TINJAUAN KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DALAM
KONTROVERSI PEMUATAN KARIKATUR NABI MUHAMMAD
DI MEDIA MASSA INTERNASIONAL
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester
Mata Kuliah Media dan Komunikasi Antar Budaya
UI 2010
K O M U N I K A S I | F I S I P UI | 2 0 1 0
Oleh
AULIA DWI NASTITI | 0906561452
1 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
Definisi Budaya
Kehidupan manusia tidak akan pernah dapat dilepaskan dari budaya karena dalam budaya
lah manusia sejatinya hidup. Namun seringkali manusia tidak menyadari apa itu budaya, dan apa
kaitannya dengan kehidupannya. Dalam bukunya, Communicating Across Culture, Gudykunst dan
Kim (2003) mensarikan definisi Keesing (1974) mengenai budaya sebagai sebuah rujukan yang selalu
kita gunakan dalam berinteraksi. Pada dasarnya, kita tidak menyadari kehadiran budaya sebagai
pedoman dalam keseharian kita, tetapi perilaku kita merefleksikan bahwa seolah-seolah ada
kesepakatan umum terhadap pedoman tersebut. Sementara itu, Ting Too-Mey (1999) merujuk pada
D’Andrade (1984) merumuskan budaya sebagai sebuah kerangka rujukan yang kompleks yang terdiri
dari berbagai pola-pola tradisi, kepercayaan, nilai, norma, simbol, dan makna, yang ditularkan dalam
berbagai tataran masyarakat melalui proses interaksi dan sosialisasi dalam anggota kelompok sosial
tertentu.
Oleh karena itulah, budaya dapat disebut sebagai enigma (Ting Too-Mey, 1999) karena ia
memilki baik komponen konkret dan abstrak. Berbagai elemen tersebut terdapat dalam diri manusia
dan dapat dinyatakan dalam metafora gunung es. Lapisan dasar (jumlahnya sebagian besar) diisi oleh
komponen-komponen abstrak yang tak terlihat secara kasat mata, seperti nilai, norma, kepercayaan,
tradisi, makna, dan kebutuhan universal. Sedangkan lapisan atas yang besarnya hanya sebagian kecil
merupakan perwujudan konkret yang berupa artifak-artifak budaya seperti benda, fashion, musik,
gambar, juga simbol-simbol verbal dan nonverbal lainnya.
KONSEP BUDAYA
KKK EEE RRR AAA NNN GGG KKK AAA KKK OOO NNN SSS EEE PPP TTT UUU AAA LLL
2 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
Fungsi Budaya
Berangkat dari definisi budaya sebagai kerangka rujukan perilaku manusia dalam
berinteraksi, Ting Too-Mey (1999) kemudian mengidentifikasikan lima fungsi budaya: (1) identity
meaning function, yang berarti bahwa budaya berfungsi sebagai atribut dan penanda yang
menunjukkan identitas kita melalui adanya kepercayaan, nilai, dan norma-norma budaya, (2) group
inclusion function, yaitu budaya sebagai pemenuhan kebutuhan untuk berafiliasi dengan suatu
kelompok dan membentuk perasaan menjadi bagian dalam kelompok tersebut (sense of belonging),
(3) intergroup boundary regulation function, di mana budaya dalam in-group kita membentuk
kecenderungan bersikap dalam interaksi dengan kelompok budaya lain (out-group), (4) ecological
adaptation function, budaya mengajarkan proses adaptasi dalam inetraksi antar individu, kelompok
budaya, dan dalam lingkungan luas, (5) cultural communication function, di mana budaya
mempengaruhi cara berkomunikasi, dan komunikasi pun mempengaruhi budaya kita
Definisi Komunikasi Antar Budaya
Pada prinsipnya, komunikasi antar budaya didefiniskan sebagai proses pertukaran makna
melalui simbol-simbol di antara orang-orang yang berasal dari budaya yang berbeda (Gudykunst &
Kim, 2003; Ting Too-Mey, 1999). Komunikasi antar budaya dianggap sebagai proses yang lebih
kompleks karena dihadapkan pada tantangan perbedaan budaya. Perbedaan budaya di antara dua
pihak yang berkomunikasi berimplikasi pada timbulnya perbedaan sistem simbol dan bagaimana
mereka memaknai simbol tersebut. Oleh karena itu, Ting Too-Mey (1999) berargumen bahwa untuk
mewujudkan komunikasi interkultural yang efektif, kita harus memperhatikan identitas lawan bicara
kita. Lima asumsi pokok dalam komunikasi antar budaya (Ting Too-Mey, 1999), yaitu:
1. Dalam komunikasi antar budaya terdapat berbagai perbedaan dengan tingkat tertentu antara dua
anggota kelompok yang berinteraksi
2. Komunikasi antar budaya melibatkan proses encoding-decoding simbol-simbol verbal dan
nonverbal dalam waktu yang bersamaan
3. Komunikasi antar budaya berpotensi besar menemui perselisihan makna (well-meaning clashes)
karena adanya perbedaan budaya
KONSEP KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
3 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
4. Komunikasi antar budaya selalu bersifat kontekstual dan tidak terjadi dalam ruang vakum, artinya
komunikasi antar budaya selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional yang ada
5. Komunikasi antar budaya selalu terjadi dalam sistem yang melekat pada konteks interaksi
tersebut yang bersifat dependen dan saling mempengaruhi
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Antar Budaya
Berdasarkan model komunikasi antar budaya yang dikembangkan oleh Gudykunst dan Kim
(2003), dapat diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi proses komunikasi antar budaya, yang
diklasifikasikan mejadi dua jenis, yaitu faktor personal yang terdapat dalam diri individu dan faktor
situasional atau pengaruh dari luar. Faktor personal antara lain mencakup: pengaruh budaya,
pengaruh sosiobudaya, dan pengaruh psikobudaya. Sementara faktor situasional diartikan sebagai
pengaruh lingkungan dalam proses komunikasi antar budaya. Dalam kajian ini, pembahasan dibatasi
hanya pada faktor-faktor yang mempengaruhi permasalahan, yaitu pengaruh budaya, pengaruh
sosiobudaya, dan pengaruh psikobudaya.
1. Pengaruh Budaya
Pengaruh budaya dalam komunikasi bersifat dialektik, timbal balik dan saling mempengaruhi.
