BAB I Pendahuluan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang banyak
memerlukan pembangunan demi kemajuannya. Tak bisa dipungkiri bahwa
dalam pembangunan, biasanya diikuti dengan berkembangnya sektor-sektor
lain, salah satunya ialah sektor industri.
Perkembangan perindustrian di Indonesia itu sendiri dimulai pada zaman
penjajahan oleh kolonial belanda (VOC) disekitar tahun 1870-an lewat industri
pengeboran minyak, dan terus berkembang sehingga mengakibatkan
banyaknya dibangun pabrik-pabrik. Suatu pabrik biasanya terdiri dari
peralatan-peralatan yang dihubungkan sehingga membentuk suatu sistem yang
berfungsi untuk memproduksi suatu produk. Salah satu peralatan yang
mendukung kegiatan produksi tersebut ialah pipa. Dimana pipa digunakan
sebagai sarana transportasi fluida. Suatu perindustrian dan perpipaan biasanya
satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Sebuah sistem perpipaan merupakan suatu interkoneksi dari pipa-pipa,
termasuk di dalamnya komponen-komponen dan peralatan-peralatan instalasi.
Sistem perpipaan merupakan sarana yang sangat penting dan paling sering
digunakan dalam setiap kasus pemindahan fluida, hal ini dikarenakan bila
terjadi kesalahan dalam rancangan sistem perpipaan dan tidak sesuai dengan
kode standard yang ditetapkan dan gangguan-gangguan dari luar pipa, dapat
I-1
I-2 BAB I Pendahuluan
membahayakan jiwa manusia. Kenyataannya banyak kecelakaan fatal sering
terjadi, baik itu ledakan, kebakaran dan lebih jauh dari itu, dapat menimbulkan
kerugian bagi perusahaan atas investasi instalasi perpipaan tersebut.
Dari beberapa uraian di atas, penulis tertarik untuk memilih jenis skripsi
dibidang perpipaan dengan judul Analisa Statik dan Dinamik Sistem
Perpipaan Unit Penyulingan Minyak Mentah Dari Cooler 4-1 Ke Pompa 33
Dengan Menggunakan Program Caesar II Versi 5.10.
B. Batasan Masalah
Keamanan dan kelancaran suatu sistem perpipaan merupakan salah satu
kunci keberhasilan suatu industri atau pabrik dalam melaksanakan fungsinya.
Dimana perpipaan merupakan sarana atau alat transportasi fluida pada suatu
industri, seperti industri perminyakan, industri pembangkit tenaga, sistem
pendingin, sistem pengairan, dan sistem-sistem lainnya.
PT.Pertamina RU III merupakan salah satu unit proses operasi produksi
yaitu pengolahan yang terdapat di Sumatera Selatan. Kilang Pertamina RU III
meliputi (Kilang BBM dan Non BBM atau Petrokimia di Plaju) dan (Kilang
BBM di Sungai Gerong).
Pada penulisan tugas akhir ini, penulis melakukan analisa statik dan
dinamik sistem perpipaan yang ada pada Crude Distillation Unit (CDU) V
yang terdapat pada kilang Pertamina RU III Plaju yaitu sistem perpipaan dari
cooler 4-1 ke suction pompa 33, dengan kerosin atau minyak tanah sebagai
fluida yang dialirkan dan telah diatur pada kode standard ASME/ANSI B31.3.
Untuk itu, pembatasan masalah yang dilakukan hanya sebatas analisa
I-3 BAB I Pendahuluan
statik dan dinamik sistem perpipaan. Analisa tersebut dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak Caesar II versi 5.10.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan skripsi tentang analisa statik dan dinamik pada
sistem perpipaan ini adalah sebagai berikut :
1. Menentukan parameter-parameter fisik yang dapat digunakan untuk
menganalisa perilaku suatu sistem perpipaan seperti : gaya dan momen,
perpindahan, reaksi tumpuan, tegangan dan regangan, getaran, dan lain-lain,
agar tetap masuk dalam nilai batas yang diizinkan berdasarkan kode
standard desain pipa yang dipakai.
