PENGGUNAAN ASETILASETON SEBAGAI PEREAKSI PENGKHELAT
PADA EKSTRAKSI LOGAM TEMBAGA(II) DAN KROMIUM(III) SERTA
KARAKTERISASI SENYAWA KOMPLEKS BIS-ASETILASETONATO
TEMBAGA(II) DAN TRIS-ASETILASETONATO KROMIUM(III)
Ersan Yudhapratama, Soja Siti Fatimah, Zackiyah
Program Studi Kimia, Jurusan Pendidikan Kimia, FPMIPA UPI
Jl. Dr. Setiabudhi No. 299, Bandung
Email: [email protected]; [email protected]
Abstrak
Pada penelitian ini, ekstraksi logam Cu(II) dan Cr(III) dilakukan dengan menggunakan
asetilaseton sebagai pereaksi pengkhelat yang dilarutkan dalam fasa organik serta dilakukan
karakterisasi terhadap senyawa kompleks asetilaseton dengan kedua logam tersebut. Pengukuran
logam yang terekstrak dilakukan dengan menggunakan Atomic Absorbstion Spectrofotometer
(AAS). Dari hasil pengukuran, diketahui bahwa logam Cu(II) dapat terekstrak secara optimum
sebesar 95,42% pada pH 12 dengan menggunakan perbandingan konsentrasi logam Cu(II) :
asetilaseton sebesar 1:1 sedangkan logam Cr(III) dapat tersekstrak secara optimum sebesar
52,61% pada pH 8 dengan perbandingan konsentrasi logam Cr(III) : asetilaseton sebesar 1:3.
Dari hasil karakterisasi diketahui bahwa senyawa kompleks [Cu(acac)2] dan [Cr(acac)3] telah
terbentuk.
Kata kunci: asetilaseton, pereaksi pengkhelat, ekstraksi logam Cu(II) dan Cr(III)
Abstract
In this study, the extraction of Cu(II) and Cr(III) was performed by using acetylacetone as a
chelating agent that dissolved in the organic phase as well as the characterization of the
acetylacetone complexes with both metal. Measurement of the extracted metal was done by using
Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). From the measurement, it is known that Cu(II) can
be optimally extracted by 95,42% at pH 12, by using a ratio of metal concentration of Cu(II):
acetylacetone of 1:1 whereas Cr(III) optimally extracted by 52,61% at pH 8, by using a ratio of
metal concentration of Cr(III): acetylacetone at 1:3. From the results it is known that the
characterization of complex compounds [Cu(acac)2] and [Cr(acac)3] was formed.
Keyword: acetylacetone, chelating agent, metal extraction of Cu(II) and Cr(III)
PENDAHULUAN
Sampai saat ini, pemisahan dengan
menggunakan ekstraksi cair-cair masih terus
berkembang, hal ini karena banyak bidang
kajian ilmu yang proses pemisahannya
menggunakan ekstraksi cair-cair. Selain itu,
perkembangan ekstraksi cair-cair juga tidak
lepas dari tujuan utamanya yaitu untuk
mendapatkan zat analit yang efektif dan
efisien untuk dapat dianalisis. Oleh karena
itu, penelitian-penelitian tentang ekstraksi
cair-cair, mulai dari jenis ekstraksi cair-cair
yang digunakan, jenis analit yang
dipisahkan, pelarut dan pereaksi
pengompleks yang digunakan masih perlu
dilakukan. Ekstraksi dengan cara
pembentukkan senyawa kompleks khelat
merupakan cara yang paling luas
penggunaannya dalam ekstraksi cair-cair
terhadap logam (Soebagio, dkk., 2003)
Ekstraksi cair-cair terhadap beberapa
logam dengan menggunakan pereaksi
pengkhelat asetilaseton sudah pernah
dilakukan sebelumnya oleh Tabushi (1959).
Namun pada penelitan tersebut asetilaseton
yang digunakan sebagai pereaksi pengkhelat
dilarutkan terlebih dahulu di dalam fasa air.
Cara yang dilakukan oleh Tabushi
merupakan cara yang tidak umum digunakan
dalam ekstraksi cair-cair dengan
menggunakan pereaksi pengkhelat, karena
pada umumnya pereaksi pengkhelat pada
ekstraksi cair-cair ditambahkan ke dalam
fasa organik (Soebagio, dkk., 2003).
