ANALISIS MINIMALISASI BIAYA ANTIBIOTIK EMPIRIS SEFTRIAKSON
DAN LEVOFLOKSASIN PADA PASIEN PNEUMONIA DI RSU KARSA
HUSADA BATU
TUGAS AKHIR
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi
Oleh:
Mareoza Ayutri
NIM 135070507111008
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
vii
ABSTRAK
Ayutri, Mareoza. 2017. Analisis Minimalisasi Biaya Antibiotik Empiris Seftriakson dan Levofloksasin pada Pasien Pneumonia di RSU Karsa Husada Batu. Tugas Akhir, Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Pembimbing: (1) Hananditia Rachma P., M.Farm.Klin., Apt. (2) Ayuk Lawuningtyas H., M.Farm., Apt.
Pneumonia merupakan penyakit infeksi yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae. Antibiotik yang direkomendasikan pada pasien pneumonia adalah seftriakson dan levofloksasin. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan terapi antibiotik empiris antara seftriakson atau levofloksasin pada pasien pneumonia di RSU Karsa Husada Batu. Metode farmakoekonomi yang digunakan adalah metode analisis minimalisasi biaya untuk mengetahui biaya yang lebih rendah dari dua jenis antibiotik yang diberikan selama pengobatan berlangsung dari perspektif penyedia pelayanan kesehatan. Jumlah pasien pada penelitian ini sebanyak 49 pasien dengan usia diatas 18 tahun yang menggunakan seftriakson atau levofloksasin tunggal selama mendapatkan perawatan di rumah sakit. Berdasarkan analisis diketahui bahwa status pembayaran mempengaruhi biaya yang dikeluarkan oleh pasien atau keluarga pasien selama perawatan. Pasien yang mendapatkan terapi seftriakson dengan status pembayaran JKN memiliki rata-rata total biaya sebesar Rp 2.673.183,03 sedangkan pasien yang mendapatkan terapi levofloksasin memiliki rata-rata total biaya sebesar Rp 2.891.986,73. Rata-rata total biaya perawatan yang dibutuhkan pasien yang menggunakan terapi seftriakson dan levofloksasin dengan status pembayaran umum berturut-turut sebesar Rp 2.804.776,47 dan Rp 2.229.787,90. Kesimpulan pada penelitian ini adalah biaya rata-rata penggunaan antibiotik seftriakson lebih minimal pada pasien dengan status pembayaran JKN sedangkan levofloksasin memiliki biaya yang lebih minimal pada pasien dengan status pembayaran umum.
Kata kunci : Analisis Minimalisasi Biaya; Pneumonia; Seftriakson; Levofloksasin
viii
ABSTRACT
Ayutri, Mareoza. 2017. Cost-Minimization Analysis Of Empirical Antibiotics Ceftriaxone and Levofloxacin On Pneumonia Patients at RSU Karsa Husada Batu. Final Assignment, Pharmacy Program, Faculty of Medicine, Brawijaya University. Supervisors : (1) Hananditia Rachma P., M.Farm.Klin., Apt. (2) Ayuk Lawuningtyas H., M.Farm., Apt.
Pneumonia is an infectious disease mostly caused by Streptococcus pneumoniae. Antibiotics recommended in patients with pneumonia are ceftriaxone and levofloxacin. This study aimed to analyze the use of empirical antibiotic therapy between ceftriaxone or levofloxacin in patients with pneumonia at RSU Karsa Husada Batu. The pharmacoeconomic method used in this study was cost-minimization analysis to determine the more affordable than antibiotic given for pneumonia treatment from the perspective of the health care provider. The number of sample in this study were 49 patients older than 18 years old who used monotherapy ceftriaxone or levofloxacin during hospitalization. The results of this study showed that status of payment affected paid costs by patient or patient's family during treatment. Patients who received ceftriaxone with JKN payment status had an average total cost of Rp 2.673.183,03 while patients receiving levofloxacin therapy had an average total cost of Rp 2.891.986,73. On the other hand, average total cost required for patients using ceftriaxone and levofloxacin with general payment status was Rp 2.804.776,47 and Rp 2.229.787,90. The conclusion is ceftriaxone is more affordable in patients with JKN payment status while levofloxacin is more affordable in patients with general payment status. Keywords: Cost-Minimization Analysis; Pneumonia; Ceftriaxone; Levofloxacin
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pneumonia merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan parasit
lainya yang terpapar dari seseorang dan dapat ditularkan ke orang lain. Penularan
infeksi dapat terjadi melalui kontak langsung, seperti perpindahan mikroorganisme
melalui tangan dan melalui droplet inhalasi pada saat bersin dan batuk (American
Thoracic Society, 2016).
Prevalensi pneumonia di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Hal ini berdasarkan data riskedas tahun 2013 menyebutkan bahwa penderita
pneumonia semua umur pada tahun 2007 sebesar 2,1 % dan meningkat menjadi 2,7%
pada tahun 2013. Prevalensi infeksi pneumonia di Indonesia terbesar terjadi di
provinsi Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan
Sulawesi Selatan (Kemenkes, 2013).
Terapi pasien yang mengalami infeksi pneumonia tergantung pada penyebab
dan derajat keparahan pasien tersebut. Apabila penyebab pneumonia yang dialami
pasien adalah bakteri maka pasien diberikan antibiotik, begitu pula jika penyebab
pneumonia adalah virus, seperti virus influenza maka dapat diberikan terapi antivirus.
Selain itu, pasien juga dapat diberikan terapi anti fungi ataupun kortikosteroid ketika
sistem imun menurun. Pemberian oksigen dapat dilakukan apabila pasien memiliki
2
gangguan saat bernapas dan tingkat oksigen dalam tubuh rendah (American Thoracic
Society, 2016).
Terapi antibiotik merupakan salah satu komponen dalam penatalaksanaan
pengobatan pneumonia. Terapi yang tidak tepat dapat menyebabkan dampak yang
kurang baik, yaitu resistensi sehingga pasien diberikan terapi lain dan menyebabkan
biaya yang dikeluarkan semakin meningkat. Pemberian antibiotik secara empiris pada
pasien pneumonia perlu dilakukan untuk memberikan perawatan yang baik walaupun
hasil kultur belum didapatkan. Penggunaan antibiotik yang awalnya empiris dapat
dilanjutkan selama pengobatan apabila antibiotik tersebut sensitif terhadap bakteri
patogen. Infeksi patogen yang umum terjadi dapat diketahui melalui hasil kultur, data
peta kuman, data penelitian, dan panduan terapi. Berdasarkan panduan terapi IDSA
(Infectious Disease of American) merekomendasikan levofloksasin yang berasal dari
golongan fluoroquinolon dengan rekomendasi tingkat satu dan seftriakson dari
golongan sefalosporin generasi ketiga dengan rekomendasi tingkat dua (Mandell et
al., 2007). Antibiotik seftriakson dan levofloksasin bekerja secara luas pada bakteri
gram negatif maupun bakteri gram positif sehingga tepat digunakan sebagai antibiotik
empiris di rumah sakit. Selain itu, kedua antibiotik ini bekerja sebagai bakterisidal yang
mampu membunuh bakteri patogen penyebab pneumonia dengan mekanisme yang
berbeda. Antibiotik seftriakson mampu menghambat sintesis mukopeptida pada
dinding sel bakteri sedangkan levofloksasin mampu mengganggu sintesis DNA
mikroba patogen (Tatro, 2003).
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis minimalisasi
biaya. Metode ini penting dilakukan untuk membandingkan dua intervensi yang
3
memiliki efektivitas setara dengan efisiensi biaya yang lebih terjangkau. Metode
dilakukan dengan cara membandingkan efisiensi biaya langsung yang dikeluarkan
pasien dari intervensi pengobatan yang diberikan. Intervensi yang dibandingkan
adalah biaya antibiotik, biaya tindakan medis, biaya rawat inap, dan biaya
administrasi, dan biaya penunjang lain selama pengobatan. Apabila biaya yang
dikeluarkan dapat ditekan maka beban masyarakat dan pemerintah akan berkurang.
Selain itu, peningkatan biaya perawatan kesehatan cenderung terus meningkat setiap
tahunya memaksa para pembuat kebijakan untuk memutuskan formularium nasional
yang tepat agar sesuai dengan keuangan negara sehingga perlu dilakukan analisis
biaya terapi.
Analisis minimalisasi biaya antibiotik empiris seftriakson dan levofloksasin
pada pasien pneumonia belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian analisis
minimalisasi biaya pada pasien pneumonia yang pernah dilakukan sebelumnya
membandingkan jenis antibiotik yang berbeda dari penelitian yang peneliti lakukan.
Dasar pemilihan seftriakson dan levofloksasin sebagai antibiotik empiris pada pasien
pneumonia ialah kedua jenis antibiotik tersebut merupakan rekomendasi terapi
menurut IDSA. Panduan PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia) menyatakan
bahwa seftriakson dapat diberikan pada kondisi PRSP (Penisilin resisten
Streptococcus pneumoniae) dan levofloksasin dapat diberikan secara empiris pada
bakteri patogen Pseudomonas aeruginosa (PDPI, 2003). Kondisi rumah sakit sebagai
tempat pengambilan sampel penelitian lebih banyak menggunakan seftriakson dan
levofloksasin pada pasien pneumonia sehingga pengambilan sampel yang sesuai
kriteria inklusi peneliti lebih mudah didapatkan.
4
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Karsa Husada Batu yang merupakan
rumah sakit pemerintah kelas B. Rumah sakit ini dipilih oleh peneliti karena
berdasarkan survei pendahuluan di lapangan diketahui bahwa terdapat banyak pasien
infeksi pneumonia di rumah sakit tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat membantu
penyedia layanan kesehatan, seperti rumah sakit dalam mempertimbangkan antibiotik
yang tepat dengan konsekuensi setara sehingga dapat menjadi acuan dalam
formularium rumah sakit.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah efisiensi terapi antibiotik empiris antara seftriakson atau
levofloksasin pada pasien pneumonia berdasarkan metode analisis minimalisasi
biaya dari perspektif penyedia pelayanan kesehatan?
1.3 Tujuan Penelitian
Berikut tujuan umum dan tujuan khusus pada penelitian ini:
1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis penggunaan terapi antibiotik empiris antara seftriakson
atau levofloksasin pada pasien pneumonia berdasarkan metode analisis
minimalisasi biaya dari perspektif penyedia pelayanan kesehatan.
5
1.3.2 Tujuan Khusus
Mengetahui efisiensi biaya penggunaan antibiotik empiris seftriakson
atau levofloksasin pada pasien infeksi pneumonia yang dilihat dari biaya
langsung yang dikeluarkan oleh pasien, seperti biaya antibiotik seftriakson
atau levofloksasin, biaya rawat inap, biaya administrasi, biaya tenaga medis,
biaya laboratorium, dan biaya penunjang lain.
1.4 Manfaat Penelitian
Berikut manfaat akademik dan manfaat praktis pada penelitian ini :
1.4.1 Manfaat Akademik
Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan mengenai
penerapan metode dalam ilmu farmakoekonomi analisis minimalisasi biaya
penggunaan antibiotik empiris seftriakson atau levofloksasin yang
menawarkan biaya yang lebih efisien dengan efektivitas terapi yang setara
pada pasien infeksi pneumonia.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari penelitian analisis
minimalisasi biaya ini adalah sebagai bahan pertimbangan penggunaan
antibiotik empiris seftriakson atau levofloksasin untuk terapi infeksi pneumonia
di rumah sakit yang menawarkan biaya lebih terjangkau dengan hasil yang
6
setara sehingga diketahui efisiensi dan efektivitas dari kedua jenis terapi
tersebut. Oleh sebab itu, penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan
dalam penyusunan algoritma terapi pneumonia di rumah sakit karena
peningkatan biaya perawatan kesehatan dari tahun ke tahun yang
menunjukkan pentingnya analisa farmakoekonomi, terutama pada pihak
pengambil keputusan sistem formularium nasional dalam asuransi kesehatan
nasional Indonesia atau yang biasa dikenal dengan JKN (Jaminan Kesehatan
Nasional).