Dalam menelaah pengaruh budaya, digunakan dua pendekatan, pertama memahami bagaimana
budaya mempengaruhi perilaku komunikasi seseorang dari dalam yaitu dari sudut pandang orang
tersebut. Kedua, untuk memahami cara budaya mempengaruhi perilaku adalah dengan cara
membandingkan dengan budaya lain. Untuk mendapatkan pemahaman yang fokus dan
komprehensif, maka kita harus memahami perbedaan budaya dalam berbagai dimensi, antara lain
dimensi individualisme-kolektivisme, dimensi variasi kebudayaan Hofstede, orientasi nilai Kluckhohn
Strodbecks, serta dimensi pola variabel Parson. Dalam menelaah permasalahan kali ini, penulis
menggunakan konsep budaya dalam dimensi individualis-kolektivis.
Perbedaan dimensi kebudayaan individualis-kolektivis dikaji dalam level analisis kelompok
kultural yaitu, kelompok budaya individualis memiliki kecenderungan untuk bersifat universal dalam
standarisasi dan penilaian berbagai hal sesuai dengan objeknya (objektif). Sedangkan kebudayaan
kolektivis cenderung memiliki preferensi penilaian yang lebih baik bagi anggota in-group-nya
(subjektif). Kebudayaan kolektivis menekankan tujuan, kebutuhan, dan pandangan in-group
terhadap anggotanya serta memprioritaskan norma sosial in-group itu dibanding kepentingan
anggotanya. Sedangkan kebudayaan individual, menempatkan nilai-nilai in-group setara dengan
nilai-nilai dan kepercayaan individu.
4 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
2. Pengaruh Sosiobudaya
Term sosiobudaya (sosiocultural) dapat diartikan sebagai kajian budaya berdasarkan aspek-aspek
sosial yang berlaku di masyarakat, khususnya institusi dan kelompok sosial. Dalam kajian
sosiokultural, asumsi yang berlaku adalah budaya dan kondisi sosial mempengaruhi proses
komunikasi kita dengan orang lain (terutama komunikasi antar budaya). Seperti halnya pengaruh
budaya, pengaruh sosiokultural dalam komunikasi antar budaya dapat dikaji melalui tiga pendekatan
ilmiah, yaitu ilmu komunikasi, sosiologi, dan antropologi sosial. Sedangkan pengaruh sosiobudaya
dalam komunikasi terlihat dari keanggotaan dalam kelompok sosial, identitas sosial dan peran sosial.
Kelompok sosial merupakan sekumpulan individu yang saling berbagi pengalaman dan identitas
sosial (simbol) dan keanggotaan dalam kelompok sosial mengacu pada keterikatan seorang individu
dalam kelompoknya tersebut. Macam-macam kelompok sosial yaitu: (1) kelompok anggota dan
kelompok acuan (membership-reference group) dan (2) Kelompok dalam dan kelompok luar
(ingroups-outgroups), selain itu juga terdapat klasifikasi lain yaitu kelompok mayoritas dan kelompok
minoritas.
Identitas sosial merupakan aspek penting yang mempengaruhi pembentukan konsep diri (self
concept), dipelajari dari keanggotaan seorang individu dalam sebuah kelompok dan sekaligus
mempengaruhi komunikasi kita dengan orang lain. Identitas sosial dipelajari melalui sosialisasi
(primer dan sekunder). Tujuh identitas utama yang dimiliki oleh setiap individu (Gudykunst & Kim,
2003) yaitu: (1) Identitas Budaya, meliputi budaya individualis atau kolektivis, (2) Identitas Etnis,
yang memicu labelling dan stereotyping, dan dihasilkan oleh proses asimilasi atau sebagai bentuk
pluralisme, (3) Identitas Gender, meliputi feminin, maskulin, undifferentiated, dan androgynous, (4)
Identitas Berdasarkan Keterbatasan, (5) Identitas Usia, (6) Identitas Kelas Sosial, berdasarkan
pendapatan, pendidikan, pekerjaan dll, (7) Identitas Peran, meliputi beberapa variabel seperti
degree of personalness, degree of formality, dan degree of hirearchy.
Sedangkan menurut Ting Too-Mey (1999), dalam setiap diri individu terdapat delapan domain
identitas yang terklasifikasikan dalam dua tipe, yaitu primary identities dan situational identites.
Primary identities merupakan identitas yang sifatnya tetap dan mencakup empat domain identitas,
yaitu (1) cultural identity yang berasal dari afiliasi dengan kelompok kultural tertentu; (2) ethnic
identity identitas yang diperoleh dari asal-usul nenek moyang dan mengacu pada etnis; (3) gender
identity yang menunjukkan image ‘laki-laki’ dan ‘perempuan’; dan (4) personal identity, identitas unik
yang hanya dimiliki diri kita. Sedangkan situational identites didefinisikan sebagai identitas yang
sifatnya berubah-ubah sesuai konteks dan situasi di mana interaksi tersebut berlangsung. Empat
domain identitas yang termasuk dalam situational identity antara lain, (1) role identity, identitas
berdasarkan peran yang kita jalankan dalam suatu interaksi; (2) relational identity,identitas yang kita
5 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
miliki dari ikatan keluarga dan hubungan pertemanan; (3) facework identity, identitas yang berupa
image kita dalam interaksi, dan (4) symbolic interaction identity atau identitas yang kita peroleh dari
simbol-simbol verbal dan nonverbal ketika kita berkomunikasi.
3. Pengaruh Psikobudaya
Pengaruh psikobudaya dalam komunikasi mengacu pada proses-proses yang terjadi dalam tataran
kognitif kita yang mempengaruhi pemikiran, sikap, dan perilaku komunikasi (Gudykunst & Kim,
2003). Dalam konteks komunikasi antar budaya, konsep-konsep yang perlu digarisbawahi terkait
dengan pengaruh psikobudaya adalah stereotype, prejudice, dan ethnocentrism.
Stereotype didefinisikan oleh Lippman (1992) sebagai gambaran khas di kepala kita mengenai
suatu hal. Dalam konteks interaksi, stereotipe berarti representasi kognitif atas kelompok lain yang
mempengaruhi perasaan kita terhadap anggota kelompok tersebut (Gudykunst & Kim, 2003).
Hewstone & Brown (1986) mnegklasifikasikan aspek-aspek dalam stereotip: kategorisasi individu
berdasarkan keanggotaannya pada suatu kelompok, seperangkat atribut dianggap menggambarkan
(hampir) seluruh anggota sebuah kategori, dan seperangkat atribut dianggap menggambarkan
anggota individu sebuah kategori. Ketika kita berkomunikasi, kita cenderung menilai seseorang
berdasarkan stereotip secara otomatis dan tidak disadari. Stereotipe dapat mengurangi
ketidakpastian dan menambah tingkat prediksi, tetapi tidak meningkatkan akurasi. Implikasinya,
stereotipe tidak menyebabkan miskomunikasi, tetapi potensi kesalahpahaman dalam interaksi,
terutama interaksi antar budaya, karena stereotipe mempengaruhi cara kita membentuk persepsi.
