Download - Arsitektur Bangunan Kota Palembang

Transcript
  • 1

    PENGARUH KEBUDAYAAN ASING TERHADAP ARSITEKTUR BANGUNAN

    KOTA PALEMBANG

    Oleh, M.Baried Izhom 0806328562

    Departemen Geografi

    Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam

    Universitas Indonesia

    2011

    ABSTRAK

    Proses akulturasi adalah suatu proses interaktif dan berkesinambungan yang

    berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran atau pendatang dengan

    lingkungan sosio-budaya yang baru. Salah satu bentuk adanya komunikasi dalam

    sebuah akulturasi budaya dapat dilihat pada hasil peninggalan berupa artefak-artefak,

    baik berupa karya seni rupa maupun arsitektur bangunan yang ada di suatu daerah.

    Palembang merupakan salah satu wilayah yang memiliki berbagai bangunan dengan

    akulturasi dari beberapa kebudayaan. Dengan menggunakan data hasil observasi

    lapangan dan studi literatur, penelitian ini bertujuan dalam mengungkap pengaruh

    kebudayaan asing yang dilihat dari hasil-hasil akulturasi kebudayaan lokal dengan

    kebudayaan asing. Palembang merupakan sebuah kota dengan kondisi geografis yang

    memberikan peluang bagi masuknya kebudayaan asing seperti Arab, Cina, dan Eropa

    melalui kegiatan perniagaan dan kolonialisasi, yakni dengan keberadaan Sungai Musi di

    kota ini. Berdasarkan hasil yang didapatkan dari penelitian ini, kebudayaan asing yang

    datang tersebut memberikan akulturasi, baik dari aspek interior maupun eksterior

    bagunan yang saling mengisi satu sama lainnya yang menawarkan keindahan yang

    datang hingga saat ini.

    Kata Kunci: akulturasi, arsitektur, budaya asing, interior, eksterior, sejarah.

    PENDAHULUAN

    Pada hakekatnya Geografi tidak hanya membahas mengenai aspek fisik berupa

    proses dan fenomena yang terjadi di muka bumi, tetapi Geografi juga membahas akan

    aspek sosial seperti manusia maupun kota. Manusia merupakan makhluk sosial, yang

    tidak dapat hidup tanpa orang lain. Manusia saling mengisi satu sama lain membentuk

    permukiman-permukiman kecil yang lambat laun berubah menjadi sebuah kota.

    Kebutuhan manusia pun semakin bertambah, hal ini mendorong manusia untuk selalu

    berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Akibat setiap daerah memiliki

    karakteristik yang berbeda seperti dalam hal sumberdaya, manusia berusaha memenuhi

  • 2

    kebutuhan hidupnya mencari lokasi-lokasi yang menyediakan kebutuhan tersebut.

    Seiring perjalananya, kebudayaan yang merupakan hasil dari daya fikir manusia mulai

    muncul dan berkembang di setiap kelompok-kelompok masyarakat dimana kebudayaan

    tersebut berkembang dari generasi ke generasi. Kebudayaan tersebut juga terbawa

    ketika manusia mencari lokasi-lokasi baru yang dapat memenuhi kebutuhannya. Hal ini

    dapat terlihat dari hasil-hasil kebudayaan mereka yang tercampur dengan kebudayaan

    lokal. Kota Palembang yang merupakan salah satu destinasi perdagangan dari warga

    asing dimasa lampau. Dengan adanya interaksi warga asing, kebudayaan asing tersebut

    mau tidak mau akan terbawa ke Palembang dan berpengaruh terhadap kebudayaan asli,

    seperti yang terlihat arsitektur bangunan. Atas dasar itu, penulis berusaha mengungkap

    interaksi kebudayaan asing serta hasil interaksi tersebut yang berimplikasi terhadap

    arsitktur bangunan.

    Untuk mengidentifikasi proses interaksi kebudayaan asing dan pengaruh

    kebudayaan tersebut terhadap arsitektur bangunan yang ada di Kota Palembang, maka

    dibutuhkan apa yang disebut dengan pendekatan Geografi. Pendekatan Geografi dapat

    diartikan sebagai suatu metode atau cara analisis untuk memahami berbagai gejala dan

    fenomena di ruang muka bumi, khususnya interaksi antara manusia terhadap

    lingkungannya (Hagget, 2001). Dimana pendekatan tersebut terbagi atas pendekatan

    keruangan, pendekatan ekologi, serta pendekatan kompleks wilayah. Pendekatan yang

    dipakai untuk mengetahui interaksi kebudayaan asing terhadap kebudayaan Palembang

    terkait dengan arsitektur bangunan adalah pendekatan keruangan. Pendekatan ini

    menilai lokasi atau ruang dari sudut pandang penyebaran penggunaannya dan

    penyediaannya untuk berbagai keperluan. Eksisitensi ruang dalam perspektif geografi

    dapat dipandang dari struktur (spatial structure), pola (spatial pattern), dan proses

    (spatial processess) (Yunus, 1997).

    Untuk mengungkap interaksi kebudayaan asing di Kota Palembang, maka data

    atau informasi yang dibutuhkan dapat diperoleh dari daerah-daerah dikota Palembang

    yang memiliki bangunan-bangunan yang khas dengan akulturasi dari berbagai

    kebudayaan serta studi literatur mengenai akulturasi yang ada pada bangunan tersebut.

    Metode yang digunakan dalam pengumpulan data terfokus pada teknik observasi dan

    wawancara, baik dengan warga maupun instansi terkait, serta rekonstruksi sejarah

  • 3

    secara temporal melalui teknik time line. Selain itu dilakukan pula diskusi seperti

    dengan pihak Badan Perencanaan Daerah Kota Palembang, Dinas Perhubungan Kota

    Palembang, PDAM Kota Palembang serta Universitas Sriwijaya.

    KONSEP SEBUAH KOTA

    Kota dapat diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

    ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial-

    ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistis (Bintoro, 1989). Salah satu

    kajian tentang wilayah perkotaan adalah mengenai struktur kota. Struktur kota

    merupakan gambaran dari distribusi tata guna tanah dan sistem jaringan dari suatu kota

    (Jayadinata, 1999). Selain pola jaringan transportasi, terdapat elemen dari struktur kota

    lainnya, yaitu wilayah penggunaan tanah yang berperan sebagai pusat-pusat kegiatan

    aktivitas serta hunian bagi masyarakat.