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pneumonia
Berikut penjelasan mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, pemeriksaan diagnostik, dan penatalaksanaan terapi pada pasien
pneumonia :
2.1.1 Definisi
Pneumonia merupakan infeksi radang paru yang umumnya disebabkan oleh
infeksi bakteri. Bakteri yang paling sering menjadi penyebab infeksi ini adalah
Streptococcus pneumoniae. Infeksi pada paru tersebut menyebabkan munculnya
eksudasi interalveoral, yaitu keluarnya cairan mengandung sel darah putih dan protein
secara lambat sehingga menyebabkan pemadatan paru (Lyrawati dan Leonita, 2012).
Pneumonia juga dapat disebabkan oleh infeksi mikroorganisme lain, seperti
virus dan jamur. Penyebab tersebut jarang ditemukan dibandingkan dengan infeksi
bakteri. Virus yang dapat menyebabkan pneumonia adalah RSV (Respiratory
Syncytial Virus) dan influenza sedangkan jamur disebabkan oleh PCP (Pneumocystis
jiroveci) terutama pada anak dengan AIDS (Kemenkes RI, 2010).
Pneumonia terdiri dari dua jenis, yaitu CAP (Community-Acquired Pneumonia)
dan HAP (Hospital-acquired Pneumonia). Sesuai dengan istilahnya CAP berarti
8
pneumonia yang berasal dari komunitas atau masyarakat sedangkan HAP berarti
pneumonia dapatan yang diakibatkan perawatan di rumah sakit.
2.1.2 Epidemiologi
Penyakit infeksi paru pneumonia merupakan salah satu penyebab kematian
yang lebih besar daripada kematian akibat HIV/AIDS. Sebagian besar kematian akibat
pneumonia terjadi pada negara berkembang dan kurang berkembang. Angka
kematian tertinggi terjadi di Sub Sahara sebanyak 1.022.000 kasus per tahun dan di
Asia Selatan 702.000 kasus per tahun Berdasarkan laporan WHO, lebih dari 50%
kasus infeksi pneumonia terjadi di wilayah Asia Tenggara dan Sub Sahara Afrika.
Pneumonia pada tahun 2015 menyebabkan kematian sebesar 920.136 anak-anak di
bawah lima tahun atau setara dengan 16% dari penyebab kematian anak di seluruh
dunia. Menurut data dari SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) dari Departemen
Kesehatan pada tahun 1992, 1995, dan 2001 mencatat bahwa infeksi pneumonia
berkontribusi terhadap angka mortalitas, terutama pada bayi dan anak-anak
sedangkan menurut data penelitian kesehatan dasar atau riskesdas pada tahun 2007
menyatakan bahwa pneumonia berada di tempat ke dua penyebab kematian terbesar
pada bayi dan balita (Kemenkes RI, 2010; WHO, 2016).
Jumlah mortalitis akibat CAP (Community Acquired Pneumonia) di Eropa
sebesar 1-48% sedangkan kejadian tahunan pneumonia di Amerika Serikat sebesar
24,8 kasus dari 10.000 orang dewasa dengan usia kebanyakan diantara 65-79 tahun.
(Saraswati et al., 2014). Selain itu, data riskedas tahun 2013 menyebutkan bahwa
9
penderita pneumonia semua umur pada tahun 2007 sebesar 2,1 % dan meningkat
menjadi 2,7% pada tahun 2013.
2.1.3 Etiologi
Pneumonia disebabkan oleh infeksi mikroorganisme, baik bakteri, virus,
maupun jamur. Penyebab pneumonia sebagian besar akibat adanya infeksi bakteri,
terutama Streptococcus pneumoniae. Berikut jenis bakteri yang menyebabkan infeksi
pneumonia (Lyrawati dan Leonita, 2012):
Tabel 2.1 Bakteri Penyebab Pneumonia (Lyrawati dan Leonita, 2012)
Pneumonita di komunitas (CAP) Pneumonia yang didapat di rumah sakit (HAP)
Streptococcus pneumoniae Pseudomonas aeruginosa
Haemophilus influenza Staphylococcus aureus
Staphylococcus pneumoniae Legionella pneumphila
Klebsiella pneumoniae Klebsiella pneumonia
Mycoplasma pneumoniae
2.1.4 Patofisiologi
Pneumonia dapat ditularkan saat mikroba udara dari individu yang terinfeksi
dihirup oleh orang lain tetapi sebagian besar kasus pneumonia disebabkan oleh
infeksi diri dengan satu atau lebih jenis mikroba yang berasal dari hidung dan mulut.
Bakteri saluran napas atas pada orang sehat, seperti Streptococcus pneumoniae dan
Hemophilus influenzae merupakan mikrooraganisme umum penyebab pneumonia di
komunitas. Pneumonia yang didapat di rumah sakit biasanya disebabkan oleh bakteri
10
yang lebih resisten, seperti Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa, dan Escherichia coli. Sistem kekebalan tubuh yang kurang
baik juga dapat menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik, seperti jamur, virus, dan
bakteri yang biasanya tidak menyebabkan penyakit pada orang normal.Pencegahan
mikroorganisme untuk mencapai alveoli berasal dari mekanisme pertahanan tubuh,
yaitu adanya percabangan bronkus, mukosa yang melapisi saluran napas, silia yang
mendorong mukosa ke atas, dan refleks batu. Apabila mikroorganisme patogen
mampu mencapai alveoli maka akan dihancurkan oleh sistem imun. Hal ini
menandakan bahwa seseorang yang terinfeksi pneumonia disebabkan oleh sistem
pertahanan di dalam tubuh yang kurang baik dalam mekanisme mekanis maupun
sistem imun (MIzgerd, 2008; Medline Plus, 2017). Berikut gambaran patofisiologi
pneumonia (Somantri, 2007):
11
Gambar 2.1 Patofisiologi Pneumonia (Somantri, 2007)
Inhalasi mikroorganisme melalui
udara, aspirasi organisme dari
nasofaring, dan hematogen
Reaksi Inflamasi hebat
Membran paru-paru radang dan
berlubang
Sel darah merah, sel darah
putih, dan cairan keluar masuk
ke alveoli
Edema, sekresi, dan
prochospasme
Oklusi parsial
Area di paru menjadi padat (konsolidasi)
- Nyeri dada
- Panas dan demam
- anoreksia
- Batuk
- Sianosis
- dispnea
nyeri pleuritis
Luas permukaan membran respirasi Penurunan ratio ventilasi-perfusi
Kapasitas difusi menurun
Hipoksemia
12
2.1.5 Manifestasi Klinis
Pneumonia dapat menyebabkan ronki dan batuk kering yang lama-kelaman
akan menyebabkan batuk produktif yang mengeluarkan dahak. Tanda dan gejala
yang dapat terjadi pada pasien pneumonia, diantaranya menggigil, demam tinggi,
takipnea, takikardia, sakit kepala, dispnea, nyeri dada pleuritik, sianosis, penurunan
suara napas, diaphoresis, dan gemetaran (Ballestas et al, 2007). Manifestasi klinis
pneumonia dapat berbeda sesuai dengan bakteri patogen. Pneumonoccal
pneumoniae menyebabkan sputum sedikit bewarna merah muda, menggigil, demam,
takipnea, dan takikardia sedangkan pneumonia yang disebabkan oleh Klebsiella
pneumonia memiliki ciri sputum yang bewarna colat gelap dan merah gelap. Pasien
cenderung lebih susah mengeluarkan sputum dari mulutnya. Tanda pneumonia yang
disebabkan Klebsiella pneumonia mirip dengan pneumonia yang disebabkan oleh
Pneumococcal pneumonia, yaitu batuk, demam, menggigil, dispnea, batuk produktif,
suara napas berkurang, dan sebagainya (Ballestas et al, 2008).
2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik
Pneumonia merupakan salah satu infeksi paru yang memerlukan deteksi
terhadap patogen penyebab pneumonia. Diagnosis yang ditunda atau terlambat dapat
menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Standar diagnosis yang palilng
penting adalah kultur patogen yang menyebankan infeksi paru tersebut namun kultur
patogen memiliki beberapa kelemahan, diantaranya memerlukan waktu yang lebih
lama, kesalahan pada saat deteksi oleh petugas, memerlukan media dan kondisi yang
13
optimal, dan deteksi antigen yang kurang sensitif dan spesifik. Tekhnik amplifikasi
asam nukleat atau yang biasa disebut dengan NAAT menjadi uji diagnostik yang
umum dilaukan karena hasil keluar dalam waktu berjam-jam sedangkan kultur yang
memerlukan waktu beberapa hari namun NAAT cenderung memiliki nilai positif-salah
yang tinggi. Perkembangan teknologi menyebabkan munculah Multiplex NAAT yang
dapat mendektesi virus yang memiliki sensitivitas dan spesivitas yang tinggi
sedangkan untuk pemeriksaan patogen jamur dan bakteri menggunakan
spektrofotometri masa MALDI-TOF (Matrix-Assisted Laser Desorption Ionization Time
of Flight) (Mattila et al., 2014).
2.1.7 Penatalaksanaan Terapi
Penatalaksanaan terapi pneumonia melihat dari keadaan klinis yang
ditunjukkan pasien. Apabila pasien menununjukkan tanda klnis yang baik dan tidak
memiliki indikasi rawat inap maka pasien dapat diobati di rumah. Penatalaksaan
pneumonia CAP terdiri dari (PDPI, 2003) :
a. pasien rawat jalan
Terapi yang perlu diperhatikan pada pasien rawat jalan adalah pengobatan
gejala dan terapi suportif, seperti minum air yang cukup untuk mencegah
dehidrasi, istirahat yang cukup, dan dapat diberikan kompres atau obat antipiretik
apabila pasien mengalami demam. Selain itu, pasien dapat diberikan obat
penunjang lain, seperti mukolitik dan ekspektoran.
14
b. pasien rawat inap di ruang biasa
Terapi yang dapat diberikan adalah pengobatan gejala atau suportif,
seperti pemberian oksigen, obat simptomatik antipiretik dan mukolitik, dan
pemasangan infus yang berfungsi sebagai rehidrasi dan pengkoreksi elektrolit dan
elektrolit.
c. pasien rawat inap di ruang intensif
Pasien pneumonia rawat inap yang berada di ruang intensif dapat
diberikan terapi suportif atau terapi untuk mengatasi gejala, seperti pemberian
oksigen, pemasangan infus yang berguna sebagai rehidrasi dan pengkoreksi
elektrolit, antipiretik untuk mengatasi demak, dan mukolitik untuk mengencerkan
dahak. Pasien yang berada di ruang intensif juga dapat diberikan ventilator
mekanik apabila terdapat indikasi.
Terapi antibiotik dapat diberikan pada setiap kategori diatas dengan waktu
kurang dari 8 jam. Antibiotik pada pasien rawat jalan, yaitu golongan beta laktam
dan fluoroquinolone. Apabila pasien mengalami pneumonia atipik maka dapat
diberikan klaritromisin, azitromisin, dan roksitromisin. Pada pasien rawat inap,
pemberian antibiotik sama dengan pasien rawat jalan tetapi dapat diberikan
sefalosporin generasi kedua dan ketiga. Selain itu, pasien dengan rawat intensif
dengan risiko infeksi pseudomonas diberikan sefalosporin anti pseudomonas atau
karbapenem secara intravena. Kemudian terapi dapat ditambahkan siprofloksasin
atau aminoglikosida.
15
2.1.7.1 Terapi Antimikroba
Terapi antibiotik empiris merupakan terapi farmakologi penting dalam
penatalaksanaan pasien pneumonia karena sebagian besar pasien pneumonia
disebabkan oleh bakteri patogen. Antibiotik yang dapat digunakan pada pasien
pneumonia, diantaranya seftriakson dan levofloksasin. Kedua obat tersebut memiliki
rentang spektrum luas yang bekerja pada bakteri gram negatif dan bakteri gram positif
sehingga tepat digunakan sebagai antibiotik empiris. Seftriakson mampu melawan
penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP) sedangkan levofloksasin
mampu melawan hingga Pseudomonas aeruginosa sehigga kedua antibiotik ini dapat
digunakan sebagai terapi farmakologi pasien pneumonia (PDPI, 2003).
2.1.7.1.1 Seftriakson
Gambar 2.2 Struktur Seftriakson (Martindale, 2009)
Seftriakson merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga yang
bersifat bakterisida. Antibiotik ini bekerja dengan cara menghambat sintesis
mukopeptida pada dinding sel bakteri. Seftriakson diindikasikan sebagai terapi infeksi
16
saluran pernapasan bagian bawah, kulit, tulang, sendi, saluran kemih, inflamasi
panggul, infeksi intra-abdominal, gonorrhea, meningitis, dan infeksi lainnya. Dosis
yang dapat diberikan ialah 1.000-2.000 mg perhari secara intravena atau
intramuscular tetapi juga dapat diberikan dalam dosis terbagi setiap 12 jam dengan
dosis maksimum per 4.000 mg per hari (Tatro, 2003).
Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan seftriakson adalah reaksi
lokal pada lokasi penginjeksian, seperti rasa hangat, flebitis, dan indurasi. Selain itu,
seftriakson dapat menyebabkan efek pada hematologi yang mengakibatkan
eosinophilia, trombositosis, dan leuopenia. Reaksi hipersensitivitas juga dapat terjadi
pada penggunaan antibiotik ini (American Society of Health-System Pharmacist.
2011).
2.1.7.1.2 Levofloksasin
Gambar 2.3 Struktur Levofloksasin (Martindale, 2009)
17
Levofloksasin merupakan antibiotik golongan fluoroquinolon yang berkerja
dengan cara mengganggu sistensis DNA mikroba sehingga menyebabkan kematian
sel bakteri. Antibiotik ini diindikasikan untuk infeksi saluran pernapasan, seperti
pneumonia. Dosis yang dapat diberikan, yaitu 250 mg hingga 500 mg dengan
frekuensi satu atau dua kali per hari selama 7-14 hari (Tatro, 2003; Martindale, 2009).
Efek samping yang sering terjadi pada pemakaian levofloksasin adalah
gangguan pada sistem gastrointestinal, seperti mual, diare, konstipasi, nyeri perut,
dyspepsia, dan muntah. Selain itu, levofloksasin juga mempengaruhi sistem
kardiovaskular, dermatologis, reaksi pada sisi injeksi, dan sistem pernapasan (Lacy
et al., 2009).
2.2 Farmakoekonomi
Farmakoekonomi dapat diartikan sebagai analisis dan deskripsi biaya terapi
dalam sistem perawatan kesehatan. Penelitian farmakoekonomi berperan dalam
melakukan identifikasi, pengukuran, dan perbandingan biaya serta konsekuensi yang
didapat dari produk farmasetika dan pelayanan (Bootman et al., 2005)
Farmakoekonomi sebagai alat bantu yang digunakan dalam pertimbangan untuk
mencapai hasil terbaik dengan biaya terendah. Farmakoekonomi penting dipelajari
dan dipahami untuk memaksimalkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di
tengah keterbatasan biaya dalam pemenuhan kesehatan tersebut. Kajian
farmakoekonomi di rumah sakit memegang peranan penting, yaitu untuk menyusun
formularium rumah sakit sehingga penggunaan obat dapat dilakukan secara rasional
18
dan tidak membebankan, baik dari pihak rumah sakit maupun pasien (Kemenkes RI,
2013).
2.3 Metode Analisis Farmakoekonomi
Metode analisis farmakoekonomi terdiri dari empat jenis analisis sebagai
berikut :
2.3.1 Analisis Minimalisasi Biaya
Analisis minimalisasi biaya (Cost-Minimization Analysis/ CMA) merupakan
teknik analisis ekonomi yang membandingkan dua pilihan intervensi atau lebih.
Intervensi yang dibandingkan tersebut memiliki hasil setara sehingga dapat
diidentifikasi pilihan yang memiliki biaya yang lebih rendah. Analisis ekonomi dalam
bidang kesehatan dapat berupa obat atau tindakan medis yang akan dibandingkan.
Kesetaraan perawatan kesehatan dengan alternatif kesehatan masih merupakan
ketidakpastian teori sehingga pada metode ini terdapat kemungkinan interpretasi
secara subyektif, misalnya berupa asumsi bukan kesetaraan klinis (Bootman, 2005;
Kemenkes RI, 2013).
Analisis ini merupakan metode yang paling sederhana dibandingkan dengan
analisis farmakoekonomi lainnya sehingga lebih mudah dilakukan penelitian analisis
farmakoekonomi. Hasil intervensi yang diberikan harus setara sehingga tidak semua
19
intervensi dapat dilakukan analisisis minimalisasi biaya. Interpretasi (Tjandrawinata,
2016).
2.3.2 Analisis Efektivitas Biaya
Analisis efektivitas biaya (Cost-Effectiveness Analysis/ CEA) merupakan
teknik analisis ekonomi yang membandingkan biaya dan hasil relatif dari intervensi
yang diberikan. Pengukuran biaya dan efektivitas terapi dapat membantu penetapan
intervensi kesehatan yang paling efektif dengan biaya paling terjangkau. Intervensi
yang diberikan pada metode ini dapat berjumlah dua atau lebih dengan hasil yang
diukur dalam unit non-moneter tetapi analisis ini hanya digunakan untuk
membandingkan intervensi dengan tujuan yang sama. Perhitungan yang perlu
dilakukan adalah rasio biaya rata-rata (ACER/Average Cost-Effectiveness Ratio) dan
rasio incremental efektivitas biaya atau biasa dikenal dengan ICER (Incremental Cost-
Effectiveness Ratio). Berikut tabel efektivitas biaya (Kemenkes RI, 2013) :
Tabel 2.2 Tabel Efektivitas Biaya (Kemenkes RI, 2013)
Efektivitas Biaya Biaya lebih
rendah
Biaya sama Biaya lebih tinggi
Efektivitas lebih
rendah
A
(memerlukan
perhitungan ICER)
B C
(didominasi)
Efektivitas sama D E F
20
Efektivitas Biaya Biaya lebih
rendah
Biaya sama Biaya lebih tinggi
Efektivitas lebih
tinggi
G
(dominan)
H I
(memerlukan
perhitungan ICER)
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui intervensi yang memerlukan
perhitungan dan pertimbangan analisis efektivitas biaya, yaitu pada kolom A dan I
karena intervensi tersebut diduga memiliki efektivitas lebih rendah dengan biaya lebih
rendah (kolom A) dan efektivitas tinggi dengan biaya lebih tinggi. Apabila posisi
intervensi dominan (kolom C dan G), termasuk kolom B, D,F,H tidak perlu dilakukan
analisis efektivitas biaya karena sudah diketahui pilihan yang seharusnya diambil
sedangkan kolom E yang berada pada posisi seimbang masih dapat dilakukan
analisis apabila terdapat pilihan kemudahan yang diperoleh atau kemudahan cara
pemakaian (Kemenkes RI, 2013) .
2.3.3 Analisis Manfaat-Biaya
Analisis manfaat-biaya (Cost-Benefit Analysis/CBA) merupakan teknik analisis
yang digunakan untuk menghitung rasio antara biaya intervensi kesehatan dan
manfaat yang didapat. Hasil (outcome) diukur dalam bentuk unit moneter atau rupiah
(Kemenkes RI, 2013). Tujuan dari analisis manfaat-biaya ialah untuk mencapai
pengembalian investasi yang paling tinggi. Analisis manfaat-biaya dapat digunakan
untuk memperbaiki proses pembuatan keputusan dalam mengaloksai dana hingga
21
program kesehatan yang sesuai. Keuntungan analisis jenis ini adalah dapat
digunakan untuk membandingkan dua jenis intervensi yang tidak saling berhubungan
dengan hasil berbeda secara moneter tetapi metode jenis ini memiliki kelemahan yaitu
sukar untuk menerjemahkan dan mengukur setiap biaya dalam nilai moneter sehigga
variabel yang sukar untuk diukur dianggap sebagai manfaat yang tak berwujud
(Tjandarawinata, 2016; Bootman et al., 2005).
2.3.4 Analisis Utilitas Biaya
Analisis utilitas biaya (Cost-Utility Analysis/CUA) merupakan teknik analisis
ekonomi yang digunakan untuk menilai utilitas atau kepuasan atas kualitas hidup yang
diperoleh dari intervensi kesehatan. Analisis ini diekspresikan dalam QALY (Quality
Adjusted Life Years) dimana kegunaan diukur dalam bentuk tahun dalam keadaan
sehat, bebas dari kecacatan, dan mampu dinikmati (Kemenkes RI, 2013). Analisis
utilitas biaya dapat menyediakan kerangka umum dalam melakukan evaluasi ekonomi
dan memiliki kualitas yang bersifat universal sehingga sebagian besar pembuat
kebijakan dan lembaga terkait menggunakan metode ini. Peran analisis ini terdapat
dalam berbagai bidang, seperti pengembangan obat, pengembalian, dan pemasaran
(Bootman et al., 2005).
Hasil yang didapat dari analisis ini disesuaikan dengan nilai utilitas yang
mempresentasikan preferensi pada suatu kondisi kesehatan tertentu. Nilai utilitas
yang didapat berkisar 0 hingga 1 QALY. Nilai 0 menandakan kondisi kematian
sedangkan nilai 1 menandakan kesehatan yang diharapkan. Apabila nilai kurang dari
22
1 QALY menandakan kualitas hidup yang terganggu akibat kondisi kesehatan yang
kurang baik atau penanganan yang kurang tepat. QALY (Tjandarawinata, 2016).
2.4 Biaya Kesehatan
Biaya yeng berhubungan dengan perawatan kesehatan terdiri dari (Kemenkes RI,
2013) :
a. Biaya langsung merupakan biaya yang langsung dibayarkan oleh pasien atau
keluarga pasien terkait pada perawatan kesehatan. Biaya langsung terdiri dari
biaya obat atau perbekalan kesehatan, biaya konsultasi dokter, biaya jasa
paramedis, biaya penggunaan fasilitas rumah sakit, biaya informal dan biaya
kesehatan lain. Selain itu biaya langsung juga termasuk biaya ambulan.
b. Biaya tidak langsung merupakan biaya yang berhubungan dengan
produktivitas yang hilang akibat penyakit yang diderita pasien. Biaya tidak
langsung terdiri dari biaya transportasi, biaya produktivitas yang hilang, dan
biaya pendamping (orang yang menemani pasien, misalnya keluarga pasien).
c. Biaya intangible atau biaya yang tidak teraba merupakan biaya yang sulit
diukur dalam bentuk uang. Biaya jenis ini dilihat dari kualitas hidup pasien,
seperti rasa sakit atau rasa cemas yang dialami pasien atau keluarga pasien.
d. Biaya terhindarkan merupakan biaya yang dapat dihindarkan karena intervensi
kesehatan tertentu.
23
2.5 Peran farmakoekonomi
Farmakoekonomi merupakan deskripsi dan analisis biaya yang digunakan
dalam terapi pengobatan. Riset farmakoekonomi berkaitan dengan identifikasi,
pengukuran , perbandingan biaya, dan manfaat intervensi yang diberikan, baik produk
maupun jasa dalam terapi. Analisis farmakoekonomi mencakup pengukuran moneter
atau klinis dan faktor yang membuka biaya alternatif dari sudut pandang pasien.
Faktor – faktor tersebut dapat berupa nyawa yang berhasil diselamatkan, pencegahan
penyakit, operasi yang berhasil dicegah, dan kualitas hidup pasien setelah
mendapatkan terapi. Adanya farmakoekonomi dapat memberikan manfaat pada
pengambil keputusan untuk menentukan intervensi yang tepat sesuai kondisi pasien.
pemilihan tersebut didasarkan pada kerasionalan dalam pemilihan pengobatan dan
alokasi sumber daya sistem. Pengambil keputusan yang berkaitan dengan
farmakoekonomi dapat berasal dari berbagai kalangan, yaitu dokter, apoteker,
anggota komite formlarium, dan administrator perusahaan ( Tjandarawinata, 2016).
24
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Bakteri Streptococcus pneumonia
Pneumonia
Beta Laktam Fluoroquinolon
Levofloksasin Sefalosporin
Penisilin
Seftriakson sefotaksim
Efektivitas :
a. Lama rawat inap
b. Laju pernapasan
Biaya medis langsung
a. biaya antibiotik
b. biaya perawatan (rawat
inap, laboratorium, tenaga
medis, administrasi,
penunjang lain)
Analisis Minimalisasi Biaya Keterangan :
: variabel tidak diteliti
: variabel diteliti
: variabel utama diteliti
: kaitan yang diteliti
25
Pneumonia merupakan penyakit akibat infeksi bakteri Streptococcus
pneumonia. Terapi farmakologi yang diberikan adalah terapi antibiotik, yaitu
levofloksasin dari golongan fluoroquinolon dan seftriakson dari golongan beta laktam.