2. Menggunakan Program Caesar II versi 5.10 dalam menganalisa perilaku
statik dan dinamik suatu sistem perpipaan.
D. Metodologi Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini terdiri
dari tiga tahap, yaitu :
1. Studi Literatur
Yaitu mengumpulkan berbagai informasi dari berbagai buku teks,
makalah-makalah teknik, dan sumber bacaan lainnya yang berhubungan
dengan judul tugas akhir yang ditulis, yang berguna sebagai referensi dan
dapat menambah pengetahuan.
2. Studi Lapangan
Yaitu dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang diperlukan
dan melihat langsung kondisi suatu sistem perpipaan di lapangan.
I-4 BAB I Pendahuluan
3. Metode Diskusi
Penulis melakukan diskusi terutama dengan dosen pembimbing
skripsi dan juga teman-teman sesama mahasiswa, untuk bertukar pikiran
dan menemukan jalan keluar dari masalah yang penulis temukan saat
mengerjakan skripsi ini.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan, maka perlu dibuat sistematika penulisan.
Sistematika ini juga dapat digunakan sebagai acuan dalam penulisan dan untuk
mempersingkat waktu pembacaan, karena berisi penjelasan dari setiap bab
secara garis besarnya.
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang, maksud dan tujuan penulisan,
batasan masalah, metodologi penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini berisi tentang teori dasar yang berhubungan dengan
analisis sistem perpipaan secara umum.
BAB III ANALISA PERHITUNGAN FLEKSIBILITAS
Bab ini berisi tentang perhitungan konstruksi sistem pipa yang
dilakukan pada sistem perpipaan dari cooler 4-1 ke suction pompa
33 di Crude Distillation Unit (CDU) V Pertamina RU III Plaju,
dengan menggunakan Program Caesar II versi 5.10.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang pembahasan hasil analisis konstruksi sistem
I-5 BAB I Pendahuluan
pipa yang terjadi dengan menggunakan Program Caesar II versi
5.10.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi tentang kesimpulan dari pembahasan dan saran-saran
mengenai penyelesaian permasalahan yang ada.
BAB II Landasan Teori
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengenalan Pipa
Pipa merupakan suatu peralatan berbentuk silinder yang digunakan
untuk menghantar fluida atau meneruskan tekanan fluida baik berupa gas,
cairan, endapan dan partikel halus lainnya. Pipa dapat terbuat dari bahan-bahan
seperti logam, plastik, beton, fiberglass dan bahan lainnya.
II-1
Gambar 1. Sepotong Pipa Sederhana. (Grinnell, 1981)
Semakin kompleks suatu pabrik berdampak pada semakin rumitnya
sistem perpipaan yang ada, sehingga untuk merancang suatu sistem perpipaan
perlu diperhitungkan dengan matang berdasarkan klasifikasi, spesifikasi dan
standarisasi yang terdaftar dalam bentuk kode dan simbol yang telah umum
dipakai secara internasional, sehingga fluida dapat mengalir tanpa masalah di
sepanjang jalur pipa yang ada.
Untuk melayani jenis-jenis penggunaan dari pipa, maka pipa-pipa telah
dibedakan menjadi beberapa jenis. Berikut hanya beberapa klasifikasi dari
keseluruhan klasifikasi pipa, antara lain :