    Layaknya makhluk hidup, sebuah kota juga mengalami tumbuh dan

    berkembang, dimana memiliki tahapan pembangunan dari mulai awal terbentuknya

    hingga saat ini. Terdapat beberapa unsur yang mempengaruhi tumbuh dan

    berkembangnya kota, antara lain keadaan geografis, tapak (site), fungsi yang diembang

    kota, sejarah, dan kebudayaan. Dimana unsur-unsur tersebut saling mempengaruhi satu

    sama lain (Branch, 1995). Hal lain yang perlu ditekankan dalam suatu perkembangan

    adalah kota tidak pula terlepas dari pengaruh fisik dan wilayah dari kota tersebut.

    Pengaruh fisik dan wilayah tersebut mempengaruhi awal dari terbentuknya suatu kota.

    Kondisi fisik tersebut antara lain daerah pesisir, dataran rendah, maupun dataran tinggi.

    Oleh karena itu sejarah yang ada dari suatu kota tidak terlepas dari kerangka topografis

    berupa pengaruh fisik dan wilayah kota tersebut.

    PROSES TERJADINYA AKULTURASI

    Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa suatu kota pasti memiliki kawasan bersejarah,

    dimana kawasan bersejarah merupakan suatu kawasan yang didalamnya terdapat

    berbagai peninggalan masa lampau dari terbentuknya suatu kota, baik berupa wujud

    fisik historis maupun berupa nilai dan pola hidup masyarakatnya, serta kepercayaannya

    (Wijarnaka, 2005). Wujud fisik dari peninggalan sejarah dari perkembangan sebuah

    kota, salah satunya dapat dilihat dari arsitektur bangunan yang ada, baik bangunan tua

  • 4

    maupun bangunan baru yang mengalami akulturasi dengan berbagai kebudayaan yang

    ada dimasa lampau yang bertahan hingga sekarang.

    Menurut Koentjaraningrat akulturasi adalah istilah dalam antropologi yang

    memiliki beberapa makna, yang kesemuanya itu mencakup konsep mengenai proses

    sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu

    dihadapkan kepada unsur-unsur kebudayaan asing sehingga unsur-unsur asing tersebut

    lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan

    hilangnya kepribadian kebudayaan itu. Proses komunikasi merupakan proses yang dasar

    dalam akulturasi. Kemampuan warga asing dalam berkomunikasi akan berfungsi

    sebagai perangkat alat penyesuaian diri, dalam membantu warga asing tersebut didalam

    memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan akan kelangsungan

    hidupnya dan kebutuhan akan rasa memiliki dan harga diri.

    ARSITEKTUR

    Pada dasarnya kondisi geografis, lingkungan dan budaya memberikan pengaruh

    terhadap arsitektur suatu bangunan. Arsitektur merupakan seni dan ilmu merancang

    serta membuat bangunan (KBBI, 2008). Karena merupakan sebuah seni, arsitektur

    menonjolkan suatu keindahan. Oleh karena itu jika dikaitkan dengan arsitektur

    bangunan maka dalam membuat suatu bangunan aspek seni harus ditonjolkan, dimana

    keindahan tersebut muncul tergantung dari kebudayaan yang berkembang pada saat itu,

    kepentingan atau tujuan bangunan tersebut dibuat serta siapa yang membuat bangunan

    tersebut. Sebagai Kota tua, Palembang memiliki beberapa peninggalan arsitektur

    bangunan penting yang terdapat diseluruh wilayah kota berupa bangunan yang

    mengalami akulturasi dengan kebudayaan-kebudayaan yang ada seperti yang terlihat

    pada masjid, museum, rumah atau kompleks perumahan, serta bangunan lainnya.

    Kebudayaan-kebudayaan tersebut muncul seiring dengan aktivitas manusia pada saat

    itu, seperti perdagangan dan penjajahan. Setiap kebudayaan pada dasarnya memiliki

    arsitektur bangunan yang berbeda, dimana setaip kebudayaan tersebut membawa nilai-

    nilai yang beragam sehingga filosofi yang terkandung didalam arsitektur bangunan

    berbeda pula. Berikut ini tabel 1. yang menunjukan ciri khas arsitektur bangunan yang

    terdapat pada kebudayaan Palembang, Cina, Arab, dan Belanda (Eropa).

  • 5

    Tabel 1. Ciri Arsitektur Bangunan Palembang Cina Arab Belanda (Eropa)

    Berbentuk

    panggung

    Terdapatnya Courrtyard

    di dalam bangunan

    Berbentuk persegi empat Berbentuk persegi

    empat

    Atap berbentuk

    Limas

    Atap berbentuk persegi

    lima, dimana

    terdapatnya ukiran atau

    lambang-lambang

    berbentuk naga

    Terdapatnya Kaligrafi Arab

    ataupun ukiran serta

    hiasan bermotif mosaik

    pengulangan geometris

    didalam interior bangunan

    Terdapat pilar-pilar

    besar menjulang ke atas

    di serambi depan dan

    belakang.

    Struktur rangka

    berupa tiang kayu

    Bangunan utama

    bersumbu utara-selatan

    Dinding menggunakan

    tanah liat

    Memiliki ventilasi yang

    lebar dan tinggi.

    GAMBARAN UMUM PALEMBANG

    Kota Palembang merupakan ibu kota Provinsi Sumatera Selatan yang terletak

    diantara 20 52 sampai 30 5 Lintang Selatan dan 1040 371040 52 Bujur Timur dengan

    ketinggian rata-rata 12 meter diatas permukaan laut serta memiliki wilayah yang relatif

    datar dan cenderung terdapat genangan dan rawa. Kota Palembang memiliki 16

    kecamatan, 12 kecamatan di seberang ilir dan 4 kecamatan diseberang ulu, serta terbagi

    atas 107 kelurahan sejak tahun 2007 dengan luas keseluruhan 40,061 Ha (Palembang

    Dalam Angka, 2009). Berdasarkan PP No.23 Tahun 1988, Tentang Perubahan Batas

    Wilayah Kota Palembang, Kota Palembang memiliki batas administrasi yakni, di

    sebelah Utara, sebelah Timur dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten

    Kabupaten Banyuasin, sebelah selatan dengan Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten

    Ogan Komering Ilir. Kota ini terletak dekat dengan katulistiwa, hal ini menyebabkan

    Kota Palembang memiliki suhu yang cukup panas, yakni diantara 220-32

    0C dengan

    suhu tertinggi yang terjadi pada bulan Juni, Juli, Agustus, dan September. Jika dilihat

    dari curah hujannya, Kota Palembang memiliki curah hujan rata-rata tahunan sebesar

    2.000-3.000 mm dengan curah hujan terbesar pada bulan maret, yaitu 428 mm dan

    yang terendah sedikit di bulan Juli 22 mm. Kota Palembang dibelah oleh Sungai

    Musi yang memiliki hulu di Pegunungan Bukit Barisan dan mengalir kearah timur dan

    bermuara ke Selat Bangka. Selain itu, di Kota Palembang sendiri selain Sungai Musi

    mengalir pula 76 sungai-sungai kecil yang semuanya bermuara ke Sungai Musi.

