ANALISIS KESENJANGAN ANTARA
POTENSI DAN ANGGARAN PENDAPATAN PAJAK HIBURAN:
STUDI KASUS PADA KABUPATEN WONOSOBO
Thesis Summary
Dosen Pembimbing:
Irwan Taufiq Ritonga, M.Bus., Ph.D., CA.
Oleh:
Krist Setyo Yulianto
19/447401/PEK/24702
PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021
Analisis Kesenjangan antara Potensi dan Anggaran Pendapatan Pajak Hiburan
Krist Setyo Yulianto, Irwan Taufiq Ritonga
Universitas Gadjah Mada
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
kesenjangan yang signifikan antara potensi dan anggaran pendapatan Pajak Hiburan di
Pemerintah Daerah Kabupaten Wonosobo. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan metoda studi kasus untuk mencapai tujuan penelitian. Data penelitian
diperoleh dengan wawancara mendalam dan telaah dokumen. Penelitian ini menemukan
bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara potensi dan anggaran
pendapatan pajak hiburan adalah legislatif abai dalam penganggaran, asimetri informasi
antara eksekutif dan legislatif, dan eksekutif mengelabui legislatif. Penelitian ini juga
menemukan adanya fenomena incremental budgeting pada penyusunan anggaran
pendapatan di pemerintah daerah. Penelitian ini memberikan kontribusi praktis bagi
pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan anggaran pendapatan daerah dalam rangka
peningkatkan PAD. Penelitian ini juga memberikan kontribusi akademis sebagai referensi
akademis terkait perilaku oportunis agen dalam menetapkan target anggaran pada organisasi
publik
Kata kunci: anggaran, kesenjangan, pajak hiburan, pemerintah daerah, pendapatan
asli daerah, teori agensi.
1. Pendahuluan
Asimetri informasi terjadi antara eksekutif (agency) dan legislatif (principal) ketika
penetapan anggaran pendapatan pemerintahan daerah (Halim, 2002). Pada penyusunan
target anggaran pendapatan, asimetri informasi menimbulkan problematika kesenjangan
anggaran yang diakibatkan oleh potensi pendapatan daerah tidak diungkapkan dengan
sesungguhnya oleh eksekutif (Widanaputra dan Mimba, 2014; Abdullah dan Nazry, 2014,
2015; Halim dan Abdullah, 2006; Halim, 2002; Douglas dan Wier, 2002). Dalam hal ini,
kesenjangan (slack) adalah perbedaan antara target kinerja yang direncanakan dan
kemampuan atau potensi produktifnya secara nyata (Young, 1985; Douglas & Wier, 2002).
Namun demikian, pada umumnya potensi sumber pendapatan pemerintah daerah belum
mampu diidentifikasi oleh pemerintah daerah sehingga kebanyakan daerah belum berhasil
mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD), utamanya pajak daerah (Halim, 2016;
Firdausy, 2017). Hal ini didukung dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian
yang meminta setiap kepala daerah untuk memiliki jiwa entrepreneurship dalam menggali
potensi daerah untuk meningkatkan PAD (Nugraheny, 2020).
Berkaitan dengan problematika tersebut, salah satu jenis pajak daerah, yaitu pajak
hiburan memberikan peran yang masih kecil pada PAD di Pulau Jawa. Minimnya peran
pajak hiburan terhadap PAD pada pemerintah daerah kabupaten/kota di Pulau Jawa
ditunjukkan pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Persentase Realisasi Pajak Hiburan (PH) Terhadap PAD Kota/Kabupaten di Enam
Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2017-20191
Provinsi
2017 2018 2019
PH/PAD
(%)
PH/PAD
(%)
PH/PAD
(%)
DKI Jakarta 1,72 1,92 1,88
Banten 1,21 1,59 1,74
Jawa Barat 1,25 1,63 1,71
Jawa Tengah 0,43 0,65 0,73
D.I Yogyakarta 1,27 1,41 1,35
Jawa Timur 0,72 0,97 1,04
Sumber: Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI TA 2017-2019 (data diolah)
Tabel 1 menunjukkan bahwa pendapatan pajak hiburan kabupaten/kota di Provinsi
Jawa Tengah belum dikelola dengan baik. Hal tersebut tercermin pada kontribusi pajak
hiburan yang paling rendah di antara semua provinsi di Pulau Jawa. Pendapatan pajak
hiburan pemerintah kota/kabupaten di wilayah Provinsi Jawa Tengah dapat diuraikan lebih
lanjut pada tabel 2 berikut.
Tabel 2. Persentase Realisasi Pajak Hiburan terhadap PAD Kota/Kabupaten di Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2019
No Kota/Kabupaten PH
PAD No Kota/Kabupaten
PH
PAD No Kota/Kabupaten
PH
PAD
1 Kota Surakarta 2,69 13 Kabupaten Karanganyar 0,31 25 Kabupaten Wonogiri 0,09
2 Kota Pekalongan 2,61 14 Kota Salatiga 0,31 26 Kabupaten Demak 0,08
3 Kota Tegal 2,35 15 Kabupaten Cilacap 0,24 27 Kabupaten Sragen 0,07
4 Kabupaten Semarang 1,67 16 Kabupaten Pati 0,23 28 Kabupaten Rembang 0,07
5 Kota Semarang 1,63 17 Kabupaten Kudus 0,16 29 Kabupaten Brebes 0,06
6 Kabupaten Sukoharjo 1,46 18 Kabupaten Blora 0,14 30 Kabupaten Boyolali 0,05
7 Kabupaten Purbalingga 1,34 19 Kabupaten Tegal 0,12 31 Kabupaten Pekalongan 0,05
8 Kota Magelang 1,22 20 Kabupaten Banjarnegara 0,11 32 Kabupaten Purworejo 0,05
9 Kabupaten Magelang 0,94 21 Kabupaten Kendal 0,11 33 Kabupaten Temanggung 0,05
10 Kabupaten Banyumas 0,84 22 Kabupaten Pemalang 0,10 34 Kabupaten Jepara 0,05
11 Kabupaten Klaten 0,56 23 Kabupaten Grobogan 0,10 35 Kabupaten Wonosobo 0,03
12 Kabupaten Batang 0,52 24 Kabupaten Kebumen 0,09
Sumber: LHP BPK RI, LKPD Kab/Kota Provinsi Jateng TA 2019 (data diolah)
Tabel 2 memperlihatkan bahwa pendapatan pajak hiburan di Kabupaten Wonosobo
merupakan yang paling rendah di antara kota/kabupaten di Provinsi Jawa Tengah pada tahun
2019. Namun demikian, hal ini berbanding terbalik dengan aktivitas pariwisata di Kabupaten
Wonosobo yang terkenal dengan wisata Dieng yang merupakan salah satu destinasi wisata
yang dapat meningkatkan PAD yang berasal dari wisatawan nusantara maupun
mancanegara. Hal ini ditunjukkan pada proporsi pendapatan pajak hiburan terhadap PAD
1 Studi ini tidak menampilkan data tahun anggaran 2020 karena ketika peneliti menyusun penelitian ini,
laporan keuangan tahun anggaran 2020 belum terbit.
yang masih kecil. Persentase realisasi pendapatan pajak hiburan terhadap PAD tahun 2017
– 2019 di Pemerintah Kabupaten Wonosobo ditunjukkan pada tabel 3 berikut.
Tabel 3. Realisasi PAD dan Pajak Hiburan Pemerintah Kabupaten Wonosobo Tahun
2017-2019
Tahun PAD Pajak Hiburan PH/PAD
2017 Rp309.170.757.259 Rp43.989.250 0,01%
2018 Rp226.819.478.601 Rp48.269.601 0,02%
2019 Rp238.371.743.591 Rp63.106.370 0,03%
Sumber: Laporan Realisasi Anggaran Kabupaten Wonosobo TA 2017-2019
Tabel 3 menunjukkan bahwa pajak hiburan belum berperan secara signifikan
terhadap pendapatan asli daerah di Kabupaten Wonosobo. Berkaitan dengan hal ini, salah
satu objek pajak hiburan ialah hiburan karaoke. Pada tahun 2018, Badan Pengelolaan
Pendapatan, Keuangan, dan Aset Daerah (BPPKAD) Kabupaten Wonosobo telah
melakukan upaya perhitungan kapasitas pendapatan karaoke pada tiga belas rumah hiburan
dalam satu tahun. Perhitungan kapasitas pendapatan karaoke pada tiga belas rumah hiburan
didasarkan pada usaha karaoke yang telah terdaftar pada Asosiasi Pengusaha Karaoke
Wonosobo (Asparaw). Dalam hal ini, BPPKAD Kabupaten Wonosobo hanya menghitung
kapasitas terpasang pajak hiburan karaoke dan belum melakukan perhitungan potensi
pendapatan hiburan karaoke.
