ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME
Sebuah Catatan Kritis tentang kemajemukan bangsa Indonesia(Mengurai Perjalanan Pancasila)
Catatan kecil ini disusun untuk memenuhi nilai mata kuliah Ilmu Pancasila dan Kewarganegaraan yang diampu oleh Bp. Herman Sujarwo sebagai pengganti Ujian Semester II pada mata kuliah yang sama.
Disusun OlehAbaz Zahrotien
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASIUNIVERSITAS SAINS AL QUR’AN (UNSIQ)
JAWA TENGAH DI WONOSOBO2009
ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME
Salah satu hal penting yang mengiring gelombang demokratiasi adalah
munculnya wacana multikulturalisme. Multikulturalisme pada intinya adalah
kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan tanpa
memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasapun ataupun agama,
menurut Gurpeet Mahajan konsep multikulturalisme sebenarnya relative baru,
menurutnya sekitar 1950-an gerakun multikulralisme muncul pertama kali di
Kanada dan Australi kemudian di Amerika Seriakat, Jerman, dan lainnya.
Multikulturalisme memberikan penegasan, bahwa dengan segala
perbedaannya diakui dan sama diruang public. Multikulturalisme menjadi
semacam respon kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya
komunitas yang berbeda saja saja tidak cukup, karena yang- pertama dan yang
terpenting adalah komunitas tersebut diperlakukan sama oleh warga negara
maupun negara1
Multikulturalisme telah merupakan wacana bagi para akademisi maupun
praktisi dalam berbagai bidang kehidupan di Indonesia dewasa ini. Berbagai
seminar diadakan membahas mengenai multikulturalisme., seperti yang baru-baru
ini diselenggarakan mengenai pembangunan di Indonesia berwawasan
kebudayaan. D-emikian pula telah muncul pendapat mengenai masalah
pemecahan konflik horizontal yang nyaris memecahakan bangsa Indonesia
dewasa ini daris udut kebudayaan dan bukan dengan cara kekerasan ataupun cara-
cara yang lain yang tidak sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang beragam.
Wacana mengenai kebudayaan memang merupakan bidang yang berkaitan dengan
tiga masalah besar, yaitu identitas, kekuasan (Power), dan kebudayaan dalam arti
luas.
Di berbagai Negara yang mempunyai keragaman etnik dan budaya, seperti
amerika serikat dan Indonesia, memang masalah multikulturalisme merupakan
1A. Ubaidillah abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, ICCE Uin Syarif Hidayatullah, Jakarta Edisi Revisi 2006.hal I71
kenyatan social yag harus dihadapi. Bagaimanakah dengan bidang pendidikan
yang berkaitan dengan multikulturalisme ini? Di Negara-negara yang disebut-kan
tadi, pemikir-an mengenai multikulturlisme telah jauh berkembang, mungkin
menjelang setengah abad atau seabad lamanya. Pakar pendidikan demokrasi di
Amerika Serikat John Dewey, terkenal dengan pandangan progetifismenya dalam
bidang pendidikan menjadikan keaneka ragaman didalam masyarakat demokratis
sebagai salah satu masalh pokok pendidikan. Bukunya yang terkenal Democracy
and Educatiaon yang diterbitkan pada permulaan abad 20. menadakan betapa
demokrasi hanya dapat berkembang melalui proses pendidikan. Ini pada
permulaan bad 21, masalah demokrasi telah menjadi masalah dunia. Karena
masalah demokrasi sedang mengubah kehidupan manusia global.
Pendidikan multicultural (PM) merupakan topic diskusi maupun pr-aktek
pendidikan pada beberapa Negara maju dengan mengambil tema utamanya
pentingnya kebudayaan dalam praktik pendidikan untik membangun suatu
masyar-akat democratis. Apabiala multikultur-alisme mer-upakan wacana bidang
kebudayaan dalam arti yang luas seperti pengembangan identitas suatu kelompok
masyarakat, demikian pula dalam pengembangan bangsa( Nation State)
diperlukan rasa identitas dari kelompok bangsa ini, selanjutnya suatu Negara
hanya dapat bertahan karena mempunyai kekuatan (power). Kekuasaan untuk
memjamin keberlangsungan dengan berkembang dalam suatu kelompok
masyarakat serta mengikat masyarakat itu dalam suatu kesatuan kehidupan.
Kekuasaan dengan hanya dapat- dikembangkan dalam ungkapan
kebudayaandalam ar-ti yang luas. Olreh sebab itu juga pendidikan tid-ak lepas
pendidikan tidak lepas d-ari wacana tersebut diatas tadi.2
Masyarakat adalah sebuah fakta, semakin bercampur baurnya penduduk
dunia yang mampu memberikan tekanan pada system pemerintahan, pendidikan,
dan ekonomi yang telah mapan untuk berubah. Penduduk dunia hidup dalam
kedekatan dan berinteraksi dengan berbagai orang dari berbagai latar belakang
etnit dan bangsa. Karena itu kita percaya bahwa semua orang terlahir berbeda-
beda dengan keunikan masing-masing. Namun disparitas dalam kebudayaan, 2 H.A.R Tilaar, Pendidikan Dan Kekuasan, Suatu tinjauan dari Perspetif Studi
Kultural, Indonesia Tera, Magelang 2003. Cet 1, hal. 162-163
sumberdaya, dan harapan-harapan ini pula yang melahirkan ketidakpuasan dan
konflik social. Dan ketika perbedaan nasionalitas, etnisitas, dan ras muncul
bersamaan dengan perbedaan agama posisi social dan ekonomi, maka potensi
untuk berbenturan pun semakin besar.
