Download - Artritis Reumatoid (AR)

Transcript
Page 1: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh sinovitis erosive

yang simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular.1

Sebagian besar kasus perjalanannya kronik fluktuatif yang mengakibatkan kerusakan sendi

yang progresif, kecacatan dan bahkan kematian dini.

Dampak penting dari AR adalah kerusakan sendi dan kecacatan. Kerusakan sendi pada

AR terjadi terutama dalam 2 tahun pertama perjalanan penyakit. Kerusakan ini bisa dicegah

atau dikurangi dengan pemberian DMARD, sehingga diagnosis dini dan terapi agresif sangat

penting untuk mencegah terjadinya kecacatan pada pasien AR. Pada sisi lain diagnosis dini

dan terapi agresif sangat penting untuk mencegah terjadinya kecacatan pada pasien AR. Pada

sisi lain diagnosis dini sering menghadapi kendala yaitu pada dini sering belum didapatkan

gambaran karakteristik AR karena gambaran karakteristik AR berkembang sejalan dengan

waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat. Diagnosis

AR hingga saat ini masih mengacu pada criteria diagnosis menurut ACR tahun 1987, tetapi di

Indonesia gejala klinis nodul rheumatoid sangat jarang ditemui.1 Berdasarkan hal ini perlu

dipikirkan untuk membuat criteria diagnosis AR versi Indonesia pada masa yang akan datang

berdasarkan data pola klinis AR di Indonesia. Artritis Reumatoid sering mengenai penduduk

pada usia produktif sehingga member dampak social dan ekonomi yang besar.

Page 1

Page 2: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

BAB II

Nyeri dan bengkak pada pergelangan dan jari-jari tangan, simetris, disertai kaku di

pagi hari

I. ANAMNESIS

a. Riwayat Penyakit

Riwayat penyakit sangat penting dalam langkah awal diagnosis semua penyakit, termasuk

pula penyakit reumatik. Sebagaimana biasanya diperlukan riwayat penyakit yang deskriptif

dan kronologis.

b. Umur

Penyakit reumatik dapat menyerang semua umur, tetapi frekuensi setiap penyakit terdapat

pada kelompok umur tertentu. Misalnya osteoarthritis lebih sering ditemukan pada pasien

lanjut usia dibandingkan usia muda. Sebaliknya lupus eritematosus sistemik lebih ditemukan

pada kelompok wanita muda dibandingkan kelompok usia lainnya.

c. Jenis Kelamin

Pada penyakit reumatik perbandingan jenis kelamin berbeda pada beberapa kelompok

penyakit.

d. Nyeri Sendi

Nyeri sendi merupakan keluhan utama pasien reumatik. Pasien sebaiknya diminta

menjelaskan lokasi nyeri serta punctum maximumnya , karena mungkin sekali nyeri tersebut

menjalar ke tempat jauh merupakan keluhan karakteristik yang disebabkan oleh penekanan

radiks saraf.3,4 Pentingnya untuk membedakan nyeri yang disebabkan perubahan mekanis

dengan yang disebabkan inflamasi. Nyeri yang timbul setelah aktivitas dan hilang setelah

istirahat serta tidak timbul pada pagi hari merupakan tanda nyeri mekanis. Sebaliknya nyeri

inflamasi akan bertambah berat pada pagi hari saat bangun tidur dan disertai kaku sendi atau

nyeri yang hebat pada awal gerak dan berkurang setelah melakukan aktivitas. Terdapat

beberapa hal penting yang menjadi dasar kajian awal terhadap rasa nyeri yang dikeluhkan

seorang pasien, yaitu:

Lokasi nyeri

Page 2

Page 3: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Mintalah pada pasien untuk menjelaskan daerah mana yang merupakan bagian paling

nyeri atau sumber nyeri. Walaupun demikian perlu diperhatiakan bahwa lokasi anatomic

ini belum tentu sebagai sumber rasa nyeri yang dikeluhkan pasien.

Intensitas nyeri

Pada umumnya digunakan rating scale dengan analogi visual atau dikenal sebagai

Visual Analogue Scale (VAS).3,4 Mintalah pasien membuat rating terhadap rasa nyerinya

(0-10) baik yang dirasakaan saat ini, kapan nyeri yang paling buruk dirasakan atau yang

paling ringan dan pada tingkatan mana rasa nyeri masih dapat diterima.

Kualitas nyeri

Gunakan terminologi yang dikemukakan pasien itu sendiri seperti nyeri tajam, seperti

terbakar, seprti tertarik, nyeri tersayat dan sebagainya.

Awitan nyeri, variasi durasi dan ritme

Perlu ditanyakan kapan mulai nyeri terjadi, variasi lamanya kejadian nyeri itu sendiri

serta adakah irama atau ritme terjadinya maupun intensitas nyeri. Apakah nyeri tetap

berada pada lokasi yang diceritakan pasien? Apakah nyeri menetap atau hilang timbul

(breakhtrough pain) ?.

Faktor pemberat dan yang meringankan nyeri

Apa saja yang dapat memberatkan rasa nyeri yang diderita pasien dan factor apa saja

yang meringankan rasa nyeri hendaklah ditanyakan pada pasein tersebut.

Pengaruh nyeri

Dampak nyeri yang perlu ditanyakan adalah seputar kualitas hidup atau terhadap hal-

hal yang lebih spesifik seperti pengaruhnya terhadap pola tidur, selera makan, energi,

aktivitas keseharian, hubungan dengan sesame manusia, atau mungkin terhadap mood,

kesulitan berkonsentrasi pada pekerjaan, pembicaraan dan sebagainya.

Gejala lain yang menyertai

Apakah pasien menderita keluhan lainnya disamping rasa nyeri seprti gatal, mual dan

muntah, konstipasi, mengantuk, atau terlihat bingung, retensio urinae serta kelemahan ?.

e. Kaku Sendi

Kaku sendi merupakan rasa seperti diikat, pasien merasa sukar untuk menggerakkan sendi

(worn off).2 Keadaan ini biasanya akibat desakan cairan yang berada di sekitar jaringan yang

mengalami inflamasi(kapsul sendi, sinovia, dan bursa). Kaku sendi makin nyata pada pagi

hari atau setelah istirahat. Setelah digerak – gerakkan, cairan akan menyebar dari jaringan

Page 3

Page 4: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

yang mengalami inflamasi dan pasien merasa terlepas dari ikatan (wears off).3,4 Lama dan

beratnya kaku send pada pagi hari atau setelah istirahat biasanya sejajar dengan beratnya

inflamasi sendi (kaku sendi pada AR lebih lama daripada OA ; kaku sendi pada AR berat

lebih lama daripada AR ringan).

f. Bengak Sendi dan Deformitas

Pasien yang sering mengalami bengkak sendi, ada perubahan warna, perubahan bentuk

atau perubahan posisi struktur ekstremitas. Biasanya yang dimaksud pasien dengan

deformitas ialah posisi yang salah, dislokasi atau subluksasi.

g. Disabilitas dan Handicap

Disabilitas terjadi apabila suatu jaringan, organ atau system tidak dapat berfungsi secara

adekuat. Handicap terjadi bila disabilitas mengganggu aktivitas sehari – hari, aktivitas social

atau mengganggu pekerjaan/jabatan pasien. Disabilitas yang nyata belum tentu menyebabkan

handicap (seseorang yang diamputasi kakinya di atas lutut mungkin tidak akan mengalamai

kesukaran bila pekerjaan yang bersangkutan dapat dilakukan sambil duduk saja). Sebaliknya

disabilitas ringan justru dapat mengakibatkan handicap.3,4

h. Gejala Sistemik

Penyakit sendi inflamator baik disertai maupun tidak disertai keterlibatan multisystem

lainnya akan mengakibatkan peningkatan reaktan fase akut seperti peninggian LED atau

CRP. Selain itu akan disertai gejala sistemik seperti panas, penurunan berat badan, kelelahan,

lesu, dan mudah terangsang. Kadang – kadang pasien mengeluh hal yang tidak spesifik,

seperti merasa tidak enak badan. Pada orang usia lanjut sering disertai gejala kekacauan

mental.

II. PEMERIKSAAN

II.1. PEMERIKSAAN FISIK

1. Selama inspeksi, kita harus memperhatikan kesimetrisan bagian yang terkena. Apakah

terdapat perubahan yang simetris pada persendian di kedua sisi tubuh, atau apakah

perubahan hanya terjadi pada satu atau dua sendi saja?

Kelainan akut hanya pada satu sendi menunjukkan trauma, arthritis septic, arthritis

gout. Arthritis rheumatoid secara khas melibatkan beberapa sendi dan distribusi

kelainannya simetris.5 Juga perhatikan setiap deformitas atau ketidaksejajaran tulang.

2. Gunakan inspeksi dan palpasi untuk memeriksa jaringan di sekitarnya dengan

memperhatikan perubahan kulit, nodule subkutan, serta atrofi otot. Perhatikan setiap

gejala krepitasi, yaitu bunyi gemeretak yang dapat didengar dan/diraba ketika terjadi

Page 4

Page 5: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

gerakan tendon atau ligamentum pada tulang. Keadaan ini dapat terjadi pada sendi yang

normal tetapi lebih signifikan ketika disertai gejala maupun tanda.

Nodul subkutan ditemukan pada RA atau demam rematik, efusi ditemukan pada

trauma, krepitasi ditemukan pada daerah sendi yang mengalami inflamasi,

osteoarthritis atau selubung tendon yang mengalami inflamasi.5

3. Pengujian kisaran gerak dan manuver (yang dijelaskan untuk setiap sendi) dapat

memperlihatkan keterbatasan pada kisaran gerak atau peningkatan mobilitas dan

instabilitas sendi karena mobilitas ligamentum sendi yang berlebihan; keadaan ini

dinamakan kelemahan(laksitasi) ligamentum.

Berkurangnya kisaran gerak ditemukan pada arthritis, inflamasi jaringan di sekitar

sendi, fibrosis pada sendi atau di sekitarnya, atau fiksasi tulang (onkilosis).

Kelemahan (laksitas) ligamentum krusiatum anterior (LKA) ditemukan pada trauma

lutut.

4. Pengujian kekuatan otot dapat membantu menilai fungsi sendi.

Atrofi atau kelemahan otot terjadi pada arthritis rematoid. Waspadai khususnya

terhadap tanda-tanda inflamasi dan arthritis.

5. Pembengkakan. Pembengkakan yang dapat diraba meliputi (1) membrane sinovial yang

dapat teraba lunak seperti spons atau liat seperti adonan roti; (2) efusi akibat cairan

sinovial yang berlebihan dalam rongga sendi; dan (3) struktur jaringan lunak seperti

bursa, tendon, serta selubung tendon.

Perabaan lunak seperti spons atau liat seperti adonan roti yang dapat dirasakanpada

membrane sinovia menunjukkan sinovitis yang sering disertai efusi. Cairan sendi

yang dapat diraba ditemukan pada efusi sendi; nyeri tekan di daerah selubung tendon

pada tendinitis.

6. Kalor (rasa hangat). Gunakan punggung jari tangan untuk membandingkan sendi yang

sakit dengan sendo kontralateralnya yang sehat, atau dengan jaringan di sekitarnya jika

kedua sendi itu mengalami inflamasi.

Arthritis, tendinitis, bursitis, osteomielitis.

7. Nyeri tekan. Coba identifikasi struktur anatomic spesifik terasa nyeri ketika ditekan.

Trauma dapat pula menyebabkan nyeri tekan.

Gejala nyeri tekan dan rasa hangat (kalor) di daerah sinovium yang menebal dapat

menunjukkan arthritis atau infeksi.

Page 5

Page 6: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

8. Kemerahan (rubor). Kemerahan pada kulit di atasnya merupakan tanda inflamasi yang

paling jarang ditemukan di dekat persendian.

Kemerahan (rubor) pada sendi yang nyeri ketika ditekan menunjukkan arthritis septic

atau artritis gout, atau mungkin pula arthritis rematoid.

II.2. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Artrosentesis dan Analisis Cairan Sendi

Artrosentesis (aspirasi cairan sendi) dan analisis cairan sendi merupakan pemeriksaan

yang sangat penting di bidang reumatologi, baik untuk diagnosis ataupun penatalaksanaan

penyakit reumatik. Analisis cairan sendi bisa dianalogikan seperti pemeriksaan urinalisis

untuk menilai kelaina traktus urinarius. Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan macros,

mikroskopik, dan beberapa pemeriksaan khusus, dimana dari pemeriksaan ini cairan sendi

abnormal dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu : inflamasi, non inflamasi, purulen,

dan hemoragik.6 Walaupun dari masing – masing kategori tersebut terdapat beberapapenyakit

yang menyebabkannya, tetapi paling tidak pemeriksaan ini dapat mempersempit diagnosis

banding. Berdasarkan hasil analisis sejumlah penelitian, Shmerling menyimpulkan bahwa ada

dua alas an terpenting dari analisis cairan sendi adalah untuk identifikasi infeksi sendi dan

diagnosis artropati Kristal.6 Pada umumnya cairan sendi diperoleh dari lutut, walaupun dapat

pula dari sendi – sendi lainnya seperti bahu, siku, dan pergelangan kaki.

Indikasi

Diagnostik

Membantu diagnostic artritis

Memberikan konfirmasi diagnostic klinis

Selama pengobatan artritis septic, artrosentesis dilakukan secara serial untuk

menghitung jumlah leukosit, pengecatan gram dan kultur cairan sendi.

Terapeutik

Artrosentesis saja

Evakuasi kristel untuk mengurangi inflamasi pada pseudogout akut dan crystal

induced arthritis lain.

Evakuasi serial pada artritis septic untuk mengurangi destruksi sendi.

Pemberian kortikosteroid intraartikular

Page 6

Page 7: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Mengontrol inflamasi steril pada sendi, bila obat anti inflamasi non steroid telah

gagal, kemungkinan akan gagal atau merupakan kontraindikasi.

Mempersingkat periode nyeri pada artritis gout

Menghilangkan nyeri inflamasi dengan cepat

Membantu terapi fisik pada kontraktur sendi

Kontraindikasi

Diagnosis

Infeksi jaringan lunak yang menutupi sendi

Bakteriemi

Secara anatomis tidak bisa dilakukan

Pasien tidak kooperatif

Terapeutik

Kontraindikasi diagnostic

Instabilitas sendi

Gambaran Analisa Cairan Sendi Normal6

Jenis pemeriksaan Nilai normal Rata - rata

PH 7.3-7.43 7.38

Jumlah Leukosit/mm3 13-180 63

PMN 0-25 7

Limfosit 0-78 24

Monosit 0-71 48

Sel sinovia 0-12 4

Protein total g/dl 1.2-3.0 1.8

Albumin (%) 56-63 60

Globulin (%) 37-44 40

Page 7

Page 8: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Hyaluronat g/dl 0.3

Nekrosis avaskular

Artritis septic

C-Reactive Protein (CRP) 6

Kondisi yang berhubungan dengan peningkatan CRP

Normal atau peningkatan

tidak signifikan (<1

mg/dl)

Peningkatan sedang

(1-10 mg/dl)

Peningkatan tinggi

(>10 mg/dl)

Kerja berat Infark miokard Infeksi bakteri akut

Common cold Keganasan Trauma berat

Kehamilan Pancreatitis Vaskulitis sistemik

Gingivitis Infeksi mukosa

Stroke Bronchitis.sistitis

Kejang Penyakit rematik

Angina

CRP merupakan salah satu protein fase akut, CRP terdapat dalam konsentrasi rendah

(trace) pada manusia. CRP adalah suatu alfa globulin yang timbul dalam serum setelah

terjadinya proses inflamasi. CRP mempunyai kemampuan untuk mengaktivasi jalur klasik

komplemen setelah berintegrasi dan berikatan dengan berbagai ligan biologic, kemudian

memacu perubahan sel fagosit melalui jalur proinflamasi dan anti inflamasi

Faktor Reumatoid (FR)

FR merupakan antibody sendiri terhadap determinan antigenic a pada fragmen Fe dari

immunoglobulin. Klas immunoglobulin yang muncul dari antibody ini ialah IgM, IgA, IgG,

IgE. Tetapi yang selama ini diukur ialah factor rheumatoid kelas IgM. Istilah reumatoidnya

diberikan karena factor ini kebnayakan diberikan pada AR.

Page 8

Page 9: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Perbandingan FR pada AR dan penyakit non- reumatik6

Factor Reumatoid AR Penyakit non reumatik

Titer Tinggi Rendah

Heterogenitas ++ +

Reaksinya terhadap gamma globulin

manusia dan hewan

Lengkap Tidak lengkap

Klas immunoglobulin IgM,IgG,IgA Terutama IgM

Lokasi produksi Sinovium dan tempat

ekstravaskuler lainnya

Tidak jelas tetapi bukan pada

daerah synovial

Radiologik

Perubahan radiologis baru terlihat lama setelah terjadi gejala klinis. Arthritis rematoid

cenderung memiliki distribusi yang simetris, paling sering mengenai tangan dan kaki. Setiap

sendi synovial dapat terlibat, tanda-tanda yang paling signifikan pada ruang sendi, erosi

marginal, dan osteoporosis periartrikular.

Gambaran berikut dapat ditemukan:7

Pembengkakan sendi: akibat proliferasi membrane synovial dan efusi sendi.

Erosi: pada awalnya berlokasi pada daerah periartrikular di sepanjang tepi sendi, di mana

tidak terdapat lapisan pelindung. Erosi biasanya menyebar melewati permukaan

artrikular.

Osteoporosis: pada awalnya berada di periartrikular, namun kemudian menjadi umum

akibat tidak digunakan dan menjadi hyperemia.

Penyempitan rongga sendi: pelebaran rongga sendi pada daerah di luar penyakit, namun

dapat terjadi penyempitan yang signifikan dari erosi dan deformitas kartilago. Obliterasi

dan destruksi komplet pada ruang sendi sewaktu-waktu dapat menyebabkan ankilosis.

Daerah-daerah khusus yang terlibat :

Tangan: sendi metakapofalang (MCP) dan interfalang proksimal (PIP) adalah yang

paling sering terkena, sedangkan sendi interfalang distal jarang terlibat. Kelainan-

kelainan yang meliputi pembengkakan jaringan lunak dan subluksasi pada sendi-sendi

MCP:

Page 9

Page 10: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Deformitas ‘Boutonniѐrѐ: deformitas fleksi pada sendi interfalang proksimal dan

perluasan pada sendi interfalang distal.

Deformitas ‘swan neck/leher angsa’: hiperekstensi pada sendi interfalang proksimal

dan fleksi pada sendi interfalang distal.

Kaki: secara umum kelainan menyerupai kelainan pada tangan.

Pergelangan tangan: erosi yang disertai penggabungan tulang karpal.

Siku: lokasi yang umum untuk nodul rheumatoid jaringan lunak.

Bahu: erosi pada kaput humerus dan sendi akromioklavikula.

Lutut: penyempitan rongga sendi yang seragam disertai osteoporosis. Kista Baker

merupakan komplikasinya, dengan rupture yang menyebabkan tanda dan gejala yang

menyerupai tanda dan gejala pada thrombosis vena dalam.

Tulang belakang servikal: subluksasi, erosi, dan gabungan. Subluksasi paling sering

terjadi di sendi atlantoaksial.

Pada pemeriksaan rontgen, semua sendi dapat

terkena, tapi yang tersering adalah sendi

metatarsofalang dan biasanya simetris.7 Sendi

sakroiliaka juga sering terkena. Pada awalnya

terjadi pembengkakan jaringan lunak dan

demineralisasi juksta artikular. Kemudian terjadi penyempitan sendi dan erosi.

III. DIAGNOSIS BANDING

III.1. OSTEOARTHRITIS

Osteoartritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak. Penyakit ini bersifat kronik,

berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai oleh adanya deteriorasi dan abrasi

rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada permukaan persendian.8

Page 10

Di metacarpophalangeal subluksasi sendi, dengan ulnaris penyimpangan, pada pasien radang sendi tangan.

Terdefinisi dengan baik erosi tulang di tulang – tulang karpal danmetakarpal basis pasien dengan radang sendi

Page 11: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Osteoartritis adalah bentuk artritis yang paling umum, dengan jumlah pasiennya sedikit

melampaui separuh jumlah pasien artritis. Gangguan ini sedikit lebih banyak pada perempuan

daripada laki-laki dan terutama orang-orang yang berusia lebih dari 45 tahun.8 Penyakit ini

pernah dianggap sebagai suatu proses penuaan normal, sebab insidens bertambah dengan

meningkatnya usia. Tetapi, temuan-temuan yang lebih baru dalam bidang biokimia dan

biomekanik telah menyanggah teori ini.

Gejala biasanya timbul secara bertahap dan pada awalnya hanya mengenai satu atau

sedikit sendi. Yang sering terkena adalah sendi jari tangan, pangkal ibu jari, leher, punggung

sebelah bawah, jari kaki yang besar, panggul dan lutut.

Nyeri yang biasanya akan bertambah buruk jika melakukan olah raga, merupakan

gejala pertama. Beberapa penderita merasakan kekakuan pada sendinya ketika bangun tidur

atau pada kegiatan non-aktif lainnya, tetapi kekakuan ini biasanya menghilang dalam waktu

30 menit setelah mereka kembali menggerakkan sendinya.9

Kerusakan karena orteoartritis semakin memburuk, sehingga sendi menjadi sukar

digerakkan dan pada akhirnya akan terhenti pada posisi tertekuk. Pertumbuhan baru dari

tulang, tulang rawan dan jaringan lainnya bisa menyebabkan membesarnya sendi, dan tulang

rawan yang kasar menyebabkan terdengarnya suara gemeretak pada saat sendi digerakkan.

Pertumbuhan tulang (nodus Herbeden) sering terjadi pada sendi di ujung jari tangan.

Pada beberapa sendi (misalnya sendi lutut), ligamen (yang mengelilingi dan

menyokong sendi) teregang sehingga sendi menjadi tidak stabil. Menyentuh atau

menggerakkan sendi ini bisa menyebabkan nyeri yang hebat. Sendi panggul menjadi kaku

dan kehilangan daya geraknya sehingga menggerakkan sendi panggul juga menimbulkan

nyeri.

Osteoartritis sering terjadi pada tulang belakang. Gejala utamanya adalah nyeri

punggung. Biasanya kerusakan sendi di tulang belakang hanya menyebabkan nyeri dan

kekakuan yang sifatnya ringan. Osteoartritis pada leher atau punggung sebelah bawah bisa

menyebabkan mati rasa, kesemutan, nyeri dan kelemahan pada lengan atau tungkai, jika

pertumbuhan tulang berlebih menekan persarafannya.

Page 11

Page 12: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Kadang pembuluh darah yang menuju ke otak bagian belakang tertekan, sehingga

timbul gangguan penglihatan, vertigo, mual dan muntah. Pertumbuhan tulang juga bisa

menekan kerongkongan dan menyebabkan kesulitan menelan.

III.1.1. Pemeriksaan Fisik Osteoarthritis

a. Hambatan Gerak

Perubahan ini seringkali sudah ada meskipun pada osteoartritis yang masih dini (secara

radiologis). Biasanya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit, sampai sendi

hanya bisa digoyangkan dan menjadi kontraktur. Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh

arah gerakan) meupun eksentris (salah satu arah gerakan saja).

b. Krepitasi

Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinik osteoartritis lutut. Pada awalnya hanya

berupa perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang

memeriksa. Dengan bertambah beratnya penyakit, krepitasi dapat terdengar sampai jarak

tertentu. Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat

sendi digerakkan atau secara pasif dimanipulasi.

c. Pembengkakan Sendi yang Seringkali Asimetris

Pembengkakan sendi pada osteoartritis dapat timbul karena efusi pada sendi yang

biasanya tak banyak (<100cc). Sebab lain ialah karena adanya osteofit, yang dapat mengubah

permukaan sendi.10

d. Tanda-tanda Peradangan

Tanda-tanda adanya peradangan pada sendi (nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat

yang merata dan warna kemerahan) mungkin dijumpai pada osteoartritis karena adanya

sinovitis. Biasanya tanda-tanda ini tak menonjol dan timbul belakangan, seringkali dijumpai

di lutut, pergelangan kaki dan sendi-sendi kecil tangan dan kaki.

e. Perubahan Bentuk (Deformitas) Sendi yang Permanen

Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama, perubahan permukaan

sendi, berbagai kecacatan dan gaya berdiri dan perubahan pada tulang dan permukaan sendi.