    Sumber : Handouts Kuliah Arsitektur ITB dan Data Hasil Observasi Lapangan

  • 6

    Kondisi alam ini bagi nenek moyang orang-orang Palembang menjadi modal mereka

    untuk memanfaatkannya. Air menjadi sarana transportasi yang sangat vital, ekonomis,

    efisien dan punya daya jangkau serta kecepatan yang tinggi. Palembang memiliki letak

    strategis dimana kota ini berada dalam satu jaringan yang mampu mengendalikan antara

    tiga kesatuan wilayah, yaitu Tanah tinggi Sumatera bagian Barat (pegunungan Bukit

    Barisan), daerah kaki bukit serta pertemuan anak-anak sungai sewaktu memasiki

    dataran rendah, dan daerah Pesisir Timur Laut Sumatera. Ketiga satuan wilayah ini

    merupakan faktor setempat yang sangat mementukan dalam pembentukan pola

    kebudayaan Kota Palembang yang bersifat peradaban, salah satunya arsitektur

    bangunan yang ada.

    Kota Palembang memiliki jumlah penduduk pada tahun 2010 sebanyak

    1.452.840 jiwa, yang terdiri atas 726.328 laki-laki dan 726.512 perempuan (Sensus

    Penduduk 2010). Hasil sensus tersebut juga menunjukan kepadatan penduduk Kota

    Palembang sebesar 4.052 / km2

    dengan paju pertumbuhan penduduk per tahun selama

    sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000-2010 sebesar 1,76 persen. Penduduk

    Palembang merupakan etnis melayu serta terdapat pula warga pendatang dan keturunan

    seperti Jawa, Minangkabau, Tionghoa, Arab, dan India. Kota Palembang sebagai ibu

    kota Provinsi Sumatera Selatan, menduduki peringkat pertama dalam memberikan

    kontribusi terhadap PDRB Sumsel. PDRB Total atas dasar harga Berlaku tertinggi

    dicapai oleh kota Palembang yang mencapai 45,499 Triliun Rupiah pada tahun 2009.

  • 7

    Peta 1. Peta Administrasi Palembang

    PERIODE SEJARAH TERJADINYA AKULTURASI DI PALEMBANG

    Palembang merupakan kota tertua di Indonesia yang terus berkembang dan

    kelahirannya dicatat dalam sebuah prasasti Kedudukam Bukit, salah satu prasasti

    peninggalan Kerajaan Sriwijaya, yang bertanggal 16 Juni 682 Masehi. Kerajaan

  • 8

    Sriwijaya merupakan cikal bakal dari Kota Palembang, yang dikatakan didalam kronik

    Cina Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau Ju-Kua pada abad ke 14, mengalami kejayaan

    diabad-abad ke-7 dan 9. Kejayaan Sriwijaya tidak terlepas dari armada lautnya yang

    kuat sehingga di kala itu Palembang terkenal sebagai pusat pemerintahan yang memiliki

    kekuasaan sangat luas melampaui batas provinsi bahkan pulau Sumatera. Hal ini

    memberikan pengaruh terhadap keberadaan rumah Limas yang tersebar di seluruh

    provinsi Sumatera Selatan bahkan wilayah Sumatera Bagian Selatan yaitu Lampung,

    Bengkulu, Jambi serta Bangka dan Belitung. Seperti bentuk pemerintahan kerajaan di

    Asia Tenggara lainnya pada kurun waktu itu, bentuk kerajaan ini dikenal sebagai Port-

    polity. Pengertian Port-polity secara sederhana bermula sebagai sebuah pusat

    redistribusi, yang secara perlahan-lahan mengambil alih sejumlah bentuk peningkatan

    kemajuan yang terkandung di dalam spektrum luas. Pusat pertumbuhan dari sebuah

    Polity adalah entreport yang menghasilkan tambahan bagi kekayaan dan kontak-kontak

    kebudayaan seperti yang terlihat pada arsitektur-arsitektur bangunan yang bertahan

    hingga saat ini.

    Sebagai kota yang dijuluki sebagai Kota Wisata Air ini, memiliki sejarah

    masuknya kebudayaan asing yang tidak terlepas keberadaan Sungai Musi. Sungai Musi

    terdiri dari sembilan sungai, yaitu Sungai Musi itu sendiri sebagai induknya serta 8 anak

    sungai besar. Kedelapan anak sungai besar tersebut meliputi Batang (Sungai)

    Komering, Lematang, Ogan, Leko, Keling, Rawas, Lakitan, dan Lalan. Sungai yang

    akrab disebut dengan nama Batang Hari Sembilan ini telah lama berperan besar dalam

    perjalanan kehidupan masyarakat Kota Palembang. Bahkan diyakini, ditemukanya situs

    megalitik di kawasan Pagaralam dan sekitarnya, diperkirakan terkait erat dengan

    mobilitas manusia masa prasejarah sekitar 4.500 tahun lalu (2.500 tahun Sebelum

    Masehi) melalui Sungai Musi dan anak-anak sungainya. Kota yang pernah menjadi

    pusat pendidikan agama Budha ini terkenal sebagai kota industri dan kota perdagangan.

    Sungai Musi lah yang membawa Kota Palembang menjadi kota perniagaan. Posisi

    geografis Palembang yang terletak di tepian Sungai Musi dan tidak jauh dari Selat

    Bangka, sangat menguntungkan bagi kota ini. Walaupun tidak berada di tepi laut, Kota

    Palembang mampu dijangkau oleh kapal-kapal dari luar negeri. Pedagang-pedagang

    dari luar Palembang baik dalam maupun luar Indonesia selalu memanfaatkan Sungai

    Musi untuk membawa barang yang akan didagangkan maupun barang yang dibeli atau

  • 9

    ditukar dari Kota Palembang. Pedagang-pedagang tersebut kebanyakan datang dari

    negeri Cina dan Arab, dimana mereka juga mendirikan serikat-serikat dagang serta

    menempatkan Palembang sebagai kota niaga dan basis dagang yang besar. Dalam

    sejarah Cina kuno dikatakan bahwa orang-orang Cina masuk ke Indonesia pertama kali

    pada masa akhir pemerintahan Dinasti Tang (abad ke-10). Daerah pertama yang

    didatangi adalah Palembang, yang pada waktu itu merupakan pusat perdagangan

    kerajaan Sriwijaya dengan tujuan utama adalah untuk berdagang (Suryadinata,1999).