Prejudice, dalam Gudykunst dan Kim (2003) diartika sebagai sikap menghakimi satu individu
berdasarkan kelompok dia berasal, hal ini umumnya bersifat negative dan mengarah pada
diskriminasi. Prejudice bisa juga merupakan wujud ekspresi rasa takut, jijik, tidak suka, marah,
kecemburuan. Berkaitan dengan prejudice, banyak kalangan menilai bahwa media berkontribusi
besar dalam pembentukan citra baik / buruk budaya tertentu (prejudice).
Ethnocentrism berarti tendensi untuk mengidentifikasi diri kita dengan kelompok kita (budaya,
suku tertentu) dan untuk mengevaluasi kelompok luar (outgroups) beserta anggota-anggotanya
berdasarkan standar tertentu (Gudykunst & Kim, 2003). Pada dasarnya setiap orang memiliki
karakteristik etnosentris sampai pada tiongkat tertentu. Oleh karena itu, kita biasanya memandang
nilai-nilai budaya sendiri secara lebih nyata dan “benar” , sehingga muncul pandangan “superior”
terhadap budaya luar, dan kita menjadi khawatir ketika berinteraksi dengan orang asing. Berkaitan
dengan proses interaksi etnosentrisme memiliki fungsi memperkuat ikatan kelompok, wujud
ekspresi nilai, cara pandang budaya lain melalui frame budaya sendiri. Sedangkan implikasi negatif
etnosentrisme adalah munculnya superioritas, sikap ekstrim yang mengancam budaya lain,
menganggap budaya sendiri yang paling benar dan berusaha mengubah cara berpikir orang lain.
6 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
Sejarah dalam Komunikasi Antar Budaya
Merujuk pada argumen Martin dan Nakayama (2004), salah satu elemen penting yang harus
diperhatikan dalam kajian komunikasi antar budaya adalah sejarah. Sejarah membentuk pemhaman
mengenai siapa identitas kita, sebagai individu dan anggota kelompok sosial. Ketika berinteraksi, kita
sebenarnya membawa sejarahpersonal kita, karenanya sejarah mempengaruhi bagaimana cara kita
berinteraksi. Empat elemen sejarah personal yang mempengaruhi interaksi (Brislin, 1981): Childhood
experience atau pengalaman masa lalu kita, Historical myths mitos-mitos sejarah, Language atau
perbedaan sistem bahasa, dan Recent/vivid events atau pemberitaan media atas peristiwa aktual
yang mempengeruhi pembentukan stereotype dan prejudice dalam interaksi.
Identity Negotiation Perspective dan Mindful Intercultural Communication
Identity Negotiation Perspective atau Perspektif Negosiasi Identitas merupakan sebuah cara
pandang dalam komunikasi antar budaya yang menekankan pada hubungan antara nilai-nilai budaya
dan konsep diri seseorang (Ting Too-Mey, 1999). Dalam perspektif negosiasi identitas, keduanya
merupakan variabel penting dalam membentuk identitas seseorang. Pada dasarnya setiap individu
memiliki dua macam identitas dalam dirinya yang bersumber dari dua sumber yang berbeda (Ting
Too-Mey, 1999). Dua tipe identitas yang dimiliki individu adalah Social Identity dan Personal Identity.
Menurut Brewer dan Miller (1996), Social identity mengacu pada konsep diri individu yang diperoleh
dari keanggotaannya dalam suatu kelompok tertentu dan bersumber pada kelompok (group-based).
Personal Identity merujuk pada konsep diri individu yang mendefinisikan seorang individu secara
unik dan membedakannya dengan individu lainnya. Personal identity bersumber dari individu itu
sendiri (person-based). Dua tipe identitas yang berasal dari dua sumber yang berbeda tersebut
membentuk dua macam persepsi yang dimiliki individu ketika dirinya terlibat interaksi, yaitu
intergroup-based perceptions atau persepsi yang hadir dalam benak individu ketika mengalami
segregasi akibat proses kategorisasi sosial dan interpersonal-based perceptions yang timbul ketika
individu berada dalam situasi interpersonal (Tajfel, 1981).
Dalam proses komunikasi antar budaya, yang dinegosiasikan adalah dua identitas yang
berbeda dengan budaya sebagai akar dan inti dari proses komunikasi tersebut, dan implikasi yang
timbul dari negosiasi identitas tersebut adalah muculnya persepsi antar budaya antara dua pihak
yang berinteraksi tersebut. Ting Too-Mey (1999) berpandangan bahwa negosiasi identitas
merupakan prasyarat terjadinya komunikasi antar budaya yang sukses dan efektif. Komunikasi antar
budaya yang baik disebut sebagai mindful intercultural communication, yang diindikasikan oleh
kesediaan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk menempatkan diri kada kerangka rujukan budaya
lain dan upaya penyesuaian diri terhadap perbedaan-perbedaan budaya yang mempengaruhi
perbedaan dalam memaknai interaksi.
7 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
Denmark, September 2005. Sebuah koran terbesar di Denmark, Jylland-Posten, memuat 12
buah gambar kartun yang menggambarkan sosok Nabi Muhammad sebagai seseorang yang bodoh,
dungu, linglung, pendukung kekerasan, terorisme dan pengeboman, eksploitasi terhadap wanita
melalui poligami. Bahkan beberapa kartun tersebut terang-terangan menuliskan kata-kata yang
menghina Islam seperti prasangka bahwa Islam identik dengan terorisme, tirani teokrasi, inteloren
terhadap kritik, takut akan ekspansi budaya barat, dan lain-lain. Enam dari kedua belas karikatur
tersebut diterbitkan ulang di surat kabar Mesir, El Faqr, pada 30 Oktober 2005 untuk mendampingi
sebuah artikel yang mengkritik keras tindakan Posten, namun saat itu karikatur-karikatur ini belum
mendapat perhatian yang besar di luar Denmark. Hanya pada Desember 2005, saat Organisasi
Konferensi Islam mulai menyatakan penentangannya, barulah kontroversi ini menghangat di dunia.
Sebagian dari karikatur tersebut direproduksi dan diterbitkan di surat kabar di seluruh belahan dunia
internasional, antara lain di Norwegia oleh surat kabar Magazinet, pada tanggal 10 Januari 2006.