II-2 BAB II Landasan Teori
1. Berdasarkan jenis fluida yang dialirkan.
• Pipa air
• Pipa minyak
• Pipa gas
• Pipa uap
• Pipa udara
• Pipa lumpur
• Pipa drainage
• dan sebagainya
2. Berdasarkan bahan pembuatnya.
• Pipa logam
• Pipa non logam
3. Berdasarkan jenis instalasinya.
• Pipa proses
• Pipa service
• Pipa utilitas
• Pipa kelautan (marine piping)
• Pipa transportasi
• Pipa sipil
• Plumbing
Setiap jenis pipa hendaknya dipergunakan juga sesuai dengan
spesifikasinya. Demikian pula setiap kondisi kebutuhan pengaliran fluida
tertentu hendaknya dipilih spesifikasi pipa dan peralatan instalasinya yang
tepat karena keberhasilan instalasi banyak ditentukan oleh kesempurnaan
spesifikasi ini. Berikut spesifikasi pipa menurut diameter dan tebal pipa :
1. Diameter pipa ditunjukkan dalam ukuran nominalnya (Nominal Pipe Size,
NPS). NPS tidak mencerminkan diameter luar maupun diameter dalam
suatu pipa. Khusus untuk pipa 14 NPS dan lebih besar, diameter luar sama
dengan diameter nominalnya.
2. Ketebalan pipa dinyatakan dengan Schedule Number. Pipa dengan berbagai
ukuran dibuat berdasarkan ketebalan dindingnya untuk tiap ukuran. Untuk
itu, beberapa sumber ketentuan dapat kita ikuti. Di Amerika, ada tiga
II-3 BAB II Landasan Teori
sumber ukuran yang berbeda dapat kita jumpai, yaitu :
• American National Standard Institute, dengan ukuran berdasarkan
“schedule”. Seperti : schedule 5, schedule 10, schedule 20, dan lain-lain.
• American Society of Mechanical Engineers (ASME) dan American Society
for Testing Materials (ASTM), dengan ukuran : Standard (STD), extra
strong (XS) dan double extra strong (XXS).
• American Petrolium Institute (API), dengan ukuran standard 5L dan 5 LX.
Ukuran-ukuran ini tidak mempunyai acuan untuk ukuran-ukuran individu
dan ketebalan dinding.
Pada suatu proyek perancangan sebuah pabrik, sistem perpipaan
mengambil bagian pekerjaan hingga 40% dari total keseluruhan bidang proyek
perancangan. Dimana analisa tegangan atau analisa fleksibilitas merupakan
bagian yang paling bertanggung jawab atas desain dan pelaksanaan sistem
perpipaan.
Dalam pemecahan masalah sistem perpipaan dalam industri dan praktisi
telah dikenal beberapa metode pemecahan yang diyakini dapat dijadikan dasar
dalam pemecahan masalah sistem perpipaan. Berikut beberapa metode yang
sering digunakan dalam pemecahan masalah tersebut :
a. ITT Grinell
b. M.W kellog
c. Digital computer solution seperti Caesar II, SAP 2000 dan lain-lain.
Metode yang digunakan diatas pada dasarnya ialah untuk mencari
tegangan yang terjadi pada pipa, dan membandingkan dengan nilai tegangan
II-4 BAB II Landasan Teori
izin dari suatu bahan. Sehingga pipa dapat dikategorikan aman jika tegangan
tersebut lebih kecil dari pada tegangan izin bahannya.
B. Tegangan-tegangan Yang Terjadi Pada Pipa
Suatu gaya yang dikenakan pada suatu sistem perpipaan dapat
mengakibatkan terjadinya beberapa tegangan pada suatu sistem perpipaan.
Dimana tegangan didefinisikan sebagai suatu gaya yang dikenakan pada suatu
luas permukaan. Tegangan juga digunakan sebagai suatu besaran mekanik
yang menyatakan suatu tahanan terhadap gaya-gaya luar pada suatu material.
Tegangan-tegangan yang terjadi pada pipa dibagi menjadi beberapa jenis
berdasarkan arahnya yang sesuai dengan arah sistem koordinat yang ada.
Tegangan akan bernilai positif jika yang bekerja ialah tegangan tarik dan
bernilai negatif jika yang bekerja ialah tegangan tekan.
Berikut gambar sebuah pipa dan suatu elemen tiga dimensi yang diambil
dari pipa yang digunakan untuk memudahkan kita menentukan jenis tegangan
yang terjadi.