Page 12

Page 13: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

f. Perubahan Gaya Berjalan

Keadaan ini hampir selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat

badan. Terutama dijumpai pada osteoartritis lutut, sendi paha, dan osteoartritis tulang

belakang dengan stenosis spinal. Pada sendi-sendi lain, seperti tangan bahu, siku,

pergelangan tangan, osteoartritis juga menimbulkan gangguan fungsi.

III.1.2. Pemeriksaan Diagnostik Osteoarthritis

Diagnosis osteoartritis biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis.

Radiografis Sendi yang Terkena

Pada sebagian besar kasus, radiografi pada sendi yang terkena osteoartritis sudah cukup

memberikan gambaran diagnostik yang lebih canggih. Berdasarkan perubahan-perubahan

radiografi di atas, secara radiografi osteoartritis dapat digradasi menjadi ringan sampai berat

(kriteria Kellgren dan Lawrence). Harus diingat bahwa pada awal penyakit, radiografi sendi

seringkali masih normal.

Pemeriksaan radiografi sendi lain atau penginderaan magnetik mungkin diperlukan

pada beberapa keadaan tertentu. Bila osteoartritis pada pasien dicurigai berkaitan dengan

penyakit metabolik atau genetik seperti alkaptonuria, oochronosis, displasia epifisis,

hiperparatiroidisme, penyakit Paget atau hemokromatosis (terutama pemeriksaan radiografi

pada tengkorak dan tulang belakang). Radiografi sendi lain perlu dipertimbangkan juga pada

pasien yang mempunyai keluhan banyak sendi (osteoartritis generalisata). Pasien-pasien yang

dicurigai mempunyai penyakit-penyakit yang meskipun jarang tetapi berat (osteonekrosis,

neuropati Charcot, pigmented sinovitis) perlu pemeriksaan yang lebih mendalam. Untuk

diagnosis pasti penyakit-penyakit tersebut seringkali diperlukan pemeriksaan lain yang lebih

canggih seperti sidikan tulang, penginderaan dengan resonansi magnetic (MRI), artroskopi

dan artrografi. Pemeriksaan lebih lanjut (khususnya MRI) dan mielografi mungkin juga

diperlukan pada pasien dengan osteoartritis tulang belakang untuk menetapkan sebab-sebab

gejala dan keluhan-keluhan kompresi radikular atau medulla spinalis.7,10

Pemeriksaan Laboratorium Osteoarthritis

Hasil pemeriksaan laboratorium pada osteoartritis biasanya tak banyak berguna. Darah

tepi (hemoglobin, leukosit, laju endap darah) dalam batas-batas normal, kecuali osteoartritis

generalisata yang harus dibedakan dengan artritis paradangan. Pemeriksaan imunologi (ANA,

Page 13

Page 14: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

faktor reumatoid dan komplemen) juga normal. Pada osteoartritis yang disertai peradangan,

mungkin didapatkan penurunan viskositas, pleositosis ringan sampai sedang, peningkatan

ringan sel peradangan (<8000m) dan peningkatan protein.

III.1.3. Patofisiologis Osteoarthritis

Seperti telah disebutkan, tulang rawan sendi merupakan sasaran utama perubahan

degeneratif pada osteoartritis. Tulang rawan sendi memiliki letak strategis, yaitu di ujung-

ujung tulang untuk melaksanakan dua fungsi : (1) menjamin gerakan yang hampir tanpa

gesekan di dalam sendi, berkat adanya cairan sinovium, dan (2) di sendi sedemikian sehingga

tulang di bawahnya dapat menerima benturan dan berat tanpa mengalami kerusakan. Kedua

fungsi ini mengharuskan tulang rawan elastis (yaitu memperoleh kembali arsitektur normalny

setelah tertekan) dan memiliki daya regang (tensile strength) yang tinggi. Kedua ciri ini

dihasilkan oleh dua komponen utama tulang rawan : suatu tipe khusus kolagen (tipe II) dan

proteoglikan, dan keduanya dikeluarkan oleh kondrosit. Seperti pada tulang orang dewasa,

tulang rawan sendi tidak statis; tulang ini mengalami pertukaran; komponen matriks tulang

tersebut yang “aus” diuraikan dan diganti. Keseimbangan ini dipertahankan oleh kondrosit,

yang tidak saja menyintesis matriks, tetapi juga mengeluarkan enzim yang mengeluarkan

matriks. Oleh karena itu, kesehatan kondrosit dan kemampuan sel ini memelihara sifat

esensial matriks tulang rawan menentukan integritas sendi. Pada osteoartritis, proses ini

terganggu oleh beragam sebab.

Osteoartritis ditandai dengan perubahan signifikan baik dalam komposisi maupun sifat

mekanis tulang rawan. Pada awal perjalanan penyakit, tulang rawan yang mengalami

degenerasi memperlihatkan peningkatan kandungan air dan penurunan konsentrasi

proteoglikan dibandingkan dengan tulang rawan sehat. Selain itu, tampaknya terjadi

perlemahan jaringan kolagen tipe II dan peningkatan pemecahan kolagen yang sudah ada.

Kadar molekul perantara tertentu, termasuk IL-1, TNF, dan nitrat oksida, meningkat pada

tulang rawan osteoartritis dan tampaknya ikut berperan menyebabkan perubahan komposisi

tulang rawan. Apoptosis juga meningkat, yang mungkin menyebabkan penurunan jumlah

kondrosit fungsional. Secara keseluruhan, perubahan ini cenderung menurunkan daya regang

dan kelenturan tulang rawan sendi. Sebagai respon terhadap perubahan regresif ini, kondrosit

pada lapisan yang lebih dalam berproliferasi dan berupaya “memperbaiki” kerusakan dengan

menghasilkan kolagen dan proteoglikan baru. Meskipun perbaikan ini pada mulanya mampu

Page 14

Page 15: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

mengimbangi kemerosotan tulang rawan, sinyal molekular yang menyebabkan kondrosit

lenyap dan matriks ekstrasel berubah akhirnya menjadi predominan. Faktor yang

menyebabkan pergeseran dari gambaran reparatif menjadi degeneratif ini masih belum

diketahui.

Pada rawan sendi pasien osteoartritis juga terjadi proses peningkatan aktivitas

fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan terjadinya

penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral yang

menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan subkhondral tersebut.

Perubahan tulang subkhondral yang mengikuti degenerasi tulang rawan sendi meliputi

peningkatan densitas tulang subchondral, pembentukan rongga-rongga yang menyerupai kista

yang mengandung jaringan myxoid, fibrous, atau kartilago. Respon ini muncul paling sering

pada tepi sendi tempat pertemuan tulang dan tulang rawan yang berbentuk bulan sabit

(crescent). Peningkatan densitas tulang merupakan akibat dari pembentukan lapisan tulang

baru pada trabekula biasanya merupakan tanda awal dari penyakit degenerasi sendi pada

tulang subchondral, tetapi pada beberapa sendi rongga-rongga terbentuk sebelum peningkatan

densitas tulang secara keseluruhan. Pada stadium akhir dari penyakit, tulang rawan sendi

telah rusak seluruhnya, sehingga tulang subchondral yang tebal dan padat kini berartikulasi

dengan permukaan tulang “denuded” dari sendi lawan. Remodeling tulang disertai dengan

kerusakan tulang sendi rawan mengubah bentuk sendi dan dapat mengakibatkan shortening

dan ketidakstabilan tungkai yang terlibat.

Pada sebagian besar sendi sinovial, pertumbuhan osteofit diikuti dengan perubahan

tulang rawan sendi serta tulang subchondral dan metafiseal. Permukaan yang keras, fibrous,

dan kartilaginis ini biasanya muncul di tepi-tepi sendi. Osteofit marginal biasanya muncul

pada permukaan tulang rawan, tapi dapat muncul juga di sepanjang insersi kapsul sendi

(osteofit kapsuler). Tonjolan tulang intraartikuler yang menonjol dari permukaan sendi yang

mengalami degenerasi disebut osteofit sentral. Sebagian besar osteofit marginal memiliki

pernukaan kartilaginis yang menyerupai tulang rawan sendi yang normal dan dapat tampak

sebagai perluasan dari permukaan sendi. Pada sendi superfisial, osteofit ini dapat diraba,

nyeri jika ditekan, membatasi ruang gerak, dan terasa sakit jika sendi digerakkan. Tiap sendi

memiliki pola karakter yang khas akan pembentukan osteofit di sendi panggul, osteoarthritis

biasanya membentuk cincin di sekitar tepi acetabulum dan tulang rawan femur. Penonjolan

osteofit sepanjang tepi inferior dari permukaan artikuler os humerus biasanya terjadi pada

Page 15

Page 16: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

pasien dengan penyakit degenartif sendi glenohumeral. Osteofit merupakan respon terhadap

proses degerasi tulang rawan sendi dan remodelling tulang sudkhondral, termasuk pelepasan

sitokin anabolik yang menstimulasi proliferasi dan pembentukan sel tulang dan matrik

kartilageneus.

Kerusakan tulang rawan sendi mengakibatkan perubahan sekunder dari synovium,

ligamen, kapsul, serta otot yang menggerakan sendi yang terlibat. Membran sinovial sering

mengalami reaksi inflamasi ringan serta sedang dan dapat berisi fragmen-fragmen dari tulang

rawan sendi. Semakin lama ligamen, kapsul dan otot menjadi contracted. Kurangnya

penggunaan sendi dan penurunan ROM mengakibatkan atropi otot. Perubahan sekunder ini

sering mengakibatkan kekakuan sendi dan kelemahan tungkai.

Faktor-faktor Resiko Osteoartritis

Untuk penyakit dengan penyebab yang tak jelas, istilah faktor resiko (faktor yang

meningkatkan resiko penyakit) adalah lebih tepat. Secara garis besar faktor resiko untuk

timbulnya osteoartritis (primer)adalah seperti di bawah ini. Harus diingat bahwa masing-

masing sendi mempunyai biomekanik, cedera dan persentase gangguan yang berbeda,

sehingga peran faktor-faktor resiko tersebut untuk masing-masing osteoartritis tertentu

berbeda.10

1. Umur

Dari semua faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis, faktor ketuaan adalah yang

terkuat. Prevalensi dan beratnya osteoartritis semakin meningkat dengan bertambahnya umur.

Osteoartritis hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada umur dibawah 40 tahun dan

sering pada umur di atas 60 tahun. Akan tetapi harus diingat bahwa osteoartritis bukan akibat

ketuaan saja. Perubahan tulang rawan sendi pada ketuaan berbeda dengan perubahan pada

osteoartritis.

2. Jenis Kelamin

Wanita lebih sering terkena osteoartritis lutut dan osteoartritis banyak sendi dan lelaki

lebih sering terkena osteoartritis paha, pergelangan tangan dan leher. Secara keseluruhan, di

bawah 45 tahun frekuensi osteoartritis kurang lebih sama pada laki-laki dan wanita, tetapi di

atas 50 tahun (setelah menopause) frekuensi osteoartritis lebih banyak pada wanita daripada

pria. Hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis osteoartritis.

Page 16

Page 17: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

3. Genetik

Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis misalnya pada ibu dari

seorang wanita dengan osteoartritis pada sendi-sendi interfalang distal (nodus Heberden)

terdapat 2 kali lebih sering osteoartritis pada sendi-sendi tersebut, dan anak-anaknya

perempuan cenderung mempunyai 3 kali lebih sering daripada ibu dan anak perempuan-

perempuan dari wanita tanpa osteoartritis tersebut. Adanya mutasi dalam gen prokolagen II

atau gen-gen struktural lain untuk unsur-unsur tulang rawan sendi seperti kolagen tipe IX dan

XII, protein pengikat atau proteoglikan dikatakan berperan dalam timbulnya kecenderungan

familial pada osteoartritis tertentu (terutama osteoartritis banyak sendi).

4. Kegemukan dan penyakit metabolik

Berat badan yang berlebih nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk timbulnya

osteoartritis baik npada wanita maupun pada pria. Kegemukan ternyata tak hanya berkaitan

dengan osteoartritis pada sendi yang menanggung beban, tapi juga dengan sendi osteoartritis

sendi lain (tangan atau stemoklavikula). Oleh karena itu, disamping faktor mekanis yang

berperan (karena meningkatnya beban mekanis), diduga terdapat faktor lain (metabolik) yang

berperan pada timbulnya kaitan tersebut. Peran faktor metabolik dan hormonal pada kaitan

antara osteoartritis dan kegemukan juga disokong oleh adanya ikatan anara osteoartritis

dengan penyakit jantung koroner, diabetes melitus dan hipertensi. Pasien-pasien osteoartritis

ternyata mempunyai resiko penyakit jantung koroner dan hipertensi yang lebih tinggi

daripada orang-orang tanpa osteoartritis.

5. Cedera Sendi, Pekerjaan dan Olahraga

Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian satu sendi yang terus menerus (misalnya

tukang pahat, pemetik kapas) berkaitan dengan peningkatan resiko osteoartritis tertentu.

Demikian juga cedera sendi dan olahraga yang sering menimbulkan cedera sendi berkaitan

dengan resiko osteoartritis yang lebih tinggi. Peran beban benturan yang berulang pada

timbulnya osteoartritis masih menjadi pertentangan. Aktivitas-aktivitas tertentu dapat

menjadi predisposisi osteoartritis cedera traumatik (misalnya robeknya meniscus,

ketidakstabilan ligamen) yang dapat mengenai sendi. Akan tetapi, selain cedera yang nyata,

hasil-hasil penelitian tak menyokong pemakaian yang berlebihansebagai suatu faktor untuk

timbulnya osteoartritis. Meskipun demikian, beban benturan yang berulang dapat menjadi

Page 17

Page 18: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

suatu faktor penentu lokasi pada orang-orang yang mempunyai predisposisi osteoartritis dan

dapat berkaitan dengan perkembangan dan beratnya osteoartritis.

6. Faktor-faktor Lain

Tingginya kepadatan tulang dikatakan dapat meningkatkan resiko timbulnya osteoartritis.

Hal ini mungkin timbul karena tulang yang lebih padat (keras) tak membantu mengurangi

menjadi lebih mudah robek. Faktor ini diduga berperan pada lebih tingginya osteoartritis

pada orang gemuk dan pelari (yang umumnya mempunyai tulang yang lebih padat) dan

kaitan negatif antara osteoporosis dan osteoartritis. Merokok dilaporkan menjadi faktor yang

melindungi untuk timbulnya osteoartritis, meskipun mekanismenya belum jelas.

III.1.4. Penatalaksanaan Osteoarthritis

Non Medika Mentosa

Tidak ada obat untuk menyembuhkan osteoartritis ini, yang ada adalah terapi untuk

mengurangi nyeri dan ngilu serta menjaga pergerakan dan aktifitas sehari-hari. Pengangkatan

dan penggantian engsel merupakan pilihan terakhir dan akan dilakukan jika semua cara terapi

telah ditempuh.

1. Terapi fisik dan rehabilitasi

Pengobatan awal pada osteoartritis ringan dapat berupa:

Istirahat. Jika terjadi nyeri/ngilu pada engsel dianjurkan untuk beristirahat sekurangnya

12 jam. Bergeraklah secara biasa tetapi hindari menggerakkan engsel yang sama secara

berulang-ulang dan istirahat sekitar 10 menit setelah satu jam bergerak.

Olahraga. Dengan ijin dokter anda dapat melakukan olah raga biasa seperti bersepeda,

jalan bahkan berenang. Olah raga ini akan meningkatkan daya tahan otot sekitar engsel.

Jika mulai terasa nyeri/ngilu berhenti atau istirahat.

Gunakan kompres. Kompres hangat atau dingin mampu mengurangi nyeri/ngilu yang

terjadi. Ginakan kompres hangat sekurangnya 20 menit sehari. Untuk kompres dingin

dapat digunakan es batu.

Terapi. Mungkin anda memerlukan terapi khusus tulang agar anda dapat terpantau secara

khusus sehingga peningkatan kemampuan gerak maju lebih cepat.

Kurangi stres engsel. Terapis akan membantu anda menemukan cara menghindari stres

engsel.

Page 18

Page 19: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

2. Penurunan berat badan

Berat badan yang berlebihan ternyata merupakan faktor yang akan memperberat penyakit

osteoartritis. Oleh karenanya berat badan harus selalu dijaga agar tidak berlebihan. Apabila

berat badan berlebihan, maka harus diusahakan penurunan berat badan, bila mungkin

mendekati berat badan ideal.

Medika Mentosa

1. Analgesik Oral Non Opiat

Pada umumnya pasien telah mencoba untuk mengobati sendiri penyakitnya, terutama

dalam hal mengurangi atau menghilangkan rasa sakit. Banyak sekali obat-obatan yang dijual

bebas yang mampu mengurangi rasa sakit. Pada umumnya pasien mengetahui hal ini dari

iklan melalui media masa, baik cetak (koran), radio, maupun televisi.

2. Analgesik Topikal

Analgesik topikal dengan mudah dapat kita dapatkan di pasaran dan banyak sekali yang

dijual bebas. Pada umumnya pasien telah mencoba terapi dengan cara ini, sebelum memakai

obat-obatan peroral lainnya.

3. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS)

Apabila dengan cara-cara tersebut di atas tidak berhasil, pada umumnya pasien mulai

datang ke dokter. Dalam hal seperti ini kita pikirkan untuk pemberian OAINS, oleh karena

obat golongan ini di samping mempunyai efek analgetik juga mempunyai efek anti inflamasi.

Oleh karena pasien osteoartritis kebanyakan usia lanjut, maka pemberian obat-obatan jenis ini

harus sangat berhati-hati. Jadi pilihlah obat yang efek sampingnya minimal dan dengan cara

pemakaian yang sederhana, di samping itu pengawasan terhadap kemungkinan timbulnya

efek samping selalu harus dilakukan.

4. Chondroprotective Agent

Page 19

Page 20: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Yang dimaksud dengan chondroprotective agent adalah obat-obatan yang dapat menjaga

atau merangsang perbaikan (repair) tulang rawan sendi pada pasien osteoartritis. Sebagian

peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut dalam Slow Acting Anti Osteoarthritis Drugs

(SAAODs) atau Disease Modifying Anti Osteoarthritis Drugs (DMAODs). Sampai saat ini

yang termasuk dalam kelompok obat ini adalah : tetrasiklin, asam hialuronat, kondroitin

sulfat, glikosaminoglikan, vitamin C, superoxidase desmutase dan sebagainya.

Tetrasiklin dan derivatnya mempunyai kemampuan untuk menghambat enzim MMP

dengan cara menghambatnya. Salah satu contoh adalah doxycycline, sayangnya obat ini

baru dipakai pada hewan dan belum dipakai pada manusia.

Asam hialuronat disebut juga sebagai viscosupplement oleh karena salah satu manfaat

obat ini adalah dapat memperbaiki viskositas cairan sinovial, obat ini diberikan secara

intra-artikuler. Asam hialuronat ternyata memegang peranan penting dalam pembentukan

matriks tulang rawan melalui agregasi dengan proteoglikan. Di samping itu pada binatang

percobaan, asam hialuronat dapat mengurangi inflamasi pada sinovium, menghambat

angiogenesis dan khemotaksis sel-sel inflamasi.

Glikosaminoglikan, dapat menghambat sejumlah enzim yang berperan dalam proses

degradasi tulang rawan, antara lain : hialuronidase, protease, elastase, dan cathepsin B1 in

vitro dan juga merangsang sintesis proteoglikan dan asam hialuronat pada kultur tulang

rawan sendi manusia.

Kondroitin sulfat, merupakan komponen penting pada jaringan kelompok vertebrata, dan

terutama terdapat pada matriks ekstraselular sekeliling sel.10 Salah satu jaringan yang

mengandung kondroitin sulfat adalah tulang rawan sendi dan zat ini merupakan bagian

dari proteoglikan. Matriks ini membentuk satu struktur yang utuh sehingga mampu

menerima beban tubuh. Pada penyakit degeneratif seperti osteoartritis terjadi kerusakan

tulang rawan sendi dan salah satu penyebabnya adalah hilangnya atau berkurangnya

proteoglikan pada tulang rawan tersebut.

Vitamin C, dalam penelitian ternyata vitamin C dapat menghambat aktivitas enzim

lisozim. Pada pengamatan ternyata vitamin C mempunyai manfaat dalam terapi

osteoartritis.

Page 20

Page 21: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Superoxide Dismutase, dapat dijumpai pada setiap sel mamalia dan mempunyai

kemampuan untuk menghilangkan superoxide dan hydroxil radicals. Secara in vitro,

radikal superoxide mampu merusak asam hialuronat, kolagen, dan proteoglikan sedang

hydrogen peroxyde dapat merusak kondrosit secara langsung.

Steroid intra-artikuler, pada penyakit artritis reumatoid menunjukkan hasil yang baik.

Kejadian inflamasi kadang-kadang dijumpai pada pasien osteoartritis, oleh karena itu

kortikosteroid intra artikuler telah dipakai dan mampu mengurangi rasa sakit, walaupun

hanya dalam waktu yang singkat. Penelitian selanjutnya tidak menunjukkan keuntungan

yang nyata pada pasien osteoartritis, sehingga pemakaiannya dalam hal ini masih

kontroversial.

III.2. GOUT

Arthritis pirai (gout) adalah suatu proses inflamasi yang terjadi karena deposisi kristal

monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat didalam cairan

ekstraselular.11 Asam urat adalah asam yang berbentuk kristal-kristal yang merupakan hasil

akhir dari metabolisme purin (bentuk turunan nukleoprotein), yaitu salah satu komponen

asam nukleat yang terdapat pada inti sel-sel tubuh. Secara alamiah, purin terdapat dalam

tubuh kita dan dijumpai pada semua makanan dari sel hidup, yakni makanan dari tanaman

(sayur, buah, kacang-kacangan) atau pun hewan (daging, jeroan, ikan sarden).

Jadi asam urat merupakan hasil metabolisme di dalam tubuh , yang kadarnya tidak

boleh berlebih, kelebihan asam urat akan dibuang melalui urin. Setiap orang memiliki asam

urat di dalam tubuh, karena pada setiap metabolisme normal dihasilkan asam urat. Sedangkan

pemicunya adalah makanan dan senyawa lain yang banyak mengandung purin. Sebetulnya,

tubuh menyediakan 85 persen senyawa purin untuk kebutuhan setiap hari. Ini berarti bahwa

kebutuhan purin dari makanan hanya sekitar 15 persen.

Penyakit gout sebagian besar mempengaruhi orang berumur diatas 30 tahun dan lebih

banyak pria yang terkena penyakit ini. Dua hal tadi yang merupakan kepentingan dari

anamnesis umur dan jenis kelamin pasien. Nyeri sendi biasanya perlu ditanyakan sebagai

tanda gejala awal dari penyakit ini. Nyeri sendi yang sering terjadi paa artritis gout terjadi

biasanya berupa serangan yang hebat pada waktu bangun pagi hari, sedangkan pada malam

Page 21

Page 22: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

hari sebelumnya pasien tidak merasakan apa-apa, rasa nyeri ini biasanya self limiting dan

sangat responsif dengan pengobatan.11

Apabila sudah berlanjut akan dapat menyebabkan kekakuan dan bengkak dari sendi

tersebut. Apabila sudah terjadi kekakuan dari sendi tersebut tentu saja ini akan menyebabkan

ketidakmampuan sendi tersebut berfungsi secara adekuat. Infeksi sistemik ini sendiri dapat

terjadi pada penderita gout. Gout sendiri pada stadium lanjut merupakan penyakit inflamatoir

dan akan mengakibatkan peningkatan reaktan fase akut seperti peninggian LED atau CRP

yang akan mengakibatkan keluhan kelelahan, lesu, mudah marah, berat badan turun, dan

mudah sekali terangsang.12

Anamnesis lain yang juga perlu diperhatikan adalah adanya kesakitan pada daerah

perut, kesakitan ini mungkin saja merupakan komplikasi dari penyakit itu sendiri yaitu

terjadinya kerusakan pada ginjal. Selain kerusakan ginjal juga perlu ditanyakan status

berkemih pasien tersebut karena komplikais lain yang dimungkinkan yaitu adanya batu urat

yang tersumbat di saluran kemih.