Koran Jerman, Die Welt; surat kabar Perancis France Soir dan banyak surat kabar lain di Eropa dan
juga surat kabar di Selandia Baru dan Yordania. Di Indonesia sendiri, tercatat ada dua media massa
yang menerbitkan karikatur-karikatur ini, masing-masing Tabloid Gloria (5 karikatur) dan Tabloid
PETA.
CONTOH KASUS
DDD EEE SSS KKK RRR III PPP SSS III KKK AAA SSS UUU SSS
8 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
Menurut Jyllands-Postens, kartun-kartun tersebut dipublikasikan sebagai bentuk ungkapan
satir atas penyensoran diri (self-censorship) dan kebebasan berpendapat (freedom of speech) yang
dilatarbelakangi oleh penolakan dari berbagai pihak untuk menggambar Muhammad di buku
seorang penulis Denmark bernama Kare Bluitgen. Mereka menolak untuk menggambar Muhammad
karena cemas dan takut diserang ekstremis Muslim. Mendengar hal tersbut, Jyllands-Postens
menuntut isu kebebasan berpendapat dengan memuat gambar-gambar karikatur Nabi Muhammad
yang dalam pandangan umat Islam merupakan hal yang tabu dilakukan. Meskipun Jyllands-Posten
mengatakan penerbitan gambar-gambar ini ditujukan untuk menunjukkan bahwa kebebasan
berbicara berlaku bagi siapapun, banyak orang menganggap bahwa gambar-gambar tersebut adalah
bentuk penghinaan terhadap Islam dan menunjukkan prasangka buruk terhadap Islam, serta
berpotensi membentuk Islamofobia di Denmark.
Pemuatan gambar-gambar Nabi Muhammad secara kartunis dengan image dan pencitraan
yang bodoh dan buruk tersebut tak ayal memunculkan reaksi keras dari umat muslim seluruh dunia.
Berbagai aksi dan protes dari dunia internasional dilayangkan kepada surat kabar dan pemerintah
Denmark, mulai dari aksi dan protes yang bersifat damai, politis, dan diplomatis, sampai aksi dan
protes yang sifatnya keras dan radikal. Protes-protes yang datang dari tataran internasional antara
lain (Berita dikutip dari Republika dan detik.com) :
- Organisasi Konferensi Islam dan Liga Arab meminta agar PBB menjatuhkan sanksi internasional
terhadap Denmark.
- Produk dari Denmark diboikot oleh konsumen di Arab Saudi, Kuwait dan negara Arab lain.
- Selain itu ada protes besar-besaran oleh kaum Muslim di Indonesia, Malaysia, Pakistan, negara
Arab dan negara lain yang mempunyai populasi Muslim, hampir semuanya menggunakan
kekerasan.
- Pada tanggal 4 Februari, Kedubes Denmark dan Norwegia di Suriah dibakar, akan tetapi tidak ada
korban jiwa. Sehari kemudian pada tanggal 5 Februari Kedubes Denmark di Beirut, Lebanon juga
dibakar oleh amukan massa. Akibat kejadian ini, Menteri Dalam Negeri Lebanon, Hassan al-Sabaa
mengundurkan diri. Dua hari kemudian, pada 7 Februari, Iran resmi memutuskan hubungan
dagang dengan Denmark
- Sekjen PBB, Kofi Annan, menyatakan keprihatinannya akan peristiwa ini dan berkata bahwa
"kebebasan pers" harus selalu diterapkan melalui penghormatan terhadap “keyakinan agama dan
ajaran seluruh agama".
9 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
- Kemarahan warga muslim atas karikatur Nabi Muhammad SAW terus meluas. Bahkan di Palestina,
dua pria bersenjata menculik seorang warga Jerman sebagai luapan kemarahan atas kartun
kontroversial itu.
- Pemerintah Indonesia melalui saluran OKI dan PBB telah menyampaikan nota protes keras atas
pemuatan karikatur Nabi Muhammad SAW yang beredar di Denmark, Italia, Polandia, Prancis, dan
Belanda.
Yang menarik dan tidak banyak diketahui oleh publik adalah, reaksi dunia Islam terhadap karikatur
yang menghina tersebut tidak hanya dilayangkan dalam bentuk nota protes, boikot, atau bahkan
tindakan ekstrem seperti pembakaran kedubes Denmark dan negara-negara Eropa tertentu, tetapi
melalui karikatur balasan untuk menyindir betapa Barat seringkali menunjukkan standar ganda
dalam bersikap. Selain itu, muncul gagasan untuk meng-counter penghinaan Barat melalui lomba
karikatur bertema Yahudi yang inisiatifnya muncul dari sebuah surat kabar di Iran Hamshahri yang
merencanakan lomba tersebut untuk menguji batas kebebasan berbicara, sebgaimana alasan yang
digunakan banyak surat kabar Eropa dalam menyiarkan kartun Nabi tersebut. “Pertanyaan penting
bagi Muslim ialah, `apakah kebebasan berbicara Barat membolehkan mengangkat masalah, seperti,
kejahatan Amerika Serikat dan Israel atau kejadian, seperti, Bencana Yahudi, atau kebebasan
berbicara itu hanya bagus untuk menyerang nilai suci agama Tuhan?” kata harian itu. (Dikutip dari
Republika, 8 Februari 2006).
Pada akhirnya, kontroversi dan perbenturan budaya ini mulai mereda setelah Jyllands-Posten sendiri
telah meminta maaf karena telah menghina umat Muslim. Namun mereka tetap berpendapat bahwa
mereka berhak menerbitkan karikatur tersebut, dengan alasan bahwa fundamentalisme Islam tidak
dapat mengontrol hal-hal yang dapat diterbitkan media di Denmark.
10 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
Berdasarkan ilustrasi kasus yang telah disajikan pada Bab Deskripsi Kasus, kita dapat menarik
kesimpulan bahwa kasus tersebut merupakan salah satu contoh terjadinya benturan antar budaya
(cultural clashing) di tingkat global. Dua komponen budaya yang menjadi esensi kajian antar budaya
di sini adalah budaya Islam dan budaya Barat. Budaya Islam diwakili oleh kelompok negara-negara
Islam seperti Liga Arab dan OKI, serta warga negara-negara Islam,s edangkan budaya Barat
direpresentasikan oleh warga negara Denmark dan negara-negara Barat lainnya seperti Norwegia,
Perancis, Australia, dan negara-negara lain yang turut mendukung pemuatan karikatur tersebut
dalam media massa. Untuk menguraikan permasalahan yang sebenarnya terjadi dalam cultural
clashing antara budaya Islam dan budaya Barat akibat pemuatan karikatur Nabi Muhammad
tersebut, kita dapat mengkajinya dalam tinjuan komunikasi antar budaya. Karena pada dasarnya, hal
fundamental yang membentuk suatu hubungan antar budaya, baik pada tingkat interpersonal
maupun intergrup adalah proses komunikasi yang berlangsung di antara keduanya.
