i
ANALISIS PENGARUH KURS, SBI, dan INFLASI TERHADAP INDEKS HARGA SAHAM
SEKTOR INFRASTRUKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi (S.E.)
Disusun Oleh :
Imanta Syahfitra
11150840000010
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H/2019M
ii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
ANALISIS PENGARUH KURS, SBI, dan INFLASI TERHADAP INDEKS
HARGA SAHAM SEKTOR INFRASTRUKTUR DI BURSA EFEK
INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
untuk Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Disusun Oleh:
Imanta Syahfitra
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H/2019M
iii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF
Hari Kamis,tanggal 9 Mei 2019 telah dilakukan Ujian Komprehensif atas nama
mahasiswa
1. Nama : Imanta Syahfitra
2. NIM : 11150840000010
3. Jurusan : Ekonomi Pembangunan
4. Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Kurs, SBI, dan Inflasi terhadap Indeks
Harga Saham Sektor Infrastruktur di Bursa Efek
Indonesia
Setelah mencermati dan memperhatikan penampilan dan kemampuan yang
bersangkutan selama proses ujian komprehensif, maka diputuskan bahwa
mahasiswa tersebut di atas dinyatakan “LULUS” dan diberi kesempatan untuk
melanjutkan ke tahap Ujian Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 9 Mei 2019
iv
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ILMIAH
Yang bertanda tangan dibawah :
Nama : Imanta Syahfitra
NIM : 11150840000010
Fakultas : Ekonomi dan Bisnis
Jurusan : Ekonomi Pembangunan
Dengan ini menyatakan bahwa dalam penulisan skripsi ini saya:
1. Tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu
mengembangkan dan mempertanggungjawabkan.
2. Tidak melakukan plagiat terhadap naskah orang lain tanpa
menyebutkan sumber asli ataupun tanpa izin pemilik karya.
3. Tidak melakukan manipulasi dan pemalsuan data
4. Mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggung jawab
atas karya ini.
Jika kemudian hari ada tuntutan atas karya saya melalui pembuktian yang
dipertanggung jawabkan ternyata memang ditemukan bukti bahwa saya yelah
melanggar pernyataan, maka saya siap dikenai sanksi berdasarkan aturan yang berlaku
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta,November 2019
Imanta Syahfitra
NIM: 11150840000010
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
vi
I. Identitas Pribadi
1. Nama Lengkap : Imanta Syahfitra
2. Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 28 Januari 1998
3. Alamat : Jl. Mardani raya gang b no.8 rt. 9 rw. 5,
kelurahan cempaka putih barat,
kecamatan cempaka putih 10520
4. Telepon : 08818865263
5. Email : [email protected]
II. Pendidikan Formal
1. SD ISLAM TUGASKU Tahun 2004-2009
2. SMP Labschool Jakarta Tahun 2010-2012
3. SMAN 21 Jakarta Tahun 2013-2015
4. S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2015-2019
vii
III. Pengalaman Bekerja
1. Enumerator Lembaga Survei Indikator pada Pilkada DKI Jakarta tahun
2016
2. Internship Program PT. Trans Ocean Consulting tahun 2019
IV. Pengalaman Organisasi
1. Anggota Divisi Internal Himpunan Mahasiswa Jurusan Ekonomi
Pembangunan UIN Jakarta 2015-2016
2. Anggota Divisi LSO Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan UIN
Jakarta 2016-2017
3. Anggota Investor Saham Pemula 2017
V. Seminar dan Workshop
1. Seminar Pasar Modal Syariah “Invest Your Future Sharia Capital
Market” Lisensi dan Galeri Investasi Syariah UIN Jakarta 2017
2. Workshop Edukasi Keuangan “Edukasi Keuangan bagi Mahasiswa
FEB UIN Jakarta dalam rangka meningkatkan literasi dan inklusi
keuangan di kalanagan akademisi” Otoritas Jasa Keuangan 2018
viii
3. Company Visit Lisensi Goes To Kemenkeu “Mengkaji Kebijakan
Ekonomi Indonesia Terkini” Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian
Keuangan 2018
ix
ABSTRACT
The research aims to see how the exchange rate, SBI, and inflation affect the
stock price index of the infrastructure sector. This research uses secondary data and
uses time series data analysis with a double linear regression approach. The results
of this study showed that the exchange rate, SBI, and inflation were simultaneously
influential on the infrastructure sector stock price index in 2016-2019. However, the
SBI variable does not significantly affect the stock price index variable of the
infrastructure sector, whereas significant rate and inflation variables affect the
variables of the infrastructure sector stock price index in IDX period 2005-2019.
Keywords: Exchange Rate, SBI, Inflation, Infrastructure Sector Stock Price Index,
Multiple Linear Analysts.
x
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengaruh Kurs, SBI, dan
Inflasi terhadap Indeks Harga Saham Sektor Infrastruktur. Penelitian ini menggunakan
data sekunder dan menggunakan analisis data time series dengan pendekatan regresi
linier berganda. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Kurs, SBI, dan Inflasi
berpengaruh secara simultan terhadap Indeks Harga Saham Sektor Infrastruktur tahun
2016-2019. Namun variable SBI tidak signifikan mempengaruhi variable Indeks Harga
Saham Sektor Infrastruktur, sedangkan variable Kurs dan Inflasi Signifikan
mempengaruhi variable Indeks Harga Saham Sektor Infrastruktur di BEI periode 2005-
2019.
Kata Kunci : Kurs, SBI, Inflasi, Indeks Harga Saham Sektor Infrastruktur ,Analis
Linier Berganda.
xi
KATA PENGANTAR
Assalamu’allaikum Wr.Wb
Segala Puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan segala nikmat dan
keberkahan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaiakan skripsi yang
berjudul “ANALISIS PENGARUH KURS, SBI, dan INFLASI TERHADAP INDEKS
HARGA SAHAM SEKTOR INFRASTRUKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA”
dengan baik. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada baginda nabi besar
Muhammad SAW, yang telah membimbing umat nya dari zaman jahiliah menuju
zaman kebaikan, zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan, semoga kelak kita
semua bisa berkumpul di Yaumul Qiyamah kelak dan mendapatkan Syafa’at dari
beliau.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selesainya Skripsi ini tentu dengan dukungan, bimbingan, dan bantuan serta doa dari
orang-orang di sekeliling penulis selama proses pengerjaan skripsi ini. Oleh karena itu,
izinkanlah penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Orang tua, Ibunda ku Meizarini dan Ayahanda Zulkarnaini yang selalu
memberikan doanya yang tiada henti di setiap langkah dan hembusan
nafasnya, dukungan dan motivasi selalu membuat diri penulis semakin
semangat untuk menyelesaikan tugas Akhir ini, sehingga skripsi ini
xii
terselesaikan dengan baik. Serta tiga adikku tercinta Annisa, Qonita, dan
Zain as Nur yang selalu memberikan dukungan serta motivasi juga. Semoga
Allah selalu menjaga kita semua dan mencurahkan kasih sayang-Nya pada
kita.
2. Bapak Prof. Dr. Amilin, SE.,Ak.,M.Si.,CA.,QIA.,BKP.,CRMP selaku
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Bapak Dr. Hartana Iswandi Putra. M.Si dan Bapak Deni Pandu Nugraha
SE. M.Sc selaku Ketua Jurusan dan Sekertaris Jurusan Ekonomi
Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Dosen Pembimbing Skripsi, Bapak Dr. Hartana Iswandi Putra. M.Si,
terimakasih sebesar-besarnya atas seluruh kesediaan waktu, tenaga, pikiran
dan ilmu yang bermanfaat yang telah diberikan kepada saya hingga
penulisan skripsi ini selesai dengan baik. Semoga bapak beserta keluarga
selalu diberikan kesehatan dan keberkahan oleh Allah SWT.
5. Seluruh Jajaran Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan yang telah
memberikan ilmu yang sangat bermanfaat selama perkuliahan ini, dan
menjadi tempat berdiskusi , yang banyak memberikan pengetahuan baru
dan wawasan lebih luas.
6. Seluruh jajaran dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah memberikan
ilmu yang bermanfaat serta karyawan, maupun staf dari Fakultas Ekonomi
dan Bisnis yang telah melayani dan membantu penulis selama perkuliahan
7. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan
UIN Jakarta periode 2017/2018.
xiii
8. Sahabat Seperjuangan Di “SuperStar” Terima Kasih telah banyak memberi
motivasi, rasa kebersamaan, terima kasih atas segala kenangan yang kita
lalui bersama semenjak semester awal hingga sekarang.
9. Teman-teman di komunitas Investor Saham Pemula yang memberikan
banyak ilmu dari dunia saham dan memberikan masukan terkait pembuatan
skripsi ini.
10. Kawan-kawan Seperjuangan di Ekonomi Pembangunan 2015 terima kasih
atas kebersamaan, keceriaan, suka duka yang pernah kita lalui bersama.
Semoga kita semua di pertemukan dengan kesuksesan.
Penulis Menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena
keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman yang dimiliki penulis. Oleh sebab itu,
penulis mengharapkan segala bentuk kritik dan saran yang membangun untuk
pencapaian dan hasil yang lebih baik.
Wassalamuallaikum Wr.Wb
Jakarta, November 2019
Imanta Syahfitra
xiv
DAFTAR ISI
SAMPUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI…………………………………..i
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF…………………………………ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH……………………………iii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI……………………………………………iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ v
ABSTRACT ................................................................................................................... vii
ABSTRAK ..................................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR .................................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................................. xii
DAFTAR GRAFIK......................................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... xvii
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................... xx
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 13
xv
C. Tujuan Penelitan.................................................................................................. 13
D. Manfaat Penelitian............................................................................................... 14
E. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................... 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori .................................................................................................... 15
1. Ekonomi Makro ............................................................................................. 15
2. Pasar Modal ................................................................................................... 17
3. Peranan Pasar Modal ..................................................................................... 18
4. Instrumen Pasar Modal .................................................................................. 18
5. Indeks Harga Saham Gabungan ..................................................................... 20
6. Indeks Sektoral .............................................................................................. 21
7. Indeks Harga Saham Sektor Infrastruktur……………………………………..22
B. Kurs .................................................................................................................... 22
1. Pengertian Kurs ............................................................................................. 22
2. Jenis-Jenis Kurs ............................................................................................. 23
C. Suku Bunga ......................................................................................................... 27
1. Pengertian Suku Bunga .................................................................................. 27
2. Tingkat-Tingkat Suku Bunga………………………………………………… 27
D. Inflasi .................................................................................................................. 31
1. Pengertian Inflasi ........................................................................................... 31
2. Penggolongan Inflasi ..................................................................................... 31
E. Teori Produksi dan Biaya Produksi ...................................................................... 36
xvi
F. Teori Portofolio ................................................................................................... 37
G. Penelitian Terdahulu............................................................................................ 38
H. Hubungan Antar Variabel .................................................................................... 48
I. Kerangka Pemikiran ............................................................................................ 50
J. Hipotesis ............................................................................................................. 50
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................... 52
B. Jenis Penelitian .................................................................................................... 52
C. Metode Penentuan Populasi dan Sampel .............................................................. 53
D. Metode Pengambilan Data ................................................................................... 54
E. Metode Analisis Data .......................................................................................... 55
F. Pengujian Model ................................................................................................. 57
G. Uji Statistik ......................................................................................................... 61
H. Model Penelitian & Operasional Variabel Penelitian ........................................... 63
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Pembahasan(Analisis) ......................................................................................... 67
B. Analisis Teknik ................................................................................................... 75
1. Uji Asumsi Klasik ......................................................................................... 75
2. Uji Koefisien Determinasi ............................................................................. 78
3. Uji F Simultan ............................................................................................... 79
4. Probabilitas t Statistik .................................................................................... 80
xvii
C. Analisis Ekonomi ................................................................................................ 82
1. Pengaruh Nilai Kurs terhadap IHSSI.............................................................. 82
2. Pengaruh Tingkat Suku Bunga SBI terhadap IHSSI ....................................... 97
3. Pengaruh Inflasi terhadap IHSSI .................................................................... 100
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 110
B. Saran ................................................................................................................... 111
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 113
LAMPIRAN ................................................................................................................... 117
xviii
DAFTAR GRAFIK
4.2 Pertumbuhan Penjualan Rumah ........................................................................... 105
xix
DAFTAR GAMBAR
2.1 Kerangka Pemikiran ............................................................................................ 50
4.1 Data Global Competitiveness Index ..................................................................... 70
xx
DAFTAR TABEL
1.1 Anggaran Infrastruktur ........................................................................................ 5
2.2 Penelitian Terdahulu............................................................................................ 39
4.1 Anggaran Infrastruktur ........................................................................................ 69
4.2 Data Indeks Harga Saham Sektor Infrastruktur periode sebelum Jokowi .............. 72
4.3 Data Indeks Harga Saham Sektor Infrastruktur periode Jokowi ........................... 73
4.4 T test Paired Sample Statistic (Indeks Harga Shaam Sektor Infrastruktur) ........... 74
4.5 Output Uji Jarque-Bera ........................................................................................ 75
4.6 Output Uji Multikolinieritas ................................................................................ 76
4.7 Output Uji Heteroskedastisitas ............................................................................ 77
4.8 Output Uji Autokorelasi ...................................................................................... 78
4.9 Koefisien Determinasi ......................................................................................... 79
4.10 Output Uji Statistik secara Simultan .................................................................... 80
4.11 Output Uji Statistik Parametrik secara Parsial ...................................................... 58
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Data Penelitian ……………………..…..……………………………117
Lampiran 2 : Lampiran Hasil Output Eviews………………………………………118
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pesta demokrasi di tahun 2014 menghadirkan persaingan antara Jokowi
Dodo dan Prabowo Subianto,dimana Pilpres 2014 lalu dimenangkan oleh pasangan
Jokowi-JK. Seperti kita ketahui salah satu janji atau program Jokowi saat itu
dikenal dengan sebutan Nawacita. Nawacita terdiri dari 9 butir program prioritas
yang menjadi focus pemerihtahan Jokowi-JK. Butir-butir Nawacita dapat kita
akses di situs resmi kpu.go.id. Dalam butir ke-6 disebutkan pemerintahan Jokowi-
JK akan meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional
sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia
lainnya. Kemudian di butir ke-7 disebutkan pemerintahan kedepan akan
mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis
ekonomi domestik. Kita tahu di tengah ekonomi dunia yang makin terbuka,
keunggulan daya saing produk barang dan jasa menjadi penentu kemenangan suatu
bangsa.
Seperti kita tahu di Indonesia sudah lama mengalami yang namanya
disparitas harga, selain itu harga barang dan jasa di Indonesia menurut data lebih
mahal dibandingkan dengan negara-negara Asean lain, sehingga membuat daya
saing produk bangsa Indonesia kurang dapat bersaing. Bila kita lihat ke belakang
salah satu penyebabnya adalah infrastruktur yang kurang memadai. Sarana jalan
masih mengandalkan jalan arteri yang sering terhambat di beberapa tempat. Di lain
2
sisi pengangkutan barang menggunakan moda transportasi kereta api masih
dinomor duakan. Padahal infrastruktur berupa jalan, jembatan, rel kereta api,
pelabuhan laut, pelabuhan udara, waduk, sarana irigasi adalah urat nadi
perekonomian. Ibarat pembuluh darah, ia melancarkan pasokan oksigen ke seluruh
tubuh untuk memberi kesegaran pada badan. Jika peredaran darahnya baik, maka
akan memberikan kesehatan pada tubuh dan membuat tubuh dapat bergerak aktif
dan cepat dalam melakukan banyak hal. Begitu pula dengan perekonomian, apabila
jaringan infrastrukturnya baik dari segi kuantitas dan kualitas, maka distribusi
barang dan jasa pun akan cepat, efektif, dan efisien. Sehingga harga barang dapat
ditekan dan waktu pengiriman dapat dipercepat sehingga roda perekonomian dapat
berputar lebih cepat dan memberikan sumbangsih kepada pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan infrastruktur akan dapat berdampak positif pada
pertumbuhan ekonomi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Infrastruktur
sendiri merupakan prasyarat bagi sektor-sektor lain untuk berkembang serta
sebagai sarana penciptaan hubungan antara satu dan yang lainnya. Pemberdayaan
sumber daya untuk membangun infrastruktur akan memicu proses ekonomi
sehingga menimbulkan penggandaan dampak ekonomi maupun sosial. Mengingat
pentingnya infrastruktur di satu sisi dan ketertinggalan infrastruktur Indonesia
dibandingkan dengan negara-negara lain di sisi yang lain, maka di era Presiden
Joko Widodo program pembangunan infrastruktur dikerjakan secara besar-
besaran. Negara Indonesia mengalami ketertinggalan yang cukup jauh dengan
negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura dalam hal
pembangunan infrastruktur. Padahal infrastruktur menjadi salah satu faktor yang
3
dapat memperbaiki kondisi iklim usaha. Sejak krisis moneter dan perbankan tahun
1997/1998, pembangunan infrastruktur di Indonesia praktis mengalami
kemandekan. Bahkan, pemerintah kita tidak menaruh pembangunan infrastruktur
sebagai salah satu prioritas utama dalam kebijakan ekonominya.
Setidaknya hal itu tecermin dari minimnya alokasi anggaran untuk sektor
infrastruktur di dalam APBN. Sepanjang tahun 2005-2009 misalnya, rata-rata
alokasi belanja untuk sektor infrastruktur hanya sekitar 4 persen terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB). Bandingkan, misalnya dengan India dan China yang
alokasi anggaran untuk infrastrukturnya masing-masing mencapai 7 persen dan 10
persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Tidaklah mengherankan, jika
kinerja perekonomian kedua negara ini mampu melejit, menjadi dua kekuatan
ekonomi yang sangat diperhitungkan dan menjadi negara yang diminati oleh
pemodal global untuk menempatkan investasinya. Ironisnya, alokasi anggaran
untuk subsidi, khususnya di sektor energi (Bahan Bakar Minyak dan Listrik)
cenderung mengalami lompatan yang sangat signifikan. Tahun 2005, nilainya
masih sebesar Rp 104,4 triliun, menjadi Rp 223 triliun pada tahun 2008, dan
menembus rekor tertinggi pada tahun 2014 menjadi 314,8 triliun tahun 2014.
Presiden Jokowi di periode awal pemerintahannya melihat masalah ini
dan langsung tancap gas untuk melakukan perbaikan dan pembenahan di sektor
ini. Presiden Joko Widodo tidak ingin Indonesia terus kalah dalam bidang
infrastruktur dengan negara tetangga. Beliau mengatakan, infrastruktur Indonesia
saat ini jauh tertingal dengan negara lain, bahkan dengan yang sebelumnya justru
belajar dari Indonesia. Hal ini pun membuat pembangunan infrastruktur menjadi
4
rencana besar pemerintah membangun ekonomi Indonesia. Menurutnya negara
yang lamban pasti akan ditinggal negara lain, tahapan besar pertama yang
dikerjakan adalah investasi di bidang infrastruktur. Investasi merupakan salah satu
fondasi fundamental penting yang kita tetapkan untuk bersaing dengan negara
tetangga kita. Kita sudah kalah dalam investasi infrastruktur dengan negara
tetangga. Negara tetangga yang disebut Presiden RI Joko Widodo lebih maju dari
Indonesia yakni seperti Malaysia, Vietnam, hingga China. Ketertinggalan yang
mencolok lanjut Jokowi seperti dari negara China yang sudah membangun
infrastruktur tol jauh lebih panjang dari Indonesia, yakni 280 ribu km. Padahal
Indonesia lebih dulu membangun jalan tol, bahkan negara tersebut pernah belajar
dari Indonesia. Contoh saja tahun 1977 waktu kita membangun tol Jagorawi,
semua negara melihat kita. Malaysia melihat Jagorawi seperti apa, proses
kontruksinya seperti apa, managemennya seperti apa. Vietnam melihat kita,
Filipina melihat kita, China Tiongkok yang dulunya belajar dari kita. Sekarang
China sudah punya 280 ribu km, kita panjang tol hanya 780 Km sampai tahun 2014
lalu.
Ketertinggalan Indonesia menurut Jokowi, harus segera dikejar dengan
berbagai pembangunan infrastruktur, bukan hanya jalan tol. Pembangunan
infrasturktur juga melibatkan pembangunan jalur kereta api baru, pelabuhan, dan
bandar udara. Peresmian pelabuhan udara di Rembele, Gayo, Aceh, menjadi bukti
pemerintah tak main-main dengan butir Nawa Cita ke-3, yang berbunyi “Kami
akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan
desa dalam kerangka negara kesatuan”, diwujudkan dengan pembangunan dari
5
pinggir Indonesia tersebut agar konektivitas antar daerah, antar wilayah bakal
terkait.
Berbagai pembangunan infrastruktur tersebut bertujuan untuk
mendongkrak daya saing. Jalan tol, jalan kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan
udara jelas bakal mempercepat perpindahan barang dan jasa. Dan dalam jangka
panjang akan memangkas biaya angkut. Muaranya adalah ongkos produksi yang
lebih rendah. Konsumen akan diuntungkan lewat harga barang yang lebih murah.
Artinya daya saing produk barang dan jasa kita akan meningkat dibandingkan
dengan negara lain.
Fokus pemerintahan Jokowi dibidang ini terbukti dari data alokasi
anggaran infrastruktur yang meningkat setiap tahunnya sebagai berikut:
Tabel 1.1 Anggaran Infrastruktur
Tahun Anggaran Pertumbuhan(%)
2009 76,3 T
2010 86,00 T 13.49
2011 114,2 T 32.79
2012 145,5T 21.51
2013 155,9 T 7,14
2014 177,9 T 14,11
2015 256,1 T 43,95
2016 269,1 T 5,1
2017 388,3 T 44,3
6
Tahun Anggaran Pertumbuhan(%)
2018 410,7 T 5,8
2019 415,0 T 1,04
(data diambil dari https://www.kemenkeu.go.id/apbn2019)
Bisa kita lihat dari data diatas anggaran infrastruktur setiap tahunnya
selalu mengalami peningkatan, puncaknya ketika tahun 2017 yaitu mengalami
peningkatan sebesar 44,3 % dari tahun sebelumnya yaitu menjadi 388,3 Triliun.
Tentunya pembangunan infrastruktur tidak hanya mengandalkan pembiayaan dari
APBN namun memerlukan skema pembiayaan lain. Untuk membangun
infrastruktur termasuk pelabuhan, bandara, pembangkit listrik, dan lain-lain
diperlukan dana yang tidak sedikit. Dalam periode 2015-2019 dibutuhkan dana Rp
4.769 triliun. Dari jumlah itu, 41,3 persen diserap APBN/APBD, 22.2 persen
BUMN, dan 36,5 persen partisipasi swasta. Sepenuhnya kita menyadari manfaat
luar biasa pembangunan infrastruktur yang bukan merupakan pilihan, melainkan
kewajiban bagi pemerintah untuk melaksanakannya.
Ada beberapa skema pembiayaan untuk mendanai pembangunan
infrastruktur. Untuk jenis pertama, sumber pembiayaan berasal dari APBN atau
APBD. Namun, pemerintah menyadari keterbatasan dana APBN sehingga
dilakukan berbagai upaya pendanaan melalui pinjaman luar negeri dan penerbitan
surat utang. Contoh proyek jenis ini adalah pembangunan MRT dan LRT di Jakarta
dan di daerah lainnya.
Untuk kategori proyek kedua, pemerintah menggandeng investor swasta
7
baik dari dalam maupun luar negeri (investor asing) serta BUMN. Pendanaan
disiapkan melalui kerja sama pemerintah dengan investor swasta. Pemerintah sejak
2012 telah menyiapkan fasilitas dana dukungan tunai infrastruktur yang
memberikan kepastian pihak investor swasta tak akan merugi yang diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan No 223 Tahun 2012. Pemerintah tetap akan
memperoleh penghasilan berupa pajak dan setelah periode konsesi berakhir sesuai
perjanjian, pemerintah berhak menguasai proyek itu.
Proyek jenis ketiga, pendanaannya diserahkan kepada investor swasta
sepenuhnya yang memungkinkan mekanisme pinjaman langsung. Investor harus
menghitung dengan cermat besaran tingkat pengembalian modal proyek itu.
Contohnya, pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung dengan biaya 5,9 miliar
dollar AS, 25 persen dipenuhi oleh konsorsium BUMN dan 75 persen pinjaman
dari Bank Pembangunan China Sejak beberapa tahun lalu, pemerintah telah
menciptakan berbagai terobosan dalam skema pembiayaan sehingga tidak
tergantung dari anggaran pemerintah.
Dari ketiga skema pembiayaan itu intinya adalah bagaimana kita dapat
mengundang investor asing dan dalam negeri sebanyak-banyaknya agar tercipta
percepatan pembangunan dan pembukaan lapangan kerja. Selain fokus di bidang
infrastruktur diatas pemerintah juga fokus dalam pemerataan dan memenuhi
kebutuhan dasar warganya yaitu perumahan. Untuk menyediakan kebutuhan
perumahan bagi warganya pemerintahan jokowi meluncurkan program sejuta
rumah untuk mengatasi backlog perumahan di Indonesia. Menurut kementrian
PUPR, backlog rumah adalah salah satu indikator yang digunakan oleh Pemerintah
8
sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) maupun Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) yang terkait bidang perumahan untuk
mengukur jumlah kebutuhan rumah di Indonesia. Backlog rumah dapat diukur dari
dua perspektif yaitu dari sisi kepenghunian maupun dari sisi kepemilikan.