Berdasarkan perhitungan kapasitas terpasang pajak hiburan karaoke yang dilakukan
oleh BPPKAD Kabupaten Wonosobo pada tiga belas cafe, peneliti berupaya lebih lanjut
untuk melakukan perhitungan potensi pajak hiburan pada tiga belas café. Pertama, peneliti
melakukan analisis probabilitas keterisian hiburan. Untuk hal ini, peneliti melakukan
wawancara mendalam dengan koordinator juru pungut pajak daerah Kabupaten Wonosobo
yang menyatakan bahwa kunjungan hiburan yang paling ramai ialah pada akhir pekan.
Berikut cuplikan hasil wawancara dengan juru pungut pajak daerah Kabupaten Wonosobo:
“itu menjelang weekend bisa 80% masuk mas seperti itu. Tetapi, kalau hari-hari
biasa itu kemungkinan dari 10 room itu cuma 3 atau 4 room sehari atau separuhnya
yang bisa masuk untuk pengunjung yang masuk ke tempat hiburannya segitu mas.
Kalau ramainya kapan biasanya dari sana (pengusaha hiburan karaoke) itu
jawabnya hari Sabtu dan Minggu. Kalau hari biasa itu pengunjung sekitar 30-40%
mungkin 50% paling banyak. ”
Berdasarkan wawancara mendalam dengan koordinator juru pungut pajak daerah, peneliti
menyimpulkan bahwa probabilitas keterisian hiburan karaoke pada hari Senin sampai
dengan Kamis sebesar 30-40%, hari Jumat sebesar 80%, dan hari Sabtu dan Minggu sebesar
100%.
Kedua, peneliti menghitung jumlah hari kunjungan untuk masing-masing hari (Senin
– Minggu) dalam satu tahun. Untuk hal ini, peneliti melakukan pembagian jumlah hari
kunjungan hiburan dalam satu tahun berdasarkan asumsi perhitungan BPPKAD, yaitu 330
hari dengan jumlah hari dalam satu minggu sejumlah 7 hari. Asumsi 330 hari didasarkan
pada perhitungan kapasitas hiburan yang dilakukan oleh BPPKAD Kabupaten Wonosobo,
yaitu selama 11 bulan dalam 1 tahun. Kemudian, peneliti memperoleh jumlah hari
kunjungan untuk masing-masing hari (Senin – Minggu) sejumlah 47 hari dalam 1 tahun (330
hari/7 hari).
Terakhir, peneliti melakukan perhitungan potensi pendapatan pajak hiburan dengan
mengalikan antara kapasitas keterisian, probabilitas keterisian, jumlah hari kunjungan, dan
tarif pajak hiburan dalam 1 tahun. Berikut analisis potensi pajak hiburan karaoke per-rumah
hiburan di Kabupaten Wonosobo.
Tabel 4. Data Kapasitas dan Potensi Pajak Hiburan Tahun 2018 Kabupaten Wonosobo
Rumah
Hiburan
Jumlah
Kapasitas
Terpasang
(Rp)
Potensi Pendapatan Pajak Hiburan pada
Rumah Hiburan (Rp)*
Senin
(30%)
Selasa-Kamis
(40%)
Jumat
(80%)
Sabtu-Minggu
(100%)
Café A 121.440.000 5.188.800 20.755.200 13.836.800 34.592.000
Café B 63.360.000 2.707.200 10.828.800 7.219.200 18.048.000
Café C 63.360.000 2.707.200 10.828.800 7.219.200 18.048.000
Café D 73.920.000 3.158.400 12.633.600 8.422.400 21.056.000
Café E 29.040.000 1.240.800 4.963.200 3.308.800 8.272.000
Café F 168.300.000 7.191.000 28.764.000 19.176.000 47.940.000
Café G 155.760.000 6.655.200 26.620.800 17.747.200 44.368.000
Café H 105.600.000 4.512.000 18.048.000 12.032.000 30.080.000
Café I 147.840.000 6.316.800 25.267.200 16.844.800 42.112.000
Café J 128.700.000 4.230.000 16.920.000 11.280.000 28.200.000
Café K 73.920.000 3.158.400 12.633.600 8.422.400 21.056.000
Café L 105.600.000 4.512.000 18.048.000 12.032.000 30.080.000
Café M 5.940.000 253.800 1.015.200 676.800 1.692.000
Total 1.213.080.000 742.919.600
*Potensi = kapasitas x probabilitas keterisian x jumlah hari kunjungan/330 x tarif PH 40%
Sumber: BPPKAD Kab. Wonosobo Tahun 2018 (data diolah)
Berkaitan perhitungan kapasitas yang telah dilakukan, BPPKAD Kabupaten
Wonosobo telah melakukan survei untuk menggali informasi terkait omzet bulanan pelaku
usaha dalam satu tahun sebesar Rp1.213.080.000 pada tahun 2018. Berdasarkan omzet
bulanan dalam satu tahun tersebut, BPPKAD mengenakan tarif pajak sebesar 40% atas
pendapatan karaoke sesuai Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Wonosobo Nomor 10
Tahun 2018 tentang Pajak Daerah. Berdasarkan perhitungan BPPKAD atas kapasitas pajak
hiburan dalam satu tahun, peneliti melakukan perhitungan potensi pajak hiburan. Hasilnya
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang mencolok antara data potensi pajak hiburan
dengan anggaran yang ditargetkan.
Tabel 4 mendeskripsikan bahwa potensi pendapatan pajak hiburan tahun 2018 pada
13 rumah hiburan berjumlah Rp742.919.600, tetapi pemerintah daerah pada tahun 2019
hanya menganggarkan sebesar Rp45.000.000. Perbandingan antara potensi dan target
anggaran hanya sebesar 0,0651 (45.000.000 : 742.919.600) atau sebesar 6,51%. Dengan
demikian, terdapat kesenjangan yang besar antara potensi pajak hiburan dengan anggaran
yang ditargetkan. Hal ini memotivasi peneliti untuk menganalisis penyebab terjadinya
kesenjangan.
Beberapa peneliti telah melakukan studi terkait permasalahan optimalisasi
pendapatan asli daerah dari sisi pajak daerah. Kajian tentang potensi pendapatan daerah dari
pajak daerah untuk optimalisasi PAD dengan menggunakan pendekatan kualitatif telah
dilakukan oleh Gustini (2011) dan pendekatan kuantitatif dilakukan oleh Hendrawati &
Sumarsono (2012) dan Wulandewi & Supadmi (2020). Selanjutnya, kajian literatur terkait
hubungan dan masalah keagenan pada Pemerintahan Daerah, khususnya hubungan eksekutif
dan legislatif telah dilakukan oleh Halim & Abdullah (2006).
Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Gustini (2011) dan penelitian kuantitatif
yang dilakukan oleh Hendrawati & Sumarsono (2012) dalam menjelaskan hasil
penelitiannya belum menggunakan teori. Dalam hal ini, penelitian ini berbeda dengan
penelitian Gustini (2011) dan Hendrawati & Sumarsono (2012) karena penelitian ini
menggunakan teori keagenan sebagaimana disarankan oleh Halim & Abdullah (2006). Pada
konteks ini, penggunaan teori pada penelitian ini dapat menyumbangkan kontribusi pada
tingkat akademis.
Kajian literatur yang dilakukan oleh Halim & Abdullah (2006) menunjukkan adanya
peluang penggunaan teori keagenan pada pemerintah daerah di Indonesia, khususnya
legislatif (prinsipal) dan eksekutif (agen). Halim & Abdullah (2006) belum menganalisis
penggunaan teori keagenan pada fenomena yang terjadi di pemerintah daerah.
Penelitian yang dilakukan oleh Wulandewi & Supadmi (2020) dan Hendrawati &
Sumarsono (2012) menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian Wulandewi & Supadmi
(2020) dan Hendrawati & Sumarsono (2012) belum melakukan telaah mendalam pada objek
penelitiannya. Hal ini dikarenakan analisis yang dilakukan oleh Wulandewi & Supadmi
(2020) dalam menganalisis rendahnya kontribusi pajak restoran terhadap PAD hanya
didasarkan pada perhitungan yang bersumber pada data sekunder dari Dinas Pendapatan
Kabupaten Bandung dan data primer melalui instrumen kuesioner. Hal yang sama juga
dilakukan oleh penelitian Hendrawati & Sumarsono (2012) dalam menganalisis kesenjangan
antara potensi dan realisasi serta efektivitas pajak parkir terhadap PAD dengan
menggunakan perhitungan peneliti berdasarkan data sekunder dari Dinas Perhubungan Kota
Malang. Penelitian ini berbeda dengan penelitian Hendrawati & Sumarsono (2012) dan
Wulandewi & Supadmi (2020) karena penulis menggunakan data primer melalui wawancara
mendalam dengan partisipan dan data sekunder melalui dokumen-dokumen yang bersumber
dari partisipan sehingga hasil penelitian lebih akurat.
