Artikel Adat Perkawinan di desa Warukin, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan
Dayak maanyan Warukin
Desa Warukin adalah salah satu desa yang terdapat di kabupaten Tabalong,ter letak
sekitar 13 KM dari kota Tanjung, dengan berkecamatan Tanta. Jumlah penduduk di desa ini
±1858 orang,dengan mata pencaharian rata-rata sebagai petani Karet.
Mayoritas penduduk desa ini iyalah suku dayak, sedangkan suku-suku lain yang berbaur
didalamnya adalah suku Banjar, Batak, Jawa, dll. Selain itu juga hidup brdampingan
masyarakan antar umat beragama. Dalam kehidupan yang berdampingan terikatlah tali
persaudaraan antar suku, agama, dan ras.
Hanya saja di desa ini dudah hampir tak ada lagi yang menganut keyakinan KAHARINGAN.
Pusat kegiatan ekonomi desa ini terletak pada pasar Rabu, yang di kenal dengan sebutan
pasar Bajud, sesuai dengan tempatnya. Disinilah terjadi transaksi dan interaksi antar warga.
Asal-Usul Warukin sendiri berasal dari kata Weruken,yang dulunya adalah tempat
yang banyak terdapat pohon durian/papaken (ma’anyan, yang disukai oleh binatang sejenis
kera yang di sebutnya weruk (ma’anyan).
Tempat ini juga konon katanya diberi nama oleh seseorang pengembara yang mencari tempat
tinggal, dimana untuknya melanjutkan hidup dan mencari makan. Seorang ini sanagat sakti,
Tampan dan Gagah. Dengan Hipet(dayak) yang digunakannya untuk mencari tempat tinggal
ia tembakan dan jatuh tepat ditempat yang banyak di tumbuhi pohon papaken, yang amat
disukai oleh weruk. Maka dijadikannyalah tempat itu sebagai tempat tinggalnya yang
kemudian di beri nama Weruken atau dikenal dengan sebutan Warukin(sekarang).
Sebagaimana suku lainnya, suku dayak di daerah ini juga memiliki kebudayaan dan ritual
serta upacara adat. Misalnya pada saat perkawinan, kematian, upacara ucapan syukur, pesta
panen, dll
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat ini iyalah bahasa ma’anyan, tidak jauh beda
dengan suku dayak yang ada di daerah Bar-tim hanya saja mungkin karena terpengaruh
dengan dialeg sekitar nya maka dialeg dan gaya bicaranya sedikit beda dengan suku dayak
yang ada di Bartim. Setidaknya mungkin karena desa ini adalah satu-satunya pemukiman
masyarakat dayak di daerah tabalong.
Menurut orang Maanyan, sebelum menempati kawasan tempat tinggalnya yang
sekarang, mereka berasal dari hilir (Kalimantan Selatan). Walaupun sekarang wilayah Barito
Timur tidak termasuk dalam wilayah Kalimantan Selatan, tetapi wilayah ini dahulu termasuk
dalam wilayah terakhir Kesultanan Banjar sebelum digabung ke dalam Hindia Belanda tahun
1860 yaitu wilayah Kesultanan Banjar yang telah menyusut dan tidak memiliki akses ke laut,
sebab dikelilingi daerah-daerah Hindia Belanda.
Menurut sastra lisan suku Maanyan, setelah mendapat serangan Marajampahit
(Majapahit) kepada Kerajaan Nan Sarunai, suku ini terpencar-pencar menjadi beberapa
subetnis. Suku terbagi menjadi 7 subetnis, diantaranya :
* Maanyan Paju Epat (murni)
* Maanyan Dayu
* Maanyan Paju Sapuluh (ada pengaruh Banjar)
* Maanyan Benua Lima/Paju Lima (ada pengaruh Banjar)
* Maanyan Tanta (ada pengaruh Banjar)
* dan lain-lain
Adat perkawinan bagunung perak bagi kalangan warga Dayak Manya sepreti di Desa
Warukin Kecamatan Tanta Kabupaten Tabalong sangat sakral. Tidak sembarangan orang
dapat melaksanakan ritual persandingan pengantin yang memerlukan dana cukup besar itu.
Selain kendala biaya dan karena mayoritas warga dayak setempat yang telah memeluk
agama, tidak sembarang orang bisa menggelar ritual itu. Perkawinan adat atau iwurung juee
bagunung perak hanya dapat dilakukan keturunan raja, bangsawan atau orang kaya.
Ritual dimulai dengan kedatangan mempelai lelaki bernama Mangaci ke rumah
mempelai wanita bernama Rohepilina di balai adat desa setempat sekitar pukul 09.30 Wita.
Dalam perkawinan bagunung perak sebenarnya biasanya semua prosesi dilakukan
sore menjelang malam. Sebab pada saat itu semua warga kampung dan tamu undangan yang
datang dari jauh sudah selesai bekerja sehingga dapat meluangkan waktu hadir.
Keluarga mempelai lelaki minta izin masuk dengan berbalas pantun. Setelah
diizinkan, mempelai lelaki melakukan natas banyang atau potong pantan, yakni menggunting
tali dari janur sebagai tanda membuka pagar. Rombongan masuk sambil diiringi tarian dan
musik tradisional, simbol kebahagiaan. Lalu dengan diiringi tarian dan musik keluarga
mempelai dikawal penari dan balian bawo masuk ke rumah mempelai wanita. Balian bawo
lalu berhenti di depan pintu dan menyapa keluarga wanita dalam bahasa manyan sebelum
masuk dan seperti ritual adat lainnya, dilakukan musyawarah saat pembicaraan lamaran yang
disebut ngusul pakat atau mufakat. Tahapan ini dilakukan setelah acara dibuka oleh tetua adat
dengan minum bersama tuak air tapai ketan yang dicampur sedikit merica dan pewarna daun
pandan.