Sementara itu, jumlah backlog perumahan menurut perspektif menghuni
(Perspektif Kementerian PUPR) tahun 2010 sebanyak 7,1 juta unit rumah dan
tahun 2014 sebanyak 7,8 juta unit rumah. Hal ini menunjukkan bahwa angka
backlog mengalami kenaikan, artinya pertumbuhan kebutuhan rumah
(pertumbuhan rumah tangga) tidak diimbangi dengan kemampuan penyediaan
rumah layak huni sesuai dengan angka tambahan kebutuhan rumah. Sedangkan
backlog menurut perspektif memiliki (perspektif BPS), terjadi penurunan angka
backlog, yaitu tahun 2010 sebanyak 13,5 juta unit rumah menjadi tahun 2014
sebanyak 13 juta unit rumah. Penurunan ini menunjukkan adanya peningkatan
angka kepemilikan rumah. Namun, penurunan backlog tersebut belum cukup
signifikan dalam mengurangi angka backlog yang masih tinggi.
Maka dari itu pemerintahan Jokowi menargetkan program sejuta rumah
setiap tahunnya untuk mengatasi backlog tersebut. Program tersebut meliputi
pembangunan rumah tapak, rusunawa, rusunami. Pembagian ketiga jenis rumah
tersebut dikarenakan kondisi geografis dan kepadatan penduduk di setiap provinsi
di Indonesia. Misalnya di Jakarta, pembangunan rumah tapak kurang dirasa cocok
karena jumlah lahan yang sudah semakin terbatas. Untuk memenuhi kebutuhan
perumahan di kawasan yang lahannya sudah sangat terbatas pemerintah lebih
memilih untuk membangun bangunan vertikal seperti rusunawa dan rusunami baru
9
atau merevitalisasi bangunan rusunawa dan rusunami yang sudah ada. Selain dapat
mengatasi permasalahan semakin sempitnya ruang di kota kota besar, hal tersebut
dapat menekan biaya dari segi biaya pembebasan lahan. Sementara di kota-kota
lain yang masih memiliki banyak lahan kosong, pembangunan rumah tapak masih
relevan. Pembangunan perumahan ini memberikan dampak bagi perekonomian,
karena dapat menciptakan peluang ekonomi baru ditempat tersebut.
Program ini juga menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan di sektor
properti seperti PTPP dan PPRO. Namun tidak hanya perusahaan properti
pemerintah, namun juga perusahaan properti swasta, karena dalam membangun
apartemen dan rusun bagi masyarakat pemerintah juga banyak bekerja sama
dengan pengembang untuk membangun rumah untuk MBR (Masyarakat
berpenghasilan rendah) yang disubsidi lewat APBN melalui beberapa skema
Kredit Perumahan Rakyat (KPR), antara lain Fasilitas Likuiditas Pembiayaan
Perumahan (FLPP), Subsidi Selisih Bunga (SSB), serta Subsidi Bantuan Uang
Muka (SBUM). Pembangunan properti ini juga bersamaan dengan maraknya
pembangunan infrstruktur seperti jalan tol, jalan desa, dan moda transportasi
seperti MRT dan LRT seperti Jakarta, Surabaya dan kota-kota lainnya. Hal ini guna
menciptakan koneksi dan intergrasi dengan kawasan-kawasan hunian tersebut.
Hal ini tentunya membuat perusahaan-perusahaan di bidang konstruksi
dan properti mendapat angin segar dengan pembangunan yang masif ini. Oleh
karena pentingnya fungsi perusahaan konstruksi dan properti terhadap
pembangunan infrastruktur, investasi industri ini sebaiknya tidak hanya
dimaksimalkan dari pihak pemerintah, tetapi juga swasta. Investor swasta
10
diharapkan ikut menanamkan modalnya di perusahaan konstruksi dan properti.
konstruksi dan properti tentu saja menjadi perusahaan yang berpotensi positif
untuk berinvestasi. Suntikan dana terutama dari pemerintah akan meningkatkan
aktivitas perusahaan. Selama proyek-proyek infrastruktur pada perusahaan
konstruksi dan properti dikerjakan, perusahaan mendapatkan laba, sehingga
sahamnya akan semakin diburu oleh investor dan harga sahamnya akan meningkat.
Tidak hanya semata-mata mendapatkan keuntungan dari hasil investasi, investor
juga dapat berpartisipasi mendorong pembangunan Negara.
Dalam melakukan pemilihan investasi di pasar modal dipengaruhi oleh
informasi fundamental dan teknikal. Analisis fundamental dan analisis teknis
selalu digunakan sebagai alat pengambilan keputusan utama untuk bertransaksi
dalam stok pasar. Beberapa investor menggunakan salah satu dari dua alat
tergantung pada skenario pasar saham dan beberapa juga menggunakan kedua alat
tersebut. Analisis teknikal melibatkan penggunaan beberapa alat teknis untuk
memprediksi perubahan masa depan dalam harga saham berdasarkan pola harga
saham masa lalu. Analis teknis semata-mata hanya menggunakan harga masa lalu
dan grafik volume untuk memprediksi stok perubahan harga tidak seperti analis
fundamental yang ditentukan nilai intrinsik saham. Berdasarkan analisis teknis,
investor dapat memutuskan apakah saham dalam tren naik atau kecenderungan
untuk menurun (Isidore, 2018).
Sementara itu informasi fundamental adalah informasi kinerja dan kondisi
internal perusahaan yang cenderung dapat dikontrol, informasi kemudian juga
dengan menganalisis informasi kondisi makro seperti tingkat pergerakan suku
11
bunga, nilai tukar mata uang, inflasi, indeks saham di pasar dunia, kondisi
keamanan dan politik. Informasi fundamental sering digunakan sebagai dasar
analisis pasar modal. Jika kondisi atau indikator makro ekonomi mendatang
diperkirakan jelek, sehingga kemungkinan besar refleksi indeks harga harga saham
menurun, demikian sebaliknya (Yuliana, 2010).
Analisis fundamental telah mendapatkan popularitas besar di kalangan
peneliti pasar modal dalam beberapa dekade terakhir. Analisis fundamental salah
satunya dengan menggunakan laporan keuangan saat ini dan sebelumnya, dan juga
digabungkan dengan data politik dan ekonomi untuk menetapkan nilai intrinsik
untuk perusahaan dan membantu mengidentifikasi kesalahan harga sekuritas,
sehingga kita dapat membeli saham perusahaan di harga yang rendah dan menjual
di harga yang wajar. Selanjutnya untuk mengukur kondisi keuangan perusahaan kita
bisa menggunakan lima indikator dari berbagai bidang, yaitu rasio profitabilitas,
rasio likuiditas, rasio leverage, dan rasio berbasis pasar (Muhammad, 2018).
Indikator-indikator tersebut dapat menggambarkan bagimana kondisi
keuangan perusahaan. Dengan begitu jika laporan keuangan perusahaan
menunjukan laba yang menurun dari laporan tahunan sebelumnya atau dari laporan
kuartal sebelumnya investor baru cenderung tidak akan membeli saham tersebut
dan investor lama kemungkinan akan melakukan aksi profit taking dengan menjual
sebagian atau semua saham yang ia miliki disaham tersebut. Sehingga membuat
harga saham-saham tersebut mengalami penurunan.
Menurut (Sunariyah, 2000), Indeks Harga Saham Gabungan adalah suatu
rangkaian informasi historis mengenai pergerakan harga saham gabungan, sampai
12
tanggal tertentu dan mencerminkan suatu nilai yang berfungsi sebagai pengukuran
kinerja suatu saham gabungan di bursa efek.
Informasi yang ditunjukkan oleh Indeks Harga Saham Gabungan setiap
waktunya merupakan gambaran dari situasi pasar yang terjadi secara umum atau
untuk menunjukkan apakah harga saham mengalami kenaikan atau penurunan di
suatu negara tersebut. Kenaikan atau penurunan yang terjadi di Indeks Harga
Saham Gabungan pun bisa tercermin dari pergerakan fenomenafenomena ekonomi
dan politik yang terjadi (Ardelia, 2018).
Didalam IHSG terdapat berbagai indek saham sektoral. Pada penelitian
kali ini penulis akan membahas indeks sektoral yang didalamnya dipecah lagi
menjadi beberapa sub indeks. Indeks Harga Saham Sektoral, menggunakan semua
saham yang termasuk dalam masing-masing sektor, misalnya sektor keuangan,
pertambangan, industri dasar, aneka industri, konsumsi, properti, ,keuangan,
perdagangan dan jasa, dan manufaktur (Rachmawati, 2018). Di penelitian kali ini
penulis hanya akan fokus pada indeks konstruksi dan properti, karena sektor
tersebut disinyalir sangat berdampak pada program pembangunan infrastruktur
yang sedang dikerjakan pemerintahan Jokowi ini. Dalam indeks konstruksi dan
properti tersebut didalamnya terdapat saham-saham seperti WIKA, WSKT, ADHI,
PTPP, dan lain-lain.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi Indeks Saham, antara lain
perubahan tingkat suku bunga bank sentral, keadaan ekonomi global, tingkat harga
energi dunia, kestabilan politik suatu negara, dan lain-lain (Argamaya, 2014).
13
Untuk itu, investor sebaiknya mempertimbangkan beberapa indikator ekonomi
makro terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan investasi, agar keputusan
yang diambil tepat dan menguntungkan. Para analis berpendapat, bahwa penentu
arah harga saham antara lain adalah inflasi, BI Rate, nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS, isu perombakan kabinet, dan pengumuman laporan keuangan.
Dapat diringkas dari penjelasan diatas bahwa masifnya pembangunan
infrastruktur di zaman Jokowi, baik itu infrastruktur jalan, tol, maupun
infrastruktur perumahan memberikan angin segar bagi emiten-emiten konstruksi
dan properti. Hal ini tentunya akan membuat emiten-emiten tersebut diburu oleh
investor untuk menanamkan modalnya di perusahaan tersebut. Namun dalam
menjalankan usahanya perusahaan-perusahaan tersebut secara langsung maupun
tidak langsung dipengaruhi oleh faktor-faktor makroekonomi. Faktor-faktor
ekonomi yang dimaksud antara lain kurs, inflasi, suku bunga. Kurs yang naik turun
berpegaruh terhadap perusahaan yang bertindak sebagai eksportir dan importir.
Inflasi berkaitan dengan biaya bahan baku yang diproduksi perusahaan dan margin
keuntungan perusahaan. Kemudian suku bunga terkait dengan utang perusahaan
dan kemudahan konsumen untuk meminjam uang dan menginvestasikannya di
sektor tersebut. Maka dari itu kita sebagai investor selain harus melihat rencana
besar pemerintah dalam membangun infrastruktur, perlu juga dijadikan
pertimbangan oleh investor faktor-faktor ekonomi apa saja yang berpengaruh
terhadap naik turunnya saham di sektor tersebut. Penelitian kali ini dilakukan
untuk mengetahui dan membuktikan pengaruh tiga faktor yaitu kurs, suku bunga,
dan inflasi terhadap harga indeks saham sektor infrastruktur. Hasil dari penelitian
14
ini akan dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan keputusan membeli atau
tidaknya saham tertentu yang akan terpengaruh oleh inflasi, suku bunga, dan nilai
tukar rupiah.
1.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang seperti yang dijelaskan di bagian depan,
dengan asumsi ceteris paribus maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana pengaruh kurs terhadap indeks harga saham sektor infrasturktur
pada tahun 2005-2019 ?
2. Bagaimana pengaruh suku bunga terhadap indeks harga saham sektor
infrasturktur pada tahun 2005-2019 ?
3. Bagaimana pengaruh inflasi terhadap indeks harga saham sektor infrasturktur
pada tahun 2005-2019 ?
4. Bagaimana pengaruh kurs, suku bunga, dan inflasi secara bersama-sama
terhadap indeks harga saham sektor infrasturktur pada tahun 2005-2019 ?
1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan,dengan asumsi
ceteris paribus maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaruh kurs terhadap indeks harga saham sektor
infrasturktur pada tahun 2005-2019.
15
2. Untuk mengetahui pengaruh suku bunga sertifikat Bank Indonesia terhadap
indeks harga saham sektor infrasturktur pada tahun 2005-2019.
3. Untuk mengatahui pengaruh inflasi terhadap indeks harga saham sektor
infrasturktur pada tahun 2005-2019.
4. Untuk mengetahui pengaruh kurs, suku bunga sertifikat Bank Indonesia, dan
inflasi secara bersama-sama terhadap indeks harga saham sektor infrasturktur
pada tahun 2005-2019.
1.3 Manfaat Penelitian
1. Diharapkan penelitian ini bisa dijadikan salah satu rujukan bagi pihak investor
saham dalam mempertimbangkan keputusan investasi.
2. Penelitian ini diharapkan bisa dijadikan salah satu bahan rujukan bagi penelitian
selanjutnya yang sesuai.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Fokus dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh kurs, suku
bunga sertifikat Bank Indonesia, dan inflasi terhadap indeks harga saham sektor
infrasturktur. Untuk menghindari terlalu luasnya pembahasan, maka penelitian ini
dibatasi pada beberapa hal, yaitu:
1. Indeks saham yang digunakan adalah indeks harga saham sektor infrasturktur
2. Variabel makroekonomi yakni tingkat kurs, dan suku bunga sertifikat Bank
Indonesia, dan inflasi. Rentang waktu data yang digunakan pada penelitian ini
adalah 14 tahun dari bulan Januari 2005 sampai dengan bulan December 2019.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori dan Telaah Pustaka
2.1.1 1.Ekonomi Makro
Dalam tahun 1929-1932 terjadi kemunduran ekonomi di seluruh dunia,
yang bermula dari kemerosotan ekonomi di Amerika Serikat. Periode itu
dinamakan The Great Depression. Pada puncak kemerosotan ekonomi itu,
pendapatan nasionalnya mengalami kemerosotan yang sangat tajam. Kemunduran
ekonomi yang serius itu meluas ke seluruh dunia ke negara-negara industri lain
maupun ke negara-negara miskin. Kemunduran ekonomi tersebut menimbulkan
kesadaran kepada ahli-ahli ekonomi bahwa mekanisme pasar tidak dapat secara
otomatis menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang teguh dan tingkat
pengangguran tenaga kerja penuh. Dan teori-teori ekonomi sebelumnya juga tidak
dapat menerangkan mengapa peristiwa kemunduran ekonomi yang serius tersebut
dapat terjadi. Ketidakmampuan tersebut mendorong seorang ahli ekonomi Inggris
yang terkemuka pada masa tersebut, yaitu John Maynard Keynes, mengemukakan
pandangan dan menulis buku yang pada akhirnya menjadi landasan kepada teori
makroekonomi modern. Keynes berpendapat pengeluaran agregat, yaitu
perbelanjaan masyarakat ke atas barang dan jasa, adalah faktor utama yang
menentukan tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai suatu negara. Selanjutnya
Keynes berpendapat bahwa dalam sistem pasar bebas penggunaan tenaga kerja
penuh tidak selalu tercipta dan diperlukan usaha dan kebijakan pemerintah untuk
17
menciptakan tingkat penggunaaan tenaga kerja penuh dan pertumbuhan ekonomi
yang teguh (Sukirno, 2012).
Analisis mengenai penentuan tingkat kegiatan yang dicapai sesuatu
perekonomian merupakan bagian terpenting dari analisis makroekonomi. Analisis
tersebut menunjukkan bagaimana pengeluaran agregat (permintaan agregat) dan
penawaran agregat akan menentukan tingkat kegiatan suatu perekonomian dalam
suatu periode tertentu dan pendapatan nasional/produksi nasional yang tercipta.
Masalah makaroekonomi utama yang akan selalu dihadapi suatu negara menurut
Sukirno (Sukirno, 2012) adalah :
a. Masalah pertumbuhan ekonomi
b. Masalah ketidakstabilan kegiatan ekonomi
c. Masalah pengangguran
d. Masalah kenaikan harga-harga (inflasi)
e. Masalah neraca perdagangan dan neraca pembayaran
Ekonomi makro atau makro ekonomi adalah studi tentang ekonomi secara
keseluruhan yang mencakup unsur-unsur rumah tangga, perusahaan, dan pasar.
Dimana makro ekonomi menjelaskan perubahan ekonomi yang mempengaruhi
rumah tangga, perusahaan dan pasar. Pasar yang dimaksud terdiri dari tiga
komponen pasar utama, yaitu pasar komoditas, pasar uang dan pasar modal.
Perubahan faktor makro ekonomi di atas tidak akan dengan seketika mempengaruhi
kinerja perusahaan, tetapi secara perlahan dalam jangka panjang. Sebaliknya, harga
18
saham akan terpengaruh dengan seketika oleh perubahan faktor makro ekonomi itu
karena investor lebih cepat bereaksi (Samsul, 2006).
2.1.2 Pasar Modal
Pasar modal adalah lembaga keuangan yang mempunyai kegiatan berupa
penawaran dan perdagangan efek/surat berharga. Pasar modal juga merupakan
lembaga profesi yang berkaitan dengan transaksi jual beli efek dan perusahan
publik yang berkaitan dengan efek. Dengan demikian pasar modal dikenal sebagai
tempat bertemunya penjual dan pembeli modal atau dana. Pasar modal merupakan
pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang bisa diperjual-
belikan, baik dalam bentuk hutang maupun modal sendiri, baik yang diterbitkan
oleh pemerintah maupun perusahaan swasta.
Pasar modal memberikan berbagai alternatif untuk para investor selain
berbagai investasi lainnya, seperti menabung di bank, membeli tanah, asuransi,
emas, dan sebagainya. Pasar modal merupakan penghubung antara investor (pihak
yang memiliki dana) dengan perusahaan (pihak yang memerlukan dana jangka
panjang) ataupun institusi pemerintah melalui perdagangan instrumen melalui
jangka panjang, seperti surat berharga yang meliputi surat pengakuan utang, surat
berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti hutang, dan lain-lain.
Pasar modal juga merupakan salah satu cara bagi perusahaan dalam mencari
dana dengan menjual hak kepemilikan perusahaan kepada masyarakat. Pengertian
pasar modal secara umum adalah suatu sistem keuangan yang terorganisasi,
termasuk didalamnya adalah bank-bank komersial dan semua lembaga perantara
19
dibidang keuangan, serta keseluruhan surat-surat berharga yang beredar. Dalam arti
sempit, pasar modal adalah suatu pasar yang disiapkan guna memperdagangkan
saham-saham, obligasi-obligasi, dan jenis surat berharga lainnya dengan memakai
jasa para perantara pedagang efek.
2.1.3 Peranan Pasar Modal
Peran pasar modal sebagai sumber pendanaan perusahaan yang berimplikasi
bagi perekonomian negara bukan hanya sekedar alternatif tetapi sudah mampu
menjadi sumber pendanaan utama. Dana yang ditawarkan di pasar modal melalui
beberapa aksi korporasi perusahaan seperti pencatatan perdana saham (initial public
offering/IPO), pencatatan saham baru (rights issue) maupun penerbitan obligasi
setiap tahunnya dinilai jauh lebih efisien ketimbang pendanaan yang didapatkan
perusahaan dari pinjaman perbankan. Khususnya ketika tren inflasi sedang
mengalami peningkatan yang secara tidak langsung mempengaruhi tingkat suku
bunga pinjaman perbankan. Jumlah perusahaan yang mencatatkan IPO, rights issue
ataupun obligasi serta dana yang dihimpun dari ketiga aksi korporasi tersebut
mencatatkan hasil yang cukup signifikan di setiap tahunnya. Meski jika
dibandingkan terdapat fluktuasi, yang salah satunya dipengaruhi oleh
perekonomian di dalam dan luar negeri, di setiap tahunnya, namun hal tersebut tidak
menyurutkan minat perusahaan untuk tetap memperoleh pendanaan di pasar modal
(Yenni, 2015).
20
2.1.4 Instrumen Pasar Modal
1.Saham
Saham dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan modal seseorang atau
pihak (badan usaha) dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Dengan
menyertakan modal tersebut, maka pihak tersebut memiliki klaim atas pendapatan
perusahaan, klaim atas asset perusahaan, dan berhak hadir dalam Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS).
2.Obligasi
Obligasi dapat dijelaskan sebagai surat utang jangka menengah panjang
yang dapat dipindahtangankan, yang berisi janji dari pihak yang menerbitkan untuk
membayar imbalan berupa bunga pada periode tertentu dan melunasi pokok utang
pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pembeli obligasi tersebut. Obligasi
dapat diterbitkan oleh Korporasi maupun Negara.
3.Reksadana
Mengacu kepada Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995, pasal 1
ayat (27) didefinisikan bahwa Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk
menghimpun dana dari masyarakat atau pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan
dalam portofolio efek oleh manajer investasi. Keuntungan akan dibagi dua antara
si pemodal dan manager investasi sesuai kesepakatan di awal.
21
4.Exchange Traded Fund
ETF adalah Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang unit
penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek. Meskipun ETF pada dasarnya adalah
reksa dana, produk ini diperdagangkan seperti saham-saham yang ada di bursa efek.
ETF merupakan penggabungan antara unsur reksa dana dalam hal pengelolaan dana
dengan mekanisme saham dalam hal transaksi jual maupun beli.
5.Derivatif
Derivatif merupakan kontrak atau perjanjian yang nilai atau peluang
keuntungannya terkait dengan kinerja aset lain. Aset lain ini disebut
sebagai underlying assets. Efek derivatif merupakan Efek turunan dari Efek
“utama” baik yang bersifat penyertaan maupun utang. Efek turunan dapat berarti
turunan langsung dari Efek “utama” maupun turunan selanjutnya. Dalam
pengertian yang lebih khusus, derivatif merupakan kontrak finansial antara 2 (dua)
atau lebih pihak-pihak guna memenuhi janji untuk membeli atau
menjual assets/commodities yang dijadikan sebagai obyek yang diperdagangkan
pada waktu dan harga yang merupakan kesepakatan bersama antara pihak penjual
dan pihak pembeli. Adapun nilai di masa mendatang dari obyek yang
diperdagangkan tersebut sangat dipengaruhi oleh instrumen induknya yang ada
di spot market (Anoraga & Pakarti, 2001).
2.1.5 Indeks Harga Saham Gabungan
Menurut Sunariyah (2006) Indeks harga saham gabungan menggambarkan
22
suatu rangkaian informasi historis mengenai pergerakan harga saham gabungan
seluruh saham, sampai pada tanggal tertentu. Menurut (Anoraga & Pakarti, 2001)
IHSG merupakan indeks yang menunjukkan pergerakan harga saham secara umum
yang tercatat di bursa efek yang menjadi acuan tentang perkembangan kegiatan di
pasar modal. IHSG menjadi acuan bagi para investor di Indonesia karena
mencerminkan kondisi iklim investasi di Indonesia khususnya saham. Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) pertama kali diperkenalkan pada tanggal 1 April 1983
sebagai indikator pergerakan harga saham yang tercatat di bursa. Widoatmojo
(2005), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan pergerakan harga
saham secara umum yang tercatat di bursa efek. Indeks inilah yang paling banyak
digunakan dan dipakai sebagai acuan tentang perkembangan kegiatan di pasar
modal. IHSG dapat digunakan untuk menilai suatu situasi pasar secara umum atau
mengukur apakah harga saham mengalami kenaikan atau penurunan. IHSG
melibatkan seluruh harga saham yang tercatat di bursa. Untuk perhitungan Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) ini, kita harus menjumlahkan seluruh harga saham
yang tercatat. Rumus untuk menghitung IHSG adalah sebagai berikut :
dimana:
1.Sigma Ht = Total harga semua saham pada waktu yang berlaku
2.Sigma Ho= Total harga semua saham pada waktu dasar
Dari Indeks Harga Saham Gabungan ini kita bisa mengetahui kondisi pasar
modal Indonesia sedang ramai, lesu, atau dalam keadaan stabil.
23
2.1.6 Indeks Sektoral
Indeks yang mengukur performa harga seluruh saham dari masing-masing
sektor industri yang terdapat pada klasifikasi Jakarta Stock Industrial
Classification (JASICA). Indeks ini terdiri Indeks Pertanian, Indeks Pertambangan,
Indeks Industri Dasar dan Kimia, Indeks Aneka Industri, Indeks Industri Barang
Konsumsi, Indeks Properti dan Konstruksi Bangunan, Indeks Utilitas, dan
Transportasi Indeks Keuangan , Indeks Perdagangan, Jasa, dan Investasi , Indeks
Manufaktur.
2.1.7 Indeks Harga Saham Sektor Infrastruktur
Indeks yang mengukur performa harga seluruh saham dari semua
perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi bangunan seperti WIKA, ADHI,
WSKT, dan juga perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang properti seperti
PTPP, APLN, BKSL, dan lainnya.