III.2.1. Pemeriksaan Gout

Fisik

Pemeriksaan fisik yang penting pada sistem muskuloskeletal dapat dibagi menjadi pada

saat diam/istirahat dan pada saat bergerak. Dan dapat juga dilakukan palpasi untuk beberapa

hal seperti yang akan dibahas. Inspeksi deformitas sangat perlu dilakukan pada sendi-sendi

yang terserang gout ini, selain daripada deformitas pada saat diam juga perlu dilakukan

inspeksi pada saat bagian tersebut coba digerakan. Hal ini bertujuan untuk menentukan

apakah tungkai tersebut mengalami deformitas yang dapat dikoreksi atau deformitas yang

sudah tidak dapat dikoreksi. Deformitas yang dapat dikoreksi apabila deformitas tersebut

masih dapat digerakan yang diakibatkan oleh penumpukan jaringan lunak. Sedangkan

deformitas yang tidak dapat dikoreksi biasanya disebabkan oleh restriksi kapsul sendi atau

kerusakan sendi. Pemeriksaan inspeksi lainnya yaitu melihat benjolan apabila terdapat

benjolan pada sendi pasien. Hal yang patut diperhatikan adalah ukuran dari benjolan, suhu,

warna kulit di sekitar benjolan. Bisanya pada penderita gout benjolannya akan berwarna

kemerahan, teraba panas, dan akan berasa nyeri. Untuk mendeteksi kelainan sekunder yang

mungkin terjadi yaitu mencari kelainan yang menyangkut anemia, pembersaran organ

Page 22

Page 23: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

limfoid, keadaan kardiovaskular dan tekanan darah.11,12 Kelainan yang mungkin juga timbul

walaupun sangat jarang terjadi yaitu timbulnya febris yang bersifat sistemik.

Pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan pada penderita gout adalah melihat cara

berjalan, sikap/postur badan.12 Sikap badan dan postur badan harus diperhatikan saat pasien

masuk ruangan. Karena sikap badan odan cara berjalan orang yang menahan sakit akan

berbeda dari normal. Sikap berjalan yang paling sering ditunjukan pada penderita gout apada

kali adalah gaya berjalan antalgik, yaitu pasien akan segera mengangkat tungkai yang nyeri

atau deformitas sementara pada tungkai yang sehat akan lebih lama diletakan di lantai;

biasanya akan diikuti oleh gerakan tangan yang asimetri. Pergerakan beserta bunyi apabila

digerakan juga patut diperhatikan pada penderita, bunyi pada penderita gout merupakan

bunyi krepitus halus yang terdengar sepanjang struktur yang terkena dan biasanya lemah dan

hanya terdengar mengunakan stetoskop. Pemeriksaan fisik yang mungkin juga dapat

diketemukan kelainan yaitu pemeriksaan ginjal. Pemeriksaan ginjal yang dapat dilakukan

adalah pemeriksaan perkusi ginjal, pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi apakah ada

nyeri pada daerah ginjal. Pemeriksaan ginjal bisanya dilakukan pada penderita lanjut karena

dikhawatirkan terjadi penyumbatan saluran kemih dengan komplikasi lanjutan yaitu

pembengkakan ginjal.

Penunjang

1. Laboratorium

Pemeriksaan lab yang paling dapat menegakkan kristal urat dari cairan sendi ataupun

topus yang mengandung kristal urat. Cara yang dapat digunakan dapat dilakukan dengan

reaksi kimia ataupun dilihat langsung dengan mengunakan mikroskop. Karena tidak semua

penderita gout ini sampai terjadi topus dan sulitnya mengambil cairan sendi pada sendi kecil

seperti sendi pada daerah kaki, cara ini relatif lebih sulit dilakukan daripada pemeriksaan

lainnya. Pemeriksaan lainnya yang dimaksud adalah mendeteksi LED, hitung leukosit, dan

CRP pada fase akut, kadar kreatinin 24 jam.12 Asam urat darah dan urin 24 jam. Pada aspirasi

cairan sendi dapat diketemukan cairan yang berwarna putih susu. Cairan ini merupakan

manifestasi hitung sel yang dapat meningkat sampai dengan 60.000/μL dan juga terdapat

timbunan monosodium urat pada cairan sendi.12

Page 23

Page 24: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Pemeriksaan yang rutin dilakukan adalah asam urat darah dan urin dan kreatinin darah

dan urin 24 jam. Pemeriksaan asam urat urin 24 jam orang diet rendah purin selama 3-5 hari

dibawah 600 mg/hari. Apabila hasilnya berada diatas itu orang tersebut diduga mengalami

kelebihan produksi asam urat. Tetapi mungkin juga hasil dibawah 600 mg/hari bukan

merupakan batas normal oleh karena itu diperlukan pemeriksaan kadar kreatinin urin dan

darah untuk memantau kemampuan bersihan ginjal.12 Kadar asam urat dalam urin tersebut

dapat tercapai karena ketidakmampuan ginjal untuk mengeluarkan asam urat dari dalam

tubuh, ini yang disebut dengan underexcretion. Pemeriksaan kadar urin ini merupakan suatu

standar yang perlu diperhatikan karena kadar asam urat darah yang tinggi akan meningkatkan

kemungkinan gout yang timbul. Kadar asam urat 24 jam masih dapat dikatakan normal tanpa

diet dalam batas 800 mg/hari. Apabila kadar asam urat tanpa diet rendah urat melebihi angka

itu patut dicurigai adanya overproduction dari urat tersebut. Walaupun tidak semua orang

yang memiliki asam urat yang tinggi akan menderita gout, begitupun tidak semua orang yang

memiliki kadar asam urat normal tidak akan terkena gout. Menurut penelitian yang dilakukan

di Indonesia sekitar 21% orang yang menderita gout memiliki kadar asam urat darah yang

masih dalam batas normal. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa apabila hanya

ditemukan artritis pada pasien dengan hiperurisemia tidak bisa didiagnosis gout.

Pemeriksaan LED, hitung leukosit, dan CRP merupakan pemeriksaan yang bertujuan

untuk mendeteksi apakah terjadi inflamasi pada pasien tersebut. Reaksi inflamasi akan terjadi

pada penderita gout pada fase akut, oleh karena itu pemeriksaan LED, hitung leukosit, dan

CRP akan meningkat. Pemeriksaan yang paling jarang tatapi masih mungkin dilakukan dan

hanya digunakan untuk penelitian adalah pemeriksaan enzim-enzim dalam tubuh.

Pemeriksaan enzimnya antara lain PRPP synthetase, enzim HPRT, xantin oksidase untuk

penyakit gout primer sedangkan unutk gout sekunder yaitu glukosa 6 fosfatase. Seluruh

penyakit hiperurisemia dan gout yang disebabkan oleh enzim tersebut merupakan kelainan

genetik, oleh karena itu biasanya penyakit-penyakit teserbut sudah mulai dapat dilihat

perubahannya pada masa anak-anak.

2. Radiologi

Pemeriksaan radiologi yang sering digunakan sebagai alat bantu diagnosis gout adalah

pemeriksaan foto polos. Pemeriksaan foto polos ini digunakan karena memberikan hasil yang

cukup spesifik dengan biaya yang cukup terjangkau. Pemeriksaaan radiologi ini hanya dapat

Page 24

Page 25: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

dilaksanakan pada pasien gout interkritikal. Pada pasien awal tidak dapat dilakukan

pemeriksaan karena pasti akan mendapatkan hasil normal. Hal ini disebabkan karena belum

terbentuknya kristal urat yang akan memberikan gambaran radiopaq.

Perubahan yang radiografis pada penyakit gout ditemukan pada sekitar 50% pasien.

Dimana sebagian besar pasien menunjukan kelainan pada sendi metatarsophalangeal yang

pertama yaitu sekitar 60% pasien. Selain dari sendi itu, lokasi lain yang sering terjadi radang

gout antaralain jari kaki, mata kaki, tangan, dan bursa olecranon. Seringnya diketemukan

kelainan pada daerah ini sudah dapat dijelaskan secara ilmiah, dan akan dibahas pada bagian

patogenesis.

Perubahan tersebut terjadi diluar dari sendi yang terserang atau pada daerah juxta-

artricular dan didifinisikan sebagai “punched-out lytic lesion” dan lama kelamaan akan

menjadi bertambah besar.7,12 Pertambahan besar lesi ini sangat dipengaruhi oleh pola diet

pasien. Pada sebagian kasus sering terjadi patah tulang. Unutk penyakit gout yang kronis

hampir selalu diketemulan topus dan penyempitan dari sendi tersebut. Apabila penyempitan

sendi tersebut dibiarkan maka akan sangat mungkin terberbentuknya deformitas sendi dan

kasifikasi dari jaringan lunak disekitar sendi tesebut. Pada sebagian kasus dapat juga

diketemukan penyakit degeneratif yang terdapat pada sendi metatarsophalangeal. Pada

penyakit yang kronis biasanya diketemukan inflamasi asimetris, artritis erosif yang kadang-

kadang disertai nodul jaringan lunak.

Gambar diatas sebelah kiri, gambaran tangan kiri pasien mengambarkan terbentuknya topus

pada jari pertama dengan bagian yang lebih opaq dan terdapat pembengkakan sendi

tersebut.7,12 Sedangkan pada tangan kanan pada jari kedua dan kelima antara phalang medial

dan distal juga terbentuk pembengkakan yang lebih opaq. Dapat juga diperhatikan bahwa

Page 25

Page 26: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

sendi-sendi tersebut sudah lebih rapat dibandingkan sendi yang normal. Untuk gambar yang

disebelah kanan menunjukan adanya topus pada metatarsophalangeal pada kaki kiri pasien.

Page 26

Page 27: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

III.2.2. Diagnosis Gout

Untuk mendiagnosis penyakit gout tidak hanya berdasarkan pada uji laboratorium yang

menunjukan adanya hiperurisemia dan gejala klinik adanya artritis saja. Penyakit gout secra

umum biasanya diketemukan kombinasi-kombinasi berikut:

Riwayat inflamasi klasik artritis monoartrikuler khusus pada sendi MTP-1;

Diikuti oleh stadium interkritik dimana bebas simptom;

Resolusi sinovitis yang cepat dengan pengobatan kolkisin;

Hiperurisemia.

Kriteria klasifikasi Artritis Gout pada fase akut dapat dipastikan dengan menemukan

kelainan-kelainan seperti yang ditulis di bawah ini.

a. Ditemukan kristal urat yang karakteristik dalam cairan sendi, atau

b. Tofus yang terbukti mengandung kristal urat dengan cara kimia atau mikroskop

polarisasi, atau

c. Ditemukan 6 dari 12 fenomena klinis, laboratoris dan riadologis sebagai tercantum di

bawah:

1. Lebih dari satu kali serangan artritis akut

2. Inflamasi maksimal terjadi dalam waktu satu hari

3. Serangan artritis monoartikular

4. Sendi kemerahan

5. Nyeri atau bengkak pada sendi mtp-1

6. Serangan unilateral yang melibatkan sendi mtp-1

7. Serangan unilateral yang melibatkan sendi tarsal

8. Dugaan tofus

9. Hiperurikemia

10. Pembengkakan tidak simetris di antara sendi (radiologis)

11. Kista subkortikal tanpa erosi (radiologis)

12. Kultur cairan sendi untuk mikroorganisme pada waktu serangan inflamasi sendi

memberikan hasil negatif.

Berbeda dengan stadium gout interkritikal dimana stadium gout interkritikal tidak akan

diketemukan reaksi radang akut yang ditandai dengan adanya pembengkakan, merah, panas

dan nyeri. Pada stadium gout interkritikal ini dapat dideteksi dengan aspirasi cairan sendi dan

ditemukan kristal urat. Sedangkan untuk stadium gout menahun, gejala yang paling khas

Page 27

Page 28: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

adalah dengan adanya topus, topus yang diperiksa ini haruslah menunjukan adanya kristal

urat. Apabila kristal urat ini telah ditemukan, maka dapat dipastikan adanya penyakit gout.

Kelainan radiografi pada kronik gout adalah inflamasi asimetri, artritis erosif yang kadang-

kadang disertai dengan nodul jaringan lunak.

III.2.3. Patogenesis Gout

Gout merupakan gangguan yang disebabkan oleh penimbunan asam urat, yaitu suatu

produk akhir dari metabolisme purin, dalam jumlah berlebihan di jaringan. Asam urat yang

tertimbun ini berbentuk kristal mononatrium urat, dalam waktu yang lama, kristal ini akan

membesar dan membentuk tofi dan dapat juga terjadi deformitas sendi yang kronis.13 Bentuk

sediaan histopatoligis dari gout ini biasanya menunjukkan granuloma dikelilingi oleh butir

kristal monosodium urat. Dan karena terjadi reaksi inflamasi maka akan diketemukan sel

nononuklear dan sel giant. Erosi kartilago dan korteks tulang terjadi di sekitar tofus. Kapsul

fibrosa biasanya prominen di sekeliling tofi. Kristal tofi berbentuk jarum dan sering

membentuk sekelompok kecil secara radier. Pada gout akut pada cairan sendi juga biasanya

akan diketemulan monosodium urat. Apabila aspirasi diambil saat inflamasi akut maka akan

diketemukan banyak kristal di dalam lekosit. Hal ini disebabkan karena terjadi proses

fagositosis. Walaupun memiliki hubungan sebab akibat antara gout dan hiperurisemia, tetapi

tidak berarti setiap penderita hiperurisemia pasti akan menderita gout, begitupun sebaliknya

tidak semua penderita gout pasti juga telah menderita hiperurisemia.

Gout sendiri dibagi menjadi tiga kategori yaitu gout primer, gout sekunder, gout

idiopatik. Gout promer adalah gout tanpa disebabkan penyakit atau penyebab lain, terdiri dari

hiperurisemia primer dengan kelainan molekuler yang masih belum jelas dan

hiperurisemianya karena adanya kelainan enzim. Guot sekunder adalah gout yang disebabkan

karena penyakit lain atau penyebab lain. Gout sekinder dibagi menjadi beberapa kelompok,

yaitu kelainan yang menyebabkan peningkatan biosontesis de novo, kealinan yang

menyebabkan peningkatan degradasi ATP atau pemecahan asam nukleat dan kelainan yang

menyebabkan underexcretion. Gout idiopatik adalah hiperurisemia yang tidak jelas penyebab

primer, kelainan genetik dan tidak ada kelainan fisiologi atau anatomi yang jelas.

Page 28

Page 29: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Gambar diatas merupakan gambar proses metabolisme dari pembentukan asam urat.13

Kelainan kelainan pada enzim PRPP synthetase, enzim HPRT, xantin oksidase akan

menyebabkan penyakit gout primer, kelainan pada enzim glukosa 6 phospatase terdapat pada

penyakit gout sekunder. Dimana peningkatan PRPP dan atau penurunan HPRT dan APRT

akan menyebabkan overproduction. Peningkatan enzim xantin oksidase yang akan

mengakibatkan juga peningkatan asam urat.b Tetapi penurunan glukosa 6 phospatase justru

akan menyebabkan hiperurisemia. Hiperurisemia ini terjadi karena kombinasi overproduction

dan under excretion karena peningkatan pemecahan ATP. Selain daripada itu aktivitas fisik

yang berat secara normal dapat menyebabkan hiperurisemia karena terjadi pemecahan ATP

datau keadaan anaerob yang menghasilkan zat-zat yang kemudian dipecah menjadi xantin

dan asam urat. Dari semua yang telah disebutkan diatas merupakan keadaan over production,

sedangkan untuk keadaan underexcretion dikelompokan menjadi penurunan masa ginjal,

penurunan filtrasi glomerulus, penurunan fractional uric acid clerance dan pemakaian obat-

obat.

Dari tulisan yang ada di atas semuanya telah menunjukan bagaimana terjadinya

hiperurinemia, tetapi tidak menunjukkan bagaimana proses inflamasi dari gout tersebut. Pada

prinsipnya, ini merupakan reaksi peradangan biasa terhadap monosodium urat. Onset dari

serangan gout berhubungan dengan perubahan kadar asam urat serum, suhu lingkungan, dan

Page 29

Page 30: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

perubahan PH. Perubahan kadar asam urat yang meninggi seperti yang terjaid pada skenario

karena banyak mengkonsumsi jeroan dapat meningkatkan reaksi inflamasi yang terjaid pada

pasien tersebut. Perubahan yang bersifat penurunan kadar asam urat dalam darah dapat

menyebabkan tofi ataupun tofus yang tinggi kandungan monosodium uratnya akan

mengeluarkan zat tersebut ke luar dari tofi sehingga menyebabkan juga reaksi inflamasi.

Kelarutan monosodium urat akan tinggi pada suhu yang tinggi dan rendah pada suhu yang

rendah. Oleh karena itu dapat dijelaskan bahwa pengendapan monosodium urat itu lebih

mudah terjadi pada organ tubuh yan glebih dingin. Bagian tubuh yang paling dingin terdapat

pada kaki lalu pada ujung-ujung jari tangan. Untuk pH, rentang kelarutan untuk suatu

kelarutan dalam tubuh sangat lebar, dan tidak begitu berpengaruh pada manusia. Karena pada

pH 7,5 dan 5,8 kelarutannya tidak berbeda banyak yang tidak dapat menyebabkan reaksi

inflamasi. Hal yang juga penting adalah kecepatan difusi molekul urat dari ruang sinovia

kedalam plasma hanya setengah kecepatan air. Dengan demikian konsentrasi urat dalam

caiaran sendi seperti MTP-1 menjadi seimbang dengan urat dalam plasma pada siang hari

selanjutnya bila cairan sendi diresorbsi waktu berbaring akan meningkatkan kadar urat lokal.

Reaksi randang yang timbul seperti bagan diatas dapat terjadi melalui dua proses

peradangan yaitu dengan pengaktifan komplemen dan yang dimediasi oleh makrofag. Kristal

urat sendiri dapat mengaktifkan jalur komplemen klasik dan jalur alternatif. Zat ini dapat

mengaktifkannya tanpa bantuan imunoglobin. Kedua jalur klasik dan jalur alternatif ini akan

mengkatifkan C3 menjadi C3a yang akan mempermudah fagositosis dan memanggil sel

netrofil. Selain itu C3a juga akan mengaktifkan C5 menjadi C5a yang fungsi kemotaksisnya

lebih besar dari C3a. Berdasarkan dari fungsi yang diatas akan menyebabkan membrane attak

complex yg merupakan komponen akhir proses aktivasi komplemen yang bersifat sitotoksik

pada sel patogen maupun sel host. Makrofag pada sinovium merupakan sel utama dalam

proses peradangan yang dapat menghasilkan berbagai mediator kimiawi yang merupakan

penyebab dari peradangan itu sendiri. Setelah kristal urat ini menyebabkan makrofag

mengeluarkan mediator peradangan maka akan juga terjadi pemangilan leukosit ke tempat

peradangan dan menyebabkan peningkatan junlah leukosit sistemik. Mediator peradangan

yang mungkin dikeluarkan oleh makrofag adalah IL-1, TNF, IL-6, dan GM-CSF. Semua

pengkspresian gen ini terjadi akibat degranulasi dan melalui jalur signal transduction pathway

dan berakhir dengan aktivasi transkripsi faktor. Peningkatan jumlah leukosit sistemik ini yang

dapat dipantau pada pemeriksaan lab yang merupakan salah satu pertanda dari adanya

inflamasi.

Page 30

Page 31: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Stadium dari gout ini dapat dibagi menjadi beberapa stadium yaitu stadium gout akut,

stadium interkritikal dan stadium gout menahun. Pada stadium gout akut rasa nyeri timbul

sangat cepat dalam waktu yang singkat. Nyeri yang singkat biasanya dialami mono artrikuler

bengkak, merah, terasa hangat, dan dengan gejala sistemik.seperti yang telah disebutkan

sebelumnya sendi yang sering terkena pada MTP-1. Keluhan ini dapat sembuh dalam

beberapa jam atau hari, tetapi apabila tidak dipantau penyakitnya akan menyebabkan gout

kronis. Stadium berikutnya yaitu stadiium interkritikal, stadium ini tidak didapati gejala

tanda-tanda radang akut namum pada aspirasi sendi ditemukan kristal urat. Hal ini

menunjukkan bahwa proses peradangan tetap berlajut walaupun tanpa keluahn. Keadaan ini

dapat terjaid satu atau beberapa kali pertahun, atau dapat sampai 10 tahun tanpa serangan

akut. Stadium gout menahun dapat terjadi apabila tidak dilakukan penanganan yang baik

pada stadium gout sebelumnya. Ciri khas stadium ini yaitu besarnya tofi dan terdapat

poliartikular. Tofi ini sering pecah dan sulut sembuh dengan obat, kadang-kadang dapat

timbul infeksi sekunder. Lokasi tofi yang sering yaitu pada cuping telinga, MTP-1,

olekranoon, tendo achilles dan jari tangan. Pada stadium ini juuga sering disertai batu saluran

kemih sampai penyakit ginjal menahun.

III.2.4. Penatalaksanaan

Secara umum penanganan artritis gout adalah memberikan edukasi, pengaturan diet,

istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi kerusakan

sendi ataupun komplikasi lain, misalnya pada ginjal.

Tujuan terapi gout adalah:

1. Menghentikan serangan akut secepat mungkin

2. Mencegah serangan akut berulang

3. Mencegah komplikasi akibat timbunan Kristal urat di sendi, ginjal atau tempat lain.

Modalitas yang tersedia untuk terapi gout dan hiperurisemia:

1. Edukasi

Sebagian besar kasus gout dan hiperurisemia (termasuk hiperurisemia asimptomatik)

mempunyai latar belakang penyebab primer, sehingga memerlukan pengendalian kadar asam

urat jangka panjang. Perlu compliance yang baik dari pasien untuk mencapai tujuan terapi di

atas, dan hal itu hanya didapat dengan edukasi yang baik. Pengendalian diet rendah purin

juga menjadi bagian tata laksana yang penting.

Page 31

Page 32: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

2. Terapi serangan akut: kompres dingan, kolkisin, OAINS, ster-

oid, ACTH

Pada keadaan serangan akut pemberian kompres dingin dapat membantu mengurangi

keluhan nyeri. Semua yang meningkatkan dan menurunkan asam urat harus dikendalikan.

Tidak diperbolehkan minum alkohol. Penggunakan obat penurun asam urat dihindari, kecuali

sebelumnya sudah mengkonsumsinya secara rutin, maka harus diteruskan dan tidak boleh

dihentikan.

Kolkisin mempunyai efek anti inflamasi yang kuat, namun batas amannya sangat

sempit, dan sering menimbulkan efek samping. Secara tradisional dulu kolkisin digunakan

pada serangan akut arthritis dengan dosis 0,5-0,6 mg tiap jam peroral sampai terjadi tiga hal

yaitu keluhan arthritis membaik; muncul efek samping mual, muntah, diare; atau sudah

mencapai dosis maksimal seba-nyak 10 dosis.13 Saat ini para ahli lebih menganjurkan

pemberian tiap 2-6 jam sehingga tidak menimbulkan banyak efek samping, dan lebih

berharap pada efek prevensi serangan berikutnya. Pemberian kolkisin intravena menjadi

alternatif, namun dengan risiko efek samping yang lebih besar. Hati-hati pada gangguan

fungsi ginjal.

