BAB I
PENDAHULUAN
Obat berperan penting dalam pelayanan kesehatan. Penanganan dan
pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dilepaskan dari tindakan terapi dengan
obat atau farmakoterapi. Berbagai pilihan obat saat ini tersedia, sehingga
diperlukan pertimbangan yang cermat dalam pemilihan obat untuk suatu penyakit,
dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan, efek samping, interaksi antar
obat dan dari segi ekonomi.1
Intervensi farmakoterapi merupakan komponen yang tak terpisahkan
dalam pelayanan kesehatan. Dengan demikian, diperlukan suatu komunikasi yang
baik antara dokter dan penyedia obat agar pasien memperoleh pelayanan medik
yang baik. Salah satu bentuk alat komunikasi tersebut adalah resep.1 2
Resep juga perwujudan hubungan profesi antara dokter, apoteker dan
pasien. Selain itu, resep juga merupakan permintaan tertulis kepada apoteker
untuk mengambilkan obat dan merupakan perwujudan akhir dari kompetensi,
pengetahuan keahlian dokter dalam menerapkan pengetahuannya dalam bidang
farmakologi dan terapi.3,4
Berbagai hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan resep mengharuskan
dokter untuk lebih teliti dalam menulis resep. Penulisan resep dan penggunaan
obat yang tidak rasional dapat menurunkan mutu pengobatan dan pelayanan
kesehatan secara langsung maupun tidak langsung. Kerasionalan penulisan resep
adalah kesesuaian kombinasi obat dari sudut terjadinya interaksi antar obat dalam
resep yang meliputi interaksi farmakodinamik dan/atau interaksi farmakokinetik.5
1.1. Definisi dan Arti Resep
Definisi
Menurut SK. Mes. Kes. No. 922/Men.Kes/ l.h menyebutkan bahwa resep
adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada
Apoteker Pengelola Apotek (APA) untuk menyediakan dan menyerahkan obat
bagi penderita sesuai peraturan perundangan yang berlaku 3
Resep dalam arti yang sempit ialah suatu permintaan tertulis dari dokter,
dokter gigi, atau dokter hewan kepada apoteker untuk membuatkan obat dalam
bentuk tertentu dan menyerahkannya kepada penderita 6
Arti Resep
1. Dari definisi tersebut maka resep bisa diartikan/merupakan sarana komunikasi
profesional antara dokter (penulis resep), APA (apoteker penyedia/pembuat
obat), dan penderita (yang menggunakan obat).
2. Resep ditulis dalam rangka memesan obat untuk pengobatan penderita, maka
isi resep merupakan refleksi/pengejawantahan proses pengobatan. Agar
pengobatan berhasil, resepnya harus benar dan rasional.3
1.2. Kertas Resep
Resep dituliskan di atas suatu kertas resep. Ukuran yang ideal ialah lebar
10-12 cm dan panjang 15-18 cm. Untuk dokumentasi, pemberian obat kepada
penderita memang seharusnya dengan resep, permintaan obat melalui telepon
hendaknya dihindarkan.
Blanko kertas resep hendaknya oleh dokter disimpan di tempat yang aman
untuk menghindarkan dicuri atau disalahgunakan oleh orang yang tidak
bertanggung jawab, antara lain dengan menuliskan resep palsu meminta obat bius.
Kertas resep harus disimpan, diatur menurut urutan tanggal dan nomor
urut pembuatan serta disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Setelah
lewat tiga tahun, resep-resep oleh apotek boleh dimusnahkan dengan membuat
berita acara pemusnahan seperti diatur dalam SK Menkes RI
no.270/MenKes/SK/V/1981 mengenai penyimpanan resep di apotek. 6,7
1.3. Model Resep yang Lengkap
Resep harus ditulis dengan lengkap, supaya dapat memenuhi syarat untuk
dibuatkan obatnya di Apotek. Resep yang lengkap terdiri atas:6,7
a. Nama dan alamat dokter serta nomor surat izin praktek, dan dapat pula
dilengkapi dengan nomor telepon, jam, dan hari praktek.
b. Nama kota serta tanggal resep itu ditulis oleh dokter.
c. Tanda R/, singkatan dari Recipe yang berarti “harap diambil”
(superscriptio).
d. Nama setiap jenis atau bahan obat yang diberikan serta jumlahnya
(inscriptio)
e. Jenis/bahan obat dalam resep terdiri dari :
Remedium cardinale atau obat pokok yang mutlak harus ada. Obat pokok
ini dapat berupa bahan tunggal, tetapi juga dapat terdiri dari beberapa
bahan.