Setelah didapat kata sepakat, maka pengulu adat yang bertugas menikahkan pasangan
tersebut menyatakan pemenuhan hukum adat sesuai dengan hukum yang sudah diatur dan
dijalankan. Pasangan mempelai pun siap disandingkan di pelaminan yang disangga kepala
kerbau.
Mereka sudah cantik dan gagah mengenakan pakaian pengantin dayak dari beludru
hitam bermotif flora nuansa keemasan. Di rambut mereka juga tersemat bulu elang sebagai
simbol kejantanan dan kebangsawanan. Dengan bersandingnya kedua mempelai, prosesi
hampir selesai. Sebab setelah dilakukan saki pilah atau pemalasan pengantin agar direstui
Shang Hiyang Bihatara, kedua mempelai resmi diserahkan oleh keluarga masing-masing.
Warga suku Dayak di wilayah Kabupaten Balangan rutin menggelar upacara adat
untuk mengirim doa kepada roh para leluhurnya. Perhelatan yang termasuk langka dan jarang
digelar di Provinsi Kalimantan Selatan ini diberi nama adat Mambatur. Masyarakat
Kecamatan Halong mayoritas merupakan masyarakat Dayak yang disebut Dayak Halong
sesuai dengan nama lokasi daerah tempat tinggal mereka. Masyarakat Dayak Halong sangat
memegang teguh adat istiadat nenek moyang mereka, hal ini dapat dilihat dengan adanya
beberapa acara adat yang sering dilakasanaka masyarakat setempat seperti :
1. Aruh Membatur
Aruh Mambatur merupakan sebuah acara penghormatan atas keluarga yang telah
meninggal selama empat hari empat malam. Aruh Mambatur yang dilaksanakan
untuk memperingati seratus hari kematian memerlukan hewan kurban berupa
kambing, sedangkan upacara Aruh Mambatur yang ditujukan untuk memperingati
seribu hari kematian memerlukan hewan kerbau. Dalam prosesinya (pembuatan
nisan) jika yang meninggal adalah petinggi adat, misalnya ketua atau tokoh adat
serta balian atau tabib, maka nisan (batur) diukir menyerupai wajah manusia,
kalau yang meninggal orang biasa, nisan cukup dipahat dengan bentuk bunga atau
tumbuhan.
2. Aruh Baharin
Aruh Baharin merupakan pesta syukuran yang dilakukan keluarga besar terdiri
dari 25 keluarga karena hasil panen padi di pahumaan (perladangan) mereka
berhasil dengan baik. Pesta yang berlangsung tujuh hari itu terasa sakral karena
para balian yang seluruhnya delapan orang, setiap malam menggelar prosesi ritual
pemanggilan roh leluhur untuk ikut hadir dalam pesta tersebut dan menikmati
sesaji yang dipersembahkan. Prosesi berlangsung pada empat tempat pemujaan di
balai yang dibangun dengan ukuran sekitar 10 meter x 10 meter. Prosesi puncak
dari ritual ini terjadi pada malam ketiga hingga keenam di mana para balian
melakukan proses batandik (menari) mengelilingi tempat pemujaan. Para balian
seperti kerasukan saat batandik terus berlangsung hingga larut malam dengan
diiringi bunyi gamelan dan gong.
Suku Dayak Pitap merupakanMasyarakat AdatDayak yang biasanya dikategorikan
sebagai bagian dari suku Dayak Meratus atau suku Dayak Bukit yang mendiami Kecamatan
Awayan, Kabupaten Balangan. Suku Dayak Pitap merupakan sebutan bagi kelompok
masyarakat yang terikat secara keturunan dan aturan adat, mendiami kawasan disekitar hulu-
hulu Sungai Pitap dan anak sungai lainnya. Sungai Pitap tersebut sendiri awalnya bernama
Sungai Kitab. Menurut keyakinan mereka, ditanah merekalah turunnya kitab yang menjadi
rebutan. Oleh datu mereka supaya ajaran kitab tersebut selalu ada maka kitab tersebut
ditelan/dimakan atau dalam
istilah mereka dipitapkan, sehingga ajaran agama mereka akan selalu ada di hati dan di akal
pikiran. Kata kitab pun akhirnya berubah menjadi pitap sehingga nama sungai dan
masyarakat yang tinggal kawasan tersebut berubah menjadi Pitap. Sedangkan sebutan Dayak
mengacu pada kesukuan mereka. Oleh beberapa literatur mereka dimasukkan kedalam
rumpun Dayak Bukit, namun pada kenyataanya mereka lebih senang disebut sebagai orang
Pitap atau Dayak Pitap, ini juga terjadi pada daerah-daerah lain di Meratus.Para leluhur
masyarakat Dayak Pitap mula-mula tinggal di daerah Tanah Hidup, yaitu daerah perbatasan
antara Kabupaten Balangan dengan Kabupaten Kotabaru (dipuncak Pegunungan Meratus).
Tanah Hidup menjadi wilayah tanah keramat yang diyakini sebagai daerah asal mula leluhur
mereka hidup.