Terapi dengan obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) menjadi pilihan utama untuk

diberikan pada serangan akut dengan dosis yang optimal, dengan syarat fungsi ginjal yang

masih baik.6 Jenis OAINS termasuk yang selektif COX-2 tidak terlalu berpengaruh terhadap

respon klinik, tapi sebaiknya digunakan yang jenis deng-an onset kerja cepat, dan dengan

pertimbangan efek samping-nya.

Pemakaian kortikosteroid intrartikuler cukup bermanfaat pada arthritis monoartikuler

atau yang melibatkan bursa. Sedangkan kortikosteroid sistemik dapat digunakan terutama

pada gangguan fungsi ginjal, atau intoleran dengan kolkisin dan OAINS. Dosis steroid yang

diperlukan sesuai de-ngan prednisone 20-60 mg perhari. Adrenocorticotropic (ACTH) injeksi

intramuskuler dapat mengatasi serangan akut pada pemberian pertama kali, meskipun

kadang-kadang diperlukan pe-ngulangan 24-48 jam kemudian.

3. Kontrol hiperurisemia: xanthine oxidase inhibitors, urikosurik

agent

Page 32

Page 33: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Kontrol hiperurisemia dilakukan dengan diet rendah purin, serta menghindari obat-

obatan yang meningkatkan kadar asam urat serum terutama diuretik. Selanjutkan diperlukan

urate lowering agent seperti golongan xanthine oxidase inhibitor, maupun uricosuric agent,

dengan catatan tidak boleh dimulai pada saat serangan akut. Pada hiperurisemia asimptomatik

terapi farmakologik dimulai jika kadar asam urat serum >9 mg/dL. Sedangkan pada penderi-

ta gout telah diketahui bahwa pemberian urate lowering agent juga menjadi faktor pencetus

serangan akut, sehingga diberikan juga kolkisin dosis prevensi 0,6 mg 1-3 kali perhari, atau

OAINS dosis rendah, dan dimulai setelah tidak adanya tanda-tanda inflamasi akut.

Rilonacept, suatu inhibitor IL-1 sedang dikembangkan sebagai obat pencegah serangan akut

pada awal terapi penurun asam urat. Target terapi adalah menurunkan kadar asam urat serum

sampai di bawah 6,8 mg/dL (lebih baik sampai 5-6 mg/dL).

Jenis urate lowering agent yang pertama yaitu golongan xanthine oxidase inhibitor

dengan cara kerja penghambatan oksidasi hipo-xantin menjadi xantin, dan xantin menjadi

asam urat. Obat yang termasuk golongan ini adalah allopurinol. Diberikan mulai dosis 100

mg/hari dan dinaikkan tiap minggu sampai tercapai target (rata-rata diperlukan minimal 300

mg/hari). Pada gangguan fungsi ginjal dosis harus disesuaikan. Jenis obat yang lain seperti

febuxostat, non-purine xanthine oxidase inhibitor yang juga cukup poten, maupun pegylated

recombinant uricase, masih dikembangkan.

Sedangkan jenis urate lowering agent yang kedua yaitu golongan uricosuric agent,

bekerja dengan cara menghambat reabsorsi urat di tubulus renalis. Yang paling sering dipakai

adalah probenesid dan sulfinpirazon. Probenesid dengan dosis 0,5-3 gram dibagi 2-3 kali

perhari. Sedangkan sulfinpirazon diberikan dengan dosis 300-400 mg dibagi 3-4 kali perhari.

Pemakaian obat urikosurik ini lebih diindikasikan pada keadaan dengan ekskresi asam urat di

urin <800 mg perhari, dan dengan fungsi ginjal yang masih baik (creatinine clearance

>80ml/menit). Risiko batu ginjal semakin besar pada kadar asam urat di urin yang tinggi.

Pada beberapa kasus yang sulit dikendalikan dengan obat tunggal, kombinasi uricosuric

agent dan xanthine oxidase inhibitor dapat dibenarkan.

III.2.5. Pencegahan

Makanan yang mengandung tinggi purin dan tinggi protein sudah lama diketahui dapat

menyebabkan dan meningkatkan risiko terkena gout. Makanan kaya protein dan lemak

merupakan sumber purin. Padahal walau tinggi kolesterol dan purin, makanan tersebut sangat

Page 33

Page 34: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

berguna bagi tubuh, terutama bagi anak-anak pada usia pertumbuhan. Kolesterol penting bagi

prekusor vitamin D, bahan pembentuk otak, jaringan saraf, hormon steroid, garam-garaman

empendu dan membran sel. Orang yang kesehatannya baik hendaknya tidak makan

berlebihan. Sedangkan bagi yang telah menderita gangguan asam urat, sebaiknya membatasi

diri terhadap hal-hal yang bisa memperburuk keadaan. Misalnya, membatasi makanan tinggi

purin dan memilih yang rendah purin.

Pengaturan diet sebaiknya segera dilakukan bila kadar asam urat melebihi 7 mg/dl

dengan tidak mengonsumsi bahan makanan golongan A dan membatasi diri untuk

mengonsmsi bahan makanan golongan B. Juga membatasi diri mengonsumsi lemak serta

disarankan untuk banyak minum air putih. Apabila dengan pengaturan diet masih terdapat

gejala-gejala peninggian asam urat darah, sebaiknya berkonsultasi dengan dokter terdekat

untuk penanganan lebih lanjut.

Jumlah asupan kalori harus benar disesuaikan dengan kebutuhan tubuh berdasarkan

pada tinggi dan berat badan. Penderita gangguan asam urat yang kelebihan berat badan, berat

badannya harus diturunkan dengan tetap memperhatikan jumlah konsumsi kalori. Asupan

kalori yang terlalu sedikit juga bisa meningkatkan kadar asam urat karena adanya badan

keton yang akan mengurangi pengeluaran asam urat melalui urin

Hal yang juga perlu diperhatikan, jangan bekerja terlalu berat, cepat tanggap dan rutin

memeriksakan diri ke dokter. Karena sekali menderita, biasanya gangguan asam urat akan

terus berlanjut.

Tinggi karbohidrat

Karbohidrat kompleks seperti nasi, singkong, roti dan ubi sangat baik dikonsumsi oleh

penderita gangguan asam urat karena akan meningkatkan pengeluaran asam urat melalui urin.

Konsumsi karbohidrat kompleks ini sebaiknya tidak kurang dari 100 gram per hari.

Karbohidrat sederhana jenis fruktosa seperti gula, permen, arum manis, gulali, dan sirop

sebaiknya dihindari karena fruktosa akan meningkatkan kadar asam urat dalam darah.

Rendah protein

Protein terutama yang berasal dari hewan dapat meningkatkan kadar asam urat dalam

darah. Sumber makanan yang mengandung protein hewani dalam jumlah yang tinggi,

Page 34

Page 35: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

misalnya hati, ginjal, otak, paru dan limpa. Asupan protein yang dianjurkan bagi penderita

gangguan asam urat adalah sebesar 50-70 gram/hari atau 0,8-1 gram/kg berat badan/hari.

Sumber protein yang disarankan adalah protein nabati yang berasal dari susu, keju dan telur.

Rendah lemak

Lemak dapat menghambat ekskresi asam urat melalui urin. Makanan yang digoreng,

bersantan, serta margarine dan mentega sebaiknya dihindari. Konsumsi lemak sebaiknya

sebanyak 15 persen dari total kalori.

Tinggi cairan

Konsumsi cairan yang tinggi dapat membantu membuang asam urat melalui urin.

Karena itu, Anda disarankan untuk menghabiskan minum minimal sebanyak 2,5 liter atau 10

gelas sehari. Air minum ini bisa berupa air putih masak, teh, atau kopi. Selain dari minuman,

cairan bisa diperoleh melalui buah-buahan segar yang mengandung banyak air. Buah-buahan

yang disarankan adalah semangka, melon, blewah, nanas, belimbing manis, dan jambu air.

Selain buah-buahan tersebut, buah-buahan yang lain juga boleh dikonsumsi karena buah-

buahan sangat sedikit mengandung purin. Buah-buahan yang sebaiknya dihindari adalah

alpukat dan durian, karena keduanya mempunyai kandungan lemak yang tinggi.

Tanpa alkohol

Berdasarkan penelitian diketahui bahwa kadar asam urat mereka yang mengonsumsi

alkohol lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak mengonsumsi alkohol. Hal ini adalah

karena alkohol akan meningkatkan asam laktat plasma. Asam laktat ini akan menghambat

pengeluaran asam urat dari tubuh.

III.3. INFEKSIUS ARTHRITIS

Infeksius arthritis merupakan sebuah bentuk peradangan pada daerah sendi dengan

penyebab bakteri.14 Bakteri yang sering menyebabkan peradangan di Indonesia merupakan

Microbacterium toberculosa. Bakteri dapat masuk ke dalam sendi dapat melaui berbagai jalan

termasuk lewat aliran darah selain aspirasi langsung pada cairan synovial. Bakteri yang

terdapat di sendi akan memiliki dua kemungkinan yaitu akan mati difagosit oleh synovial

lining cells. Pemakanan ini akan memunculkan reaksi antigen antibodi yang akan

mengaktifkan jalur klasik. Apabila bakteri yang masuk ke sendi tersebut memiliki toksin,

Page 35

Page 36: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

maka toksin tersebut akan mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif. Kemungkinan

ketiga yaitu bakteri tersebut akan terfagosit oleh PMN, dimana dalam proses fagositosisnya

akan mengeluarkan ke lingkungan sedikit enzim lisozomal. Ketiga faktor tersebut lah yang

mengakibatkan inflamasi pada daerah sendi.

Gejala klinis yang dapat terlihat pada penyakit infeksious arthritis adalah nyeri, bengkak,

kaku, dan berwaran kemerahan pada sendi. Sendi yang terkena biasanya hanya

nomoartrikular. Gejala lainnya yang pasti terjadi dan berdampak sistemik adalah deman.

Dari beberapa gejala yang disebutkan diatas sesuai dengan gout. Pemeriksaan hitung leukosit

yang didapatkan akan lebih dari 50.000/ml dengan PMN lebih dari 80%. Kenaikan yang

tinggi ini jarang diketemukan pada penderita gout, walaupun pada sebagian penderita dapat

terkena. Pada pemeriksaan ini glukosa dan LDH darah tidak begitu berguna. Gambaran

radiologis yang didapatkan pada otot polos pada fase awal akan menunjukan adanya

osteoporosis periartrikular, penyempitan celah sendi dan terdapat erosi. MRI akan lebih

spesifik dibandingkan dengan foto polos pada stadium awal. MRI dapat lebih spesifik karena

pada stadium awal akan terjadi pembengkakan dan pendesakan jaringan lunak dan sendi.

Yang Berisiko Mengembangkan Septic Arthritis

Ketika infeksi sendi adakalanya mempengaruhi orang-orang dengan faktor-faktor risiko

yang mempengaruhi yang tidak diketahui, ia lebih umum terjadi ketika situasi-situasi risiko

tertentu hadir. Risiko-risiko untuk perkembangan dari septic arthritis termasuk

mengkonsumsi obat-obat yang menekan sistim imun, penyalahgunaan obat intravena,

penyakit sendi masa lalu, luka, atau operasi, dan penyakit-penyakit medis yang mendasarinya

termasuk diabetes, alkoholisme, penyakit sel sabit, penyakit-penyakit rheumatik, dan

kelainan-kelainan kekurangan imun. Orang-orang dengan yang mana saja dari kondisi-

kondisi ini yang mengembangkan gejala-gejala dari septic arthritis harus segera mencari

perhatian medis.

Mendiagnosis Septic Arthritis

Septic arthritis didiagnosis dengan mengidentifikasi cairan sendi yang terinfeksi. Cairan

sendi dapat secara mudah dikeluarkan secara steril di ruang praktek, klinik, atau rumah sakit

dengan suatu jarum dan penyemprot (suntikan). Cairan dianalisa di sebuah laboratorium

untuk menentukan apakah ada suatu jumlah yang naik dari sel-sel darah putih yang

Page 36

Page 37: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

menyarankan peradangan. Suatu kultur dari cairan sendi dapat mengidentifikasi mikroba

tertentu dan menentukan kepekaannya terhadap suatu keragaman dari antibiotik-antibiotik.

Studi-studi X-ray dari sendi dapat bermanfaat untuk mendeteksi luka dari tulang yang

berdekatan pada sendi. MRI scanning adalah sangat sensitif dalam mengevaluasi kerusakan

sendi. Tes-tes darah seringkali digunakan untuk mendeteksi dan memonitor peradangan. Tes-

tes ini termasuk jumlah sel darah putih, angka pengendapan (sedimentation rate), dan C-

reactive protein.

Merawat Septic Arthritis

Septic arthritis dirawat dengan antibiotik-antibiotik dan pengaliran dari cairan sendi

(synovial) yang terinfeksi dari sendi.

Secara optimal, antibiotik-antibiotik diberikan segera. Seringkali, antibiotik-antibiotik

intravena diberikan dalam suatu penatalaksanaan rumah sakit. Pilihan-pilihan dari antibiotik-

antibiotik dapat dipandu oleh hasil-hasl dari kultur cairan sendi. Sampai hasil-hasil itu

diketahui, antibiotik-antibiotik empiris dipilih untuk mencakup suatu batasan yang luas dari

kemungkinan agent-agent infeksius. Adakalanya, konmbinasi-kombinasi dari antibiotik-

antibiotik diberikan. Antibiotik-antibiotik dapat diperlukan untuk empat sampai enam

minggu.

Pengaliran adalah penting untuk pembersihan yang cepat dari infeksi. Pengaliran dapat

dilakukan dengan penyedotan-penyedotan yang teratur dengan sebuah jarum dan penyemprot

(suntikan), seringkali setiap pagi, atau via prosedur-prosedur operasi. Arthroscopy dapat

digunakan untuk mengalirkan sendi dan mengangkat jaringan pelapis sendi yang terinfeksi.

Jika pengaliran yang cukup tidak dapat dipenuhi dengan penyedotan-penyedotan sendi atau

arthroscopy, operasi sendi terbuka digunakan untuk mengalirkan sendi. Setelah arthroscopy

atau operasi sendi terbuka, pipa-pipa saluran adakalanya ditinggalkan di tempat untuk

mengalirkan kelebihan cairan yang dapat terkumpul setelah prosedur.

Komplikasi-Komplikasi Septic Arthritis

Pembersihan yang cepat dari infeksi adalah kritis untuk memelihara sendi. Jika antibiotik-

antibiotik yang tepat dimulai segera, integritas sendi dapat dipelihara, dan kembalinya ke

fungsi diharapkan. Jika infeksi telah berjalan lama, kemungkinan dari kerusakan sendi ada.

Kunci-kunci ke hasil yang sukses adalah perhatian medis dan pengaliran yang cepat dan

pemberian antibiotik-antibiotik yang akurat yang padanya mikroba-mikroba yang menyerang

Page 37

Page 38: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

adalah peka.

III.4. CARPAL TUNNEL SYNDROM

Penggunaan komputer secara rutin ternyata memicu Carpal Tunnel Syndrome (CTS). CTS

adalah gangguan kesehatan dengan gejala kesemutan dan nyeri pada tangan, terutama pada 3 jari

pertama (ibu jari, telunjuk, dan jari tengah).15 Gejala akan lebih terasa pada malam hari, atau saat

seseorang berada dalam ruang ber-AC.

Gejala itu disebabkan adanya pembengkakan saraf yang melewati terowongan karpal di

pergelangan tangan. Penyakit ini dapat disembuhkan bila cepat ditangani. Gangguan ini kerap

mendera individu yang sering menggunakan pergelangan tangan dalam jangka waktu lama, seperti;

memegang mouse komputer.

Hubungan dengan pekerjaan

Profesi yang berisiko besar terancam CTS antara lain jenis pekerjaan yang banyak

menggunakan tangan dalam jangka waktu panjang. Pekerjaan yang dimaksud umumnya

menggunakan kombinasi kekuatan dan pengulangan gerakan yang sama pada jemari dan

tangan, seperti; pekerjaan yang sering memakai komputer, olahragawan, dokter gigi, musisi,

guru, ibu rumah tangga dan pekerja lapangan yang mengoperasikan alat bervibrasi seperti

bor.

Patofisiologi

Sebagian besar sindrom karpal tunner terjadi perlahan-lahan (kronis). Pada jaringan

pelindung tendon yaitu tenosynovium membengkak, dicurigai karena  cairan synovial yang

berfungsi melindungi dan melumasi tendon tertimbun, terjadi   juga penebalan fleksor

retinakulum.15 Kedua keadaan ini akan menekan n.Medianus. Tekanan yang berulang-ulang

dan lama pada n.Medianus akan menyebabkan tekanan intrafasikuler meninggi. Keadaan ini

menyebabkan perlambatan aliran vena. Kongesti ini lama-lama akan mengganggu nutrisi

intrafasikuler, selanjutnya terjadi anoksia yang akan merusak endotel, menimbulkan

kebocoran protein sehingga terjadi edema epineural. Hipotesa ini dapat menerangkan keluhan

yang sering pada sindrom karpal tunner yaitu berupa rasa nyeri dan sembab terutama malam

Page 38

Page 39: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

atau pagi hari, yang akan berkurang setelah tangan yang bersangkutan digerak-gerakan atau

diurut, mungkin karena perbaikan dari gangguan vaskuler ini.

Bila keadaan berlanjut terjadi fibrosis epineural dan merusak serabut saraf. Selanjutnya

saraf menjadi atrofi dan diganti jaringan ikat sehingga fungsi n.medianus akan terganggu.

Pada sindrom karpal tunner yang akut, biasa terjadi kompresi yang melebihi tekanan perfusi

kapiler, sehingga terjadi gangguan mikrosirkulasi saraf. Saraf  menjadi iskemik, terjadi

peninggian tekanan fasikuler yang juga akan memperberat keadaan iskemik ini. Selanjutnya

terjadi pelebaran pembuluh darah yang menyebabkan edema yang menimbulkan

terganggunya sawar darah saraf dan selanjutnya merusak saraf tersebut. Pengaruh

mekanik/tekanan langsung pada saraf tepi dapat pula menimbulkan invaginasi nodus Ranvier

dan demieliminasi setempat sehingga konduksi saraf terganggu. Selainnya dari faktor

mekanik dan vaskuler ini mungkin ada keadaan lain yang membuat n.Medianus menderita

dalam sindrom karpal tunner.

Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis sindrom karpal tunner kita harus mengetahui tanda dan

gejalanya. Keluhan  timbul berangsur-angsur, dan yang spesifik ialah:

Rasa nyeri di tangan pada malam atau pagi hari. Penderita sering terbangun karena nyeri

ini. Penderita biasanya berusaha sendiri mengatasi keluhannya misalnya dengan

meninggikan letak tangannya, menggerak-gerakkan tangannya ataupun mengurutnya,

ternyata dengan gerakan-gerakan itu keluhannya dapat mereda bahkan hilang. Keluhan

juga berkurang jika pergelangan tangan banyak beristirahat dan sebaliknya keluhan

menghebat pada pergerakan - pergerakan yang menyebabkan tekanan intrakanal

meningkat.  Lama - kelamaan   keluhan   ini   makin   sering   dan   makin  berat bahkan

dapat menetap pada siang dan malam hari.

Rasa kebas, kesemutan, baal atau seperti terkena aliran listrik pada jari-jari. Biasanya

pada  jari  jempol,  telunjuk,  tengah  dan  manis.  Kadang  tidak dapat  dirasakan  dengan

pasti jari mana yang terkena atau dirasakan gangguan  pada  semua  jari. Dapat  pula

terasa  gangguan  pada  beberapa  jari  saja,  misalnya  jari   ke  3  dan  4,  tetapi   tidak

pernah  keluhan   timbul  hanya   pada   jari   kelingking  saja,  hal  ini  sesuai  dengan

distribusi  dari   n.medianus.15

Page 39

Page 40: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Rasa nyeri kadang dapat terasa sampai ke lengan atas bahkan leher, tetapi rasa kebas,

kesemutan dan baal hanya terbatas pada daerah distal pergelangan tangan saja.

Bengkak, sembab dan kaku pada jari-jari, tangan dan pergelangan terutama pada pagi hari

dan terdapat perbaikan setelah beraktifitas, walau kadang tidak terlihat jelas tetapi

dirasakan penderita.

Gerakan jari - jemari kurang trampil misalnya waktu menyulam, menulis atau memungut

benda kecil. Kadang pasien sering tidak sadar menjatuhkan benda yang dipegangnya. Bila

terjadi pada anak - anak maka akan terlihat bahwa anak tersebut bermain hanya dengan

mengunakan jari  4 dan ke 5 saja.

Otot telapak tangan yang makin lama semakin menciut juga sering dikeluhkan.

Pada pasien didapatkan keluhan telah lebih dari 10 tahun mengeluh nyeri dan sulit untuk

menggunakan jari-jemarinya, terutama pada tangan kiri. Awalnya keluhan hanya timbul

saat pasien bekerja yaitu menjahit atau melakukan pekerjaan rumah tangga, tetapi lama–

kelamaan menetap. Keluhan ini juga dirasakan menjalar sampai ke bahu walau rasa baal

dan bengkak hanya pada telapak tangan. Hampir setiap malam pasien mengeluh

tangannya yang semakin sakit jika tidak sengaja tertindih atau tertekuk, keluhan ini

awalnya mudah hilang jika tangan dikibaskan atau diurut.

Untuk menegakkan diagnosis Sindroma Terowongan Karpal pada keluhan -keluhan

tersebut, maka diperlukan pemeriksaan fungsi motorik, sensorik dan otonom pada tangan.

Untuk itu dapat dilakukan beberapa pemeriksaan dan tes provokasi untuk mempertajam

diagnosis.

1. Tes Phalen (Phalen’s test)

Penderita diminta untuk fleksi  palmar secara maksimal. Bila sebelum 60 detik timbul

rasa kebas, kesemutan atau seperti kena listrik pada daerah distribusi n.Medianus, tes

dinyatakan positif. Banyak penulis yang menyatakan tes ini baik untuk diagnosis Sindroma

terowongan  karpal, dengan sensitifitas 75% dan spesifisitas 95%. (Pemeriksaan ini juga

dilakukan serentak pada kedua tangan agar dapat dibandingkan).  Walaupun  Sindroma

Terowongan Karpal banyak yang bilateral, tangan mana yang lebih dahulu positif dapat

Page 40

Page 41: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

menentukan bahwa Sindroma Terowongan Karpal pada tangan tersebut lebih berat dari

tangan yang satu lagi. (Tes ini tak dapat dinilai bila ada gangguan pergerakan sendi).15

2. Paresis otot (kekuatan, ketrampilan, ketepatan)

Dapat dinilai dengan manual atau alat khusus (dinamometer). Penderita diminta

melakukan abduksi palmar secara maksimal, lalu mempertautkan ujung jari ke 1 dan ke 2,

kemudian jari 1, 2 dan 3 serta jari 1 dan 5. Begitu juga kekuatan jepitan antara jari 1 dan 2.

Dengan cara-cara ini kekuatan otot yang dipersarafi n.Medianus dapat dinilai satu persatu.

Untuk ketrampilan/ketepatan, dilihat cara penderita melakukan gerakan rumit, misalnya

menyulam, menulis dan lain-lain.

3. Tes ekstensi pergelangan (Wrist extension test)

Rasa kebas, semutan atau seperti kena listrik pada daerah distribusi n.Medianus,

dinyatakan tes positif  hal ini dapat menyokong diagnosis Sindroma Terowongan Karpal.

(sebaiknya pemeriksaan dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat dibandingkan).

Bila ada gangguan pergerakan sendi (arthritis, ankylose dll) tes ini tak dapat dinilai.

4. Tes bendungan (Tourniquet test)

Dengan melakukan bendungan memakai alat pemeriksa tekanan darah (tensimeter)

proksimal siku sedikit diatas tekanan sistolik. Bila dalam 60 detik timbul rasa kesemutan,

kebas atau seperti kena listrik pada derah distribusi n.Medianus, tes dinyatakan positif hal ini

menyokong untuk diagnosis Sindroma Terowongan Karpal. (Tes ini akan positif pula pada

beberapa penyakit lain misalnya penyakit Raynaud).