Gambar 2. Sebuah Pipa dan Elemen Tiga Dimensinya (Haldi Bina, 2009)
Dimana :
SL : Tegangan longitudinal
SC : Tegangan circumferensial atau tegangan keliling
II-5 BAB II Landasan Teori
SR : Tegangan radial
ST : Tegangan torsi atau geser
Di : Diameter dalam pipa
Do : Diameter luar pipa
Tegangan pada pipa dapat diuraikan berdasarkan arahnya yang sesuai
dengan arah sistem koordinat yang ada adalah sebagai berikut :
B.1. Tegangan Longitudinal (SL)
Tegangan longitudinal merupakan tegangan yang terjadi di
sepanjang sumbu longitudinal atau aksial sebuah pipa. Berdasarkan gaya
penyebabnya, tegangan longitudinal dibagi menjadi tiga, yaitu :
a. Tegangan Aksial, yang terjadi akibat gaya dalam aksial.
Gambar 3. Tegangan Aksial (Literatur 1)
Sax = ………………………..……………...……… (Lit. 1, hal 1-8)
Dimana :
Sax : Tegangan akibat gaya dalam aksial (Psi)
Fax : Gaya dalam aksial (lb)
Am : Luas penampang material pipa = π(do2 – di
2)/4 = πdmt (in2)
dm : diameter rata-rata pipa = (in)
do : diameter luar pipa (in)
di : diameter dalam pipa (in)
II-6 BAB II Landasan Teori
b. Tegangan longitudinal yang terjadi karena tekanan dalam.
Sp = P ……………………….…………...……….. (Lit. 1, hal 1-9)
Dimana :
S egangan akibat tekanan dalam pipa (Psi) p : T
P : Tekanan dalam pipa (pressure gauge), (Psi)
(in2) : Luas penampang dalam pipa = Am : Luas penampang material pipa = (in2)
t : Tebal pipa (in)
Jadi, tegangan longitudinal karena tekanan dalam pipa adalah
Sp =
Untuk sederhananya, rumus dapat ditulis :
Sp =
Gambar 4. Tegangan Akibat Tekanan Dalam Pipa (Haldi Bina, 2009)
c. Tegangan lentur yang terjadi akibat ekspansi thermal.
Sb = …………………………….…………...……. (Lit. 1, hal 1-10)
Dimana :
Mb : Momen lentur (lb-in)
c : Jarak dari sumbu netral ke titik yang diperhatikan (in)
I : Momen inersia pipa
II-7 BAB II Landasan Teori
= (in4)
Tegangan lentur bernilai nol pada sumbu netral pipa dan memiliki
harga maksimum di luar penampang pipa, maka tegangan lentur
maksimum, nilai c = ro :
tegangan tekan maksimum tegangan tekan maksimum
nol tegangan lentur tegangan tarik maksimum tegangan tarik maksimum
Gambar 5. Distribusi Momen Lentur (Literatur 1)
Untuk pipa lurus :
Sb = = ………………...…..……………….... (Lit. 1, hal 1-10)
Untuk pipa lengkung :
Sb = . …………..……...…………………. (Lit. 2, hal 1-10)
Dimana :
Sb : Tegangan lentur (Psi)
Ro : Radius luar pipa (in)
: Faktor intensitas tegangan
Z : Modulus penampang pipa = (in3)
Mb : Momen lentur (lb-in)
Maka tegangan longitudinal secara keseluruhan adalah :
SL = + + ……………….…….………. (Lit. 1, hal 1-10)
B.2. Tegangan Sirkumferensial (SH) atau Tegangan Keliling
II-8 BAB II Landasan Teori
Tegangan ini disebabkan oleh tekanan dalam pipa, dan bernilai
positif jika tegangan cenderung membelah pipa menjadi dua. Besar
tegangan ini menurut persamaan Lame adalah :
SH = …………………..……...………..….. (Lit. 1, hal 1-10)
Dimana :
: Radius luar pipa (in)
:
r : jarak radius ke titik yang sedang diperhatikan (in)
Radius dalam pipa (in)