Berdasarkan fenomena yang terjadi di Kabupaten Wonosobo, penulis mengeksplorasi
faktor-faktor penyebab selisih yang signifikan antara potensi dan anggaran pendapatan
dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan
yang sesuai untuk memahami makna secara mendalam sehingga dapat memberikan
kontribusi praktis secara lebih kuat. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
kepada pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan anggaran pendapatan daerah dalam
rangka peningkatan PAD di pemerintah daerah Indonesia. Selain itu, penggunaan teori
keagenan pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi akademis karena
dapat memberikan referensi akademis terkait perilaku oportunis agen, yaitu eksekutif dalam
hal kecenderungan perilaku eksekutif dalam menetapkan target anggaran pada organisasi
publik.
2. Rerangka Teori dan Tinjauan Pustaka
2.1. Teori Keagenan
Teori Keagenan berkaitan dengan permasalahan antara prinsipal-agen yang mencerminkan
keutuhan relasi antara prinsipal dan agen dalam aktivitas sosial (Mitnick, 1992). Teori
Keagenan menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok,
atau organisasi (Halim & Abdullah, 2006). Salah satu pihak (prinsipal) membuat sebuah
kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit terhadap pihak lain (agen) dengan harapan
bahwa agen akan berbuat seperti yang dicita-citakan oleh prinsipal (Halim & Abdullah,
2006). Pendelegasian kuasa timbul ketika suatu kelompok orang atau individu (prinsipal)
memilih individu atau suatu kelompok (agen) yang bekerja selaras dengan kepentingan
prinsipal (Lupia & McCubbins, 2000).
Teori Keagenan dapat diaplikasikan dalam organisasi publik (Halim dan Abdullah,
2006). Hubungan keagenan dalam organisasi publik terbagi menjadi eksekutif-legislatif,
legislatif-publik, eksekutif-publik dan eksekutif-birokrasi (Moe, 1984 dalam Abdullah dan
Nazry, 2014, 2015). Berkaitan dengan hal ini, sejak implementasi otonomi daerah pertama
kali di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, peluang studi dengan mengaplikasikan perspektif keagenan terbuka lebar (Halim
dan Abdullah, 2006).
Hubungan keagenan antara eksekutif dan legislatif di organisasi sektor publik
ditunjukkan melalui peran eksekutif (pemerintah daerah) sebagai agen sedangkan
masyarakat berperan sebagai prinsipal yang direpresentasikan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) (Halim, 2002). Namun demikian, kondisi ini justru melahirkan
individu dan kelompok-kelompok oportunis yang mengutamakan personal dan
kelompoknya dibandingkan kepentingan publik (Abdullah, 2004).
Asumsi yang timbul mengenai sifat oportunistik pada Teori Keagenan ialah adanya
asimetri informasi (Eisenhard, 1989). Asimetri informasi ini berkaitan dengan informasi
potensi yang dimiliki oleh sebuah daerah dimana informasinya akan lebih banyak diketahui
dan dikuasai oleh agen, yaitu pemerintah daerah (Halim, 2002). Eksekutif berperan dalam
menyusun rancangan anggaran sehingga memiliki informasi yang lebih lengkap
dibandingkan dengan legislatif sehingga hal ini menimbulkan asimetri informasi pada relasi
antara prinsipal-agen (Dobell & Ulrich, 2002). Oleh karena itu, usulan atas rancangan
anggaran pada pelaksanaan pelayanan publik disesuaikan pada asumsi-asumsi yang
memudahkan eksekutif dalam memberikan pelayanan publik (Halim & Abdullah, 2006).
Dalam studi ini, Teori Keagenan menjelaskan tindakan eksekutif terkait adanya kesenjangan
antara potensi dan anggaran pada pajak hiburan di Kabupaten Wonosobo.
2.2. Penganggaran Pendapatan Pemerintah Daerah
Proses penganggaran pemerintah daerah diawali dengan penyusunan rancangan Kebijakan
Umum APBD (KUA) oleh eksekutif yang mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah
(RKPD) (Republik Indonesia, 2019). KUA yang disusun, salah satunya memuat kebijakan
tentang penyusunan anggaran pendapatan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode
satu tahun ke depan sebagai landasan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (RAPBD). Selanjutnya, DPRD membahas rancangan KUA yang disampaikan oleh
eksekutif. Berdasarkan KUA yang telah disepakati, eksekutif menyusun Prioritas dan Plafon
Anggaran Sementara (PPAS) yang selanjutnya dibahas dan ditetapkan bersama DPRD.
KUA dan PPAS yang telah dibahas dan disepakati oleh eksekutif dan DPRD
dijadikan sebagai acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk menyusun
Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD). Kepala SKPD selaku pengguna
anggaran menyusun RKA-SKPD dengan menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran
jangka menengah daerah, penganggaran terpadu, dan penganggaran berdasarkan kinerja.
RKA-SKPD pada bidang pendapatan memuat rencana pendapatan terkait urusan
pemerintahan daerah, organisasi, kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek pendapatan
daerah yang akan diterima oleh SKPD sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsinya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan (Republik Indonesia, 2019).
Selanjutnya, RKA-SKPD yang telah disusun oleh kepala SKPD disampaikan kepada DPRD
untuk dibahas. Hasil pembahasan RKA-SKPD disampaikan kepada pejabat pengelola
keuangan daerah (PPKD) sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah
(Raperda) tentang APBD tahun selanjutnya. Setelah rancangan peraturan daerah terbentuk,
eksekutif menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang APBD berikut penjelasan dan
dokumen pendukung kepada DPRD untuk disetujui.
2.3. Kesenjangan Anggaran Pendapatan
Kesenjangan (slack) adalah perbedaan antara target kinerja yang direncanakan dan
kemampuan atau potensi produktifnya secara nyata (Young, 1985; Douglas & Wier, 2002).
Kesenjangan anggaran pada pendapatan terjadi karena target atas pendapatan diputuskan
lebih rendah daripada potensi yang sesungguhnya pada sebuah organisasi (Abdullah dan
Nazry, 2014, 2015; Halim dan Abdullah, 2006; Halim, 2002, Douglas dan Wier, 2002).
Dalam hal ini kesenjangan anggaran tersebut terjadi karena pelaksana anggaran ingin
menyusun target anggaran yang lebih mudah untuk dicapai (Young, 1985; Merchant, 1985;
Dunk, 1993).
Eksekutif memiliki tendensi untuk menetapkan target anggaran pendapatan yang
lebih rendah daripada potensi agar lebih mudah tercapai dalam realisasi anggaran (Abdullah,
2004; Halim & Abdullah, 2006). Proses tersebut menimbulkan kesenjangan anggaran yang
merupakan cerminan adanya asimetri informasi antara eksekutif dan legislatif (Halim &
Abdullah, 2006). Dengan demikian, adanya under-estimated atas anggaran pendapatan
dikarenakan agen (eksekutif) memiliki perilaku oportunistis (self-interest) untuk
mengamankan posisinya agar target mudah terealisasi (Abdullah dan Nazry, 2014, 2015).
2.4. Pajak Hiburan
Pajak hiburan merupakan pajak atas penyelenggaraan hiburan yang bersifat self-assessment
(Republik Indonesia, 2009; Kabupaten Wonosobo, 2018). Hiburan adalah semua jenis
tontonan, pertunjukkan, permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut
bayaran. Badan atau orang pribadi yang menikmati hiburan merupakan subjek pajak hiburan
(Republik Indonesia, 2009). Selanjutnya, wajib pajak hiburan adalah badan atau orang
pribadi yang mengadakan hiburan. Objek Pajak Hiburan merupakan jasa penyelenggaran
hiburan dengan dipungut bayaran (Republik Indonesia, 2009). Jumlah pendapatan yang
diterima oleh penyelenggara hiburan dijadikan sebagai dasar pengenaan pajak hiburan.
Tabel 5 berikut menginformasikan tarif dan objek pajak hiburan di Kabupaten Wonosobo.
Tabel 5. Tarif dan Objek Pajak Hiburan di Kabupaten Wonosobo No Keterangan Tarif No Keterangan Tarif
1 Tontonan film. 10% 6 Akrobat, sirkus, sulap dan sejenisnya. 20%
2 Kontes kecantikan, binaraga dan
sejenisnya.
10% 7 Pacuan kuda. 15%
3 Pagelaran kesenian, musik, tari,
dan/atau busana.
20% 8 Permainan bowling dan bilyar. 15%
4 Klab malam, diskotik, karaoke, dan
sejenisnya.