Remedium adjuvans, yaitu bahan yang membantu kerja obat pokok;
adjuvans tidak mutlak perlu ada dalam tiap resep.
Corrigens, hanya kalau diperlukan untuk memperbaiki rasa, warna atau
bau obat (corrigens saporis, coloris dan odoris)
Constituens atau vehikulum, seringkali perlu, terutama kalau resep berupa
komposisi dokter sendiri dan bukan obat jadi. Misalnya konstituens obat
minum air.
f. Jumlah bahan obat dalam resep dinyatakan dalam suatu berat untuk bahan
padat (mikrogram, milligram, gram) dan satuan isi untuk cairan (tetes,
milliliter, liter).
Perlu diingat bahwa dengan menuliskan angka tanpa keterangan lain, yang
dimaksud ialah “gram”.
g. Cara pembuatan atau bentuk sediaan yang dikehendaki (subscriptio)
misalnya f.l.a. pulv = fac lege artis pulveres = buatlah sesuai aturan obat
berupa puyer.
h. Aturan pemakaian obat oleh penderita umumnya ditulis dengan singkatan
bahasa Latin. Aturan pakai ditandai dengan signatura, biasanya disingkat
S.
i. Nama penderita di belakang kata Pro : merupakan identifikasi penderita,
dan sebaiknya dilengkapi dengan alamatnya yang akan memudahkan
penelusuran bila terjadi sesuatu dengan obat pada penderita.
j. Tanda tangan atau paraf dari dokter/dokter gigi/dokter hewan yang
menuliskan resep tersebut yang menjadikan resep tersebut otentik. Resep
obat suntik dari golongan Narkotika harus dibubuhi tanda tangan lengkap
oleh dokter/dokter gigi/dokter hewan yang menulis resep, dan tidak cukup
dengan paraf saja.
1.4. Seni dan Keahlian Menulis Resep yang Tepat dan Rasional
Penulisan resep adalah “tindakan terakhir” dari dokter untuk penderitanya,
yaitu setelah menentukan anamnesis, diagnosis dan prognosis serta terapi yang
akan diberikan; terapi dapat profilaktik, simptomatik atau kausal. Penulisan resep
yang tepat dan rasional merupakan penerapan berbagai ilmu, karena begitu
banyak variabel-variabel yang harus diperhatikan, maupun variabel unsur obat
dan kemungkinan kombinasi obat, ataupun variabel penderitanya secara
individual.3
Resep yang jelas adalah tulisannya terbaca. Misalnya nama obatnya ditulis
secara betul dan sempurna/lengkap. Nama obat harus ditulis yang betul, hal ini
perlu mendapat perhatian karena banyak obat yang tulisannya atau bunyinya
hampir sama, sedangkan khasiatnya berbeda.6
Resep yang tepat, aman, dan rasional adalah resep yang memenuhi lima
tepat, ialah sebagai berikut : setelah diagnosanya tepat maka kemudian memilih
obatnya tepat yang sesuai dengan penyakitnya diberikan dengan dosis yang tepat
dalam bentuk sediaan yang tepat, diberikan pada waktu yang tepat dengan cara
yang tepat untuk penderita yang tepat.6
Kekurangan pengetahuan dari ilmu mengenai obat dapat mengakibatkan
hal-hal sebagai berikut:6
Bertambahnya toksisitas obat yang diberikan
Terjadi interaksi antara obat satu dengan obat lain
Terjadi interaksi antara obat dengan makanan atau minuman tertentu
Tidak tercapai efektivitas obat yang dikehendaki
Meningkatnya ongkos pengobatan bagi penderita yang sebetulnya dapat
dihindarkan.
BAB II
ANALISA RESEP
2.1. Resep
Contoh Resep dari Poliklinik Mata
A. Resep asli
GAMBAR RESEP
B. Kelengkapan resep
Klinik : Poliklnik Mata
Tanggal : 9 Agustus 2011
Nama Pasien : Hj Asiah
Umur : 53 tahun
No. RMK : 67-62-67
Alamat : Jl Sultan Adam no 17 rt 25
Pekerjaan : -
Keluhan : Pasien datang dengan mata kemerahan semenjak 2 hari
yang lalu
Diagnosa RS : Konjungtivitis iritasi.