    Hasil bumi berupa rempah-rempah serta kerajinan rakyat yang terbuat dari rotan,

    tembikar, logam, dan kain tenun sutera/songket merupakan barang-barang yang

    dipertukarkan dengan porcelain Cina dalam perdagangan antara Cina dan Sumatera,

    dimana mereka masuk ke Kota Palembang melalui Sungai Musi (Sumadio, 1984).

    Bangsa Arab memiliki penguasaan jalan laut perdagangan yang maju, dimana bangsa

    Arab telah menguasai perjalanan laut dari Samudra India yang mereka namakan

    Samudra Persia kala itu sedangkan bangsa Barat belum mengetahui akan adanya

    Samudera Hindia (Majid, 1984). Bangsa Arab masuk ke Palembang lebih dahulu

    dibandingkan dengan masuknya Bangsa Cina. Hal ini diketahui berit Cina menyebutkan

    bahwa terdapatnya kampung Arab di Pantai Barat Sumatera pada tahun 647 Masehi.

    Dapat ditarik kesimpulan bahwa Bangsa Arab masuk ke Kota Palembang sekitar abad

    ke-7.

    Belanda datang ke Palembang pada tahun 1821, dimana belanda menduduki

    kota ini diawali dengan jatuhnya Benteng Kuto Besak ke tangan Belanda. Semenjak

    itulah Belanda mulai menanamkan akulturasi terhadap arsitektur bangunan yang ada di

    Kota Palembang. Jauh sebelunya, sekitar abad ke 15 para pedagang yang berasal dari

    Negeri Cina dan Arab yang bermukim di tanah Palembang, bermukim di atas sungai

    atau biasa yang disebut sebagai rumah rakit (terapung). Kronik Ying-yai Sheng-lan,

    1416, menyebutkan tentang Palembang dan rumah rakit sebagai Negeri ini tidak begitu

    besar, hanyalah rumah-rumah pemimpin yang tegak di daratan, selebihnya rumah-

    rumah rakyat terbuat terbuat di atas rakit-rakit, yang dipatok di atas tiang, dimana rakit

    dapat menyesuaikan naik turunnya permukaan air sehingga tidak menjadi kebanjiran.

    Permukiman di atas rakit terjadi karena adanya peraturan, bukan karena dikehendaki

    dari semula. Pada Kerajaan Kesultanan Palembang Darusalam (abad 16 19)

    diperlakukan peraturan, orang Cina diizinkan bertempat tinggal di wilayah Palembang

  • 10

    apabila mereka bersedia tinggal di atas air, dalam hal ini sungai, dimana dikala itu Sugai

    Musi dijadikan sebagai tempat rumah-rumah rakit tersebut. Penguasa Palembang

    menilai bahwa jika orang Cina tinggal di daratan mungkin hal ini dapat membahayakan

    negeri sehingga mereka diharuskan tinggal di atas air, bertempat tinggal di atas rakit

    yang terbuat dari bambu dan kayu, sehingga sangat mudah dikuasai terutama ketika

    mengancam negeri Palembang, penguasa Palembang tersebut cukup dengan hanya

    membakar rakit-rakit itu. Namun peraturan tersebut berubah ketika akhir masa

    Kesultanan Palembang dimana warga keturunan Cina maupun Arab diperbolehkan

    untuk membangun rumah di darat. Namun hal ini tidak dilakukan oleh semua pendatang

    dari Cina, sehingga masih terdapat masyarakat keturunan Cina yang bermukim di

    rumah-rumah rakit. Warga pilihan yang kemudan ke darat ini yang menjadi cikal bakal

    pemukim di Kampung Kapitan.

    Pada Masa Penjajahan Belanda, terjadi perubahan besar dimana struktur kota

    lama yang dicanangkan oleh Kesultanan Palembang dirubah oleh pemerintahan

    Belanda. Kota yang tadinya merupakan kesatuan harmonis dalam keragaman yang

    dicanangkan pada masa Kesultanan Palembang, berubah menjadi kota yang terpilah-

    pilah berdasarkan etnisitas, seperti zona Eropa, zona Cina, Zona Arab, dan zona

    pribumi. Hal ini lah yang menyebabkan hingga sekarang masih mengenal kawasan

    Pecinan ataupun kawasan Arab di Kota Palembang. Secara singkat perkembangan Kota

    Palembang sebagai kota perdagangan dapat dilihat dari bagan 1 berikut :

    Tahun

    682-1365

    Masa Sriwijaya

    Tahun

    1643-1821

    Masa Kesultanan Palembang Darussalam

    Tahun

    1821-1945

    Masa Kolonialisme

    1945-sekarang

    Masa Setelah Indonesia Meredeka

    Bagan 1. Perkembangan Kota Palembang

  • 11

    Perubahan struktur kota yang di lakukan oleh Belanda, pada dasarnya

    memberikan sebuah pembabakan masuknya kebudayaan asing yang ada di Kota

    Palembang. Penduduk yang tadinya bermukim di Sungai Musi, ketika Belanda datang

    kebijakan yang ada berubah, sehingga warga asing banyak yang pindah ke darat tetapi

    tetap dipilah-pilah berdasarkan entitas. Pembababkan masuknya kebudayaan asing di

    Kota Palembang yang menyebabkan terjadinya akulturasi kebudayaan berupa arsitektur

    Kota Palembang dapat dilihat pada Peta 2. Dimana terjadi dua pembabakan secara

    umum yakni sebelum masa penjajahan dan sesudah masa penjajahan.

    Gambar 2. Peta Pembabakan Masuknya Kebudayaan Asing

  • 12

    WUJUD AKULTURASI ARSITEKTUR BANGUNAN

    Berdasarkan hasil observasi lapangan dan studi literatur, didapatkan bahwa

    akulturasi yang terdapat pada arsitektur bangunan-bagunan yang ada di Kota Palembang

    terjadi secara lama dan bertahap, dimana terjadi interaksi antar individu atau kelompok

    (agents of acculturation), baik warga asing dengan warga lokal Palembang maupun

    warga asing dengan warga asing. Interaksi tersebut, terjadi di Palembang dalam

    hubungan perdagangan serta kolonialisasi, seperti yang terlihat pada bagan 2 berikut.