Secara administratif, permukiman Dayak Pitap berada di wilayah 3 desa yakni Desa Dayak
Pitap, Desa Langkap dan Desa Miyanau (1 RT) Kecamatan Awayan Kabupaten Balangan,
semula sebelum keluar Undang-Undang Nomortentang Pembentukan Kabupaten Tanah
Bumbu dan Kabupaten Balangan berada di Kabupaten Hulu Sungai Utara.Semula suku
Dayak Pitap memiliki pemerintahan sendiri dengan pusat pemerintahan berada di Langkap.
Dengan adanya peraturansistem pemerintahandesa pada tahun 1979, dibentuk pemerintahan
desa Dayak Pitap dengan pusat pemerintahan waktu itu berada di Langkap. Wilayah Dayak
Pitap terbagi terdiri dari 5
kampung besar yaitu :
1. Langkap
2. Iyam
3. Ajung
4. Panikin
5. Kambiyain
Kemudian pada tahun 1982 wilayah Dayak Pitap dibagi menjadi 5 desa, berdasarkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1980 tentang Pedoman Pembentukan,
Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Kelurahan sertaPeraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 4Tahun 1981 tentang Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Desa.
Selanjutnya berdasarkan SK Camat Tahun 1993Kampung Ajung digabung ke Iyam. Tahun
1998Kampung Iyam dan Kampung Kambiyain digabungkan jadi satu dengan Kampung
Ajung dengan pusat pemerintahan di Ajung Hilir.
Selain di Halong dayak Warukin, Tabalong ada juga upacara kematian disebut Mia atau
Mambatur, yaitu membuat tanda kubur dari
kayu ulin. Ritual tersebut memiliki beberapa tingkatan, antara lain berdasarkan lamanya
waktu dan pembiayaan. Upacara menguburkan satu hari disebut ngatang, yaitu membuat
kubur satu tingkat. Dalam kaitan ini, ada tradisi siwah pada hari ke-40 setelah kematian.
Pembuatan batur satu tingkat ini disebut juga wara atau mambatur kecil. Proses mambatur
ada pula yang dijalankan selama lima hari disertai dengan pengorbanan kerbau dan pendirian
balontang, yakni patung si warga yang meninggal. Prosesi itu biasanya dilaksanakan dengan
mengundang semua warga. Sebagai kelanjutan “mambatur” biasanya dilangsungkan
mambuntang sebagai upacara terakhir. Kepala Adat Desa Warukin Rumbun mengatakan,
aruh mambuntang yang sederhana disebut buntang pujamanta. Ritual ini h
anya mengorbankan kambing, babi, dan ayam.
Untuk ritual yang lebih “bergengsi”, buntang pujamea diwarnai dengan pengorbanan kerbau.
Perbedaan antara mambatur dan balontang adalah dari segi mantra dan balian atau rohaniwan
Kaharingan yang melaksanakannya. Perbedaan lain, patung balontang diarahkan ke barat
sebagai simbol arah alam kematian, sedangkan pada mambuntang patung diarahkan ke timur
sebagai simbol kehidupan.
• Tarian Gintor dan Wadian I Balian terdapat di kecamatan Halong
Balian adalah sebutan upacara pengobatan pada Suku Dayak Balangan (bagian dari Suku
Dayak Maanyan) di Kabupaten Balangan dan Suku Dayak Bukit di Kalimantan Selatan. Suku
Dayak Balangan memiliki upacara balian bulat. Tradisi balian ini dibuat menjadi suatu
atraksi kesenian yang disebut Tari Tandik Balian. Bagi masyarakat Suku Dayak, khususnya
di wilayah pedalaman, komunikasi dengan roh leluhur menjadi salah satu ritual untuk
menjaga keseimbangan dengan alam. Komunikasi tersebut bisa dilakukan dengan ritual
khusus yang bisa dilakukan oleh orang-orang khusus.
Keseimbangan itu akan tercapai manakala komunikasi dengan lingkungan, tidak terputus.
Bahkan komunitas masyarakat Suku Dayak juga me
mercayai bahwa keseimbangan alam akan masih sangat terjaga ketika roh leluhur ikut
menjaganya. Kearifan Suku Dayak untuk menjaga lingkungan turun temurun sebenarnya
menjadi bagian dari kehidupan yang sudah dibina sejak dahulu. Hanya, egoisme dan alasan
untuk bertahan hidup menjadikan banyak sisi lingkungan harus dikalahkan. Berbagai masalah
pun timbul. Musibah serangan penyakit, malapetaka dan bencana alam pun terjadi. Tidak ada
lagi penghormatan terhadap leluhur untuk ikut menjaga, karena ulah manusia yang tak lagi
arif menjaga komunikasi. Balian, dipercaya memiliki kemampuan untuk berkomunikasi
dengan roh-roh leluhur. Komunikasi itu bisa melalui tarian atau komunikasi verbal. Tari
dipercaya menjadi media, dengan pukulan alat musik yang disajikan da
pat menjadi penghubung untuk sebuah pola komunikasi.
Masyarakat S
uku Dayak mengenal balian saat akan melakukan komunikasi dengan roh-roh leluhur.
Biasanya saat berkaitan dengan ritual penyembuhan penyakit, ritual untuk membersihkan
kampung dari berbagai kemungkinan petaka, atau berbagai keperluan lainnya. Balian juga
menjadi perantara hubungan antara pihak yang memerlukan bantuan untuk diobati atau
keperluan lainnya dengan roh-roh leluhur yang dipanggil dalam kaitannya dengan ritual
tersebut, sehingga keperluan untuk ritual itu bisa berjalan sesuai harapan.
Ritual yang dilakukan balian biasanya menggunakan media berupa tarian dan atau gerakan-
gerakan serta bunyi-bunyian tetabuhan dan peralatan musik
pengiring tarian yang dimainkan oleh para pemain musik dalam ritual tersebut. Karena itu,
ritual tersebut sangat akrab dengan kehidupan masyarakat Suku Dayak di wilayah pedalaman.