2.2. Analisis Resep
2.2.1. Penulisan resep
Secara umum resep kurang jelas terbaca dan cukup sulit untuk
dipahami. Seharusnya suatu resep harus jelas dibaca sehingga tidak
menimbulkan kesalahan dalam pemberian obat-obatan. Hal ini sesuai
dengan aturan penulisan resep yang benar tulisan harus dapat dibaca
dengan jelas agar tidak terjadi kesalahan dalam pemberian obat.
Resep sudah ditulis dengan bahasa latin sehingga sudah memenuhi
kriteria resep yang benar. Resep pada penulisan sudah ditulis dengan
menggunakan tinta, sehingga diharapkan tulisan pada kertas resep tidak
akan hilang selama penyimpanan.
Pada resep ini ukuran kertas yang digunakan lebarnya 21,5 cm
dan panjangnya 16 cm. Ukuran kertas resep yang ideal adalah lebar 10-
12 cm dan panjang 15-18 cm2. Berdasarkan ketentuan tersebut, ukuran
kertas yang digunakan pada resep ini, lebarnya dan panjang tidak ideal.
2.2.2. Kelengkapan Resep
1. Nama dan Alamat Dokter
Pada bagian atas tidak tercantum nama rumah sakit, dan kota
rumah sakit, sedangkan terdapat nama bagian instansi Rumah Sakit tempat
dokter tersebut bekerja. Nama dokter diketahui dari cap stempel yang ada
di kanan atas dan kanan bawah resep. Namun, pada bagian atas tidak
tercantum alamat lengkap rumah sakit, yang merupakan kelengkapan suatu
resep.
2. Nama Kota serta Tanggal Pembuatan Resep
Nama kota tidak dituliskan dokter, namun tanggal resep tersebut
tercantum dari cap stempel tanggal.
3. Tanda R/ (superscriptio).
Penulisan tanda R/ pada resep sudah sesuai dengan aturan
penulisan, yaitu penulisan tanda R/ dicantumkan di depan nama obat
pertama yang dibuat racikan, dan pada nama obat yang bukan racikan.
Setiap resep, termasuk yang magistralis diakhiri oleh garis penutup namun
penulisan paraf pada resep tidak ada.
4. Inscriptio
a) Jenis/bahan obat dalam resep ini terdiri dari :
Remedium Cardinale atau obat pokok yang
digunakan adalah Isoniazid dan Rifampisin.
Remedium Adjuvans atau obat tambahan yang
mendukung digunakan vitamin B6.
Remedium Corrigens tidak digunakan.
Constituens atau vehikulum tidak digunakan.
b) Pada resep ini disebutkan jumlah bahan obat yaing dinyatakan dalam
suatu berat sediaan padat yaitu tablet dan miligram, akan tetapi
penulisannya kurang jelas sehingga sulit dipahami.
c) Resep ini sudah mencantumkan berapa jumlah obat yang ingin
diberikan.
5. Subscriptio
Pada resep ini sudah mencantumkan cara pembuatan atau bentuk
sediaan yang dikehendaki (subscription). Cara penulisannya sudah
sesuai yaitu menggunakan istilah f.l.a. pulv yang berarti buatlah sesuai
aturan obat berupa puyer.
6. Signatura atau Transcriptio
a. Signatura terdapat pada kedua obat, hanya namun penulisan kurang
jelas dan sulit dibaca sehingga sulit mengetahui berapa frekuensi
penggunaan obat.
b. Waktu pemberian, pada obat pokok tidak dicantumkan waktu
pemberian misalnya : a.c atau p.c.
7. Nama pasien tercantum pada pojok kanan atas resep sedangkan umur
pasien, berat badan dan alamat tidak dicantumkan. Seharusnya
identitas pasien ditulis lengkap sehingga mudah menelusuri bila
terjadi sesuatu dengan obat pada pasien.
8. Tanda tangan dokter yang menuliskan resep terdapat pada kanan
bawah resep, ini menjadikan resep tersebut otentik.
2.2.3. Keabsahan Resep
Kertas resep yang digunakan di sini adalah resep Askes. Untuk
sahnya suatu resep harus tercantum hal-hal sebagai berikut :
Nama dan tanda tangan dokter penulis resep sudah tercantum,
Karena resep berasal dari Rumah Sakit, maka harus mencantumkan
nama, alamat, bagian/unit pelayanan Rumah sakit tersebut. Dan hanya
terdapat bagian/unit pelayanan Rumah Sakit.