Untuk beberapa saat lamanya, multikulturalisme adalah isltilah yang
samar, ambivalen dan debatable. Disatu sisi ada keinginan yang jelas untuk
mengatakan bahwa kebudayaab lain adalah baik atau setidaknya mengandung
kebaikan. Sehingga kita dapat belajar dari mereka. Terkadang kita menyadari,
bahwa dimasa lalu kita kerap kali memberi penilaian yang salah terhadap
kebudayaan-kebudayaan lain, suatu penilaian yang didasarkan pada informasi
yang tidak akurat dan pemahaman yang kurang memadai. Disisi lain, ada pula
keinginan untuk mengisoslasi kebudayaan-kebudayaan lain t6ersebut dalam
penilaian negative kita. Penilaian negative ini muncul dari pengalaman masa
lampau dan juga sikap protekatif terhadap pengaruh kebudayaan-kebudayaan lain.
Bagi para pengkritik multikuluralisme, pengabsahan atas isme ini
merupakan agenda politik yang jahat; sedangkan bagi para pendukungnya,
multikulturalisme adalah maksud baik. Dua pendangan yang berbeda ini
memperlihatkan bahwa makna, respon, dan kritik atas multikulturalisme adalah
bergantung pada perspektif indifidu yang memahaminya secara implicit,
pertentangan pandangan itu mulcul karena multikulturalisme lebih dilihat sebagai
idiologi dari pada kenyataan pluralitas cultural yang hidup pada masyarakat,
bentuk pemerintahan, system ekonomi, system keagamaan atau intelektual atau
bahkan kebudayaan3
a. Pengertian Multikulturalisme
Akar kata multkulturalisme adalah kebudayaan.4 Secara etimologis,
multikultiuralisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya),
3 Zakiyuddin Baidhowi, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Erlangga, Jakarta 2005, hal. 1-2
4Lihat dalam makalah Parsudi Suparlan.”Menuju Masayrakat Multikultural”, dalam symposium international bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali,116-21 Juli 2002
isme (lairan atau paham).5 Secara hakiki, dalam kata itu terkandung
penagkuan akan martabat manusia yang hibup dalam komunitasnya
dengan kebudayaannya yang unik.
Dengan demikian, setiap indifidu merasa dihargai sekaligus merasa
bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran
suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (Politics of
Reccognition) merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai
bidang kehidupan.
Penegertian para ahli tentang kebudayaan harus di persamamakan
atau, setidak-tidaknya, tidak dipertentangkan antara satu konsep yang
dipunyai oleh oleh lainnya. Kaarena multikulturalisme itu adalah sebuah
idiologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajad manusia
dan kemanusiaanya, maka kebudayaan harus dilihat dalam perspektif
fungsinya bagi kehidupan manusia.6
Sejarah etimologi multikulturalisme belum berumur lama. Menurut
Longer Oxford Dictionary sebuah istilah yang baru banyak digunakan
oleh kebanyakan orang pada tahun 1950-an di Kanada. Kamus tersebut
mensitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang
menggambarkan masyarakat Kanada sebagai masyarakat “multi-cultural
dan multi-lingual”. Istilah multikulturalsm sendiri pertama kali digunakan
dalam laporan pemerintah kanada yang di publikasikan pada tahun 1965
bertajuk “Preminary Report Of The Royal Commision Of Bilingualism
and Biculturalism”.
Sebagai sebuah terminology baru “multikulturalisme” masih belum
banyak dipahami orang. Saya membagi pemahaman mengenai mengenai
multikulturalisme menjadi beberapa tingkatan. Pertama, pemahaman
popular. Orang kebayakan memahamifenomena multikulturalisme
semakin mudah ditemukannya restoran Cina, Hoka-hoka Bento, Salero
Bagindo, Mc Donald, Jet Kun Do, Shaolin, kursus Yoga sampai boutique
5 lebih jelas lihat dalam http:// www.grasindo.co.id/ Detail, asp? ID-50104457 atau pada H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme, Tantangan Global Masa Depan ( Jakarta: Grasindo, 2004)
6 Supardi Suarloan Ibid Hal 10
Versace di satu wlayah yang sebelumnya relative homogen.
Kedua, pemahaman politis. Kalangan politisi memahami
multikulturalisme semakin majemuknya masyarakat secara cultural yang
menimbulkan berbagai persoalan social yang menuntut kebijakan-
kebijakan tertentu (pengetatan imigrasi, pendataan, sampai program
asimilasi). Ketiga, pemahaman akademis. Pemahaman akademis
multikulturalisme mendasarkan diri pada perkembanga filsafat
postmodernisme dan Cultural Studies, yang menekankan prinsip
paralogisme di atas monologisme, kemajemukan diatas kesatuan. Isu-isu
multikulturalisme yang menjadi perbincangan akademis antara lain;
konsep kebudayaan, relasi budaya dan politik, hak minoritas, kritik
liberalisme, toleransi dan solidaritas, dan lain sebagainya
Pendekatan akademis terhadap multikulturalisme dapat dibagi
menjadi dua kelompok. Pertama mereka yang memandang isu
multikulturalisme sebagai isu politik identitas budaya pinggira terhadap
yang dominan yang selama ini menguasainya melalui wacana. Apa yang
mereka maksud dengan budaya saat membincangkannya adalah budaya
pinggiran (sub culture), seperti kelompok punk, kelompok lesbian, gay,
kulit berwarna dan lain sebagainya. Kedua mereka yang memandang isu
multikulturalisme sebagai persoalan kemajemukan komunitas budaya
mereka artikan sama dengan bangsa (nation) (Kymlicka 1995: 11) yaitu
intergenerasi yang berbagai bahasa, sejarah, dan adat-istiadat yang sama.