40% 9 Mandi uap dan sauna/spa. 25%
5 Pameran seni budaya dan sejenisnya. 10% 10 Pertandingan olahraga. 15%
Sumber: Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo (2018)
3. Metoda Penelitian
Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Pendekatan kualitatif
merupakan pendekatan penelitian yang paling sesuai untuk menjelaskan pertanyaan “mengapa”
untuk memahami masalah dan “bagaimana” yang menggambarkan proses atau perilaku
(Hennink, Hutter, & Bailey, 2011). Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan
mengapa terjadi selisih signifikan antara potensi dan anggaran pendapatan pajak hiburan di
Pemerintah Kabupaten Wonosobo. Selain itu, penelitian ini juga mengindentifikasi faktor-faktor
yang menyebabkan adanya kesenjangan yang signifikan antara potensi dan anggaran pajak
hiburan. Oleh karena itu, pendekatan kualitatif sesuai untuk studi ini.
3.1. Sampel Penelitian
Objek penelitian ini ialah Pemerintah Kabupaten Wonosobo. Responden penelitian ini
adalah pihak-pihak yang terlibat dalam penentuan besaran target anggaran pendapatan pajak
hiburan. Metode pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dan
snowball sampling. Tabel 6 berikut menginformasikan tentang responden di dalam
penelitian ini.
Tabel 6. Daftar Kode Informan
Kode Kantor Jabatan Jumlah
Partisipan
Durasi
Wawancara
KSPt BPPKAD Wonosobo Kasubbid Penetapan, Pajak Daerah dan
Pengendalian Pendapatan Daerah
1 30:01
KSPn BPPKAD Wonosobo Kasubbid Penerimaan dan Pengelolaan
Pendapatan Daerah
1 37:33
KP BPPKAD Wonosobo Kabid Pengelolaan Pajak Daerah dan
Pendapatan Daerah
1 1:05:47
KA BPPKAD Wonosobo Kabid Anggaran BPPKAD 1 22:15
KB BPPKAD Wonosobo Kepala BPPKAD 1 49:53
JP BPPKAD Wonosobo Pelaksana Juru Pungut (Koordinator
Wilayah Selatan)
1 1:34:47
KRE BAPPEDA
Wonosobo
Kabid Perencanaan, Pengendalian,
Evaluasi, Penelitian dan Pengembangan,
dan Pengawasan
1 41:30
AI Inspektorat Daerah
Wonosobo
Auditor Inspektorat Daerah 1 2:00:34
SI Inspektorat Daerah
Wonosobo
Sekretaris Inspektorat Daerah 1 53:31
DP Sekretariat DPRD
Wonosobo
Anggota DPRD Komisi B bidang
Perekonomian Daerah
1 51:43
3.2. Pengumpulan Data
Tahap awal strategis dalam studi ini ialah menentukan teknik pengumpulan data yang
bertujuan untuk memperoleh data. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini
menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi. Data yang digunakan bersumber dari
data primer yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan informan dan data
sekunder berupa dokumen pendukung. Peneliti melakukan wawancara secara tatap muka
dengan informan. Pertanyaan wawancara yang disusun berbentuk pertanyaan semi
terstruktur yang bertujuan agar informan dapat memberikan pendapat, ide-idenya, dan
pandangannya pada proses wawancara. Pertanyaan wawancara terkait dengan keterlibatan
informan dalam proses penyusunan anggaran pendapatan pajak hiburan. Selain itu,
pertanyaan penelitian yang diajukan juga berkaitan mengenai faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan terjadinya gap antara potensi dan anggaran.
Studi ini juga menggunakan data sekunder yang didapat secara langsung dari
informan dan situs resmi pemerintah. Data sekunder yang diperoleh meliputi data kapasitas
pajak hiburan, data anggaran pendapatan, roadmap pajak daerah, Kebijakan Umum APBD-
Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2018 dan 2019, dan data rincian belanja
sub kegiatan satuan kerja perangkat daerah (SKPD)-BPPKAD.
3.3. Analisis Data
Data primer yang berhasil terkumpul selanjutnya dianalisis dengan beberapa prosedur.
Langkah pertama, peneliti mengumpulkan data dari berbagai sumber informasi untuk
ditinjau. Selama pengumpulan dan penyajian data, peneliti melakukan analisis data.
Aktivitas yang dilakukan meliputi mentranskip hasil wawancara mendalam, memindai
materi, memilah-milah data, dan menyusun data ke dalam kategori atau subtema. Langkah
kedua, peneliti fokus membaca data secara menyeluruh. Dalam hal ini peneliti membangun
gagasan umum yang merefleksikan makna data secara keseluruhan dari informasi yang
didapat. Ketiga, peneliti melakukan proses pengkodean atas seluruh data untuk
mendeskripsikan informasi. Pada proses pengkodean, peneliti menyusun beberapa tema atau
kategori yang menjadi bagian hasil utama penelitian. Langkah terakhir, peneliti memaknai
data dengan menginterpretasikan hasil penelitian.
Pada data sekunder, peneliti menggunakan teknik analisis isi untuk menelaah data
kapasitas pajak hiburan, data potensi pajak hiburan, data anggaran pendapatan pajak hiburan,
peraturan perundang-undangan, roadmap reformasi pajak daerah Kabupaten Wonosobo,
KUA-PPAS 2018 dan 2019, dan data rincian belanja sub kegiatan SKPD-BPPKAD.
3.4. Uji Validitas dan Reliabilitas
Untuk menguji validitas data, peneliti menggunakan teknik peer debriefing, triangulasi, dan
member checking. Dalam menyusun pertanyaan wawancara, peneliti melakukan tanya-
jawab dengan sesama rekan peneliti (peer debriefing) untuk meningkatkan keakuratan hasil
penelitian (Cresswell, 2014). Peneliti menggunakan triangulasi teknik dan sumber dalam
menjelaskan keabsahan data pada studi ini. Triangulasi sumber yang dilakukan pada studi
ini ialah memeriksa keabsahan data dengan menandingkan hasil wawancara antar responden.
Triangulasi teknik dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda
untuk memperoleh data dari sumber yang sama, yaitu wawancara mendalam dan
dokumentasi. Selain itu, peneliti melakukan member checking untuk mengetahui akurasi
data dengan cara menyampaikan deskripsi hasil wawancara kepada informan. Apabila
informan menyetujui dengan hasilnya, maka informan diminta untuk menandatangani
lembar cek sebagai tanda setuju.
Pada uji reliabilitas data, peneliti menggunakan teknik audit terhadap keseluruhan
proses penelitian (inquiry audit). Dalam hal ini, langkah-langkah reliabilitas data pada
penelitian ini (Cresswell, 2014), diantaranya: pertama, peneliti memeriksa hasil transkripsi
untuk menegaskan bahwa hasil transkripsi yang dilakukan tidak mengandung kesalahan dan
bias. Kedua, peneliti memastikan tidak terdapat makna yang tidak jelas mengenai kode
selama proses koding dilakukan. Terakhir, peneliti melakukan cross-check atas kode-kode
yang telah dibuat. Untuk memenuhi reliabilitas data, peneliti perlu mencari orang yang dapat
meng-cross-check kode untuk memperoleh reliabilitas antar kode (intercoder reliability)
(Cresswell, 2014). Oleh karena itu, pada prosedur cross-check kode, peneliti melakukan
persetujuan atas cross-check kode dengan dibantu informan.
4. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan analisis data, penyebab terjadinya gap antara potensi dan anggaran pendapatan
pajak hiburan sebagaimana dijelaskan dalam alinea-alinea berikut.
4.1. Legislatif Abai dalam Penganggaran
Proses penetapan anggaran pendapatan pajak hiburan dilakukan oleh eksekutif (agen),
yaitu bidang pengelola pajak daerah dan pendapatan daerah pada Badan Pengelolaan
Pendapatan, Keuangan, dan Aset Daerah (BPPKAD) Kabupaten Wonosobo. Dalam hal ini,
eksekutif (agen) yang berperan dalam menetapkan target anggaran pendapatan pajak hiburan
adalah kepala sub bidang pendataan dan pengembangan pajak daerah, kepala sub bidang
penetapan pajak daerah, kepala sub bidang penerimaan pajak daerah dan kepala bidang
pengelola pajak daerah. Sebagaimana ditunjukkan pada hasil wawancara dengan kepala
bidang pengelolaan pajak daerah Kabupaten Wonosobo berikut.
“Pihak yang terlibat dari sisi pemerintah daerah, yaitu pada bidang pengelolaan
pajak daerah dan pendapatan daerah. Disitu melalui pendataan kan ada kasubbid
pendataan dan pengembangan pajak daerah kemudian kasubbid penetapan pajak
daerah kemudian ada kasubbid penerimaan dan pengelolaan pajak daerah. Ada
tiga tersebut yang ikut terlibat dalam penentuan besaran target anggaran pajak
hiburan.” (KP.46)
Pada sisi legislatif, proses penetapan anggaran pendapatan pajak hiburan dilakukan oleh
komisi B bidang perekonomian daerah dan badan anggaran legislatif. Dalam hal ini legislatif
(prinsipal) berperan untuk mengesahkan dan menyetujui anggaran pendapatan pajak hiburan
yang diusulkan oleh eksekutif (agen).