2.1.8 Kurs
Menurut Sukirno (2011) Nilai tukar mata uang atau sering disebut kurs
merupakan harga mata uang terhadap mata uang lainnya. Kurs merupakan salah
satu harga yang terpenting dalam perekonomian terbuka mengingat pengaruh yang
demikian besar bagi neraca transaksi berjalan maupun variabelvariabel makro
ekonomi yang lainnya. Kenaikan nilai tukar mata uang dalam negeri disebut
apresiasi atas mata uang (mata uang asing lebih murah, hal ini berarti nilai mata
uang asing dalam negeri meningkat). Penurunan nilai tukar (kurs) disebut depresiasi
mata uang dalam negeri (mata uang asing menjadi lebih mahal, yang berarti mata
24
uang dalam negeri menjadi merosot). Menurut Sukirno (2011) Nilai tukar atau
disebut juga kurs valuta dalam berbagai transaksi ataupun jual beli valuta asing,
dikenal ada empat jenis, yaitu:
a. Selling rate (kurs jual), yaitu kurs yang ditentukan oleh suatu bank untuk
penjualan valuta asing tertentu pada saat tertentu.
b. Middle rate (kurs tengah), yaitu kurs tengah antara kurs jual dan kurs beli valuta
asing terhadap mata uang nasional, yang ditetapkan oleh Bank Sentral pada suatu
saat tertentu.
c. Buying rate (kurs beli), yaitu kurs yang ditentukan oleh suatu bank untuk
pembelian valuta asing tertentu pada saat tertentu.
d. Flat rate (kurs flat), yaitu kurs yang berlaku dalam transaksi jual beli bank notes
dan traveler chaque, di mana dalam kurs tersebut telah diperhitungkan promosi
dan biaya lain‐ lain.
Jenis – Jenis Nilai Tukar/Kurs Menurut (Hanafi, 2013), mekanisme
penentuan kurs bisa dikatagorikan menjadi beberapa kelompok yaitu:
a) Free Float (Mengambang Bebas). Berdasarkan kurs ini mata uang dibiarkan
mengambang bebas tergantung kekuatan pasar. Beberapa faktor yang
mempengaruhi kurs, misal inflasi dan pertumbuhan ekonomi akan digunakan
oleh pasar dalam mengevaluasi kurs mata uang negara yang bersangkutan. Jika
variabel tersebut berubah, atau pengharapan terhadap variabel tersebut berubah,
kurs mata uang akan berubah. Kurs mata uang akan berfluktuasi sesuai dengan
munculnya berita-berita yang relevan, yang diperkirakan akan mempengaruhi
nilai mata uang suatu negara. Sistem mengambang bebas juga disebut clean float.
25
Beberapa bank sentral negara yang menganut sistem ini terkadang melakukan
campur tangan yang biasanya bertujuan untuk mengurangi tekanan spekulasi dan
hanya dilakukan sementara saja.
b. Managed Float (Float yang Dikelola). Sistem mengambang bebas mempunyai
kerugian karena ketidakpastian kurs cukup tinggi. Ketidakpastian tersebut bisa
menghambat perdagangan dan investasi asing. Sistem float yang dikelola, yang
sering disebut juga sebagai dirty float, dilakukan melalui campur tangan Bank
Sentral yang cukup aktif. Bank Sentral barangkali mempunyai tujuan tertentu
dan kurs ideal yang tertentu, kemudian kurs bisa dibiarkan berfluktuasi dalam
batar tertentu dan kurs ideal yang tertentu, kemudian kurs bisa dibiarkan
berfluktuasi dalam batas tertentu dari kurs ideal yang ditetapkan tersebut. Bank
Sentral kemudian akan melakukan intervensi jika kurs yang terjadi di luar
batasan yang telah ditetapkan. Beberapa bentuk intervensi adalah:
1) Menstabilkan fluktuasi harian Bank Sentral, melakukan cara ini dengan
tujuan menjaga stabilitas kurs agar perubahan kurs cukup teratur. Intervensi
dilakukan agar transisi dari kurs yang satu ke yang lainnya tidak terlalu
tajam. Bank Sentral tidak melawan kekuatan pasar. Depresiasi atau apresiasi
jangka panjang secara perlahan menyesuaikan.
2) Menunda Kurs (Learning Against The Wind) Melalui cara ini Bank Sentral
melakukan intervensi dengan tujuan mencegah atau mengurangi fluktuasi
jangka pendek yang cukup tajam, yang diakibatkan oleh kejadian yang
sifatnya sementara. Dengan intervensi semacam ini eksportir atau importir
bisa dibantu mengurangi ketidakpastian karena kejadian sementara. Filosofi
26
teknik ini adalah Bank Sentral tidak melawan kekuatan pasar, tetapi menunda
kekuatan tersebut.
3) Kurs Tetap Secara Tidak Resmi (Unofficial Pegging) Melalui cara ini Bank
Sentral melawan kekuatan pasar dengan menetapkan (secara tidak resmi)
kurs mata uangnya. Intervensi ditujukan untuk menghilangkan pergerakan
kurs yang menguat atau melemah. Bank Sentral Jepang, sebagai contoh,
cenderung menolak apresiasi Yen, khawatir akan melemahkan ekspor
Jepang. Karena ditetapkan tidak resmi, maka tidak ada komitmen kurs yang
tetap yang diumumkan ke luar.
c. Perjanjian Zona Target Tertentu. Melalui perjanjian ini, beberapa negara sepakat
untuk menentukan kurs mata uangnya secara bersama dalam wilayah kurs
tertentu. Sistem moneter Eropa, pada bulan Maret 1979, merupakan contoh kerja
sama semacam ini. Sepuluh negara Eropa sepakat menetapkan unit mata uang
Eropa (European Currency Unit atau ECU). ECU merupakan mata uang
gabungan yang terdiri dari mata uang negara anggota. Setiap nilai mata uang
negara anggota dikaitkan dengan ECU. Kemudian kurs antar negara diturunkan
dari kurs mata uang-mata uang tersebut terhadap ECU. Negara anggota berjanji
untuk membatasi fluktuasi kurs dalam batas 2,25%, sedangkan Spanyol dan
Inggris mempunyai batas 6%. Kemudian batas tersebut diperlonggar menjadi
15% (naik turun). Jika kurs melewati batas atas atau batas bawah, Bank Sentral
negara yang bersangkutan akan melakukan intervensi.
27
d. Dikaitkan dengan Mata Uang Lain. Sistem ini pernah dianut beberapa negara
misalnya, terdapat beberapa negara yang mengaitkan mata uangnya terhadap
USD, negara-negara bekas koloni Perancis mengaitkan dengan mata uang Franc
Perancis, negara-negara pecahan Soviet mengaitkan dengan mata uang Rubel.
Ada juga negara yang mengaitkan nilai mata uangnya terhadap mata uang negara
tetangga, seperti Bhutan yang mengaitkan mata uangnya Ngultrum terhadap
Rupee India. e. Dikaitkan dengan Basket (Kelompok) Mata Uang Sistem ini
mengaitkan mata uangnya terhadap kelompok mata uang lainnya. Basket,
kelompok, atau portofolio mata uang tersebut biasanya terdiri dari mata uang
partner dagang yang penting. Misalnya terdapat negara yang mengaitkan nilai
mata uangnya terhadap SDR (Special Drawing Right).
f. Dikaitkan dengan Indikator Tertentu. Sistem ini misalnya pernah digunakan
negara Chili dan Nikaragua. Mereka mengaitkan mata uangnya terhadap
indikator tertentu, seperti kurs riil efektif, kurs yang telah memasukkan inflasi
terhadap partner dagang mereka yang penting.
g. Sistem Kurs Tetap. Dalam sistem ini, pemerintah atau Bank Sentral menetapkan
kurs tertentu secara resmi. Kemudian Bank Sentral akan selalu melakukan
intervensi secara aktif untuk menjaga kurs yang telah ditetapkan tersebut. Contoh
sistem ini adalah perjanjian Bretton Woods yang menetapkan kurs mata uang
berdasarkan emas. Jika kurs resmi dirasakan sudah tidak sesuai dengan kondisi
fundamental ekonomi negara tersebut, devaluasi atau revaluasi dilakukan, yang
pada dasarnya menetapkan kurs resmi yang baru
28
Nilai tukar yang melonjak-lonjak secara drastis tak terkendali menyebabkan
kesulitan pada dunia usaha dalam merencanakan usahanya terutama bagi mereka
yang mendatangkan bahan baku dari luar negeri atau menjual barangnya ke pasar
ekspor oleh karena itu pengelolaan nilai mata uang yang relatif stabil menjadi salah
satu faktor moneter yang mendukung perekonomian secara makro (Pohan, 2008).
Kurs inilah sebagai salah satu indikator yang mempengaruhi aktivitas di pasar
saham maupun pasar uang karena investor cenderung akan berhati-hati untuk
melakukan investasi.
2.1.9 Suku Bunga
a.Pengertian Tingkat Suku Bunga
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) merupakan surat berharga yang diterbitkan
oleh BI sebagai pengakuan utang jangka pendek yang dijual secara diskonto melalui
lelang. Jangka waktu jatuh tempo SBI mulai dari 1 bulan, 3 bulan, dan 6 bulan
(Siamat, 2005).
Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/4/DPM tanggal 16
Februari 2004 tentang penerbitan Sertifikat Bank Indonesia melalui lelang,
Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam
mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang
berjangka waktu pendek. SBI merupakan instrumen yang digunakan dalam rangka
pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka sebagai pelaksanaan kebijakan moneter oleh
Bank Indonesia (Siamat, 2005).
29
Menurut Boediono (Boediono, 1992) tingkat bunga yaitu sebagai harga dari
penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu. Tingkat bunga sebesar 18% setahun
berarti bahwa bila meminjam uang Rp100,00 maka setahun kemudian harus
mengembalikan Rp118,00 (pokok pinjaman sebesar Rp100,00 dan bunga kepada
kreditur sebesar Rp18,00).
b.Jenis – Jenis Tingkat Suku Bunga
Jenis tingkat suku bunga dibedakan menjadi dua macam, diantaranya
adalah sebagai berikut:
a.Tingkat bunga nominal adalah tingkat bunga yang disepakati oleh kreditur dan
debitur.
Rn* = Rm* + Rp* + Rt + Ri*
Keterangan:
Rn* = Tingkat bunga nominal
Rm* = Tingkat bunga murni
Rp* = Premi resiko
Rt = Biaya transaksi
Ri* = Premi Inflasi
Tingkat bunga nominal (Rn*) dapat berubah apabila unsur- unsurnya
berubah. Tingkat bunga murni (Rm*) merupakan hasil dari keseimbangan
permintaan dan penawaran uang sekaligus keseimbangan antara permintaan dan
30
penawaran dana investasi . Apabila jumlah uang yang beredar bergeser, atau apabila
preferensi waktu para penabung dan produktivitas investasi berubah, maka
pengaruh langsungnya adalah berubah. Apabila karena suatu hal bidang usaha para
debitur menunjukkan ketidakpastian yang lebih besar daripada biasanya (misalnya,
karena ada perubahan situasi politik dan sebagainya) maka pengaruh langsungnya
adalah meningkat. Apabila terjadi perbaikan dalam komunikasi dan prasarana yang
menyebabkan penurunan biaya transaksi, maka akan menurun. Apabila orang
mengharapkan laju inflasi akan meningkat di waktu mendatang, maka akan
meningkat pula (Boediono, 1992).
Tingkat bunga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor subyektif terutama
yang berkaitan dengan perubahan perkiraan dan harapan orang mengenai
perkembangan ekonomi di waktu mendatang. Tanda (*) untuk semua unsur tingkat
bunga kecuali memiliki arti bahwa komponen-komponen tersebut sangat
dipengaruhi oleh faktor expectations tersebut.
b. Tingkat bunga riil adalah tingkat bunga riil dikurangi laju inflasi yang terjadi
selama periode yang sama.
Rr = Rn* + Ri
Keterangan: Rn* = Tingkat bunga riil
Ri = Laju inflasi
Merupakan simbol untuk laju inflasi yang benar-benar terjadi selama
periode tersebut. Sedangkan merupakan tingkat bunga riil yang aktual (actual real
rate of interest). Menunjukkan berapa imbalan yang benar-benar diterima oleh
31
kreditur (atau yang dibayar debitur) untuk penggunaan dananya selama jangka
waktu tertentu, apabila diukur sebagai daya beli atas barang dan jasa. Kadangkala
bisa negatif (yaitu tingkat bunga nominal lebih kecil daripada laju inflasi yang
benar-benar terjadi). Ini terjadi apabila laju inflasi yang terjadi jauh melebihi laju
inflasi yang diperkirakan. yang negatif berarti bahwa kreditur mengalami kerugian
kapital (nilai riil kapitalnya turun) yang melebihi imbalan bunga yang diterima,
sedangkan sebaliknya debitur mengalami keuntungan kapital melebihi dari bunga
yang dibayar (Boediono, 1992).
SBI adalah salah satu mekanisme yang digunakan Bank Indonesia untuk
mengontrol kestabilan nilai rupiah. Dengan menjual SBI, Bank Indonesia dapat
menyerap kelebihan uang primer beredar. Penjualan SBI diutamakan untuk
lembaga perbankan, namun mansyarakat juga bisa membelinya secara perorangan.
Pembelian SBI oleh masyarakat tidak dapat dilakukan secara langsung dengan
Bank Indonesia (BI), melainkan harus melalui bank umum serta pialang pasar
modal yang ditunjuk oleh BI.
BI Rate ditetapkan setiap bulan melalui rapat anggota dewan gubernur
dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian baik di Indonesia maupun
situasi perekonomian global secara umum. Hasil rapat inilah yang diterjemahkan
menjadi kebijakan moneter untuk penentuan suku bunga yang dipakai sebagai
acuan bank-bank yang lainnya di Indonesia. Faktor penentu utama dari penetapan
nilai BI Rate adalah inflasi di Indonesia. Inflasi dipengaruhi oleh banyaknya
peredaran mata uang di dalam negeri dan jumlah produksi dan permintaan
masyarakat yang berakibat pada naik-turunnya harg-harga. Jika inflasi naik maka
32
BI Rate juga ikut naik, dan sebaliknya jika inflasi turun maka Bank Indonesia akan
menurunkan besaran BI Rate. Imbas dari perubahan nilai BI Rate tidak hanya pada
naikturunya harga saja, melainkan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat dan
negara secara global. Saat nilai inflasi meningkat, maka suku bunga kredit dan
deposito juga akan naik sehingga mengurangi laju peredaran mata uang di
masyarakat. Jika perekonomian sedang lemah, maka Bank Indonesia akan
menurunkan BI Rate untuk menstimulus perkembangan industri kecil dan sektor
perekonomian lainnya. Pemerintah diharapkan dapat mengendalikan laju inflasi
agar perekonomian negara tetap stabil.
2.1.10 Inflasi
a.Pengertian Inflasi
Inflasi didefinisikan sebagai suatu gejala di mana tingkat harga umum
mengalami kenaikan secara terus menerus (Muana, 2001). Berdasarkan definisi
tersebut, kenaikan tingkat harga umum yang terjadi sekali waktu saja, tidaklah
dapat dikatakan sebagai inflasi. Ada tiga komponen yang harus dipenuhi agar dapat
dikatakan telah terjadi inflasi, komponen tersebut yaitu:
1) Adanya kecenderungan harga‐harga untuk meningkat, yang berarti bisa saja
tingkat harga yang terjadi pada waktu tertentu turun atau naik dibandingkan
dengan sebelumnya, tetapi tetap menunjukkan tendensi yang meningkat.
2) Bahwa kenaikan tingkat harga tersebut berlangsung secara terus menerus, yang
berarti bukan terjadi pada suatu waktu saja, akan tetapi bisa beberapa waktu
lamanya.
33
3) Bahwa tingkat harga yang dimaksud disini adalah tingkat harga secara umum,
yang berarti tingkat harga yang mengalami kenaikan itu bukan hanya pada satu
atau beberapa komoditi saja, akan tetapi untuk harga barang secara umum.
b. Penggolongan Inflasi
1) Penggolongan inflasi menurut besarnya ada empat macam, yaitu (Fahmi, 2011).
a) Inflasi rendah atau creeping inflation, yaitu inflasi dengan laju kurang dari
10% per tahun, sehingga disebut juga inflasi di bawah dua digit. Inflasi ini
tidak memberikan dampak yang merusak pada perekonomian.
b) Inflasi sedang atau inflasi moderat, yaitu inflasi yang bergerak antara 10% -
30% per tahun. Pengaruh yang ditimbulkan cukup dirasakan bagi
masyarakat yang berpenghasilan tetap.
c) Inflasi berat, yaitu inflasi dengan laju antara 30% -100% per tahun. Inflasi
ini terjadi pada keadaan politik yang tidak stabil dan menghadapi krisis yang
berkepanjangan. Pada inflasi ini kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
ekonomi seperti perbankan mulai hilang.
d) Hyperinflation, yaitu inflasi dengan laju di atas 100% per tahun dan
menimbulkan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Fenomena ini
menandai adanya pergolakan politik dan pergantian pemerintahan atau
rezim. Perekonomian lumpuh karena kepercayaan masyarakat terhadap
mata uang yang beredar benar-benar hilang.
34
2) Penggolongan inflasi berdasarkan penyebabnya dibedakan menjadi dua
(Boediono, 2001: 156), yaitu :
a) Demand Pull Inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh terlalu kuatnya
peningkatan agregat demand masyarakat terhadap komoditi-komoditi hasil
produksi di pasar barang.
b) Cost Pull Inflation, yaitu inflasi yang dikarenakan bergesemya kurva
agregat penawaran ke arah kiri atas. Faktor-faktor yang menyebabkan kurva
agregat penawaran bergeser adalah meningkatnya harga-harga faktor
produksi (baik yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri) di pasar
faktor produksi, sehingga menaikkan harga komoditi dipasar.
3) Penggolongan inflasi menurut asalnya dibedakan menjadi (Boediono, 1992:
164-165) :
a) Inflasi yang berasal dari dalam negeri (Domestic Inflation), yaitu inflasi
yang murni timbul dari dalam negeri misalnya karena defisit anggaran
belanja yang dibiayai dengan percetakan uang baru, panenan gagal dan
sebagainya.
b) Inflasi yang berasal dari luar negeri (Imported Inflation), yaitu inflasi yang
disebabkan oleh kenaikan harga-harga komoditi dari luar negeri (di negara
asing yang memiliki hubungan perdagangan dengan negara yang
bersangkutan).
35
c) Indikator untuk Mengukur Tingkat inflasi
Tingkat inflasi berdasarkan international best practice dapat diukur dengan
3 indikator yaitu (www.bi.go.id):
1) Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB)
Harga Perdagangan Besar dari suatu komoditas ialah harga transaksi yang
terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar
berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas suatu komoditas. Data
harga perdagangan besar dikumpulkan dari 34 provinsi berdasarkan banyaknya
komoditas yang masuk dalam paket komoditas yang ada di kab/kota. Responden
survei adalah perusahaan eksportir, importir dan pedagang grosir. Sejak November
2013 penghitungan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) menggunakan tahun
dasar 2010 (2010=100). Indeks Perdagangan Besar disajikan dalam bentuk Indeks
Umum dan berdasarkan pengelompokan barang yaitu:
1) Kelompok penawaran barang yang meliputi sektor pertanian, pertambangan dan
penggalian, industri, impor, dan ekspor.
2) Kelompok pengguna barang.
3) Kelompok barang dalam tahapan proses produksi.
4) Kelompok bahan-bahan bangunan/konstruksi.
2) Deflator Produk Domestik Bruto (PDB)
Deflator PDB menggambarkan pengukuran level harga barang akhir (final
goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri). Deflator PDB
36
dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga nominal (atas dasar harga
berlaku) dengan PDB riil (atas dasar harga konstan).
3) Indeks Harga Konsumen (IHK)
IHK adalah indeks yang menghitung rata-rata perubahan harga dalam suatu
periode, dari kumpulan barang dan jasa rumah tangga dalam kurun waktu tertentu.
Indikator ini yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi. Penghitungan
IHK ditujukan untuk mengetahui perubahan harga dari sekelompok tetap
barang/jasa yang pada umumnya dikonsumsi masyarakat. Perubahan IHK dari
waktu ke waktu menggambarkan tingkat kenaikan (inflasi) atau tingkat penurunan
(deflasi) dari barang/jasa kebutuhan rumah tangga sehari-hari.
Indeks Harga Konsumen Indonesia dihitung dengan rumus Laspeyres
termodifikasi. Dalam penghitungan rata-rata harga komoditas, ukuran yang
digunakan adalah rata-rata aritmatik, tetapi untuk beberapa komoditas seperti beras,
minyak goreng, bensin, dan sebagainya digunakan rata-rata geometri. Mulai Januari
2014, IHK disajikan dengan menggunakan tahun dasar 2012=100 dan mencakup
82 kota yang terdiri dari 34 ibu kota propinsi dan 49 kota-kota besar di seluruh
Indonesia. IHK sebelumnya menggunakan tahun dasar 2007=100 dan hanya
mencakup 66 kota (www.bps.go.id)
Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia mencakup 225-462 barang dan
jasa yang dikelompokkan ke dalam 7 kelompok pengeluaran (berdasarkan the
Classification of individual consumption by purpose-COICOP), yaitu
(www.bi.go.id):
37
1) Kelompok bahan makanan
2) Kelompok makanan jadi, minuman, dan tembakau
3) Kelompok perumahan
4) Kelompok sandang
5) Kelompok kesehatan
6) Kelompok pendidikan dan olah raga
7) Kelompok transportasi dan komunikasi.
Laju inflasi yang diukur dengan IHK dapat dihitung dengan cara
menghitung prosentase kenaikan/penurunan indeks harga ini dari tahun ke tahun
(atau dari bulan ke bulan).
Peningkatan inflasi secara relatif merupakan sinyal negatif bagi pemodal di
pasar modal. inflasi yang tinggi akan mengakibatkan harga input produk naik
sehingga biaya produksi naik, akibatnya keuntungan yang diperoleh perusahaan
akan turun, maka dapat dikatakan inflasi mempunyai hubungan negatif dengan
harga saham (Sari, 2019). Jika profit yang diperoleh perusahaan kecil, hal ini akan
mengakibatkan para investor enggan menanamkan dananya di perusahaan tersebut
sehingga harga saham menurun.
2.1.11 Teori Produksi dan Biaya Produksi
Tujuan ekonomi suatu perusahaan adalah memaksimumkan keuntungan.
Keuntungan diperoleh apabila hasil penjualan lebih besar daripada biaya produksi.
38
Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, membuat, dan juga menambah nilai
suatu barang. Kegiatan produksi tidak akan dapat dilakukan kalau tidak ada bahan
yang memungkinkan dilakukannya proses produksi itu sendiri. Menurut Sukirno
(2016) untuk bisa melakukan produksi, dibutuhkan tenaga kerja, tanah, modal, dan
keahlian keusahawanan. Semua unsur itu disebut faktor-faktor produksi (factors of
production). Hubungan faktor-faktor produksi dan jumlah produksinya disebut
fungsi produksi. Faktor-faktor produksi bisa disebut sebagai input dan jumlah
produksi disebut output. Fungsi produksi selalu dinyatakan dala bentuk rumus yaitu
: Q = f (K,L,R,T).Dimana K adalah jumlah modal, L adalah jumlah tenaga kerja
dan keahlian keusahawanan, R adalah kekayaan alam, T adalah tingkat teknologi
yang digunakan, dan Q adalah jumlah produksi yang dihasilkan dari faktr-faktor
produksi terebut.
Menurut Sukirno (2016) biaya produksi adalah semua pengeluaran yang
dikeluarkan oleh perusahaan untuk memperoleh faktor-faktor produksi dan bahan -
bahan mentah yang akan digunakan untuk menciptakan barang-barang yang akan
diproduksikan oleh perusahaan tersebut.
2.1.12 Teori Portofolio
Menurut (Husnan, 2001) menyatakan bahwa dalam dunia yang sebenarnya
hampir semua investasi mengandung unsur ketidakpastian atau resiko. Pemodal
tidak tahu dengan pasti hasil yang akan diperolehnya dari investasi yang
dilakukannya. Karena pemodal mengahadapi kesempatan investasi yang beresiko,
pilihan investasi tidak dapat hanya mengandalkan pada tingkat keuntungan yang
39
diharapkan. Apabila pemodal mengharapkan untuk memperoleh tingkat
keuntungan yang tinggi, maka ia harus bersedia menanggung resiko yang tinggi
pulasalah satu karakteristik investasi pada sekuritas adalah kemudahan untuk
membentuk portofolio investasi. Teori Portofolio lahir dari seseorang yang
bernama Harry Markowitz (1952) yang mengemukakan teori portofolio yang
dikenal dengan model Markowitz, yaitu memperoleh imbal hasil (return) pada
tingkat yang dikehendaki dengan risiko yang paling minimum. Untuk
meminimumkan risiko, perlu dilakukan diversivikasi dalam berinvestasi, yaitu
membentuk portofolio atau menginvestasikan dana tidak di satu aset saja melainkan
ke beberapa aset dengan proporsi dana tertentu. Hal ini berarti investasi harus
dipilah-pilah ada yang dalam saham, obligasi, SBI, deposito berjangka dan Reksa
Dana. Selanjutnya harus dijelaskan secara lebih rinci, seperti dalam saham berapa
persentase untuk sektor properti, perbankan, farmasi, makanan, industri, dasar,
manufaktur, otomotif dan seterusnya. Kemudian dirinci lagi jenis saham yang akan
dipilih. Misalnya, untuk sektor farmasi, saham dari emiten mana yang akan dibeli
(Samsul, 2006).