Lebih-lebih untuk tetap menjaga keseimbangan alam dan berbagai pola kehidupan yang
berlangsung di dunia fana ini.
Balian juga menjadi bagian dari sebuah ritual dan bertindak sebagai pawang atau basir
(perantara adat, Red) yang memiliki kemampuan untuk menjaga komunikasi dengan dunia
leluhur sehingga keseimbangan dapat terus terjaga dan terbina langgeng. Keseimbangan
antara kehidupan fana dan dunia para leluhur akan dapat terjaga manakala dua dunia yang
berlainan itu dapat saling menjaga keseimbang
an. Sejauh ini, manusia menjaga alam dan ritual leluhur dan leluhur pun akan menjaga
keseimbangan alam tempat manusia hidup.
• Aruh Adat Baharin
Lima balian (tokoh adat) yang memimpin upacara ritual terlihat berlari kecil sambil
membunyikan gelang hiang (gelang terbuat dari tembaga kuningan) mengelilingi salah satu
tempat pemujaan di balai depan rumah milik Ayi, warga Desa Kapul, Kecamatan Halong,
Kabup
aten Balangan, Kalimantan Selatan.
Hampir semua warga Dayak setempat, bahkan warga dari beberapa kampung lainnya, hadir
mengikuti ritual adat tua yang masih dilestarikan dan dipertahankan di kecamatan yang
terletak sekitar 250 kilometer utara Banjarmasin, ibu kota Kalimantan Selatan. Mereka larut
menyaksikan para balian itu saat bamamang (membaca mantra) memanggil para dewa dan
leluhur.
Prosesi adat ini dikenal dengan Aruh Baharin, pesta syukuran yang dilakukan keluarga besar
terdiri dari 25 keluarga tersebut karena hasil panen padi di pahumaan (perladangan) mereka
berhasil dengan baik. Pesta yang berlangsung tujuh hari itu terasa sakral karena para balian
yang seluruhnya delapan orang itu setiap malam menggelar prosesi ritual pemanggilan roh
leluhur untuk ikut hadir dalam pesta tersebut dan menikmati sesaji yang dipersembahkan.
Prosesi berlangsung pada empat tempat pemujaan di balai yang dibangun sekitar 10 meter x
10 meter. Prosesi puncak dari ritual ini terjadi pada malam ketiga hingga keenam di mana
para balian melakukan proses batandik (menari) mengelilingi tempat pemujaan. Para balian
seperti kerasukan saat batandik terus berlangsung hingga larut malam dengan diiringi bunyi
gamelan dan gong.
Sebelum prosesi itu berlangsung, ibu-ibu dan remaja wanita yang secara khas mengenakan
tapih bahalai (kain batik) terlihat sibuk membersihkan ber
as, membuat ketupat, memasak sayur, serta memasak lemang yang menjadi pemandangan
awal kesibukan mempersiapk
an ritual ini. Sementara para lelaki terlihat mengenakan sentara parang dan mandau di
pinggang. Mereka bukan hendak berperang, tetapi itu harus dikenakan saat mereka
mempersiapkan janur pemujaan, mengangkut kayu bakar, dan memasak nasi. Kesibukan
memasak ini berlangsung setiap hari selama ritual berlangsung.
Sedangkan kegiatan proses Aruh Baharin, kata Narang, balian yang tinggal di Desa Kapul
dipersiapkan oleh para balian. Prosesi tersebut berlangsung beberapa hari karena ada
beberapa pemanggilan roh leluhur yang harus dilakukan sesuai jumlah tempat pemujaan.
itual pembuka, jelasnya, prosesinya disebut Balai Tumarang di mana pemanggilan roh
sejumlah raja, termasuk beberapa raja Jawa,
yang pernah memiliki kekuasaan hingga ke daerah mereka. Selanjutnya, melakukan ritual
Sampan Dulang atau Kelong. Ritual ini memanggil
leluhur Dayak, yakni Balian Jaya yang dikenal dengan sebutan Nini Uri. Berikutnya, Hyang
Lembang, ini proses ritual terkait dengan ra
ja- raja dari Kerajaan Banjar masa lampau.
Pengertian Perkawinan Menurut Adat
Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai
”peikatan perdata”, tetapi juga merupakan ”perikatan Adat” dan sekaligus merupakan
perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan
semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan Keperdataan, seperti hak dan
kewajuban suani isteri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi
juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan,
keketanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Begitu juga
menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan keagaamaan, baik dalam hubungan
manusia dengan Tuhannya (ibadah) maupun hubungan manusia dengan sesama manusia
(muamalah) dalam pergaulan hidup agar selamat didunia dan diakhirat.
Perkawinan dalam arti ”perikatan adat” ialah perkawina yang mempunyai akibat hukum
terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan[1]. Akibat hukum ini
telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, misalnya dengan adanya hubungan pelamaran
yang merupakan hubungan antara orang tua keluarga dari para calon suami isteri. Setelah
terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban orang tua menurut hukum
adat setempat, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta
membina dan memlihara perukunan, keutuhan dan kelanggengan dari kehidupan anak-anak
mereka yang terikat dalam perkawinan.
* Maanyan Paju Epat (murni)
* Maanyan Dayu
* Maanyan Paju Sapuluh (ada pengaruh Banjar)
* Maanyan Benua Lima/Paju Lima (ada pengaruh Banjar)
* Maanyan Tanta (ada pengaruh Banjar)
* dan lain-lain
Keunikan Suku Dusun Maanyan, antara lain mereka mempraktikkan ritus pertanian, upacara
kematian yang rumit, serta memanggil dukun (balian) untuk mengobati penyakit mereka.