“Pada bagian legislatif itu ada banggar, ya badan anggaran DPR. Kemudian,
biasanya dari banggar disampaikan ke setiap komisi. Kalau menyoroti pajak
daerah ya komisi B terkait perekonomian daerah.” (DP)
Pada proses pembahasan anggaran, legislatif (prinsipal) belum membahas anggaran
pendapatan pajak hiburan yang diusulkan oleh eksekutif (agen) secara detail. Dalam hal ini,
legislatif belum membahas anggaran pajak hiburan pada setiap obyek pajak hiburan secara
rinci. Di samping itu, alokasi waktu untuk pembahasan anggaran pendapatan dilakukan
dengan singkat. Hal ini menunjukkan bahwa waktu untuk menyetujui anggaran pendapatan
pajak hiburan dilakukan dengan cepat. Hal ini dikarenakan legislatif lebih menyoroti
pembahasan anggaran pada sisi belanja daerah.
“Pada pembahasan anggaran pendapatan itu (pajak hiburan) tidak sedetail itu mas.
Tidak sedetail itu karena alokasi waktu pada pembahasan anggaran lebih dititik
beratkan pada pemenuhan pokok pikiran legislatif. Jadi, alokasi untuk waktu
pembahasan lebih banyak membahas pada sisi belanja daerah. Kalau di
pendapatannya ee ya ada sih.. sebagian ga banyak. Kalau untuk pajak hiburan itu..
sepertinya relatif singkat mas (mengernyutkan dahi).” (DP)
Selama proses pembahasan anggaran, eksekutif (agen) dituntut untuk meningkatkan
pendapatan daerah agar dapat memenuhi belanja daerah yang diajukan oleh legislatif
(prinsipal) melalui pokok-pokok pikiran legislatif. Pokok-pokok pikiran merupakan aspirasi
dari masyarakat yang diamanatkan kepada anggota dewan legislatif. Dalam hal ini, anggaran
pendapatan pajak hiburan dibahas dalam waktu yang singkat dan tidak rinci karena
kontribusi pajak hiburan yang kecil untuk memenuhi belanja daerah.
“kadang-kadang dari pokir-pokir itu mas langsung.. del berapa angka dan nilainya
sekian. Jadi, itu diluar ekspektasi kami (eksekutif) seperti itu mas. Dari sisi DPR,
nanti ditanya.. dari sisi pendapatan bisa dinaikan atau tidak. Kemudian, kita
(bidang pajak daerah) menghitung-hitung seberapa besar potensi yang dapat kita
naikan padahal dari pajak hiburan yang dapat memenuhi itu cuman sekian
sehingga karena kontribusinya kecil biasanya ya dibahas tidak detail mas.” (KP)
Dalam pembahasan anggaran, legislatif (prinsipal) abai terhadap anggaran pajak hiburan
yang diusulkan oleh eksekutif (agen). Pengabaian ini terjadi karena legislatif lebih menyoroti
pembahasan anggaran pada sisi belanja dibandingkan sisi pendapatan pemerintah daerah.
Hal ini dikarenakan legislatif lebih menekankan supaya pokok-pokok pikiran legislatif atas
aspirasi masyarakat bisa terealisasi. Sebagaimana tercermin dari hasil wawancara dengan
informan berikut.
“Kalau di legislatif itu biasanya menyoroti pada bagian program dan kegiatan
sesuai dengan aspirasi masyarakat ya.. istilahnya sesuai dengan pokir. Pokok-
pokok pikiran itu dengan menghendaki belanjanya sekian.. nanti kan diitung-itung
terus direkap dan baru menyoroti dari sisi pendapatannya.” (KP)
Studi ini menemukan bahwa legislatif (prinsipal) tidak membahas anggaran
pendapatan pajak hiburan secara rinci dan menyeluruh pada setiap obyek pajak hiburan. Hal
ini dikarenakan legislatif lebih menyoroti pembahasan pada sisi belanja daripada sisi
pendapatan. Hal ini ditunjukkan dengan alokasi waktu untuk pembahasan anggaran lebih
diprioritaskan pada sisi belanja daerah daripada sisi pendapatan daerah. Dengan demikian,
legislatif abai terhadap penyusunan anggaran pendapatan pajak hiburan di Kabupaten
Wonosobo.
Di sisi lain, studi ini menemukan adanya fenomena incremental budgeting pada
penyusunan anggaran pendapatan pajak hiburan di Kabupaten Wonosobo. Hal ini
ditunjukkan bahwa pemerintah daerah mengunakan realisasi tahun lalu sebagai dasar
penetapan target anggaran pendapatan pajak hiburan tahun berikutnya.
“Pada pembahasan.. legislatif juga membandingkan dengan realisasi tahun yang
lalu kan. Dengan perbandingan tahun lalu nanti melihat ooh ini sudah realistis.
Perlu dibandingkan realisasi tahun lalu mas dalam proses pembahasan
anggarannya.” (KP)
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah Kabupaten Wonosobo
memiliki mental inkrementalisme dalam penyusunan anggaran. Hal ini ditunjukkan dengan
penyusunan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan didasarkan pada
realisasi tahun sebelumnya sebagai dasar penetapan target anggaran tahun berikutnya.
4.2. Asimetri Informasi antara Legislatif dan Eksekutif
Pada penyusunan anggaran pendapatan pajak hiburan di Kabupaten Wonosobo, legislatif
(prinsipal) dan eksekutif (agen) membutuhkan informasi sebagai dasar penetapan anggaran
pajak hiburan. Namun demikian, eksekutif (agen) memiliki keunggulan dalam hal
kepemilikan informasi yang lebih baik daripada legislatif (prinsipal) karena pihak eksekutif
(agen) memegang kendali operasional di lapangan.
“terkait informasi ya kami (legislatif) mengundang eksekutif melalui rapat-rapat
komisi seperti itu mas kalau kita membutuhkan data anggaran. Karenakan
eksekutif yang tahu kondisi di lapangannya mas.” (DP)
Keunggulan informasi eksekutif ditunjukkan dengan informasi yang dimiliki
eksekutif (agen) adalah data realisasi pendapatan pajak hiburan tahun sebelumnya, data
wajib pajak hiburan, dan data potensi pendapatan pajak hiburan sedangkan informasi yang
dimiliki legislatif (prinsipal) adalah data realisasi pendapatan pajak hiburan tahun
sebelumnya dan data rencana pendapatan pajak hiburan. Sebagaimana dijelaskan pada
temuan penelitian berikut.
Informasi pada sisi Eksekutif (Agen)
Pada sisi eksekutif (agen), informasi yang dimiliki untuk menetapkan anggaran pajak
hiburan adalah realisasi pendapatan pajak hiburan tahun sebelumnya, data wajib pajak
hiburan, dan data potensi pendapatan pajak hiburan.
“Tentu saja ee informasi itu dimulai dari pertama asumsi istilahnya berdasarkan
referensi pendapatan pajak hiburan tahun lalu. Yang kedua kita lihat apa ada
penambahan dari wajib pajaknya atau tidak atau bahkan pengurangan. Dari situ kita
menetapkan ee kapasitas pendapatan atas pajak hiburan.” (KP.58).
Pada proses penetapan kapasitas pajak hiburan, eksekutif melakukan pendataan obyek pajak
hiburan yang bersifat tetap dan tidak bersifat insidentil. Dalam hal ini, pajak hiburan yang
bersifat tetap adalah hiburan yang diselenggarakan secara teratur sedangkan pajak hiburan
yang bersifat insidentil adalah hiburan yang diselenggarakan secara tidak rutin atau tidak
bisa diprediksikan. Dalam hal ini, salah satu pajak yang bersifat tetap yang dihitung oleh
eksekutif (agen) adalah pajak hiburan karaoke. Hal ini tercermin pada pernyataan informan
berikut.
“Proses penetapan potensi itu kan kita langkah awal kan kita melalui pendataan
yang sifatnya tetap kan ada sifatnya insidentil terkait pajak hiburan itu. Pajak yang
sifatnya tetap seperti hiburan-hiburan yang diselenggarakan oleh pengusaha
hiburan yang sifatnya tetap. Nah.. itu kita data, baru disitu diperoleh asumsi
pendapatan per hari dari pengunjung berapa dikalikan tarif pajaknya kemudian kita
menjadikan hal tersebut menjadi dasar hukum atas penetapan potensi pajak
hiburan.” (KP.58)
Informasi yang digunakan oleh pihak eksekutif (agen) dalam penentuan anggaran
pendapatan pajak hiburan adalah jumlah kapasitas pendapatan pajak hiburan dan belum
memperhitungkan jumlah potensi pendapatan pajak hiburan. Berikut tercermin dari hasil
wawancara dengan koordinator pajak daerah Kabupaten Wonosobo.