    Bagan 2. Interaksi Budaya Asing Palembang

    Perdagangan dilakukan oleh warga Arab serta Cina mulai abad ke-7. Selain

    mereka melakukan hubungan perdagangan, lambat laun sebagian dari mereka memilih

    untuk bermukim di Palembang, dengan menikahi orang pribumi maupun memeluk

    kepercayaan yang ada di Palembang. Untuk kebudayaan Belanda, akulturasi terjadi

    dalam bentuk kolonialisasi, dimana Belanda melakukan propaganda terhadap

    pemerintahan di Kota Palembang. Sejak jatuhnya Kota Palembang ke tangan Belanda

    (1821), akulturasi mulai nampak pada arsitektur bangunan-bangunan warga asing lain

    yang bermukim di sana. Bangunan-bagunan warga asing tersebut juga mengalami

    akulturasi dengan arsitektur lokal. Hal ini semua tidak terlepas dari peran Sungai Musi,

    dimana sungai yang membelah Kota Palembang ini, merupakan sarana yang membawa

    para warga asing tersebut ke Kota Palembang. Peta 3 menunjukan berupa beberapa

    lokasi yang terkena akultrasi arsitektur bagunan. Berikut ini akan dibahas secara

    mendalam bentuk akulturasi yang ada di beberapa lokasi di Kota Palembang :

    Perdagangan

    Kolonialisasi

    Akulturasi

  • 13

    Peta 3. Lokasi Bangunan yang terakulturasi Oleh Kebuayaan Asing

    1. Kampung Kapitan

    Kampung kapitan merupakan sebuah kampung yang terletak di seberang Ulu

    Kota palembang tidak jauh dari Sungai Musi. Kampung ini adalah salah satu kampung

    yang kebudayaannya mengalami akulturasi dengan kebudayaan asing, yakni

    Tionghoa/Cina. Hal ini dapat dilihat dari arsitektur bangunan yang ada pada kampung

    tersebut. Kata Kapitan, diambil dari kata Kapiten yang merupakan jabatan atau

    predikat yang diberikan Belanda setingkat dengan mayor. Seorang Tionghoa yang

  • 14

    diberikan predikat pertama kali adalah Mayor Coa Kie Cuan pada tahun 1830 dengan

    tugas memungut pajak dari pedagang dan warga Cina lainnya, serta menjaga keamanan

    setempat.

    Sejarah dari keberadaan Kampung Kapitan di mulai pada masa kolonial. Warga

    keturunan Cina ditempatkan pada suatu perkampungan tersendiri yang disebut dengan

    Wijk Perkampungan Cina dipimpin oleh seorang pemimpin Kapitan. Dasar

    pemerintah Belanda membentuk wilayah tersendiri adalah adanya kekuatiran

    pemerintah Belanda terhadap golongan keturunan Asia Timur ini terutama masyarakat

    keturunan Cina, sehingga dirasakan perlu untuk membatasi ruang geraknya (Ari,

    Kemas, 2002). Namun pada perkembangannya, masyarakat keturunan Cina ini menjadi

    perantara perdagangan pemerintah Belanda dan mempunyai kedudukan istimewa dalam

    pemerintahan Belanda. Hal ini juga terungkap dalam perletakan pemukiman keturunan

    Cina ini. Belanda yang pada masa itu berada di Benteng Kuto Besak, menempatkan

    warga Cina tepat berhadapan yang hanya dipisahkan oleh Sungai Musi, pada awalnya

    bermakna pengawasan. Pemerintah Belanda mencurigai aktifitas dari masyarakat Cina

    sehingga perlu diadakan pengawasan yang cukup ketat. Hal ini dikarenakan warga

    keturunan Cina ini memiliki hubungan yang baik dengan pemerintahan Kesultanan

    Palembang.

    Kampung Kapitan menempati wilayah seluas 20 ha di Kecamatan Seberang

    Ulu I dengan pembatas kampung mulai dari tepi Sungai Musi di Utara hingga ke tepian

    Jl K.H.A. Azhary di bagian selatannya, Bagian barat berbatasan dengan Sungai

    Kelenteng kini sudah mati dan Timur dengan Sungai Kedemangan. Kampung Kapitan

    setidaknya terdiri dari 15 rumah panggung milik keturunan Tionghoa dari masa

    kolonial. Dimana didalam kampung tersebut terdapat rumah Kapitan yang merupakan

    rumah tempat tinggal Kapitan dimasa lampau. Rumah tersebut merupakan rumah

    panggung yang mengadopsi bentuk rumah Limas, yakni merupakan rumah adat asli

    Palembang dimana di masa itu rumah Limas diperuntukan untuk para bangsawan

    Palembang. Perlu diketahui. menurut buku Arsitektur Tradisional Daerah Sumatera

    Selatan, 1991, arsitektur asli bangunan Kota Palembang, rumah Limas (seperti yang

    terlihat pada gambar 2), memiliki ciri-ciri berupa bagian depan rumah tidak terdapat

    jendela, diantara kedua pintu depan diberi dinding yang berupa ruji-ruji kayu dengan

  • 15

    motif tembus. Keadaan tersebut cukup efektif untuk sirkulasi angin walaupun

    pemanfaatan sinar matahari kurang optimal. Selanjutnya, pada rumah Limas juga

    terdapat Lawang Kipas yang dapat dibuka penuh dengan daun pintu berfungsi seperti

    plafond. Dalam hal ini rumah kapitan memiliki jendela, dimana mengadopsi dari

    kebudayaan Cina. Rumah Kapitan tersebut dibangun ketika masyarakat Tionghoa diberi

    kesempatan untuk membangun rumah di darat, tidak lagi menghuni rumah-rumah rakit

    diatas Sungai Musi. Namun walau sudah berada di darat, kedudukan mereka tetap pada

    seberang Ulu yang keadaan tanahnya lebih berawa. Peruntukkan lahan di seberang Ulu

    ini memang diperuntukkan untuk pendatang dari luar Palembang. Tanpa menghilangkan

    kebudayaan Cina yang merupakan kebudayaan asal mereka, rumah Kapitan memiliki

    courtyard (ruang terbuka yang dikelilingi tembok) yang merupakan tipologi banguan

    Cina, dimana berguna bagi penghawaan dan masuknya cahaya. Mereka juga tidak

    meninggalkan tradisi, dan nampak pada interior rumah yang dilengkapi dengan meja

    altar pemujaan bagi leluhur. Selain itu, interior yang terdapat di dalam rumah Kapitan

    juga masih terlihat ornamen ukir-ukiran Cina yang terdapat pada pintu masuk rumah.

    Perpaduan arsitektur Cina dan Palembang ini terjadi akibat masyarakat Tionghoa mulai

    membaur dengan masyarakat asli Palembang melalui perkawinan atau memeluknya

    masyarakat Tionghoa kedalam Agama Islam pada masa akhir pemerintahan Kesultanan

    Palembang. Pembauran tersebut juga mereka wujudkan dalam bentuk tempat tinggal

    mereka, namun masyarakat Tionghoa tetap diawasi oleh Kesultanan Palembang.

    Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, masyarakat Tionghoa mengalami

    perubahan dari masyarakat yang diawasi menjadi masyarakat yang mempunyai

    kedudukan yang lebih istimewa, dimana hal ini tampak pada huniannya yang sedikit

    berubah arsitekturnya, seperti yang terlihat pada gambar 3. Beberapa rumah yang

    kemudian dibangun pada masa itu memiliki tiang-tiang penyangga (kolom) di bagian

    muka atau teras rumah yang terbuat dari bata dengan gayak kalsik Eropa. Tiang-tiang

    yang terdapat pada rumah-rumah sebelumnya hanyalah berbahan kayu. Secara skematis

    proses akulturasi yang terdapat pada Kampung Kapitan terlihat pada bagan 3 berikut ini.

  • 16

    Rumah Kapitan sejak dibangun hingga sekarang tidak berubah fungsinya,

    dimana bangunan ini tetap digunakan sebagai tempat tinggal. Rumah yang belum

    pernah direnovasi sama sekali ini merupakan salah satu cagar budaya atau situs sejarah

    Kota Palembang, namun sangat disayangkan kurangnya perhatian pemerintah kota

    terhadap Kampung Kapitan menyebabkan kampung ini kumuh dengan bagunan-

    bagunan yang tidak terawat, terlihat kusamnya dan beberapa kerusakan di berbagai

    sudut rumah.

    Gambar 1. Rumah Utama Kapitan Gambar 2. Rumah Kapitan dengan budaya Belanda (Sumber : Dokumentasi Pribadi) (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

    Komunikasi Budaya Cina

    {B}

    Budaya Palembang (Melayu)

    {A}

    Komunikasi Budaya Belanda

    {C}

    Budaya Palembang + Cina {AB}

    Budaya Palembang

    + Cina + Belanda

    {ABC}

    Bagan 3. Proses akulturasi Kampung Kapitan

  • 17

    2. Kampung Arab

    Sama halnya dengan masyarakat Tionghoa, masa-masa di akhir kepemerintahan

    Kesultanan Palembang, orang-orang Arab di kala itu seluruhnya berpindah ke darat.

    Masyarakat Arab ini juga tidak terlepas dari peraturan Belanda berupa politik

    wijkenstelsel, dimana mereka ditempatkan pada suatu perkampungan tersendir yang

    disebut Wijk. Dimana jumlah penduduk Arab dikala itu sekitar 500 jiwa, yang

    kebanyakan berprofesi sebagai pedagang kain linen. Selain etnis Tionghoa, kelompok

    etnis yang juga memiiki seorang pemimpin (kapiten) adalah kelompok etnis Timur

    Tengah (Arab). Kapiten tersebut diberikan julukan oleh Belanda sebagai Kapitan der

    Arabieran salah satunya bernama Pangen Abdurahman Alhabsyi. Wilayah peninggalan

    arsitektur bangunan asing hasil akulturasi kebudayaan Arab terdapat di wilayah Ilir

    Timur II, Ilir Barat I, serta di wilayah Ulu yang terdapat di wilayah 13-14 Ulu dan di 6-

    5 Ulu. Bangunan yang ada di Kampung Arab pada dasarnya hanyalah rumah, dimana

    dari awal dibangun rumah-rumah yang ada hingga sekarang masih memiliki fungsi yang

    sama, yakni sebagai tempat tinggal.

    Kampung Arab yang terdapat di Palembang terbagi-bagi berdasarkan marganya,

    seperti Al Munawar dan Assegaf. Kampung Arab Al Munawar terletak di kawasan 13

    Ulu. Seperti halnya perkampungan tua lainnya di tepian sungai, Kampung Al Munawar

    terletak di tepian Sungai Musi dan Sungai Ketemenggungan. Di kompleks ini, terdapat

    setidaknya delapan rumah yang usianya diperkirakan lebih dari satu abad. Bangunan

    yang berupa perumahan ini, memiliki arsitektur Palembang yakni berkonstruksi

    panggung serta atap yang menyerupai rumah Limas (dapat dilihat pada gambar 3).

    Dimana sebagian rumah tetap berbentuk panggung menggunakan bahan kayu unglen

    atau sebagian kayu unglen dan sebagian batu. Sebagian lagi, menggunakan bahan batu

    secara keseluruhan. Sentuhan arsitektur Arab pada rumah terdapat pada interior rumah,

    yakni berupa ukiran-ukiran yang ada di puncak pegangan tangga yang sekilas

    menyerupa bentuk menara masjid. Kebudayaan Belanda juga turut memberikan

    sentuhan arsitektur bergaya Eropa terhadap beberapa bangunan yang ada di Kampung

    Arab, dimana terlihat pemasangan marmer yang berukuran besar, sekitar 50 x 50 cm,

    pada lantai rumah yang dipasang hingga ke bagian luar (teras).

  • 18

    Gambar 3. Salah satu Rumah di Kampung Arab Gambar 4. Interior Rumah di Kampung Arab (Sumber : Dokumentasi Oleh Aulia Ayu) (Sumber : Dokumentasi Oleh Aulia Ayu)

    3. Masjid Agung Palembang

    Masjid Agung Palembang Berlokasi tak jauh dari Plaza Benteng Kuto Besak, di

    Kota Palembang, Sumatera Selatan, Mesjid Agung Palembang mulai dibangun ketika

    Palembang dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo, tepatnya tahun

    1738 dan selesai pada tahun 1748. Pada zamannya, mesjid ini dipercaya sebagai salah

    satu rumah ibadah terbesar yang pernah ada di nusantara pada kala itu. Meski digarap

    oleh seorang arsitek Eropa, pengaruh Cina ikut muncul pada wajah masjid ini. Hal itu

    ditandai oleh bentukan hiasan ornamen khas Cina pada bagian sisi atapnya, yakni

    berupa jurai daun simbar atau semacam hiasan menyerupai tanduk kambing yang

    melengkung dan lancip sebanyak 13 buah di setiap sisinya, seperti yang terlihat pada

    gambar 5. Selain itu terdapat beberapa menara masjid yang berbentuk segi lima seperti

    klenteng dan bangunan tradisional lainnya. Paduan dua budaya ini menjadi ciri khas

    Mesjid Agung Palembang. Tak terlepas dari itu semua, masjid ini juga masih

    mengadopsi kebudayaan lokal, seperti yang terlihat pada ciri khas atapnya yang

    berbentuk Limas seperti yang terlihat pada gambar 7.