1. Kematian
Makam suku Maanyan menunjukkan hierarki sosial. Jajaran makam kaum bangsawan
terletak di hulu sungai, disusul ke arah hilir untuk makam kaum tentara, penduduk biasa, dan
yang paling hilir adalah makam untuk kaum budak.indonesia
pada hari minggu tgl 27 april 2008 di
desa warukin, kabupaten tabalong, kalimantan selatan akan ada simulasi
perkawinan adat dayak (begunung perak) yang di prakarsai oleh masyarakat
setempat. Konon acara ini di adakan untuk menggali kembali kebudayaan dayak
yang sudah hampir punah. Dalam meuwujudkan simulasi ini panitia melibatkan
berbagai suku yang hidup beriringan disekitarnya, termasuk didalamnya suku
banjar dan suku jawa.
Begunung perak adalah prosesi perkawinan adat dayak kalsel yang hampir punah.
Perkawinan adat dayak ini menurut ketua adat setempat diadakan terakhir pada
tahun 1983. Sebenarnya saya juga gak begitu ngerti tentang begunungan perak,
ini jelas membuat saya penasaran sekaligus deg-degan.
Desa warukin terletak di kabupaten tabalong, kalimantan selatan. Dari
Banjarmasin 6 jam driving (kalo jalanan lancar, ada titik2
kemacetan pada siang hari), arah ke utara melalui jalan lintas propinsi menuju
ke balikpapan. Untuk akses darat bisa menggunakan bus jurusan balikpapan di
sore sampai malam hari, atau menggunakan angkot. Akses udara bisa menggunakan
pelita air dengan durasi + 45 menit pada jam 12.30 siang (hari minggu off),
Sedangkan untuk akses air bisa menggunakan speed boat dari pelabuhan trisakti
(banjarmasin) + 4-5jam. Tapi sayang untuk menuju ke lokasi tidak ada
transportasi umum. Untuk akses darat dan udara hanya bisa sampai jalan lintas
propinsi saja. Apalagi dengan akses sungai hanya bisa sampai di daerah kelanis
( 1,5jam kearah barat warukin).
Adat perkawinan bagunung perak bagi kalangan warga Dayak Manya sepreti di Desa
Warukin Kecamatan Tanta Kabupaten Tabalong sangat sakral. Tidak sembarangan orang
dapat melaksanakan ritual persandingan pengantin yang memerlukan dana cukup besar itu.
Tapi Minggu (27/4), warga dayak Warukin mempertontonkan tahapan adat dalam
perkawinan bagunung perak yang langka karena sudah lebih lima puluh tahun tidak pernah
digelar lagi.
Selain kendala biaya dan karena mayoritas warga dayak setempat yang telah memeluk
agama, tidak sembarang orang bisa menggelar ritual itu. Perkawinan adat atau iwurung juee
bagunung perak hanya dapat dilakukan keturunan raja, bangsawan atau orang kaya.
Bila dalam garis keturunan tidak pernah ada yang melaksanakan, maka anak cucunya juga
tidak boleh atau akan terkena bala. Acara kemarin merupakan upaya mengangkat khasanah
budaya dayak yang langka itu, yang dibesut Bagian Pariwisata Kabupaten Tabalong bekerja
sama dengan perusahaan swasta (PT Adaro Indonesia) melalui dana community development
(CD)nya.
Ritual dimulai dengan kedatangan mempelai lelaki bernama Mangaci ke rumah mempelai
wanita bernama Rohepilina di balai adat desa setempat sekitar pukul 09.30 Wita.
Dalam perkawinan bagunung perak sebenarnya biasanya semua prosesi dilakukan sore
menjelang malam. Sebab pada saat itu semua warga kampung dan tamu undangan yang
datang dari jauh sudah selesai bekerja sehingga dapat meluangkan waktu hadir.
Keluarga mempelai lelaki minta izin masuk dengan berbalas pantun. Setelah diizinkan,
mempelai lelaki melakukan natas banyang atau potong pantan, yakni menggunting tali dari
janur sebagai tanda membuka pagar. Rombongan masuk sambil diiringi tarian dan musik
tradisional, simbol kebahagiaan.
Lalu dengan diiringi tarian dan musik keluarga mempelai dikawal penari dan balian bawo
masuk ke rumah mempelai wanita. Balian bawo lalu berhenti di depan pintu dan menyapa
keluarga wanita dalam bahasa manyan sebelum masuk.
Dan seperti ritual adat lainnya, dilakukan musyawarah saat pembicaraan lamaran yang
disebut ngusul pakat atau mufakat. Tahapan ini dilakukan setelah acara dibuka oleh tetua adat
dengan minum bersama tuak air tapai ketan yang dicampur sedikit merica dan pewarna daun
pandan.
Setelah didapat kata sepakat, maka pengulu adat yang bertugas menikahkan pasangan
tersebut menyatakan pemenuhan hukum adat sesuai dengan hukum yang sudah diatur dan
dijalankan. Pasangan mempelai pun siap disandingkan di pelaminan yang disangga kepala
kerbau.
Mereka sudah cantik dan gagah mengenakan pakaian pengantin dayak dari beludru hitam
bermotif flora nuansa keemasan. Di rambut mereka juga tersemat bulu elang sebagai simbol
kejantanan dan kebangsawanan.