Dari penjelasan di atas maka resep ini bisa dikatakan sah, karena ada
tanda tangan serta nama dokter yang menulis resep tersebut.
2.2.4. Dosis Obat, Frekuensi, Lama dan Waktu Pemberian
Isoniazid
Isoniazid merupakan obat tuberkulosis lini-pertama bersama
dengan rifampisin, etambutol, streptomisin dan pirazinamid. Isoniazid
masih tetap merupakan obat yang sangat penting untuk mengobati semua
tipe tuberkulosis. Mekanisme kerja isoniazid diduga menghambat
biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur penting dinding sel
mikobakterium. Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun
parenteral. Untuk tujuan terapi, obat ini harus digunakan bersama obat
lain. Untuk pencegahan dapat diberikan tunggal 8. Untuk pengobatan
tuberkulosis dibagi menjadi 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya sebagai tahap lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB
adalah minimal 3 macam obat pada fase awal/intensif (2 bulan pertama)
dan dilanjutkan dengan 2 macam obat pada fase lanjutan (4 bulan, kecuali
pada TB berat) 9. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap
intensif maupun lanjutan. Untuk kasus TB Kelenjar, pengobatan yang
dianjurkan adalah 2HRZE 4HR, artinya pengobatan 2 bulan pertama
dengan obat isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan ethambutol dan 4 bulan
fase lanjutan dengan obat isoniazid dan rifampisin.10
Dosis Isoniazid untuk anak adalah 5-7mg/kgBB/hari. Bentuk
sediaan yang ada di masyarakat adalah tablet 50mg, 100mg, 300mg dan
400mg serta sirup 10mg/ml. Dalam tablet kadang-kadang telah
ditambahkan vitamin B6.8,10
Pada resep ini, dosis isoniazid yang diberikan untuk anak adalah
sebesar 100 mg. Berdasarkan BB anak sebesar 19 kg, maka dosis isoniazid
pasien adalah 95-133 mg. Pemberian dosis pada anak sudah sesuai.
Frekuensi penggunaan obat sudah sesuai yaitu satu kali sehari. Untuk
sediaan obat, obat tersebut diubah dalam bentuk pulveres dan
dikombinasikan dengan vitamin B6. Berdasarkan usia anak yaitu 4 tahun,
masih rasional diberikan dalam bentuk puyer, karena kemungkinan anak
masih belum bisa menelan pil.
Dari jumlah obat yang diberikan yaitu sebanyak 30 bungkus sudah
rasional. Tidak diberikan langsung untuk sebanyak 4 bulan (120 bungkus)
agar dokter dapat mengontrol pemakaian obat oleh pasien sekalian untuk
mengecek apakah ada perbaikan setelah penggunaan obat OAT.
Vitamin B6
Piridoksin tersedia sebagai tablet piridoksin HCL 10-100 mg dan
sebagai larutan steril 100 mg/ml piridoksin hcl untuk injeksi. Selain untuk
mencegah dan mengobati defisiensi vitamin B6, vitamin ini juga diberikan
bersama vitamin B lainnya atau sebagai multivitamin untuk pencegahan
dan pengobatan defisiensi vitamin B kompleks. Piridoksin diindikasikan
untuk anemia yang responsif terhadap piridoksin yang biasanya
sideroblastik dan mungkin disebabkan kelaianan genetik. Indikasi lain
adalah untuk mencegah atau mengobati neuritis perifer oleh obat misalnya
isoniazid, sikloserin, hidralazin, penisilamin yang bekerja sebagai
antagonis piridoksin dan atau meningkatkan ekskresinya melalui urin.8
Dosis yang diberikan untuk anak yang mengalami defisiensi
piridoksin akibat obat-obatan lain adalah 10-50 mg/hari11. Pada resep ini
tidak jelas berapa dosis yang diberikan untuk anak. Hanya dituliskan
sebanyak 1 tablet. Frekuensi pemberian obat sudah sesuai yaitu satu kali
sehari.
Rifampisin
Rifampisin adalah derivat semisintetik rifamisin B yaitu salah satu
anggota kelompok antibiotik makrositik yang disebut rifamisin.