Konsep Budaya
Ditinjau dari konsep budaya, klasifikasi budaya berdasarkan tingkat keanggotaan kelompok
budaya dalam kasus di atas adalah wilayah dunia (global). Dalam klasifikasi ini terdapat dikotomi
antara budaya Barat dan budaya Islam. Sesuai dengan definisi Gudykunst dan Kim (1999) yang
memandang bahwa budaya merupakan kerangka rujukan dalam berperilaku, budaya Islam dan
ANALISIS KASUS
SSS TTT UUU DDD III KKK AAA SSS UUU SSS
11 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
budaya Barat masing-masing memiliki kerangka rujukan masing-masing yang digunakan sebagai
pedoman dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain serta membentuk cara
memahami perilaku orang lain. Hal ini terlihat dari pemaknaan masing-masing pihak terhadap
karikatur tersebut. Lebih jauh, merujuk definisi Ting Too-Mey (1999), yang memasukkan elemen-
elemen dalam kebudayaan yang terdiri dari berbagai pola-pola tradisi, kepercayaan, nilai, norma,
simbol, dan sebagai sebuah sistem kerangka rujukan yang kompleks, dapat kita jelaskan bahwa
Budaya Barat merujuk pada nilai-nilai kebebasan. Oleh karena itu, Barat menganggap bahwa
pelarangan untuk menggambarkan sosok Nabi Muhammad adalah suatu bentuk pelanggaran. Pada
akhirnya, pemahaman Barat tersebut membentuk sikap Barat untuk mengkomunikasikan nilai-nilai
kebebasannya itu dalam bentuk karikatur Nabi Muhammad. Sedangkan dari sudut pandang budaya
Islam, kerangka rujukan yang digunakan didasarkan pada peraturan dan nilai-nilai agama Islam yang
notabene memberlakukan suatu batasan-batasan tertentu terkait dengan pemimpin agamanya,
yaitu Nabi Muhammad SAW. Nilai-nilai Islam melarang Nabi Muhammad ditampilkan dalam bentuk
simbol-simbol grafis, baik berupa gambar, lukisan, patung, foto, maupun film. Hal ini didasari
pandangan bahwa Nabi Muhammad merupakan pemimpin spiritual yang sangat dihormati dalam
budaya Islam sehingga penggambaran terhadap sosoknya memungkinkan terjadinya distorsi atau
pengolahan tertentu yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Selan itu, nilai-nilai budaya Islam
memberlakukan larangan tersebut sebagai upaya preventif agar sosok Nabi Muhammad dalam
simbol-simbol grafis tersebut tidak disembah dan justru dijadikan sebagai berhala.
Dalam konteks lima fungsi budaya Ting Too-Mey (1999) kita dapat mengidentifikasikan
bahwa fungsi budaya bagi dunia Islam dan dunia Barat adalah sebagai (1) identity meaning function
di mana aturan agama Islam ditempatkan sebagai sebagai atribut dan penanda yang menunjukkan
identitas sebagai pemeluk agama Islam, dan nilai-nilai kebebasan serta ideologi liberal menjadi suatu
identitas yang menunjukkan budaya Barat; (2) group inclusion function, yaitu nilai-nilai budaya Islam
sebagai ikatan untuk berafiliasi dengan pemeluk agama Islam lainnya dan membentuk perasaan
sense of belonging terhadap agama Islam dan dibuktikan dengan pembelaan ketika nilai-nilai
tersebut dinodai oleh kelompok lain, sedangkan dalam budaya Barat, yang menjadi pembentuk
inklusivitas anggotanya adalah persamaan pandangan untuk menghargai nilai-nilai freedom of
expression bagaimanapun bentuknya. Sense of belonging anggota kelompok budaya Barat terbukti
dari reproduksi dan republikasi karikatur Nabi Muhammad di media massa negara Barat lain selain
Denmark disertai dengan dukungan terhadap jaminan kebebasan berpendapat; (3) dalam
intergroup boundary regulation function, budaya Islam dalam in-group negara-negara Muslim
membentuk kecenderungan bersikap kontra atau meng-counter pesan-pesan yang dismpaikan oleh
out-group yang dalam hal ini ada;ah budaya Barat, begitu pun sebaliknya budaya Barat; (4) ecological
12 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
adaptation function, dapat dilihat dari sikap yang ditunjukkan oleh budaya Barat, di mana nilai-nilai
kebebasan berpendapat yang diajarkan membentuk pemikiran kritis dalam menyikapi suatu isu dan
mengadaptasikannya dalam interaksi dengan kelompok budaya Islam melalui tuntutan
diselenggrakannya kebebasan sepenuhnya dengan cara ilustrasi satir erwujud karikatur Nabi
Muhammad; (5) cultural communication function, di mana budaya mempengaruhi cara
berkomunikasi, dan komunikasi pun mempengaruhi budaya kita yang terlihat jelas dari cara masing-
masing budaya mengkomunikasikan kepentingannya. Budaya pemikiran bebas dan kritis Barat
membentuk cara mereka mengkomunikasikan pesan-pesan secara satir dalam media massa,
sementara pemikiran normatif Islam mempengaruhi cara Islam dalam menyampaikan
pertentangannya terhadap karikatur tersebut yaitu melalui jalan birokrasi dan advokasi melalui
lembaga-lembaga internasional, juga melalui aksi protes ke Kedutaan Besar.