5. Tes Tekanan (Pressure test)

Dengan memakai ibu jari, n.Medianus di pergelangan (tempat memeriksa tanda dari

Tinel) ditekan dengan lembut. Bila dalam waktu < 120 detik timbul rasa kesemutan, kebas,

seperti kena listrik  ataupun nyeri di daerah distribusi n.Medianus dinyatakan tes positif,

menyokong untuk diagnosis Sindroma Terowongan Karpal. (Pemeriksaan dilakukan serentak

pada kedua tangan).

6. Pemeriksaan rongent, USG resolusi tinggi, CT scan dan MRI

Page 41

Page 42: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Dapat membantu mengetahui kondisi dalam terowongan karpal. Tapi karena biaya

pemeriksaan canggih ini cukup mahal, pemeriksaan ini hanya dilakukan pada kasus-kasus

tertentu saja sebelum tindakan operasi.

7. Pemeriksaan neurofisiologi

Dengan melakukan pemeriksaan elektromiografi (EMG) dapat dinilai fungsi motoris dan

sensoris suatu saraf. Bila terdapat gangguan setempat pada satu saraf, dapat ditentukan

dimana lokasi gangguan (lesi) tersebut. Banyak teknik pemeriksaan EMG yang diajukan

untuk pemeriksaan sindrom karpal tunner.

Penatalaksanaan

Berhubung Sindroma Terowongan Karpal ini sering didasari oleh penyakit atau keadaan

lain (10-50%), maka terapi ditujukan untuk Sindroma Terowongan karpal sendiri atau untuk

penyakit serta keadaan lain yang mendasarinya.

Terapi Sindroma Terowongan Karpal

Konservatif

1. Pemasangan Bidai

Pemasangan bidai di pergelangan tangan pada posisi netral, diharapkan pergelangan dapat

istirahat secara fisiologis dan tekanan dalam terowongan karpal menjadi lebih minimal.

Tergantung dari beratnya keluhan, bidai dipasang terus menerus atau malam  hari saja selama

2 - 6 minggu. Pemasangan bidai malam hari sangat  berarti bagi penderita yang sering tidur

dengan fleksi pergelangan tangan. Pemakaian bidai ini efektif jika dilakukan dalam jangka

tiga bulan sejak timbul keluhan.

2. Penyuntikan steroid ke dalam terowongan karpal

Selain untuk terapi Sindroma Terowongan Karpal, penyuntikan steroid yang dapat

menghilangkan atau mengurangi keluhan Sindroma Terowongan Karpal ini merupakan salah

satu tes untuk menegakkan diagnosis Sindroma Terowongan Karpal. Penyuntikan steroid ke

dalam terowongan karpal, diharapkan dapat mengatasi edema dalam terowongan karpal.15

Efek samping penyuntikan steroid :

a. obat masuk ke saraf  (nyeri)

b. atrofi, hipopigmentasi, perdarahan

Page 42

Page 43: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

c. robeknya tendon secara spontan

d. radang lokal

3. Pengontrolan cairan misalnya diuretika

Dengan berkurangnya cairan tubuh secara sistemik, maka diharapkan cairan di daerah

terowongan karpal akan berkurang, hal ini akan mengurangi tekanan dalam terowongan

karpal.

4. Anti inflamasi non steroid atau steroid

Obat - obatan anti inflamasi baik steroid maupun non steroid akan mengurangi edema di

dalam terowongan karpal.

5. Estrogen

Karena penderita Sindroma terowongan karpal terutama pada wanita diatas 40 tahun

(menopause), Schiller dan Kolb menduga mungkin kekurangan estrogen akan mempengaruhi

pertumbuhan jaringan ikat, sehingga mereka memberi estrogen pada pasien-pasiennya yang

disebutnya sebagai suatu Sindroma menopause. Tapi pendapat ini ditentang oleh penulis-

penulis lain.

6. Vitamin Neurotropik

Ellis, Folker dkk dan beberapa penulis lain menyatakan defisiensi pyridoxin merupakan salah

satu faktor etiologi Sindroma Terowongan Karpal  Sehingga memberikan pyridoxin sebagai

terapi Sindroma Terowongan Karpal dan menurut mereka, hasilnya cukup memuaskan. Tapi

penulis-penulis lain banyak pula yang menentang pendapat ini, apalagi karena pyridoxin yang

berlebihan dapat pula menyebabkan neuropati (karena intoksikasi). Tapi menurut penulis

yang setuju memakai  pyridoxin, neuropati  karena pyrodoxin ini hanya terjadi pada penderita

yang telah mempunyai kecenderungan akan timbulnya neuropati. Dosis pyridoxin yang

dianjurkan adalah 100-300 mg/hari selama 3 bulan. Menurut Folker selain defisiensi

pyridoxin pada Sindroma Terowongan Karpal terdapat pula defisiensi riboflavin. Terlepas

benar atau salahnya teori defisiensi vitamin-vitamin ini pada Sindroma Terowongan Karpal

sebagai pelengkap terapi neuropati. Kita selalu memberi vitamin kombinasi golongan B

karena vitamin ini banyak mempengaruhi perbaikan-perbaikan saraf tepi yang rusak. Begitu

juga mecobalamin  disebut-sebut berguna untuk regenerasi saraf perifer.

III.5. SINDROM REITER

III.5.1. Definisi Sindrom Reiter

Page 43

Page 44: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Sindroma Reiter merupakan peradangan pada sendi dan tendon (urat daging) yang

melengkapinya, sering disertai dengan peradangan pada konjungtiva mata dan selaput lendir

(misalnya di mulut, saluran kemih, vagina dan penis), dan ruam-ruam yang khas.16

Sindroma Reiter disebut artritis reaktif karena peradangan sendi muncul sebagai reaksi

terhadap infeksi yang berasal dari bagian tubuh lainnya selain sendi.

Terdapat 2 bentuk Sindroma Reiter:

1. Terjadi dengan penyakit menular seksual seperti infeksi klamidia, dan lebih sering

terjadi pada laki-laki muda

2. Terjadi setelah infeksi saluran pencernaan, misalnya salmonelosis.

III.5.2. Penyebab Sindrom Reiter

Penyebab yang pasti dari sindroma Reiter tidak diketahui. Paling sering terjadi pada pria

yang berusia kurang dari 40 tahun.16 Bisa timbul setelah terjadinya penyakit menular seksual

atau infeksi disenterik karena Chlamydia, Campylobacter, Salmonella atau Yersinia. Faktor

genetik kemungkinan berperan dalam terjadinya penyakit ini.

III.5.3. Gejala Sindrom Reiter

Gejalanya dimulai dalam 7-14 hari setelah terjadinya infeksi. Gejala awalnya sering

berupa peradangan uretra (saluran yang membawa air kemih dari kandung kemih keluar

tubuh). Pada laki-laki, peradangan ini menyebabkan nyeri dan keluarnya nanah dari penis.

Kelenjar prostat bisa meradang dan nyeri. Gejala saluran kemih-kelamin pada wanita

biasanya ringan, berupa keputihan ringan atau nyeri waktu berkemih.

Konjungtiva (selaput yang melapisi kelopak mata dan bola mata) bisa menjadi merah dan

meradang, menyebabkan rasa gatal atau rasa terbakar dan pengeluaran air mata yang

berlebihan.

Nyeri dan peradangan sendi bisa ringan atau berat. Beberapa sendi biasanya terkena,

terutama lutut, sendi jari kaki dan daerah dimana tendon (urat otot) menempel ke tulang

(misalnya tumit). Pada kasus yang lebih berat, nyeri dan peradangan bisa mengenai tulang

belakang. Luka kecil yang tidak terasa nyeri bisa terjadi di mulut, lidah dan ujung penis.

Kadang-kadang ruam yang khas dari bintik tebal dan keras, bisa timbul di kulit, terutama

pada telapak tangan dan telapak kaki. Endapan kuning bisa terbentuk dibawah kuku jari

tangan dan kuku jari kaki.

Page 44

Page 45: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Pada sebagian besar penderita, gejala awalnya menghilang dalam 3-4 bulan. Pada 50%

penderita, artritis dan gejala lainnya muncul lagi setelah beberapa tahun. Jika gejalanya

menetap atau sering kambuh, bisa terjadi kelainan bentuk pada sendi dan tulang belakang.

III.5.4. Diagnosa Sindrom Reiter

Adanya gabungan dari gejala-gejala pada sendi, alat kelamin, alat kemih, kulit dan mata

mengarah kepada diagnosis penyakit ini. Karena gejala-gejala ini tidak muncul bersamaan,

penyakit ini mungkin tidak terdiagnosis selama beberapa bulan. Tidak ada pemeriksaan

laboratorium yang dapat memperkuat diagnosis penyakit ini. Untuk mencoba menentukan

organisme penyebab infeksi yang memicu sindroma ini bisa dilakukan pemeriksaan terhadap

contoh dari uretra atau cairan sendi, atau biopsi sendi.

III.5.5. Pengobatan Sindrom Reiter

Antibiotik diberikan untuk mengobati infeksinya, tetapi pengobatan ini tidak selalu

berhasil dan lamanya pemberian yang optimal tidak diketahui. Artritis biasanya diobati

dengan obat anti peradangan non-steroid. Bisa juga digunakan obat imunosupresan, seperti

sulfasalazin atau metotreksat. Kortikosteroid disuntikkan langsung ke dalam sendi yang

meradang. Konjungtivitis dan luka di kulit tidak perlu diobati, tetapi peradangan mata yang

berat mungkin memerlukan salep atau tetes mata kortikosteroid.

III.6. OSTEOMYELITIS

Osteomyelitis pertama kali dikemukakan pertama kali oleh Nelaton (1834), disebut coined

osteomyelitis.17 Osteomyelitis merupakan problem yang paling sering, namun sering

terlewatkan karena manifestasinya hampir sama dengan infeksi jenis lain. Diagnosa awal

sangat sulit, karena diagnosisnya di titik beratkan pada klinis sehingga sering terjadi

osteomyelitis yang kronis. Edukasi yang baik kepada pasien sangat diperlukan.

Berdasarkan waktunya, dibedakan menjadi:

Akut: beberapa hari sampai beberapa minggu, tanda inflamasi dan infeksi lokal, dengan

gangguan pada ektrimitas, keadaan umum sakit berat dan bisa menunjukkan nyerinya

dengan jelas di daerah tulang yang terkena infeksi dengan foto roentgen normal.

Page 45

Page 46: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Kronis: lebih dari sepuluh hari, lowgrade inflamasi, tetapi mempunyai luka yang tidak

sembuh-sembuh, ada nanah yang bersumber dari tulang, kemungkinan berupa vistel

dengan nyeri minimal/tidak nyari, sedikit demam/tidak demam, dan tidak sembuh bila

diberikan antibiotik. Foto roentgen tidak normal, tidak bisa diberikan antibiotik karena

sudah terbentuk sequestrum (avaskular dari segmen tulang, diliputi pus/ jaringan

granulasi infeksi) yang tata laksananya dengan operasi. Kemungkinan juga ditemukan

involucrum (tulang baru terbentuk yang di dalamnya terdapat kuman). Cloacea, yang bisa

tembus ke kulit membentuk vistel. Berdasarkan pathogenesis.

III.6.1. Patofisiologi Osteomyelitis

Infeksi yang berhubungan dengan osteomyelitis dapat terlokalisir dan menyebar di

periosteum, korteks, sum-sum tulang, dan jaringan kansellosa.18 Bakteri patogen yang

menginfeksi bergantung pada usia pasien dan mekanisme infeksi.

Infeksi pada tulang dapat terjadi dengan dua mekanisme yaitu melalui aliran darah tulang

dan melalui inokulasi langsung dari jaringan sekitar.

Osteomyelitis yang terjadi akibat infeksi melalui penyebaran darah terjadi disebabkan

adanya bibit bakteri pada aliran darah, keadaan ini ditandai dengan infeksi akut pada tulang

yang berasal dari bakteri yang berasal dari fokus infeks primer yang letaknya jauh dari tulang

yang mengalami peradangan. Keadaan ini paling sering terjadi pada anak dan disebut dengan

osteomyelitis hematogenous akut. Lokasi yang paling sering terkena adalah metaphyse yang

bervaskularisasi tinggi dan dalam masa perkembangan yang cepat. Perlambatan aliran darah

yang terjadi pada pada metaphyse distal menyebabkan mudahnya terjadi thrombosis dan

dapat menjadi tempat bertumbuhnya bakteri.

Infeksi yang terjadi akibat inokulasi langsung dari jaringan sekitar terjadi akibat kontak

langsung dari jaringan tulang dan bakteri akibat trauma atau post operasi. Mekanisme ini

dapat terjadi oleh karena inokulasi bakteri langsung akibat cedera tulang terbuka, bakteri

yang berasal dari jaringan sekitar tulang yang mengalami infeksi, atau sepsis setelah prosedur

operasi.

III.6.2. Klasifikasi Osteomyelitis

Page 46

Page 47: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Klasifikasi osteomyelitis berdasar dari beberapa kriteria seperti durasi dan mekanisme

infeksi dan jenis respon host terhadap infeksi. Osteomyelitis berdasarkan durasi penyakit

dapat diklasifikasi menjadi akut, subakut, dan kronik. Akan tetapi batas waktu untuk tiap

klasifikasi masih belum tegas. Mekanisme infeksi dapat exogenous dan hematogenous.

Osteomyelitis exogenous disebabkan oleh fraktur terbuka, operasi (iatrogenik), atau

penyebaran infeksi dari jaringan lunak lokal.18 Jenis hematogenous terjadi akibat bakteremia.

Osteomyelitis juga dapat dibagi berdasarkan respon host terhadap penyakit ini, pembagian

tersebut adalah osteomyelitis pyogenik dan nonpyogenik. Cierny dan Mader mengajukan

sistem klasifikasi untuk osteomyelitis kronis berdasarkan kriteria faktor host dan anatomis.

Sistem klasifikasi yang lebih banyak digunakan adalah berdasarkan durasi (akut, subakut, dan

kronis) dan berdasarkan mekanisme infeksi (exogenous dan hematogenous).

III.6.3. Diagnosis Osteomyelitis

Diagnosis osteomyelitis berdasar pada penemuan klinis, laboratorium, dan radiologi. Gold

standar adalah dengan melakukan biopsi pada tulang yang terinfeksi untuk analisa histologis

dan mikrobateriologis.

Pemeriksaan fisik sebaiknya berfokus pada integritas dari kulit dan jaringan lunak,

menentukan daerah yang mengalami nyeri, stabilitas abses tulang, dan evaluasi status

neurovaskuler tungkai.18 Pemeriksaan laboratorium biasanya kurang spesifik dan tidak

memberikan petunjuk mengenai derajat infeksi. ESR dan CRP meningkat pada kebanyakan

pasien, akan tetapi WBC hanya meningkat pada 35% pasien.

Terdapat banyak pemeriksaan radiologik yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi

osteomyelitis kronik; akan tetapi, tidak ada teknik satupun yang dapat mengkonfirmasi atau

menyingkirkan diagnosis osteomyelitis. Pemeriksaan radiologik sebaiknya dilakukan untuk

membantu konfirmasi diagnosis dan untuk sebagai persiapan penanganan operatif.

Radiologi polos dapat memberikan informasi berharga dalam menegakkan diagnosis

osteomyelitis kronik dan sebaiknya merupakan pemeriksaan yang pertama dilakukan. Tanda

dari destruksi kortikal dan reaksi periosteal sangat mengarahkan diagnosis pada

osteomyelitis. Tomography polos dapat berguna untuk mendeteksi sequestra. Sinography

dapat dilakukan jika didapatkan jejak infeksi pada sinus.

Page 47

Page 48: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Pemindaian tulang dengan isotop lebih berguna pada osteomyelitis akut dibanding dengan

bentuk kronik. Pemindaian tulang techentium 99m, yang memperlihatkan pengambilan yang

meningkat pada daerah dengan peningkatan aliran darah atau aktivitas osteoblastik,

cenderung memiliki spesifitas yang kurang. Akan tetapi pemeriksaan ini, memiliki nilai

prediktif yang tinggi untuk hasil yang negatif, walaupun negatif palsu telah dilaporkan.

Pemindaian dengan Gallium memperlihatkan peningkatan pengambilan pada area dimana

leukosit atau bakteria berakumulasi. Pemindaian leukosit dengan Indium 111 lebih sensitif

dibanding dengan technetium atau gallium dan terutama digunakan untuk membedakan

osteomyelitis kronik dari arthropathy pada kaki diabetik.

CT scan memberikan gambaran yang sempurna dari tulang kortikal dan penilaian yang

cukup baik untuk jaringan lunak sekitar dan terutama berguna dalam identifikasi sequestra.

Akan tetapi, MRI lebih berguna dibanding CT scan dalam hal penilaian jaringan lunak. MRI

memperlihatkan daerah edema tulang dengan baik. Pada osteomyelitis kronik, MRI dapat

menunjukkan suatu lingkaran hiperintens yang mengelilingi fokus infeksi (rim sign). Infeksi

sinus dan sellulitis tampak sebagai area hiperintens pada gambaran T2-weighted.

Seperti yang sebelumnya dijelaskan, gold standard dari diagnosis osteomyelitis adalah

biopsi dengan kultur atau sensitivitas. Suatu biopsi tidak hanya bermanfaat dalam

menegakkan diagnosis, akan tetapi juga berguna menentukan regimen antibiotik yang akan

digunakan.

III.6.4. Penatalaksanaan Osteomyelitis

Osteomyelitis kronik pada umumnya tidak dapat dieradikasi tanpa operasi. Operasi untuk

osteomyeritis termasuk sequestrektomi dan reseksi tulang dan jaringan lunak yang terinfeksi.

Tujuan dari operasi adalah menyingkirkan infeksi dengan membentuk lingkungan tulang

yang viable dan bervaskuler. Debridement radikal dapat dilakukan untuk mencapai tujuan ini.

Debridement yang kurang cukup dapat menjadi alasan tingginya angka rekurensi pada

osteomyelitis kronik dan kejadian abses otak pada osteomyelitis tulang tengkorak.

Debridement adekuat seringkali meninggalkan ruang kosong besar yang harus ditangani

untuk mencegah rekurensi dan kerusakan tulang bermakna yang dapat mengakibatkan

instabilitas tulang.17,18 Rekonstruksi yang tepat baik untuk defek jaringan lunak maupun

tulang perlu dilakukan,begitu pula identifikasi menyeluruh dari bakteri penginfeksi dan terapi

Page 48

Page 49: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

antibiotik yang tepat. Rekonstruksi sebaiknya dilakukan setelah perencanaan yang baik dan

identifikasi sequestra dan abses intraosseus dengan radiography polos, sinography, CT dan

MRI. Prosedur ini sebaiknya dilakukan dengan konsultasi ahli infeksi dan untuk fase

rekonstruksi, diperlukan konsultasi ahli bedah plastik mengenai skin graft, flap muskuler dan

myocutaneus. Durasi pemberian antibiotik post-operasi masih kontroversi. Pada umumnya,

pemberian antibiotik intravena selama 6 minggu dilakukan setelah debridement osteomyelitis

kronik. Swiontkowski et al melaporkan angka kesuksesan sebesar 91% dengan hanya 1

minggu pemberian antibiotik intravena dilanjutkan dengan terapi antibiotik oral selama 6

minggu.

Semua jaringan nekrotik harus dibuang untuk mencegah residu bakteri yang dapat

menginfeksi ulang. Pengangkatan semua jaringan parut yang melekat dan skin graft

sebaiknya dilakukan. Sebagai tambahan dapat digunakan bur kecepatan tinggi untuk

membersihkan untuk mendebridemen tepi kortikal tulang sampai titik titik perdarahan

didapatkan. Irrigasi berkelanjutan perlu dilakukan untuk mencegah nekrosis tulang karena

bur. Kultur dari materi yang didebridement sebaiknya dilakukan sebelum memulai terapi

antibiotik. Pasien membutuhkan beberapa kali debridement, hingga luka cukup bersih untuk

penutupan jaringan lunak. Soft tissue dibentuk kembali dengan simpel skin graft, tetapi sering

kali membutuhkan transposisi lokal jaringan muskuler atau transfer jaringan bebas yang

tervaskularisasi untuk menutup segment tulang yang didebridemen secara efektif Muscle

flaps ini memberikan vascularisasi jaringan yang baru untuk membantu penyembuhan tulang

dan distribusi antibiotik. Pada akhirnya stabilitas tulang harus di capai dengan bone graft

untuk menutup gaps osseus. Autograft kortikal dan cancellous dengan transfer tulang yang

bervaskularisasi biasanya perlu dilakukan. Walaupun secara tehnis dibutuhkan bone graft

tervaskularisasi memberikan sumber aliran darah baru pada daerah tulang yang sebelumnya

tidak memiliki vaskularisasi

a. Graft Tulang Terbuka

Papineau et al menggunakan teknik graft tulang terbuka untuk penatalaksanaan

osteomyelitis kronik. Penggunaan prosedur ini berdasarkan prinsip sebagai berikut :

1. Jaringan granulasi dapat mencegah infeksi;

2. Graft tulang cancellous autogenous sangat cepat tervaskularisasi dan mencegah terjadinya

infeksi;

3. Daerah terinfeksi dieksisi dengan sempurna;

Page 49

Page 50: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

4. Drainase yang adekuat;

5. Immobilisasi yang adekuat;

6. Antibiotik diberikan dalam jangka panjang.

Panda et al melaporkan angka kesuksesan dengan menggunakan teknik Papineau untuk

penatalaksanaan 41 pasien dengan osteomyelitis kronik.Operasi tersebut dibagi menjadi tiga

tahap yaitu sebagai berikut; (1) eksisi jaringan terinfeksi dengan atau tanpa stabilisasi dengan

menggunakan fixator eksternal atau intramedullari rod, (2) cancellous autografting; dan (3)

penutupan kulit.

b. Antibiotik Rantai Plymethylmethacrylate (PMMA)

Klemm dan investigator lainnya melaporkan hasil yang cukup baik dengan penggunaan

antibiotik PMMA untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik. Rasionalisasi untuk

penatalaksanaan ini adalah untuk memberikan antibiotik kadar tinggi secara lokal dengan

konsentrasi yang melampaui konsentrasi inhibitorik minimal. Penelitian farmakokinetik telah

menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik lokal yang diperoleh mencapai 200 kali lebih

tinggi dibandingkan pemberian antibiotik sistemik. Penatalaksanaan ini memiliki keunggulan

dalam hal memperoleh antibiotik dengan konsentrasi sangat tinggi sementara menjaga kadar

toksisitas dalam serum dan sistemik tetap rendah. Antibiotik berasal dari PMMA bead ke

dalam luka hematoma post operasi dan sekresi, yang berfungsi sebagai media tranport.

Konsentrasi antibiotik yang sangat tinggi hanya dapat dicapai dengan penutupan luka primer;

jika penutupan seperti demikian tidak dapat dilakukan maka luka dapat ditutup dengan

perban kedap air. Sebelum PMMA bead diimplantasi, semua jaringan terinfeksi dan nekrotik

telah di debridement dengan adekuat sebelumnya dan semua benda asing dibuang. Drain isap

tidak direkomendasikan karena konsentrasi antibiotik dapat berkurang.

Golongan aminoglikosida merupakan jenis antibiotik yang digunakan bersama PMMA

bead. Penisilin, cephalosporin, dan clindamisin terlarut dengan baik paad PMMA bead;

vancomysin kurang terlarut dengan baik. Antibiotik seperti fluoroquinolon, tetrasiklin,

polymixin B dirusak selama proses exothermik pada pengerasan PMMA bead sehingga jenis

antibiotik tersebut tidak dapat digunakan.