Pada penelitian ini, asetilaseton
digunakan sebagai pereaksi pengkhelat yang
dilarutkan dalam fasa organik, yaitu
kloroform. Penggunaan asetilaseton sebagai
pereaksi pengkhelat karena asetilaseton
mempunyai sifat sangat mudah larut dalam
kloroform sebagai fasa organik (dengan
perbandingan pelarut dan zat terlarut 1:1)
dan banyak yang logam yang dapat
membentuk senyawa kompleks khelat
dengan asetilaseton, seperti logam Cu(II)
dan logam Cr(III) (Fernelius, 1946). Selain
itu, asetilaseton merupakan senyawa
golongan β-diketon yang baik sebagai
pereaksi pengkhelat dalam proses ekstraksi
logam. Pada penelitian ini, logam Cu(II)
dipilih karena pada ekstraksi terhadap
beberapa logam yang dilakukan Tabushi
menunjukkan bahwa persen terekstraksi
yang tinggi, yaitu sebesar 85% dan senyawa
kompleks [Cu(acac)2] merupakan senyawa
kompleks yang stabil dan mudah untuk
terbentuk (Charles, 1957 dan Kirna, 1998).
Sedangkan logam Cr(III) dipilih karena
belum ada penelitian yang melakukan
ekstraksi terhadap logam Cr(III) dengan
menggunakan asetilaseton sebagai pereaksi
pengkhelat, sehingga belum diketahui
berapa persen terekstraksi logam tersebut
dengan cara yang sama seperti yang
dilakukan pada logam Cu(II).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini terdiri dari beberapa
tahapan, yaitu memperlajari pengaruh pH
terhadap ekstraksi, pengaruh konsentrasi
asetilaseton sebagai pereaksi pengkhelat
terhadap ekstraksi, dan karakterisasi
senyawa kompleks hasil ekstraksi dengan
menggunakan Spektrofotometer UV-Vis,
FTIR, dan TG-DTA.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah gelas
kimia, pipet volume, corong pisah, kaca
preparat, pipa kapiler, labu ukur, buret, pipet
tetes, botol vial, corong Buchner,
mikroskop, Atomic Absorbstion
Spectrofotometer (AAS) Varian 220 FS,
Thermal Gravimetric – Differential Thermal
analysis (TG-DTA) Shimadzu 60 A, dan
Spektrofotometer UV-Vis mini Shimadzu.
Bahan-bahan yang digunakan adalah
akuades, natrium asetat, amonium
hidroksida, asetilaseton, kloroform, metanol,
kromium(III) klorida heksahidrat,
tembaga(II) klorida dihidrat, besi(III) klorida
heksahidrat, dan asam klorida.
Cara Kerja
Pengaruh pH Terhadap Ekstraksi
Pengaruh pH pada ekstraksi logam
Cu(II) dilakukan dengan cara memasukkan
larutan logam Cu(II) 20 ppm 10 mL dan
larutan penyangga pH tertentu sebanyak 5,0
mL ke dalam corong pisah 100 mL. Setiap
corong pisah berisi pH yang bervariasi,
mulai dari pH 7 sampai dengan pH 12.
Kemudian ditambahkan larutan asetilaseton
60 ppm 10 mL dan kloroform sebanyak 5,0
mL.
Setelah semua pereaksi telah
dimasukkan ke dalam corong pisah,
dilakukan pengocokan untuk semua corong
pisah dengan alat pengocok EYELA MMS-
3000 selama 1 jam dengan kecepatan 157
rpm pada suhu ruang. Setelah pengocokan,
fasa air dan fasa organik dipisahkan. Fasa air
diukur konsentrasi logamnya dengan
menggunakan AAS.
Untuk logam Cr(III), pengaruh pH
terhadap ekstraksi dapat diketahui dengan
cara yang sama seperti mengetahui pengaruh
pH logam Cu(II), namun dengan rentang
variasi pH 4 sampai dengan pH 9.
Pengaruh Konsentrasi Asetilaseton
Terhadap Ekstraski
Pengaruh konsentrasi asetilaseton pada
ekstraksi logam Cu(II) dilakukan dengan
memasukkan larutan logam Cu(II) 20 ppm
sebanyak 10,0 mL dan larutan penyangga
pH 12 sebanyak 5,0 mL ke dalam corong
pisah 100 mL. Kemudian ditambahkan
larutan asetilaseton dengan variasi
konsentrasi 20, 40, 60, 80, dan 100 ppm
sebanyak 10,0 mL dan kloroform 5,0 mL.
Setelah semua pereaksi dimasukkan ke
dalam corong pisah, dilakukan pengocokan
dan pengukuran seperti pada perlakuan
sebelumnya.