“Iya mas, sebenarnya.. nek untuk probabilitas potensi berapa pengunjung hiburan
per harinya yang masuk itu memang kami belum menghitung. Yaaa baru pada
kapasitas seperti itu mas.” (JP.4)
Di sisi lain, eksekutif (agen) belum menggunakan informasi potensi pendapatan pajak
hiburan. Hal ini disebabkan eksekutif belum pernah melakukan survei untuk menghitung
probabilitas keterisian rumah hiburan karaoke. Sebagaimana dijelaskan oleh informan
berikut.
“yo nek dilihat dari menjamurnya pajak karaoke mestinya (tersenyum kecil)
probabilitas atas opo potensi kunjungan hiburan karaoke per hari ya banyak yang
menikmati.. mestinya entah itu warga wonosobo atau luar wonosobo kami tidak
tahu karena belum pernah survei sampai kesana. Karena kita sendiri belum bisa
masuk ke pajak karaoke karena terkendala peraturan daerah. hehe (tertawa kecil)
nggih. Jadi, ya perhitungan kita asumsikan penuh seperti itu mas.” (KSPt)
Informasi pada sisi Legislatif (Prinsipal)
Pada sisi legislatif, informasi yang dimiliki untuk menetapkan anggaran pendapatan pajak
hiburan adalah realisasi pendapatan pajak hiburan tahun sebelumnya dan rencana
pendapatan pajak hiburan. Dalam hal ini, rencana pendapatan pajak hiburan adalah aktivitas
pemerintah daerah dalam merinci obyek pendapatan daerah atas pajak hiburan. Rencana
pendapatan digunakan untuk melihat kemampuan keuangan daerah dari sisi pajak hiburan.
Dalam hal ini, rencana anggaran pendapatan nantinya akan disajikan ke dalam Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Berikut hasil wawancara dengan
anggota DPRD komisi B Kabupaten Wonosobo.
“yaa.. untuk pajak hiburan dalam naskah kesepakatan biasanya realisasi tahun
sebelumnya saja dan rencana pendapatannya mas. Misalnya itu mas, pendapatan
di tahun kemarin mas. Terus rencana pendapatan ya.. yang pemerintah pajakkan
di tahun sekarang ya mas ya..” (DP).
Di samping itu, legislatif belum menuntut informasi mengenai data potensi pajak
hiburan. Hal ini dikarenakan pajak hiburan karaoke sulit untuk dijadikan pendapatan daerah.
Adanya kendala pada regulasi pemerintah daerah Kabupaten Wonosobo menjadi penyebab
legislatif belum menuntut pajak hiburan karaoke.
“terkait potensi-potensi pendapatan yang ada di Kabupaten Wonosobo itu kita
tanyakan mas. Jadi, eksekutif sudah melakukan pendataan atas potensi atau belum
itu kita tanyakan mas ketika anggaran dibahas. Misal, ya kita tanya itu potensi
homestay dan hotel di Dieng mas apakah sudah didata atau belum. Kalau untuk
hiburan karaoke itu kami belum ada pembahasan dan tindakan mas. Sampai saat
ini kita belum juga jauh terlibat di situ intinya. Karena hiburan karaoke ini kan
masalah di perdanya mas karena banyak yang nggak berizin. Yo itu sulit untuk
dijadikan pendapatan mas.” (DP)
Studi ini menunjukkan bahwa informasi di lapangan lebih didominasi oleh eksekutif
(agen) dibandingkan legislatif (prinsipal). Dominasi ini bersumber dari kondisi faktual
bahwa eksekutif adalah pelaksana fungsi pemerintah daerah.
4.3. Eksekutif Mengelabui Legislatif
Dalam proses penetapan anggaran pendapatan pajak hiburan, eksekutif (agen) memiliki
keunggulan informasi dibandingkan legislatif (prinsipal). Pada penyusunan anggaran
pendapatan pajak hiburan, informasi legislatif (prinsipal) disediakan secara selektif oleh
eksekutif (agen). Dalam hal ini, eksekutif (agen) memberikan informasi kepada legislatif
(prinsipal) berupa informasi pendapatan yang dapat digali oleh eksekutif.
“Pada pembahasan anggaran di rinciannya nantikan kita sajikan tetapi yaa ga
sampai sedetail itu mas. Jadi informasi yang diberikan ya sesuai dengan
kemampuan kita untuk merealisasikan di lapangan. (KP)
Penyebab eksekutif menyediakan informasi secara selektif kepada legislatif adalah adanya
kesulitan eksekutif untuk merealisasikan potensi pendapatan pajak hiburan karaoke di
lapangan. Eksekutif memberikan informasi kepada legislatif didasarkan pada kemampuan
eksekutif untuk menggali pendapatan di lapangan. Dalam hal ini, eksekutif tidak menggali
pendapatan di luar kapasitas eksekutif dalam menggali potensi pendatapan pajak hiburan
karaoke. Hal ini dikarenakan apabila potensi tersebut dijadikan target pendapatan maka
target anggaran pendapatan pajak hiburan disinyalir tidak dapat tercapai.
“Kenapa seperti itu ya karena kondisinya di lapangan ya susah untuk terealisasikan
seperti itu sehingga informasi yang diberikan tolak ukurnya ya berdasarkan pada
realisasi yang ada di lapangan mas. Jadi, tidak serta merta kita menganggarkan atau
merencanakan di luar kemampuan kita karena nanti ya target bisa tidak tercapai.”
(KP)
Berdasarkan kondisi di lapangan, eksekutif cenderung memberikan informasi yang mudah
untuk direaliasikan kepada legislatif. Hal ini dapat memberikan pandangan yang
menguntungkan bagi eksekutif (agen) untuk posisi yang relatif nyaman dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya. Kondisi ini mengakibatkan legislatif (prinsipal) sebagai representasi
dari masyarakat memiliki pengetahuan yang terbatas tentang ketersediaan sumber daya yang
dikelola oleh eksekutif (agen). Sebagaimana dijelaskan pada pernyataan anggota DRPD
Kabupaten Wonosobo sebagai berikut.
“Jadi, ya sebenarnya terkait informasi penyusunan anggaran yang diperoleh kami
itu terdapat sekat-sekat seperti itu mas. Ya informasi yang kami (legislatif) ketahui
jadi terbatas seperti itu.” (DP)
Keterbatasan legislatif (prinsipal) terkait informasi-informasi dalam penyusunan anggaran
pendapatan pajak hiburan disebabkan adanya informasi yang disembunyikan oleh eksekutif
(agen). Eksekutif menutupi informasi supaya legislatif tidak mengetahui secara langsung
informasi penyusunan anggaran pendapatan pajak hiburan. Dalam hal ini, eksekutif
merahasiakan informasi berkaitan dengan data potensi pendapatan pajak hiburan dalam
penyusunan anggaran pendapatan pajak hiburan. Berikut deskripsi hasil wawancara dengan
informan:
“…kalau kita di legislatif bisa tahu akar-akar anggaran di eksekutifkan tidak
mungkin mas pasti diumpetin seperti itu. Ya tidak vulgar mas, tidak semata-mata
eksekutif langsung menunjukkan angka potensi atau kapasitas ini secara langsung.
Jadi sebenarnya ada informasi yang tidak bisa kita ketahui di akarnya terkait
anggaran pajak hiburan.” (DP)
Pada sisi eksekutif (agen), informasi terkait potensi hiburan karaoke tidak diberikan kepada
legislatif (prinsipal) dalam pembahasan anggaran. Hal ini dikarenakan eksekutif cenderung
untuk menampilkan informasi yang dapat dicapai di lapangan. Eksekutif tidak ingin
mengusulkan angka potensi yang tidak dapat eksekutif gali karena hal tersebut dapat
mempengaruhi kinerja eksekutif.
“Kalau hanya sekedar memasang angka potensi secara pendapatan itu besar.. tetapi
kalau dari target itu tidak tercapai ya kinerja kita juga berpengaruh mas. Nggak
mungkin kan dengan kondisi yang ada kemudian kita berikan potensi sekian tetapi
kenyataannya di lapangan banyak potensi yang tidak bisa digali.” (KP)
Pada konteks ini, eksekutif (agen) mengelabui legislatif (prinsipal) dengan cara memberikan
informasi yang hanya bisa direalisasikan oleh eksekutif di lapangan. Hal tersebut
ditunjukkan dengan ketidaktahuan legislatif atas informasi potensi dan penetapan anggaran
pendapatan pajak hiburan yang terlalu kecil. Sebagaimana ditunjukkan pada hasil
wawancara dengan anggota DPRD bahwa informasi yang berkaitan dengan data potensi
pajak hiburan karaoke belum diketahui. Hal ini tercermin dari hasil wawancara dengan
informan berikut ini.
