Dengan hati-hati cuci area perianal
setelah setiap defekasi; inspeksi kulit
terhadap kemungkinan iritasi atau
kerusakan.
Bawa bayi pada orang tua untuk
sebagai respons terhadap pemajanan
sinar, radiasi, dan konveksi.
Memungkinkan pemajanan seimbang
dari permukaan kulit terhadap sinar
fluoresen, mencegah pemajanan
berlebihan dari bagian tubuh individu,
dan membatasi area tertekan.
Peningkatan kehilangan air melalui
feses dan evaporasi dapat
menyebabkan dehidrasi. (Catatan: bayi
dapat tidur lebih lama dalam
hubungannya dengan fototerapi,
meningkatkan risikko dehidrasi bila
jadwal pemberian makan yang sering
tidak dipertahankan).
Defekasi encer, sering dan kehijauan
serta urin kehijauan menandakan
keefektifan fototerapi dengan
pemecahan dan ekskresi bilirubin.
Membantu mencegah iritasi dan
ekskoriasi dari defekasi yang sering
atau encer.
Membantu mengembangkan proses
34
pemberian makan. Anjurkan
menggosok, menimang, kontak mata,
dan bicara pada bayi selama pemberian
makan. Anjurkan orangtua untuk
berinteraksi dengan bayi dalam ruang
perawatan diantara pemberian makan.
Perhatikan perubahan perilaku atau
tanda-tanda penyimpangan kondisi
(mis, letargi, hipotonia, hipertonisitas,
atau tanda-tanda eksrapiramidal).
Evaluasi penampilan kulit dan urin,
perhatikan warna hitam kecoklatan.
Kolaborasi
Pantau pemeriksaan labotarium sesuai
indikasi:
Kadar bilirubin setiap 12 jam
kedekatan, yang mungkin lambat
karena perpisahan yang diperlukan
untuk fototerapi. Stimulasi visual,
taktil, dan auditorius membantu bayi
mengatasi penyimpangan sensori.
Fototerapi intermiten tidak secara
negatif mempengaruhi proses foto-
oksidan.
Perubahan ini dapat bermakna deposisi
pigmen empedu pada basal ganglia dan
terjadinya kernikterus.
Efek samping tidak umum dari
fototerapi meliputi perubahan pigmen
menyolok (sindrom bayi bronze), yang
dapat terjadi bila kadar bilirubin
terkonjugasi meningkat. Perubahan
dalam warna kulit dapat berakhir
selama 2-4 bulan, tetapi tidak
berkenaan dengan gejala sisa
berbahaya.
Penurunan pada kadar bilirubin
menandakan keefektifan fototerapi;
peningkatan yang kontinu menandakan
hemolisis yang kontinu dan dapat
35
Kadar Hb
Trombosit dan sel darah putih
(SDP)
menandakan kebutuhan terhadap
transfusi tukar. (Catatan: Sampel darah
yang diambil untuk penentuan bilirubin
harus dilindungi dari sinar untuk
mencegah foto-oksidan lanjut
Hemolisis lanjut dimanifestasikan oleh
penurunan kontinu pada kadar Hb.
Trombositopenia selama fototerapi
telah dilaporkan pada beberapa bayi.
Penurunan SDP menunjukkan
kemungkinan efek pada limfosit
perifer.
3. Cedera, risiko tinggi terhadap komplikasi dari transfusi tukar berhubungan
dengan prosedur invasif, profil darah abnormal, ketidakseimbangan kimia.
Kriteria hasil :
Bayi baru lahir akan:
- Menyelesaikan transfusi tukar tanpa komplikasi.
- Menunjukan penurunan kadar bilirubin serum.
TINDAKAN/INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
Perhatikan kondisi tali pusat bayi
sebelum transfusi bila vena umbilikal
digunakan. Bila tali pusat kering,
berikan pencucian saline selama 30-60
Pencucian mungkin perlu untuk
melunakkan tali pusat dan vena
umbilikus sebelum transfusi untuk akses
I.V. dan memudahkan pasase kateter
36
menit sebelum prosedur.