40
No. Penulis dan
Tahun
Judul Variabel dan
Alat Analisis
Hasil Penelitian
1. (Rizky, 2019) Pengaruh Nilai
Tukar, Suku
Bunga SBI,
Inflasi, dan
Perrtumbuhan
GDP terhadap
Pergerakan IHSG
di Bursa Efek
Indonesia
Variabel :
IHSG, Suku
bunga, nilai
tukar, SBI,
Inflasi
Alat Analisis:
Analisis
Statistik
Deskriptif dan
Regresi Linier
Berganda
1. Kurs dan PDB
memiliki
pengaruh yang
negatif terhadap
IHSG
2.SBI dan Inflasi
memiliki
pengaruh yang
positif terhadap
IHSG
2. (Mamahit,
2019)
Pengaruh Variabel
Makroekonomi
Terhadap Indeks
Harga Saham
Gabungan (Studi
pada Indeks Harga
Saham Gabungan
di Bursa Efek
Indonesia Periode
2014-2018)
Variabel :
IHSG, Suku
bunga, nilai
tukar, Inflasi
Alat Analisis:
Analisis
Statistik
Deskriptif dan
Analisis
kuantitatif
dengan
Regresi Linier
Berganda
1. Suku Bunga
rupiah memiliki
pengaruh yang
signifikan dan
negatif terhadap
IHSG
2. Variabel Inflasi
dan kurs tidak
berpengaruh
signifikan
terhadap IHSG
3. (Sari, 2019) Analisis
Pengaruh Inflasi,
Suku Bunga SBI,
Nilai Tukar
Variabel :
IHSG,Inflasi,
Suku bunga,
Kurs
1.Hasil penelitian
ini menunjukkan
bahwa pengaruh
41
No. Penulis dan
Tahun
Judul Variabel dan
Alat Analisis
Hasil Penelitian
Terhadap Return
LQ 45 dan
Dampaknya
Terhadap Indeks
Harga Saham
Gabungan
(IHSG)
di Bursa Efek
Indonesia (BEI)
Analisis
Jalur/Path
Inflasi, Suku
Bunga SBI, Nilai
Tukar dan Return
LQ 45
berpengaruh
terhadap IHSG
yaitu sebesar
0,760.
2.Hasil hipotesis
menunjukkan
bahwa terdapat
pengaruh yang
signifikan antara
Inflasi , Suku
Bunga SBI, Nilai
Tukar dan Return
LQ 45 secara
bersama-sama
terhadap IHSG
4. (Ardelia,
2018)
Pengaruh
Inflasi,suku
bunga,dan nilai
tukar rupiah
terhadap indeks
harga saham
gabungan(studi
pada BEI periode
2013-2017)
Analisis
deskriptif
1.Suku bunga dan
kurs berpengaruh
negative signifkan
terhadap harga
saham perusahaan
real estate dan
property
2.Inflasi
berpengaruh
42
No. Penulis dan
Tahun
Judul Variabel dan
Alat Analisis
Hasil Penelitian
negatif dan
signifikan
5. (Sangga,
2017)
Pengaruh Nilai
tukar, suku bunga
dan Inflasi
terhadap indeks
harga saham
gabungan di BEI
Variabel:
IHSG, Nilai
tukar, suku
bunga, dan
inflasi
Alat Analisis:
Analisis
Statistik
Deskriptif dan
Regresi Linier
Berganda
1. Variabel Nilai
tukar dan sbi
memiliki
pengaruh yang
positif dan
signifikan
terhadap IHSG
2. Variabel inflasi
memiliki
pengaruh yang
negatif dan
signifikan
terhadap IHSG
6. (Kadek,
2015)
Pengaruh Tingkat
Suku Bunga SBI,
Kurs Mata Uang
Rupiah Atas
Dollar dan Indeks
Dow Jones
terhadap Indeks
Harga Saham
Gabungan Pada
Periode 2010-
2014.
Variabel:
IHSG,Tingkat
suku bunga
SBI, Kurs,
Indeks Dow
Jones.
Alat Analisis :
Analisis
regresi linear
berganda
1. Variabel tingkat
suku bunga SBI
berpengaruh
negatif terhadap
Indeks
Harga Saham
Gabungan (IHSG)
2. Variabel kurs
mata uang Rupiah
atas Dollar AS
memiliki
pengaruh yang
43
No. Penulis dan
Tahun
Judul Variabel dan
Alat Analisis
Hasil Penelitian
positif terhadap
Indeks Harga
Saham Gabungan
(IHSG)
7. (Rachmawati,
2018)
Pengaruh Inflasi
dan Suku Bunga
Terhadap Harga
Saham Pada
Perusahaan
Perbankan Yang
Terdaftar Di
LQ45 Bursa Efek
Indonesia
Variabel:
IHSG, Suku
Bunga, dan
Inflasi
Alat Analisis :
Analisis
regresi linear
berganda
(1) Inflasi
berpengaruh
negatif dan
signifikan
terhadap haga
saham pada
perusahaan
Perbankan yang
terdaftar di LQ45
Bursa Efek
Indonesia. (2)
Suku Bunga
berpengaruh
negatif dan
signifikan
terhadap haga
saham pada
perusahaan
Perbankan yang
terdaftar di LQ45
Bursa Efek
Indonesia. (3)
Inflasi dan Suku
Bunga
44
No. Penulis dan
Tahun
Judul Variabel dan
Alat Analisis
Hasil Penelitian
berpengaruh
negatif dan
signifikan
terhadap haga
saham pada
perusahaan
Perbankan yang
terdaftar di LQ45
Bursa Efek
Indonesia tahun
2015-2017.
8. (Susanto,
2015)
Pengaruh Inflasi,
Bunga dan Nilai
Tukar Terhadap
Harga Saham
(Studi Pada :
Perusahaan
Sektor Properti
Dan Real Estate
Tercatat BEI)
Variabel:
Indeks Harga
Saham
Properti dan
real
estate,Nilai
tukar, Suku
Bunga, Inflasi,
Alat Analisis :
Analisis
regresi linear
berganda
1. Inflasi berpengaruh
tidak signifikan
terhadap harga
Indeks Harga sahma
property dan real
estate.
2. Nilai Tukar dan
suku bunga
berpengaruh negatif
signifikan dan
positif terhadap
IHSG
9. (Zarei, 2018)
The impact of
exchange rates on
stock market
returns: new
evidence from
seven free-
Regresi
berganda data
panel
1.Kurs
berpengaruh
signifikan terhadap
indeks harga
saham di tujuh
negara dengan
45
No. Penulis dan
Tahun
Judul Variabel dan
Alat Analisis
Hasil Penelitian
floating
currencies
sistem kurs
mengambang
2.Pertumbuhan
pendapatan dan
teori paritas
berpengaruh
signifikan terhadap
indeks harga
saham
10. (Isidore,
2018)
Fundamental
analysis versus
technical
analysis-a
comparative
review
Analisis
deskriptif
1.Analisa
fundamental dan
teknikal memiliki
kekurangan dan
kelebihan, ada
yang
menggunakan
keduanya dan ada
yang hanya
menggunakan
salah
satunya,tergantung
dari jenis
sahamnya
2.Analisa teknikal
biasa digunakan
dalam rentang
yang lebih
singkat,sedangkan
fundamental untuk
jangka panjang
46
2.3 Hubungan antar Variabel
1.Pengaruh Kurs terhadap Indeks Harga Saham
Nilai tukar suatu mata uang asing adalah harga mata uang suatu negara
terhadap negara asing lainnya. Pengaruh nilai tukar terhadap IHSG adalah
terkait dengan ekspektasi investor terhadap perekonomian suatu negara. Nilai
tukar rupiah terhadap dolar terdepresiasi (melemah), akan menimbulkan sikap
khawatir dikalangan investor.Bagi investor, depresiasi rupiah terhadap dolar
menandakan bahwa prospek perekonomian Indonesia suram, sebab depresiasi
rupiah dapat terjadi apabila faktor fundamental perekonomian Indonesia
tidaklah kuat, sehingga dolar Amerika akan menguat dan akan menurunkan
Indeks Harga Saham Gabungan di BEI. (Sangga, 2017) memperlihatkan hasil
bahwa variabel kurs berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap Indeks
harga saham, artinya semakin besar variabel perubahan kurs mata uang, semakin
menambah baik kinerja saham. Pengaruh positif ini berarti bahwa nilai tukar rupiah
dan IHSG berbanding lurus. Jika nilai tukar rupiah semakin kuat mengakibatkan
IHSG semakin baik, begitu pula sebaliknya jika nilai tukar rupiah semakin
lemah maka IHSG akan semakin buruk.
2. Pengaruh Suku Bunga terhadap Indeks Harga Saham
Tingkat pengembalian yang diharapkan investor pada investasi saham
seringkali dipengaruhi oleh pendapatan yang diperoleh investor pada alternatif
investasi lain. Tingkat bunga mempunyai pengaruh yang besar terhadap harga
saham. Suku bunga yang semakin tinggi memperlesu perekonomian, kemudian
47
menaikkan biaya bunga. Dengan demikian suku bunga yang semakin tinggi dapat
menurunkan laba perusahaan dan menyebabkan para investor menjual saham dan
memindahkan dana ke pasar obligasi. Tingkat bunga yang tinggi membuat investor
lebih tertarik menanamkan modalnya di instrument lain seperti di bank karena
tingkat pengembalian yang cukup tinggi. Para investor yang keluar dari pasar
saham akan menurunkan harga saham pada umumnya dan akan berpengaruh besar
terhadap Indeks Harga Saham. Dengan demikian Suku Bunga SBI berpengaruh
negatif terhadap Indeks Harga Saham.
3.Pengaruh Inflasi terhadap Indeks Harga Saham
Inflasi didefinisikan sebagai kecenderungan dari harga-harga untuk menaik
secara umum dan terus menerus (Boediono, 2001). Peningkatan inflasi secara
relatif merupakan sinyal negatif bagi investor di pasar modal. Inflasi meningkatkan
pendapatan dan biaya perusahaan. Jika peningkatan biaya produksi lebih tinggi dari
peningkatan harga yang dapat dinikmati oleh perusahaan, maka tentunya
profitabilitas perusahaan akan turun. Jika keuntungan yang diperoleh perusahaan
kecil, hal ini akan mengakibatkan para investor enggan menanamkan dananya di
perusahaan tersebut sehingga harga saham akan menurun. Apabila semakin tinggi
tingkat inflasi, maka akan menyebabkan rendahnya indeks harga saham. Dengan
demikian inflasi mempunyai pengaruh yang negatif terhadap Indeks Harga Saham.
48
2.4 Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
2.5 Hipotesis
Menurut Ghozali (Ghozali, 2001), hipotesis adalah hasil praduga sementara
dan masih harus dibuktikan kebenarannya dengan alat uji analisis. Hipotesis di
susun berdasarkan kebenarannya dan juga sesuai dengan kerangka pemikiran serta
penelitian terdahulu. Berikut Hipotesis dalam penelitian ini (dengan taraf
signifikansi 0,05%).
1. Kurs secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks Harga
saham sektor infrastruktur pada tahun 2005-2019.
2. Suku bunga secara parsial berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Indeks
Harga saham sektor infrastruktur pada tahun 2005-2019.
3. Inflasi secara parsial berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Indeks Harga
saham sektor infrastruktur pada tahun 2005-2019.
US$/Rp
Suku Bunga
Inflasi
Indeks Harga Saham
Sektor Infrastruktur
49
4. Kurs,Suku bunga, serta inflasi secara bersama-sama berpengaruh secara simultan
terhadap terhadap Indeks Harga saham sektor infrastruktur pada tahun 2005-
2019.
50
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh variabel-variabel
makroekonomi seperti tingkat suku bunga SBI, nilai kurs dollar,dan inflasi terhadap
indeks harga saham sektor infrastruktur. Penulis menggunakan dua jenis variabel
dalam penelitian ini, yang pertama adalah variabel dependen dan yang kedua adalah
variabel independen. Variabel dependen yang digunakan oleh penulis adalah indeks
harga saham sektor infrastruktur (selaku y) dan variabel independen yang
digunakan oleh penulis adalah kurs dollar (selaku x1), suku bunga SBI (selaku x2),
dan inflasi (selaku x3). Variabel-variabel tersebut akan diuji menggunakan metode
analisis regresi berganda. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah data
indeks harga saham sektor infrastruktur ,suku bunga SBI, nilai kurs dollar,dan
inflasi dari bulan Januari 2005 sampai dengan Desember 2019.
B. Jenis Penelitian
Metodologi penelitian diibaratkan sebagai acuan menjawab pertanyaan
penelitian dalam suatu penelitian. Metodologi penelitian mengandung makna cara
mendapatkan data yang dibutuhkan bagi kepentingan penelitian, untuk menjawab
rumusan masalah. Metodologi penelitian sangat menentukan arah penelitian, baik
usaha dalam menghimpun data maupun sebagai petunjuk bagaimana penelitian ini
akan dilakukan. Maka dari itu, jenis pada penelitian kali ini adalah bersifat
deskriptis kuantitatif, dimana deskriptif digunakan untuk menjelaskan dan
51
menggambarkan pengaruh variabel-variabel makroekonomi seperti tingkat suku
bunga SBI, nilai kurs dollar,dan inflasi terhadap indeks harga saham sektor
infrastruktur, sementara kuantitatif digunakan karena peristiwa makroekonomi
seperti tingkat suku bunga SBI, nilai kurs dollar,inflasi, dan indeks harga saham
sektor infrastruktur dijelaskan dengan angka-angka yang nantinya akan diolah
menggunakan aplikasi pengolahan data eviews.
C. Metode Penentuan Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah indeks harga saham. Hampir seluruh
negara di dunia mempunyai bursa efek. Pada setiap bursa efek terdapat berbagai
jenis indeks harga saham yang dihitung berdasarkan kriteria masing-masing.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah indeks harga saham sektoral
di BEI. Penentuan indeks harga saham sektor infrastruktur sebagai sampel
berdasarkan teknik purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik
pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2011).
indeks harga saham sektor infrastruktur dipilih berdasarkan kriteria-kriteria
tertentu yang diinginkan:
1. Merupakan salah satu indeks harga saham di BEI
2. Merupakan indeks yang menggunakan harga saham seluruh perusahaan
emiten konstruksi dan properti yang tercatat di BEI.
Metode pengambilan sample menggunakan metode Purposive Sampling,
yang mengambil subjek penelitian bukan secara random, daerah, ataupun
strata/tingkatan, namun berdasarkan tujuan dan maksud tertentu (Arikunto, 2010).
52
D. Metode Pengambilan Data
Menurut Siregar (Siregar, 2013), data adalah sebuah informasi berupa
numerik yang menjelaskan suatu keadaan/fakta, yang dapat diolah secara
kuantitatif maupun kualitatif. Pengumpulan data dilakukan untuk mencapai sebuah
hasil yang diinginkan dalam sebuah penelitian, berikut jenis-jenis data dan cara
mengumpulkannya.
1. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung. Beberapa metode
untuk mendapatkan data primer adalah sebagai berikut, (i) melakukan
wawancara, (ii) melakukan jajak pendapat dengan responden yang dituju,
dan (iii) melakukan observasi dari suatu peristiwa yang terjadi atau proyek
yang sedang berlangsung. Tingkat keakuratan data primer dan tingkat
kebohongan data yang rendah adalah salah satu kelebih dari menggunakan
data primer. Karena data primer menggambarkan kejadian langsung suatu
keadaan ataupun peristiwa dari hasil wawancara atau jajak pendapat.
Kelemahan dari data primer adalah membutuhkan banyak biaya untuk bisa
terjun secara langsung ke lapangan, dan juga membutuhkan banyak waktu,
karena peneliti diharuskan untuk bisa terjun langsung ke suatu subjek/objek
dalam rangka meneliti penelitiannya.
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang tidak didapatkan dari sumbernya secara
langsung. Biasanya, data sekunder didapatkan dari sebuah instansi,
53
lembaga, maupun organisasi yang terkait dengan penelitiannya. Biasanya
juga instnasi, lembaga dan organisasi tersebut memplubikasikan data secara
umum melalui sebuah buku, literatur, laporan tahunan, dokumen, arsip,
infografis atau berbagai macam lainnya. Biaya yang cukup sedikit dn juga
waktu yang dipakai untuk mendapatkan data sekunder tidak terlalu banyak,
adalah beberapa hal dari keunggulan memakai data sekunder. Namun,
terkadang data sekunder memiliki beberapa masalah saat pengolahannya,
baik secara statistical maupun ekonometrikal, karena data yang didapat
tersebut tidak secara langsung dihimpun. Kelemahannya lainnya, biasanya
data sekunder memiliki tingkat keakuratan yang cukup rendah.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka jenis data yang akan peneliti gunakan
adalah data sekunder, karena tidak diperoleh langsung dari sumbernya. Teknik
pengambilan data yang penulis lakukan adalah teknik dokumentasi laporan-laporan
pemerintah dan juga teknik studi pustaka dengan melihat data dari literatur-literatur
terdahulu. Dikarenakan data yang penulis gunakan adalah data sekunder, maka
penulis mengambil data tersebut dari Badan Pusat Statistika , Bank Indonesia, dan
website seperti investing.com serta yahoo.finance.com, yang diambil dari kurun
waktu 2005-2019.
E. Metode Analisis Data
Metode penelitian yang peniliti gunukan pada penilitian ini adalah analisis
data kuantitatif, dikarenakan data yang peneliti gunakan adalah data yang
menjelaskan suatu peristiwa menggunakan angka-angka, yang hasilnya nanti akan
objektif sesuai dengan penjabaran angka-angka tersebut. Kemudian hasil yang
54
peneliti temukan akan penilit cocok-kan dengan landasan teori, sehingga hasil
kesimpulannya tidak subjektif dari pemikiran pribadi penulis. Penelitian pengaruh
tingkat suku bunga SBI, nilai kurs dollar,dan inflasi terhadap Indeks Harga Saham
Sektor infrastruktur menggunakan metode regresi model data time series.
Data time series merupakan jenis data yang dikumpulkan menurut urutan
waktu dalam suatu rentang waktu tertentu. Jika waktu dipandang bersifat diskrit
(waktu dapat dimodelkan bersifat kontinu), maka frekuensi pengumpulan datanya
selalu sama (equidistant). Dalam kasus diskrit, frekuensi dapat berupa misalnya
detik, menit, jam, hari, minggu, bulan atau tahun. Selanjutnya model analisis yang
peneliti gunakan dalam penelitian kali ini adalah analisis regresi berganda time
series. Untuk melihat pengaruh tingkat suku bunga SBI, nilai kurs dollar,dan inflasi
terhadap indeks harga saham sektor infrastruktur, peneliti menggunakan suatu
model persamaan yang akan peneliti estimasi dalam penelitian kali ini.
IHSSIit = β0 + β1Kursit + β2SBIit + β3Inflasiit + εit……………………………. (1)
Keterangan :
IHSSIit = Indeks Harga saham sektor infrastruktur di Indonesia pada periode t
Kursit = Kurs Dollar terhadap rupiah di Indonesia pada periode t
SBIit = Suku bunga SBI di Indonesia periode t
Inflasiit = Tingkat Inflasi di Indonesia periode t
β0 = Intercept/Konstanta
β1, β2, β3 = Koefisien Regresi
55
εit = Error term
F. Pengujian Model
1. Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik bertujuan untuk menguji data-data yang akan digunakan
dalam penelitian ini apakah telah memenuhi asumsi klasik, yaitu data terdistribusi
normal, tidak terjadi gejala multikolinearitas, tidak terdapat autokorelasi dan tidak
terjadi gejala heteroskedastisitas. Jika telah memenuhi keempat hal tersebut maka
model regresi akan memberikan hasil yang Best Linear Unbiased Estimator
(BLUE), (ghozali, 2011).
3.1.1 Uji Normalitas
Menurut (ghozali, 2011) uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah
dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal.
Model regresi yang baik memiliki distribusi data normal atau mendekati normal.
Keputusan terdistribusi normal tidaknya data adalah dengan melihat nilai
Probabilitas Jarque-Bera. Jika Probabilitas Jarque Bera lebih besar dari 0,05 maka
data terdistribusi secara normal,sebaliknya apabila nilainya lebih kecil maka data
tidak berdistribusi normal.
3.1.2 Uji Multikolinearitas
Uji multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi
ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Model regresi yang
56
baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel independen. Jika variabel
independen saling berkolerasi, maka variabel-variabel ini tidak orgonal. Variabel
orgonal adalah variabel independen yang nilai korelasi antar sesama variabel
independen sama dengan nol (ghozali, 2011).
Ada beberapa cara yang digunakan untuk mendeteksi multikolonieritas,
akan tetapi untuk mendeteksi ada tidaknya multikoliniearitas dalam model regresi
dalam penelitian ini dilihat dari tolerance value atau variance inflation factor (VIF).
Adapun pemilihan tolerance value atau variance inflation factor (VIF) dalam
penelitian ini karena cara ini merupakan cara umum yang dilakukan dan dianggap
lebih handal dalam mendeteksi ada-tidaknya multikolonieritas dalam model regresi
serta pengujian dengan tolerance value atau variance inflation factor (VIF) lebih
lengkap dalam menganalisis data. Dasar pengambilan keputusan dengan tolerance
value atau variance inflation factor (VIF) dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Jika nilai tolerance > 0,1 dan nilai VIF < 10, maka dapat disimpulkan
bahwa tidak ada multikolinearitas antar variabel independen dalam model
regresi.
2. Jika nilai tolerance < 0,1 dan nilai VIF > 10, maka dapat disimpulkan
bahwa ada multikolinearitas antar variabel independen dalam model regresi.
3.1.3 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi linear ada
korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu
pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem
57
autokorelasi, model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi
(ghozali, 2011). Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi dalam penelitian ini
digunakan uji uji LM.Uji ini menghasilkan statistik Breusch-Godfrey.Program
eviews memberikan kemudahan dalam mendekteksi ada tidaknya masalah
autokorelasi ini,yaitu dengan melihat probabilitas(p-value) dari observasi R2.Jika
R2 > 0,05 maka tidak terjadi autokorelasi,begitupun jika R2 < 0,05 maka terjadi
autokorelasi (Hadianto, 2019).
3.1.4 Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang
lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka
disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas.Model
regresi yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak terjadi
heteroskedastisitas (ghozali, 2011).
Salah satu cara untuk mengetahui apakah terdapat heteroskedastisitas adalah
dengan menggunakan uji heteroskedastisitasGlejser.Untukmengetahui terjadi atau
tidaknya heteroskedastisitas pada model regresi dapat dilihat dari nilai
Probabilitasnya (F hitung), apabila nilai probabilitas lebih besar dari 5% maka tidak
terjadi heteroskedastisitas, begitu pula apabila nilai probabilitasnya lebih kecil
maka terjadi heteroskedastisitas pada model regresi.
58
2. Metode Estimasi
Setelah menetapkan asumsi yang paling tepat, maka diperlukan juga untuk
menetapkan metode estimasi yang paling tepat. Estimasi atau pendugaan adalah
sebuah proses yang menggunakan sampel statistik untuk menduga atau menaksir
hubungan parameter populasi yang tidak diketahui. Dengan adanya estimasi,
keadaan parameter populasi dapat diketahui. Karena estimasi merupakan suatu
pernyataan mengenai parameter populasi yang diketahui berdasarkan populasi dari
sampel, sehingga hal ini sampel random yang diambil dari populasi yang
bersangkutan. Menurut Hasan (Hasan, 2017), ada ciri-ciri pendugaan yang baik
adalah efisien, konsisten, serta tidak bias (unbiased). Dalam menentukan estimasi
terdapat dua, Diantaranya sebagai berikut:
a. Ordinary Least Square (OLS)
𝑌𝑖 = 𝛽0 + 𝛽1𝑋1𝑖 + 𝛽2𝑋2𝑖 + ⋯ + 𝛽𝑘𝑋𝑘𝑖 + 𝜀𝑖 Ordinary Least Square (Kuadrat
terkecil biasa) merupakan salah satu metode bagian dari kuadrat terkecil atau
sering disebut kuadrat terkecil saja. Metode ini sering digunakan para peneliti
atau ilmuwan untuk proses penghitungan suatu persamaan regresi sederhana.