Biaya yang diukur pada penelitian ini adalah biaya langsung yang dikeluarkan untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan, yaitu biaya antibiotik dan biaya perawatan. Biaya
perawatan meliputi biaya instalasi rawat inap, biaya administrasi, biaya laboratorium,
tenaga medis, dan biaya penunjang lain. Efektivitas terapi yang dilihat meliputi lama
rawat inap dan lama laju pernapasan kembali normal. Hasil yang didapat dari
penelitian ini adalah efisiensi biaya dari antibiotik empiris seftriakson atau
levofloksasin yang memiliki efektivitas yang ekuivalen.
3.2 Hipotesis Penelitian
Terdapat perbedaan efisiensi biaya penggunaan antibiotik seftriakson atau
levofloksasin pada pasien pneumonia dengan status pembayaran umum atau JKN di
Rumah Sakit Umum Karsa Husada Batu dengan menggunakan analisis minimalisasi
biaya.
26
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
menggunakan data sekunder berupa data rekam medis dan catatan keuangan biaya
pengobatan serta perawatan pasien. Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan
mengumpulkan data pasien pneumonia yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit
Umum Karsa Husada Batu pada periode Mei 2016 – Mei 2017. Penelitian ini
membandingkan efisiensi biaya pengobatan antibiotik seftriakson dan levofloksasin
pada pasien pneumonia.
4.2 Populasi dan Sampel/ Subjek Penelitian
Berikut penjelasan mengenai populasi dan sampel pada penelitian ini :
4.2.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah pasien infeksi pneumonia yang
mendapatkan terapi seftriakson atau levofloksasin di Rumah Sakit Umum Karsa
Husada Batu pada periode Mei 2016 – Mei 2017.
27
4.2.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah seluruh pasien infeksi pneumonia yang
diberikan antibiotik seftriakson atau levofloksasin yang telah memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive
sampling. Pada teknik ini, sampel dipilih dari populasi yang sesuai dengan kriteria
inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan oleh peneliti sehingga dapat mewakili
karakteristik populasi.
4.2.3 Kriteria Inklusi dan Ekslusi
Adapun kriteria yang ditentukan peneliti sebagai berikut :
1. Kriteria inklusi , yaitu :
a. pasien dewasa usia diatas 18 tahun.
b. Pasien pneumonia merupakan pasien yang didiagnosis pneumonia pada
diagnosis primer dan tidak memiliki infeksi lain.
c. pasien diberikan terapi antibiotik seftriakson atau levofloksasin sejak awal
masuk rumah sakit hingga keluar rumah sakit.
d. Pasien pneumonia yang dinyatakan sembuh atau membaik oleh dokter.
e. Pasien dengan data medis lengkap, yaitu berisikan data data laju
pernapasan.
2. Kriteria eksklusi, yaitu :
a. Pasien pneumonia yang meninggal.
b. Pasien pneumonia rujukan rumah sakit lain.
28
c. Identitas pasien yang tidak lengkap, hilang, atau tidak terbaca.
4.2.4 Perhitungan Besar Sampel
Persamaan yang digunakan untuk menghitung besar sampel penelitian pada
populasi yang tidak diketahui sebagai berikut :
n=Zα2pq
d2
Keterangan :
n : besar sampel minimum
Zα : interval kepercayaan 95%, yaitu 1,96
p :proporsi kelompok kasus atau populasi. Presentasi penyakit pneumonia
sebesar 36,6% (Nugroho, 2011).
q : proporsi kelompok kontrol = 1-p
d : derajat penyimpangan terhadap populasi diengan nilai yang ditetapkan 0,1
Besar sampel pada penlitian ini didapatkan sebagai berikut :
𝑛 =1,962 × 0,366 × 0,634
0,12
𝑛 =0,891
0,01
𝑛 = 89,1 sampel
𝑛 = 89 sampel
29
4.3 Variabel Penelitian
Berikut penjelasan mengenai variabel tergantung dan variabel bebas pada
penelitian ini :
4.3.1 Variabel Tergantung
Variabel tergantung merupakan variabel yang dipengaruhi oleh variabel
bebas. Pada penelitian ini digunakan variabel tergantung berupa efisiensi biaya
pengobatan pasien pneumonia.
4.3.2 Variabel Bebas
Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi variabel tergantung.
Pada penelitian ini variabel bebas yang digunakan adalah biaya medis langsung,
seperti biaya rawat inap, biaya laboratorium, biaya obat, biaya tindakan medis, lama
rawat inap, dan laju pernapasan.
4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Umum Karsa Husada Batu pada
bagian rekam medis dan keuangan guna mengumpulkan data terkait dengan data
retrospektif pasien pneumonia dan biaya yang dibayarkan oleh pasien ataupun
keluarga pasien. Penelitian ini akan mengambil data pasien pneumonia pada bulan
Mei 2016 hingga Mei 2017.
30
4.5 Bahan dan Alat/ Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar pengumpul data untuk
mengumpulkan dan mencatat data rekam medis pasien di Rumah Sakit Umum Karsa
Husada Batu pada Mei 2016 hingga Mei 2017.
4.6 Definisi Istilah/ Operasional
Definisi operasional merupakan pemberian definisi pada suatu variabel yang
diteliti berdasarkan konsep teori tetapi juga bersifat operasional supaya peneliti dapat
mengumpulkan data atau informasi yang dibutuhkan dengan tepat sehingga dapat
diuji baik oleh peneliti maupun orang lain. Adapun batasan operasional sebagai
berikut :
a. Pneumonia adalah penyakit pada saluran pernapasan akibat infeksi bakteri
dengan manifestasi klinis berupa sesak napas yang dilihat dari peningkatan
laju pernapasan.
b. Pasien pneumonia merupakan pasien berusia diatas 18 tahun yang telah
didiagnosa pneumonia sebagai diagnosa primer dan telah menjalani rawat
inap di Rumah Sakit Umum Karsa Husada Batu pada bulan Mei 2016 hingga
Mei 2017.
c. Pasien dinyatakan membaik atau sembuh dari pneumonia apabila laju
pernapasan kembali dalam rentang normal dan pernyataan sembuh atau
membaik diberikan oleh dokter Rumah Sakit Karsa Husada Batu kepada
pasien dan selanjutnya pasien diperbolehkan pulang.
31
d. Pasien menerima pengobatan antibiotik empiris seftriakson atau levofloksasin
dari awal pemakaian antibiotik setelah terdiagnosa pneumonia dan belum
menggunakan antibiotik lain.
e. Analisis minimalisasi biaya adalah metode analisa farmakoekonomi dengan
cara membandingkan dua intervensi atau pengobatan yang setara sehingga
diketahui biaya yang lebih rendah dari dua jenis intervensi yang dibandingkan.
f. Lama rawat inap pasien pneumonia merupakan jumlah hari dari pasien mulai
masuk rumah sakit hingga dinyatakan membaik oleh dokter yang
bersangkutan sehingga pasien telah diperboleh pulang.
g. Laju pernapasan kembali normal merupakan jumlah hari yang diperlukan
untuk mengetahui laju pernapasan kembali dalam rentang normal, yaitu 16-20
kali per menit setelah mendapatkan terapi antibiotik seftriakson atau
levofloksasin.
h. Terapi antibiotik yang diberikan kepada pasien pneumonia merupakan
monoterapi seftriakson atau levofloksasin.
i. Biaya pengobatan pasien pneumonia ialah jumlah biaya langsung yang
dikeluarkan oleh pasien atau keluarga pasien secara mandiri ataupun asuransi
kesehatan yang terdiri dari biaya instalasi rawat inap, biaya admnistrasi, biaya
tenaga kesehatan, biaya laboratorium, dan biaya penunjang lain yang
dikeluarkan selama pengobatan berlangsung.
4.7 Prosedur Penelitian / Pengumpulan Data
Berikut tahapan penelitian dan pengumpulan data pada penelitian ini :
32
4.7.1 Persiapan
Penelitian analisa farmakoekonomi ini dilakukan setelah mendapatkan
persetujuan dari pihak terkait yang meliputi etik dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya dan perizinan dari rumah sakit yang dituju.
4.7.2 Prosedur Penelitian
Langkah-langkah pengumpulan data dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Peneliti mengunjungi Rumah Sakit Umum Karsa Husada Batu
2. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian serta meminta izin kepada
pihak Rumah Sakit Umum Karsa Husada Batu untuk diadakannya penelitian
farmakoekonomi pada pasien pneumonia yang menggunakan antibiotik
kombinasi seftriakson atau levofloksasin.
3. Apabila pihak rumah sakit bersedia maka peneliti akan melakukan
pengumpulan data rekam medis dan biaya pengobatan untuk setiap pasien
pneumonia yang menggunakan terapi seftriakson atau levofloksasin pada
bulan Mei 2016 hingga Mei 2017.
4. Peneliti menganalisa data setelah semua data yang diperlukan terkumpul
dengan menggunakan analisis statistika dan analisis minimalisasi biaya.
4.7.3 Data Penelitian
Pengumpulan data yang dicatat pada penelitian ini terdiri dari :
33
1. Identitas pasien meliputi nama pasien, jenis kelamin, usia, dan nomor rekam
medis.
2. Data klinis meliputi data subjektif dan objektif, yaitu suhu tubuh, jumlah sel
darah putih, laju pernapasan, denyut nadi, lama rawat inap, dan diagnosis
yang menyatakan pasien pneumonia.
3. Data penggunaan antibiotik seftriakson atau levofloksasin selama rawat inap
di Rumah Sakit Umum Karsa Husada Batu yang meliputi dosis antibiotik,
interval pemberian, cara pemberian, dan lama pemberian.
4. Data terkait biaya selama dirumah sakit meliputi biaya antibiotik seftriakson
atau levofloksasin, biaya rawat inap, biaya tindakan medis, biaya laboratorium,
dan biaya tambahan terkait pengobatan selama pasien dirawat, seperti biaya
untuk mengatasi efek samping penggunaan antibiotik empiris kombinasi
seftriakson atau levofloksasin dan obat untuk terapi komplikasi.
4.8 Analisis Data / Pengolahan Data
Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
analisis minimalisasi biaya. Metode ini merupakan metode analisis farmakoekonomi
yang membandingkan efisiensi biaya antibiotik pasien pneumonia yang menggunakan
antibiotik seftriakson atau levofloksasin. Analisis dihitung menggunakan program
SPSS dan diolah berdasarkan uji statistik. Pengolahan data yang dilakukan sebagai
berikut :
34
1. Analisis kesetaraan konsekuensi (Uji Homogenitas)
Uji kesetaraan konsekuensi dilakukan untuk mengetahui kesamaan dari varian
sampel. Uji homogenitas yang digunakan disebut Levene’s Test Equality of Variances
dengan pengambilan keputusan sebagai berikut:
a. jika sig. (p) > 0,05 maka varian dari dua atau lebih kelompok populasi data
dikatakan sama.
b. jika sig. (p) < 0,05 maka varian dari dua atau lebih kelompok populasi data
dikatakan tidak sama.
2. Analisis efisiensi biaya dilakukan dengan membandingkan rata-rata biaya
terapi dan perawatan pada pasien pneumonia yang menggunakan antibotik
seftriakson atau levofloksasin. Pengolahan data juga meliputi perhitungan
presentase jenis kelamin pasien dan perhitungan presentase pasien yang
memperoleh antibiotik empiris seftriakson atau levofloksasin.
35
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
Data penelitian diperoleh secara retrospektif di Rumah Sakit Umum karsa Husada
Batu. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling
pada periode Mei 2016 hingga Mei 2017. Sampel yang diambil adalah pasien pneumonia
yang mendapatkan terapi seftriakson atau levofloksasin yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi. Jumlah sampel yang diperoleh sebanyak 49 sampel.
Pasien pneumonia di Rumah Sakit Umum Karsa Husada Batu berusia diatas
delapan belas tahun. Berdasarkan sampel yang diperoleh didapatkan data berupa terapi
antibiotik yang digunakan pasien, jenis kelamin, lama rawat inap pasien di rumah sakit,
biaya rawat inap, biaya antibiotik, status pembayaran, biaya tenaga medis, dan biaya
penunjang lain.
5.1 karakteristik pasien
Karakteristik pasien pneumonia diamati melalui jenis kelamin dan status
pembayaran sebagai berikut :
5.1.1 Jenis Kelamin
Pasien pneumonia yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi didata
sehingga didapatkan perbedaan antara jumlah pasien laki-laki dan perempuan. Berikut
36
tabel dan diagram yang menunjukkan perbedaan jumlah kedua kelompok pasien
berdasarkan jenis kelamin.