Untuk mengetahui pengaruh
asetilaseton terhadap ekstraksi logam Cr(III)
dilakukan dengan cara yang sama dengan
cara untuk mengetahui pengaruh konsentrasi
asetilaseton untuk logam Cu(II) pada pH 8.
Karakterisasi Senyawa Kompleks
[Cu(acac)2] dan [Cr(acac)3]
Karakterisasi untuk senyawa kompleks
[Cu(acac)2] dilakukan dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis, FTIR dan TG-
DTA terhadap senyawa kompleks yang telah
dimurnikan dengan cara rekristalisasi.
Penentuan kemurnian kristal dilakukan
dengan uji titik leleh.
Karakterisasi menggunakan
spektrofotometer UV-Vis, dilakukan dengan
melarutkan terlebih dahulu kristal senyawa
kompleks [Cu(acac)2] dalam 100 mL
kloroform dengan konsentrasi 1000 ppm.
Larutan tersebut kemudian dilakukan
pemindaian pada daerah 400-800 nm.
Karakterisasi senyawa kompleks [Cu(acac)2]
menggunakan FTIR dilakukan dengan
menggunakan metode pelet KBr dari
bilangan gelombang 4000-500 cm-1
, dan
untuk karakterisasi kestabilan senyawa
kompleks terhadap suhu, dilakukan dengan
metode Termogravimetri Analisis.
Karakterisasi terhadap senyawa
kompleks [Cr(acac)3] dilakukan dengan cara
yang sama seperti karakterisasi senyawa
kompleks [Cu(acac)2].
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh pH Terhadap Ekstraksi.
Ekstraksi untuk mengetahui pengaruh
pH terhadap ekstraksi logam Cu(II) dan
Cr(III) dilakukan secara terpisah untuk
masing-masing logam, hasil yang diperoleh
ditunjukkan pada tabel 1
Tabel 1. Hasil ekstraksi logam Cu(II) dan
logam Cr(III) dengan asetilaseton sebagai
pereaksi pengkhelat
Cu(II) Cr(III)
pH
Persen
Ekstraksi
(%)
pH
Persen
Ekstraksi
(%)
4 46,69 7 42,93
5 50,29 8 56,10
6 58,75 9 64,88
7 63,13 10 82,41
8 63,22 11 85,46
9 63,32 12 94,55
Ekstraksi untuk logam Cu(II) dilakukan
secara bertahap, dimulai pada pH 7 sampai
dengan pH 9 terlebih dahulu. Dari hasil
ekstraksi menunjukkan adanya peningkatan
harga persen ekstraksi seiring dengan
peningkatan harga pH, sehingga ekstraksi
selanjutnya dilakukan pada pH di atas 9.
Namun pada pH 13, larutan logam Cu(II)
sudah mengalami pengendapan, sehingga
eksraksi tidak dilakukan hingga pH 13,
selain itu, karena harga persen ekstraksi
pada pH 12 sudah mencapai 94,55%, sudah
dianggap efektif untuk mengekstrak logam
Cu(II).
Pada ekstraksi logam Cr(III), ekstraksi
juga dilakukan secara bertahap mulai dari
pH 7 sampai dengan pH 9. Dari hasil
ekstraksi, menunjukkan peningkatan harga
persen ekstraksi yang tidak signifikan
dengan peningkatan harga pH. Namun pada
pH 10, larutan Cr(III) telah terjadi endapan
sehingga ekstraksi tidak dapat dilakukan
lebih dari pH 9. Oleh karena itu, ekstraksi
dilakukan pada pH 4 sampai dengan 6.
Ekstraksi harus berlangsung dalam
keadaan basa, karena asetilaseton akan
bereaksi pada logam dalam suasana basa,
sedangkan dalam suasana basa, logam
sangat rentan terjadi pengendapan. Oleh
karena itu, pH yang optimum adalah pH
yang dalam suasana basa, tidak terjadi
pengendapan, dan tidak terjadi lagi
peningkatan harga persen ekstraksi yang
signifikan.