“Jadi untuk angka kapasitas atau potensi sekian pada pajak hiburan tadi itu saya
juga belum tahu mas.” (DP)
Di samping itu, pada penetapan anggaran pendapatan pajak hiburan, legislatif tidak
mengetahui bahwa anggaran pendapatan pajak hiburan yang ditetapkan terlalu rendah dari
potensi atau kapasitas yang sesungguhnya. Berikut tercermin dari hasil wawancara dengan
anggota DPRD:
“Belum tahu.. belum mas. Nah iya, sebenarnya dari pajak hiburan itu ternyata
besar ya mas tetapi untuk masuk di PAD-nya itu kok sedikit ya mas.” (DP)
4.4. Diskusi
Dalam proses penganggaran, legislatif belum membahas anggaran pendapatan pajak
hiburan secara rinci dan menyeluruh pada setiap obyek pajak hiburan. Hal ini ditunjukkan
dengan waktu pembahasan anggaran pendapatan pajak hiburan yang relatif cepat. Di
samping itu, legislatif tidak membahas pajak hiburan secara rinci karena kontribusi pajak
hiburan yang kecil terhadap belanja daerah. Studi ini menunjukkan bahwa kesenjangan
antara potensi dan anggaran pendapatan pajak hiburan disebabkan legislatif (prinsipal) abai
terhadap anggaran pajak hiburan yang diusulkan oleh eksekutif (agen).
Pada proses penyusunan anggaran pendapatan pajak hiburan, eksekutif (agen)
mempunyai keunggulan dalam memperoleh informasi yang lebih akurat dibanding legislatif
(prinsipal). Asimetri informasi ditunjukkan dengan informasi potensi lebih banyak dikuasai
oleh eksekutif (agen), yaitu informasi potensi pendapatan pajak hiburan karaoke. Kondisi
inilah yang menyebabkan eksekutif cenderung untuk menyembunyikan informasi terkait
potensi pendapatan pajak hiburan karaoke. Hal ini dikarenakan eksekutif menghindari
kesulitan dalam melaksanan tugas dan fungsinya di lapangan.
Studi ini menunjukkan bahwa eksekutif bertindak mengelabui legislatif dalam proses
pembahasan anggaran pendapatan pajak hiburan di Kabupaten Wonosobo. Modus eksekutif
(agen) dalam menipu legislatif (prinsipal) dengan cara memberikan informasi secara selektif.
Eksekutif akan memberikan informasi yang didasarkan pada kemampuan eksekutif dalam
menggali pendapatan yang dapat dicapai oleh eksekutif di lapangan. Hal ini dikarenakan
eksekutif cenderung menghindari kesulitan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di
lapangan karena kondisi tersebut dapat mempengaruhi kinerja eksekutif. Kondisi inilah yang
menyebabkan legislatif tidak mengetahui informasi potensi dan penetapan anggaran
pendapatan pajak hiburan yang terlalu kecil di Kabupaten Wonosobo.
Temuan pada penelitian ini sesuai dengan Teori Keagenan bahwa pihak eksekutif
(agen) cenderung untuk mengutamakan kepetingannya karena memiliki informasi yang
lebih akurat dibandingkan pihak legislatif (prinsipal). Hal ini dikarenakan pihak eksekutif
memiliki kendali operasional di lapangan. Dengan demikian, eksekutif (agen) lebih memilih
alternatif yang menguntungkannya dengan mengelabui legislatif (prinsipal) dalam
merumuskan anggaran pendapatan pajak hiburan di Kabupaten Wonosobo.
5. Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
kesenjangan antara potensi dan anggaran pendapatan pajak hiburan di Pemerintah
Kabupaten Wonosobo. Penelitian ini menemukan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
teradinya kesenjangan antara potensi dan anggaran pendapatan pajak hiburan adalah
legislatif abai dalam penganggaran, asimetri informasi antara legislatif dan eksekutif dan
eksekutif mengelabui legislatif.
Hubungan keagenan antara eksekutif (agen) dan legislatif (prinsipal) di Kabupaten
Wonosobo ditunjukkan dengan adanya keunggulan informasi yang dikuasi oleh eksekutif
dibanding legislatif (asimetri informasi). Eksekutif memiliki informasi yang dominan
dibandingkan legislatif karena eksekutif merupakan pelaksana fungsi pemerintah daerah. Di
samping itu, informasi kinerja eksekutif (agen) akan disediakan secara selektif kepada
legislatif (prinsipal) dalam penyusunan anggaran pendapatan pajak hiburan. Situasi tersebut
mengakibatkan masyarakat yang direpresentasikan oleh legislatif (prinnsipal) memiliki
wawasan yang minim tentang ketersediaan sumber daya yang dikelola oleh eksekutif (agen).
Dengan demikian, anggaran yang diusulkan oleh eksekutif didasarkan pada asumsi-asumsi
yang memudahkan eksekutif dalam memberikan pelayanan publik.
Keterbatasan penelitian ini adalah penelitian ini tidak menggunakan informan yang
berasal dari wajib pajak penyelenggara hiburan dalam perhitungan data potensi pajak
hiburan yang dilakukan oleh peneliti. Hal ini dikarenakan peneliti kesulitan untuk
melakukan observasi di lapangan karena penelitian ini dilakukan pada saat pandemi covid-
19.
Berdasarkan kesimpulan di atas, penelitian ini memberikan rekomendasi pada sisi
praktis sebagai berikut. Pertama, legislatif perlu untuk meningkatkan monitoring pada
ketersediaan sumber daya yang dikelola oleh eksekutif. Dalam hal ini, legislatif perlu terlibat
dalam perhitungan informasi eksekutif sebagai dasar penetapan anggaran pendapatan
daerah. Kedua, eksekutif dan legislatif pada penyusunan anggaran pendapatan pajak hiburan
perlu membina hubungan yang harmonis. Eksekutif dan legislatif harus mahami tujuan dari
penyusunan APBD untuk pelaksanaan pelayanan publik. Oleh karena itu, hubungan
keagenan antara eksekutif dan legislatif harus ditempatkan dalam bingkai pengabdian
kepada masyarakat.
Studi ini juga memberikan rekomendasi pada tingkat akademis. Pertama, penelitian
ini dapat mendorong penelitian selanjutnya untuk dapat menganalisis penelitian serupa
dengan jenis pajak daerah yang lain. Penelitian ini dapat menginspirasi diskusi tentang
perilaku oportunis eksekutif (agen) dalam hal kecenderungan perilaku eksekutif dalam
penyusunan anggaran pada organisasi publik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S. 2004. Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah:
Pendekatan Prinsipal-Agent Theory. Makalah yang dipresentasikan pada Seminar
Antar Bangsa di Universitas Bengkulu, 4-5 Oktober 2004.
___ & Nazry, R. 2014. Analisis Varian Anggaran Pemerintah Daerah Penjelasan Empiris
Dari Perspektif Keagenan. Konferensi Ilmiah Akuntasi, Universitas Mercu Buana
Jakarta.
___ & Nazry, R. 2015. Analisis Varian Anggaran Pemerintah Daerah Penjelasan Empiris
Dari Perspektif Keagenan. Jurnal Samudra Ekonomi Dan Bisnis, Vol 6, No. 2 Juli
2015.
___ & Junita, A. 2016. Bukti Empiris Tentang Pengaruh Budget Ratcheting Terhadap
Hubungan Antara Pendapatan Sendiri Dan Belanja Daerah Pada Kabupaten/Kota Di
Aceh. Jurnal Modus Vol. 28 (2): 185-201, 2016.
Anthony, R & Govindarajan. 2005. Management Control System. McGraw-Hill Education:
Irwin.
Arsntein, S. 1969. A Ladder of Citizen Participation. Journal of the American Institute of
Planners, 35:4, 216-224. https://doi.org/10.1080/01944366908977225.
Bastian, I. 2010. Akuntansi Sektor Publik (Edisi Ketiga). Indonesia, Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Bergman, M & Lane, J. 1990. Public Policy in a Principal-Agent Framework. Journal of
Theoretical Politics Vol. 2, No. 3: 339-352. http://jtp.sagepub.com/content/2/3/339.
BPPKAD Kabupaten Wonosobo. 2015. Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Daerah
Kabupaten Wonosobo Tahun 2015.
___. 2016. Laporan Realisasi Anggaran Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Daerah
Kabupaten Wonosobo Tahun 2016.
___. 2017. Laporan Realisasi Anggaran Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Daerah
Kabupaten Wonosobo Tahun 2017.
___. 2018. Laporan Realisasi Anggaran Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Daerah
Kabupaten Wonosobo Tahun 2018.
___. 2019. Laporan Realisasi Anggaran Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Daerah
Kabupaten Wonosobo Tahun 2019.