Pertahankan puasa selama 4 jam
sebelum prosedur, atau aspirat isi
lambung.
Jamin ketersediaan alat resusitatif.
Pertahankan suhu tubuh sebelum,
selama, dan setelah prosedur.
Tempatkan bayi dibawah penyebar
hangat deengan servomekanisme.
Hangatkan darah sebelum pengifusan
dengan menepatkan didalam inkubator,
hangatkan baskom birisi air, atau
penghangat darah.
Pastikan golongan darah serta faktor Rh
bayi dan ibu. Perhatikan golongan
darah dan faktor Rh darah untuk
ditukar. (Darah tukar akan sama
golongannya dengan darah bayi, tetapi
darah Rh-negatif atau golongan O-
negatif yang telah dicocokan silang
dengan darah ibu sebelumnya).
Jamin kesegaran darah (tidak lebih dari
2 hari usianya). Darah yang diberi
heparin lebih disukai.
umbilikal.
Menurunkan risiko kemungkinan
regurgitasi dan aspirasi selama
prosedur.
Untuk memberikan dukungan segera
bila perlu.
Membantu mencegah hipotermia dan
vasospasme, menurunkan risiko fibrilasi
ventrikel, dan menurunkan viskositas
darah.
Transfusi tukar paling sering
dihubungkan dengan masalah
inkompatibilitas Rh. Dengan
menggunakan darah Rh0 (D)-positif
akan hanya meningkatkan hemolisis dan
kadar bilirubin, karena antibodi pada
sirkulasi bayi akan merusak SDM yang
baru.
Darah yang lama lebih mungkin
mengalami hemolisis, karenanya
meningkatkan kadar bilirubin. Darah
yang diberi heparin selalu baru, tetapi
37
Pantau tekanan vena, nadi, warna dan
frekuensi pernapasan/kemudahan
sebelum, selama transfusi. Lakukan
penghisapan bila diperlukan.
Dengan hati-hati dokumentasikan
kejadian selama transfusi, pencatatan
jumlah daraah yang diambil dan
diinjeksikan (biasanya 7-20 ml
sekaligus).
Pantau tanda-tanda ketidakseimbangan
elektrolit (mis; gugup, aktivitas kejang,
dan apnea; hiperrefleksia; bradikardia;
atau diare).
Kaji bayi terhadap perdarahan
berlebihan dari lokasi I.V. setelah
transfusi.
Kolaborasi
Pantau pemeriksaan laboratorium
harus dibuang bila tidak digunakan
dalam 24 jam.
Membuat nilai data dasar,
mengidentifikasi potensial kondisi tidak
stabil (mis; apnea atau disritmia atau
henti jantung), dan mempertahankan
jalan napas. (Catatan : Bradikardia
dapat terjadi bila kalsium diinjeksikan
terlalu cepat).
Membantu mencegah kesalahan dalam
penggantian cairan. Jumlah darah yang
ditukar kira-kira 170 ml/kg berat badan.
Volume ganda transfusi menjamin
bahwa antara 75% dan 90% sirkulasi
SDM digantikan.
Hipokalsemia dan hiperkalemia dapat
terjadi selama dan setelah transfusi
tukar.
Penginfusan darah yang diberi
heparin(atau darah sitrat tanpa
penggantian kalsium) mengubah
koagulasi selama 4 sampai 6 jam setelah
transfusi tukar dan dapat mengakibatkan
perdarahan.
38
sesuai indikasi:
Kadar Hb atau Ht sebelum dan
setelah transfusi.
Kadar bilirubin serum segera
setelah prosedur, kemudian setiap
4 sampai 8 jam.
Protein serum total.
Kalsium dan kalium serum.