Pendekatan kedua ini mempersoalkan isu hak budaya minoritas dan
konsep Negara bangsa.
Wacana multikulturalisme di kalangan akademisi berkembang
setelah oposisi biner identitas atau perbedaan dedekonstruksi.
Dekonstruksi yang disambut hangat oleh para multikulturalis dan
psikoanalis sepert Edward Said, Gayatri Spivak, Homi Babha dal lain
sebagainya. Mereka umumnya menyimpulkan bahwa identitas “Barat”
yang mengedepankan rasionalitas, linier dan sekuler tidak lebih dari
sekedar teks. Teks yang dirajut denga benang kekuasaan atas wacana
tentang “Timur” yang irasional, sirkular dan spiritual. “Timur” timur tak
pernah dibiarkan mendefinisikan dirinya secara unik tanpa harus mengacu
para kerangka acuan barat.
Wacana multikulturalisme dikalangan para akademisi juga
berkembang sebagai reaksi atas kegagalan proyek negara-bangsa (Bennet
1998: 138). Sebuah proyek ingin mewujudkan negara yang terikat tidak
saja secara yuridis tetapi juga secara kultural. Proyek negara bangsa dinilai
mengabaikan hak masing-masing budaya yang ada untuk mengaktualisasi
diri secara sepenuhnya. Postmodernisme radikal, misalnya, menolak
naionalisme yang berporos pada homogenisasi, identitas dan esensi.
Posmodernisme radikal mengajukan konsep pluralisme radikal yang
menekankan liberalisasi perbedaan. Dimana setiap komunitas budaya
berhak mendefinisikan dirinya sendiri tanpa harus berpaling atau mengacu
patokan universal.
Masih dalam kerangka multikulturalisme, posmodernis radikal atau
biasa disebut postmodern libertarian memodifikasi paham modernisme
klasik. Liberalisme klasik adalah paham yang yang menekankan perlunya
perlunya pembatasan legal pada kekuasaan negara dalam mengurus
masyarakat untuk melindungi apa yang disebut john stuart mill sebagai
kebebasan negative idifidu atau kebebasan untuk mengeksekusi apa yang
disebut sebagai hak-hak ilmiah, ulienable atau yang lebih dikenal dengan
sebutan HAM (Hak Asasi Manusia) untuk mengeluarkan pendapat
menurut suara hati berserikat beribadah dan lain sebagainya. Posmodern
libertian menolak konsep HAM yang menekan konsep universalisme
dalam paham liberalisme klasik karena mengingkari perbedaan. Individu
harus dianggap sejauh memiliki kesempata yang sama dalam
mengekspresikan perbedaannya.
Ini diperkuat lagi oleh tesis Terry Eagleton tentag Universalisme
(sarup 1996: 63). Universalisme menurut Terry, bukan hak dan kewajiban
abstrak sbagai lawan dari partikularitas ras, etnis, agama dan gender
melainkan pengakuan bahwa setiap perbedaan individu dapat
teraksenturasi secara sempurna
Negara dalam konteks multikulturalisme sendiri harus sejalan
dengan prinsip plurailsme. negara yang menghargai kemajemukan budaya
menurut postmodern libertian adalah negara ynag tidak lagi merumuskan
kerangka ideal idiologi maupun kultural bagi komunitas-komunitas
budaya untuk menyesuakan diri. Proyek negara bangsa dianggap sebagai
represi terhadap potensi berbagai komunitas budaya untuk merealisasikan
dirinya secara unik. Konsep negara multicultural adalah negara menjaga
jarak terhadap persoalan kultur dan menjamin tiap komunitas budaya
untuk mengurus urusan kulturnya sendiri.7
b. Akar Sejarah Multikulturalisme
Secara histories sejak jatuhnya presiden Soeharto dari
kekuasaannya yang kemudian disebut sebagai “Era Reformasi”,
kebudayaabn Indonesia cenderung mengalami dis integrasi. Dalam
pandangan Azyumardi Azra, bahwa krisis moneter, ekonomi dan politik
yang bermula sejak akhir 1997, pada gilirannya mengakibatakan terjadinya
krisis sosio-cultural didalam kehidupan bangsa dan negara. Jalinan tenun
masyarakat (fabric Society) tercabik-cabik akibat krisis yang melanda
masyarakat.8
Krisis social budaya yang meluas itu dapat disakasikan dalam
berbagai bentuk disorientasi dan dislokasi banyak kalangan masyarakat
kita.,misalnya: disintegrasi social politik yang bersumber dari euphoria
kebebasan yang nyaris kebablasan; lenyapnya kesabaran social (social
temper) dalam menghadapi realitas social yang semakin sulit sehingga
mudah mengamuk dan melakukan berbagai macam tindak kekerasan dan
anarkhi; merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hokum, etika,
moral, dan kesantunan sosial; semakin meluasnya penyebaran narkotika
7 Aryo Danusiri dan Wasmi Alhasiri, Pendidikan Memang Multikultural, Beberapa Gagasan, SET, Jakarta 2002, Cet 1, Hal. 3-5
8Lihat dalam Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Budaya Indonesia, http://kongres. Budpar. Go.id/agenda / prekongres / makalah /abstrak /azyumardi. htm
dan penyakit-penyakit sosial lainnya; berlanjutnya konflik da kekerasan
yang bersumber atau sedikitnya bernuansa politis, etnis dan agama seperti
terjadi di Aceh, Kalimantan Barat, dan Tengah, Maluku Sulawesi tengah,
dan lain-lain.