Rifampisin menghambat pertumbuhan berbagai kuman gram-positif dan
gram-negatif. Rifampisin meningkatkan aktivitas streptomisin dan
isoniazid terhadap M.Tuberkulosis, tetapi tidak bersifat aditif terhadap
etambutol. Rifampisin merupakan obat yang sangat efektif untuk
pengobatan tuberkulosis dan sering digunakan bersama isoniazid untuk
terapi tuberkulosis jangka pendek. Efek sampingnya beraneka macam.
Yang paling sering adalah ruam kulit, demam, mual dan muntah.8
Rifampisin di Indonesia terdapat dalam bentuk kapsul 150 mg dan
300 mg. Selain itu terdapat pula tablet 450 mg dan 600 mg serta suspense
yang mengandung 100 mg/5 ml rifampisin. Dosis untuk orang dewasa
dengan berat badan kurang dari 50 kg ialah 450 mg/hari dan untuk berat
badan lebih dari 50 kg ialah 600 mg/hari. Untuk anak-anak dosisnya 10-20
mg/kgBB per hari dengan dosis maksimum 600 mg/hari.8
Dosis rifampisin yang sesuai pada kasus berdasarkan berat
badannya 19 kg seharusnya antara 190-380 mg per hari. Pemberian dosis
pada kasus yaitu sebesar 200 mg sudah sesuai dengan dosis yang
dianjurkan. Untuk sediaan obat, obat tersebut diubah dalam bentuk
pulveres. Berdasarkan usia anak yaitu 4 tahun, masih rasional diberikan
dalam bentuk puyer, karena kemungkinan anak masih belum bisa menelan
pil. Frekuensi pemberian obat sudah sesuai yaitu satu kali sehari.
2.2.5. Bentuk Sediaan Obat
Pada resep kali ini bentuk sediaan yang diberikan adalah bentuk
sediaan puyer (pulveres). Obat yang diracik menjadi puyer adalah
isoniazid dengan vitamin B6 dan rifampisin.. ketiga obat tersebut berbentuk
tablet dan cocok untuk dijadikan puyer. Pemberian obat dalam bentuk
puyer untuk anak usia 4 tahun sudah rasional, karena umur tersebut anak
masih belum bisa menelan tablet atau kapsul apalagi dalam jumlah
banyak. Dihubungkan dengan kondisi penyakit sendiri yaitu pasien anak
yang menderita TB kelenjar sudah beberapa bulan, maka BSO ini sudah
cukup rasional.
2.2.6. Interaksi Obat
Obat yang diberikan pada kasus ini yaitu 3 jenis, yaitu isoniazid,
vitamin B6 dan rifampisin. Isoniazid bekerja menghambat biosintesis asam
mikolat yang merupakan unsur penting dinding sel mikobakterium.
Isoniazid merupakan obat tuberkulosis lini-pertama bersama dengan
rifampisin. Untuk tujuan terapi, obat ini harus digunakan bersama obat
tuberkulosis lain. Vitamin B6 sebagai multivitamin untuk pencegahan dan
pengobatan defisiensi vitamin B6. Rifampisin meningkatkan aktivitas
streptomisin dan isoniazid terhadap M.Tuberkulosis. Ketiga obat tersebut
diberikan secara oral dan dibuat dalam sediaan puyer. Untuk puyer
pertama terdiri dari kombinasi isoniazid dan vitamin B6. Untuk isoniazid
dan vitamin B6, tidak ada dilaporkan memiliki interaksi yang saling
menghambat diantara kedua obat tersebut. Sebaliknya, pemberian vitamin
B6 sangat dianjurkan pada pengobatan isoniazid karena isoniazid dapat
menyebabkan anemia dan vitamin B6 yang diberikan dalam dosis besar
dapat mengembalikan gambaran darah yang normal kembali.8
Interaksi antara isoniazid dengan rifampisin juga tidak ada
dilaporkan. Sebaliknya, penggunaannya sering diberikan dalam kombinasi
dengan isoniazid.8
2.2.7 Efek Samping Obat
a. Isoniazid
Reaksi hipersensitivitas mengakibatkan demam, berbagai kelainan
kulit berbentuk morbiliform, makulopapular, dan urtikaria. Reaksi
hematologik dapat juga terjadi seperti agranulusitosis, eosinofilia,
trombositopenia, dan anemia. Isoniazid dapat mencetuskan terjadinya
kejang pada pasien dengan riwayat kejang. Neuritis optik dengan atropi
dapat juga terjadi. Selain itu isoniazid dapat menimbulkan ikterus dan
kerusakan hati yang fatal akibat terjadinya nekrosis multilobular.