Tabel 5.1 Jumlah pasien berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Pasien Persentase (%)
Laki-laki 35 71,43
Perempuan 14 28,57
Total 49 100
Berdasarkan diagram diatas dapat diketahui bahwa jumlah pasien pneumonia
laki-laki yang menerima antibiotik sefotaksim dan levofloksasin lebih banyak daripada
pasien perempuan, yaitu 35 pasien laki-laki atau setara dengan 71,43% sedangkan
jumlah pasien perempuan sebanyak 14 pasien atau setara dengan 28,57%.
5.1.2 Status Pembayaran
Pasien pneumonia di Rumah Sakit Umum Karsa Husada Batu terdiri dari dua
jenis status pembayaran, yaitu umum (biaya pribadi) dan asuransi Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN). Tabel 5.2 dan diagram 5.2 berikut menunjukkan perbedaan jumlah
pasien pneumonia yang mendapatkan terapi antibiotik seftriakson atau levofloksasin
berdasarkan perbedaan status pembayaran.
Tabel 5.2 Status Pembayaran Pasien Pneumonia
Status Pembayaran Jumlah Pasien Presentase (%)
Umum 26 53,06
JKN 23 46,94
Total 49 100
37
Berdasarkan data diatas diketahui bahwa pasien pneumonia yang mendapatkan
terapi antibiotik seftriakson atau levofloksasin di Rumah Sakit Karsa Husada Batu lebih
banyak dengan status pembayaran umum atau biaya sendiri dibandingkan dengan
menggunakan asuransi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Jumlah pasien yang
membayar dengan menggunakan biaya pribadi (umum) sebanyak 26 pasien atau setara
dengan 53,06% sedangkan pasien yang membayar dengan asuransi Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) sebanyak 23 pasien atau setara dengan 46,94%.
5.2 Karakteristik Pengobatan Antibiotik
Berikut penjelasan mengenai karakteristik pengobatan antibiotik yang dilihat dari
terapi antibiotik dan dosis :
5.2.1 Terapi Antibiotik dan Dosis
Terapi antibiotik yang didapatkan pasien pneumonia di Rumah Sakit Umum Karsa
Husada Batu, yaitu seftriakson dan levofloksasin. Harga antibiotik yang didapatkan
pasien sama, baik pasien umum ataupun JKN. Berikut data yang menunjukkan
hubungan terapi antibiotik dan Jumlah Pasien pada pasien pneumonia pada tabel 5.3
dan gambar 5.3 serta hubungan antara terapi antibiotik dan dosis berdasarkan status
pembayaran pada tabel 5.4 dan gambar 5.4
38
Tabel 5.3 Data Penggunaan Antibiotik pada Pasien Pneumonia
Terapi Antibiotik Dosis Antibiotik
(mg)
Jumlah Pasien Presentase (%)
Seftriakson 2 × 1000 31 63,27
Levofloksasin 1 × 500 18 36,73
Total 49 100
Berdasarkan data hasil penelitian yang telah didapatkan diketahui bahwa pasien
pneumonia di Rumah Sakit Umum Karsa Husada Batu lebih banyak mendapatkan
seftriakson sebagai terapi antibiotik daripada yang mendapatkan terapi levofloksasin.
Jumlah pasien yang mendapatkan terapi seftriakson sebanyak 31 pasien dengan
presentase sebesar 63,27% sedangkan jumlah pasien yang mendapatkan terapi
levofloksasin sebanyak 18 pasien atau setara dengan 36,73%. Jumlah masing-masing
kategori merupakan campuran jumlah pasien dengan status pembayaran umum dan
JKN.
Tabel 5.4 Data Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Status Pembayaran
Terapi
Antibiotik
Status
Pembayaran
Dosis
Antibiotik
(mg)
Jumlah
Pasien
Persentase
(%)
Seftriakson Umum 2 × 1000 14 28,57
JKN 2 × 1000 17 34,69
Levofloksasin Umum 1 × 500 12 24,49
JKN 1 × 500 6 12,25
Total 49 100
Penggunaan terapi antibiotik pasien pneumonia juga dibagi berdasarkan status
pembayaran yang perbandingannya dapat dilihat pada tabel 5.4 dan gambar 5.4 diatas.
39
Pasien pneumonia yang mendapatkan terapi antibiotik seftriakson dengan pembayaran
secara umum (biaya pribadi) sebanyak 14 pasien dengan presentase 28,57% sedangkan
pembayaran yang menggunakan asuransi kesehatan sebanyak 17 pasien atau setara
dengan 34,69%. Pada pasien yang mendapatkan terapi levofloksasin, jumlah pasien
dengan status pembayaran umum sebanyak 12 pasien dengan presentase 12,25%
sedangkan jumlah pasien dengan status pembayaran asuransi kesehatan JKN sebanyak
6 pasien atau setara dengan 12,25%. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa
pasien dengan status pembayaran umum maupun JKN lebih banyak mendapatkan
seftriakson sebagai terapi antibiotik pada pasien pneumonia.
5.3 Konsekuensi Pengobatan
Konsekuensi pengobatan pada penelitian diamati melalui lama rawat inap dan
lama laju pernapasan kembali normal sebagai berikut :
5.3.1 Lama Rawat Inap
Konsekuensi pengobatan pasien pneumonia yang mendapatkan terapi antibiotik
seftriakson atau levofloksasin pada penelitian ini menggunakan data lama rawat inap.
Tabel 5.5, gambar 5.1 dan gambar 5.2 di bawah ini menunjukkan lama rawat inap
sebagai konsekuensi pengobatan.
40
Tabel 5.5 Lama Rawat Inap Pasien Pneumonia
Terapi
Antibiotik
Status
Pembayaran
Lama Rawat
Inap (hari)
Jumlah
Pasien
Presentase
(%)
Seftriakson
Umum
3 3 9,7
4 6 19,4
5 1 3.2
6 1 3.2
7 1 3.2
8 1 3.2
10 1 3.2
Total 69 14 45.1
Rata-rata 4,9
JKN
2 1 3.2
3 2 6,5
4 4 12,9
5 4 12,9
6 3 9,7
7 3 9,7
Total 83 17 54,9
Rata-rata 4,88
Total 152 31 100
Rata-rata 4,9
Levofloksasin
Umum
3 5 27,8
4 3 16,7
5 2 11,1
6 2 11,1
Total 49 12 66,7
Rata-rata 4,08
JKN
3 2 11,1
5 2 11,1
8 2 11,1
Total 32 6 33,3
Rata-rata 5,33
Total 34 18 100
Rata-rata 4,5
41
Gambar 5.1 Lama Rawat Inap Pasien Pneumonia yang Menggunakan Seftriakson
Gambar 5.2 Lama Rawat Inap Pasien Pneumonia yang Menggunakan
Levofloksasin
3,2%6,5%
12,9% 12,9%9,7% 9,7%9,7%
19,4%
3,2% 3,2% 3,2% 3,2% 3,2%
0
2
4
6
8
2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari 7 hari 8 hari 10 hari
Jum
lah
Pas
ien
Lama Rawat Inap
Antibiotik Seftriakson
JKN Umum
11,1% 11,1% 11,1%
27,8%
16,7%
11,1% 11,1%
0
1
2
3
4
5
6
3 hari 4 hari 5 hari 6 hari 8 hari
Jum
lah
Pas
ien
Lama Rawat Inap
Antibiotik Levofloksasin
JKN Umum
42
Berdasarkan data diatas diketahui bahwa rentang lama rawat inap pasien yang
menerima terapi antibiotik seftriakson atau levofloksasin berbeda. Pasien yang
menerima antibiotik seftriakson memiliki rentang lama rawat inap lebih besar daripada
pasien yang menerima levofloksasin, yaitu 2 – 10 hari sedangkan pada pasien yang
menerima levofloksasin selama 3 – 8 hari.
Lama rawat inap pasien pneumonia dengan status pembayaran JKN yang
menerima seftriakson lebih banyak selama 4 dan 5 hari, yaitu sebanyak 4 pasien pada
masing-masing kategori dengan persentase sebesar 12,9% sedangkan lama rawat inap
pasien pneumonia dengan status pembayaran umum yang lebih banyak selama 4 hari
dengan jumlah pasien sebesar 6 pasien atau setara dengan 19,4%. Pasien pneumonia
yang menerima antibiotik levofloksasin dengan status pembayaran JKN memiliki lama
rawat inap terlama selama 8 hari sedangkan pasien dengan status pembayaran umum
memiliki lama rawat inap terlama selama 6 hari dengan jumlah pasien sebanyak 6 pasien
atau setara dengan 11,1% dan lama rawat inap terbanyak selama 3 hari dengan jumlah
pasien sebanyak 5 pasien dengan presentase 27,8%.
Rata-rata lama rawat inap pasien pneumonia yang menerima antibiotik
seftriakson lebih besar daripada pasien yang menerima antibiotik levofloksasin, yaitu 4,9
hari sedangkan pasien yang menerima antibiotik levofloksasin sebesar 4,5 hari. Rata-
rata tersebut merupakan nilai rata-rata kombinasi status pembayaran JKN dan umum.
43
5.3.2 Lama Laju Pernapasan Kembali Normal
Laju pernapasan merupakan indikator terjadinya sesak napas pada pasien
pneumonia sehingga dapat digunakan sebagai konsekuensi pengobatan. Data laju
pernapasan pasien pneumonia yang menggunakan terapi antibiotik seftriakson atau
levofloksasin dapat dilihat pada tabel 5.6, gambar 5.3, dan gambar 5.4 yang
menunjukkan lama laju pernapasan kembali normal.
Tabel 5.6 Lama Laju Pernapasan Kembali Normal Pada Pasien Pneumonia
Terapi
Antibiotik
Status
Pembayaran
Lama RR
kembali
normal (hari)
Jumlah
Pasien
Presentase
(%)
Seftriakson
Umum
Umum
1 7 22,6
2 3 9,7
3 1 3,2
5 1 3.2
6 1 3.2
8 1 3.2
Total 37 14 45,1
Rata-rata 2,5
JKN
1 7 22,6
2 3 9,7
3 1 3,2
4 3 9,7
5 3 9,7
Total 43 17 54,9
Rata-rata 2,53
Total 83 31 100
Rata-rata 2,67
Levofloksasin Umum
1 2 11,11
2 8 44,44
3 1 5,56
6 1 5,56
Total 27 12 66,67
44
Terapi
Antibiotik
Status
Pembayaran
Lama RR
kembali
normal (hari)
Jumlah
Pasien
Presentase
(%)
Rata-rata 2,25
JKN
2 3 16,66
3 1 5,56
6 1 5,56
7 1 5,56
Total 22 6 33,34
Rata-rata 3,67
Total 49 18 100.01
Rata-rata 2,72
Gambar 5.3 Lama Laju Pernapasan Kembali Normal Pada Pasien Pneumonia
yang Menggunakan Antibiotik Seftriakson
22,6%
9,7%
3,2% 3,2% 3,2% 3,2%
22,6%
9,7%
3,2%
9,7% 9,7%
0
1
2
3
4
5
6
7
8
1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari 8 hari
Jum
lah
Pas
ien
Lama Laju Pernapasan Kembali Normal
Antribiotik Seftriakson
umum jkn
45
Gambar 5.4 Lama Laju Pernapasan Kembali Normal Pada Pasien Pneumonia
yang Menggunakan Antibiotik Levofloksasin
Berdasarkan data penelitian diatas diketahui bahwa lama laju pernapasan
kembali normal pada pasien yang menerima terapi antibiotik seftriakson atau
levofloksasin berbeda. Pasien yang menerima antibiotik seftriakson memiliki rentang
lama laju pernapasan kembali normal sebesar 1-8 hari dan pasien yang menerima
levofloksasin memiliki rentang sebesar 1-7 hari.