Implantasi antibiotik PMMA jangka pendek, jangka panjang, atau permanen dapat

dilakukan. Pada implantasi jangka pendek, PMMA bead dibuang dalam 10 hari pertama, dan

Page 50

Page 51: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

pada implantasi jangka panjang PMMA bead ini diberikan hingga 80 hari. Henry et al

melaporkan hasil yang bagus pada 17 pasien dengan implantasi permanen antibiotik PMMA

bead. Rasionalisasi pembuangan PMMA ini dipertimbangkan atas beragam faktor. Kadar

bakteriosidal dari antibiotik ini hanya bertahan selama 2-4 minggu setelah impantasi dan

setelah seluruh isi antibiotik keluar, maka butir PPMA akan dianggap benda asing dan

merupakan tempat yang sesuai untuk kolonisasi bakteri pembentuk glykocalyx. PMMA juga

terbukti menghambat respon imun lokal dengan mengganggu beberapa jenis sel imun yang

fagositik. Setelah pemberian antibiotik PMMA ini maka kantong bead perlu diganti dalam

interval 72 jam dengan debridement berulang dan irigasi hingga luka siap ditutup.

c. Transfer Jaringan Lunak (Soft Tissue Transfer)

Transfer jaringan lunak untuk mengisi ruang kosong yang tertinggal setelah operasi

debridement luas dapat mencakupi flap muskuler terlokalisir pada pedikel vaskuler hingga

transfer jaringan lunak dengan mikrovaskuler. Transfer jaringan otot bervaskularisasi

memperbaiki lingkungan biologis lokal dengan membawa suplai darah yang penting bagi

mekanisme daya tahan tubuh, begitupula untuk pengangkutan antibiotik dan penyembuhan

osseus dan jaringan lunak. Angka keberhasilan untuk teknik ini dilaporkan oleh literatur

adalah sebesar 66% hingga 100%.

Kebanyakan flap muskuler lokal digunakan untuk penanganan osteomyelitis kronik pada

tibia. Otot gastrocnemius digunakan untuk defek sekitar 1/3 proximal tibia, dan otot soleus

digunakan untuk defek sekitar 1/3 medial tibia. Transfer jaringan lunak bebas dengan

mikrovaskuler dibutuhkan untuk defek sekitar 1/3 distal tibia.

III.6.5. Komplikasi Osteomyelitis

Komplikasi osteomyelitis dapat terjadi akibat perkembangan infeksi yang tidak terkendali

dan pemberian antibiotik yang tidak dapat mengeradikasi bakteri penyebab. Komplikasi

osteomyelitis dapat mencakup infeksi yang semakin memberat pada daerah tulang yang

terkena infeksi atau meluasnya infeksi dari fokus infeksi ke jaringan sekitar bahkan ke aliran

darah sistemik. Secara umum komplikasi osteomyelitis adalah sebagai berikut :

Abses Tulang

Bakteremia

Fraktur Patologis

Page 51

Page 52: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Meregangnya implan prosthetik (jika terdapat implan prosthetic)

Sellulitis pada jaringan lunak sekitar.

Abses otak pada osteomyelitis di daerah kranium.

III.6.6. Pencegahan Osteomyelitis

Osteomyelitis hematogenous akut dapat dihindari dengan mencegah pembibitan bakteri

pada tulang dari jaringan yang jauh. Hal ini dapat dilakukan dengan penentuan diagnosis

yang tepat dan dini serta penatalaksanaan dari fokus infeksi bakteri primer. Osteomyelitis

inokulasi langsung dapat dicegah dengan perawatan luka yang baik, pembersihan daerah

yang mengekspos tulang dengan lingkungan luar yang sempurna, dan pemberian antibiotik

profilaksis yang agresif dan tepat pada saat terjadinya cedera.

III.7. SYSTEMIC LUPUS ERYTEMATOSUS

Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah

penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya

perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu

kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang

mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.

Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun

terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).                              

Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan

peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk

melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu

sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ

tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang

tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan

perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).

III.7.1. Etiologi Systemic Lupus Erytematosus

Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi

penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree

relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%)

Page 52

Page 53: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan

bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-

DR3.

Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah

struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di

daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit. SLE juga dapat diinduksi

oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4

menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga

memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh.  Hal ini direspon

sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear

(ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000). Selain itu infeksi virus

dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme

menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit

nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE   (Herfindal et al., 2000).

Penyebab mortalitas paling tinggi terjadi pada awal perjalanan penyakit SLE adalah

infeksi yang disebabkan oleh pemakaian imunosupresan. Sedangkan mortalitas pada

penderita SLE dengan komplikasi nefritis paling banyak ditemukan dalam 5 tahun pertama

ketika dimulainya gejala. Penyakit jantung dan kanker yang berkaitan dengan inflamasi

kronik dan terapi sitotoksik juga merupakan penyebab mortalitas. The Framingham Offspring

Study menunjukkan bahwa wanita dengan usia 35 – 44 tahun yang menderita SLE

mempunyai resiko 50 kali lipat lebih besar untuk terkena infarct miocard daripada wanita

sehat. Penyebab peningkatan penyakit coronary artery disease (CAD) merupakan multifaktor

termasuk disfungsi endotelial, mediator inflamasi, kortikosteroid yang menginduksi 

arterogenesis, dan dislipidemia yang berkaitan dengan penyakit ginjal (salah satu manifestasi

klinis dari SLE). Dari suatu hasil penelitian menunjukkan penyebab mortalitas 144 dari 408

pasien dengan SLE yang dimonitor lebih dari  11 tahun adalah lupus yang akif (34%), infeksi

(22%), penyakit jantung (16%), dan kanker (6%) (Bartels, 2006).

III.7.2. Klasifikasi Systemic Lupus Erytematosus

Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic

lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.

Page 53

Page 54: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

a. Discoid Lupus

Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritem yang meninggi,

skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah,

lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini

memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit

secara menetap (Hahn, 2005).

b. Systemic Lupus Erythematosus

SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh

banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan

disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang

berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam

ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan

jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).

c. Lupus yang diinduksi oleh obat

Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat

yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak

terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein

tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks

antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

Tabel II.1 Obat yang menginduksi SLE (Herfindal et al.,2000).

Definitely Possible Unlikely

Hidralazin

Prokainamid

Isoniazid

Klorpromazin

Metildopa

Antikonvulsan Propitiourasil

Fenitoin                         Metimazol

Karbamazepin               Penisilinamin

Asam valproat               Sulfasalazin

Etosuksimid                   Sulfonamid

β-bloker                         Nitrofurantoin

Propranolol                    Levodopa

Metoprolol                     Litium

Griseofulvin

Penisilin

Garam emas

Page 54

Page 55: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Labetalol                        Simetidin

Acebutolol                     Takrolimus

Kaptropil

Lisinopril

Enalapril

Kontrasepsi oral

III.7.3. Patofisiologi

Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B,

peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi

autoantibodi, dan pembentukan kompleks imun (Mok dan Lau, 2003). Aktivasi sel T dan sel

B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti

bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari

dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs)

atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan

APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan.

Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk

membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T

terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4  (Epstein, 1998).

Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun,

gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun

pada limpa (Albar, 2003). Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya

CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena  lemahnya ikatan

reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen

komplemen C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan

antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun  (Mok dan Lau, 2003)

pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut.

Page 55

Page 56: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan  mediator-mediator

inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan

timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi,

pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Albar, 2003).

Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis

sel keratonosit) atau beberapa obat  (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel

limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat

mengalami apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma.

Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat

apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP,

SAP, dan  komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor

membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36,

CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang menghasilkan  sitokin  antiinflamasi. 

Sedangkan  pada  SLE  yang  terjadi  adalah ikatan dengan autoantibodi  yang kemudian akan

berinteraksi dengan reseptor FcγR yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain

gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan

apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Bijl et al., 2001).

III.7.4. Kriteria Systemic Lupus Erytematosus

Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan kriteria baru

untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE ini mempunyai

selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu periode pengamatan

ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :

1. Ruam malar : eritema persisten, datar atau meninggi, pada daerah hidung dan pipi.

2. Ruam diskoid : bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin          yang

melekat dan sumbatan folikel, dapat terjadi jaringan parut.

3. Fotosensitivitas : terjadi lesi kulit akibat abnormalitas terhadap            cahaya matahari.

4. Ulserasi mulut : ulserasi di mulut atau nasofaring, umumnya tidak nyeri.

5. Artritis : artritis nonerosif yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak,

atau efusi.

6. Serositis

Page 56

Page 57: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Pleuritis : adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura atau

adanya efusi pleura.

Perikarditis : diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan

perikard atau efusi perikard.

7. Kelainan ginjal

Proteinuria yang lebih besar 0,5 g/dL atau lebih dari 3+

Ditemukan  eritrosit, hemoglobin granular, tubular, atau campuran.

8. Kelainan neurologis : kejang tanpa sebab atau psikosis tanpa sebab.

9. Kelainan hematologik : anemia hemolitik atau leukopenia (kurang dari 400/mm3) atau

limfopenia (kurang dari 1500/mm3),  atau trombositopenia (kurang dari 100.000/mm3)

tanpa ada obat penginduksi gejala tersebut.

10. Kelainan imunologik : anti ds-DNA atau anti-Sm positif atau adanya antibodi

antifosfolipid

11. Antibodi antinukleus : jumlah ANA yang abnormal pada pemeriksaan imunofluoresensi

atau pemeriksaan yang ekuivalen pada setiap saat dan tidak ada obat yang menginduksi

sindroma lupus (Delafuente, 2002).

III.7.5. Data Laboratorium Systemic Lupus Erytematosus

Anti ds-DNA

Batas normal : 70 – 200 IU/mL

Negatif          : < 70 IU/mL

Positif             :  > 200 IU/mL

Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang pada

penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan

kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik yang

lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat

turun dengan pengobatan yang tepat  dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit

terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang

tenang (dorman).

Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua tipe

dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti ds-DNA) dan

yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA kurang sensitif dan

Page 57

Page 58: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-

antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan

konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan

menginduksi sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik

lokal maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).

Tes Laboratorium lain

Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk

monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin,

lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi inflamasi (Erythrocyte

Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP), kadar komplemen (C3 dan C4),

Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase

(Pagana and Pagana, 2002).

III.7.6. Manifestasi Klinis Systemic Lupus Erytematosus

Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah,

malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005). Gejala

muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan mialgia  umumnya timbul mendahului gejala

yang lain. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut,

pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki  (Delafuente, 2002).

Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan banyak menolong

dalam mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash)

berupa eritema yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang

tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari

dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photohypersensitivity). Lesi

cakram terjadi pada 10% – 20% pasien SLE. Gejala lain yang timbul adalah vaskulitis 

eritema periungual, livido retikularis, alopesia, ulserasi, dan fenomena Raynaud.               

Gejala SLE pada jantung  sering ditandai adanya perikarditis,  miokarditis, gangguan

katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk gejala endokarditis Libman-Sachs.

Penyakit jantung pada pasien umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi,

kegemukan, dan hiperlipidemia. Terapi dengan kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal

juga dapat meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE (Delafuente, 2002).

Page 58

Page 59: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang meliputi pleuritis dan

efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas, dan batuk. Gejala pada

paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas yang tinggi. Nyeri abdomen

terjadi pada 25% kasus SLE. Gejala saluran pencernaan (gastrointestinal) lain yang sering

timbul adalah mual, diare, dan dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi  vaskulitis, perforasi

usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).

Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer berupa gangguan

sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara (Albar,2003). Gejala lain yang juga

timbul adalah disfungsi kognitif, psikosis, depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002).

Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada

sebagian besar pasien  saat lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji Coombs-nya positif dapat

mengalami anemia hemolitik. Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi

tidak memerlukan terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering terjadi,

sedangkan trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada  5% pasien dan

harus diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka pendek dapat dicapai

dengan pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung trombosit tidak dapat mencapai kadar

yang memuaskan dalam 2 minggu, harus dipertimbangkan tindakan splenektomi (Delafuente,

2002).

III.7.7. Tinjauan Tentang Pengobatan SLE

Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah

terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas hidup pasien,

memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit, menghindari penyebaran

penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien tentang manifestasi dan efek samping dari

terapi obat yang diberikan. Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu

maka pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik

yang muncul. Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi

(Herfindal et al., 2000).

Terapi nonfarmakologi

Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga diperlukan

keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu berlebihan. Penderita

Page 59

Page 60: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam tembakau diduga juga

merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang

spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada

pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan

produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar

antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan

menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE  sangat disarankan untuk mengurangi

paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah

(Delafuente, 2002).

Terapi farmakologi

Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi

inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya  pasien

menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.

NSAID

NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID

dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor.

Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam

arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk

interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan  COX-1 merupakan enzim

yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin untuk

melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1 terdapat pada

mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus collecting renal (Katzung,

2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah perdarahan saluran cerna, ulser, 

nefrotoksik,  kulit  kemerahan,  dan  alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif

COX-2 yang memiliki efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi

lambung dan perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).

Page 60

Page 61: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap efek

samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada pasien SLE

dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang

digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain

dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan

efikasi tetapi malah meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak

direkomendasikan. Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan

seperti kortikosteroid atau antimalaria  tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et

al., 2000).

NSAID mempunyai efek samping nefrotoksik karena NSAID dapat menghambat

prostaglandin PGE2 dan prostasiklin PGI2 yang merupakan vasodilator kuat yang disintesa di

dalam medulla dan glomerolus ginjal berfungsi mengontrol aliran darah ginjal serta ekskresi

garam dan air. Adanya hambatan dalam sintesis prostaglandin di ginjal menyebabkan retensi

natrium, penurunan aliran darah ginjal dan kegagalan ginjal. NSAID juga dapat

menyebabkan interstitial nefritis dan hiperkalemia (Neal, 2002). Oleh karena itu penggunaan

NSAID sebaiknya dihentikan pada pasien yang diduga lupus nefritis. Selain itu NSAID dapat

merusak mukosa gastrointestinal, kerusakan ini lebih disebabkan oleh hambatan sintesa

prostaglandin oleh NSAID daripada mekanisme lokal secara langsung.  Dengan menghambat

prostaglandin, NSAID merusak barier perlindungan mukus sehingga mukosa terpapar oleh

asam lambung dan menyebabkan ulserasi. (Neal, 2002). Karena efek samping tersebut di atas

maka pemberian NSAID sebaiknya dikombinasi dengan obat gastroprotektif (Rahman,

2001).

Kortikosteroid

Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon terhadap

penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi kortikosteroid.

Beberapa pasien yang mengalami  lupus eritematosus pada kulit baik kronik atau subakut

lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau intralesional. Kortikosteroid

mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang

mengubah fosfolipid menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator – mediator

inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta

menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks

neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya inflamasi.

Page 61

Page 62: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus

sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain

sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh

mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan aktivator

plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk

antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium

yang abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya

menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk

mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang timbul pada

pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil prednisolon dalam bentuk

intravena  (10 – 30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti dengan pemberian 

prednison secara oral selama beberapa minggu.

Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus atau

hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar glukosa darah

selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem imun sehingga dapat

meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian

pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena

kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi

kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh

karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen

kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001).

Siklofosfamid

Digunakan untuk pengobatan penyakit yang  berat dan merupakan obat sitotoksik

bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik,

diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan

kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B

dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga

mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang

meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan

monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count. Yang perlu

diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian, durasi pulse therapy,

kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.

Page 62

Page 63: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah, diare, dan

alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara pemberian obat

antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kegagalan ovarian pada wanita

yang produktif dan penurunan produksi sperma (Herfindal et al., 2000).

Obat lain

Obat-obat lain yang digunakan pada terapi penyakit SLE antara lain adalah azatioprin,

intravena gamma globulin, monoklonal antibodi, terapi hormon, mikofenolat mofetil dan

pemberian antiinfeksi.

Azatioprin

Penggunaan azatioprin pada pengobatan pasien SLE ditujukan apabila pasien

mengalami intoleran siklofosfamid. Dosis yang digunakan pada pasien SLE 2 – 3 mg/kg BB

per hari. Mekanisme kerja azatioprin meliputi menurunkan limfosit sel B dan sel T dalam

sirkulasi, sintesis IgM dan IgG, sekresi IL-2, serta gangguan ribonukleotida adenin dan

guanin melalui supresi sintesis asam inosinat (Clements and Furst, 1994). Pada

penggunaannya dapat dikombinasikan dengan steroid (Rahman, 2001). Apabila penyakitnya

sudah terkontrol maka dilakukan tapering steroid sampai dosis serendah mungkin setelah itu

baru dilakukan tapering azatioprin. Pasien dengan terapi azatioprin harus dimonitor toksisitas

limforetikuler atau hemopoitik setiap 2 minggu pada 3 bulan pertama terapi sambil dilakukan

penyesuaian dosis. Selain itu juga dilakukan monitoring fungsi hati setiap 6 bulan (Herfindal

et al., 2000). Azatioprin diserap baik di saluran cerna dan dimetabolisme menjadi

merkaptopurin. Efek imunosupresan dari azatioprin muncul dalam beberapa hari sampai

beberapa minggu dan masih berlanjut  ketika obat sudah dihentikan. Tidak ada hubungan

antara konsentrasi dalam serum dengan efetivitas atau toksisitasnya. Merkaptopurin dan

sejumlah kecil obat dalam bentuk utuh diekskresikan melalui urin. t1/2 azatioprin 9,6 ± 4,2

menit, sedangkan merkaptopurin 0,9 ± 0,37 jam  (Katzung, B.G., 2006). Azatioprin

mempunyai efek samping pada saluran cerna dan supresi sumsum tulang. Apabila supresi

sumsum tulang sudah muncul maka pengobatan dihentikan atau dosisnya dikurangi. Blood

count harus dimonitor secara rutin. Pada pemakaian kronik dapat meningkatkan resiko

hematopoitik dan kanker limforetikuler. Efek samping lain yaitu infeksi herpes zoster,

kemandulan, hepatotoksik (Herfindal et al., 2000).

Page 63

Page 64: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Metotreksat

Merupakan analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat reduktase, memblok

pembentukan DNA, dan menghambat sintesis purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis 7,5 –

15 mg secara oral satu kali seminggu (Herfindal et al., 2000). Pada pemakaian oral absorpsi

obat bervariasi dan tergantung dosis tetapi rata-rata 30%. Obat ini didistribusikan secara luas

ke dalam jaringan melalui mekanisme transpor aktif dengan konsentrasi terbesar berada

dalam ginjal, limpa, hati,   kulit,  dan  saluran  kemih.  Lebih  dari  90%  dari  dosis  oral 

diekskresikan melalui ginjal dengan mekanisme transpor aktif dan filtrasi glomerolus dalam

waktu 24 jam. t1/2 metotreksat pada terapi dosis rendah (kurang dari 30 mg/m2) adalah 3-10

jam sedangkan pada terapi dosis tinggi 8-15 jam (McEvoy, 2002). Efek samping metotreksat

meliputi defisiensi asam folat, gangguan gastrointestinal dengan stomatitis atau dispepsia,

teratogenik (Brooks, 1995).

Intravena gamma globulin

Intravena gamma globulin digunakan purpura trombositopenia idiopatik, sindroma

Gillae-Barre, miastenia gravis, sindroma Kawasaki, dan penyakit autoimun lain. Mekanisme

kerja gamma globulin sangat kompleks meliputi perubahan ekspresi dan fungsi reseptor Fc,

menganggu aktivasi komplemen dan sitokin, menyediakan antibodi antiidiopatik, dan

mempengaruhi aktivasi, diferensiasi, dan fungsi efektor dari  sel T dan sel B. Komponen-

komponen dalam intravena gamma globulin yaitu molekul IgG yang utuh, IgA, CD4, CD8,

molekul HLA, dan sitokin (Kazatchkine and Kaveri, 2001). Dosis yang digunakan 1-2 g/kg

BB (Katzung, 2006). Intravena gamma globulin mempunyai t1/2 21-29 hari (McEvoy, 2002).

Efek samping intravena imunoglobulin adalah mual, muntah, mialgia, letih, sakit kepala,

urtikaria, hipertensi, dll. (McEvoy, 2002).

Terapi hormon

Dehidroepiandrosteron (DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi pada

saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan.  Hormon ini kembali aktif diproduksi pada

usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan menurun seiring bertambahnya usia.

Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan

respon pada penyakit yang ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan

Page 64

Page 65: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

pertumbuhan rambut (Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai

mekanisme menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2 yang

dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian mekanisme

secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee, 2001).

IV. DIAGNOSIS KERJA : RHEMATOID ARTRITIS

Criteria Diagnosis Artritis Reumatoid

Kriteria diagnostic AR disusun untuk pertama kalinya oleh suatu komite khusus dari

American Rheumatism Association (ARA) pada tahun 1956. Karena criteria tersebut

dianggap tidak spesifik dan terlalu rumit untuk digunakan dalam klinik, komite tersebut

melakukan peninjauan kembali terhadap criteria klasifikasi AR pada tahun 1958.19

Dengan criteria tahun 1958 ini seseorang dikatakan menderita AR klasik jika memenuhi 7

dari 11 kriteria yang ditetapkan, definit jika memenuhi 5 kriteria, probable jika memenuhi 3

kriteria dan possible jika hanya 2 kriteria. Walaupun criteria tahun 1958 ini telah digunakan

selama hampir 30 tahun, akan tetapi dengan terjadinya perkembangan pengetahuan yang

pesat mengenai AR, ternyata diketahui bahwa dengan menggunakan criteria tersebut banyak

dijumpai kesalahan diagnosis atau dapat memasukkan artritis lain seperti

spondyloarthropathy seronegatif, penyakit pseudorheu-matoid akibat deposit calcium

pyrophosphate dehydrate, lupus eritematosus sistemik, polymyalgia rheumatic, penyakit

lyme dan berbagai jenis artritis lainnya sebagai AR.

Pembagian AR sebagai classic, definite, probable, dan possible, secara klinis juga

dianggap tidak relevan lagi. Hal ini disebabkan karena dalam praktek sehari – hari tidak perlu

dibedakan penatalaksanaan AR yang classic dari AR definite.19 Selain itu seringkali pasien

yang terdiagnosis sebagai penderita AR probable ternyata menderita penyakit artritis yang

lain.

Walaupun peranan factor rheumatoid dalam pathogenesis AR belum dapat diketahui

dengan jelas, dahulu dianggap penting untuk memisahkan kelompok pasien seropositif dari

seronegatif. Akan tetapi pada faktanya, factor rheumatoid seringkali tidak dapat dijumpai

pada stadium dini penyakit atau pembentukannya dapat ditekan oleh disease modifying anti-

rheumatic drugs (DMARD). Selain itu spesifitas factor rheumatoid ternyata tidak dapat

diandalkan karena dapat pula dijumpai pada beberapa penyakit lain. Dua criteria tahun 1958

Page 65

Page 66: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

yang lain seperti analisis bekuan musin dan biopsy membrane synovial memerlukan prosedur

invasive tidak praktis untuk digunakan dalam diagnosis rutin.

No Kriteria Definisi

1 Kaku pagi hari Kekakuan pada pagi hari pada persendian & sekitarnya,

sekurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal

2 Artritis pada 3 daerah

persendian lebih

Pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih

efusi (bukan pertumbuhan tulang) pada sekurang-

kurangnya 3 sendi secara bersamaan yang diobservasi oleh

seorang dokter

3 Artritis pada persendian

tangan

Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian

tangan seperti yang tertera di atas

4 Artritis simetris Keterlibatan sendi yang sma (seperti yang tertera pada

kriteria 2 pada kedua belah sisi (keterlibatan PIP, MCP

atau MTP bilateral dapat diterima walaupun tidak mutlak

bersifat simetris)

5 Nodul reumatoid Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan

ekstensor atau daerah juksta artikuler yang diobservasi oleh

seorang dokter

6 Faktor reumatoid serum

positif

Terdapat titer abnormal faktor reumatoid serum yang

diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif

kurang dari 5% kelompok kontrol yang diperiksa

7 Perubahan gambaran

radiologis

Perubahan gambaran radiologis yang radilogis khas bagi

artritis reumatoid pada pemeriksaan sinar-x tangan

posterior atau pergelangan tangan yang harus menunjukkan

adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokasi pada

sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi

(perubahan akibat osteoartritis saja tidak memenuhi

persyaratan)

Page 66

Page 67: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Dengan menggabungkan variable yang paling sensitive dan spesifik pada 262 pasien AR

dan 262 pasien control, pada 1987 ARA berhasil dilakukan revisi susunan criteria klasifikasi

rheumatoid artritis dalam format tradisional yang baru. Susunan criteria tersebut adalah

sebagai berikut :19

Kaku pagi

Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih

Artritis pada persendian tangan

Artritis simetris

Nodul rheumatoid

Factor reumatois serum positif

Perubahan gambaran radiologis

Pasien dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang – kurangnya criteria 1 sampai 4

yang diderita sekurang – kurangnya 6 minggu.