Pengaruh Konsentrasi Asetilaseton
Terhadap Ekstraksi
Hasil ekstraksi untuk mengetahui
pengaruh konsentrasi asetilaseton terhadap
ekstraksi logam Cu(II) dan Cr(III)
ditunjukkan pada tabel 2
Tabel 2. Hasil ekstraksi logam Cu(II) dan
logam Cr(III) terhadap beberapa konsentrasi
asetilaseton
Konsentrasi
Asetilaseton
(ppm)
Persen Ekstraksi (%)
Cu(II) Cr(III)
20 95,42 37,83
40 98,16 43,68
60 98,89 52,61
80 99,42 51,02
100 99,68 50,87
Berdasarkan hasil tabel 2, untuk logam
Cu(II) 20 ppm, dengan konsentrasi
asetilaseton 20 ppm, harga %E dapat
mencapai 95,42%. Sedangkan pada ekstraksi
logam Cr(III) dengan konsentrasi yang sama
seperti logam Cu(II), harga persen ekstraksi
maksimal tercapai pada konsentrasi
asetilaseton 60 ppm yaitu dengan 52,61%.
Kecilnya harga persen ekstraksi pada
logam Cr(III) dikarenakan pembentukan
senyawa kompleks [Cr(acac)3] yang sukar
terjadi pada suhu ruang. Sedangkan pada
logam Cu(II), pembentukan senyawa
kompleks [Cu(acac)2], dapat terjadi dengan
baik pada suhu ruang.
Karakterisasi Senyawa Kompleks
[Cu(acac)2] dan [Cr(acac)3]
Spektrofotometer UV-Vis
Hasil pengukuran dengan menggunakan
spektrofotometer UV-Vis, dapat mengetahui
puncak serapan maksimum dan energi
pembentukkan senyawa kompleks dari
[Cu(acac)2] dan [Cr(acac)3]. Gambar 1
menunjukkan hasil analisis spektrofotometer
UV-Vis untuk senyawa kompleks
[Cu(acac)2] dan [Cr(acac)3].
(a)
(b)
Gambar 1. Hasil analisis spektrofotometer
UV-Vis untuk senyawa kompleks
[Cu(acac)2] (a) dan [Cr(acac)3] (b)
Pada Gambar 1, dapat terlihat puncak
serapan maksimum dari senyawa kompleks
[Cu(acac)2] terdapat pada panjang
gelombang 657,0 nm. Sedangkan hasil
pengukuran puncak serapan maksimum
untuk senyawa kompleks [Cr(acac)3],
puncak serapan terjadi pada panjang
gelombang 560,5 nm. Dari kedua spektra
UV-Vis yang diperoleh, dapat terlihat
perbedaan puncak serapan yang jelas, hal
dikarenakan warna dari masing-masing
senyawa kompleks yang berbeda. Warna
senyawa kompleks untuk [Cu(acac)2] adalah
biru sedangkan warna senyawa kompleks
dari [Cr(acac)3] adalah merah muda.
Selain itu, dari spektra kedua senyawa
kompleks tersebut juga dapat diketahui
energi pembentukkan senyawa kompleks
untuk masing-masing senyawa kompleks.
Meskipun ligan yang menyusun kedua
senyawa kompleks tersebut merupakan ligan
yang sama, tapi ketika membentuk senyawa
kompleks dengan logam yang berbeda,
maka akan memiliki energi pembentukkan
senyawa kompleks yang berbeda pula.
Spektra FTIR
Spektra FTIR hasil pengukuran untuk
senyawa kompleks [Cu(acac)2] dan
[Cr(acac)3] ditunjukkan pada Gambar 2.
Pada spektra senyawa kompleks
asetilaseton dengan logam Cu(II), terdapat
puncak serapan yang dikenali seperti pada
penelitian Kirna dan Nakamoto, yaitu
terdapat pada bilangan gelombang
2970-2920 cm-1
puncak serapan untuk
regangan C-H pada CH3 pada senyawa
kompleks [Cu(acac)2]. Namun ada juga
puncak serapan yang tak dikenali, yaitu pada
daerah 3433 cm-1
. Puncak serapan tersebut
diperkirakan berasal dari gugus O-H yang
berasal dari tautomer keto-enol, oleh karena
itu puncak serapan yang muncul berada pada
daerah gugus O-H pada alkohol, tapi puncak
serapan yang terjadi tidak besar, karena
karakter dari gugus O-H pada bentuk enol
yang kecil pada senyawa tersebut. Mungkin
juga puncak serapan ini terjadi karena
adanya sisa metanol pada saat karakterisasi,
Hanya puncak serapan ini tidak terdapat
pada penelitian Kirna maupun Nakamoto.
Gambar 1 menunjukkan spektra hasil
karakterisasi dengan menggunakan FTIR.