Konsep Komunikasi Antar Budaya
Merujuk pada Gudykunst & Kim (2003) dan Ting Too-Mey (1999) yang mendefinisikan
komunikasi antar budaya sebagai proses pertukaran makna melalui simbol-simbol di antara orang-
orang yang berasal dari budaya yang berbeda, kita dapat menyimpulkan bahwa kontroversi
pemuatan karikatur Nabi Muhammad sebagai suatu bentuk komunikasi antar budaya karena dalam
kontroversi terdapat : (1) dua pihak berbeda budaya yang berkomunikasi, yaitu budaya Islam dan
budaya Barat. Dan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, keanggotaan kelompok budaya yang
berinteraksi dalam permasalahan kali ini berada pada tingkat wilayah dunia atau global dan aktor-
aktor yang berperan adalah kelompok, bukan individu yang berbeda budaya, sehingga level analisis
dalam kajian ini adalah komunikasi antar dua kelompok dari dua budaya yang berbeda; (2) terdapat
makna yang dipertukarkan melalui simbol-simbol. Dalam kasus ini terlihat jelas bahwa ada
pertukaran makna, yaitu pemaknaan terhadap sebuah kebebasan dan aturan, yang dituangkan
dalam simbol-simbol yang berupa gambar karikatur Nabi Muhammad dan pesan-pesan tertulis yang
disampaikan dalam karikatur tersebut. Makna yang dipertukarkan oleh Barat adalah makna akan
kebebasan akan suatu hal yang mutlak dan tidak seharusnya dibatasi oleh aturan agama dan makna
tersebut direpresentasikan Barat dalam bentuk karikatur. Sementara itu, Islam juga mepertukarkaan
makna pertentangannya terhadap pemikiran Barat dengan cara menuntut bahwa Barat selalu
memakai standar ganda dalam memandang suatu persoalan yang terkait dengen kelompok-
kelompok tertentu. Oleh karena itu Islam menuangkan makna tersebut juga dalam karikatur balasan.
Dalam kajian ini, ada komponen lain dalam interaksi antarbudaya yang penting untuk dikaji
selain dua kelompok budaya yang terlibat dalam komuniaksi, yaitu media massa. Dalam kajian kali ini
perlu digarisbawahi bahwa komunikasi yang terjadi merupakan mediated communication yang
13 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
berarti kedua kelompok budaya tersebut mempertukarkan makna-makna melalui saluran media,
yaitu surat kabar, televisi, dan juga internet. Peranan media massa dalam hal ini menjadi sentral dan
esensial karena medialah yang mengkomunikasikan makna-makna yang ingin disampaikan masing-
masing kelompok budaya. Penggunaan media massa dalam masalah ini terkait degan tingkat
keanggotaan kelompok budaya yang berinteraksi, yaitu tingkatan wilayah dunia secara global.
Karena pada dasarnya sasaran penerima pesan-pesan yang ingin dikomunikasikan Barat tersebut
adalah budaya Islam itu sendiri secara global, maka satu-satunya saluran yang paling efektif adalah
melalui media massa.
Berdasarkan identifikasi Gudykunst dan Kim (2003) mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi komunikasi antar budaya, dapat dilihat bahwa dalam kasus kontroversi pemuatan
karikatur Nabi Muhammad, variabel-variabel yang mempengaruhi adalah:
1. Faktor Budaya
Faktor budaya yang mempengaruhi proses komunikasi antar budaya Islam-Barat dalam
permsalahan ini mengacu pada dimensi kebudayaan individualis-kolektivis dikaji dalam level analisis
kelompok kultural. Budaya Barat mewakili kelompok budaya individualis di mana Barat memiliki
kecenderungan untuk bersifat universal dalam standarisasi dan penilaian berbagai hal sesuai dengan
objeknya (objektif). Hal ini terbukti dari penilaian Paus dari Vatikan yang notabene merupakan
pemuka agama kelompok budaya Barat, tetapi turut menyayangkan sikap media massa Jyllands-
Postens yang memuat gambar yang mengindikasikan penghainaan terhadap umat Muslim.
Sedangkan kebudayaan kolektivis diwakili oleh budaya Islam yang notabene banyak terdiri dari
negera-negera Timur cenderung memiliki preferensi penilaian yang lebih baik bagi anggota in-group-
nya (subjektif). Selain itu, kebudayaan Islam yang kolektivis menekankan tujuan, kebutuhan, dan
pandangan in-group terhadap anggotanya serta memprioritaskan norma sosial in-group itu
dibanding kepentingan anggotanya. Hal ini terlihat dari pembelaan yang dilkukan secara
internasional jika salah satu aspek norma-norma Islam diserang oleh kelompok budaya lain. Berbagai
macam reaksi yang timbul secara luas di tataran internasional juga menunjukkan kolektivitas budaya
Islam. Sedangkan kebudayaan individual menempatkan nilai-nilai in-group setara dengan nilai-nilai
dan kepercayaan individu. Hal ini tercermin ketika protes luas ditujukan kepada Denmark, negara-
negara Barat lain tak turun tangan dan angkat bicara untuk membela Denmark, tetapi yang mereka
lakukan adalah mereproduksi kartun tersebut karena yang mereka bela adalah nilai-nilai kebebasan
berpendapatnya (objeknya), bukan Denmark sebagai pelaku awalnya (subjeknya).
14 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
2. Faktor Sosiobudaya
Dari segi pengaruh sosiobudaya (sosiocultural) dapat kita asumsikan bahwa terjadinya cultural
clash atau benturan kebudayaan dalam kontroversi ini adalah karena adanya pengaruh budaya dan
kondisi sosial mempengaruhi proses komunikasi kita dengan orang lain (terutama komunikasi antar
budaya). Pengaruh ini dapat dilihat dari dua hal, yatu kelompok sosial dan identitas sosial.
Berdasarkan klasfikasi kelompok sosial, dapat dilihat bahwa bagi negara-negara Muslim, kelompok
budaya Islam meruoakan kelompok rujukan (reference group) atau kelompok yang digunakan
sebagai standar penilaian diri sendiri maupun acuan bagi pembentukan sikap, dengan kerangka
rujukannya adalah aaturan Islam sebagai aturan universal yang diterima, dijalnkan, serta dibela oleh
para nggota kelompok-kelompok budaya Islam. Sedangkan budaya Barat lebih cenderung sebagai
kelompok anggota (membership group) di mana keanggotaannya hanya bersifat identitas saja tanpa
ada rujukan khusus dalam kelompok tersebut yang menjadi acuan bagi pembentukan sikap. Hal ini
sangat terkait dengan tendensi kultural Barat yang budayanya lebih individualistik.