Disorintasi, dislokasi atau krisis social budaya dikalangan
masyarakat kita semakin merebah seiring dengan kian meningkatnya
penetrasi dan ekspansi budaya barat khususnya Amerika sebagai akibat
proses globalisasi yang terus tidak terbendung. Berbagai ekspansi social
budaya yang sebenarnya ” alien” (asing), yang tidak memiliki basis dan
preseden kulturalnya dalam masyarakat kita, semakin menyebar dalam
masyarakat kita sehingga memunculkan kecenderungan-kecenderungan
“gaya hidup” baru yang tidak selalu sesuai dengan dan kondusif bagi
kehidupan social budaya masyarakat dan bangsa (cf. al-roubaie 2002).
Hal ini bisa dilihat misalnya, dari semakin merebaknya budaya-
budaya Mc Donald, juga makna instant lainnya dan, dengan demikian,
budaya serba instant; meluasnya budaya telenofela yang menyebarkan
permisivisme, kekerasan, dan hedonisme; membawanya MTV Asia,
falentine’s day, dan kini juga pup night dikalanga remaja. Meminjam
ungkapa Edward Said, gejala ini tidak lain daripada ”cultural
imperialism” baru, yang menggantikan emperialisme klasik yang
terkandung dalam “orientalisme”.
Dari berbagai kecenderungan ini, orang bisa menyaksikan
kemunculan kultur hybrid, budaya gado-gado tanpa identitas di Indonesia
dewasa ini. Pada satu segi, kemunculan budaya hybrid tampaknya tidak
terelakkan, khususnya karena proses globalllisasi yang semakin sulit
dihindari. Tetapi pada segi lain, budaya hybrid apalagi yang bersumber
dari dan didominasi oleh budaya luar, karena dominasi dan hegemoni
politik, ekonomi dan informasi mereka dapat mengakibatkan krisis budaya
nasional dan local lebih lanjut. Tidak hanya itu, budaya hibryd dapat
mengakibatkan lenyapnya identita cultural nasional dan local; padahal
identitas nasional dan local tersebut mutlak diperlukan bagi terwujudnya
integrasi social, cultural dan politik masyarakat dan negara bagian
Indonesia.
Pluralisme cultural diasia tenggara, khususnya Indonesia, Malesia
dan Singapura sebagai mana di kemukakan Heffner (2001: 4), sangat lah
mencolok; terdapat beberapa wqilaya lain didunia yang memiliki
pluralisme cultural seperti itu. Karena itu lah dalam teori politik barat
sepanjang dasawarsa 1930-an, wilayah ini khususnya Indonesia dipandang
sebagai “Lokus Klasik” bagi konsep “masyarakat majemuk atau plural”
(plural Societi)yang diperkeenalkan ke dunia barat JS Furnivall (1944,
1948).
Menurut furnivall, masyarakat plural adalah masyarakat yang
terdiri dari dua atau lebih unsure-unsur atau tatanan social yang hidup
berdampingan tetapi tidak bercamput dan menyatu dalam satu unit politik
tunggal (Furnivall 1944: 446). Teori furnivall ini banyak berkaitan dengan
berkaitan dengan realitas social politik eropa yang relative ”homogen”,
tetapi sangat diwarnai chauvinisme etnis, raial, agama dan gender.
Brdasarkan kerangka social cultural, politik dan pengalaman eropa,
Furnivall memandang masyarakat-masyarakat plural asia tengggara
khususnya Indonesia, dan terjemus kedalam anarkhi jika gagal
menemukan formula federasi pluralis yang memadai (Furnivall 1944: 468-
9).
Meski demikian, berbeda dengan ”Doomed scenario” Furnivall,
mayarakat-masyarakat Asia Tenggara, khususnya Indonesia, pada
akhirnya setelah perang dunia dua dapat menyatu dalam satu kesatuan unit
politik tunggal. Tetapi, harus diakui, kesatuan politik tidak menghilangkan
realitas pluralitas sosila budaya yang bukannya tidak sangat devinisif,
khususnya jika negara bagian baru seperti Indonesia gagal menemukan
“common platform” yang dapat mengintegrasikan berbagai keragaman itu.
Pada hal, pada saat yang sama, kemerdekaan yang dicapai Negara-negara
baru ini mendorong bangkitnya sentiment etno-religius yang dapat sangat
eksklusif karena didorong semagat yang menyala-nyala untuk mengontrol
kekuasaan (Geertz 1973).9
Menurut analisis Muhaemin el-ma’hadi, akar sejarah
multikulturalisme bisa dilacak secara histories, bahwa sdikitnya selama
tiga dasawarsa kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat
terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat
untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang
muncul karena adanya perbedaan secara terbuka, rasional dan damai.10.