Puncak serapan selanjutnya, pada
bilangan gelombang 1577 cm-1
adalah
puncak serapan untuk regangan gugus fungsi
C=C, sedangkan pada bilangan gelombang
sekitar 1531 cm-1
, merupakan pecahan dari
puncak C=O yang disebabkan oleh adanya
ikatan konjugasi pada asetilaseton.
Pada daerah bilangan gelombang
1458-973 cm-1
merupakan vibrasi bending
C-H, kombinasi antara vibrasi regangan
C=C, dan C=O dengan vibrasi bending C-H.
Puncak kuat pada sekitar bilangan
gelombang 783 cm-1
berasal dari vibrasi
bending C-H aromatik. Puncak-puncak
lemah pada 684-613 cm-1
berasal dari
kombinasi antara vibrasi bending-H atau C-
C dengan vibrasi regangan ikatan koordinasi
M-O. namun pada penelitian ini, karena
keterbatasan kemampuan alat yang
digunakan, maka tidak dapat mengukur
bilangan gelombang di bawah 500 cm-1,
sehingga tidak dapat mengamati vibrasi
sidik jari di bawah bilangan gelombang
tersebut.
Pada beberapa daerah bilangan
gelombang, senyawa kompleks asetilaseton
dengan logam Cr(III) yang telah terbentuk,
memiliki pola yang hampir sama seperti
senyawa kompleks asetilaseton dengan
logam Cu(II). Hal ini karena jika
asetilaseton dengan logam Cr(III)
membentuk senyawa kompleks [Cr(acac)3],
maka akan memiliki banyak kesamaan
gugus fungsi dengan senyawa kompleks
yang terbentuk antara asetilaseton dengan
logam Cu(II) yaitu [Cu(acac)2], namun
spektrum yang muncul tentu berbeda.
Perbedaan spektrum yang muncul untuk
senyawa kompleks [Cr(acac)3] dapat terlihat
dari intensitas serapannya atau pergeseran
puncak serapan. Pada beberapa daerah
bilangan gelombang tertentu, spektrum
senyawa kompleks [Cr(acac)3] memiliki
perbedaan dengan spektrum senyawa
kompleks [Cu(acac)2], perbedaan mencolok
terjadi pada daerah bilangan gelombang
infra merah 700-500 cm-1
.
Pada penelitian ini, hasil pengukuran
dengan menggunakan FTIR pada daerah
bilangan gelombang 700-500 cm-1
, terdapat
puncak yang khas untuk senyawa kompleks
[Cu(acac)2] dan [Cr(acac)3] seperti yang
terdapat hasil pengukuran yang dilakukan
oleh Nakamoto.
Gambar 2. Perbandingan spektra FTIR asetilaseton, [Cu(acac)2], dan [Cr(acac)3]
Analisis Termal Senyawa Kompleks
[Cu(acac)2] dan [Cr(acac)3]
Gambar 3 menunjukkan termogram
[Cu(acac)2] hasil pengukuran dengan
menggunakan TG-DTA.
Gambar 3. Termogram senyawa kompleks
[Cu(acac)2] hasil pengukuran dengan
menggunakan TG-DTA
Gambar 3 menunjukkan penurunan
massa senyawa kompleks tersebut seiring
dengan meningkatnya suhu. Senyawa
kompleks [Cu(acac)2] mulai terjadi
penurunan massa pada suhu 289,16 oC dan
berhenti pada suhu 304,07 oC, hal ini terjadi
karena zat tersebut mengalami dekomposisi
sebesar 63,12%. Bagian pada senyawa
kompleks [Cu(acac)2] yang terdekomposisi
terlebih dahulu adalah bagian ligan, karena
ligan pada senyawa kompleks [Cu(acac)2]
teridiri dari hidrokarbon, sehingga memiliki
kemungkinan untuk terdekomposisi terlebih
dahulu dari pada logam sebagai atom pusat.
Pada termogram DTA, dapat terlihat puncak
pada daerah sekitar 288-289 oC, puncak ini
menunjukkan titik leleh dari senyawa
kompleks [Cu(acac)2] yang diuji. Jika dilihat
dari titik leleh [Cu(acac)2] yang 284-288 oC,
maka dapat dikatakan bahwa senyawa
kompleks yang diuji adalah senyawa
kompleks [Cu(acac)2] yang murni.
Sedangkan untuk termogram senyawa
kompleks [Cr(acac)3] ditunjukkan pada
Gambar 4.