Dalam penggunaan regresi, terdapat beberapa asumsi dasar yang dapat
menghasilkan estimator linier tidak bias yang terbaik dari model regresi yang
diperoleh dari metode kuadrat terkecil biasa atau dikenal dengan regresi OLS
agar taksiran koefisien regresi itu bersifat BLUE (Best Linier Unbiased
Estimator). Misalkan:
Yang dapat secara ringkas ditulis dalam notasi matriks sebagai berikut:
59
𝑌 = 𝑋𝛽 + 𝜀
Dengan β adalah suatu vektor kolom k-unsur dari penaksir parameter kuadrat
terkecil biasa dan ε adalah suatu vektor kolom n x 1 dari n residual (Gujarati, 1999).
Variabel ε sangat memegang peran dalam model ekonometrika, akan tetapi variabel
ini tidak dapat diteliti dan tidak juga tersedia informasi tentang bentuk distribusi
kemungkinannya. Selain asumsi mengenai distribusi probabilitasnya, beberapa
asumsi lainnya khususnya tentang sifat statistiknya perlu dibuat dalam menerapkan
metode OLS.
G. Uji Statistik
3.1.5 Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh
kemampuan model menerangkan variasi variabel independen. Nilai R2 yang kecil
berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi
variabel dependen sangat terbatas, sebaliknya nilai R2 yang mendekati satu berarti
variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang
dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen. Nilai koefisien
determinasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai adjusted R2 karena
variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini lebih dari dua variabel.
Selain itu nilai adjusted R2 dianggap lebih baik dari nilai R2, karena nilai adjusted
R2 dapat naik atau turun apabila satu variabel independen ditambahkan ke dalam
model regresi (Ghozali, 2001).
60
3.1.6 Uji Signifikan Parsial (Uji t)
Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu
variabel penjelas/independen secara individual dalam menerangkan variabel
dependen (Ghozali, 2011). Dalam penelitian ini uji t digunakan untuk menguji
hipotesis H1, H2, H3 yaitu pengaruh Kurs Dollar, Suku bunga, dan Inflasi secara
parsial terhadap IHSG.Menurut (ghozali, 2011), uji t dilakukan dengan
membandingkan signifikansi thitung dengan ttabel dengan ketentuan :
1. H0 diterima dan Ha ditolak jika t hitung < t tabel untuk α = 0,05
2. H0 ditolak dan Ha diterima jika t hitung > t tabel untuk α = 0,05
3.1.7 Uji Signifikan Simultan (Uji F)
Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua varibel
independen atau bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara
bersama- sama terhadap variabel dependen/terikat (ghozali, 2011). Di dalam
penelitian ini uji F digunakan untuk menguji pengaruh Indeks Saham Dunia, Kurs
(USD/IDR), BI Rate, Crude Oil secara simultan terhadap IHSG. Menurut Ghozali
(2011), uji F dilakukan dengan membandingkan signifikansi Fhitung dengan Ftabel
dengan ketentuan :
1. H0 diterima dan Ha ditolak jika F hitung < F tabel untuk α = 0,05
2. H0 ditolak dan Ha diterima jika F hitung > F tabel untuk α = 0,05
61
H. Model Penelitian & Operasional Variabel Penelitian
Model penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah model regresi data
panel dengan metode GLS, berikut adalah model yang digunakan:
𝐼𝐻𝑆𝑆𝐼𝑖∗ = 𝛽𝑖
∗𝐾𝑢𝑟𝑠0𝑖∗ + 𝛽2
∗𝑆𝐵𝐼𝑖∗ + 𝛽3
∗𝐼𝑛𝑓𝑙𝑎𝑠𝑖𝑖∗ + 𝑢𝑖
∗
Penjelasan:
IHSSI : Indeks Harga Saham Sektor Infrastruktur
Kurs : Kurs Dollar terhadap rupiah
SBI : Suku Bunga SBI
Inflasi : Tingkat Inflasi
Menurut Sugiyono (Sugiyono, 2011), Variabel penelitian adalah sesuatu hal
berbentuk variabel yang telah ditetapkan oleh peneiliti dan telah dipelajari
sehingga, sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut (variabel) dan
kemudian ditarik serta disimpulan dalam bentuk model. Variabel bebas didalam
penelitian ini menggunakan data variable makroekonomi untuk mengetahui
pengaruhnya terhadap Indeks Harga Saham Sektor Infrastruktur, lebih spesifiknya,
variabel bebas yang peneliti pakai adalah nilai kurs,tingkat suku bunga,dan tingkat
inflasi. Sementara variabel terikatnya adalah Indeks Harga Saham Sektor
Infrastruktur. Untuk menjaga agar pembahasan pada satu variabel tidak melebar,
peneliti telah membuat landasan operasional variabel penelitian. Operasional
variabel-variabel penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
62
1. Indeks Harga Saham Sektor Infrastruktur, data yang digunakan adalah
Indeks Harga Saham Sektor Infrastruktur di Bursa Efek Indonesia pada
tahun 2005-2019 dengan satuan indeks komponen.
2. Kurs dollar terhadap rupiah, data yang digunakan adalah data kurs dollar
terhadap rupiah yang dikeluarkan Bank Indonesia pada tahun 2005-2019
dengan satuan rupiah.
3. Suku bunga SBI, data yang digunakan adalah data tingkat suku bunga yang
dikeluarkan Bank Indonesia setiap bulannya pada tahun 2005-2019 dengan
satuan persen.
4. Inflasi, data yang digunakan adalah data tingkat Inflasi yang dikeluarkan
Bank Indonesia setiap bulannya pada tahun 2005-2019 dengan satuan
persen.
Definisi variabel-variabel:
1. Indeks Harga Saham Sektor Infrastruktur(Y)
a. Indeks yang didalamnya terdapat indeks harga saham sektor property
seperti APLN,BSDE,CTRA dan konstruksi seperti saham
WIKA,WSKT,ADHI ,PTPP .
b. Indeks yang mencatat pergerakan harga dan menggambarkan perubahan
harga setiap satu hari perdagangan di Bursa Efek Indonesia
2. Kurs (USD/IDR) (X1)
Nilai kurs Dollar AS (USD) adalah harga atau nilai nominal USD 1
terhadap mata uang rupiah. Nilai tukar mata uang (exchange rate) atau
63
sering disebut kurs merupakan harga mata uang terhadap mata uang lainnya.
Kurs merupakan salah satu harga yang terpenting dalam perekonomian
terbuka mengingat pengaruh yang demikian besar bagi neraca transaksi
berjalan maupun variabelvariabel makro ekonomi yang lainnya. Kenaikan
nilai tukar (kurs) mata uang dalam negeri disebut apresiasi atas mata uang
(mata uang asing lebih murah, hal ini berarti nilai mata uang asing dalam
negeri meningkat). Penurunan nilai tukar (kurs) disebut depresiasi mata
uang dalam negeri (mata uang asing menjadi lebih mahal, yang berarti mata
uang dalam negeri menjadi merosot).
Dalam penelitian ini, satuan ukur yang digunakan adalah besarnya
Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar AS pada penutupan perdagangan
valuta asing tiap bulan dalam satuan rupiah selama Januari 2005 - December
2019.
3. Suku Bunga SBI (X2)
BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau
stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan
diumumkan kepada publik. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya
disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan
oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek.
Jangka waktu jatuh tempo SBI mulai dari 1 bulan, 3 bulan, dan 6 bulan
(Siamat, 2005). SBI merupakan instrumen yang digunakan dalam rangka
pelaksanaan Operasi Pasar Terbuka sebagai pelaksanaan kebijakan
moneter oleh Bank Indonesia .
64
Data suku bunga bank Indonesia yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data suku bunga bank indonesia dari periode Januari 2005 - December 2019.
yang dipublikasikan BI tiap bulan dalam satuan %.
5. Inflasi (X3)
Inflasi adalah data naiknya harga-harga barang secara umum dan
terus menerus.Inflasi didefinisikan sebagai suatu gejala di mana tingkat
harga umum mengalami kenaikan secara terus menerus (Muana, 2001).
Inflasi berdasarkan besarnya dikelompokan ke dalam 4 bagian yaitu:
1.Inflasi ringan (kurang dari 10% / tahun)
2.Inflasi sedang (antara 10% sampai 30% / tahun)
3.Inflasi berat (antara 30% sampai 100% / tahun)
4.Hiperinflasi (lebih dari 100% / tahun)
Sedangkan menurut penyebabnya dibedakan menjadi dua yaitu
demand pull inflation dan cost pull inflation.Inflasi diukur dengan
menghitung perubahan tingkat persentase perubahan sebuah indeks harga.
Indeks harga tersebut di antaranya yaitu Indeks harga konsumen (IHK) atau
consumer price index (CPI), adalah indeks yang mengukur harga rata-rata
dari barang tertentu yang dibeli oleh konsumen.Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data inflasi yang dipublikasikan bps setiap bulannya
pada periode Januari 2005 - December 2019.
.
65
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pembahasan( Analisis)
Dalam penelitian ini yang dijadikan variabel dependen adalah indeks
harga saham sektor infrastruktur. Membangun infrastruktur ibarat membangun
sebuah peradaban baru. Kehadiran infrastruktur dapat menjadi jembatan
penghubung bagi urat nadi perekonomian, termasuk mobilitas sosial. Lebih jauh
lagi, implikasi pembangunan infrastruktur dapat menurunkan biaya logistik,
memperkecil ketimpangan, meningkatkan kualitas hidup masyarakat, hingga
memupus kesenjangan ekonomi antar wilayah.
Sejak zaman Soekarno, pemerintah sudah mulai melakukan pembangunan
tetapi berfokus pada infrastruktur Jakarta sebagai ibu kota Indonesia. Saat itu
Presiden Soekarno nekat membangun Istana Olahraga Senayan pada 1958 dengan
bantuan Uni Soviet. Selanjutnya disusul pembangunan Monumen Nasional pada
1961, Hotel Indonesia 1962 serta sejumlah jalan dan jembatan. Beberapa
perusahaan seperti PLN, KAI hingga TVRI pun berhasil dinasionalisasi hingga
manfaatnya dirasakan oleh masyarakat Indonesia.
Pada zaman Orde Baru pembangunan infrastruktur lebih gencar lagi dan
terencana. Presiden Soeharto bahkan mengalokasikan anggaran untuk infrastruktur
mencapai tujuh persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Tak salah jika pada
masa itu Soeharto dijuluki sebagai bapak pembangunan bangsa. Apalagi rancangan
pembangunan tersebut dibuat dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan
66
infrastruktur fisik paling menonjol yakni, jalan tol sepanjang 550 kilometer.
Sementara itu, pembangunan infrastruktur di era Habibie, Gus Dur, dan
Megawati agak tersendat dan stagnan. Hal ini dikarenakan pergantian rezim
kepemimpinan yang tidak mencapai dua tahun. Namun, pembangunan infrastruktur
fisik seperti jalan tol tetap dilanjutkan termasuk memulai pembangunan jembatan
Suramadu.
Berbeda, pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) rancangan
pembangunan infrastruktur lebih terencana lantaran masuk ke dalam Master Plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Alokasi
anggaran pembangunan infrastruktur kala itu juga terus meningkat dari angka Rp76
triliun pada 2009 menjadi Rp. 206 triliun pada 2014. Sayangnya, rancangan apik
tersebut banyak yang belum terealisasi sehingga dilanjutkan di masa kepemimpinan
Joko Widodo. SBY tercatat hanya mampu merampungkan sepanjang 230 km jalan
tol, pengembangan bandara di Kalimantan dan Sumatera, jalur ganda kereta api,
serta sejumlah proyek pembangkit listrik.
Barulah pada masa Jokowi menjabat, infrastruktur dibangun secara masif
dan merata hingga ke pelosok negeri. Seperti kita ketahui pada era pemerintahan
Jokowi pembangunan infrastruktur sangat banyak yang dikerjakan, baik
infrastruktur jalan raya, jalan tol dan penyediaan perumahan bagi masyarakat.
Keseriusan Pemerintahan Jokowi dalam pembangunan infrastruktur tidak lepas dari
fakta-fakta sebelumnya yang menunjukan terdapat ketimpangan harga antar daerah
karena sulitnya mobilisasi. Fokus pemerintahan Jokowi dibidang ini terbukti dari
67
data alokasi anggaran infrastruktur yang meningkat setiap tahunnya sebagai
berikut:
Tabel 4.1 Anggaran Infrastruktur
Tahun Anggaran Pertumbuhan(%)
2009 76,3 T
2010 86,00 T 13.49
2011 114,2 T 32.79
2012 145,5T 21.51
2013 155,9 T 7,14
2014 177,9 T 14,11
2015 256,1 T 43,95
2016 269,1 T 5,1
2017 388,3 T 44,3
2018 410,7 T 5,8
2019 415,0 T 1,04
(Data diambil dari https://www.kemenkeu.go.id/apbn2019)
Selain itu jika dilihat dari peringkat indeks infrastruktur dari global
competitiveness Index yang diambil dari laporan tahunan dari Forum Ekonomi
68
Dunia (World Economic Forum). Laporan ini menyoal kemampuan negara-negara
untuk menyediakan kemakmuran tingkat tinggi bagi warga negaranya. Hal ini
tergantung dari seberapa produktif sebuah negara menggunakan sumber daya yang
tersedia . Indeks ini digunakan oleh banyak kalangan akademisi. Dalam indeks
bagian infrastruktur menunjukan indeks daya saing infrastruktur Indonesia pada
tahun 2015-2016 berada di peringkat 62, dan kemudian di tahun 2016-2017 naik 2
peringkat, lalu pada periode 2017-2018 naik 8 peringkat ke urutan 52. Dalam 4
tahun kepemimpinan Jokowi, Indonesia mampu naik sebanyak 10 peringkat,
prestasi yang sangat membangggakan.
Gambar 4.1 Data Global Competitiveness Index
Data diambil dari:
http://www3.weforum.org/docs/GCR2018/05FullReport/TheGlobalCompetitivene
ssReport2018.pdf
Selain pembangunan infrastruktur jalan, pemerintah juga menaruh
perhatian pada pembangunan infrastruktur perumahan. Backlog rumah adalah salah
satu indikator yang digunakan oleh Pemerintah sebagaimana tertuang dalam
Rencana Strategis (Renstra) maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah
69
(RPJMN) yang terkait bidang perumahan untuk mengukur jumlah kebutuhan rumah
di Indonesia. Backlog rumah dapat diukur dari sisi kepenghunian maupun dari sisi
kepemilikan.. Jumlah backlog perumahan menurut perspektif menghuni
(Perspektif Kementerian PUPR) tahun 2010 sebanyak 7,1 juta unit rumah dan
tahun 2014 sebanyak 7,8 juta unit rumah. Hal ini menunjukkan bahwa angka
backlog mengalami kenaikan, artinya pertumbuhan kebutuhan rumah
(pertumbuhan rumah tangga) tidak diimbangi dengan kemampuan penyediaan
rumah layak huni sesuai dengan angka tambahan kebutuhan rumah. Sedangkan
backlog menurut perspektif memiliki (perspektif BPS), terjadi penurunan angka
backlog, yaitu tahun 2010 sebanyak 13,5 juta unit rumah, tahun 2014 menjadi
sebanyak 13 juta unit rumah. Penurunan ini menunjukkan adanya peningkatan
angka kepemilikan rumah. Namun, penurunan backlog tersebut belum cukup
signifikan dalam mengurangi angka backlog yang masih tinggi. Maka dari itu
pemerintahan Jokowi menargetkan program sejuta rumah setiap tahunnya untuk
mengatasi backlog tersebut berupa pembangunan rumah tapak, rusunawa,
rusunami. Pembagian ketiga jenis rumah tersebut dikarenakan kondisi geografis
dan kepadatan penduduk di setiap provinsi di Indonesia.
Hal diatas akan berpengaruh kepada saham properti dan konstruksi.
Pengolahan data penelitian ini menggunakan software EViews untuk dapat
menjelaskan dan menganalisis variabel-variabel yang diteliti dalam penelitian ini,
antara lain variabel dependen yaitu IHSS (Indeks Harga Saham Sektor
Infrastruktur) dan variabel independennya adalah Kurs Dollar, Suku bunga, Inflasi.
70
A.1. Analisis Teknik
A.1.1 Uji Asumsi Klasik
a. Uji Normalitas
Model regresi yang baik adalah yang memiliki distribusi data normal atau
mendekati normal (Ghozali, 2001). Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui
apakah data yang digunakan dalam penelitian berdistribusi secara normal atau tidak.
Dalam penelitian ini uji normalitas menggunakan uji Jarque-Bera. Dalam uji
Jarque-Bera, keputusan terdistribusi normal tidaknya data adalah dengan melihat
nilai Probabilitas Jarque-Bera. Jika Probabilitas Jarque Bera hitung lebih besar dari
0,05 maka data terdistribusi secara normal, sebaliknya apabila nilainya lebih kecil
maka data tidak berdistribusi normal. Berikut gambar hasil uji normalitas data:
Gambar 4.5 Output Uji Jarque-Bera
Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa nilai probabilitas Jarque Bera pada
penilitian ini adalah 0,522158. Maka nilai probabilitas Jarque Bera pada penelitian
ini lebih besar daripada 0,05. Sehingga data dalam penelitian ini terdistribusi secara
normal.
b. Uji Multikolinieritas
Dalam penelitian diperlukan uji Multikolinieritas, Uji Multikolinieritas
bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara variabel independen.
Probability 0,522158
71
Model regresi yang baik adalah yang variabel bebasnya tidak menunjukkan adanya
korelasi satu sama lain. Untuk mengetahui ada atau tidaknya multikolinieritas salah
satu caranya adalah dengan melihat nilai variance inflation factor (VIF).
Nilai VIF yang lebih besar daripada 10 dianggap menunjukkan adanya
multikolinearitas yang tinggi (Gujarati, 2013). Uji Multikolinieritas dalam
penelitian ini dilakukan dengan melihat nilai centered Variance Inflation Factors
(VIF). Apabila pada variabel bebas terdapat nilai centered VIF lebih besar dari 10,
maka terjadi multikolinieritas. Berikut table hasil Uji Multikolinieritas pada
penelitian ini:
Tabel 4.6
Output Uji Multikolinieritas
Pada table diatas menunjukkan bahwa tidak terdapat variabel bebas yang
memiliki nilai centered VIF lebih besar daripada 10 (VIF>10). Maka dapat
Variable
Centered
VIF
C NA
KURS 1.328882
SBI 3.061225
INFLASI 2.743948
72
dikatakan tidak terdapat multikolinieritas pada model regresi dalam penelitian ini.
c.Uji Heteroskedastisitas
Untuk kita mengetahui apakah terdapat ketidaksamaan varian dalam model
regresi dilakukan uji heteroskedastisitas. Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk
menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual
satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual satu
pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut homoskedastisitas. Model
yang baik adalah yang homoskedastisitas (Ghozali, 2001). Salah satu cara untuk
mengetahui apakah terdapat heteroskedastisitas adalah dengan menggunakan uji
heteroskedastisitas Glejser. Untuk mengetahui terjadi atau tidaknya
heteroskedastisitas pada model regresi dapat dilihat dari nilai probabilitas F-
statistik, apabila nilai probabilitas lebih besar dari 5% maka tidak terjadi
heteroskedastisitas, begitu pula apabila nilai probabilitasnya lebih kecil maka
terjadi heteroskedastisitas pada model regresi. Tabel berikut menunjukkan hasil uji
heteroskedastisitas pada penelitian ini:
Tabel 4.7
Output Uji Heteroskedastisitas
Table diatas dapat dilihat pada nilai probabilitas F-statistik adalah 0,4876
nilai tersebut lebih besar daripada tingkat alpha yaitu 0,05 (5%) sehingga dapat
dikatakan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada penelitian ini.
Prob. F(3,33) 0.4876
73
d.Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
terdapat korelasi antara error pada periode t dengan kesalahan penganggu pada
periode sebelumnya (t-1). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada masalah
autokorelasi. Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang
waktu berkaitan satu sama lainnya (Ghozali, 2003). Untuk melihat ada tidaknya
autokorelasi dapat menggunakan uji LM. Uji ini menghasilkan statistik Breusch-
Godfrey. Program eviews memberikan kemudahan dalam mendekteksi ada
tidaknya masalah autokorelasi ini, yaitu dengan melihat probabilitas(p-value) dari
observasi R2. Jika R2 > 0,05 maka tidak terjadi autokorelasi, begitupun jika R2 <
0,05 maka terjadi autokorelasi (Hadianto, 2019). Hasil uji autokorelasi dalam
penelitian disajikan dalam table berikut:
Tabel 4.8 Output Uji Autokorelasi
Pada table diatas dapat dilihat nilai nilai p-value observasi R2 sebesar 0,0783
yang mana berati lebih besar dari 0,05, dapat dikatakan tidak terjadi autokorelasi
pada penelitian ini.
A.1.2 Uji Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi menjelaskan variasi pengaruh variabel-variabel bebas
terhadap variabel terikatnya. Atau dapat pula dikatakan sebagai proporsi pengaruh
seluruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Nilai koefisien determinasi dapat
Prob.Chi-Square(2) 0.4890
74
diukur oleh nilai R-Square atau Adjusted R-Square. Koefisien Determinasi (R2)
mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel
dependen. Nilai koefisien determinasi adalah diantara nol dan satu. Nilai yang kecil
berarti kemampuan variabel independen dalam menerangkan variabel dependen
sangat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel independen memberikan
hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel
dependen (Ghozali, 2001).Adjusted R-Square digunakan pada saat variabel bebas
lebih dari satu. Tabel berikut menunjukkan nilai koefisien determinasi dalam
penelitian ini.
Tabel 4.9
Koefisien Determinasi (R2)
Pada table diatas dapat dilihat nilai Adjusted R-Square adalah sebesar
0.717002 atau 71,7002 %, yang artinya variabel dependen (Indeks Harga Saham
Sektor Infrastruktur) dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen yaitu Nilai
Kurs, SBI, dan Inflasi sebesar 71,7002 %, sedangkan sisanya sebesar 28,2998 %
dijelaskan oleh faktor-faktor lain atau yang tidak terdapat pada model regresi dalam
penelitian ini seperti politik, kebijakan pemerintah, pajak, dan lain sebagainya.
A.1.3 Uji F Simultan
Untuk mengetahui apakah model regresi dalam penelitan layak digunakan
Adjusted R-squared 0.717002
75
perlu dilakukan uji kelayakan model atau uji F. Uji ini dilakukan untuk
mengidentifikasi apakah variabel-variabel bebas mempengaruhi variabel terikat
secara bersama-sama (simultan). Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah
semua variabel independent yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh
secara simultan terhadap semua variabel dependen (Ghozali, 2001). Apabila nilai
probabilitas F statistik lebih kecil dari tingkat kesalahan/error (alpha) 0,05 (yang
telah ditentukan) maka dapat dikatakan bahwa model regresi yang diestimasi layak,
sedangkan apabila nilai nilai probabilitas F statistik lebih besar dari tingkat
kesalahan 0,05 maka dapat dikatakan bahwa model regresi yang diestimasi tidak
layak. Berikut table output hasil penelitian ini:
Tabel 4.10
Output Uji Statistik secara Simultan (Uji F)
Dari hasil output diatas menunjukkan bahwa nilai probabilitas F statistik
adalah sebesar 0,000000, nilai tersebut lebih kecil daripada nilai alpha yaitu 5%.
Dapat dikatakan karena nilai probabilitas F-statistik lebih kecil dibandingkan
dengan nilai alpha, maka dapat disimpulkan model yang pene liti gunakan adalah
baik (secara serentak dapat mempengaruhi variabel y).
A.1.4 Probabilitas t Statistik
Uji t dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh dari variabel
independen (kurs,suku bunga, dan inflasi) terhadap variabel dependen yaitu Indeks
Prob(F-Statictic) 0,000000
76
Harga Saham Sektor Infrastruktur (IHSS). Hasil uji t pada EViews dapat dilihat
pada nilai probabilitas t hitung (prob.), apabila nilainya lebih kecil daripada tingkat
signifikansi α=5% maka dapat dikatakan bahwa variabel independen memiliki
pengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Sedangkan apabila nilai Prob. nya
lebih besar daripada tingkat signifikansi maka variabel bebas tidak berpengaruh
signifikan terhadap variabel dependen. Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan
seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara parsial didalam
menerangkan variasi variabel dependen (Ghozali, 2001). Table dibawah ini
menunjukkan hasil ouput uji statistik secara parsial pada penelitian ini:
Table 4.11 Output Uji Statistik Parametrik secara Parsial
1.)Pengaruh Kurs Dollar terhadap IHSSI
Dari hasil analisis regresi di atas menunjukkan bahwa variabel Kurs Dollar
mempunyai nilai probabilitas sebesar 0.000, dengan kata lain nilai probabilitas Kurs
Dollar lebih kecil dibandingkan dengan nilai alpha 5%. Maka dapat disimpulkan,
variabel Kurs Dollar mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel bebas
Variabel Coefficient
Std.
Error
t-statistic Prob.
C -12602.46 5774.284 -2.182515 0.0304
KURS 5.269976 0.374920 14.05626 0.0000
SBI -1.511153 5.111231 -2.956535 0.0035
INFLAS
I
-6.556538 31.91969 -2.054073 0.0414
77
(Indeks Harga Saham Sektor Infrstraktur). Pengaruh yang dihasilkan oleh variabel
ini adalah positif, terlihat dari nilai koefisiennya yaitu 5.269976 yang dapat
diartikan, bila Kurs Dollar naik sebesar 1 persen akan menyebabkan nilai Indeks
Harga Saham Sektor Infrastruktur turun juga sebesar 5.269976 persen.