Lama lama laju pernapasan kembali normal pada pasien pneumonia dengan
status pembayaran umum yang menerima seftriakson terlama selama 8 hari dengan
jumlah pasien sebanyak 1 pasien atau setara dengan 3,2% sedangkan lama laju
pernapasan kembali normal dengan status pembayaran JKN terlama selama 5 hari, yaitu
sebanyak 3 pasien persentase sebesar 9,7%. Pasien pneumonia yang menerima
11,11%
44,44%
55,56% 55,56%
16,66%
55,56% 55,56% 55,56%
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1 hari 2 hari 3 hari 6 hari 7 hari
Jum
lah
Pas
ien
Lama Laju Pernapasan Kembali Normal
Antibiotik Levofloksasin
umum JKN
46
antibiotik levofloksasin dengan status pembayaran JKN memiliki lama laju pernapasan
kembali normal lebih lama selama 6 hari sebanyak 1 pasien dengan persentase 5,56%
sedankan pasien dengan status pembayaran umum memiliki lama laju pernapasan
kembali normal lebih lama selama 7 hari dengan jumlah pasien sebanyak 1 pasien atau
setara dengan 5,56%.
Rata-rata lama laju pernapasan kembali normal pasien pneumonia yang
menerima antibiotik levofloksasin lebih besar daripada pasien yang menerima antibiotik
seftriakson, yaitu 2,72 hari sedangkan pasien yang menerima antibiotik levofloksasin
sebesar 2,67 hari. Rata-rata tersebut merupakan nilai rata-rata kombinasi status
pembayaran JKN dan umum.
5.3.3 Analisis Konsekuensi Penggunaan Antibiotik
Konsekuensi penggunaan antibiotik seftriakson dan levofloksasin diukur dari
lama rawat inap dan lama laju pernapasan kembali normal. Dua parameter pengukuran
konsekuensi tersebut diasumsikan memiliki homogenitas atau kesetaraan. Berikut tabel
5.8 yang menunjukkan hasil uji homogenitas pada lama rawat inap dan lama laju
pernapasan kembali normal pada pasien pneumonia.
47
Tabel 5.7 Hasil Uji Homogenitas Penggunaan Antibiotik Seftriakson dan
Levofloksasi pada Pasien Pneumonia
No Data Sig. (p) Kesimpulan
1. Lama Rawat Inap 0,519 Data Homogen
2.
Lama Laju
Pernapasan
Kembali Normal
0,099 Data Homogen
Berdasarkan uji homogenitas yang telah dilakukan didapatkan hasil berupa nilai
signifikasi p. Pada data lama rawat inap nilai yang didapat sebesar 0,519 dan pada data
lama laju pernapasan kembali normal nilai p yang didapat sebesar 0,099. Berdasarkan
dari kedua nilai p tersebut maka data dapat dikatakan homogen karena nilai p > 0,05.
Hal ini menunjukkan bahwa outcome pasien setelah diberikan terapi antibiotik setara.
5.3.4 Perhitungan Analisis Minimalisasi Biaya
Biaya pengobatan pasien pneumonia pada penelitian ini diukur melalui biaya
langsung yang dikeluarkan. Biaya langsung tersebut meliputi biaya obat, biaya rawat
inap, biaya administrasi, biaya tenaga medis, biaya laboratorium, dan biaya penunjang
lain.
48
Tabel 5.8 Perhitungan Analisis Minimalisasi Biaya Pasien Pneumonia dengan Status Pembayaran Umum
Terapi
Antibiotik No. RM
Biaya
Antibiotik
Biaya IRNA +
Administrasi
Rp 10.000,00
Biaya
Laboratorium
Biaya Tenaga
Medis
Biaya
Penunjang
Lain
Total Biaya
Seftriakson
997 xxx Rp 149,172.00 Rp 2,565,000.00 Rp 165,000.00 Rp1,120,000.00 Rp628,857.14 Rp4,628,029.14
616 xxx Rp 49,724.00 Rp 730,958.33 Rp 277,166.67 Rp 348,333.33 Rp628,857.14 Rp2,035,039.48
108 xxx Rp 49,724.00 Rp 974,611.11 Rp 277,166.67 Rp 464,444.44 Rp628,857.14 Rp2,394,803.37
100 xxx Rp 49,724.00 Rp 542,500.00 Rp 143,000.00 Rp 255,000.00 Rp628,857.14 Rp1,619,081.14
950 xxx Rp 99,448.00 Rp 1,316,500.00 Rp 383,000.00 Rp 420,000.00 Rp628,857.14 Rp2,847,805.14
657 xxx Rp 124,310.00 Rp 1,705,569.44 Rp 277,166.67 Rp 812,777.78 Rp628,857.14 Rp3,548,681.03
104 xxx Rp 174,034.00 Rp 2,074,000.00 Rp 253,000.00 Rp 960,000.00 Rp450,000.00 Rp3,911,034.00
537 xxx Rp 99,448.00 Rp 1,218,263.89 Rp 277,166.67 Rp 580,555.56 Rp628,857.14 Rp2,804,291.25
109 xxx Rp 74,586.00 Rp 974,611.11 Rp 277,167.67 Rp 464,444.44 Rp628,857.14 Rp2,419,666.37
953 xxx Rp 99,448.00 Rp 1,282,500.00 Rp 165,000.00 Rp 560,000.00 Rp628,857.14 Rp2,735,805.14
101 xxx Rp 74,586.00 Rp 663,000.00 Rp 305,500.00 Rp 475,000.00 Rp628,857.14 Rp2,146,943.14
759 xxx Rp 74,586.00 Rp 1,282,500.00 Rp 165,000.00 Rp 560,000.00 Rp628,857.14 Rp2,710,943.14
109 xxx Rp 124,310.00 Rp 1,308,000.00 Rp 137,500.00 Rp 580,000.00 Rp628,857.14 Rp2,778,667.14
109 xxx Rp 49,724.00 Rp 1,282,500.00 Rp165,000.00 Rp560,000.00 Rp628,857.14 Rp2,686,081.14
Jumlah Rp1,292,824.00 Rp17,920,513.89 Rp3,267,834.35 Rp8,160,555.56 Rp8,625,142.82 Rp39,266,870.61
Rata-rata Rp92,344.57 Rp1,280,036.71 Rp233,416.74 Rp582,896.83 Rp616,081.63 Rp2,804,776.47
Levofloksasin
108 xxx Rp80,346.00 Rp799,000.00 Rp474,000.00 Rp440,000.00 Rp728,857.14 Rp2,522,203.14
109 xxx Rp133,910.00 Rp1,013,000.00 Rp298,000.00 Rp600,000.00 Rp628,857.14 Rp2,673,767.14
415 xxx Rp80,346.00 Rp1,342,500.00 Rp364,000.00 Rp330,000.00 Rp330,000.00 Rp2,446,846.00
106 xxx Rp53,564.00 Rp516,000.00 Rp175,000.00 Rp305,000.00 Rp628,857.14 Rp1,678,421.14
107 xxx Rp107,128.00 Rp804,123.81 Rp370,857.14 Rp376,000.00 Rp628,857.14 Rp2,286,966.09
619 xxx Rp107,128.00 Rp1,005,154.76 Rp370,857.14 Rp470,000.00 Rp628,857.14 Rp2,581,997.04
982 xxx Rp53,564.00 Rp579,500.00 Rp208,000.00 Rp320,000.00 Rp628,857.14 Rp1,789,921.14
104 xxx Rp80,346.00 Rp634,000.00 Rp497,500.00 Rp295,000.00 Rp210,000.00 Rp1,716,846.00
49
Terapi
Antibiotik No. RM
Biaya
Antibiotik
Biaya IRNA +
Administrasi
Rp 10.000,00
Biaya
Laboratorium
Biaya Tenaga
Medis
Biaya
Penunjang
Lain
Total Biaya
100 xxx Rp80,346.00 Rp585,000.00 Rp478,500.00 Rp255,000.00 Rp628,857.14 Rp2,027,703.14
994 xxx Rp160,692.00 Rp1,206,185.71 Rp370,857.14 Rp564,000.00 Rp628,857.14 Rp2,930,591.99
452 xxx Rp107,128.00 Rp863,000.00 Rp445,000.00 Rp400,000.00 Rp450,000.00 Rp2,265,128.00
100 xxx Rp53,564.00 Rp780,500.00 Rp318,000.00 Rp235,000.00 Rp450,000.00 Rp1,837,064.00
Jumlah Rp1,098,062.00 Rp10,127,964.29 Rp4,370,571.42 Rp4,590,000.00 Rp6,570,857.12 Rp26,757,454.83
Rata-rata Rp91,505.17 Rp843,997.02 Rp364,214.29 Rp382,500.00 Rp547,571.43 Rp2,229,787.90
50
Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa pasien pneumonia yang
mendapatkan terapi antibiotik levofloksasin dengan status pembayaran umum
memiliki rata-rata total biaya yang lebih rendah daripada pasien yang menerima terapi
antibiotik seftriakson yaitu sebesar Rp Rp2,229,787.90 dengan rincian rata-rata biaya
antibiotik sebesar Rp91,505.17, rata-rata biaya IRNA + administrasi Rp 10.000,00
sebesar Rp 843.997,02, rata-rata biaya laboratorium sebesar Rp 364.214,29, rata-
rata biaya tenaga medis sebesar 382.500,00, dan rata-rata biaya penunjang lain
sebesar Rp 547.571,43. Adapun rata-rata total biaya pasien pneumonia yang
menerima antibiotik seftriakson dengan status pembayaran umum sebesar Rp
2.804.776,47 dengan rincian rata-rata biaya antibiotik sebesar Rp 92.344,57, rata-rata
biaya IRNA + Rp 10.000,00 sebesar Rp 1.280.038,71, rata-rata biaya laboratorium
sebesar Rp 233.416,74, rata-rata biaya tenaga medis sebesar Rp 582.896,83, dan
rata-rata biaya penunjang sebesar Rp 616.081,63
51
Tabel 5.10 Perhitungan Analisis Minimalisasi Biaya Pasien Pneumonia dengan Status Pembayaran JKN
Terapi
Antibiotik No. RM
Biaya
Antibiotik
Biaya IRNA +
Administrasi
Rp 10.000,00
Biaya
Laboratorium
Biaya Tenaga
Medis
Biaya Penunjang
Lain Total Biaya
Seftriakson
595 xxx Rp99,482.00 Rp1,047,792.99 Rp316,571.43 Rp533,465.61 Rp628,857.14 Rp2,626,169.17
991 xxx Rp49,724.00 Rp433,500.00 Rp291,000.00 Rp210,000.00 Rp628,857.14 Rp1,613,081.14
103 xxx Rp124,310.00 Rp1,289,000.00 Rp803,500.00 Rp648,000.00 Rp990,000.00 Rp3,854,810.00
100 xxx Rp74,586.00 Rp669,500.00 Rp307,500.00 Rp325,000.00 Rp630,000.00 Rp2,006,586.00
105 xxx Rp124,310.00 Rp931,000.00 Rp724,500.00 Rp475,000.00 Rp692,857.14 Rp2,947,667.14
105 xxx Rp124,310.00 Rp1,257,351.59 Rp316,571.43 Rp640,158.73 Rp628,857.14 Rp2,967,248.89
106 xxx Rp149,172.00 Rp1,466,910.19 Rp316,571.43 Rp746,851.85 Rp628,857.14 Rp3,308,362.61
105 xxx Rp99,448.00 Rp840,000.00 Rp206,500.00 Rp280,000.00 Rp628,857.14 Rp2,054,805.14
100 xxx Rp99,448.00 Rp979,000.00 Rp230,500.00 Rp350,000.00 Rp210,000.00 Rp1,868,948.00
109 xxx Rp149,172.00 Rp963,500.00 Rp316,571.43 Rp530,000.00 Rp628,857.14 Rp2,588,100.57
106 xxx Rp99,448.00 Rp845,000.00 Rp316,571.43 Rp430,000.00 Rp628,857.14 Rp2,319,876.57
103 xxx Rp99,448.00 Rp1,328,500.00 Rp281,000.00 Rp730,000.00 Rp1,170,000.00 Rp3,608,948.00
100 xxx Rp74,586.00 Rp508,000.00 Rp138,000.00 Rp295,000.00 Rp628,857.14 Rp1,644,443.14
104 xxx Rp149,172.00 Rp1,537,000.00 Rp335,500.00 Rp610,000.00 Rp1,170,000.00 Rp3,801,672.00
103 xxx Rp99,448.00 Rp1,316,500.00 Rp258,000.00 Rp610,000.00 Rp594,000.00 Rp2,877,948.00
109 xxx Rp74,586.00 Rp1,047,792.99 Rp316,571.43 Rp533,465.61 Rp628,857.14 Rp2,601,273.17
836 xxx Rp149,172.00 Rp1,107,000.00 Rp188,000.00 Rp720,000.00 Rp590,000.00 Rp2,754,172.00
Jumlah Rp1,839,822.00 Rp17,567,347.75 Rp5,663,428.58 Rp8,666,941.80 Rp11,706,571.40 Rp45,444,111.53
Rata-rata Rp108,224.82 Rp1,033,373.40 Rp333,142.86 Rp509,820.11 Rp688,621.85 Rp2,673,183.03
Levofloksasin
786 xxx Rp133,910.00 Rp1,169,645.83 Rp233,929.17 Rp494,291.67 Rp628,857.14 Rp2,660,633.81
104 xxx Rp80,346.00 Rp603,500.00 Rp213,000.00 Rp295,000.00 Rp210,000.00 Rp1,401,846.00
413 xxx Rp80,346.00 Rp706,375.00 Rp416,000.00 Rp239,375.00 Rp628,857.14 Rp2,070,953.14
716 xxx Rp133,910.00 Rp1,177,291.67 Rp416,000.00 Rp398,958.33 Rp628,857.14 Rp2,755,017.14
52
No. RM Biaya
Antibiotik
Biaya IRNA +
Administrasi
Rp 10.000,00
Biaya
Laboratorium
Biaya Tenaga
Medis
Biaya Penunjang
Lain Total Biaya
988 xxx Rp160,692.00 Rp2,158,000.00 Rp619,000.00 Rp490,000.00 Rp1,350,000.00 Rp4,777,692.00
108 xxx Rp160,692.00 Rp1,871,433.33 Rp233,929.17 Rp790,866.67 Rp628,857.14 Rp3,685,778.31
Jumlah Rp749,896.00 Rp7,686,245.83 Rp2,131,858.34 Rp2,708,491.67 Rp4,075,428.56 Rp17,351,920.40
Rata-rata Rp124,982.67 Rp1,281,040.97 Rp355,309.72 Rp451,415.28 Rp679,238.09 Rp2,891,986.73
53
Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa pasien pneumonia yang
menerima antibiotik seftriakson dengan status pembayaran JKN memiliki rata-rata
total biaya lebih rendah daripada pasien yang menerima antibiotik levofloksasin, yaitu
Rp 2.673.183,03 dengan rincian rata-rata biaya antibiotik sebesar Rp 108.224,82,
rata-rata biaya IRNA + administrasi Rp 10.000,00 sebesar Rp 1.033.374,40, rata-rata
biaya laboratorium sebesar Rp 333.142,86, rata-rata biaya tenaga medis sebesar Rp
509.820,11, dan rata-rata biaya penunjang lain sebesar adalah Rp 688.621,85.