Dengan bersandingnya kedua mempelai, prosesi hampir selesai. Sebab setelah dilakukan saki
pilah atau pemalasan pengantin agar direstui Shang Hiyang Bihatara, kedua mempelai resmi
diserahkan oleh keluarga masing-masing.
Linkwithin
Tari Tandik Balian
Suku Dayak Warukin (Tabalong-Kalsel) merupakan salah satu subsuku Dayak Maanyan
yang memiliki upacara balian bulat. Tradisi balian ini dibuat menjadi sebuah atraksi kesenian
yang disebut Tari Tandik Balian.
Sekilas Tentang Dayak Warukin
Orang Dayak Warukin adalah suku Maanyan yang terdapat di desa Warukin dan desa Haus,
Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.Pemukiman Dayak Warukin terdapat dalam daerah
kantong/enclave yang disekitarnya adalah daerah pemukiman suku Banjar. Hal ini bisa terjadi
karena dahulu kala daerah di sekitar lembah sungai Tabalong pada umumnya adalah wilayah
tradisonal suku Manyaan, tetapi akhirnya mereka terdesak oleh perkembangan Kerajaan
Negara Dipa yang menjadi cikal bakal suku Banjar. Selanjutnya suku Maanyan terkonsentrasi
di sebelah barat yaitu di wilayah Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah. Dan sebagian
terdapat di sebelah timur yaitu di Kabupaten Kota baru yang disebut Dayak Samihim.Dayak
Warukin di desa Warukin, Kecamatan Tanta, Tabalong merupakan bagian dari Maanyan
Benua Lima. Maanyan Benua Lima merupakan subetnis Maanyan yang terdapat di
kecamatan Benua Lima, Barito Timur. Nama asalnya Maanyan Paju Lima. Istilah “benua”
berasal dari Bahasa Melayu Banjar.Upacara adat rukun kematian Kaharingan pada Dayak
Warukin disebut mambatur. Istilah ini pada subetnis Maanyan Benua Lima pada umumnya
disebut marabia.
UPACARA TIWAH ADAT DAYAK
Upacara Tiwah atau Tiwah Lale atau Magah Salumpuk liau Uluh Matei ialah upacara sakral
terbesar untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju
tempat yang dituju yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu
Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau
yang letaknya di langit ke tujuh.
Perantara dalam upacara ini ialah :
Rawing Tempun Telun, Raja Dohong Bulau atau Mantir Mama Luhing Bungai Raja
Malawung Bulau, yang bertempat tinggal di langit ketiga. Dalam pelaksanaan tugas dan
kewajibannya Rawing Tempun Telun dibantu oleh Telun dan Hamparung, dengan melalui
bermacam-macam rintangan.
Kendaraan yang digunakan oleh Rawing Tempun Telun mengantarkan liau ke Lewu Liau
ialah Banama Balai Rabia, Bulau Pulau Tanduh Nyahu Sali Rabia, Manuk Ambun.
Perjalanan jauh menuju Lewu Liau meli\ewati empat puluh lapisan embun, melalui sungai-
sungai, gunung-gunung, tasik, laut, telaga, jembatan-jembatan yang mungkin saja apabila
pelaksanaan tidak sempurna, Salumpuk liau yang diantar menuju alam baka tersesat.
Pelaksana di pantai danum kalunen dilakukan oleh Basir dan Balian. Untuk lebih memahami
uraian selanjutnya, beberapa istilah perlu diketahui :
ENJONG (Dayak Kaltim)
1. Mengirim tombak yang telah di ikat rotan merah (telah dijernang) berarti menyatakan
perang, dalam bahasa Dayak Ngaju “Asang”.
2. Mengirim sirih dan pinang berarti si pengirim hendak melamar salah seorang gadis yang
ada dalam rumah yang dikirimi sirih dan pinang.
3. Mengirim seligi (salugi) berarti mohon bantuan, kampung dalam bahaya.
4. Mengirim tombak bunu (tombak yang mata tombaknya diberi kapur) berarti mohon
bantuan sebesar mungkin karena bila tidak, seluruh suku akan mendapat bahaya.
5. Mengirim Abu, berarti ada rumah terbakar.
6. Mengirim air dalam seruas bambu berarti ada keluarga yang telah mati tenggelam, harap
lekas datang. Bila ada sanak keluarga yang meninggal karena tenggelam, pada saat
mengabarkan berita duka kepada sanak keluarga, nama korban tidak disebutkan.
7. Mengirim cawat yang dibakar ujungnya berarti salah seorang anggota keluarga yang telah
tua meninggal dunia.
8. Mengirim telor ayam, artinya ada orang datang dari jauh untuk menjual belanga, tempayan
tajau.
9. Daun sawang/jenjuang yang digaris (Cacak Burung) dan digantung di depan rumah, hal ini
menunjukan bahwa dilarang naik/memasuki rumah tersebut karena adanya pantangan adat.
10. Bila ditemukan pohon buah-buahan seperti misalnya langsat, rambutan, dsb, didekat
batangnya ditemukan seligi dan digaris dengan kapur, berarti dilarang mengambil atau
memetik buah yang ada dipohon itu.