2.)Pengaruh SBI terhadap IHSSI
Dari hasil analisis regresi di atas menunjukkan bahwa variabel SBI
mempunyai nilai probabilitas sebesar 0.0035, dengan kata lain nilai probabilitas
SBI lebih kecil dibandingkan dengan nilai alpha 5%. Maka dapat disimpulkan,
variabel SBI mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel bebas (Indeks
Harga Saham Sektor Infrstraktur). Pengaruh yang dihasilkan oleh variabel ini
adalah negatif, terlihat dari nilai koefisiennya yaitu -1.511153 yang dapat diartikan,
bila SBI naik sebesar 1 persen akan menyebabkan nilai Indeks Harga Saham Sektor
Infrastruktur turun juga sebesar -1.511153 persen.
3.)Pengaruh Inflasi terhadap IHSSI
Dari hasil analisis regresi di atas menunjukkan bahwa variabel Inflasi
mempunyai nilai probabilitas sebesar 0.0414, dengan kata lain nilai probabilitas
Inflasi lebih kecil dibandingkan dengan nilai alpha 5%. Maka dapat disimpulkan,
variabel Inflasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel bebas
(Indeks Harga Saham Sektor Infrstraktur). Pengaruh yang dihasilkan oleh variabel
ini adalah negatif, terlihat dari nilai koefisiennya yaitu -6.556538 yang dapat
diartikan, bila SBI naik sebesar 1 persen akan menyebabkan nilai Indeks Harga
Saham Sektor Infrastruktur turun juga sebesar 6.556538 persen.
78
A.2. Analisis Ekonomi
a.Pengaruh Nilai Kurs terhadap IHSSI
Variabel Kurs Dollar mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel
Indeks Harga Saham Sektor Infrstraktur . Kemudian pengaruh yang dihasilkan oleh
variabel ini adalah negatif.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sangga(2017)
dan kadek(2015) yang menyatakan kurs berpengaruh positif dan signifikan terhadap
Indeks harga saham. Penelitian ini juga sejalan dengan Zarei (2018) yang
menyatakan terdapat pengaruh yang signifikan antara kurs terhadap indeks harga
saham di negara yang menerapkan sistem kurs mengambang. Pengaruh nilai tukar
Rupiah terhadap Dolar AS yang positif signifikan dikarenakan Dolar AS
merupakan alternatif investasi yang menguntungkan terutama disaat terjadi
depresiasi Rupiah. Terjadinya depresiasi rupiah akan mendorong investor untuk
memindahkan dananya ke pasar valuta asing dengan harapan akan tingkat
pengembalian yang tinggi. Saat ini sebagian besar bahan baku bagi perusahaan-
perusahaan di Indonesia masih mengandalkan impor dari luar negeri, ketika mata
uang rupiah terdepresiasi,hal ini akan mengakibatkan meningkatnya biaya bahan
baku atau biaya produksi namun perusahaan tidak bisa menaikkan harga jual
produknya begitu saja karena dapat memperlemah daya beli masyarakat. Kenaikan
biaya produksi yang tak dimbangi dengan kenaikan harga jual akan mengurangi
tingkat keuntungan perusahaan. Bagi investor, proyeksi penurunan tingkat laba
tersebut akan dipandang negatif. Penurunan tingkat laba menyebabkan jumlah
79
dividen yang dibagikan tidak sesuai harapan investor, hal ini akan mendorong
investor untuk melakukan aksi jual terhadap saham-saham yang dimilikinya atau
memilih untuk berinvestasi dalam bentuk uang . Apabila banyak investor yang
melakukan hal tersebut, tentu akan mendorong penurunan harga saham perusahaan,
karena supply yang lebih tinggi dibandingkan demand. Investor tentunya akan
menghindari risiko kerugian dari penurunan harga saham, sehingga investor akan
cenderung melakukan aksi jual dan menunggu hingga situasi perekonomian
dirasakan membaik. Aksi jual yang dilakukan investor ini akan mendorong
penurunan harga saham dan mengalihkan investasinya ke dolar Amerika Serikat.
Pelemahan rupiah menjadi kabar buruk bagi sejumlah emiten, dan juga sekaligus
menjadi kabar baik bagi sejumlah emiten. Menjadi kabar baik bagi perusahaan-
perusahaan yang banyak melakukan penjualan ekspor. Khususnya, emiten yang
penjualannya dalam dollar, sementara biaya operasionalnya dalam rupiah seperti
PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) yang banyak mengekspor produk tekstilnya. Lalu,
emiten perikanan yang 90% produknya diekspor, seperti PT Dharma Samudera
Fishing Industries Tbk (DSFI) juga bakal mendapatkan laba dari selisih kurs.
Sementara itu pelemahan rupiah menjadi kabar buruk bagi emiten yang
memiliki beban utang dalam bentuk dollar AS dan emiten yang banyak
menggunakan bahan baku atau komponen impor. Pelemahan nilai tukar rupiah
terhadap dolar sangat dirasakan perusahaan-perusahaan konstruksi dan properti,
karena di era pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla ini program pembangunan
infrsatruktur seperti jalan tol, jalan desa, dan jalan-jalan lainnya dilakukan secara
masif dan serentak diseluruh indonesia.
80
Maka dari itu emiten BUMN karya yang ditugaskan pemerintah untuk
membangun proyek infrastruktur ini tidak mungkin hanya menggunakan modal
internal perusahaan saja atau laba ditahan perusahaan tahun sebelumnya, apalagi
proyek pembangunan infrastruktur di Indonesia skema pendanaannya
menggunakan skema ketimbang menggunakan kontrak dengan skema standar.
Dalam skema turn key project, kontaktor dalam hal ini perusahaan-perusahaan
konstruksi harus menggunakan dana mereka terlebih dahulu seperti biaya-biaya
awal sampai pengerjaan selesai, diantaranya untuk pembebasan lahan dan pada saat
proyek berjalan, dana tersebut bisa didapat dari baik modal internal atau modal
eksternal yang berasal dari utang. Kemudian saat proyek sudah selesai seluruhnya
pemilik proyek (pemerintah) baru melakukan pembayaran terhadap kontraktor pada
saat pekerjaan telah selesai seluruhnya atau pada saat proyek serah terima dari
pelaksana ke pemilik. Hal itu yang membuat arus kas beberapa perusahaan/emiten
terganggu dikarenakan perlu modal yang terbilang besar untuk menggarap suatu
proyek, maka dari itu perusahaan membutuhkan alternatif pendanaan lain salah
satunya adalah utang.
Dalam manajemen keuangan utang bertujuan untuk memperluas dan
mendongkrak kinerja keuangan perusahaan. Jika perusahaan hanya mengandalkan
modal atau ekuitasnya saja, tentunya perusahaan akan sulit melakukan ekspansi
bisnis yang membutuhkan modal tambahan. Peranan utang disini sangat membantu
perusahaan untuk melakukan ekspansi tersebut. Namun jika jumlah hutang sudah
melebih jumlah ekuitas yang dimiliki maka resiko perusahaan dari sisi likuiditas
keuangan juga semakin tinggi. Untuk itu diperlukan sebuah rasio khusus untuk
81
melihat kinerja tersebut. Debt to Equity Ratio (DER) adalah rasio yang
membandingkan jumlah Utang terhadap ekuitas. Rasio ini sering digunakan para
analis dan para investor untuk melihat seberapa besar hutang perusahaan jika
dibandingkan ekuitas yang dimiliki oleh perusahaan atau para pemegang saham.
Semakin tinggi angka DER maka diasumsikan perusahaan memiliki resiko yang
semakin tinggi terhadap likuiditas perusahaannya.
Skema prefinancing membuat DER dari perusahaan-perusahaan penggarap
infrastruktur di zaman Jokowi memiliki DER yang tinggi. Kita bisa melihat dari
data yang penulis dapatkan dari aplikasi sekuritas saham, data dari DER
perusahaan-perusahaan konstruksi dan properti memiliki rata-rata DER diatas 1,5.
Dalam hal ini berati jika DER adalah 1, berati jumlah utang adalah 1 kali jumlahnya
dari jumlah ekuitas perusahaan atau jumlahnya sama. Dengan begitu jika DERnya
adalah 1,5 maka jumlah utang perusahaan adalah 1,5 kali dari jumlah ekuitas
perusahaan. Perusahaan konstruksi seperti WIKA, ADHI, WSKT pada laporan
keuangan statistik yang dirilis BEI pada bulan agustus 2016 memiliki DER masing-
masing yaitu 2.67, 2.35, dan 2.94. Kemudian dari data terbaru bulan juni 2019
terjadi kenaikan DER dari WIKA menjadi 3,34 dan ADHI menjadi 3,69. Sementara
di sektor Properti memiliki rata rata DER sebesar 0.71 dimana artinya jumlah utang
perusahaan besarnya 0,71 kali dari jumlah ekuitas mereka. Dalam hal ini tingginya
DER di sektor konstruksi dan properti tersebut menyebabkan beban utang sekaligus
beban utang bunga mereka akan sangat tertekan jika nilai kurs rupiah terdepresiasi
terhadap dollar karena perusahaan-perusahaan tersebut dalam transaksinya masih
menggunakan dollar.
82
Kemudian selain itu, perusahaan-perusahaan penggarap infrastruktur
tersebut sebagian bahan baku dan alat konstruksi bangunannya masih
mengandalkan impor. Otomatis membuat bahan baku dan alat berat yang mereka
beli dan gunakan dalam proses pengerjaan proyek ketika kurs dollar menguat dan
rupiah terdepresiasi harganya akan meningkat. Menteri Perindustrian dikutip dari
detik.com mengatakan, tingkat komponen dalam negeri (TKDN) berbagai proyek
infrastruktur di tanah air masih sangat minim. Sebagian masih banyak harus
diimpor seperti alat berat hingga material konstruksi. Penggunaan alat berat,
konstruksi dan material handling hanya 35%. Penggunaan bahan bangunan dan
konstruksi pun tidak sampai 50% hanya 49,27. Hal itu antara lain disebabkan
karena pinjaman luar negeri yang bersifat bilateral. Artinya pinjaman luar negeri
yang disertai dengan persyaratan tertentu seperti wajib memakai komponen impor
dari negara asal pemberi pinjaman. Jika kita melakukan pinjaman dengan sifat
pinjaman bilateral maka ada persyaratannya yang harus dipenuhi. Misalnya kalau
kita pinjam ke Amerika, Mereka mensyaratkan lokal konten-nya hanya 30%,
artinya penyediaan barang dan jasa didominasi berasal dari negara mereka sebesar
70%. Kemudian bukan hanya bahan baku dan alat berat saja yang dijadikan
persyaratan, namun persyaratannya juga harus menggunakan pekerja lokal negara
tersebut, sehingga membuat jumlah pekerja dalam negeri dalam proyek
infrastruktur kurang proporsinya. Pinjaman bilateral tersebut sulit dihindari karena
negara membutuhkan pinjaman dalam jumlah besar yang bila sifatnya non bilateral
maka bunganya cukup tinggi dan memberatkan keuangan negara.
Sementara itu bagi sektor properti sendiri pelemahan rupiah menyebabkan
83
kerugian tersendiri, karena pembangunan properti di dalam negeri komponennya
masih mengandalkan impor seperti baja, besi konstruksi dan semen. Dengan
melemahnya rupiah akan menyebabkan harga rumah akan terdongkrak seiring
dengan melonjaknya harga bahan baku produksi. Menteri Perdagangan (Mendag),
Enggartiasto Lukita mengatakan Indonesia kebanjiran impor semen dari negara lain
lantaran harga semen produksi dalam negeri sangat tinggi, apalagi di Indonesia
Bagian Timur. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yang pertama karena akses dan
koneksi antar pulau yang kurang memadai sehingga ongkos angkut biaya semen ke
suatu daerah akan meningkatkan harga semen di daerah tersebut. Seperti di Papua
harga semen bisa mencapai 800.000 per sak, sementara di jawa hanya 75.000.
Kemudian tingginya harga semen lokal juga disebabkan karena perusahaan-
perusahaan semen lokal di Indonesia kebanyakan hanya memproduksi semen
dengan kualitas tinggi yang menyebabkan harganya sangat sulit dijangkau, padahal
program pemerintah untuk mengatasi backlog perumahan dengan meluncurkan
antara lain program sejuta rumah dengan pembangunan rumah tapak dan RSS
(Rumah Susun Sederhana) tidak perlu memerlukan kualitas semen yang terlalu
tinggi. Sementara kualitas produk semen yang diproduksi perusahaan Indonesia
seperti Indocement cocoknya digunakan untuk pembangunan gedung bertingkat,
DAM atau bendungan, dan proyek besar lainnya. Sementara pembangunan RSS
atau rumah murah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dapat
mengandalkan semen berkualitas rendah. Hal ini membuat produk impor
membanjiri sektor properti di Indonesia, seperti baja, besi dan semen impor.
Disamping kualiatasnya yang cukup baik namun harga yang ditawarkan sangat
84
murah bila dibandingkan dengan harga bahan baku lokal. Hal ini membuat industri
semen dan baja dalam negeri mengalami tekanan. Kita ambil saja contoh salah satu
perusahaan baja di Indonesia yaitu Krakatau steel. Krakatau Steel, sebagai
perusahaan lahir pada 31 Agustus 1970 dari rahim Orde Baru, meski gagasan
pembangunannya sudah ada sejak zaman Soekarno 1960-an, dimulai dengan
peletakan batu pertama pada 20 Mei 1962. Presiden Soeharto berharap banyak dari
Krakatau Steel saat mulai berdiri, terutama dalam menyokong kebutuhan industri
baja domestik. Namun, dalam perjalanannya, untuk mengembangkan BUMN baja
itu tidak mudah. Tantangan persaingan dengan industri baja global yang kompetitif,
dan inefisiensi di tubuh Krakatau Steel merupakan segelintir masalah. Pada tahun
2017 dan 2018 menjadi salah satu puncak meruginya Krakatau steel baik dari segi
laporan kuangannya maupun segi pengelolaan manajemennya.
BUMN ini didera masalah kinerja yang tak kunjung membaik. Pada 2018,
perseroan membukukan rugi sebesar US$77 juta atau senilai Rp1,08 triliun. Rapor
merah kinerja keuangan Krakatau Steel pada 2018 bukan hal yang baru. Hal itu
dikarenakan, perseroan memang sudah lama tidak meraup untung dari penjualan
bajanya selama tujuh tahun terakhir. Ada sejumlah faktor yang membuat Krakatau
Steel sulit untung dalam tujuh tahun terakhir ini, di antaranya seperti biaya produksi
baja perseroan masih mahal alias belum efisien. Pengelolaan dan pembuatan baja
oleh Krakatau steel masih menggunakan metode lama, tidak heran jika cost
productionnya sangat tinggi. Ditambah lagi pengelolaan internal perusahaan dinilai
sangat mengecewakan, dapat dilihat dari penagkapan salah satu direktur PT
Krakatau Steel Tbk. terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi
85
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sehari setelah OTT, KPK menetapkan Direktur Teknologi dan Produksi
Krakatau Steel Wisnu Kuncoro sebagai tersangka suap. Wisnu ditangkap karena
diduga melakukan korupsi dalam pengadaan kebutuhan barang dan peralatan di
Krakatau Steel masing-masing senilai Rp24 miliar dan Rp2,4 miliar. Dengan
ongkos biaya produksi dan pengelolaan internal yang buruk tersebut membuat
Krakatau steel menghadapi berbagai macam masalah dalam beberapa tahun ini,
apalgi ditambah masuknya baja impor dari china yang harganya lebih murah dengan
kualitas yang dapat dikatakan sama karena baja china tersebut menggunakan
teknologi baru sehingga harga jualnya sangat murah bila dibandingkan dengan baja
milik Krakatau steel. Hal ini lah yang membuat proyek-proyek infrastruktur banyak
menggunakan baja impor dari china, maka dari itu pelemahan kurs rupiah sangat
berdampak pada harga barang barang impor tersebut.
Dilihat dari data kurs rupiah terhadap dollar dari rentang waktu agustus 2016
sampai juni 2019 mencapai titik tetinggi pada bulan oktober 2016, pada saat itu
rupiah terapresiasi ke angka 13,048, dan pada saat itu juga indeks harga saham
konstruksi dan properti mencatatkan angka tertinggi kedua yaitu sebesar 565.33.
Sementara angka tertinggi indeks konstruksi dan properti mencatatkan angka
tertinggi pada bulan agustus 2016 sebesar 567.02 poin. Apresiasi atau peningkatan
nilai rupiah pada periode tersebut disebabkan pada rentang waktu tersebut
merupakan periode pertama program Tax Amnesty. Tax amnesty adalah kesempatan
bagi wajib pajak untuk membayar pajak dengan jumlah tertentu termasuk
penghapusan bunga dan dendanya tanpa takut akan dipidana. Dampak dari tax
86
amnesty bagi perekonomian Indonesia adalah masuknya kembali dana-dana yang
awalnya mengendap diluar negeri. Dengan adanya tax amnesty tersebut akhirnya
dana-dana yang bisa masuk kembali ke tanah air, sehingga membuat penerimaan
negara bertambah dan seperti kita tahu dana tersebut bukan hanya diendapkan di
kas negara namun di gunakan untuk pembangunan di sektor-sektor riil salah satunya
di sektor infrastruktur yang menjadi fokus pemerintahan Jokowi. Dengan adanya
tax amnesty tersebut membuat perekonomian kuat, hal inilah yang membuat kurs
rupiah mengalami penguatan dan membuat pertumbuhan ekonomi mengalami
peningkatan. Prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang membaik membuat
kepercayaan investor meningkat sehingga membuat investor berbondong-bondong
menanamkan modalnya di Indonesia, salah satunya di sektor infrastruktur.
Kemudian jika kita melihat data kurs rupiah terhadap dollar dari rentang
waktu agustus 2016 sampai juni 2019 mencapai titik terendah pada bulan oktober
2018, dimana saat itu rupiah mengalami depresiasi terhadap dollar as sampai
menyentuh angka 15.202, dan pada saat itu pula indeks konstruksi dan properti
mengalami titik terendah yaitu berada di angka 403.58 poin. Pelemahan kurs rupiah
tersebut disebabkan oleh berbagai macam faktor antara lain peningkatan suku
bunga oleh the fed yang membuat investor dan pengusaha lebih tertarik
menanamkan modalnya di AS karena tingginya imbal balik yang dihasilkan
sehingga terjadi perpindahan arus uang ke luar negeri. Pada tahun 2018 Federal
Reserve AS atau bank sentral AS melakukan beberapa kali kebijakan menaikan
suku bunga the fed. Pertama pada tanggal 21 Maret, Federal Reserve AS atau bank
sentral AS menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin dengan alasan
87
menguatnya prospek ekonomi dalam beberapa bulan terakhir. Kemudian pada Juni
2018 lalu, Federal Reserve AS kembali menaikkan suku bunga jangka pendek (suku
bunga acuan) sebesar 25 basis poin. Kenaikan suku bunga ini merupakan yang
kedua di 2018 dan ketujuh sejak akhir 2015. Selanjutnya, pada 27 September, Bank
Sentral AS menaikkan suku bunga jangka pendek sebesar 0,25% menjadi 2%-
2,25% dari sebelumnya 1,75%-2%. Kemudian di akhir tahun, The Federal Reserve
AS menaikkan suku bunga jangka pendek sebesar 0,25% menjadi 2,25%-2,5% dari
sebelumnya 2%-2,25%. Ini merupakan kenaikan suku bunga keempat yang
dilakukan bank sentral AS.
Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rupiah melemah,
kemudian BI pun merespon hal tersebut dengan melakukan beberapa kali kebijakan
menaikan tingkat suku bunga. Di tahun 2017 BI menahan suku bunga di angka 4,25
selama bulan September 2017 hingga april 2018. Kemudian BI baru menaikan suku
bunga ke angka 4.5 persen di bulan Mei. Kemudian di bulan berikutnya lagi-lagi BI
menaikan suku bunga ke angka 5.25 persen. Dengan kenaikan tersebut, maka dari
awal tahun hingga saat ini BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 75 bps.
Sebelumnya pada Rapat dewan gubernur bulan Mei, BI juga telah menaikkan suku
bunga acuan sebanyak 50 bps. Kenaikan suku bunga acuan ini sebagai respons bank
Indonesia atas berbagai tekanan global dan kenaikan suku bunga the fed, utamanya
yang menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah hingga saat itu
mencapai level Rp 14.404/USD. Sejak Desember 2017 hingga saat ini, rupiah telah
melemah 5,72% (ytd) terhadap dolar AS. Namun demikian, pelemahan ini lebih
baik dibandingkan negara lainnya, seperti peso Filipina, lira Turki, rupee India, dan
88
real Brasil.
Kemudian di bulan agustus 2018 BI kembali menaikan BI rate menjadi 5,5
persen dan naik lagi dibulan September menjadi 5.75, lalu di bulan November
kembali naik menjadi 6 persen merespon nilai kurs rupiah yang semakin tertekan
pada bulan oktober sebelumnya di angka 15.202. Kemudian dari bulan desember
2018 hingga juni 2019, BI mempertahankan tingkat suku bunga karena diiringi kurs
rupiah yang semakin menguat dan inflasi yang terkendali.
Kemudian pelemahan kurs juga disebabkan konflik perang dagang antara
China dan AS yang dampak buruknya berimbas kepada negara-negara berkembang
seperti Indonesia. Perang dagang dua negara yang awalnya mitra dagang ini berawal
ketika Maret 2018 Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan
rencana untuk mengenakan tarif masuk terhadap produk impor dari China sebesar
US$50 miliar. Trump menilai penetapan tarif baru ini sebagai upaya untuk
memperbaiki tingkat inflasi serta neraca perdagangan Amerika Serikat. Pemerintah
China tidak tinggal diam. Kebijakan penetapan tarif baru itu direspons dengan ikut
menetapkan tarif masuk untuk lebih dari 128 produk Amerika Serikat, termasuk
penetapan tarif masuk baru untuk kedelai, komoditas ekspor utama Amerika Serikat
ke Tiongkok. Perang tarif terus bergulir dan bahkan semakin memanas ketika
beberapa bulan kemudian Trump kembali menaikkan tarif terhadap produk-produk
China hingga mencapai US$ 34 miliar atau Rp 488 triliun. Hal ini berdampak pada
perekonomian global dan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Salah satu
dampak yang dirasakan adalah penurunan harga komoditas ekspor RI seperti
minyak.
89
Pelemahan Rupiah juga disebabkan harga komoditas ekspor RI yang
menurun. Tahun 2018 merupakan tahun yang buruk bagi dua komoditas
perkebunan andalan ekspor RI, yaitu minyak kelapa sawit mentah (crude palm
oil/CPO) dan karet. Betapa tidak, sepanjang tahun 2018 saat itu harga kedua
komoditas tersebut anjlok di pasar internasional. Banyak faktor yang menyebabkan
harga kedua komoditas tersebut jatuh terpuruk. Sejak awal tahun, berbagai sentimen
negatif memang menghantam harga CPO secara bertubi-tubi.
Pertama, per 1 Maret 2018, India menaikkan tarif impor CPO dari 30%
menjadi 44%. Tidak hanya itu, tarif impor produk turunan minyak sawit juga
dikerek naik dari 40% menjadi 54%. Sebulan setelah kebijakan itu diberlakukan,
ekspor minyak kelapa sawit Malaysia ke India tercatat turun 25% secara bulanan
(MtM). Catatan pada Mei 2018 Ekspor Malaysia anjlok nyaris 75% secara MtM,
atau 72,5% secara tahunan (year-on-year/ YoY). Hal yang sama juga terjadi di
Indonesia. Mengutip siaran pers Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia
(Gapki), sepanjang semester I-2018 ekspor minyak sawit ke India tercatat turun
hingga 34% YoY, paling parah dibandingkan dengan tujuan lainnya.
Kedua, Eropa tak ingin menghitung CPO sebagai biofuel. Mulai 2021,
Parlemen Uni Eropa menyetujui agar kontribusi biofuel yang dihasilkan dari sawit
menjadi nihil (0%) dalam perhitungan konsumsi energi bruto sumber energi
terbarukan di negara-negara anggota. Keputusan itu diambil setelah dilakukan
pemungutan suara di parlemen pada 17 Januari 2018.
Ketiga, berkecamuknya perang dagang AS-China. Konflik ini sebagian
besar didorong oleh penerapan bea masuk oleh AS, yang kemudian dibalas China
90
dengan kebijakan sejenis. Produk pertanian AS yang paling terdampak dari tarif
balasan Negeri Panda adalah minyak kedelai. Komoditas ini mendapatkan bea
impor ekstra dari China sebesar 25%, berlaku pada akhir Agustus 2018.