Berdasarkan konsep tujuh identitas sosial Gudykunst & Kim (2003) dan delapan domain identitas
Ting Too-Mey (1999), kita dapat melihat adanya identitas sosial yang melekat pada tiap-tiap
kelompok baik budaya Islam maupun Barat yaitu:
(1) Identitas Budaya atau cultural identity, meliputi budaya individualis atau kolektivis. Dalam hal ini,
Barat memiliki identitas budaya individualis sedangkan Islam menunjukkan identitas budaya sebagai
kelompok budaya kolektivis; (2) Identitas Peran atau role identity, meliputi beberapa variabel
seperti degree of personalness, degree of formality, dan degree of hirearchy. Dalam intraksi antar
budaya di permasalahan ini, umat Muslim sebagai anggota kelompok budaya Islam menjalankan
peran sebagai pemeluk agama, sedangkan peran yang dimiliki oleh Barat adalah sebagai pembela
nilai-nilai kebebasan berpendapat; (3) Identitas pencitraan atau facework identity berupa image
atau pencitraan yang timbul dalam interaksi, di mana citra Islam di mata Barat adalah sebagai
budaya yang kaku, pendukung kekerasan, dan membatasi kebebasan berpendapat, sementara image
Barat di mata Islam adalah tidak menghargai nilai-nilai pluralisme karena melakukan penghinaan
terhadap nilai-nilai agama lain serta selalu memakai standar ganda dalam menilai sesuatu; dan (4)
Identitas simbolik atau symbolic interaction identity. Identitas Islam yang diciptakan oleh Barat
digambarkan dalam simbol-simbol karikatur Nabi Muhammad yaitu sebagai kelompok budaya yang
mendukung terorisme, kekerasan, eksploitasi wanita, dan intoleransi terhadap kebebasan manusia.
Sementara simbol dalam karikatur balasan menunjukkan bahwa Barat-lah yang intoleran dengan
selalu menerapkan standar ganda dan subjektif dalam melihat persoalan. Di sini dapat dilihat bahwa
15 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
kdeua budaya mempertukarkan simbol-simbol dan pemaknaan identitas masing-masing dengan cara
nonverbal.
3. Faktor Psikobudaya
Pengaruh psikobudaya dalam komunikasi antar budaya pada dasarnya merupakan proses-proses
yang terjadi dalam tataran kognitif individu yang mempengaruhi pemikiran, sikap, dan perilaku
komunikasi (Gudykunst & Kim, 2003). Namun, dalam permasalahan ini, karena level analisisnya
bukanlah individu tetapi mengacu pada kelompok kulturalnya, maka pengaruh psikobudaya yang
dapat dijelaskan adalah hal-hal yang berkaitan dengan konsep stereotype, prejudice, dan
ethnocentrism, yang secara tidak langsung dibentuk dan dipengaruhi oleh media sebagai konteks di
mana komunikasi antara Barat dan Islam ini berlangsung.
Stereotype dan Prejudice, mengacu pada Lippman (1992) dan Gudykunst & Kim (2003), diartikan
sebagai gambaran dan representasi kognitif atas kelompok lain yang mempengaruhi perasaan
terhadap anggota kelompok tersebut. Sedangkan prejudice atau prasangka berarti citra negatif
terhadap suatu kelompok yang umumnya dibentuk melalui media dan dapat mengarah pada rasa
takut, jijik, benci, dan mendeskriminasi suatu kelompok tertentu. Dalam budaya Barat berkembang
stereotip dan prasangka terhadap Islam di mana Islam dianggap sebagai budaya yang memiliki citra
negatif. Streotip ini kemudian diresonansi oleh media massa Denmark dengan menggambarkan
karikatur-karikaut Nabi Muhammad dan caption yang melekat di dalamnya. Dalam karikatur
tersebut, Muhammad digambarkan sebagai teroris (dengan sorban yang berbentuk bom di
kepalanya), seseorang yang dungu dengan gambar wajah yang terlihat konyol dengan caption
‘Prophet daft and dumb’, selain itu gambar terdapat gambar di mana di situ dituliskan bahwa image
Nabi Muhammad yang merepresentasikan image budaya Islam adalah ‘terrorism, theocratic tyranny,
subjugation of women, intolerance of critics, dan lain-lainya’. Sedangkan stereotipe Islam terhadap
Barat ialah budaya yang tidak menghargai nilai-nilai agama, budaya sekuler, dan budaya yang selalu
mengedepankan prasangka sehingga selalu memberlakukan standar ganda. Streotipe ini terlihat dari
aksi-aksi protes yang dilakukan negera-negera Islam yang mengangkat isu ‘penghargaan terhadap
nilai-nilai agama’ dan karikatur bertema ‘standar ganda’. Implikasi dari adanya stereotipe dalam
komunikasi antara budaya Islam dan Barat ini adalah munculnya mispersepsi terhadap pemaknaan
karikatur tersebut. Barat memaknai karikatur tersebut sebagai bentuk kebebasan bicara sedangkan
Islam memaknai karikatur tersebut sebagai bentuk penghinaan terhadap nilai-nilai budaya Islam.
16 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
Ethnocentrism dalam kasus ini terlihat dari tendensi negara-negara Islam untuk mengidentifikasi
diri dengan dengan budaya agama Islam dan menggunakan nilai-nilai fundamental Islam dalam
mengevaluasi kelompok luar (outgroups) yang dalam hal ini adalah budaya Barat beserta anggota-
anggotanya yaitu negara-negara Denmark, Perancis, dan Norwegia. Karena adanya etnosentrisme
tersebut, masing-masing budaya menilai bahwa budayanya sendiri paling benar.
Sejarah dalam Komunikasi Antar Budaya
Merujuk pada argumen Martin dan Nakayama (2004), salah satu perangkat analisis yang
dapat digunakan dalam mengkaji benturan budaya dalam kasus ini adalah latar belakang sejarah
masing-masing budaya yang terlibat interaksi. Sejarah budaya Barat yang harus berjuang keras untuk
bebas dari belenggu otokrasi dan kekuasaan-kekuasaan yang mendominasi membentuk pemahaman
bagi identitas sosial mereka sebagai budaya yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan.