Adapun rata-rata total biaya pasien pneumonia yang menerima antibiotik levofloksasin
dengan status pembayaran JKN sebesar Rp 2.891.986,73 dengan rincian rata-rata
biaya antibiotik sebesar Rp 124.982,67, rata-rata biaya IRNA + administrasi Rp
10.000,00 sebesar Rp 1.281.040,97, rata-rata biaya laboratorium sebesar Rp
355.309,72, rata-rata biaya tenaga medis sebesar Rp 451.415,28, dan rata-rata biaya
penunjang lain sebesar Rp 679.238,09
54
BAB 6
PEMBAHASAN
6.1 Pembahasan Hasil Penelitian
Pneumonia merupakan penyakit infeksi radang paru yang umumnya
disebabkan oleh infeksi bakteri, terutama bakteri Streptococcus pneumoniae. Infeksi
ini menyebabkan adanya eksudasi interalveoral, yaitu keluarnya cairan secara lambat
yang mengandung leukosit dan protein. Hal ini menyebabkan pemadatan pada paru.
Manifestasi klinis pasien pneumonia berupa sakit kepala, demam, batuk berdahak,
sesak napas, dan menggigil (Lyrawati dan Leonita, 2012; Dinas Kesehatan Kota Batu,
2014 ).
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Karsa Husada Batu dari
periode Mei 2016 hingga Mei 2017. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
penggunaan antibiotik seftriakson atau levofloksasin pada pasien pneumonia
berdasarkan metode analisis minimalisasi biaya. Analisis dilakukan pada pasien
dengan status pembayaran umum maupun JKN dengan mengamati lama rawat inap
dan lama laju pernapasan kembali normal sehingga dapat diketahui antibiotik yang
lebih terjangkau.
Pneumonia paling rentan terjadi pada anak-anak dengan usia kurang dari dua
tahun dan orang dewasa dengan usia lebih dari 65 tahun serta orang-orang yang
memiliki masalah kesehatan tertentu, seperti gangguan sistem imun dan malnutrisi
(Dinas Kesehatan Kota Batu, 2014). Peningkatan jumlah penderita pneumonia mulai
55
terjadi pada rentang usia 45-54 tahun dan terus meningkat seiring bertambahnya usia.
Prevalensi penderita mengalami pengingkatan pada usia semua umur dari 2,1% pada
tahun 2007 menjadi 2,7% pada tahun 2013 (Riskesdas,2013). Pasien pneumonia
pada laki-laki lebih banyak daripada pasien perempuan dengan kelompok umur yang
sama. Pada usia 59-85 tahun pasien yang mengalami infeksi saluran pernapasan
bagian bawah meningkat dua kali lipat dan risiko tujuh kali lipat mengalami CAP
(Community Acquired Pneumonia) dibandingkan dengan usia 65-69 tahun. Pada
penelitian ini didapatkan data jumlah pasien laki-laki yang mengalami pneumonia
sebanyak 35 pasien atau setara dengan 71,43% dan pasien perempuan yang
mengalami pneumonia sebanyak 14 pasien dengan presentase sebesar 28,57%
sesuai dengan tabel 5.1. Jumlah pasien laki-laki yang lebih banyak daripada pasien
perempuan telah sesuai dengan literatur yang didapatkan.
Jumlah data pasien pneumonia yang mendapatkan terapi antibiotik seftriakson
atau levofloksasin selama periode Mei 2016 hingga Mei 2017 sebanyak 49 pasien.
Data tersebut terdiri dari dua jenis status pembayaran, yaitu umum dan JKN. Jumlah
pasien dengan status pembayaran umum lebih besar daripada pasien dengan status
pembayaran JKN. Namun, selisih jumlah pasien diantaranya kedua jenis pembayaran
tersebut tidak jauh berbeda. Pasien pneumonia dengan status pembayaran umum
berjumlah 26 pasien dengan presentase sebesar 53,06% dan pasien pneumonia
dengan status pembayaran JKN sebanyak 23 pasien atau setara dengan 46,94%.
Antibiotik yang diteliti pada penelitian terdiri dari dua macam, yaitu seftriakson
yang merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga dan levofloksasin
yang merupakan antibiotik golongan fluoroquinolon yang diindikasikan untuk pasien
56
pneumonia. Pneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri Streptococcus
pneumoniae yang merupakan bakteri gram positif. Seftriakson memiliki spektrum
yang cukup luas, yaitu bakteri gram positif, bakteri gram negatif, mikroorganisme
anaerobik, dan mikroorganisme aerobik (Buch, 2009). Levofloksasin juga memiliki
aktivitas melawan bakteri gram positif dan bakteri gram negatif (Hauser, 2013). Pada
penelitian ini, seftriakson diberikan dengan dosis 1000 mg sebanyak dua kali dalam
sehari sedangkan levofloksasin diberikan dengan dosis 500 mg sebanyak satu kali
dalam sehari. Dosis yang diberikan kepada pasien pneumonia telah sesuai. Dosis
seftriakson berdasarkan AHFS sebanyak 1-2 gram satu kali sehari atau dapat
diminum terbagi menjadi dua kali sehari dan dosis levofloksasin yang
direkomendasikan sebesar 500 mg setiap 24 jam (AHSF, 2011). Pasien yang
menerima terapi seftriakson lebih banyak daripada pasien yang menerima terapi
levofloksasin, yaitu 31 pasien (63,27%) sedangkan pasien yang menerima
levofloksasin sebanyak 18 pasien (36,73%). Adapun rincian pasien sesuai dengan
status pembayaran, yaitu pasien pneumonia yang mendapatkan terapi antibiotik
seftriakson dengan status pembayaran umum sebanyak 14 pasien (28,57%)
sedangkan pasien dengan status pembayaran JKN sebanyak 17 pasien (34,69%).
Pasien pneumonia yang mendapatkan terapi levofloksasin dengan status
pembayaran umum sebanyak 12 pasien (24,49%) dan pasien dengan status
pembayaran JKN sebanyak 6 pasien (12,25%).
Konsekuensi pengobatan yang diamati pada penelitian ini adalah lama rawat
inap dan lama laju pernapasan kembali normal. Konsekuensi pengobatan diamati
bertujuan untuk mengetahui adanya peningkatan efektivitas dari terapi yang diberikan.
57
Data konsekuensi pengobatan yang diamati pada analisis minimalisasi biaya diukur
homogenitas supaya dapat diketahui terapi seftriakson atau levofloksasin pada pasien
pneumonia memberikan konsekuensi yang ekuivalen atau setara. Hasil uji
homogenitas menunjukkan nilai signifikasi p sebesar 0,519 pada data lama rawat inap
dan 0,099 pada data lama laju pernapasan kembali normal. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa lama rawat inap dan lama laju pernapasan kembali normal
memiliki outcome atau konsekuensi yang setara karena nilai homogenitas dikatakan
setara apabila nilai p>0,05.
Rentang lama rawat inap pasien pneumonia yang menggunakan terapi
antibiotik seftriakson, yaitu 2-10 hari sedangkan rentang lama rawat inap pasien
levofloksasin sebesar 3-8 hari. Rata-rata lama rawat inap pasien pneumonia yang
menggunakan terapi seftriakson sebesar 4,9 hari sedangkan rata-rata lama rawat inap
pasien yang mendapatkan terapi levofloksasin sebesar 4,5 hari. Hal ini menunjukkan
bahwa pasien yang menggunakan terapi levofloksasin memiliki total rata-rata lama
rawat inap lebih rendah daripada pasien yang mendapatkan terapi seftriakson
walaupun perbedaan antara kedua kategori tersebut tidak jauh berbeda. Berdasarkan
literatur rata-rata lama rawat inap pasien pneumonia di Rumah Sakit Highland sebesar
4,47 hari dan rata-rata lama rawat inap pasien pneumonia di Amerika Serikat sebesar
5,4 hari (University of Rochester Medical Center, 2017). Rata-rata tersebut
menunjukkan bahwa lama rawat inap pasien pada penelitian ini sesuai dengan
literatur.
Konsekuensi pengobatan lainnya adalah lama laju pernapasan kembali
normal. Rentang lama laju pernapasan kembali normal pada pasien yang
58
mendapatkan terapi seftriakson sebesar 1-8 hari sedangkan rentang pada pasien
pneumonia yang mendapatkan terapi levofloksasin sebesar 1-7 hari. Rata-rata total
lama laju pernapasan kembali normal sebesar 2,67 hari pada pasien yang menerima
seftriakson dan 2,72 hari pada pasien yang mendapatkan levofloksasin. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa pasien yang mendapatkan terapi levofloksasin memilki waktu
lama laju pernapasan kembali normal sedikit lebih lama daripada pasien yang
menerima seftriakson sebagai antibiotik. Laju pernapasan normal berkisar 12-20 kali
permenit apabila laju pernapasan dibawah 12 ataupun diatas 25 kali permenit
dianggap tidak normal (Cleveland Clinic, 2017). Pasien umumnya memiliki laju
pernapasan tidak lebih dari 25 kali permenit hingga keluar dari rumah sakit sehingga
pasien dapat dipulangkan karena kondisi klinis yang membaik dan atas pertimbangan
dokter.
Perhitungan analisis minimalisasi biaya diukur dari biaya langsung yang
dikeluarkan oleh pasien atau keluarga pasien. Total biaya langsung yang diukur terdiri
dari beberapa macam, yakni biaya antibiotik, biaya instalasi rawat inap, biaya
administrasi, biaya laboratorium, biaya tenaga medis, dan biaya penunjang lain. Data
biaya tersebut dapat diamati melalui tabel 5.8 dan tabel 5.9.
Berdasarkan tabel 5.8 diketahui bahwa rata-rata total biaya perawatan yang
dibutuhkan pasien pneumonia yang menggunakan terapi seftriakson dan
levofloksasin dengan status pembayaran umum secara berturut-turut sebesar Rp
2.804.776,47 dan Rp 2.229.787,90. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pasien yang
mendapatkan terapi antibiotik levofloksasin dengan status pembayaran umum
59
memilki biaya yang lebih terjangkau dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan
terapi seftriakson.