Gambar 4. Termogram senyawa kompleks
[Cr(acac)3] hasil pengukuran dengan
menggunakan TG-DTA
Gambar 4 menunjukkan termogram
TGA senyawa kompleks [Cr(acac)3], dapat
terlihat bahwa senyawa kompleks tersebut
mulai terjadi penurunan massa mulai pada
suhu 213-282 oC, hal ini terjadi karena
senyawa kompleks tersebut mengalami
dekomposisi. Diperkirakan hal ini terjadi
karena ligan pada senyawa kompleks
[Cr(acac)3] yang mengalami dkomposisi.
Namum, pada suhu berikutnya, [Cr(acac)3]
tidak mengalami penurunan massa secara
signifikan, dari 282–540 oC hanya terjadi
penurunan massa sebesar 10%. Jika melihat
termogram DTA, maka akan terlihat mulai
adanya perubahan pada suhu 213,30 oC,
suhu tersebut adalah titik leleh dari senyawa
[Cr(acac)3].
KESIMPULAN
Dari penelitian ini, dapat ditarik
kesimpulan yaitu:
1. Kondisi ekstraksi cair-cair untuk
ekstraksi logam Cu(II) adalah pada pH
12 dengan perbandingan konsentrasi
antara asetilaseton dengan logam Cu(II)
sebesar 1:1 dan kondisi untuk ekstraksi
logam Cr(III) adalah pada pH 8 dengan
perbandingan konsentrasi antara
asetilaseton dengan logam Cr(III)
adalah 3:1.
2. Harga persen ekstraksi untuk logam
Cu(II) pada pH dan konsentrasi
asetilaseton optimum sebesar 95,42%
dan untuk logam Cr(III) sebesar
52,61%.
3. Dari hasil karakterisasi diketahui bahwa
senyawa kompleks [Cu(acac)2] dan
[Cr(acac)3] telah terbentuk.
DAFTAR PUSTAKA
Charles. Robert G. 1957. Comparative Heat
Stabilities of Some Metal
Acetylacetonate Chelates. J. Phys.
Chem. 62. 440-444.
Diaz-Acosta, Irina. 2001. Calculated and
Experimental Geometries and
Infrared Spectra of Metal Tris-
Acetylacetonates: Vibrational
Spectrocopy as A Probe of
Molecular Structure for Ionic
Complexes Part I. J. Phys. Chem.
105. 238-244.
Fernelius, W. Conard. (1946). Inorganic
Syntheses Volume II. New York:
McGraw-Hill Company, Inc.
Fukuda, Yutaka. 1970. Formation Constants
of Chromium(II) Complexes with
(O,O)-, (O,N)- and (N,N)- Type
Ligands and Comparasion with
Those of Other First Transition
Metal Complexes. Chemical Society
of Japan. 43. 745-749
Imamkhasani, Soemanto. (2001). Lembar
Data Keselamatan Bahan Vol.III.
Bandung: LIPI.
Kirna, I Made. 1998. Sintesis dan
Karakterisasi Spektra Inframerah
Kompleks Asetilasetonato M(II).
ISJD. 31. 32-43
Mudzakir, Ahmad. (1997). Sintesis 1-fenil-
3-metil-4-benzoil-5-pirazolon dan
Penggunaannya pada Ekstraksi
Sinergis Kobalt (II) dan Kadmium
(II). Tesis. Program Pascasarjana
UGM. Tidak Diterbitkan.
Nakamoto, K. (2009). Infrared and Raman
Spectra of Inorganic and
Coordination Compounds Part B
Sixth Edition. New Jersey: John
Wiley and Sons, Inc.
Permanasari, Anna, dkk. (2007). Kimia
Analitik 2. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Seco, Miquel. 1989. Acetylacetone: A
Versatile Ligand. 1989. J. Chem.
Educ. 66. 779.
Silvestre, Cristina I.C. 2009. Liquid-liquid
Extraction in Flow Analysis: A
Critical Review. Analytica Chimica
Acta. 652. 54-65.
Skoog, Douglas, A. (2004). Fundamentals
of Analitical Chemistry Eight
Edition. Kanada: Brooks/Cole.
Soebagio, dkk. (2003). Kimia Analitik II.
Malang: Jurusan Kimia FMIPA
Universitas Negeri Malang
Tabushi, Masayuki. 1959. Solvent
Extraction of Metal
Acetylacetonates. Bull. Inst. Chem.
37. 9.
Vigato, P. Alessandro. 2009. The Evolution
of β-diketone or β-diketophenol
ligands and related complexes.
Coordination Chemistry. 253.
1099-1201.
Top Related