V. ETIOLOGI RHEMATOID ARTRITIS

Walaupun factor penyebab maupun patogenenesis AR yang sebenarnya hingga kini tetap

belum diketahui dengan pasti, factor genetic seperti produk kompleks histokompatibilitas

kelas II (HLA-DR) dan beberapa factor lingkungan telah lama diduga berperanan dalam

timbulnya penyakit ini.

I. Kompleks Histokompatibilitas Utama kelas II

Telah lama diketahui bahwa AR lebih sering dijumpai pada kembar monozygotic

dibanding dari kembar dizygotic. Akan tetapi bukti terkuat yang menunjukkan bahwa AR

memiliki presdiposisi genetic diketahui dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks

histokompatibilitas utama kelas II (MHC Class II Determinants), khususnya HLA-DR4

dengan AR seropositif. Data dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien yang

mengemban HLA-DR4 memiliki resiko relative 4:1 untuk menderita penyakit ini.

Molekul antigen MHC Class II dapat dideteksi secara serologis, baik dengan cara

mencampurkan limfosit pasien dengan antiodi humoral terhadap HLA tertentu atau dengan

melakukan mixed lymphocyte culture (MLC). Dengan cara MLC saat ini sekurang –

kurangnya telah diketahui terdapat 5 subtype dari HLA-DR4 yaitu Dw4,Dw10, Dw13, Dw14

dan Dw15. Perbedaan subtype HLA-DR4 ini ditentukan oleh susunan rantai polipeptida pada

variable domain β1. Kerentanan populasi manusia terhadap AR ternyata berbeda pada

Page 67

Page 68: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

berbagai ras. Pada orang kulit putih kerentanan terhadap AR diketahui berhubungan dengan

subtype Dw4 dan orang Jepang berhubungan dengan Dw15. Berbeda dengan pola yang

lazim, selain berhubungan dengan Dw10, kerentanan bangsa Yahudi terhadap AR ternyata

tidak berhubungan dengan HLA-DR4 akan tetapi HLA-DR1. Hal ini dapat diterangkan

karena HLA-DR1 ternyata memiliki susunan rantai polipeptida variebel domain β1 yang

identik dengan subtype Dw14.

II. Hubungan Hormon Seks dengan Artrititis Reumatoid

Berbagai observasi telah menimbulkan dugaan bahwa hormone sex merupakan salah satu

factor predisposisi penyakit ini. Sebagai contoh, pravalensi AR diketahui 3 kali lebih banyak

diderita kaum wanita dibandingkan dari kaum wanita dibandingkan kaum pria. Rasio ini

dapat mencapai 5:1 pada wanita dalam usia subur. Demikian pula remisi seringkali dijumpai

pada pasien AR yang sedang hamil. Akan tetapi, walaupun masih banyak kontroversi dalam

hal ini, beberapa observasi telah menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi oral atau

penggunaan preparat estrogen eksternal bagi wanita yang telah mengalami menopause

menimbulkan kesan terjadinya penurunan insidens penyakit ini. Walaupun demikian, dari

meta-analisis yang dilakukan oleh Romieu dan kawan – kawan telah dapat disimpulkan

bahwa walaupun penggunaan kontraseptif oral mengesankan adanya suatu efek protektif

terhadap terjadinya AR, secara statistic hal ini tidak bermakna.

III. Factor Infeksi Sebagai Penyebab Artritis Reumatoid

Sejak tahun 1930, factor infeksi telah diduga merupakan penyebab AR. Pada saat itu

Nanna Svartz seorang ahli dari Swedia telah menciptakan sulfasalazine (salicyl-azo-

sulfapyridine) yang terdiri dari gabungan dua konstituen kimia yaitu sulphapyridine yang

bersifat antimikroba dan asam 5-aminosalisilat yang memiliki khasiat seperti obat anti-

inflamasi non-steroid. Dugaan factor infeksi sebagai penyebab AR juga timbul karena

umumnya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh

gambaran inflamasi yang mencolok. Dengan demikian timbul dugaan kuat bahwa penyakit

ini sangat mungkin disebabkan oleh tercetusnya suatu proses autoimun oleh suatu antigen

tunggal atau beberapa antigen tertentu saja. Agen infeksius yang diduga penyebab AR antara

lain adalah bakteri, mycoplasma, dan virus. Walaupun hingga saat ini belum berhasil

dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan synovial, hal ini tidak menyingkirkan

kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau endotoksin

mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya AR.

Page 68

Page 69: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Pada percobaan binatang telah dibuktikan bahwa Mycoplasma arthritidis dapat

menimbulkan gejala artritits pada kelinci dan virus HTLV-1 dapat menimbulkan artropati

inflamatif pada tikus. Pada manusia, gejala artritis dapat pula dijumpai pada pasien hepatitis

B atau demam reumatik.

Akhir – akhir ini, virus Epstein-Barr (EBV) telah banyak menarik perhatian para ahli.

Pada pasien yang mengalami infeksi EBV, seringkali dijumpai gejala atralgia, walaupun

jarang dijumpai gejala artritis yang jelas. Akan tetapi, karena pada beberapa penelitian

dijumpai titer antibody terhadap EBV yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dari

kelompok control dan secara in vitro dan telah terbukti bahwa transformasi limfosit terjadi

lebih cepat setelah dilakukan pemaparan terhadap EBV, timbul dugaan kuat bahwa EBV

merupakan salah satu factor penyebab AR. Dari fakta ini dapat disimpulkan bahwa walaupun

EBV bukan merupakan penyebab langsung darri timbulnya AR, kemungkinan bahwa EBV

menyebabkan terjadinya perubahan respons imun terhadap antigen eksogen atau endogen lain

belum dapat disingkirkan.

Infeksi virus rubella dapat pula menimbulkan berbagai manifestasi artikular, yang

walaupun jarang dapat pula menimbulkan berbagai gejala poliartritis simetris kronik.

Walaupun demikian hingga kini belum terbukti bahwa virus rubella merupakan salah satu

factor penyebab timbulnya AR.

VI. EPIDEMIOLOGI RHEMATOID ARTRITIS

Artritis Reumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal dan tersebar luas di

seluruh dunia serta melibatkan semua ras dan kelompok etnik.

Prevalensi Artritis Reumatoid adalah sekitar 1 persen populasi (berkisar antara 0,3 sampai

2,1 persen).Artritis Reumatoid lebih sering dijumpai pada wanita, dengan perbandingan

wanita dan pria sebesar 3:1.Perbandingan ini mencapai 5:1 pada wanita dalam usia subur.

Artritis Reumatoid menyerang 2,1 juta orang Amerika, yang kebanyakan wanita.

Serangan pada umumnya terjadi di usia pertengahan, nampak lebih sering pada orang lanjut

usia. 1,5 juta wanita mempunyai artritis reumatoid yang dibandingkan dengan 600.000 pria.

VII. MANIFESTASI KLINIS RHEMATOID ARTRITIS

Walaupun gejala AR dapat timbul berupa serangan akut yang berkembang cepat dalam

beberapa hari, pada umumnyagejala penyakit ini berkembang secara perlahan dalam masa

Page 69

Page 70: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

beberapa minggu. Dalam keadaan dini, AR dapat bermanifestasi sebagai palindromic

rheumatism, yaitu timbulnya gejala monoartritis yang hilang timbul yang berlangsung antara

3-5 hari dan diselingi dengan masa remisi sempurna sebelumbermanifestasi sebagai

pauciartcular rheumatism, yaitu gejala poliartritis yang melibatkan 4 persendian atau kurang.

Kedua gambaran klinis seperti ini seringkali menyebabkan kesukaran dalam menegakkan

diagnosis AR dalam masa dini.

Manifestasi Artikular

Manifestasi artikular AR dapat dibagi menjadi 2 kategori : gejala inflamasi akibat

aktivitas sinovitis yang bersifat reversible. Gejala akibat kerusakan struktur persendian yang

bersifat ireversibel.20 Adalah sangat penting untuk membedakan kedua hal ini karena

penatalaksanaan klinis kedua kelainan tersebut sangat berbeda. Sinovitis merupakan kelainan

yang umumnya bersifat reversible dan dapat diatasi dengan pengobatan medikamentosa atau

pengobatan non-surgikal lainnya. Pada pihak lain kerusakan struktur persendian akibat

kerusakan rawan sendi atau erosi tulang periartikular merupakan proses yang tidak dapat

diperbaiki lagi dan memerlukan modifikasi mekanik atau pembedahan rekonstruktif.

Gejala klinis yang berhubungan dengan aktivitas sinovitis adalah kaku pada pagi hari.

Kekakuan pada pagi hari merupakan gejala yang selalu dijumpai pada AR aktif. Berbeda

dengan rasa kaku yang dapat dialami oleh pasien osteoartrosis atau kadang – kadang oleh

orang normal, kaku pagi hari pada AR berlangsung lama, yang pada umumnya lebih dari 1

jam. Lamanya kaku pagi hari pada AR agaknya berhubungan dengan lamanya imobilisasi

pada saat pasien sedang tidur serta beratnya inflamasi. Gejala kaku pagi hari akan

menghilang jika remisi dapat tercapai. Factor lain penyebab kaku pagi hari adalah inflamasi

akibat sinovitis. Inflamasi akan menyebabkan terjadinya imobilisasi persendian yang jika

berlangsung lama akan mengurangi pergerakan sendi baik secara aktif maupun secara pasif.

Otot dan tendon yang berdekatan dengan persendian yang mengalami peradangan cenderung

untuk mengalami spasme dan pemendekan. Fenomena ini terutama jelas terlihat pada otot

intriksik tangan yang berjalan sepanjang persendian metacarpophjalangeal, (MCP) dan otot

peroneus anterior yang berjalan sepanjang persendian talonavikularis pada arkus pedis.

Deformitas persendian pada AR dapat terjadi akibat beberapa mekanisme yang berhubungan

dengan terjadinya sinovitis dan pembentukan pannus. Sinovitis akan menyebabkan kerusakan

rawan sendi dan erosi tulang periartikular sehingga menyebabkan terbentuknnya permukaan

sendi yang tidak rata. Jika kerusakan rawan sendi terjadi pada daerah yang luas dan

Page 70

Page 71: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

imobilisasi berlangsung lama, akan terjadi fusi tulang – tulang yang membentuk persendian.

Lebih jauh pannus yang menginvasi jaringan kolagen serta proteoglikan rawan sendi dan

tulang dapat menghancurkan struktur persendian sehingga terjadi ankilosis. Ligament yang

dalam keadaan normal berfungsi untuk mempertahankan kedudukan persendian yang stabil

dapat pula menjadi lemah akibat sinovitis yang menetap atau pembentukan pannus yang

memilki kemampuan melarutkan kolagen tendon, ligament, atau rawan sendi. Gangguan

stabilitas persendian dapat jelas terlihat pada subluksasio persendian MCP akibat terjadinya

perubahan arah gaya tarik tendon sepanjang aksis rotasi sehingga menyebabkan terbentuknya

deviasi ulnar yang khas pada AR. Walaupun peran sinovitis dalam menyebabkan deformitas

persendian berlaku bagi semua persendian, terdapat beberapa aspek khusus yang

berhubungan dengan sendi tertentu.

Vertebra Servikalis

Walaupun AR jarang melibatkan segmen vertebralis lainnya, vertebra servikalis

merupakan segmen yang seringkali terlibat pada AR. Proses inflamasi ini melibatkan

persendian diartrodial yang tidak tampak atau teraba oleh pemeriksaan. Gejala dini AR pada

vertebra servikalis umumnya bermanifestasi sebagai kekakuan pada seluruh segmen leher

disertai dengan berkurangnya ruang lingkup gerak sendi secara menyeluruh. Tenosinovitis

ligament transvesum C1 yang mempertahankan kedudukan prosesus odontoid yang

menyebabkan pengenduran dan rupture ligament sehingga menimbulkan penekanan pada

medulla spinalis. Gangguan stabilitas sendi akibat peradangan dan kerusakan pada

permukaan sendi apofiseal dan pengenduran ligament juga dapat menyebabkan terjadinya

subluksasio yang sering terjadi pada C4-C5atau C5-C6.

Gelang Bahu

Peradangan pada gelang bahu akan mengurangi lingkup gerak sendi gelang bahu. Karena

dalam aktivitas sehari – hari gerakan bahu tidak memerlukan lingkup gerak yang luas,

umumnya pada keadaan dini pasien tidak merasa terganggu dengan keterbatasan tersebut.

Walaupun demikian, tanpa latihan pencegahan akan mudah terjadi kekakuan gelang bahu

yang berat yang disebut frozen shoulder syndrome

Siku

Karena terletak superficial, sinovitis artikulasio kubiti dapat dengan mudah teraba oleh

pemeriksa. Sinovitis dapat menimbulkan penekanan pada nervus ulnaris sehingga

menimbulkan gejala neuropati tekanan. Gejala ini bermanifestasi sebagai parestesia jari 4 dan

5 akan kelemahan otot fleksor jari 5.

Page 71

Page 72: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Tangan

Berlainan dengan persendian distal interphalangeal (DIP) yang relative jarang ditemui,

keterlibatan persendian pergelangan tangan , MCP dan PIP hampir selalu dijumpai pada AR.

Gambaran swan neck deformities akibat fleksi kontraktur MCP, hperekstensi PIP dan fleksi

DIP serta boutonniere akibat kontraktur otot serta tendon fleksor dan introseus merupakan

deformitas patognomonik yang banyak dijumpai pada AR.

Selain gejala yang behubungan dengan sinovitis, pada AR juga dapat dijumpai nyeri atau

disfungsi persendian akibat penekanan nervus medianus yang terperangkap dalam rongga

karpalis yang mengalami sinovitis sehingga menyebabkan gejala carpal tunnel syndrome.

Walaupun jarang, nervus ulnaris yang berjalan dalam canal Guyon dapat pula mengalami

penekanan dengan mekanisme yang sama. AR dapat pula menyebabkan terjadinya

tenosinovitis akibat pembentukan nodul rheumatoid sepanjang sarung tendon yang dapat

menghambat gerakan tendon dalam sarungnya. Tenosinovitis pada AR dapat menyebabkan

terjadinya erosi tendon dan mengakibatkan terjadinya rupture tendon yang terlibat.

Panggul

Karena sendi panggul terletak jauh di dalam pelvis, kelainan sendi panggul akibat AR

sulit dideteksi dalam keadaan dini. Pada keadaan dini keterlibatan sendi panggul mungkin

hanya dapat terlihat sebagai keterbatasan gerak yang tidak jelas atau atau gangguan ringan

pada kegiatan tertentu seperti saat mengenakan sepatu. Walaupun demikian, jika destruksi

rawan sendi telah terjadi, gejala gangguan sendi panggul akan berkembang lebih cepat

dibandingkan gangguan pada persendian lainnya.

Lutut

Penebalan synovial dan efusi lutut umumnya mudah dideteksi pada permukaan. Herniasi

kapsul sendi kea rah posterior dapat menyebabkan terbentuknya kista Baker.

Kaki dan Pergelangan Kaki

Keterlibatan persendian MTP, talonavikularis dan pergelangan kaki merupakan

gambaran yang khas AR. Karena persendian kaki dan pergelangan kaki merupakan struktur

yang menyangga berat badan, keterlibatan ini akan menimbulkan disfungsi dan rasa nyeri

yang lebih berat dibandingkanketerlibatan ekstremitas atas. Peradangan pada sendi

talonavikularis akan menyebabkan spasme otot yang berdekatan sehingga menimbulkan

deformitas berupa pronasio dan eversio kaki yang khas pada AR. Walaupun jarang, nervus

tibilais posterior dapat pula mengalami penekanan akibat sinovitis pada rongga tarsal (tarsal

tunnel) yang dapat menimbulkan gejala parestesia pada telapak kaki.

Page 72

Page 73: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Manifestasi Ekstraartikular

Kulit

Walaupun jarang dijumpai di Indonesia, di Negara barat nodul rheumatoid merupakan

gejala AR yang patognomonik. Nodul rheumatoid umumnya timbul pada fase aktif dan

terbentuk di bawah kulit terutama pada lokasi yang banyak menerima tekanan, seperti

olekranon, permukaan eksternsor lengan dan tendon Achilles.

Vaskulitis seringkali bermanifestasi sebagai lesi purpura atau ekimosis pada kulit dan

nekrosis kkuku. Jika vaskulitis menyebabkan iskemia pada daerah yang cukup luas, kelainan

ini dapat menyebabkan terbentuknya gangrene atau ulkus terutama pada ekstremitas bawah.

Mata

Kelainan mata yang sering dijumpai pada AR adalah kerato konjungtivis sicca yang

merupakan manifestasi sindrom sjogren. Pada keadaan dini gejala ini seringkali tidak

dirasakan oleh pasien. Untuk itu pada pasien AR kemungkinan terdapatnya kelainan mata

harus selalu dicari secara aktif agar kerusakan mata yang berat dapat dicegah. Pada AR

umumnya dapat dijumpai beberapa episode episkleritis yang umumnya sangat ringan dan

akan sembuh secara spontan. Walaupun demikian, dapat pula terjadi gejala skleritis yang

secara histologist menyerupai nodul rheumatoid dan dapat menyebabkan erosi sclera sampai

pada lapisan koroid serta menimbulkan gejala skleromalasia perforans yang dapat

menyebabkan gejala.

Sisitem Respiratorik

Peradangan pada sendi krkoaritenoid tidak jarang dijumpai pada paien AR. Gejala

keterlibatan saluran nafas atas ini dapar berupa nyeri tenggorokan, nyeri menelan atau

disfonia yang umumnya terasa lebih berat pada pagi hari.

Walaupun jarang menunjukkan gejala klinis yang berat, paru merupakan organ yang

sering terlibat dalam AR. Umumnya keterlibatan paru yang ringan hanya dapat diketahui dari

hasil autopsy berupa pneumonitis interstisia. Akan tetapi pada AR yang lanjut dapat pula

ditemukan efusi pleura dan fibrosis paru yang luas.

System Kardiovaskular

Page 73

Page 74: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Seperti halnya pada system respiratorik, pada AR jarang dijumpai gejala perikarditis

berupa nyeri dada dan gangguan faal jantung. Namun demikian pada beberapa pasien dapat

pula dijumpai perikarditis konstruktif yang berat. Lesi inflamatif yang menyerupai nodul

dapat menyebabkan disfungsi katup, fenomen embolissi, gangguan konduksi, aortitis, dan

kariomiopati.

System Gastrointestinal

Umumnya pada AR tidak pernah dijumpai kelainan traktus gastrointestinal yang spesifik

selain daripada xorostomia yang berhubungan dengan sindrom sjorgen atau komplikasi

gastrointestinal akibat vaskulitis. Kelaina gastrointestinalis yang sering dijumpai pada AR

adalah gastritis dan ulkus peptic yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti

inflamasi non-steroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit disease modifying

anti rheumatoid drugs (DMARD) yang merupakan factor penyebab morbiditas dan mortalitas

utama pada AR.

Ginjal

Berbeda dengan lupus eritematosus sistemik, pada AR jarang sekali d ijumpai kelainan

glomerular, jika pada pasien AR dijumpai proteinuria, umumnya kejadian tersebut lebih

disebabkan karena efek samping pengobatan seperti garam emas dan d- penisilamin atau

terjadi sekunder akibat amiloidosis. Walau[un kelainan ginjal interstisisal dapat dijumpai

pada sindrom sjorgen, umumnya kelainan tersebut lebih banyak berhubungan dengan

penggunaan OAINS. Penggunaan OAINS yang tidak terkontrol dapat sampai menimbulkan

nekrisis papilar ginjal.

System Syaraf

Komplikasi neurologis yang sering dijumpai pada AR umumnya tidak memberikan

gambaran yang jelas sehingga sukar untuk membedakan komplikasi neurologis akibat lesi

artikuler dari lesi neuropatik. Pathogenesis komplikasi neurologis pada AR umumnya

berhubungan dengan mielopati akibat instabilitas vertebra, servikal, neuropati jepitan atau

neuropati iskemik akibat vaskulitis.

System Hematologis

Page 74

Page 75: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Anemia akibat penyakit kronik yang ditandai dengan gambaran eritrosit normositik-

normokromik (hipokromik ringan) yang disertai dengan kadar besi serum yang rendah serta

kapasitas pengikatan besi yang normal atau rendah merupakan gambaran umum yangs sering

dijumpai pada AR. Anemia akibat penyakit kronik ini harus dibedakan dari anemia defisiensi

besi yang dapat juga dijumpai pada AR akibat pengguanaan OAINS dan DMARD yang

menyebabkan erosi mukosa lambung.

Pada pasien AR yang berat dengan HLA-DR, positif sering dijumpai sindrom felty

yang merupakan gabungan dari gejala AR, splenomegali, leucopenia dan ulkus pada tungkai.

Sindrom felty umumnya juga sering disertai dengan limfadenopati dan trombositopenia.

Selain sindrom Felty, trombositopenia juga dapat timbul sebagai komplikasi akibat

penekanan sumsum tulang pada penggunaan obat imunosupresif atau berhubungan dengan

proses autoimun pada penggunaan garam emas, d- penisilamin atau sulfasalazin.

VIII. PATOFISIOLOGI RHEMATOID ARTRITIS

Pathogenesis AR dimulai dengan terdapatnya suatu antigen yang berada pada membrane

synovial. Pada membrane synovial tersebut, antigen tersebut akan diproses oleh antigen

presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel synoviocyte A, sel

denritik atau makrofag dan semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membrane

selnya. Antigen yang telah diproses oleh APC selanjutnya dilekatkan pada CD4+ suatu subset

sel T sehingga terjadi aktivasi sel tersebut. Untuk memungkinkan terjadinya aktivasi CD4+,

sel tersebut harus mengenali antigen dan determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan

membrane APC.20 Proses aktivasi CD4+ ini juga dibantu oleh interleukin-1 (IL-1) yang

disekresi oleh monosit atau makrofag. Pada tahap selanjutnya, antigen, determinan HLA-DR

yang terdapat pada permukaan membrane APC dan CD4+ akan membentuk suatu kompleks

antigen trimolekuler. Kompleks antigen trimolekuler tersebut akan mengekspresi reseptor

interleukin-2 (IL-2) pada permukaan CD4+. IL-2 yang disekresi oleh CD4+ akan

mengikatkan diri pada reseptornya dan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel

tersebut. Proliferasi CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam

lingkungan tersebut.

Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti

Ä-interferon, tumor necrosis factor β (TNF-β), IL-3, IL-4 (B-cell differentiating factor),

granulocyte/macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain

yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan

Page 75

Page 76: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

merangsang terjadinya proliferasi serta aktivasi sel B untuk memproduksi antibody. Produksi

antibody oleh sel B ini juga dibantu oleh IL-1, IL-2, dan IL-4 yang disekresi oleh sel CD4+

yang telah teraktivasi. Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibody yang

dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang

sendi. Pengendapan kompleks imun pada membrane synovial akan menyebabkan aktivasi

system komplemen dan membebaskan komplemen C5a. Komplemen C5a merupakan factor

kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vascular juga menarik lebih banyak sel

PMN yang memfagositir komplek imun tersebut sehingga mengakibatkan degranulasi mast

cells dan pembebasan radikal oksigen, leukotriene, enzim lisosomal, prostaglandin,

collagenase dan stromelysin yang semuanya bertanggung jawab atas tejadinya infamasi dan

kerusakan jaringan seperti erosi rawan sendi dan tulang.