Penggunaan obat ini pada pasien yang menunjukkan adanya kelainan
fungsi hati akan menyebabkan bertambah parahnya kerusakan hati. Efek
samping lainnya yang terjadi adalah mulut terasa kering, rasa tertekan
pada ulu hati, methemoglobinemia, tinnitus dan retensi urin. Bila pasien
sebelumnya telah mempunyai predisposisi defisiensi piridoksin,
pemberian INH dapat menimbulkan anemia.8
b. Vitamin B6
Piridoksin dapat menyebabkan neuropati sensorik atau sindrom
neuropati dalam dosis antara 50 mg-2 gram per hari untuk jangka panjang.
Gejala awal dapat berupa sikap yang tidak stabil dan rasa kebas di kaki,
diikuti pada tangan dan sekitar mulut. Gejala berangsur-angsur hilang
setelah beberapa bulan bila asupan piridoksin dihentikan.8
c. Rifampisin
Rifampisin jarang menimbulkan efek yang tidak diingini. Yang
paling sering ialah ruam kulit, demam, mual dan muntah. Pada pemberian
berselang dengan dosis lebih besar sering terjadi flu like syndrome,
nefritis interstisial, nekrosis tubular akut dan trombositopenia. Yang
menjadi masalah ialah ikterus. Berbagai keluhan yang berhubungan
dengan sistem saraf seperti rasa lelah, mengantuk, sakit kepala, pening,
ataksia, bingung, sukar berkonsentrasi, sakit pada tangan dan kaki, dan
melemahnya otot dapat juga terjadi. Trombositopenia, leukopenia
sementara, dan anemia dapat terjadi selama terapi berlangsung.8
2.2.8 Analisis Diagnosis
Anamnesis kasus di atas kurang lengkap dan sangat tidak jelas
sehingga tidak dapat menerangkan gambaran secara tepat penyakit pasien
tersebut. Hanya tertulis diagnosis RS ialah TB kelenjar.
Pada rekam medik diketahui keluhan pasien pertama kali datang ke
RS ialah panas ±2 hari disertai sesak saat berbaring dan terdapat benjolan di
daerah leher. Diagnosis sebelumnya dipuskesmas ialah acute tonsilitis.
Kemudian dilakukan pemeriksaan FNAB di RS Ulin pada benjolan di
leher dan didapatkan hasil bahwa pasien anak menderita limfadenitis TBC.
Kemudian anak diberikan pengobatan selama 2 bulan dengan obat
rifampisin, isoniazid, vitamin B6 dan pirazinamid. Dan pada tanggal 6 juni
2011 (pembuatan resep) pasien kontrol kembali dan diberikan obat lanjutan
yaitu isonizid, vitamin B6 dan rifampisin.
Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah yang menonjol di
Indonesia. Bahkan Indonesia menduduki peringkat ketiga sebagai negara
dengan jumlah kasus terbanyak di dunia. Lebih dari 4000 orang meninggal
perhari karena penyakit yang disebabkan oleh TB di seluruh dunia. TB
juga merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di
negara berkembang. Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan.
Diperkirakan jumlah kasus TB anak pertahun adalah 5% sampai 6% dari
seluruh kasus TB. Tuberkulosis pada anak berusia kurang dari 15 tahun di
negara berkembang adalah sebesar 15% dari seluruh kasus TB, sedangkan
di negara maju sekitar 5-7%. Di Indonesia, 10% dari seluruh kasus terjadi
pada anak di bawah usia 15 tahun. Jumlah seluruh kasus TB anak dari 7
Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-2002)
adalah 1086 penderita dengan angka kematian antara 0% sampai 14.1%.
Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42.9%) sedangkan untuk
bayi (usia kurang 12 bulan) sebanyak 16.5%.11
Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M.