Minyak kedelai adalah produk utama dari petani di Arkansas, dengan volume
produksi mencapai 178 juta bushel pada 2017. Sekitar 40% dari hasil panen tersebut
diekspor ke China. Dengan bertambah mahalnya biaya impor kedelai, Beijing pun
dipastikan akan menurunkan permintaannya, dan akhirnya menekan harga minyak
kedelai. Seperti diketahui, harga CPO dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak
nabati lainnya, seiring mereka bersaing memperebutkan pangsa pasar minyak
nabati global. Ketika harga minyak kedelai turun, kecenderungannya adalah harga
CPO akan ikut melemah. Kelima, faktor terakhir datang dari faktor fundamental.
Stok CPO Malaysia dan Indonesia, dua produsen utama CPO dunia, terus
mengalami peningkatan pada tahun 2018 sehingga membuat kelebihan dalam sisi
supply dan menyebabkan harga sulit naik.
Selain CPO, komoditas ekspor andalan Indonesia adalah karet. Data
Asosiasi Negara Produsen Karet Alam (Association of Natural Rubber Producing
Countries/ ANRPC) Indonesia, Malaysia, dan thailand menjadi pemasok terbesar
karet dunia. Secara bersama-sama, ketiga negara menguasai sekitar 66% dari
produksi karet global 2018. Berbicara kepada CNBC Indonesia, Ketua Umum
Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Moenardji Soedargo,
mengungkapkan, di bulan November harga karet berfluktuasi di kisaran US$ 1.250-
1.300/ton. Sejatinya, harga yang ideal ada di level US$ 1.800/ton.
Penurunan harga komoditas CPO dan karet merupakan salah satu faktor
91
yang mempengaruhi defisit neraca perdagangan RI. Menurut data dari Badan Pusat
Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2018
mengalami defisit sebesar US$1,82 miliar secara bulanan (mtm). Sementara secara
kumulatif Januari-Oktober 2018, defisit perdagangan mencapai US$5,51 miliar.
Defisit perdagangan pada Oktober 2018 terjadi karena nilai ekspor hanya
meningkat 5,87 persen dari US$15,25 miliar pada September 2018 menjadi
US$15,8 miliar pada Oktober 2018. Sedangkan nilai impor meroket hingga 20,6
persen dari US$14,25 miliar menjadi US$17,62 miliar pada periode yang sama.
Disaat itu pula bulan oktober 2018 rupiah mencapai titik terendah di angka 15.202.
Tinggi rendahnya kurs juga menjadi gambaran kesehatan dan prospek
ekonomi suatu negara. Tinggi rendahnya kurs bukan hanya dipengaruhi oleh faktor
eksternal namun juga faktor internal seperti keamanan dan stabilitas politik. Seperti
kita tahu tahun 2018 pertengahan sampai 2019 awal menjadi bulan bersejarah bagi
Indonesia, di masa itu kita melewati masa kampanye pemilu. Dibanding pemilu
tahun 2014, pemilu 2019 kali ini dirasa cukup panas. Banyak konflik-konflik yang
terjadi seperti demo besar besaran yang dilakukan di berbagai daerah, banyak
penangkapan tokoh tokoh politik. Sehingga membuat stabilitas keamanan dan
politik dalam negeri sedikit goyang. Hal ini juga merupakan salah satu faktor yang
mebuat kurs melemah, bisa kita lihat dari rentang waktu januari 2018 sampai
oktober 2018 kurs rupiah terus melemah sampai puncaknya berada di angka 15.202.
Investor cenderung untuk berjaga-jaga dan menarik dananya dari Indonesia karena
takut dengan kondisi politik di Indonesia saat itu, apalagi seperti kita tahu bahwa
banyak isu isu pesimistis yang dikeluarkan seperti Indonesia akan mengalami krisis
92
moneter seperti tahun 1998 karena tumpukan utang yang menggunung. Padahal jika
kita melihat data dari menteri keuangan jumlah utang kita masih dibawah 60 persen.
Berdasarkan data APBN Kita edisi Desember 2018, utang pemerintah naik
sebanyak 40,96 persen selama 4 tahun dari Rp 2.608,7 triliun di akhir 2014 menjadi
Rp 4.418,3 triliun per akhir Desember 2018. Penambahan jumlah utang baru
pemerintah Indonesia dari tahun ke tahun terlihat cukup besar, namun masih dalam
batas wajar karena bila melihat persenan utang kita terhadap pdb Indonesia itu
masih dibawah 60 persen. Seperti kita tahu dalam Undang-Undang (UU) Keuangan
Negara, batas aman rasio utang terhadap PDB adalah 60 persen. Sehingga utang
pemerintah yang terlihat benyak itu sebenarnya masih aman apalagi uang hasil
utang terebut digunakan untuk sektor sektor produktif seperti pembanguan
infrastruktur.
Maka dari itu pelemahan kurs rupiah terhadap dolar akan menyebabkan
beban keuangan mereka naik, dan menyebabkan laba yang dihasilkan semakin
mengecil. Dalam melakukan pemilihan investasi di pasar modal investor
dipengaruhi oleh informasi fundamental dan teknikal. Informasi fundamental
adalah informasi kinerja dan kondisi internal perusahaan. Laporan keuangan
perusahaan yang mencerminkan kondisi internal perusahaan merupakan salah satu
analisis fundamental yang digunakan investor sebelum membeli suatu saham.
Analisis fundamental telah mendapatkan popularitas besar di kalangan peneliti
pasar modal dalam beberapa dekade terakhir. Itu menggunakan laporan keuangan
saat ini dan sebelumnya, dan juga digabungkan dengan data politik dan ekonomi
untuk menetapkan nilai intrinsik untuk perusahaan dan membantu mengidentifikasi
93
kesalahan harga sekuritas,sehingga kita dapat membeli saham perusahaan di harga
yang rendah dan menjual di harga yang wajar.Selnjutnya untuk mengukur kondisi
keuangan perusahaan kita bisa menggunakan lima indikator dari berbagai bidang,
yaitu rasio profitabilitas, rasio likuiditas, rasio leverage, dan rasio berbasis pasar
(Muhamad, 2018). Indikator-indikator tersebut dapat menggambarkan bagimana
kondisi keuangan perusahaan. Dengan begitu jika laporan keuangan perusahaan
menunjukan laba yang menurun dari laporan tahunan sebelumnya atau dari laporan
kuartal sebelumnya investor baru cenderung tidak akan membeli saham tersebut
dan investor lama kemungkinan akan melakukan aksi profit taking dengan menjual
sebagian atau semua saham yang ia miliki disaham tersebut. Sehingga membuat
harga saham-saham tersebut mengalami penurunan.
Kemudian ditambah lagi masih dominannya investor asing yang menguasai
pasar modal di Indonesia sehingga sangat rentan jika banyak investor asing yang
memulangkan dananya. Dapat kita lihat dari data yang di rilis BEI tentang jumlah
investor atau SID yang tercatat di pasar modal khususnya saham secara persentase
dari tahun ke tahun, porsi kepemilikan saham antara investor lokal dan asing
mengalami perubahan. Pada Agustus 2017, kepemilikan saham investor lokal
sebanyak Rp1.653,5 triliun (47 persen) dan kepemilikan saham investor asing
sebesar Rp1.862,4 triliun (53 persen). Sedangkan pada Agustus 2018, kepemilikan
saham investor lokal sebanyak Rp1.995,3 triliun (52,7 persen). Sementara untuk
saham yang dimiliki asing sebesar Rp1.789,8 triliun (47,3 persen). Angka tersebut
terbilang cukup tinggi bayangkan saja jika 47,3 secara serentak menarik modalnya
dari Indonesia pastinya akan membuat indeks harga saham mengalami penurunan
94
yang signifikan.
Terlihat dari jumlah single investor identification (SID) yang dirilis KSEI
hingga akhir Desember 2018 mencapai 1,61 juta, atau meningkat 44,06% dari akhir
tahun 2017 lalu diangka 1,12 juta. Pertumbuhan SID hingga 44,06% karena
kegigihan manajer investasi, dan agen pemasaran efek dan broker untuk menambah
jumlah investor pasar modal. Dan juga peningkatan ini juga dikarenakan BEI yang
semakin giat mengkampanyekan program Yuk Nabung Saham baik ke tingkat SMA
maupun kuliah.
Memang hal tersebut terdengar berhasil,namun bila kita lihat secara lebih luas
jumlah 1,61 juta SID di pasar modal tersebut masih sangat sangat jauh dari total
jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 264 juta jiwa. Jumlah tersebut
hanya sekitar 0,6 persen, bila dibandingkan dengan presentase negara lain Indonesia
masih kalah dibanding negara lain Malaysia dan Singapura yang memiliki 2,49 juta
investor dan 1,5 juta investor. Malaysia memiliki jumlah penduduk sekitar 31 juta
penduduk yang mana jumlah investor di pasar modal tersebut 8 persen dari total
penduduk. Sedangkan singapura dengan jumlah penduduk 5 juta orang terdapat 30
persen orang yang masuk ke dunia pasar modal. BEI perlu terus menggalakan
program Yuk Nabung Saham agar jumlah ini terus meningkat sehingga pasar modal
RI dikuasai oleh WNI dan tidak mudah goyang akibat aksi jual asing.
b.Pengaruh Tingkat Suku Bunga SBI terhadap IHSSI
Variabel SBI mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel
Indeks Harga Saham Sektor Infrstraktur. Kemudian pengaruh yang dihasilkan oleh
95
variabel ini adalah negatif.
Hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan
oleh Rizky (2019) yang menyatakan SBI memiliki pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap Indeks harga saham. Namun penelitian ini sejalan dengan
penelitian terdahulu oleh Rachmawati(2018), Ardelia(2018), dan Kadek (2015)
yang menyatakan SBI berpengaruh negatif signifikan terhadap indeks harga saham.
Hasil dari penelitian ini juga didukung oleh teori dari Gujarati yang menjelaskan
hubungan yang bersifat terbalik antara tingkat bunga dan harga saham. Artinya, jika
tingkat bunga tinggi maka harga saham rendah, begitu pula sebaliknya jika tingkat
bunga rendah maka harga saham tinggi.
Naik dan turunnya suku bunga Bank Indonesia menjadi perhatian investor
dalam menentukan membeli atau menjual sahamnya,. Pengumuman naik atau
turunnya suku bunga bank Indonesia dan the fed sering dijadikan acuan oleh para
investor sebelum membeli suatu saham. Mereka cenderung untuk menunggu
pergerakan market dan menahan dananya jika dalam waktu dekat akan ada berita
kenaikan atau penurunan suku bunga. Karena kenaikan suku bunga akan membuat
pengaruh yang negatif bagi indeks saham di Indonesia karena investor cenderung
akan memindahkan dananya untuk berinvestasi tabungan atau deposito.
Ditambah lagi masih adanya anggapan menyimpan uang di bank lebih
terjamin keuntungannya disbanding di investasikan di intrumen lain seperti saham
dan sebagainya. Maka dari itu kenaikan suku bunga akan sangat memberikan
pengaruh yang negatif ke indeks harga saham gabungan karena orang-orang lebih
condong untuk menaruh dananya di bank yang membuat permintaan dari saham-
96
saham infrastruktur semakin turun. Kemudian tingginya tingkat suku bunga juga
membebankan keuangan perusahaan, karena dengan danya kenaikan tingkat suku
bunga beban bunga perusahaan akan semain tingii,yang menyebabkan rasio
keuantungan laba perusahaan juga semakin menurun,yang berdampak pada
menurunnya kinerja laporan keuanga yang membuat deviden yang dibagikan
semakin kecil. Seperti kita tahu saham-saham konstruksi dan properti memiliki
utang yang tinggi, maka dari itu investor akan mengalihkan dananya ke saham lain
atau ke instrument investasi lainnya.
c.Pengaruh Inflasi terhadap IHSSI
Variabel Inflasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel
Indeks Harga Saham Sektor Infrstraktur. Kemudian pengaruh yang dihasilkan oleh
variabel ini adalah negatif.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Sangga (2017),
Ardelia(2018), Rachmawati(2018) yang menyatakan inflasi berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap indeks harga saham. Inflasi yang tinggi menyebabkan
meningkatnya biaya produksi dan operasional perusahaan. Inflasi sangat merugikan
perusahaan-perusahaan konstruksi, dengan terjadinya inflasi membuat harga-harga
bahan baku menjadi lebih mahal, sehingga membebani ongkos produksi
perusahaan. Inflasi membuat harga-harga bahan baku pengerjaan konstruksi seperti
semen dan baja dalam negeri yang harga jualnya sudah tinggi dengan adanya inflasi
membuat harga nya semakin melonjak tinggi.
Harga bahan baku konstruksi dapat kita lihat kenaikan atau penurunannya
97
di bpsgo.id yang menyediakan data Indeks Harga Perdagangan Besar Bahan
Bangunan/Konstruksi. Di dalam indeks ini terdapat berbagai macam kumpulan
macam komponen bahan bangunan seperti aspal, besi beton, paku, mur, baut, batu
bara ,besi ,dan komponen lainnya. Menurut data dari bps Indeks Harga Perdagangan
Besar Bahan Bangunan/Konstruksi pada rentang waktu bulan april sampai oktober
mengalami kenaikan dari 137 poin menjadi 143 poin atau naik sebesar 4,37 persen.
Hal ini berbanding lurus dengan data indeks konstruksi dan properti yang terus
mengalami penurunan dari bulan maret 2018 sampai bulan juni 2019, angka indeks
sektor tersebut selalu berada dibawah 500 poin.
Dalam jangka panjang pembangunan infrastruktur memang dapat membuat
inflasi semakin rendah, karena dengan pembangunan infrastruktur seperti jalan tol,
jalan desa, dan infrstruktur lainnya akan membuat mobilitas barang dan biaya
angkut barang dari suatu tempat ke tempat lain menjadi murah sehingga inflasi
dapat ditekan. Hal itu dapat kita lihat dari data inflasi bulan juni 2017 inflasi bulanan
masih diatas 4 persen, namun seiring dengan rampungnya beberapa proyek
infrastruktur yang dikerjakan membuat dampaknya mulai terasa, dapat kita lihat
setelah bulan juni 2017 sampai bulan juni 2019 tren penurunan inflasi terus
berlanjut dan selalu berada dibawah 4 persen.
Untuk di sektor properti program sejuta rumah setiap tahun yang ditargetkan
pemerintahan Jokowi untuk mengatasi backlog perumahan harusnya memberikan
dampak postif bagi sektor properti. Dikutip dari website kementrian PUPR, backlog
rumah adalah salah satu indikator yang digunakan oleh Pemerintah sebagaimana
tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) maupun Rencana Pembangunan Jangka
98
Menengah (RPJMN) yang terkait bidang perumahan untuk mengukur jumlah
kebutuhan rumah di Indonesia. Backlog rumah dapat diukur dari dua perspektif
yaitu dari sisi kepenghunian maupun dari sisi kepemilikan. Sementara itu, jumlah
backlog perumahan menurut perspektif menghuni (Perspektif Kementerian PUPR)
tahun 2010 sebanyak 7,1 juta unit rumah dan tahun 2014 sebanyak 7,8 juta unit
rumah. Hal ini menunjukkan bahwa angka backlog mengalami kenaikan, artinya
pertumbuhan kebutuhan rumah (pertumbuhan rumah tangga) tidak diimbangi
dengan kemampuan pembangunan rumah layak huni sesuai dengan angka
tambahan kebutuhan rumah. Sedangkan backlog menurut perspektif memiliki
(perspektif BPS), terjadi penurunan angka backlog, yaitu tahun 2010 sebanyak 13,5
juta unit rumah menjadi tahun 2014 sebanyak 13 juta unit rumah. Penurunan ini
menunjukkan adanya peningkatan angka kepemilikan rumah. Namun, penurunan
backlog tersebut belum cukup signifikan dalam mengurangi angka backlog yang
masih tinggi.
Maka dari itu pemerintahan Jokowi menargetkan program sejuta rumah
setiap tahunnya yang bertujuan untuk mengatasi backlog tersebut. Pembangunan
rumah tapak, rusunawa, rusunami. Pembagian ketiga jenis rumah tersebut
dikarenakan kondisi geografis dan kepadatan penduduk di setiap provinsi di
Indonesia. Misalnya di Jakarta ,pembangunan rumah tapak kurang dirasa cocok
karena jumlah lahan yang sudah semakin terbatas. Untuk memenuhi kebutuhan
perumahan di kawasan yang lahannya sudah sangat terbatas pemerintah lebih
memilih untuk membangun bangunan vertikal seperti rusunawa dan rusunami baru
atau merevitalisasi bangunan rusunawa dan rusunami yang sudah ada. Selain dapat
99
mengatasi permasalahan semakin sempitnya ruang di kota kota besar, hal tersebut
dapat menekan biaya dari segi biaya pembebasan lahan. Sementara di kota-kota lain
yang masih memiliki banyak lahan kosong , pembangunan rumah tapak masih
relevan. Pembangunan perumahan ini memberikan dampak bagi perekonomian,
karena dapat menciptakan peluang ekonomi baru ditempat tersebut. Program ini
juga menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan di sektor properti seperti PTPP
dan PPRO. Namun juga perusahaan properti swasta karena dalam membangun
apartemen dan rusun bagi masyarakat, pemerintah juga bekerja sama dengan
pengembang untuk membangun rumah untuk MBR (Masyarakat berpenghasilan
rendah) yang disubsidi lewat APBN melalui beberapa skema Kredit Perumahan
Rakyat (KPR), antara lain Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan,Subsidi
Selisih Bunga (SSB), serta Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM).
Pembangunan properti ini juga bersamaan dengan maraknya pembangunan
infrstruktur seperti jalan tol, jalan desa, dan moda transportasi seperti MRT dan
LRT seperti Jakarta, Surabaya dan kota-kota lainnya. Hal ini guna menciptakan
koneksi dan intergrasi dengan kawasan-kawasan hunian tersebut. Hal tersebut
seharusnya membuat permintaaan properti meningkat dan membuat harga saham
saham properti meningkat drastis.
Namun faktanya permintaan properti selama tahun pengamatan tidak begitu
menjanjikan. Bisa kita lihat dari pernyataan ketua REI Jawa Tengah, MR Prijanto,
mengatakan berdasarkan data dari REI, penurunan penjualan rumah di Jawa Tengah
sudah terjadi dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Beliau menyebutkan,
penjualan rumah dan apartemen di Jawa Tengah pada tahun 2016 terealisasi 11.500
100
unit, sedangkan di 2017 turun menjadi 8.900 unit. Direktur Pengelolaan Modal dan
Investasi Intiland Archied Noto Pradono memproyeksikan kondisi pasar properti
hingga akhir tahun 2018 belum banyak berubah dan belum sepenuhnya pulih. Dari
sisi kinerja penjualan, perseroan sampai triwulan 4 2018 berhasil membukukan nilai
marketing sales sebesar Rp1,6 triliun atau 46% dari target tahun 2018. Perolehan
tersebut lebih rendah 40% dibandingkan dengan perolehan marketing sales per 30
September 2017 yang mencapai Rp2,7 triliun.
Lalu untuk skala nasional dalam hal pertumbuhan penjualan peroperti kita
dapat melihat publikasi survei harga properti residensial yang dikeluarkan BI setiap
triwulannya. Survei harga properti residensial adalah survei yang dilakukan
terhadap pengembang perumahan yang mempunyai skala kegiatan cukup besar
serta aktif memproduksi rumah secara kontinyu. Tipe Rumah diklasifikasikan
menurut luas bangunan, yaitu :
1. Rumah tipe kecil/sederhana (luas bagunan sampai dengan 36 meter persegi),
2. Rumah tipe menengah (luas bangunan 36-70 meter persegi),
3. Rumah tipe besar (luas bagnunan lebih dari 70 meter persegi).
Survei dilakukan di 16 kota yaitu Jabodetabek-Banten, Semarang, Surabaya,
medan, Padang, Palembang, Bandar Lampung, Yogyakarta, Banjarmasin,
Denpasar, Manado, Makassar, Pontianak, Batam,dan Balikpapan. Pengumpulan
data dilakukan secara triwulan oleh Kantor perwakilan dalam negeri BI terhadap
sekitar 491 pengembang dengan cara kunjungan langsung ke responden atau
mengirimkan kuesioner ke responden. Kita dapat melihat publikasi yag diterbitkan
oleh BI setiap triwulan lewat survey harga properti residensial tersebut pada gambar
101
berikut :
Gambar 4.2 Pertumbuhan Penjualan Rumah
Sumber : https://www.bi.go.id/id/publikasi/survei/harga-properti-
primer/Default.aspx
Penjulan properti dari tahun 2013, kemudian 2014 sampai 2015 mengalami
kenaikan yang signifikan, namun grafiknya mulai mengalami penurunan dari tahun
2015 awal. Pada triwulan I 2016 penjualan properti bahkan mencapai titik
terendahnya selama tiga tahun terakhir namun tidak sampai minus. Kemudian untuk
mengatasi lesunya perkembangan properiy ini pemerintah mengeluarkan beberapa
macam insentif. Kali ini di sektor properti lewat Peraturan Pemerintah no 36/2016,
pemerintah memangkas pajak penghasilan (PPh) atas penjualan properti.
Diundangkan pada 8 Agustus 2016 dan berlaku 8 September, aturan ini memangkas
pajak penghasilan (PPh) yang harus dibayarkan oleh penjual rumah atau tanah. Jika
sebelumnya PPh yang dibayar sebesar 5% dari nilai kotor penjualan, kini ditebas
menjadi 2,5%. Pemangkasan tarif PPh bagi pengalihan hak atas tanah atau
102
bangunan rumah sederhana atau rumah susun sederhana lebih dalam lagi, yakni jadi
1% dari nilai penjualan. Bahkan, jika Anda mengalihkan atau menjual tanah dan
bangunan kepada pemerintah, badan usaha milik negara (BUMN) atau BUMD yang
mendapat penugasan khusus, misalnya untuk proyek infrastruktur, tarifnya 0%.
Hal itu cukup memberikan angin segar bagi sektor properti dapat kita lihat
dari grafik penjualan properti mengalami peningkatan di triwulan 3 dan 4 tahun
2016. Namun hal itu tidak bertahan lama tren penurunan properti terus berlanjut.
Dapat dilihat dari table diatas penjualan properti tetap tumbuh namun
pertumbuhannya cenderung melambat setiap triwulannya. Di triwulan pertama
tahun 2017 pertumbuhan properti berada diangka 4,16 persen melambat dari
triwulan sebelumnya yaitu 4,65 %. Kemudian di triwulan kedua 2017 kembali
melambat berada dikisaran 3,61 persen. Dan di triwulan ketiga 2017 penurunan
kembali terjadi ke angka 2,58%. Kemudian di triwulan kembali naik dari triwulan
sebelumnya. Dari gambaran diatas dapat kita ketahui bahwa pertumbuhan properti
terus tumbuh namun pertumbuhannya cenderung stagnan dan terkadang turun. Ada
beberapa faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut. Survei dari BI tersebut
menyebut faktor-faktor yang menjadi penghambat pertumbuhan bisnis properti
adalah bunga KPR (20,36%), persyaratan uang muka (16,57%), pajak (16,13%),
perizinan (14,45%), serta kenaikan harga bahan bangunan (11,68%).
Dapat kita lihat bahwa salah satu faktor yang menghambat pertumbuhan
bisnis properti tersebut antara lain dapat disebabkan oleh beberapa hal, salah
satunya adalah inflasi. Inflasi dapat memberikan dampak negatif dan postitif bagi
suatu perusahaan. Inflasi yang tinggi menyebabkan meningkatnya biaya produksi
103
dan operasional perusahaan. Selain itu tingginya ongkos produksi membuat
perusahaan-perusahaan properti menaikan harga jual produk mereka, yang
menyebabkan permintaan akan properti menjadi menurun, setelah mengalami
booming sampai tahun 2015 industri properti menurut pengamat Archied Noto
Pradono, Direktur Pengelolaan Modal dan Investasi Intiland sektor property
cendrung mengalami stagnansi atau perlambatan, salah satu faktornya karena
tingginya harga properti atau bisa dikatakan harga properti sekarang sudah
mencapai harga plafon. Faktor inflasi merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan harga properti mengalami kenaikan seperti sekarang ini, pola harga
di Indonesia berbeda dengan pola harga diluar negeri. Jika di Indonesia harga yang
sudah naik susah sekali untuk turun kembali, hal itulah yang menyebabkan
melonjaknya harga-harga properti itu sendiri dan sulit untuk turun.
Kenaikan harga properti memberikan keuntungan bagi investor yang
menanamkan modalnya sebelum sektor ini mencapai boomingnya hingga 2015,
sebaliknya tingginya harga properti sekarang bagi investor baru membuat mereka
berpikir ulang untuk membeli atau menginvestasikan uang mereka di sektor ini
karena dirasa harga yang ditawarkan sudah terlalu tinggi, sehingga keuntungan
yang diperoleh kurang maksimal, sehingga mereka lebih tertarik berinvestasi di
sektor lain. Hal tersebut menyebabkan penjualan properti akan juga ikut menurun,
yang kemudian berdampak pada turunnya kinerja keuangan suatu perusahaan,
ongkos produksi yang meningkat dan penjualan yang menurun menyebabkan laba
perusahaan semakin menipis, bahkan bisa membuat perusahaan mengalami
kerugian. Sehingga akan menurunkan pembagian dividen dan laba perusahaan pada
104
laporan keuangan perusahaan.