  • 19

    Gambar 5. Jurai daun simbar Masjid Agung Gambar 6. Masjid Agung Tampak Muka

    (Sumber : Dokumentasi Pribadi) (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

    Masjid yang digunakan sebagai tempat beribadah umat Muslim ini, otomatis

    memiliki arsitektur Arab. Seperti yang terlihat pada interior masjid ini, terdapat kaligrafi

    pada leher mustaka, jendela, mimbar, mihrab, dan pintu masuk masjid seperti yang

    terlihat pada gambar 7. Masjid ini juga menunjukan gaya arsitektur klasik Yunani

    (Eropa), dimana di bagian tengah masjid terdapat tiang-tiang yang menjulang tinggi

    seperti yang terlihat pada gambar 8. Selain itu jendela, serta pintu yang ada di masjid ini

    berukuran sangat besar layaknya arsitektur Eropa. Selain itu dibeberapa sudut masjid

    terdapat seperti bus surat yang berbahasa Belanda. Keempat budaya tersebut mengisi

    satu sama lain, menambah kendahan akan masjid ini.

    Gambar 7. Salah satu pintu samping masjid Gambar 8. Salah satu bangunan masjid

    (Sumber : Dokumentasi Pribadi) (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

    Masjid Agung telah berkali-kali mengalami perombakan dan perluasan,

    sehingga bentuk masjid jauh berbeda tidak seperti yang terlihat sekarang. Pada awalnya

    renovasi masjid ini dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi perang besar

    tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian dilakukan

    penambahan/perluasan pada tahun 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada

  • 20

    tahun 1990-an. Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh

    Pertamina, dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang

    sekarang. Tetapi menara asli dengan atapnya yang bergaya Cina tidak dirobohkan.

    Masjid Agung Palembang ini dari dahulu hingga sekarang masih memiliki fungsi yang

    sama, yakni sebagai tempat ibadah bagi Umat Islam

    4. Benteng Kuto Besak

    Benteng kuto Besak merupakan pusat pemerintahan Kesultanan Palembang

    ketiga setelah Kuta Gawang dan Beringin Janggut. Benteng Kuto Besak terletak di

    belahan sisi Utara Sungai Musi. Benteng Kuto Besak dibangun pada masa Kesultanan

    Palembang, sekitar abad ke-18, dimana kawasan tersebut berfungsi sebagai

    pemerintahan dan merupakan keraton Kesultanan Palembang yang tatanan bangunannya

    seperti keraton di Jawa, namun arah keraton ke sebelah Selatan, hal ini dikarenakan

    dipengaruhi oleh kepercayaan Tradisi Cina. Selain karena pengaruh budaya Cina yang

    kuat pada waktu itu, diketahui pelaksanaan pengawasan pekerjaannya dipercayakan

    pada seorang Tionghoa. Gagasan mendirikan Benteng Kuto Besak diprakarsai oleh

    Sultan Mahmud Badaruddin I yang memerintah pada tahun 1724-1758 dan pelaksanaan

    pembangunannya diselesaikan oleh penerusnya yaitu Sultan Mahmud Bahauddin yang

    memerintah pada tahun 1776-1803. Pada saat Kuto Besak dibangun, di sebelah

    timurnya terdapat bangunan Keraton Kuta Lama. Kompleks keraton ini dikelilingi oleh

    sungai dan parit. Di sebelah selatan terdapat Sungai Musi, di sebelah Barat mengalir

    Sungai Sekanak, di sebelah utara mengalir sungai Kapuran yang bersambung dengan

    sungai Sekanak di sisi Barat dan Sungai Tengkuruk di sisi Timur, dan di sebelah timur

    mengalir Sungai Tengkuruk. Sungai Tengkuruk pada tahun 1928 ditimbun, dan pada

    saat ini telah menjadi Jl. Jendral Soedirman yang bersambung ke Jembatan Ampera.

    Ketika Kesultanan Palembang Darussalam runtuh akibat dikalahkan penjajah, kawasan

    tersebut kemudian diambil alih oleh Belanda. Walaupun fungsi kawasan masih

    digunakan sebagai pemerintahan dan pertahanan dari perlawanan rakyat Palembang dan

    penjajah asing lainnya, namun sebagian besar bangunan di dalam kawasan dihancurkan

    dan dibangun bangunan serta prasarana penunjang untuk kepentingan Belanda. Akan

    tetapi, adapula yang dilakukan penambahan ornamen dan pemugaran bangunan.

  • 21

    Setelah masa kolonialisme penjajahan Belanda berakhir, kawasan Benteng Kuto

    Besak pada masa kemerdekaan sampai sekarang digunakan sebagai pemerintahan Kota

    Palembang dan kawasan militer, dimana menempati bangunan bersejarah seperti kantor

    Ledeng digunakan sebagai Kantor Walikota dan Benteng Kuto Besak digunakan oleh

    Komando Daereah Militer (KODAM) II Sriwijaya. Selain itu, benteng yang secara

    resmi ditempati pada hari Senin pada tanggal 21 Feburari 1797, sekarang juga

    difungsikan sebagai tempat wisata, perdagangan dan jasa, serta prasarana penunjang

    lainnya seperti masjid dan rumah sakit. Sedikit ke sebelah Timur, terdapat Museum

    Sultan Mahmmud Badaruddin II. Museum ini sejarahnya masih merupakan satu

    kesatuan dengan keraton Kesultanan Palembang yang masih satu komplek dengan

    Benteng Kuto Besak. Namun bangunan yang dulunya merupakan kraton ini, sudah

    dialih fungsikan menjadi sebuah museum.

    Jika dilihat dari bangunanya, Benteng Kuto Besak memiliki corak arsitektur

    Jawa pada Kesultanan Palembang, arsitektur Eropa oleh Belanda, dan arsitektur Cina.

    Benteng Kuto Besak memiliki panjang 288,75 meter, lebar 183,75 meter, tinggi 9,99

    meter (30 kaki), serta tebal dinding 1,99 Meter (6 kaki) membujur arah barat-timur

    (hulu-hilir Musi) yang dapat dilihat pada gambar 9. Di dalam benteng masih terdapat

    tembok yang serupa dan hampir sama tingginya, dengan pintu-pintu gerbang yang kuat,

    sehingga ini dapat juga dipergunakan untuk pertahanan yang terletak di kawasan yang

    dikelilingi oleh Sungai Musi. Tidak terlepas dari itu, Museum Sultan Mahmud

    Badaruddin II juga memiliki arsitektur yang dipengaruhi oleh kebudayaan Palembang,

    Belanda, dan Cina. Sama seperti bangunan yang mengalami akulturasi lainnya, seperi

    yang teterlihat pada gambar 10, kebudayaan Palembang yang nampak pada museum ini

    adalah bentuk bangunan yang menyerupai rumah Limas, dimana atap berbentuk limas

    dan bagunan tersebut merupakan panggung, namun pada bagian bawah sekarang

    ditempati oleh Dinas Pariwisata. Sentuhan arsitektur Eropa dapat dilihat dari anak

    tangga untuk menuju ke museum. Selain itu arsitektur Eropa dapat dilihat pula dari

    keberadaan jendela bawah dan pintu masuk museum, dimana jendela dan pintu masuk

    tersebut sangat besar layaknya bagunan-bagunan Eropa. Tiang-tiang pemancang yang

    ada di museum tersebut juga semakin memberikan ciri khas arsitektur Eropa yang

    terpadu di museum ini. Menurut penuturan Tour Guide museum ini, Bapak Abi Sofyan,

    untuk arsitektur Cina, dapat dilihat pada ornamen yang ada di jendela atas museum,

  • 22

    dimana ornamen tersebut merupakan ornamen yang terdapat pada bangunan-bagunan

    tradisional Cina.