tuberkulosis pada pemeriksaan sputum, bilasan lambung atau cairan dan
biopsi jaringan tubuh lainnya. Kesulitan menegakkan diagnosis pasti pada
anak diakibatkan oleh dua hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya
pengambilan spesimen (sputum).11
Tabel 1. Kategori klinis dan keadaan klinis pada pasien anak dengan
tuberkulosis10
Pasien yang tergolong kategori I diberikan pengobatan selama 2
bulan dengan isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol dan diikuti 4
bulan selanjutnya dengan isoniazid dan rifampisin (2HRZE 4HR). Pasien
dengan Tuberkulosis CNS dan osteartikular tuberkulosis diberikan
pengobatan dengan 2HRZE 10HR. Untuk kategori II pasien diberikan 2
bulan pertama dengan isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambutol dan
streptomisin yang diikuti 1 bulan selanjutnya dengan isoniazid, rifampisin,
pirazinamid dan etambutol.lalu dilanjutkan dengan 5 bulan dengan
isoniazid, rifampisin dan etambutol (2SHRZE/1HRZE/5HR). Pasien dengan
kategori III diberikan pengobatan selama 2 bulan pertama dengan isoniazid,
rifampisin, dan pirazinamid dan diikuti 4 bulan berikutnya dengan isoniazid
dan rifampisin (2HRZ/4HR). Pasien dengan kategori IV diberikan
pengobatan setidaknya dengan tiga obat baru yang belum pernah digunakan
sebelumnya oleh pasien, dan obat tersebut diteruskan selama 24 bulan.
Dosis isoniazid yang diberikan adalah 5-7 mg/kgbb/hari, rifampisin 10-12
mg/kgbb/hari, pirazinamid 25-30 mg/kgbb/hari, etambutol 15-20
mg/kgbb/hari dan streptomisin 20 mg/kgbb/hari.10
Ada beberapa hal penyebab terjadinya resitensi terhadap obat anti
tuberkulosis, yaitu:12
1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang
kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi
terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan
INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut
sudah cukup tinggi.
3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau
tiga minggu lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian
berpindah dokter mendapat obat kembali selama dua tau tiga bulan lalu
berhenti lagi, demikian seterusnya.
4. Fenomena “addition syndrome” yaitu suatu obat ditambahkan dalam
suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi
karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka
penambahan (addition) satu macam obat hanya akan menambah
panjangnya daftar obat yang resisten saja.
5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan
secara baik sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.
6. Penyediaan obat yang tidak regular, kadang-kadang terhenti
pengirimannya sampai berbulan-bulan.
Usulan Penulisan Resep (p= 10cm, L=15 cm)
PROPINSI PEMERINTAH DAERAH TINGKAT IKALIMANTAN SELATAN
RUMAH SAKIT UMUM “ULIN”BANJARMASIN
Nama Dokter : dr. R.Wiken P.S, Sp.A Tanda Tangan Dokter
UPF/Bagian : Poli Tumbuh Kembang
Kelas I/II/III/Utama
Banjarmasin, 6 Juni 2011
R / Isoniazid 100mgRifampisin 200mgVitamin B6 10mgm.f.l.a pulv.d.t.d. No.XXXS. s.d.d.pulv I a.c.
Pro : M.Adithya Dharmawan
Umur : 4 tahun
BB : 19 kg
Alamat : Gg. II Rt.05 Kecamatan Banjarmasin Tengah
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis resep diatas dan berdasarkan 5 tepat pada resep
rasional, maka resep tersebut :
1. Tepat obat
Pemilihan obat dalam kasus ini sudah tepat sesuai dengan indikasi penyakit.
2. Tepat dosis
Pada resep ini sudah tepat dosis.
3. Tepat bentuk sediaan
Penulisan kurang jelas namun bentuk sediaan yang diberikan sudah tepat
yaitu pemberian puyer (pulveres) cocok untuk anak-anak yang belum bisa
menelan tablet.
4. Tepat cara dan waktu penggunaan obat
Pada resep ini obat diberikan per oral, hal ini sudah tepat sesuai dengan
keadaan pasien yang masih bisa menelan obat. Mengenai waktu penggunaan
obat tidak dituliskan dengan jelas kapan obat seharusnya diminum.
5. Tepat penderita
Penggunaan obat telah sesuai dengan keadaan pasien anak-anak.
Berdasarkan analisis maka dapat disimpulkan bahwa resep tersebut masih ada
beberapa kekurangan dan waktu pemberian juga tidak dicantumkan.
3.2. Saran
Pengobatan tuberkulosis pada anak sangat perlu diperhatikan karena
pengobatan tuberkulosis itu sendiri harus rutin dan tidak boleh terputus, sehingga
harus benar-benar diawasi dan terkontrol agar tidak terjadi resistensi terhadap
obat-obatannya.selain itu pemberian dosis harus tepat sesuai dengan panduan tata
laksana tuberkulosis pada anak.