Radikal oksigen dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hyaluronate sehingga

mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi serta juga merusak jaringan

kolagen dan proteoglikan rawan sendi. Walaupun leukotrien LTB4 diketahui menyebabkan

terjadinya migrasi dan agregasi neutorfil yang kuat, akn tetapi peranan LTB4 pada

pathogenesis AR belum dapat dijelaskan dengan pasti. Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki efek

vasodilator yang kuat dan dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan

bantuan IL-1 dan TNF-β. Akan tetapi karena PGE2 juga menghambat sekresi IL-2 dan Ä-

interferon, PGE2 juga memiliki efek anti inflamasi.

Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan masuknya sel T ke dalam membrane

synovial dan akan merangsang terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling

bersifat destruktif pada pathogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri

dari makrofag yang teraktivasi, sel fibroblast yang berproliferasi dan jaringan mikrovaskular.

Pannus dapat menginvasi jaringan kolagen dan proteoglikan rawan sendi serta tulang

sehingga dapat menghancurkan struktur persendian. Jika proses pembentukan pannus tidak

terhenti baik karena pengobatan atau terjadinya remisi spontan, proses ini akan menyebabkan

terjadinya ankilosis. Pembentukan pannus juga mengakibatkan terjadinya peningkatan

ekspresi intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang merupakan tempat perlekatan sel

mononucleus pada sel endotel mikrovaskular. Ekspresi ICAM-1 pada sel endotel kapiler

synovial mengakibatkan terjadinya peningkatan adhesi sel mononucleus pada endothel

kapiler. Walaupun pada AR terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan peningkatan adhesi

sel mononuclear, tidak semua subset sel T mengalami migrasi dari kapiler synovial. Hanya

Page 76

Page 77: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

fenotip sel T tertentu saja yang keluar dari kapiler synovial yaitu subset CD4+, CD45RO, dan

CD29 bright.

Peristiwa di atas menunjukkan bahwa pengenalan antigen AR terjadi setelah sel T

tersebut meninggalkan thymus. Terdpatnya reseptor MHC Class II seperi HLA-DR,DQ, DP

pada permukaan sel T bersama dengan adanya very late antigen type I (VLA-1) menunjukkan

bahwa aktivitas dan proliferasi sel T terjadi secara local. Dari penemuan ini dapat

disimpulkan bahwa aktivitas sel T mungkin dicetuskan oleh suatu antigen yang tidak

diketahui, APC atau kompleks peptide trimolekuler dalam ruang sendi yang mengakibatkan

terjadinya sinovitis pada AR.

Rantai Peristiwa imunologi ini umumnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat

dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau komponennya

umumnya akan menetap pada struktur persendian sehingga proses destruksi sendi akan

berlangsung terus. Berlangsung terusnya destruksi persendian pada AR kemungkinan juga

disebabkan karena terbentuknya factor rheumatoid. Factor rheumatoid adalah suatu

autoantibody terhadap epitope fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70% sampai 90% pasien

AR. Bagaimana suatu immunoglobulin dapat berubah sifatnya menjadi antigen, hal ini belum

dapat diterangkan dengan jelas. Factor rheumatoid juga dapat berikatan dengan komplemen

atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berlanjut terus.

Terbentuknya autoantibody terhadap collagen type II baik yang bersifat native ataupun yang

telah mengalami denaturasi dapat pula mengekalkan terjadinya peradangan dengan

mekanisme yang sama.

IX. PENATALAKSANAAN RHEMATOID ARTRITIS

Konsep Pengobatan RA

Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara pencegahan dan pengobatan

AR yang sempurna, saat ini pengobatan pada pasien AR ditujukan untuk :

Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik local maupun sistemik.

Mencegah terjadinya destruktif jaringan.

Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar tetap dalam

keadaan baik.

Mengembalkan kelainan fungsi organ dan persendian yang terlibat agar sedapat mungkin

normal kembali.

Page 77

Page 78: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Dalam pengobatan AR umumnya selalu dibutuhkan pendekatan multidisipliner. Suatu tim

yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi,ahli okupasional, pekerja social,

ahli farmasi, ahli gizi dan ahli psikologi, semuanya memiliki peranan masing – masing

dalam pengelolaan pasien AR baik dalam bidang edukasi maupun penatalaksanaan

pengobatan penyakit ini. Pertemuan berkala yang teratur antara pasien dan keluarganya

dengan tim pengobatan ini umumnya akan memungkinkan penatalaksanaan paien

menjadi lebih baik dan juga akan meningkatkan kepatuhan pasie untuk berobat.

Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah

segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara pasien dan keluarganya

dengan dokter atau tim pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini

agaknya sukar untuk dapat memelihara ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam suatu

jangka waktu yang cukup lama.

Peranan Pendidikan Dalam Pengobatan RA

Penerangan tentang kemungkinan factor etiologi, pathogenesis, riwayat alamiah penyakit

da penatalaksanaan AR kepada pasien merupakan hal yang amat penting untuk dilakukan.

Dengan penerangan yang baik mengenai penyakitnya, psien AR diharapkan dapat melakukan

control atas perubahan emosional, motivasi dan kognitif yang terganggu akibat penyakit ini.

Saat ini terdapat telah banyak publikasi tentang manfaat pendidikan dini pada pasien AR.

Salah satu yang banyak dilaksanakan di Amerika Serikat dan Kanada adalah The Arthritis

Self Management Program, yang diperkenalkan oleh Lorig dan kawan – kawan dari Stanford

University. Peningkatan pengetahuan pasien tentang penyakitnya telah terbukti akan

meningkatkan motivasinya untuk melakukan latihan yang dianjurkan, sehingga dapat

mengurangi rasa nyeri yang dialaminya.

Pengobatan RA

Berbeda dengan trend pada decade yang lalu, saat ini banyak diantara para ahli penyakit

reumatik yang telah meninggalkan cara pengobatan tradisional yang menggunakan piramida

terapeutik. Beberapa ahli bahkan menganjurkan untuk menggunakan pendekatan step down

bridge dengan menggunakan kombinasi beberapa jenis DMARD yang dimulai pada saat

yang dini untuk kemudian dihentikan secara bertahap pada saat aktivitas AR telah dapat

terkontrol. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa penatalaksanaan yang tepat hanya dapat

dicapai bila pengobatan dapat diberikan pada masa dini penyakit.

I. Penatalaksanaan OAINS Dalam Pengobatan AR

Page 78

Page 79: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS) umumnya diberikan pada pasien AR sejak

masa dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang

sering dialami walaupun belum terjadi proliferasi synovial yang bermakna. Selain dpat

mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek analgesic yang sangat baik.

OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim siklo-oxygenase sehingga menekan

sintesis prostaglandin. Masih belum jelas apakah hambatan enzim lipooxygenase juga

berperan dalam hal ini, akan tetapi jelas bahwa OAINS bekerja dengan cara :

Memungkinkan stabilisasi membrane lisosomal.

Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamine, serotonin, enzim

lisosomal dan enzim lainnya).

Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan.

Menghambat proliferasi seluler.

Menetralisasi radikal oksigen.

Menekan rasa nyeri.

Efek Samping OAINS pada Pengobatan Pasien AR

Semua OAINS secara potensial umumnya bersifat toksik. Toksisitas OAINS yang umum

dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinalis, terutama jika OAINS

digunakan bersama obat – obatan lain, alcohol, kebiasaan merokok atau dalam keadaan

stress. Usia juga merupakan suatu factor resiko untuk mendapatkan efek samping

gastrointestinal akibat OAINS. Pada pasien yang sensitive dapat digunakan preparat OAINS

yang berupa suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release atau non-acidic. Akhir –

akhir ini telah banyak digunakan OAINS yang selektif terhadap jalur COX-2 metabolisme

asam arakidonat. OAINS yang selektif terhadap jalur COX-2 umumnya kurang berpengaruh

buruk pada mukosa lambung dibandingkan dengan preparat OAINS biasa.

Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan OAINS antara lain adalah reaksi

hipersensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal serta penekanan system hematopoietic.

II. Penggunaan DMARD pada Pasien AR

Berbagai cara pendekatan pengobatan dengan menggunakan DMARD yang dahulu

banyak diterima, saat ini telah banyak berubah. Sebagai contoh ; penggunaan levamizole

sebagai DMARD telah lama ditinggalkan karena khasiat dan efektivitas obat tersebut

dianggap tidak memuaskan untuk mencapai dan mempertahankan remisi.demikian pula

Page 79

Page 80: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

dengan D- Penicillamine (DP) yang banyak digunakan sejak decade tujuhpuluhan, saat ini

sudah kurang disukai lagi untuk digunakan sebagai DMARD karena obat ini bekerja sangat

lambat. Umumnya diperlukan waktu pengobatan kurang lebih satu tahun untuk dapat

mencapai keadaan remisi yang adekuat dengan DP, dan rentang waktu ini dianggap terlalu

lama bagi sebagian besar pasien AR. Garam emas yang dahulu dianggap sebagai gold

standard dalam pengobatan AR saat ini mulai banyak ditinggalkan karena seringkalo

menimbulkan efek samping yang berat.

Pada dasarnya saat ini terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD pada

pengobatan pasien AR. Cara pertama adalah pemberian DMARD tunggal yang dimulai dari

saat yang sangat dini. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi pada

AR terjadi pada masa dini penyakit. Brook dan Corbett, pada penelitiannya menemukan

bahwa 90% pasien AR telah menunjukkan gambaran erosi secara radiologis pasa dua puluh

tahun pertama setelah menderita penyakit . hasil pengobatan jangka panjang yang buruk pada

sebagian besar penelitian sangat mungkin disebabkan karena pengobatan baru dimulai setelah

masa kritis dilampaui.

Cara pendekatan lain adalah dengan menggunakan dua atau lebih DMARD secara

simultan atau secara siklik seperti penggunaan obat – obatan imunosupresif pada pengobatan

penyakit keganasan. Kecenderungan untuk menggunakan kombinasi DMARD dalam

pengobatan AR ini timbul sejak decade yang silam karena banyak diantara para ahli

reumatologi beranggapan bahwa terapi DMARD secara sekuensial, pada waktu jangka

panjang tidak berhasil mencegah terjadinya kerusakan sendi yang progresif.

DMARD digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi

akibat artritis reumatoid. Mula khasiatnya baru terlihat setelah 3-12 bulan kemudian. Setelah

2-5 tahun, maka efektivitasnya dalam menekan proses reumatoid akan berkurang. Keputusan

penggunaannya bergantung pada pertimbangan risiko manfaat oleh dokter. Umumnya segera

diberikan setelah diagnosis artritis reumatoid ditegakkan, atau bila respon OAINS tidak baik,

meski masih dalam status tersangka.

Jenis-jenis yang digunakan adalah:

a. Klorokuin, paling banyak digunakan karena harganya terjangkau, namun efektivitasnya

lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Dosis anjuran klorokuin fosfat 250 mg/hari

hidrosiklorokuin 400 mg/hari. Efek samping bergantung pada dosis harian, berupa

Page 80

Page 81: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

penurunan ketajaman penglihatan, dermatitis makulopapular, nausea, diare, dan anemia

hemolitik.

b. Sulfasalazin dalam bentuk tablet bersalut enteric digunakan dalam dosis 1 x 500 mg/hari,

ditingkatkan 500 mg per minggu, sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi

tercapai, dosis dapat diturunkan hingga 1 g/hari untuk dipakai dalam jangka panjang

sampai tercapai remisi sempurna. Jika dalam waktu 3 bulan tidak terlihat khasiatnya, obat

ini dihentikan dan diganti dengan yang lain, atau dikombinasi. Efek sampingnya nausea,

muntah, dan dyspepsia.

c. D-penisilamin, kurang disukai karena bekerja sangat lambat. Digunakan dalam dosis

250-300 mg/hari, kemudian dosis ditingkatkan setiap 2-4 minggu sebesar 250-300

mg/hari untuk mencapai dosis total 4x 250-300 mg/hari. Efek samping antara lain ruam

kulit urtikaria atau mobiliformis, stomatitis, dan pemfigus.

d. Garam emas adalah gold standard bagi DMARD. Khasiatnya tidak diragukan lagi meski

sering timbul efek samping. Auro sodium tiomalat (AST) diberikan intramuskular,

dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, seminggu kemudian disusul

dosis kedua sebesar 20 mg. Seminggu kemudian diberikan dosis penuh 50 mg/minggu

selama 20 minggu. Dapat dilanjutkan dengan dosis tambahan sebesar 50 mg tiap 2

minggu sampai 3 bulan. Jika diperlukan, dapat diberikan dosis 50 mg setiap 3 minggu

sampai keadaan remisi tercapai. Efek samping berupa pruritis, stomatitis, proteinuria,

trombositopenia, dan aplasia sumsum tulang. Jenis yang lain adalah auranofin yang

diberikan dalam dosis 2 x 3 mg. Efek samping lebih jarang dijumpai, pada awal sering

ditemukan diare yang dapat diatasi dengan penurunan dosis.

e. Obat imunosupresif atau imunoregulator.

Metotreksat sangat mudah digunakan dan waktu mula kerjanya relatif pendek

dibandingkan dengan yang lain. Dosis dimulai 5-7,5 mg setiap minggu. Bila dalam 4

bulan tidak menunjukkan perbaikan, dosis harus ditingkatkan. Dosis jarang melebihi 20

mg/minggu. Efek samping jarang ditemukan. Walaupun penggunaan MTX memberikan

harapan yang baik dalam pengobatan AR, akan tetapi seperti halnya penggunaan

sitostatika lain, MTX sebaiknya hanya siberikan kepada pasien AR yang progresif dan

gagal dikontrol dengan DMARD standard lainnya.

f. Cyclosporin – A

Page 81

Page 82: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Siklosporin- A (CS-A) adalah salah satu undecapeptida siklik yang memiliki efek sebagai

antibiotika dan imunosupresan yang diisolasi dari jamur Tolypocladium inflatum Gams

pada tahun 1972. Bagaimana mekanisme imunosupresan masih belum diketahui dengan

jelas walaupun CS-A diduga berhubungan dengan hambatan CS-A pada fungsi dan

proliferasi limfosit. Sifat imunosupresif CS-A kemungkinan disebabkan karena terjadinya

hambatan yang bersifat spesifik dan reversible pada sel T dalam fase G0 (resting phase)

atau G1 (post mitotic/presynthetic phase) siklus sel. CS-A terutama menghambat sel T-

helper walaupun juga menghambat sel-T suppressor, sel T- sitotoksik dan activated T-

helper yang memproduksi interleukin-2 dan juga interleukin -1. Berbeda dari

imunosupresan lainnyaCS-A tidak memiliki sifat mielosupresif yang bermakna.

CS-A memiliki efek nefrotoksok yang umumnya bergantung pada dosis dan bersifat

reversible. Pada beberapa kasus, juga dapat meningkatkan kadar ureum, kreatinin, dan

asam urat darah. Pada AR, CS-A umumnya diberikan dalam dosis aawal 2.5 – 3.5

mg/KgBB/hari yang dibagi dalam 2 dosis. Setelah 4 sampai 8 minggu dosis dapat

ditingkatkan 0.5 – 1.0 mg/KgBB/hari. Kontraindikasi yaitu :

Terdapatnya riwayat penyakit keganasan

Hipertensi yang tidak terkontrol

g. Leflunomide

Leflunomide (Lef) merupakan DMARD yang terbaru yang digunakan sejak akhir tahun

1998. Dalam percobaan klinis bahwa khasiat Lef dapat disetarakan dengan MTX,

sehingga baik sekali untuk digunakan pada pasien yang gagal diobat dengan MTX atau

untuk pasien yang karena suatu hal tidak dapat mentolerir MTX.

Untuk mencapai keadaan steady state obat ini dianjurkan untuk digunakan dalam dosis

awal 100mg/hari selama 3 hari berturut – turut dan kemudian dilanjutkan dalam dosis 10

sampai 20 mg/hari. Onset Lef dapat dicapai dalam waktu 4 sampai 8 minggu. Efek

samping Lef antara lain adalah peningkatan enzim transaminase yang dapat diatasi

dengan penghentian penggunaan obat. Dalam penggunaan Lef harus dilakukan

pemantauan rutin darah perifer dan fungsi hati tiap 2 minggu pada bulan pertama dan

setiap bulan untuk selanjutnya. Efek toksiknya meliputi diare, nyeri lambung, dan

alopesis. Untuk wanita hamil terlebih dahulu harus menggunakan cholestiramin 3 x 8

g/hari selama 11 hari berturut – turut sampai kadar Lef dalam darah yang diukur pada 2

kali pemeriksaan selang 14 hari menunjukkan kadar kurang dari 0.02 mg/L.

h. Bridging Therapy dalam Pengobatan AR

Page 82

Page 83: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

Bridging Therapy adalah pemberian glukokortikoid dalam dosis rendah (setara dengan

prednisone 5 sampai 7.5 mg/hari) sebagai dosis tunggal pada pagi hari. Walaupun

pemberian glukokortikoid dosis rendah tidak menimbulkan perubahan yang bermakna

kadar dan irama kortisol plasma atau growth hormone, pemberian glukokortikoid dosis

rendah ini akan mengurangi keluhan pasien sebelum DMARD yang diberikan dapat

bekerja.

i. Peran Dietetik

AR adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dan bukan suatu penyakit metabolic.

Walaupun beberapa jenis modifikasi dietetic, antara lain yang terakhir berupa

suplementasi asam lemak omega 3 seprti asam eikosapentanoat pernah dicoba dalam

beberapa penelitian, ternyata hasilnya sangat bersifat controversial.

X. KOMPLIKASI RHEMATOID ARTRITIS

Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik yang

merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat

pengubah perjalanan penyakit (disease modifying antirheumatoid drugs, DMARD) yang

menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis reumatoid.

Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas, sehingga sukar

dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan

mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.

XI. PROGNOSIS RHEMATOID ARTRITIS

Penyakit RA tidak dapat sembuh, penderita harus diterangkan mengenai penyakitnya dan

diberikan dukungan psikologi. Pada umumnya pasien artritis reumatoid akan mengalami

manifestasi penyakit yang bersifat monosiklik (hanya mengalami satu episode artritis

reumatoid dan selanjutnya akan mengalami remisi sempurna). Tapi sebagian besar penyakit

ini telah terkena artritis reumatoid akan menderita penyakit ini selama sisa hidupnya dan

hanya diselingi oleh beberapa masa remisi yang singkat (jenis polisiklik). Sebagian kecil

Page 83

Page 84: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

lainnya akan menderita artritis reumatoid yang progresif yang disertai dengan penurunan

kapasitas fungsional yang menetap pada setiap eksaserbasi.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwasannya penyakit ini bersifat sistemik. Maka

seluruh organ dapat diserang, baik mata, paru-paru, jantung, ginjal, kulit, jaringan ikat, dan

sebagainya. Bintik-bintik kecil yang berupa benjolan atau noduli dan tersebar di seluruh

organ di badan penderita. Pada paru-paru dapat menimbulkan lung fibrosis, pada jantung

dapat menimbulkan pericarditis, myocarditis dan seterusnya. Bahkan di kulit, nodulus

rheumaticus ini bentuknya lebih besar dan terdapat pada daerah insertio dan otot-otot atau

pada daerah extensor. Bila RA nodule ini kita sayat secara melintang maka kita akan dapati

gambaran: nekrosis sentralis yang dikelilingi dengan sebukan sel-sel radang mendadak dan

menahun yang berjajar seperti jeruji roda sepeda (radier) dan membentuk palisade.21 Di

sekitarnya dikelilingi oleh deposit-deposit fibrin dan di pinggirnya ditumbuhi dengan

fibroblast. Benjolan rematik ini jarang dijumpai pada penderita-penderita RA jenis ringan.

Disamping hal-hal yang disebutkan di atas gambaran anemia pada penderita RA bukan

disebabkan oleh karena kurangnya zat besi pada makanan atau tubuh penderita. Hal ini

timbul akibat pengaruh imunologik, yang menyebabkan zat-zat besi terkumpul pada jaringan

limpa dan sistema retikulo endotelial, sehingga jumlahnya di daerah menjadi kurang.

Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gratitis dan ulkus peptik yang

merupakan komplikasi utama penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat

pengubah perjalanan penyakit (desease modifying antiremathoid drugs, DMARD) yang

menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis reumatoid. Komplikasi

saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran jelas, sehingga sukar dibedakan antara akibat

lesi artikular dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat

ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh sinovitis erosive yang

simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Gejala klinis

Page 84

Page 85: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

utama AR adalah poliatritis yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada rawan sendi dan

tulang di sekitarnya. Hal ini dapat menyebabkan kecacatan yang sangat merugikan pasien.

Sehingga, penting bagi masyarakat untuk mengetahui pencegahan penyakit AR.

DAFTAR PUSTAKA

1. Siddharth Wayangankar, Md, Mph. Reumatoid Artritis. Edisi Februari 2010. Diunduh

Dari Www.Emedicine.Medscape.Org, 26 Maret 2010.

2. Nasution. Aspek Genetik Penyakit Reumatik. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Ed. III.

Jakarta : Balai penerbit FKUI ; 1996. h. 29-36.

Page 85

Page 86: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

3. Gleadle, J. 2007. At A Glance. Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik. Alih Bahasa: Annisa

Rahmalia. Editor : Amalia Safitri. Jakarta : Penerbit Erlangga.

4. Markum MS. Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisis. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK

UI. 2005.

5. Bates. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan. Ed-8. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC ; 2009.

6. Kumar, Cotran, Robbins. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC. 2007. h : 850, 852.

7. Patel, PR. Radiologi. Alih Bahasa : Vidhia Umami. Editor : Amalia Safitri. Ed -2. Jakarta:

Erlangga. 2007.

8. Harrison. Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran

EGC. 2006.

9. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Edisi Ke-2. Jakarta : Penerbit

Buku Kedokteran EGC. 2001.

10. Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit

Edisi 6. Alih Bahasa : Brahm U. Pendit, Et Al. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ;

2005. h. 1358-1359, 1367-1368, 1371.

11. Edward ST. Arthritis Pirai (Arthritis Gout). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-4.

Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.

12. Arthritis Gout. Diunduh Dari Http://Www.Klikdokter.Com/Illness/Detail/44 (2008).

13. Asam Urat (Gout Arthritis). Diunduh Dari

Http://Www.Jakartalantern.Com/Content/Health-Topic/Gout.Html (12 Oktober 2009).

14. Septic Artritis. Diunduh Dari TotalKesehatanAnda.com. 2008.

15. Shiel Wc. Carpal Tunnel Syndrome & Tarsal Tunnel Syndrome.

Http://Www.Medicinenet. Com/Carpal_Tunnel_Syndrome/Index.Htm.

16. Mansjoer, Suprohaita, Wardhani, Wahyu I., Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran.

Edisi Ketiga. Jilid Kedua. Jakarta : Media Aesculapius, 2000. h : 358-359, 2

17. Schwartz. Si, Shires.Gt, Spencer.Fc. Alih Bahasa: Laniyati, Kartini.A, Wijaya.C,

Komala.S, Ronardy.Dh. Editor Chandranata.L, Kumala.P. Intisari Prinsip Prinsip Ilmu

Bedah. Penerbit Buku Kedokteran EGC ; Jakarta. 2000.

18. Tim Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Buku

Petunjuk Praktikum Blok Muskuloskeletal. Surakarta : Departemen Pendidikan Dan

Kebudayaan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret ; 2008. h : 13-14.

Page 86

Page 87: Artritis Reumatoid (AR)

[ ]Sistem Musculoskletal II

19. Medical Journal Editors. Artritis Reumatoid. Edisi November 2009. Diunduh dari

www.medicastore.com. 26 Maret 2010.

20. Sudoyo,D Arua, dkk. Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam FKUI, Jakarta. 2006.

21. Peter, A. Arthritis Rheumatoid. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Ed. XIII.

Vol. 4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2000. h 1840-1847.

Page 87