___. 2018. Dokumen Perhitungan Potensi Pendapatan Pajak Hiburan Kabupaten Wonosobo.
BPK RI. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Banyumas Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Banjarnegara Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Batang Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Blora Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Boyolali Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Brebes Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Cilacap Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Demak Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Grobogan Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Jepara Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Kebumen Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Kendal Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Klaten Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Kudus Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Magelang Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Pati Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Pekalongan Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Pemalang Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Purbalingga Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Purworejo Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Rembang Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Semarang Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Sragen Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Sukoharjo Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Tegal Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Temanggung Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Wonogiri Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Wonosobo Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota
Magelang Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota
Pekalongan Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota
Salatiga Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota
Semarang Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota
Surakarta Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota
Tegal Tahun Anggaran 2017. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Banyumas Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Banjarnegara Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Batang Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Blora Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Boyolali Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Brebes Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Cilacap Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Demak Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Grobogan Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Jepara Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Kebumen Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Kendal Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Klaten Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Kudus Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Magelang Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Pati Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Pekalongan Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Pemalang Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Purbalingga Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Purworejo Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Rembang Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Semarang Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Sragen Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Sukoharjo Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Tegal Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Temanggung Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Wonogiri Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Wonosobo Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa
Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota
Magelang Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota
Pekalongan Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota
Salatiga Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota
Semarang Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota
Surakarta Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
___. 2019. Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota
Tegal Tahun Anggaran 2019. Semarang, BPK RI Provinsi Jawa Tengah.
Creswell, J. W. 2014. Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods
Approaches: Fourth edition. Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Dobell, P & Ulrich, M. 2002. Parliament’s Performance in The Budget Process: A Case
Study. Policy Matters Vol. 3, No. 2: 1-24.
Douglas, C., P & Wier, B. 2000. Integrating Ethical Dimensions into a Model of Budgetary
Slack Creation. Journl of Business Ethics, Vol. 28, No. 3 : 267-277.
http://www.jstor.org/stable/25074417.
Eisenhardt, K. 1989. Agency Theory: An Assessment and Review. Academy of Management
Review Vol. 14, No. 1: 57-74. https://www.jstor.org/stable/258191.
Falikhatun. 2008. Interaksi Informasi Asimetri, Budaya Organisasi, dan Group Cohesveness
Dalam Hubungan Antara Partisipasi Penganggaran dan Budgetary Slack (Studi Kasus
pada Rumah Sakit Umum Daerah se Jawa Tengah). Jurnal Media Riset Akuntansi,
Auditing dan Informasi Vol. 8, No.1, April 2008: 65:84.
Firdausy, C. 2018. Kebijakan & Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Dalam
Pembangunan Nasional. Indonesia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Gustini, R. 2011. Analisis Kesenjangan Antara Potensi, Anggaran, Dan Realisasi
Pendapatan Retribusi Izin Gangguan (Studi Kasus pada Kabupaten Indragiri Hulu –
Riau). Tesis, Magister Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah
Mada.
Halim, A. 2002. Analisis Varian Pendapatan Asli Daerah Dalam Laporan Perhitungan
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota Di Indonesia. Disertasi,
Doktoral Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.
___.2004. Manajemen Keuangan Daerah (Edisi Revisi). UPP AMP YKPN: Yogyarkarta.
___ & Abdullah, S. 2006. Hubungan Dan Masalah Keagenan Di Pemerintah Daerah: Sebuah
Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi. Jurnal Akuntansi Pemerintahan Volume
2, Nomor 1, Hal : 53-64, 2006.
___. 2016. Manajemen Keuangan Sektor Publik: Problematika Penerimaan Dan
Pengeluaran Pemerintah (Edisi 2). Indonesia, Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Hansen, D & Mowen, M. 2007. Management Accounting. South Western College
Publishing.
Henrika & Mardiasmo. 2002. Analisis Pengaruh Strategi Institusi, Budaya Institusi, Dan
Conflict of Interest Terhadap Budgetary Slack. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia
Vol. 17, No. 1: 105-113.
Junita, A & Abdullah, S. 2016. Pengaruh Fiscal Stress Dan Legislature Size Terhadap
Expenditure Change Pada Kabupaten/Kota Di Sumatera Utara. Jurnal Akuntansi
Volume XX, No. 3, September 2016: 477-478.
Kabupaten Wonosobo. 2018. Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 10 Tahun
2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 11
Tahun 2010 tentang Pajak Daerah.
___. 2020. Peraturan Bupati Wonosobo Nomor 14 Tahun 2020 tentang Kedudukan, Susunan
Organisasi, Tugas dan Fungsi Serta Tata Kerja Inspektorat Kabupaten Wonosobo.
Lupia, A & McCubbins, M. 1994. Who Controls? Information and the Structure of
Legislative Decision Making. Legislative Studies Quarterly Vol. 19, No. 3: 361-384.
http://www.jstor.org/stable/440137.
Mardiasmo. 2008. Perpajakan (Edisi Revisi). CV Andi Offset: Yogyakarta.
Mardiasmo. 2018. Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah. Indonesia, Yogyakarta:
Penerbit Andi Yogyakarta.
Marlowe, J. 2009. Budget Variance, Slack Resources, and Municipal Expenditure.
https://dx.doi.org/10.2139/ssrn.1505646
Mayper, A., Granof, M., dan Giroux, G. 1991. An Analysis of Municipal Budget Variances.
Accounting Auditing & Accountability Journal, Vol. 4, No. 1: 29-50.
Merchant, K. 1985. Budgeting and The Propensity to Create Budgetary Slack. Accounting
Organizations and Society Vol. 10, No. 2: 201-210.
Mitnick, B. 1992. The Theory of Agency and Organizational Analysis. Ethics and Agency
Theory: An Introduction. Norman E. Bowie and R. Edward Freeman (Editors). New
York: Oxford University Press. : 75-96. https://ssrn.com/abstract=2164770
Moleong, L, J. 2019. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Edisi Revisi). Indonesia, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya Offset.
Nugraheny, D. 2020. Mendagri Minta Pemda Tak Bergantung pada Bantuan Dana dari
Pusat. Diakses melalui
https://nasional.kompas.com/read/2020/03/04/20595721/mendagri-minta-pemda-tak-
bergantung-pada-bantuan-dana-dari-pusat pada tanggal 1 Desember 2020 pukul 11.30
WIB.
Prana. 2016. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kota Tebing Tinggi. Jurnal Ilman: Jurnal Ilmu Manajemen.
Petrie, M. 2002. A Frameweork for Publik Sector Performance Contracting. OECD Journal
on Budgetting Vol.2 : 117-153.
Putra, I. 2014. Identifikasi Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. Jurnal Bina Praja Vol. 6 No. 2,
Juni 2014: 157-166.
Republik Indonesia. 1945. Undang-Undang Dasar.
___.2003. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
___. 2004. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah.
___. 2009. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
___. 2014. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
___. 2019. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah.
Ritonga, I. 2010. Metoda Penghitungan Potensi PAD. Lembaga Kajian Manajemen
Pemerintah Daerah dan Pustaka Pelajar : Yogyakarta, Indonesia.
___. 2014. Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Lembaga Kajian Manajemen
Pemerintah Daerah dan Pustaka Pelajar : Yogyakarta, Indonesia.
Setiawan, B & Ghozali, I. 2016. The Effect of Budget Participation on Budgetary Slack in
Local Government With Organizational Commitment and Environmental Uncertainty
as the Moderating Variable. International Journal of Applied Business and Economic
Research (IJABER) Vol. 14, No.10: 7099-7120.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. CV. Alfabeta:
Bandung, Indonesia.
Susanto, A., A & Halim, A. 2018. Efek Ratchet pada Anggaran Pemerintah Daerah: Studi
ada Satuan Kerja Perangkat Daerah Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Jurnal Akuntansi & Akuntansi Publik (JAAP) Vol 1, No. 1, 88-96.
10.22146/jaap.35337.
Yani, A. 2008. Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Di Indonesia. PT.
Raja Grafindo Persada: Jakarta, Indonesia.
Young. S., M. 1985. Participative Budgeting: The Effects of Risk Aversion and Asymmetric
Information on Budgetary Slack. Journal of Accounting Research, Vol. 23, No. 2: 829-
842. http://www.jstor.org/stable/2490840.
Yuhertiana, I. 2005. Kajian Etika Budgetary Slack di Organisasi Sektor Publik Menurut
Perspektif Gender. Simposium Riset Ekonomi, Surabaya 23-24 November 2005.
___, Pranoto, S., dan Priono, H. 2015. Perilaku Disfungsional Pada Siklus Penganggaran
Pemerintah: Tahap Perencanaan Anggaran. Jurnal Akuntansi Dan Auding Indonesia
(JAAI) Vol 19 No.1, Juni 2015. http://dx.doi.org/10.20885/jaai.vol19.issl.art3
Widanaputra, A & Mimba, N.P.S.H. 2014. The Influence Of Participaive Budgeting on
Budgeting on Budgetary Slack in Composing Local Governments’ Budget in Bali
Province. Procedia – Social and Behavioral Sciences 164 (2014), 391-396.
Top Related