    Gambar 9. Gerbang Utama Benteng Kuto Besak Gambar 10. Muka Museum SMB II

    (Sumber : Dokumentasi Pribadi) (Sumber : Dokumentasi Oleh Aulia)

    RINGKASAN

    Dari hasil observasi lapang serta studi literatur, kebudayaan asing yang ada di

    Kota Palembang telah memberikan wujud akulturasi terhadap arsitektur bangunan yang

    ada. Akulturasi tersebut terkait dengan sejarah kota tersebut. Akulturasi dimulai pada

    beberapa tiga periode utama. Periode pertama ketika Palembang dibawah kekuasaan

    Sriwijaya, kemudian periode Kesultanan Palembang dan yang terakhir adalah periode

    kolonialisasi. Interaksi yang mengakibatkan munculnya akulturasi tersebut berupa

    interaksi perniagaan, maupun interaksi penjajahan. Interaksi perniagaan yang lambat

    laun menjadi interaksi sosial, dilakukan oleh warga masyarakat Tionghoa dan Arab

    sejak abad ke-7, sedangkan interaksi penjajahan yang berbentuk propaganda terhadap

    pemerintahan Kota Palembang, dilakukan oleh pihak Belanda sejak abad ke-14.

    Interaksi tersebut tidak terlepas dari kondisi geografis yang ada di Kota Palembang,

    yakni keberadaan Sungai Musi, karena baik pihak yang bertujuan untuk berdagang

    (Arab dan Cina) maupun pihak yang bertujuan untuk menjajah (Belanda) datang ke

    Kota Palembang menggunakan moda transportasi kapal. Hal ini menunjukan bahwa

    Sungai Musi merupakan sarana transportasi yang sangat penting di Kota Palembang

    Akulturasi arsitektur bangunan dapat dilihat pada aspek interior dan eksterior

    bagunan. Kebudayaan Palembang muncul pada aspek eksterior, dimana bangunan-

  • 23

    bagunan yang ada yang mengalami akulturasi tersebut berbentuk panggung dan atap

    yang menyerupai rumah Limas (rumah asli Kota Palembang). Kebudayaan Arab

    muncul hanya pada interior bagunan, seperti ukiran-ukiran kaligrafi Arab serta

    ornamen-ornamen yang bergaya Timur Tengah. Untuk kebudayaan Cina dan Eropa

    (Belanda), akulturasi terlihat pada interior dan eksterior bangunan, namun yang paling

    menonjol adalah pada eksterior bagunan. Pada interior bangunan, kebudayaan Cina

    mengisi pada hiasan-hiasan khas Cina, selain itu kebudayaan Cina juga memberikan

    pengaruh terhadap peletakan bangunan, yakni berdasarkan fengsui. Untuk kebudayaan

    Belanda, interior bangunan terlihat pada penggunaan marmer dengan ukuran besar yang

    mengisi hingga ke teras bangunan tersebut. Dilihat dari aspek eksterior, kebudayaan

    Cina mengisi pada bagian sisi atap. Sisi atap tersebut dihiasi oleh ornamen kahs Cina

    yang berupa jurai daun simbar. Untuk kebudayaan Belanda sendiri, mengisi arsitektur

    bangunan berupa kenampakan dari jendela serta pintu yang berukuran besar, seperti

    arsitektur klasik Yunani. Selain itu, keberadaan tiang-tiang penyangga (kolom) yang

    menjulang dengan kokohnya, memberikan sentuhan arsitektur Eropa pada bangunan

    yang ada di Kota Palembang.

    Fungsi bangunan yang memiliki akulturasi arsitektur asing tersebut ada yang

    berubah fungsi maupun yang tidak berubah fungsinya hingga sekarang. Bangunan yang

    berubah fungsinya, terdapat pada bangunan-bagunan publik atau bangunan milik

    pemerintah, seperti Benteng Kuto Besak. Sedangkan bagunan yang tidak berubah

    fungsinya, terdapat pada bagunan tempat tinggal serta bangunan sarana peribadatan

    seperti Rumah yang terdapat di Kampung Kapitan, maupun Masjid Agung Palembang.

  • 24

    REFERENSI

    Drs. M. Dien Majid. 1984. Selintas Tentang Keberadaan Islam dibumi Sriwijaya.

    Palembang : Majlis Ulama Daerah Tk. I Sumatera Selatan.

    Jayadinata, Johara T. 1999. Tata Guna Lahan Dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan

    dan Wilayah. Bandung : Penerbit ITB.

    Koentjaraningrat. 1977. Antropologi Sosial, Beberapa Pokok. Jakarta: PT Dian Rakyat.

    Yoedosepoetro, Wiyoso. 1999. Diktat Sejarah Seni Rupa Islam. Jakarta : Institut

    Kesenian Jakarta.

    Siswanto, Ari. 2009. Kearifan Lokal Arsitektur Tradisional Sumatera Selatan Bagi

    Pembangunan Lingkungan Binaan. Jurnal Local Wisdom Vol. 1 Nomor 1,

    November 2009.

    Tim Dosen KKL 3 Palembang 2011. 2011. Modul KKL 3 Palembang 2011. Depok:

    Dept Geografi FMIPA UI

    Tim BPS Palembang. 2010. Statistik Daerah Kota Palembang 2010. Palembang: Badan

    Pusat Statistik Kota Palembang

    http://arkeologi.palembang.go.id/index.php?nmodul=halaman&judul=penelitian-

    arkeologi (Diakses pada tanggal 20 Mei 2011)

    http://kppnpalembang.net/index.php?option=com_content&view=article&id=67&Itemi

    d=59 (Diakses pada tanggal 20 Mei 2011)

    http://palembangnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=104&Ite

    mid=26 (Diakses pada tanggal 25 Mei 2011)

    http://www.budpar.go.id/page.php?ic=574 (Diakses pada tanggal 20 Mei 2011)