Glukosa
Bila Ht kurang dari 40% sebelum
transfusi, pertukaran sebagian dengan
SDM kemasan dapat mendahului
pertukaran penuh. Penurunan kadar
setelah transfusi menandakan kebutuhan
terhadap transfusi kedua.
Kadar bilirubin dapat menurun sampai
setengah segera setelah prosedur, tetapi
dapat meningkat dengan cepat
setelahnya, memerlukan pengulangan
transfusi.
Mengalihkan kadar dengan 3,7
menetukan derajat peningkatan bilirubin
yang memerlukan transfusi tukar
Darah donor mengandung sitrat sebagai
anti koagulan yang mengikat kalsium,
sehinnga menurunkan kadar kalsium
serum. Selainitu, bila darah lebih dari 2
hari, destruksi SDM melepaskan
kalium, menciptakan resiko
hiperkalemia dan henti jantung.
Kadar gukosa rendah mungkin
dihubungkan dengan glikolisis
anaerobik kontinu dalam SDM donor.
Tindakan segera perlu untuk mencegah
39
Kadar pH serum
Berikan albumin sebelum transfusi bila
diindikasikan.
Berikan obat-obatan, sesuai indikasi:
Kalsium glukonat 5 %.
Natrium bikarbonat.
Protamin sulfat.
efek buruk/kerusakan SSP.
pH serum dari darah donor secara khas
6,8 atau kurrang. Asidosis dapat terjadi
bila darah segar tidak digunakan dan
hepar bayi tidak dapat
memetabolismesitrat yang digunakan
sebagai antikogulan, atau bila darah
donor melanjutkan glikolisis anaerobik,
daengan produksi asam metabolit.
Meskipun masih kontroversial,
pemberian albumin dapat meningkatkan
ketrsediaan albumin untuk berikatan
denngan bilirubin, karenanya
menurunkan kadar bilirubin serum
sirkulasi yang bebas. Albumin sintesis
tidak dianggap meningkatkan
ketersediaan bagian ikatan.
Dari 2 sampai 4 ml kalsium glukonat
dapat diberikan setelah setiap 100 ml
pengifusan darah untuk memperbaiki
hipokalsemia dan meminimalkan
kemungkinan iritabilitas jantung.
(catatan: beberapa kontroversi ada
dalam hal tujuan dan keefektifan praktik
ini.)
Memperbaiki asidosis.
40
Mengimbangi efek-efek antikoagulan
dari darah yang di beri heparin.
4. Kurang pengetahuan [kebutuhan belajar], mengenai kondisi, prognosis,
dan kebutuhan tindakan berhubungan dengan kurang pemajanan,
kesalahan interpretasi, tidak mengenal sumber informasi dibuktikan
dengan pernyataan masalah/kesalahan konsep, meminta informasi,
ketidaktepatan mengikuti instruksi.
Kriteria hasil:
- Mengungkapkan pemahaman tentang penyebab, tindakan, dan
kemungkinan hasil hiperbilirubinemia.
- Mendemonstrasikan perawatan bayi yang tepat.
TINDAKAN/INTERVENSI RASIONAL
Mandiri :
Berikan informasi tentang tipe-tipe
ikterik dan faktor-faktor patofisiologis
dan implikasi masa datang dari
hiperbilirubinemia. Anjurkan untuk
mengajukan pertanyaan; tegaskan atau
perjelas informasi sesuai kebutuhan.
Tinjau ulang maksud dari mengkaji
bayi terhadap peningkatan kadar
bilirubin (mis, mengobservasi
pemucatan kulit di atas tonjolan tulang
atau perubahan perilaku), khususnya
bila bayi dipulangkan dini. Berikan
nomor telepon darurat 24 jam dan nama
Memperbaiki kesalahan konsep,
meningkatkan pemahaman, dan
menurunkan rasa takut dan perasaan
barsalah. Ikterik neonatus mungkin
fisiologis, akibat ASI, atau patologis,
dan protokol perawatan tergantung
pada penyebabnyadan faktor pemberat
Memungkinkan orangtua mengenali
tanda-tanda peningkatan kadar bilirubin
dan mencari evaluasi medis tepat
waktu.