Paling tidak ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa
berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan
konflik yang sering muncul. Pertama, pandangan kaum primordialis.
Kelompok ini mengnggap bahwa perbedaan genetika, seperti suku dan ras
(juga agama), merupakan sumber utamalahirnya benturan etnis dan
kepentingan.
Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku,
agama dan identitas yang lain sebagai alat yang digunakan individu atau
kelompok untuk mengejar tujuan yang ebih besar, baikdalam bentuk
materiil maupun non-materiil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan oelh
para politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok
identitas. Denga meneriakkan “Islam” misalnya, diharapkan semua orang
Islam merapatkan barisan untuk mem back up kepentingan politiknya.
Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap
orang mau mengalah dari prefence yang dekehendaki elit, selam itu pula
benturan antar kelompok identitas dapat dihindari, bahkan tidak terjadi.
Ketiga, pandangan kaum konstruktivis, beranggapan bahwa
identitas identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang
dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah
hingga membentuk jarigan relasi pergaulan social. Karenanya, etnisitas
merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling
memperkenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah
anugrah dan perbedaan adalah berkah.9 Khoirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, pustaka Pelajar, yogyakarta, 2006, hal. 8710ibid, hal 88
Menurut Irwan, multikulturalisme adalah sebuah paham yang
menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya local
dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada.
Dengan kata lain, penekanan utama multikulturalisme adalah kesetaraan
budaya.11
Pada pertengahan 2002, sebuah jurnal antropologi mengadakan
symposium internasional yang bertemakan membangun kembali Indonesia
yang bhineka tunggal ika menuju masyarkat multicultural. Symposium ini
menghasilkan konsep penting, bahwa keragaman budaya dalam sebuah
komunitas besar (bangsa) merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa
terelakkan sebagaimana dikatan Gus Dur, kebudayaan semua bangsa pada
hakikatnya adalah kenyataan yang majemuk atau pluralistic.
Sebuah bangsa tidak akan berkembang apabila tingkal
pluralitasnya kecil. Begitu pula dengan sebuah bangsa yang besar, jumlah
perbedaan kebudayaannya, akan menjadi kerdil apabila ditekan secara
institusional. Bahkan, tindakan semacam ini akan merusak nilai-nilai yang
ada dalam budaya itu sendiri. Akibatnya, perpecahan dan tindakan-
tindakan yang mengarah pada anarchi menjadi sebuah sikap alternative
masyarakat ketika pengakuan identitas dirinya terhambat.12
Dari beberapa penertian yang diberikan oleh beberapa orang ahli,
terdapat pengertian yang cukup mendunia, yaitu pengertian
multikulturalisme sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan
dalam Politic of recognition. Hal seperti ini juga disampaikan oleh Perekh
dalam bukunya National Culture and Multiculturalsm, yang secara jelas
membedakan lima macam multikulturalisme. Tentu saja, pembagian
pembagian bentuk multikulturalisme itu tidak kedap air, sebaliknya bisa
tumpang tindih dalam segi-segi tertentu. Kelima macam multikulturalisme
tersebut adalah:
Pertama, multikulturalisme isolalasionis yang mengacu kepada
masyarakat diman berbagai kelompok masyarakat cultural menjalankan 11 Masdar Hilmi, Melembagakan Dialog (Antar Teks) Agama, Kompas, Jakarta , 5 April 2002, 4 12 Abdurahman Wakhid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Depok Desantra,2001, II
kehidupan secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal
satu sama lain. Kedua, multikulturalisme akomodatif, yakni masyarakt
plural yang memiliki domonan, yang membuat penesuaian dan akomodasi
bagi kebutuhan kaum minoritas.
Ketiga, multikulturalisme otonomis, yakni masyarakat plural
dimana kelompok-kelompok cultural utama berusaha mewujudkan
ksetaraan (equality) dengan budaya dominan dan mengangankan
kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat
diterima. Kepedulian pokok kelompok-kelompok cultural terakhir ini
adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak
yang sama dengan kelompok dominan. Mereka menentang kelompok
cultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana
suatu kelompok dapat eksis sebagai mitra sejajar.
Keempat, multikulturalisme kritikal atau interaktif,. Yakni
masyarakat plural dimana kelompok-kelompok tidak terlalu peduli dengan
kehidupan cultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur
kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif
distingtif mereka.
Kelima, multikulturalisme cosmopolitan, yakni multikulturalisme
yang berusaha menghapuskan batas-batas cultural sama sekali untuk
menciptakan sebuah masyarakat dimana setiap indifidu tidak lagi terikat
dengan budaya tertentu. Sebaliknya, mereka secara bebas terlibat dalam
eksperimen-eksperimen intercultural da sekaligus mengembangkan
kehidupan cultural mereka masing-masing.Para pendukung
multikulturalisme jenis ini, yang sebagian besar adalah intelektual
diaspororik dan kelompok-kelompok liberal yang memiliki kecenderungan
posmodernis memandang seluruh budaya sebagai resources yang dapat
mereka pilih dan ambil secara bebas.13
c. Multikulturalisme Sebagai Kearifan Universal13 Alwi Sihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung :
Mizan, 1999, hal. 132
Multikulturalisme adalah kearifan untuk melihat keaneka ragaman
budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat.
Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani
kehidupan bersama dengan melihat realitas plural sebagai kemestian hidup
yang kodrati, baik dalm kehidupan dirinya sendiri yang multidimensional
maupun dalam kehidupan masyarakat yang lebih kompleks, karenaya
muncul kesadaran bahwa keaneka rabgaman dalam realitas dinamik
kehidupan adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat ditolak, diingkari,
apalagi dimusnahkan (Musa Asyarie, 2004)14.
Multikulturalisme sesungguhnya tidaklah dating tiba-tiba. Sebagai
suatu kearifan, multikulturalisme sesungguhnya merupakan buah dari
perjalanan intelektual yang panjang, setelah sekian lama bergulat dan
terlibat berbagai gejolak dan konflik. Karena itu, multikulturalisme bukan
mermupakan barang dagangan yang diperjual belikan kepada founding
sebagaimana yang dituduhkan oleh sejumlah kalangan yang
mencurigainya. Multikulturalisme adalah posisi inteletual yang
menyatakan keberpihakannya pada pemeknaan terhadap persamaan,
keadilan, dan kebersamaan untuk memmperkecul ruang konflik yang
distruktif15. Multikulturalisme sangat memerlukan dialektika kreatif,16
Karena itu, multikulturalisme memerlukan ruang dinamis untuk
menguji kesahihan pemikirannya sendiri dengan mengajak dan membuka
dialog dengan berbagia kalangan lintas agama, social, ekonomi, politik,
budaya, sebagai manifestasi dari filosofi multikulturalisme itu sendiri yang
selalu berusaha mejauh dari jebakan penyempitan wwasan
paradigmatiknya. Multikulturalisme harus dibagun dengan berbasis pada
pandangan filsafat yang memandang konflik sebagai fenomena permanent
yang lahir bersama-sama dengan keaneka ragaman dan perubahan yang
denagn sendirinya selalu terbawa oleh kehidupan itu sendiri, dimanapun,
kapan pun, dan siapa pun.
14Khoirul makhfud, opcit, hal. 103 15ibid, hal. 104 16 Civic Education, opcit, hal. 118
Multikulturalisme memandang bahwa keanekaragaman, perubahan
dan konflik sebagai suatu yang positif utuk memperkaya spiritualitas dan
memperkuat iman. Dengan demikian, multikulturalisme eperti burung
yang mengangkasa dan melangit keluar dari batas-batas keberpihaka yang
distruktif, melintas batas konflik untuk memberikan solusi alternative yang
mencerdaskan dan mencerahkan.
Pada tahap ini, multikulturalisme sesungguhnya menjadi anugrah
dan rahmat bagi kehidupan semesta, karena memungkinkan harmoni
kehidupa semesta itu tetap terjaga, lestari dan berkesinambungan dengan
semangat berlomba-lomba dalam kebajikan dengan
menumbuhkembangkan persaingan yang sehat dan kreatif (fastabiqul
khoirot). Sebagaimana ditegaskan dalam QS. : 48, yang maknanya sebagai
berikut: “untuk tiap-tiap umat diantara kamu kami berikan aturan (syariah)
dan jalan yang terang (manhaj).sekiranya Allah swt menghendaki niscaya
kamu dijadikan-Nya satu ummat (saja). Tetapi, Allah hendak menguji
kamu atas pemberian-Nya kepadamu , maka berlomba-lombalah berbuat
kebaikan. Hanya kepada Allah lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan.17
d. Pandangan Islam Inklusif; Suatu Basis Teologis Islam Multikulturalis
Sekiranya benar apa yang telah di tuliskan oleh Malik Fadjar
bahwa,masalah penghayatan agama penting diperbincangkan kembali pada
saat kita tengah berada di penghujung abad ke-20, sebab dalam waktu
yang tidak lama lagi, kita aka memasuki millennium baru abad 21.
sebagaimana lazimnya sebuah pergantia zaman, baik dalam rentang waktu
yang pendek ataupun yang panjang, didalamnya pasti dijumpai banyak
perubahan yang menyentuh sendi-sendi kehidupa manusia. Tidak saja
fisik, tapi juga dimensi psikologis, budaya, politik, idiologis dan lain
sebagainya.
Yang dapat kita rasakan sepintas, perubahan itu bergerak dari pola
17ibid hal.107
masyarakat lama menuju pola masyarakat baru. Pencitraan secara
konseptual telah banyak diberikan oleh kalangan ilmuan social. Daniel
Bell misalnya, mengajukan post industrial society untuk menggambarkan
terjadinya pergeseran dari industri yang lebih menekankan manufaktur ke
industri yang lebih mengandalakan sector jasa (informasi).