Pada dasarnya Upacara (adat) kematian merupakan berbagai jenis upacara (serangkaian) dari
kematian sampai beberapa upacara untuk mengantar adiau/roh ke tumpuk adiau/dunia
akhirat’
Berikut beberapa yang saya ketahui :
1. Ijambe, (baca : Ijamme’) yaitu upacara kematian yang pada intinya pembakaran tulang mati.
Pelaksanaan upacaranya sepuluh hari sepuluh malam. dan membutuhkan biaya yang sangat
besar, dengan hewan korban kerbau, Babi dan Ayam. Karena mahal Upacara ini dilakukan
oleh keluarga besar dan untuk beberapa Orang (tulang yang udah meninggal) atau untuk
beberapa Nama, dulu sering dilakukan di desa nenek saya di desa Warukin, kecamatan Tanta,
Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan
2. Ngadatun, yaitu upacara kematian yang dikhususkan bagi mereka yang meninggal dan
terbunuh (tidak wajar) dalam peperangan atau bagi para pemimpin rakyat yang terkemuka.
Pelaksanaannya tujuh hari tujuh malam.
3. Miya, yaitu upacara membatur yang pelaksanaannya selama lima hari lima malam. kuburan
dihiasi dan lewat upacara ini keluarga masih hidup dapat “mengirim” makanan, pakaian dan
kebutuhan lainnya kepada “adiau” yang sudah meninggal.
4. Bontang, adalah level tertinggi dan “termewah” bentuk penghormatan keluarga yang masih
hidup dengan yang sudah meninggal, upacara ini cukup lama 5 hari lima malam, dengan
biaya luar bisa, “memakan korban “puluhan ekor Babi jumbo dan ratusan ekor ayam
kampung esensinya adalah memberi/mengirim “kesejahteraan dan kemapanan” untuk
roh/adiau yang di”bontang”, upacar ini bukan termasuk upacara duka, tapi sudah berbentuk
upacara sukacita.
5. Nuang Panuk, yaitu upacara mambatur yang setingkat di bawah upacara Miya, karena
pelaksanaannya hanya satu hari satu malam. Dan kuburan si mati pun hanya dibuat batur satu
tingkat saja, di antar kue sesajen khas dayak yaitu tumpi wayu dan lapat wayu dan berbagai
jenis kue lainnya dalam jumlah serba tujuh dan susunan yang cukup rumit
6. Siwah, yaitu kelanjutan dari upacara Mia yang dilaksanakan setelah empat puluh hari sesudah
upacara Mia. Pelaksanaan upacara Siwah ini hanya satu hari satu malam. Inti dari upacara
Siwah adalah pengukuhan kembali roh si mati setelah dipanggil dalam upacara Mia untuk
menjadi pangantu pangantuhu, atau “sahabat” bagi keluarga yang belum meninggal
Yang menarik dari upacara tersebut adalah banyak unsur seninya, baik tumet leut (sajak yang
dilantunkan dengan nada indah tapi tetap, dan tarian tarian khas jaman dulu misalnya giring2
atau nampak maupun nandrik
Upacara tersebut di atas mulai terancam punah, karena keturunan selanjutnya dari Dayak
Maanyan Benua Lima kebanyakan menganut Agama Kristen dan Katolik, lucunya ada
bebrapa yang di”modifikasi” misalnya upacara miya di ganti dengan kebaktian mambatur
versi kristen dan Katolik.
Harapan kita semua, kalapun bukan dalam bentuk kepercayaan, minimal beberapa budaya
dalam bentuk syair, tarian, dll dapat dilestarikan.
MENGENAL SAYUR KHAS DAYAK MAANYAN
Mengenal keragaman sayuran Khas Dayak
Umbut/Uwut
Berbicara tentang sayuran khas Dayak , dalam hal ini adalah Dayak Maanyan (dayak lain
setali 3 uang), maka yang pertama dibicarakan adalah sayur umbut , dalam bahasa Maanyan
disebut “uwut”.
Uwut adalah bagian yang lunak dan muda dari batang palmae atau rotan, atau dari tumbuhan
perdu sejenis jahe jahean. Umbut dahulu dikenal masyarakat dayak karena mudah
memperolehnya, sebab tidak perlu di tanam, hanya mengambil yang tersedia di hutan. Ada
beberapa jenis Uwut yang sering di Konsumsi masyarakat Dayak Maanyan
1. Uwut dari jenis Palmae : terdiri dari uwut sawit, uwut kelapa, uwut rumbia, uwut
pinang, uwut wulang, uwut damuran. Uwut uwut dari golongan palmae ini biasanya
cara memasaknya di campur dengan daging, tulang atau ayam, dengan bumbu kuning
atau merah, kadang kadang di kasih santan juga.
Uwut sawit (kelapa sawit) adalah uwut yang paling terkenal dan hampir dikenal berbagai
suku bangsa di Indonesia, uwut ini biasanya jadi sayur pada acara acara besar seperti
syukuran, pernikahan, dan acara lainnya
Uwut Kelapa/uwut Nyiui hampir sama dengan uwut sawit, tapi seratnya lebih halus dan
rasanya lebih manis, paling enak di masak dengan ayam kampung dengan bumbu kuning atau
opor dan diberi santan. Uwut ini jarang diperoleh, karena siempunya pohon kelapa terlanjur
sayang dengan pohon kelapanya kalau diambil umbutnya,kelapa pasti mati dan tidak akan
berbuah lagi. Seringkali uwut kelapa ini di ambil pada acara acara insidental, misalnya pada
saat orang meninggal dunia.
Uwut Rumbia atau biasa disebut uwut amiye’, adalah uwut yang diambil dari pohon rumbia.
Uwut ini seratnya agak kasar, dan bergetah, jadi harus lebih hati hati dan bersih dalam
pengolahannya. Dayak Maanyan mengenal 2 jenis rumbia, yaitu rumbia/amiye sagu yaitu
rumbia yang habitusnya besar, dan tujuannya penananamnya adalah untuk mendapatkan
sagu, jenis kedua adalah rumbia/amiye dariyangau, jenis rumbia kecil, dan tidak bisa
menjulang tinggi, karena batangnya biasa melingkar. Rumbia ini ditanam untuk diambil
umbutnya dan daunnya yang akan diolah menjadi atap.