41
orang yang akan dihubungi kepada
orang tua, dan tekankan pentingnya
melaporkan peningkatan ikterik.
Diskusikan penatalaksanaan di rumah
dari ikterik fisiologis ringan atau
sedang, termasuk peningkatan
pemberian makan, pemajanan langsung
pada sinar matahari, dan program
tindak lanjut tes serum.
Berikan informasi tentang
mempertahankan suplai ASI melalui
penggunaan pompa payudara dan
tentang kembali menyusui ASI bila
ikterik memerlukan pemutusan
menyusui.
Diskusikan kebutuhan terhadap imun
globulin Rh (Rh-Ig) dalam 72 jam
setelah kelahiran untuk ibu yang Rh-
negatif dengan bayi/janin Rh-positif
dan yang belum disensitisasi.
Kaji situasi keluarga dan sisitem
pendukung. Berikan orang tua
penjelasan tertulis yang tepat tentang
Pemahaman orangtua membantu
mengembangkan kerja sama mereka
bila bayi dipulangkan. Informasi
membantu orangtua melaksanakan
penatalaksanaan dengan aman dan tepat
dan mengenali pentingnya semua aspek
program penatalaksanaan.
Membantu ibu untuk mempertahankan
pemahaman pentingnya terapi.
Mempertahankan supaya orangtua tetap
mendapatkan informasi tentang
keadaan bayi. Meningkatkan keputusan
berdasarkan informasi.
Pada klien RH0-negatif tanpa antibodi
Rh, yang telah memberikan kelahiran
pada bayi Rh0 (Du)-positif. RH-Ig dapat
menurunkan insiden isoimunisasi
maternal pada ibu nonsensitisasi dan
dapat membantu mencegah
eritoblastosis fetalispada kehamilan
selanjutnya.
Fototerapi di rumah dianjurkan hanya
untuk bayi cukup bulan setelah 48 jam
pertama kehidupan, di mana kadar
42
fototerapi di rumah, daftarkan teknik
dan potensial masalah.
Berikan rujukan yang tepat untuk
program fototerapi di rumah bila perlu.
Buat pengaturan yang tepat untuk tes
tindak lanjut dari bilirubin serum pada
fasilitas laboratorium.
Diskusikan kemungkinan efek-efek
jangka panjang dari hiperbilirubinnemia
dan kebutuhan terhadap pengkajian
lanjut dan intervensi dini.
bilirubin serum antara 14 dan 18 mg/dl
tanpa peningkatan konsentrasi bilirubin
reaksi langsung.
Kurang ketersediaan sistem pendukung
dan pendidikan memerlukan
penggunaan perawat berkunjung untuk
memantau program foto terapi di
rumah.
Tindakan dihentikan bila konsentrasi
bilirubin serum turun di bawah 14
mg/dl, tetapi kadar serum harus di
periksa ulang dalam 12-24 jam untuk
mendeteksi kemungkinan
hiperbilirubinemia berbalik.
Kerusakan neurologis dihubungkan
dengan kernikterus meliputi kematian,
palsi serebral, reterdasi mental,
kesulitan sensori, pelambatan bicara,
koordinasi buruk, kesulitan, kesulitan
pembelajaran, dan hipoplasia email atau
warna gigi hijau kekuningan.
4. Implementasi
Implementasi yang dilakukan berdasarkan intervensi keperawatan yang
telah disusun.
5. Evaluasi
43
a. Cedera terhadap keterlibatan sistem saraf pusat tidak terjadi.
b. Cedera terhadap efek samping tindakan fototerapi dapat dicegah.
c. Cedera terhadap komplikasi dari transfusi tukar tidak terjadi.
d. Pengetahuan klien bertambah.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
44
Top Related