Sedangkan sejarah Islam mengajarkan bahwa Nabi Muhammad merupakan pemimipin spiritual yang
sangat dihormati dan dijunjung tinggi karena nilai-nilai agama yang dibawa dan disebarkannya. Hal
ini membentuk identitas budaya Islam sebagai kelompok budaya yang sangat menjunjung tinggi
penghormatan terhadap Nabi Muhammad. Jika dikaji dari Brislin (1981), dapat diketahui bahwa
elemen sejarah personal yang mempengaruhi interaksi antara budaya Barat dan Islam adalah
elemen childhood experience atau pengalaman masa lalu budaya Islam dan budaya Barat yang
membentuk sikap dan pandangan masing-masing anggota kelompoknya; elemen historical myths
atau mitos-mitos sejarah bahwa budaya Islam menyelesaikan masalah dengan kekerasan
mempengaruhi terbentuknya pandangan Barat terhadap Islam sebagai budaya yang terlalu
membatasi hak manusia. Sementara mitos sejarah bahwa Barat adalah budaya yang ingkar terhadap
nilai-nilai agama mempengaruhi terbentuknya pandangan Islam terhadap Barat sebagai kelompok
budaya yang tidak bisa menghargai simbol-simbol agama lain; Language atau perbedaan sistem
bahasa di sini terlihat dari perbedaan pemaknaan terhadap karikatur tersebut, di mana Barat menilai
bahwa penggambaran humoris Nabi Muhammad adalah sebuah bentuk karya humor yang satir,
sementara Islam menilai bahwa humor yang dilakukan tersebut melecehkan nilai-nilai fundamental
agama Islam. Elemen Recent/vivid events yang berpengaruh dalam kasus ini adalah tragedi serangan
World Trade Center New York pada tanggal 11 September 2001 serta berbagai aksi-aksi terorisme
yang mengatasnamakan Islam yang diberitakan secara luas di media massa internasional secara tak
langsung dan tidak sadar mempengaruhi pembentukan stereotype dan prasangka di dunia
internasional bahwa Islam adalah budaya yang mendukung terorisme.
17 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
Identity Negotiation Perspective dan Mindful Intercultural Communication
Dilihat dalam perspektif negosiasi identitas yang dikemukakan oleh Ting Too-Mey (1999),
dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa kedua kelompok budaya, yaitu budaya Islam dan budaya
Barat, gagal menegosiasikan identitas sosial mereka sehingga tercipta suatu kondisi interaksi yang
mindlessness. Kegagalan mengosiasikan identitas sosial yang berbeda ini antara lain disebabkna oleh
perbedaan persepsi yang dimiliki masing-masing kelompok budaya ketika berinteraksi, yaitu
intergroup-based perceptions atau persepsi antar budaya dalam tetaran kelompok yang hadir dalam
benak individu ketika akibat segregasi dan proses kategorisasi sosial terhadap budaya Islam.
Kegagalan negosiasi identitas sosial, yang merupakan prasyarat terjadinya komunikasi antar
budaya yang sukses dan efektif, ini jufa terjadi akibat tidak adanya kesediaan pihak-pihak yang
berkomunikasi untuk menempatkan diri kada kerangka rujukan budaya lain dan upaya penyesuaian
diri terhadap perbedaan-perbedaan budaya yang mempengaruhi perbedaan dalam memaknai
interaksi, sehingga tak dapat dipungkiri yang terjadi adalah Mindless Intercultural Communication
atau sebuah interaksi interkultural di mana pihak-pihak yang berinteraksi sangat mengandalkan pada
kerangka rujukan yang familiar, melalui rutinitas yang selalui dipakai sejak dahulu, dan terpaku
secara saklek dalam nilai-nilai budayanya sendiri sehingga timbul keengganan untuk menempatkan
diri dalam sudut pandang budaya lain.
18 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
Uraian di atas telah memberikan pemahaman kita konsep budaya, konsep komunikasi antar
budaya dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, hubungan antara sejarah dan kekuasaan
dengan perilaku kelompok budaya dalam komunikasi antar budaya, serta bagaiman suatu
komunikasi antar budaya yang baik itu seharusnya berjalan (mindful intercultural communication).
Semua konsep-konsep yang terkait dengan proses komunikasi antar budaya tersebut dianalisis
dalam konteks komunikasi antar budaya dengan tingkat keanggotaan kelompok budaya berada pada
tingkat wilayah dunia atau global dengan perbedaan budayanya adalah budaya Islam dan budaya
Barat. Komunikasi yang berlangsung di antara kedua kelompok budaya tersebut adalah mediated
communication atau berlangsung dalam media massa.
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa dalam komunikasi antara
kedua budaya tersebut telah terjadi cultural clash sebagai bentuk absennya mindfulness dalam
berkomunikasi atau dapat dikatakan bahwa komunikasi antara budaya Islam dan budaya Barat
dalam kasus ini telah menunjukkan mindlessness. Mindlessness ini terjadi karena dipengaruhi oleh
faktor-faktor budaya yaitu perbedaan karakteristik antara budaya Islam dan budaya Barat, faktor
sosiobudaya yaitu perbedaan identitas sosial antara keduanya yang berdasarkan perspektif negosiasi
idemntitas perbedaan identitas sosial tersebut tidak mampu dinegosiasikan secara baik oleh
keduanya, faktor psikobudaya yaitu munculnya stereotip, prasangka, dan etnosentrisme pada kedua
belah pihak, dan juga pengaruh sejarah yang dalam permasalahan ini dipengaruhi oleh adanya
mitos-mitos historis serta kejadian-kejadian aktual antara kedua kelompok tersebut yang
membentuk persepsi terhadap masing-masing kelompok.
PPP EEE NNN UUU TTT UUU PPP
19 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
Gudykunst, William B and Kim, Young Yun. (2003). Communicating with Strangers : An Approach to
Intercultural Communication. Fourth Edition. Boston : McGraw Hill.
Jeanette S. Martin, Jeanette S dan Lillian Chaney. (2006) Intercultural Communication Choices in the
Muhammad Caricature Debacle. Paper dipublikasikan pada Association for Business
Communication Annual Convention 2006.
Martin, Judith N and Nakayama, Thomas K. (2004). Intercultural Communication in Contexts. Boston:
McGraw Hill.
Rakhmat, Jalaludin. (2005) Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda Karya.
Ting Too-Mey, Stella. (1999) Communicating Across Culture. New York: The Guildford Press.
Yudhoyono, Susilo Bambang. (2006). Let’s Try to Get Beyond Caricature. Artikel dalam The
International Herald Tribune, 10 Februari 2006. Diakses dari http://www.nytimes.com/2006/
02/10/opinion/10iht-edsby.html?_r=1
.
DDD AAA FFF TTT AAA RRR PPP UUU SSS TTT AAA KKK AAA
20 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
LAMPIRAN : GAMBAR KARIKATUR DI JYLLANDS-POSTENS
21 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
22 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
23 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
24 | Tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam Kontroversi Karikatur Nabi Muhammad
Karikatur ini diambil dari surat kabar Yordania Al Ghad yang berpendapat bahwa Dunia Barat
memakai standar ganda dalam kontroversi Jyllands-Posten ini. Teks dalam gambar ini menyatakan
menurut arah jarum jam: "Yang ini rasis" ; "Yang ini anti-semitik" ; dan "Yang ini termasuk kebebasan
berpendapat."
LAMPIRAN : GAMBAR KARIKATUR BALASAN
Top Related