Sebelumnya kita juga telah mengenal pencitraan oleh kalangan
ilmuan social klasik. Kita sebut di sini diantaranya, Ferdinand Tonies,
yang terkenal dengan dengan uraiannya tentang gemeinschaft, masyarakat
paguyuban (community) dan gesellschaft, masyarakat patembayan
(society). Yang lain adalah Emile Durkheim, tentang pergeseran dari
solidaritas organic kesolidaritas mekanik. Semua pencitraan bersepakat
tentang satu hal, mayarakat terus bergerak menuju perubahan. Ibnu
Kkholbun pernah mengatakan dalam bukunya yang monumental
muqoddimah, tidak ada masyarakat yang tidak berubah. Dan kita selalu
mendengar ungkapan klasik, tidak ada yang abadi di dunia kecuali
perubahan itu sendiri. Karena perubahan ini berdimensi sangat luas, tentu
saja akan berpengaruh dalam dunia keagamaan.18
Meskipun dalam banyak hal ajaran Islam bersifat abadi, tidak
terikat oleh perkembangan tempat dan waktu, tetapi ada juga ajaran islam
yang (terutama yang berhubungan kehidupan social kemasyarakatan),
selalu membutuhkan penafsiran ulang sehingga islam kontekstual dengan
perkembangan kehidupan manusia.19
Lonceng Globalisasi dan demokratisasi telah membawa perubahan
yang begitu besar dan menyangkut seluruh dimensi kehidupan umat
manusia, globalisasi disamping menciptakan suatu tatanan kehidupan
tanpa batas atau sekat ternyata disis lain juga menimbulkan kesadaran dan
kebangkitan budaya local. Kebudayaan yang telah mengakar, akan lebih
kuat bilaman berasimilasi denagn kultur setempat atau budaya local,
sehingga konflik dan kekerasan juga tak jarang ada unsur atau sumbang
18 H. A. Malik Fadjar, Fisi Pembaharuan Pendidikan Islam, LP3NI, Jakarta, cet 1, hal. 183
19Ibid, hal. 184.
sih dari agama. Sebagaimana yang telah dikemukakan Ainil Yaqin, agama
seharusnya dapat menjadi pendorong bagi ummat manusia untuk selalu
menegakkan perdamaian da meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh
ummat manusia di bumi ini. Sayangnya, dalam kehidupan yang
sebenarnya, agama justru menjadi salah satu penyebab terjadinya
kekerasan dan kehancuran umat manusia Masih menurut Ainul
Yaqin,kenyataan pahit menyangkut kehidupan ummat beragama ini
dialami oleh berbagai pemeluk agama dan terjadi di seluruh belahan dunia.
Di Bosnia Herzagovina, ummta islam dan katolik saling
membunuh. Di Afrika, tepatnya di Nigeria, sering terjadi kontak berdarah
antara ummat Katolik dan Islam. Di irlandia utara, Ummat Kristen dan
Katolik terus saling bermusuhan hingga kini. Di timur tengah, meski
kekerasan yang timbul di kawasan ini di tengarai bukan disebabkan
perbedaan agama, akan tetapi kelompok-kelompok yang bersitegang justru
mewakili tiga jenis golongan masyarakat yang berbeda seperti Islam,
Yahudi, da Kristen dan juga wilayah Kashmir, umat Hindu dan Islam
hingga sekarang ini saling melakukan kekerasaan.20 Salah satu factor
utama penyeban terjadinya konflik keagamaan yang tdak disebutkan
dalam pembahasan diatas adalah adanya pemahaman keberagamaan yang
masih ekslusif.21 Pemahaman keberagamaan ini tidak bisa dipandang
sebelah mata karena pemahaman ini dapat membentuk pribadi yang
antipati terhadap pemeluk agama lainnya.22
Islam perlu memanfaatkan momentum kebagkitan agama-agama di
dunia yang terjadi sejak decade 70-an, yang secara deferensial berbeda
dalam bentuk dan substansi dari apa yang pernah berkembang pada
pertengahan pertama abad ke-20. dari segi bentuknya agama semakin
menunjukkan kecenderungan kurang kaku dan umum (general) sebagai
lawan-lawan dari agama-agama konfensional yang particular.23 Dari segi
20 Ainul Yaqin, Hal 3421 Alwi Sihab, Opcit, hal 40 22 H. Sudarto, Konflik Islam Kristen; Menguak Akar Masalah Hubungan Antar Umat
Beragama di Indonesia, Pustaka Riski Putra, Semarang 1999, hal. 2-423 Lihat missal D.G. Jones and R.L. Richey, eds. American Civil Religion, New York :
substansinya, agama-agama mulai mengupayakan realisasi komunitas
global universal dengan visi dan nasib bersama. Dalam konteks ini Islam
syogiyanya muncul sebagai agama universal, agama general yang visible
dalam wacana dan pergerakan dan geraka kepedulian terhadap kelestarian
lingkungan hidup (environmentalism).kesempatan ini pula yang tidak
boleh diabaikan oleh Islam untuk menjadi pemain utama arus perubahan
menuju perdamaian sejati.
Kita berharap, abad 21 akan menyaksikan kebagkitan sebuah
religius-spiritual global baik dalam wilayah public dan privat, meskipun
peran marginal dari institusi-institusi keagamaan tradisional masih dapat
dilihat dalam kehidupan keseharian banyak penduduk dunia. Disinilah
tingkat segnifikansi setiap agama untuk mengembangkan dan menguji
kembali tradisi masing-masing dalam rangka merespon tantangan ini, tak
terkecuali Islam sebagai agama dengan mayoritas pengikut di Indonesia.
Islam sebagai agama, kebudayaan dan peradaban besar di dunia
sudah masuk ke nusantara sejak abad 7 dan terus berkembang hingga kini.