Rata-rata total biaya yang dikeluarkan pasien pneumonia dengan status
pembayaran asuransi kesehatan JKN dapat diamati pada tabel 5.9. Pasien yang
mendapatkan terapi seftriakson dengan status pembayaran JKN memiliki rata-rata
total biaya sebesar Rp 2.673.183,03 sedangkan pasien yang mendapatkan terapi
levofloksasin memiliki rata-rata total biaya sebesar Rp 2.891.986,73. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa pasien yang mendapatkan terapi seftriakson memiliki biaya yang
lebih terjangkau daripada pasien yang menerima terapi levofloksasin.
Perbedaan biaya perawatan setiap pasien disebabkan oleh beberapa hal,
seperti kelas perawatan, lama perawatan dan status pembayaran yang berbeda.
Selain itu, komponen dari masing-masing kategori biaya dapat berbeda antara satu
pasien dengan pasien lainnya. Harga antibiotik di RSU Karsa Husada Batu ditetapkan
oleh instalasi farmasi rumah sakit dengan harga seftriaskon sebesar Rp 12.431,00/vial
dan levofloksasin sebesar Rp 26.782,00/vial. Pada penelitian yang dilakukan di RSU
Karsa Husada Batu ini, harga antibiotik seftriakson dan levofloksasin tidak dibedakan
untuk pasien dengan status pembayaran umum maupun JKN karena sesuai dengan
kebijakan yang ditetapkan oleh pihak rumah sakit tersebut. Harga antibiotik juga tidak
dibedakan berdasarkan kelas-kelas rawat inap sehingga perbedaan biaya terletak
pada jumlah pemakaian antibiotik dan biaya langsung lainnya selama pasien
mendapatkan perawatan di rumah sakit.
Komponen biaya langsung selain antibiotik pada penelitian ini terdiri dari biaya
instalasi rawat inap, biaya administrasi, biaya laboratorium, biaya tenaga medis, dan
60
biaya penunjang lain. Biaya administrasi yang dibebankan pada setiap pasien sama
sebesar Rp 10.000,00. Komponen biaya tenaga medis berbeda tergantung pada
jumlah visite dokter, biaya asisten keperawatan, biaya konsultasi bersama tenaga
medis, dan biaya konsultasi gizi. Biaya penunjang lain merupakan biaya yang
dibebankan kepada pasien karena mendapatkan terapi penunjang selama perawatan
di rumah sakit, seperti pemberian oksigen yang disesuaikan dengan lama dan jumlah
pemakaian, radiologi, dan spirometri. Setiap pasien mendapatkan terapi penunjang
berbeda-beda yang mempengaruhi lama rawat inap dan lama laju pernapasan
kembali normal sebagai konsekuensi pengobatan. Lama perawatan mempengaruhi
biaya yang dikeluarkan pasien karena semakin lama pasien dirawat di rumah sakit
maka semakin tinggi biaya yang akan dibebankan kepada pasien. Hal tersebut yang
menyebabkan perbedaan komponen biaya penunjang lain dan biaya tenaga medis
dalam penelitian ini.
6.2 Implikasi Terhadap Bidang Farmasi
Penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata biaya yang dikeluarkan pada
pasien pneumonia yang mendapatkan terapi levofloksasin dengan status pembayaran
umum maupun JKN lebih terjangkau daripada pasien yang mendapatkan seftriakson.
Apabila dilihat dari setiap status pembayaran, pasien yang menerima terapi
seftriakson menawarkan biaya yang lebih terjangkau dengan status pembayaran JKN
sedangkan pasien dengan status pembayaran umum penggunaan levofloksasin yang
lebih terjangkau.
61
Hasil penelitian farmakoekonomi ini dapat membantu memberikan
pertimbangan kepada tenaga kesehatan dan penyedia layanan kesehatan bahwa
biaya yang dikeluarkan dapat ditekan dengan memberikan terapi yang sesuai dari
beberapa pilihan berdasarkan analisis minimalisasi biaya dengan konsekuensi yang
ekuivalen. Konsekuensi pengobatan yang diamati dapat diukur kesataraannya
sehingga pemilihan terapi lebih tepat. Pada pasien pneumonia yang mendapatkan
terapi antibiotik seftriakson dengan status pembayaran JKN lebih disarankan
sedangkan pada pasien dengan status pembayaran umum lebih disarankan
mendapatkan terapi levofloksasin. Hal tersebut didasarkan pada perbedaan rata-rata
total biaya langsung yang dikeluarkan oleh pasien selama mendapatkan perawatan di
rumah sakit.
6.3 Keterbatasan Penelitian
Adapun keterbatasan pada penelitian ini sebagai berikut :
a. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode retrospektif sehingga
menyebabkan keterbatasan jumlah dan pengolahan data.
b. Analisis dilakukan menggunakan data obat generik dengan status
pembayaran umum dan JKN sedangkan analisis minimalisasi biaya dapat
digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi yang memiliki hasil
yang setara sehingga dapat dilakukan untuk membandingkan obat generik
dan obat paten.
62
c. Sampel pada penelitian ini merupakan pasien yang didiagnosis pneumonia
pada diagnosis primer sehingga pasien pneumonia pada infeksi sekunder
tidak terdapat dalam sampel penelitian. Hal ini menyebabkan hasil penelitian
lebih mewakili pasien pneumonia pada infeksi primer.
.
63
BAB 7
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian analisis minimalisasi biaya antibiotik empiris
seftriakson dan levofloksasin pada pasien pneumonia yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa pasien pneumonia yang mendapatkan terapi seftriakson
merupakan kelompok dengan biaya yang lebih minimal dengan status pembayaran
JKN sedangkan levofloksasin memiliki biaya yang lebih minimal dengan status
pembayaran umum.
7.2 Saran
Saran yang dapat diberikan untuk penelitian farmakoekonomi selanjutnya
sebagai berikut:
1. Analisis minimalisasi biaya penggunaan antibiotik seftriakson atau
levofloksasin pada pasien pneumonia dapat dilakukan dengan menggunakan
teknik lain, seperti prospektif.
2. Analisis minimalisasi biaya dapat dilakukan dengan membandingkan obat
generik dan obat paten.
3. Sampel penelitian sebaiknya pasien pneumonia pada infeksi primer dan
infeksi sekunder sehingga dapat mewakili pneumonia CAP dan HAP.
64
DAFTAR PUSTAKA
American Thoracic Society, What is Pneumonia?. American Thoracic Society, 2016 193 : p.1-2.
American Society of Health-System Pharmacists. 2011. AHFS Drug Information Essentials, Bethesda.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan . 2013. Riset Kesehatan Dasar, Jakarta. hal. v.
Ballestas, H.C., Calvery, J.A., Cooper, K., Gamblian, V.C., Reeves, D., Seiler, K.S., et
al,2007 . Interpreting Signs and Symptomps, Lippincott Williams & Wilkins, Philadepia, p. 544
Ballestas, H.C., Calvery, J.A., Cooper, K., Gamblian, V.C., Reeves, D., Seiler, K.S., et
al, 2008 .Nurse’s Five-Minute Clinical Consult: Sign and Symptoms, Lippincott Williams & Wilkins, Philadepia, p. 295
Buch, J. G., 2009. FAQ in Pharmacology, PDU Medical College, India, p. 570-571.
Bootman, J.L., Townsend, R.J., McGhan, W., 2005. Principles of
Pharmacoeconomics, 3rd Ed., Harvey Whitney Book Company, USA, p.3,7,8,85.
Cleveland Clinic, 2017. Vital Sign, https://my.clevelandclinic.org/health/articles/vital-signs, diakses pada 28 Juli 2017
Dipiro Josep T., Talbert Robert L., Yee Gary C., Matzke Gary R., Wells Barbara G.,
and Posey L Michael., 2008. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 7th Ed, Mc Graw Hills, USA, p. 1947
Dellinger, R.P., Levy, M.M., Rhodes A., Annane, D., Gerlach, H., Opal, S.M. Surviving
Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock:2012, Critical Care Medicine, 2012, 41 (2): 588-589.
65
Hauser, A. L., 2013. Antibiotic Basics For Clinicians, 2nd Ed., Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, p. 89.
Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman M.P., Lance L.L., 2009. Drug Information
Handbook, 17th Edition, Lexi-Comp, USA.
Lyrawati, D dan Leonita, N. L. M. 2012. Sistem Pernafasan: Assessment, Patofisiologi,
dan Terapi Gangguan Pernafasan, Malang. hal. 18.
Lofmark, S., Edlund C., Nord, C.E. Metronidazole Is Stillthe Drug of Choice for Treatment of Anaerobic Infections.Critical Care Med., 2010, 50 (suppl 1):518-522.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Pneumonia Balita, Pusat Data dan Surveilans Indonesia, Jakarta, hal. 22-23.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Riskesdas 2013, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta, hal. v, 67.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi, Bina Pelayanan Kefarmasian, Jakarta, hal. 16.
Manuaba, I.B.G., Manuaba I.A.C., Manuaba I.B.G.F., 2007. Pengatar Kuliah Obstetri, EGC. Jakarta, hal. 887.
Martindale, 2009. Martindale : The Complete Drug Reference 36th Edition, Pharmaceutical Press, London, p.237, 292
Mattila, J.T., Fine, M.J., Limper, A.H., Murray P.R., Chen, B.B., Lin, P.L., Pneumonia Treatment and Diagnosis, American Toracic Society, 2014 11 (4): p. S191.
Mandell, L.A., Wunderink, R.G., Anzueto, A., Bartlett, J.G., Campbell, G.D., Dean, N.C., et al. Infectious Diseases Society of America/American Thoracic Society
66
Consensus Guidelines on the Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults. Clinical Infection Disease, 2007, 44 (suppl 2):S44-S45.
Mayr, F.B., Yende, S., Angus, D.C.Epidemiology of Severe Sepsis.Virulence, 2014, 5 (1): 5-6.
Medline Plus Web site. Pneumonia. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article /000145.htm. diakses pada 8 Agustus 2017
Millet, E.R.C., Quint J.K., Smeeth, L., Daniel, R. M., Thomas, S.L. Community-Acquired Lower Respiratory Tract Infections and Pneumonia among older Adults in The United Kingdom: A Population-Based Study. Plos One, 2013, 8 (9) : 3 & 6.
Mizgerd JP. Acute lower respiratory tract infection. N Engl J Med 2008;358:716–727
Napitupulu, H.H. Laporan Kasus : Sepsis. Anestesia & Critiical Care, 2010, 28 (3): 50-52.
National Clinical Effectiveness Committee. 2014. Sepsis Management : National Guideline No. 6., An Roinn Slainte, Department of Health, Irlandia, p. 1, 17-18.
Nugroho, F., Utami, P.I., Yuniasi, I., Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Penyakit Pneumonia di Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga, jurnal pharmacy, 2011 8 (1): 141.
Oemata, Y., Manopo J.I.C., Runtunuwu A.L.Peran Sepsis dalam Patofisiologi Sepsis dan Syok Septik pada Anak, Jurnal Biomedik, 2009, 1 (3): 167-169.
Purwanti, O. S., Abdulah R., Pradipta I.S., Rahayu C. Analisis Minimalisasi Biaya Penggunaan Antibiotik empiric Pasien Sepsis Sumber Infeksi Pernapasan. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, 2014, 3 (1):11-15.
67
Saraswati, D.D., Pudjiadi A.H., Djer, M.M., Supriyatno, B., Syarif, D.R., dan Kurniati N. Faktor Risiko yang Berperang pada Mortalitas Sepsis, Sari Pediatri, 2014, 15(5): 281-282.
Somantri, I., 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan, Salemba Medika, p. 69.
Tatro, D. S., 2003. A To Z Drug Facts: Facts and Comparison, USA
Tjandrawinata R. R. Peran Farmakoekonomi dalam Penentuan Kebijakan yang Berkaitan dengan Obat – Obatan. Medicinus, 2016, 29 (1): 49-51.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003. Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, PDPI, Jakarta, p. 12-13
University of Rochestes Medical Center, 2017. Average Length of Stay, New York, https://www.urmc.rochester.edu/highland/quality-of-care/pneumonia/pneu_ st ay .aspx, diakes pada 28 Juli 2017
World Health Organization. 2016. WHO. Pneumonia, (http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/, diakses pada 16 Juli 2017)
Top Related