Beberapa faktor fundamental yang dipertimbangkan seorang investor dalam
membeli suatu saham adalah laporan keuangan dan seberapa sering perusahaan
tersebut membagikan devidennya. Semua perusahaan yang tercatat di BEI atau
yang sudah go public berkewajiban untuk memberikan transparansi kinerja
perusahaannya kepada publik dalam bentuk laporan keuangan. Laporan keuangan
perusahaan tersebut dirilis setiap Kuartal atau 3 bulan sekali. Setiap perusahaan
wajib melaporkan laporan keuangan perusahaan mereka kepada publik karena jika
tidak akan dikenakan sanksi berupa suspend ataupun kebijakan lain oleh BEI.
Untuk melihat seberapa besar margin keuntungan yang diperoleh perusahaaan, kita
dapat melihat net income atau laba bersih yang tercatat di laporan keuangan
perusahaan. Profitabilitas sebuah perusahaan yang menurun membuat investor akan
melepas saham yang dimilikinya. Minat investor juga akan menurun untuk membeli
saham jika profitabilitas sebuah perusahaan menurun yang disebabkan oleh inflasi.
Hal tersebut juga akan membuat indeks harga saham cenderung akan menurun
karena dampak dari inflasi tersebut.
Kemudian jika kita melihat data Indeks konstruksi dan properti dari rentang
waktu agustus 2016 sampai juni 2019 mencapai titik terendah pada bulan oktober
2018. Pada bulan itu juga pemerintah mengelurkan kebijakan menaikan harga BBM
dihampir semua jenis baik, pertamax, pertamax turbo, dexlite, pertamina dex,
biosolar, premium. Ini merupakanSudah menjadi rumus umum bahwa naiknya
BBM adalah salah satu faktor yang berpengaruh terhadap naiknya barang-barang
lain, hal itu dapat dikonfirmasi dengan kita melihat data kenaikan inflasi dari bulan
105
September ke bulan oktober, dari angka 2,88 ke angka 3,16 persen. Pada bulan itu
juga nilai indeks harga saham sektor konstruksi dan properti mengalami titik
terendahnya yaitu berada diangka 403.58. Selain karena inflasi penurunan harga
saham sektor tersebut dapat juga dikarenakan waktu tersebut bertepatan dengan
masa kampanye pilpres, seperti kita tahu pilpres 2019 merupakan pilpres yang
cukup panas, hal ini menaruh perhatian investor untuk cenderung wait and see
terhadap hasil pilpres dan mengamankan dananya.
Dari sisi investor naiknya inflasi juga membuat harga-harga barang pokok
mengalami kenaikan seperti bawang, cabe, telur, ayam, tempe, tahu, dan berbagai
macam kebutuhan pokok manusia lainnya. Sehingga membuat alokasi dana yang
awalnya di sisihkan untuk ditanamkan di sektor investasi saham menjadi lebih
sedikit, karena alokasi dana mereka sebagian besar tergerus untuk memenuhi
kebutuhan pokok mereka akibat naiknya inflasi. Karena bagaimanapun kebutuhan
pokok adalah kebutuhan yang mendesak yang harus segera dan rutin dikeluarkan
setiap harinya. Maka dari itu dengan adanya inflasi proporsi investasi yang awalnya
misalkan 40 persen dari gaji, menjadi berubah misalkan menjadi 30 persen dari gaji.
Sehingga menyebabkan permintaan minat terhadap saham tersebut menurun, ketika
minat terhadap suatu saham turun maka akan mengakibatkan harga saham tersebut
cenderung turun.
106
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan
Berdasarkan beberapa landasan teori, metodologi, pembahasan dan hasil,
maka kesimpulan umum pada penelitian yang peniliti lakukan adalah:
1. Dari ketiga variable independen yang digunakan dalam penelitian ini
terbukti memiliki pengaruh yang signifikan terhadap indeks harga saham
sektor infrastruktur. Dimana Kurs berpengaruh positif, suku bunga dan
inflasi berpengaruh negatif terhadap indeks harga saham sektor
infrastruktur. Maka dari itu bagi investor baru dan lama dalam mengambil
keputusan dalam membeli atau menjual saham disamping harus
memerhatikan faktor teknikal penting juga memperhatikan faktor
fundamental ketiga hal diatas. Sehingga investor dapat mengambil tindakan
yang tepat dan cepat ketika salah satu dari ketiga variable diatas sedang naik
ataupun turun. Nilai kurs berbanding lurus dengan naik atau turunnya indeks
harga saham sektor infrastruktur karena investor dalam dan luar negeri
melihat apresiasi dan depresiasi kurs sebagai gambaran umum
perekonomian suatu negara. Sementara itu suku bunga dan inflasi
berhubungan negatif dengan indeks harga saham sektor infrastruktur karena
kedua hal tersebut erat kaitannya dengan daya beli dan alokasi aset mereka
ke instrumen investasi lainnya. Dari hasil penelitian diatas investor
107
diharapkan dapat mempunyai pedoman dalam membeli atau menjual saham
di sektor infasturktur.
B.Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan, dapat diberikan saran
sebagai berikut:
1. Bagi calon investor yang ingin berinvestasi pada saham, hendaknya
mempertimbangkan faktor fundamental terutama Perubahan Kurs dan Inflasi
karena faktor tersebut terbukti memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
Indeks Harga Saham Sektor Infrastruktur.
2. Bagi peneliti dengan topik sejenis disarankan untuk melakukan kajian lebih
lanjut dengan memasukkan variabel bebas lainnya, seperti harga emas, cadangan
devisa, dan faktor-faktor eksternal yang berasal dari luar negeri seperti
pertumbuhan ekonomi dunia, harga minyak dunia dan dan indeks harga saham
negara lain.Penelitian selanjutnya sebaiknya memperpanjang periode
penelitian,sehingga akan diperoleh gambaran yang lebih baik tentang kondisi
pasar modal di Indonesia.
108
DAFTAR PUSTAKA
Bibliography
Anoraga, P., & Pakarti, P. (2001). Pengantar Pasar Modal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Ardelia. (2018). Pengaruh Inflasi,suku bunga,dan nilai tukar rupiah terhadap indeks harga
saham gabungan. Jurnal Administrasi Bisnis,Vol. 60 No. 2 Juli 2018.
Argamaya. (2014). Pengaruh profatibilitas,leverage,collateralizable assets, dan
investment opportunity set terhadap kebijakan deviden. Jurnal media riset
akutansi vol.4, no.2. .
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Boediono. (1992). Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE UGM.
Boediono. (2001). Ekonomi Makro. Yogyakarta: BPFE.
Fahmi, I. (2011). Analisa Laporan Keuangan. Bandung: Alfabeta.
Ghozali, I. (2001). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Semarang.
ghozali, I. (2011). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Gujarati, D. (1999). Ekonometrika Dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Gujarati, D. (2013). Ekonometrika Dasar. Jakarta: Erlangga.
Hadianto, B. (2019). Pengaruh Earnings per share dan Price Eranings Ratio (PER) Terhadap
Harga Saham Sektor Perdagangan Besar dan Ritel Pada Periode 2000-2005 di
Bursa Efek Indonesia. Jurnal Ilmiah Akutansi Vol.7 No.2 Desember 2019.
109
Hanafi, M. (2013). Manajemen Keuangan. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Husnan, S. (2001). Dasar-Dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas. Yogyakarta: AMP
YPKN.
Isidore. (2018). Fundamental Anlaysis Versus Technical Analysis A. International Journal
of Recent Scientific Research Vol. 9.
Kadek. (2015). Pengaruh Tingkat Suku Bunga SBI, Kurs Mata Uang Rupiah Atas Dollar dan
Indeks Dow Jones terhadap Indeks Harga Saham Gabungan Pada Periode 2010-
2014. e-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha.
Mamahit, R. R. (2019). Pengaruh Variabel Makroekonomi Terhadap Indeks Harga Saham
Gabungan (Studi pada Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia
Periode 2014-2018). Jurnal Administrasi Bisnis.
Muana, N. (2001). Makro Ekonomi, Teori , Masalah dan Kebijakan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Muhammad, S. (2018). The Relationship Between Fundamental Analysis and Stock.
Research Journal of Finance and Accounting Vol.9, No.3, 2018.
Pohan, Aulia. (2008). The Relationship Between Fundamental Anlysis and Stock.
Research Journal of Finance and Accounting Vol.9, No.3, 2018.
Rachmawati, Y. (2018). Pengaruh Inflasi dan Suku Bunga Terhadap Harga Saham Pada
Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di LQ45 Bursa Efek Indonesia. Jurnal Media
Akuntansi, Vol. 1, No.1, September 2018.
110
Rizky, I. A. (2019). Pengaruh Nilai Tukar, Suku Bunga SBI, Inflasi, dan Perrtumbuhan GDP
terhadap Pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia. JRA Vol. 08 No. 05 Februari
2019.
Samsul, M. (2006). Pasar Modal Dan Manajemen Portofolio. Surabaya: Erlangga.
Sangga. (2017). Pengaruh Nilai tukar, suku bunga dan Inflasi terhadap indeks harga saham
gabungan di BEI . E-Jurnal Manajemen Unud, Vol. 6, No. 8, 2017: 4391-4421.
Sari, W. I. (2019). Analisis Pengaruh Inflasi, Suku Bunga SBI, Nilai Tukar Terhadap Return
LQ 45 dan Dampaknya Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Jurnal
Sekuritas Vol.3, No.1 .
Siamat, D. (2005). Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Siregar, S. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT. Inter Pratama Mandiri.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Afabeta
Sukirno, S. (2011). Makro Ekonomi Teori Pengantar Edisi Ketiga. Jakarta: Rajawali Pers.
Sukirno, S. (2012). Ekonomi Makro. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Sunariyah. (2000). Pengantar pengetahuan pasar modal. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Sunariyah. (2006). Pengantar Pengetahuan Pasar Modal. Yogyakarta: UPPAMP YKPN.
Sunariyah. (2013). Ekonomi Makro. jakarta: erlangga.
111
Susanto, B. (2015). Pengaruh Inflasi, Bunga dan Nilai Tukar Terhadap Harga Saham (Studi
Pada : Perusahaan Sektor Properti Dan Real Estate Tercatat BEI) . Jurnal Aset
(Akuntansi Riset) Vol.7 | No.1 | 2015 .
Yenni. (2015). Peranan Pasar Modal Dalam Perekonomian Negara. Jurnal ekonomi dan
bisnis UIN-SU Volume 2. No. 1 Januari – Juni 2015.
Yuliana, I. (2010). Investasi Produk Keuangan Syariah. Malang: UIN MALIKI Press.
Zarei, A. (2018). The impact of exchange rates on stock market returns: new evidence
from seven free-floating currencies . The European Journal of Finance.
112
LAMPIRAN DATA- DATA
Tanggal IHSSI KURS SBI INFLASI
Jan '05 73,59 9.165,0 7.42 7.32%
Feb '05 76,06 9.264,5 7.43 7.15%
Mar '05 84,89 9.471,0 7.44 8.81%
Apr '05 76,61 9.570,0 7.7 8.12%
Mei '05 78,04 9.518,0 7.95 7.40%
Jun '05 78,53 9.760,0 8.25 7.42%
Jul '05 78,64 9.805,0 8.5 7.84%
Ags '05 62,85 10.300,0 8.75 8.33%
Sep '05 62,86 10.300,0 10 9.06%
Okt '05 60,95 10.122,5 11 17.89%
Nov '05 60,69 10.025,0 12.25 18.38%
Des '05 64,12 9.830,0 12.75 17.11%
Jan '06 70,48 9.370,0 12.75 17.03%
Feb '06 71,33 9.182,5 12.75 17.92%
Mar '06 79,33 9.087,0 12.75 15.74%
Apr '06 88,96 8.785,0 12.75 15.40%
Mei '06 81,35 9.255,0 12.5 15.60%
Jun '06 77,43 9.263,0 12.5 15.53%
Jul '06 77,94 9.095,0 12.25 15.15%
Ags '06 78,98 9.117,0 11.75 14.90%
Sep '06 83,78 9.205,0 11.25 14.55%
Okt '06 90,32 9.094,0 10.75 6.29%
Nov '06 103,96 9.165,0 10.25 5.27%
Des '06 122,92 8.993,5 9.75 6.60%
Jan '07 123,10 9.100,0 9.5 6.26%
Feb '07 136,19 9.131,5 9.25 6.30%
Mar '07 143,24 9.120,0 9 6.52%
Apr '07 168,69 9.088,0 9 6.29%
Mei '07 201,04 8.827,0 8.75 6.01%
Jun '07 211,72 9.035,0 8.5 5.77%
Jul '07 247,47 9.225,0 8.25 6.06%
Ags '07 225,65 9.390,0 8.25 6.51%
Sep '07 242,83 9.145,0 8.25 6.95%
Okt '07 247,31 9.097,5 8.25 6.88%
Nov '07 232,09 9.370,0 8.25 6.71%
Des '07 251,82 9.392,5 8 6.59%
113
Tanggal IHSSI KURS SBI INFLASI
Jan '08 229,56 9.246,5 8 7.36%
Feb '08 229,52 9.065,0 8 7.40%
Mar '08 195,60 9.215,0 8 8.17%
Apr '08 177,72 9.222,0 8 8.96%
Mei '08 184,27 9.315,0 8.25 10.38%
Jun '08 168,53 9.220,0 8.5 11.03%
Jul '08 174,70 9.095,0 8.75 11.90%
Ags '08 164,41 9.150,0 9 11.85%
Sep '08 142,42 9.415,0 9.25 12.14%
Okt '08 101,35 10.900,0 9.5 11.77%
Nov '08 105,63 12.025,0 9.5 11.68%
Des '08 103,49 10.900,0 9.25 11.06%
Jan '09 96,03 11.380,0 8.75 9.17%
Feb '09 96,56 11.980,0 8.25 8.60%
Mar '09 99,74 11.555,0 7.75 7.92%
Apr '09 112,32 10.585,0 7.5 7.31%
Mei '09 130,99 10.290,0 7.25 6.04%
Jun '09 144,79 10.207,5 7 3.65%
Jul '09 159,97 9.925,0 6.75 2.71%
Ags '09 157,96 10.080,0 6.5 2.75%
Sep '09 162,28 9.645,0 6.5 2.83%
Okt '09 153,99 9.550,0 6.5 2.57%
Nov '09 143,63 9.455,0 6.5 2.41%
Des '09 146,80 9.425,0 6.5 2.78%
Jan '10 153,49 9.350,0 6.5 3.72%
Feb '10 150,23 9.337,0 6.5 3.81%
Mar '10 166,38 9.090,0 6.5 3.43%
Apr '10 182,12 9.012,5 6.5 3.91%
Mei '10 154,50 9.175,0 6.5 4.16%
Jun '10 163,38 9.060,0 6.5 5.05%
Jul '10 168,26 8.940,0 6.5 6.22%
Ags '10 170,90 9.035,0 6.5 6.44%
Sep '10 192,77 8.925,0 6.5 5.80%
Okt '10 202,41 8.937,5 6.5 5.67%
Nov '10 203,22 9.034,0 6.5 6.33%
Des '10 203,10 9.010,0 6.5 6.96%
Jan '11 179,29 9.048,0 6.5 7.02%
Feb '11 179,40 8.821,5 6.75 6.84%
114
Tanggal IHSSI KURS SBI INFLASI
Mar '11 194,24 8.707,5 6.75 6.65%
Apr '11 208,42 8.564,0 6.75 6.16%
Mei '11 209,39 8.535,5 6.75 5.98%
Jun '11 207,44 8.576,5 6.75 5.54%
Jul '11 232,44 8.500,0 6.75 4.61%
Ags '11 229,23 8.533,0 6.75 4.79%
Sep '11 205,86 8.790,0 6.75 4.61%
Okt '11 215,08 8.852,5 6.5 4.42%
Nov '11 203,41 9.110,0 6 4.15%
Des '11 229,25 9.067,5 6 3.79%
Jan '12 237,17 8.990,0 6 3.65%
Feb '12 252,52 9.020,0 5.75 3.56%
Mar '12 278,59 9.144,0 5.75 3.97%
Apr '12 312,00 9.190,5 5.75 4.50%
Mei '12 278,12 9.400,0 5.75 4.45%
Jun '12 275,64 9.392,5 5.75 4.53%
Jul '12 289,27 9.445,0 5.75 4.56%
Ags '12 279,17 9.535,0 5.75 4.58%
Sep '12 310,54 9.570,0 5.75 4.31%
Okt '12 320,54 9.605,0 5.75 4.61%
Nov '12 332,57 9.593,5 5.75 4.32%
Des '12 326,55 9.637,5 5.75 4.30%
Jan '13 363,70 9.697,5 5.75 4.57%
Feb '13 418,05 9.663,5 5.75 5.31%
Mar '13 461,06 9.717,5 5.75 5.90%
Apr '13 482,82 9.722,5 5.75 5.57%
Mei '13 565,29 9.795,0 5.75 5.47%
Jun '13 483,27 9.925,0 6 5.90%
Jul '13 436,44 10.277,5 6.5 8.61%
Ags '13 365,44 10.920,0 6.5 8.79%
Sep '13 384,04 11.580,0 7.25 8.40%
Okt '13 402,93 11.272,5 7.25 8.32%
Nov '13 345,01 11.962,5 7.5 8.37%
Des '13 337,00 12.170,0 7.5 8.38%
Jan '14 363,98 12.210,0 7.5 8.22%
Feb '14 391,04 11.609,0 7.5 7.75%
Mar '14 434,31 11.360,0 7.5 7.32%
Apr '14 426,16 11.561,5 7.5 7.25%
115
Tanggal IHSSI KURS SBI INFLASI
Mei '14 434,78 11.675,0 7.5 7.32%
Jun '14 406,66 11.855,0 7.5 6.70%
Jul '14 457,62 11.577,5 7.5 4.53%
Ags '14 472,60 11.690,0 7.5 3.99%
Sep '14 446,39 12.185,0 7.5 4.53%
Okt '14 469,26 12.085,0 7.5 4.83%
Nov '14 501,17 12.204,0 7.5 6.23%
Des '14 524,91 12.385,0 7.75 8.36%
Jan '15 561,64 12.667,5 7.75 6.96%
Feb '15 580,71 12.925,0 7.5 6.29%
Mar '15 560,94 13.075,0 7.5 6.38%
Apr '15 538,48 12.962,5 7.5 6.79%
Mei '15 539,99 13.224,0 7.5 7.15%
Jun '15 501,70 13.332,5 7.5 7.26%
Jul '15 504,12 13.527,5 7.5 7.26%
Ags '15 457,48 14.050,0 7.5 7.18%
Sep '15 434,27 14.650,0 7.5 6.83%
Okt '15 469,32 13.687,5 7.5 6.25%
Nov '15 474,13 13.835,0 7.5 4.89%
Des '15 490,93 13.787,5 7.5 3.35%
Jan '16 471,85 13.775,0 7.25 4.14%
Feb '16 473,48 13.372,0 7 4.42%
Mar '16 491,17 13.260,0 6.75 4.45%
Apr '16 499,24 13.185,0 6.75 3.60%
Mei '16 505,12 13.660,0 6.75 3.33%
Jun '16 544,43 13.212,5 6.5 3.45%
Jul '16 560,51 13.098,5 6.5 3.21%
Ags '16 567,02 13.267,5 5.25 2.79%
Sep '16 565,09 13.051,0 5 3.07%
Okt '16 565,33 13.048,0 4.75 3.31%
Nov '16 532,68 13.552,5 4.75 3.58%
Des '16 517,81 13.472,5 4.75 3.02%
Jan '17 521,55 13.352,0 4.75 3.49%
Feb '17 517,05 13.336,0 4.75 3.83%
Mar '17 510,36 13.325,5 4.75 3.61%
Apr '17 505,55 13.329,0 4.75 4.17%
Mei '17 491,97 13.322,5 4.75 4.33%
Jun '17 493,72 13.327,5 4.75 4.37%
116
Tanggal IHSSI KURS SBI INFLASI
Jul '17 495,36 13.325,0 4.75 3.88%
Ags '17 511,39 13.343,0 4.5 3.82%
Sep '17 500,16 13.471,5 4.25 3.72%
Okt '17 509,45 13.562,5 4.25 3.58%
Nov '17 489,85 13.526,0 4.25 3.30%
Des '17 495,51 13.567,5 4.25 3.61%
Jan '18 537,99 13.388,5 4.25 3.25%
Feb '18 545,40 13.745,0 4.25 3.18%
Mar '18 503,85 13.765,0 4.25 3.40%
Apr '18 477,26 13.912,5 4.25 3.41%
Mei '18 468,44 13.895,0 4.5 3.23%
Jun '18 434,97 14.330,0 5.25 3.12%
Jul '18 444,73 14.420,0 5.25 3.18%
Ags '18 448,75 14.730,0 5.5 3.20%
Sep '18 422,79 14.901,5 5.75 2.88%
Okt '18 403,58 15.202,5 5.75 3.16%
Nov '18 440,47 14.302,5 6 3.23%
Des '18 447,75 14.380,0 6 3.13%
Jan '19 465,95 13.972,5 6 2.82%
Feb '19 453,81 14.065,0 6 2.57%
Mar '19 464,83 14.240,0 6 2.48%
Apr '19 486,59 14.250,0 6 2.83%
Mei '19 459,02 14.275,0 6 3.32%
Jun '19 487,72 14.127,5 6 3.28%
Jul '19 498,86 14.017,0 5.75% 3.32%
Ags '19 499,47 14.185,0 5.50% 3.49%
Sep '19 497,50 14.195,0 5.25% 3.39%
Okt '19 524,28 14.037,0 5.00% 3.13%
Nov '19 484,36 14.105,0 5.00% 3.00%
Des '19 503,88 13.882,5 5.00% 2.72%
117
LAM PIRAN HASIL OUTPUT EVIEWS
Output Uji Normalitas Jarque-Bera
Output Uji Multikolinieritas
Variance Inflation Factors
Date: 01/10/20 Time: 13:49
Sample: 2005M01 2019M12
Included observations: 180 Coefficient Uncentered Centered
Variable Variance VIF VIF
C 33342356 74.31597 NA
KURS 0.140565 39.85117 1.328882
SBI 261246.8 31.25485 3.061225
INFLASI 1.02E+09 11.55980 2.743948
Output Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedasticity Test: Glejser
F-statistic 0.814158 Prob. F(3,176) 0.4876
Obs*R-squared 2.463793 Prob. Chi-Square(3) 0.4819
Scaled explained SS 2.732659 Prob. Chi-Square(3) 0.4347
0
4
8
12
16
20
24
28
32
-20000 -10000 0 10000 20000 30000
Series: Residuals
Sample 2005M01 2019M12
Observations 180
Mean 4.99e-12
Median 873.3281
Maximum 29787.60
Minimum -22770.21
Std. Dev. 8910.932
Skewness 0.123791
Kurtosis 3.334633
Jarque-Bera 1.299571
Probability 0.522158
118
Output Uji Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.718378 Prob. F(2,173) 0.4890
Obs*R-squared 1.474342 Prob. Chi-Square(2) 0.4785
Koefisien Determinasi (R2 )
R-squared 0.721745 Mean dependent var 31233.58
Adjusted R-squared 0.717002 S.D. dependent var 16892.80
S.E. of regression 8986.556 Akaike info criterion 21.06682
Sum squared resid 1.42E+10 Schwarz criterion 21.13777
Log likelihood -1892.014 Hannan-Quinn criter. 21.09559
F-statistic 152.1710 Durbin-Watson stat 0.133933
Prob(F-statistic) 0.000000
Output Uji Statistik secara Simultan (Uji F)
R-squared 0.721745 Mean dependent var 31233.58
Adjusted R-squared 0.717002 S.D. dependent var 16892.80
S.E. of regression 8986.556 Akaike info criterion 21.06682
Sum squared resid 1.42E+10 Schwarz criterion 21.13777
Log likelihood -1892.014 Hannan-Quinn criter. 21.09559
F-statistic 152.1710 Durbin-Watson stat 0.133933
Prob(F-statistic) 0.000000
119
Hasil Estimasi Model Peneltian
Dependent Variable: IHSSI
Method: Least Squares
Date: 01/10/20 Time: 13:37
Sample: 2005M01 2019M12
Included observations: 180
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -12602.46 577.4284 -2.182515 0.0304
KURS 5.269976 0.374920 14.05626 0.0000
SBI -1.511153 5.111231 -2.956535 0.0035
INFLASI -6.556538 31.91969 -2.054073 0.0414
R-squared 0.721745 Mean dependent var 31233.58
Adjusted R-squared 0.717002 S.D. dependent var 16892.80
S.E. of regression 8986.556 Akaike info criterion 21.06682
Sum squared resid 1.42E+10 Schwarz criterion 21.13777
Log likelihood -1892.014 Hannan-Quinn criter. 21.09559
F-statistic 152.1710 Durbin-Watson stat 0.133933
Prob(F-statistic) 0.000000
Top Related