Uwut Wulang adalah uwut yang diambil dari sejenis palmae yang cukup tinggi, yang hidup
di daerah hutan dataran tinggi atau hutan dipterocarpacea, sepengatahuan saya jenis palmae
ini hidup di hutan dipterokarpae (hutan yang didominasi oleh kayu dari Fam
Dipterocarpaceae, atau jenis meranti) di Kalimantan. Uwut ini rasanya persis uwut kelapa,
juga enak dibuat sayur bening.
Uwut damuran adalah uwut yang didapat dari sejenis salak hutan yang tumbuh di rawa rawa
non gambut di Kalimantan, uwut ini sangat susah mengambilnya karena duri duri damuran
sangat panjang, tajam dan berbahaya. Namun hasilnya sebanding dengan perjuangan,
umbutnya enaknya luar biasa.
2.Dari Jenis Rotan
Umbut Rotan merupakan kekayaan bersama semua sun suku Dayak, oleh karena itu saya
hanya menyampaikan yang dikenal masyarakat dayak Maanyan saja
Masyarakat tradisional dayak Maanyan mengenal bebarapa jenis Umbut Rotan atau uwut
(saja), yiatu uwut nange, uwut sakulu, uwut gamis, dan uwut manau, uwut Ra’anan (kalau
dayak Ngaju daftar uwut rotannya 3 kali lebih panjang)
Semua jenis uwut ini merupakan bagian yang muda dan lunak (bakal batang rotan yang
belum keras) yang terdapat pada bagian dekat pucuk dari berbagai jenis rotan.
Uwut Nange atau rotan merah merupakan uwut yang paling terkenal, rotan ini memang
ditakdirkan untuk diambil umbutnya(uwutnya) karena batang rotannya tidak komersil. Rotan
ini tumbuh berbentuk rumpun di daerah yang berawa atau dataran rendah yang selalu basah
atau dipinggiran sungai. Uwut ini bisa dimasak dengan bumbu minimalis (bahasa dayak
Ngaju di juhu, atau bahasa maanyan na papahak) dicampur dengan (maaf) Babi tau Babi
hutan, namun bisa juga di masak dengan bumbu kuning dengan campuran tulang kambing,
tulang sapi, tulang babi, atau tulang rusa (asal jangan Tulang Batak aja ha ha ha). Namun
enak juga dimasak dengan campuran ikan sungai (bukan ikan budidaya atau ikan laut). Di
beberapa tempat/desa umbut ini diiris miring tipis lalu dioseng dengan terasi atau ebi, enak
sekali.
Uwut Sakulu, merupakan jenis umbut yang rasanya pahit, namun sangat disukai masyarakat
Dayak Maanyan, semua Dayak di Kasel dan Kaltim. Sakulu jenis rotan yang batangnya non
komersil biasanya tumbuh di tanah kering. Ada dua jenis sakulu, yang pertama sakulu
Kutuan adalah sakulu yang tumbuh subur di hutan hutan, batangnya lebih besar dan rasanya
lebih pahit, yang kedua adalah sakulu lasi, adalah sakulu yang tumbuh di areal yang masih
mengalami suksesi untuk menjadi hutan sekunder, sakulu jenis ini biasanya pendek dan
terpapar sinar matahari langsug akibat karena tidak ada kayu besar di sekitarnya. Umbut
sakulu ini rasanya jauh lebih enak, dan biasanya di makan mentah (seperti Lalapan orang
Sunda). Uwut sakulu selain bisa di oseng seperti uwut nange, juga sangat enak dimasak
dengan wadi, baik wadi daging (maaf lagi..) Babi maupun wadi ikan.
Uwut Gamis adalah jenis uwut yang diambil dari rotan yang kecil, buah rotan ini sangat enak
di makan, berwarna kuning, dan dagingnya seperti lendir (he he he). Rasanya sangat manis,
enak di makan sebagai lalapan dengan sambal atau wadi (lagi lagi)
Uwut manau dan ra’anan adalah jenis uwut yang diambil dari rotan jenis manau dan ra’anan,
rotan jenis ini adalah rotan yang komersil dan laku dijual sebagai bahan baku pembuatan
lemari kursi bahkan tempat tidur, hanya saja rasa uwutnya kurang enak di bandingkan dengan
jenis lain
3.Uwut tumbuhan perdu (jahe jahean)
Masyarakat dayak Maanyan hanya mengenal 2 jenis yaitu umbut lauah atau lengkuas dan
uwut pu,ai (sejenis jahe jahean hutan yang besar dan panjang). Umbut didapatkan dari bagian
lunak dalam batang muda jenis jahe jahean ini. Biasanya di sayur sendiri, walaupun sering
juga di campur dengan ikan air tawar. Sementara Dayak Ngaju jauh lebih kaya dengan jenis
jenis umbut jahe jahean, yang paling fonemenal adalah jenis jahe2an yang saya lupa
namanya (mirip lengkuas, ada yang berdaun merah maupun hijau), yang umbutnya diambil,
lalu di haluskan mentah dengan daging ikan yang sudah dipanggang atau digoreng, baunya
sangat khas dan harum, dan konon bagi penggemarnya, hidangan ini bikin yang makan tidak
sadar akan kehadiran mertua lagi yang lalu lalang sambil ngomel, saking enaknya (makanya
saya bilang fonemenal
Top Related