Ia telah memberikan sumbangsih bagi keaneka ragaman kebudayaan local
Nusantara. Islam tidak hanya hadir dalam bentuk tradisi agung (great
tradition) bahkan memperkaya pluralitas dengan islamisasi kebudayaan
dan pribumisasi islam yang pada gilirannya banyak melahirkan tradisi-
tradisi kecil (little traditions) Islam. Berbagai warna islam dari aceh dan
melayu, jawa, sunda, sasak, bugis da sebagainya riuh rendah memberikan
corak tertentu kemajemukan, yang akibatnya bisa berwajah ambigu.
Di satu sisi dengan keragamannya Islam berjasa bagi pnciptaan
landasan kehidupan bersama dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara; Islam menawarkan norma-norma, sikap dan nilai-nilai yang
dapat memperluas relasi damai diantara komunitas-komunitas etnik,
Harper and Row. 1974, hal. 3. mengahiri abad 20, kita menyaksiakan suatu minat baru terhadap potensi nilai-nilai keagamaan tradisional untuk memecahkan persoalan global berkaitan dengan identitas cultural di dunia modern. Hampir terjadi diseluruh dunia, penduduk bumi kembali pada kitab suci dan mitos-mitos kuno mereka dalam rangka mencari gagasan-gagasan yang mendorong, misalnya, sikap protektif terhadap alam. Di sana juga disaksikan suatu kepedulian yang semakin meluas untuk memperbaiki suatu keseimbangan etis antara manusia dan kebutuhan-kebutuhan relasionalnya dalam masyarakat tekniologi tngkat tinggi.
budaya dan agama. Sejumlah kajian sosiologis dan antropologis telah
menunjukkan potensi pandangan dunia agama (baca Islam) untuk
mereduksi ketegangan dan menyediakan solusi nirkekerasan terhadap
konflik dalam berbagai setting cultural.
Dan secara langsung atau tidak langsung keragaman Islam juga
dapat menyumbang potongan-potongan kayu dalam kobaran api konflik,
ketegangan dan friksi antar kelompok yang terus membesar disisi
lain.Dalam situasi konflik komunal yang berkepanjangan inilah, Islam
perlu meredefinisi kehadirannya dalam konteks keragaman agama dan
budaya, sekaligus menawarkan suatu harapan dan perspektif k keagamaan
baru bahwa Islam seraut wajah yang tersenyum (smilling face of Islam),
damai dan nirkekerasan. Islam perlu memberikan nuansa paradigmatic.24
Sebagai risalah profetik, Islam pada intinya adalah seruan kepada
semua umat manusia, termasuk mereka para pengikut agama-agama,
menuju satu cita-cita bersama kesatuan kkemanusiaan (Unity of
Humankind) tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan dan
agama. Karena umat manusia itu tak ubahnya waktu, keduanya maju tak
tertahankan. Dan sama seperti tak ada jam yang tertentu yang mendapat
kedudukan khusus, begitu pula tak ada satupun orang, kelompok, ataupun
bangsa manapun yang dapat membanggakan diri sebagai diistimewakan
Tuhan (no chosen people), Al quran tealh memuat proposisi tentang
ktiadaan manusia baik secara pribadi maupun komunal yang terlahir
sebagai mahluk yang memiliki potensi yang lebih atas manusia lain, tak
ada satu pun manusia yang terlahir atau tercipta sebagai tuhan bagi yang
lain, pengakuan terhadap suatu suku, ras, darah, keturunan ataupun apapun
bentuknya bila manamengarah pada satu pendiskriditkan atas akomunitas
lain lain adalah suatu pengingkatra atas prinsip taukhid, dimana taukhid
merupakan suatu konsep keagamaan dalam islam yang menempati pssisi
wahid, pengingkaran atas pandangan taukhid adalah suatu penekutuan.
Sebagimana ala quran telah meberikan kerangka normative yang jelas
24 Zakiyyudin Baidhowi, Opcit, hal. 43-44
dalam menbagun tata kehidupan social kemasyarakatan:
“katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan).
Bergegaslah menuju dialog dan perjumpaan multicultural
(kalimatussawa) antara kami dan kamu”25 (Q.S Ali Imron 3: 64)
Dari kutipan ayat al Quran di atas, membangun pandangan
teologis yang lebih mengahargai perbedaan adalah mutlak diperlukan,
lebih-lebih dalam konteks sebuah bangsa yang relative plural, kebutuhan
akan kesadaran keberagamaan yang inklusif-plurlis dan bahkan
multikulturalis adalah salah satu pilar bagi terciptanya perdamaian.
Pandangan kebeagamaan multikulturalis setidaknya akan mengantarkan
bagi pemeluknya untuk lebih ramah perbedaan, baik menyangkut seputar
penyikapan heterogenitas rasioal, kemajemukan budaya, adat istiadat dan
bahasa yang merupakan kenyataan social tak terbantahkan, yang hadir
ditengah kehidupan social umat manusia..
Memang kemajemukan merupakan nilai plus bagi sebuah bangsa
untuk lebih bisa maju dan berkembang menjadi bangsa, akan tetapi juga
menyimpan konfik potensial bagaikan bom waktu yang kapan saja bisa
meledak dengan memanasnya suhu politik, kepentingan ekonomi, foktor
pertentangan dan perselisiskhan mengenai pemahaman agama, perang suci
dan motifmotf lainnya yang dapat memberikan sumbangan bagi
terselutnya konflik social.
25Prof. R.H.A. Soenarjo S.H.Depag RI, Al-Quran Dan terjemahannya, Depag RI Jakarta, 1996, hal 65