Untuk pipa yang tipis dapat dilakukan penyederhanaan rumus
tegangan keliling dengan mengasumsikan gaya akibat tekanan dalam yang
bekerja sepanjang pipa, yaitu : F = , ditahan oleh dinding pipa seluas
Am = , sehingga rumus untuk tegangan keliling dapat ditulis sebagai
berikut :
SH = = atau SH = …………….…...…….... (Lit. 1, hal 1-11)
Tegangan circumferensial dapat dilihat pada ( Gambar 6 ) :
Gambar 6. Tegangan Circumferensial (Literatur 1)
B.3. Tegangan Radial (SR)
II-9 BAB II Landasan Teori
Tegangan radial ini berupa tegangan yang searah jari-jari, menuju ke
pusat jari-jari atau keluar pusat jari-jari, tegangan yang dihasilkan adalah :
SR = ……………..………………...…..…… (Lit. 1, hal 1-11)
Karena jika r = ro maka SR = 0 dan jika r = ri maka SR = -P yang
artinya tegangan ini nol pada titik dimana tegangan lendutan maksimum,
biasanya tegangan ini diabaikan.
B.4. Tegangan geser (τ)
Tegangan geser adalah tegangan yang arahnya paralel dengan
penampang permukaan pipa, terjadi jika dua atau lebih tegangan normal
yang diuraikan di atas bekerja pada satu titik. Tegangan geser pada sistem
pipa antara lain akibat gaya dari tumpuan pipa (pipe support)
dikombinasikan dengan gaya lentur. Berdasarkan gaya yang terjadi,
tegangan geser dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Tegangan geser yang terjadi karena adanya gaya geser langsung.
τmax = …………………………...………….…… (Lit. 1, hal 1-12)
Dimana :
τmax : Tegangan geser maksimum (Psi)
V : Gaya geser (lb)
Q : Faktor bentuk tegangan geser : 1,33 untuk silinder solid
Tegangan ini maksimum di sumbu netral (di sumbu simetri pipa)
dan nol pada titik dimana tegangan lentur maksimum (pada permukaan
luar dinding pipa). Besarnya tegangan ini biasanya sangat kecil, maka
II-10 BAB II Landasan Teori
tegangan ini diabaikan. Tegangan akibat gaya geser dapat dilihat pada
gambar berikut :
Gambar 7. Tegangan Akibat Gaya Geser (Haldi Bina, 2009)
b. Tegangan geser yang terjadi akibat ekspansi termal
Tegangan ini hanya terjadi pada sistem konstruksi pipa bidang
jamak (multi-plane pipe construction system), yang besarnya :
……………..………………….....…….. (Lit. 1, hal 1-13)
Dimana :
MT : Momen torsi (lb-in)
c : Jarak dari pusat torsional (in)
R : Resistansi torsional (in4) = 2 I
Gambar 8. Tegangan Akibat Momen Puntir (Haldi Bina, 2009)
Tegangan torsi maksimum terjadi pada jari-jari luar pipa, maka :
…………………………….…. (Lit. 1, hal 1-13)
Dim a : an ro : Jari-jari terluar pipa (in)
MT : Momen torsi (lb-in)
II-11 BAB II Landasan Teori
Z : Modulus penampang pipa (in3)
C. Kode Standard Untuk Sistem Perpipaan
Kode standard untuk sistem perpipaan yang pada saat ini sering dipakai
dari komite B31 adalah :
▪ ASME / ANSI B31.1 – 1992, untuk sistem perpipaan di industri
pembangkit listrik.
▪ ASME / ANSI B31.2 – 1968, untuk sistem perpipaan minyak dan gas.
▪ ASME / ANSI B31.3 – 1993, untuk sistem perpipaan di industri perpipaan
dan pengolahan minyak.
▪ ASME / ANSI B31.4 – 1992, untuk pipa transport minyak dan zat cair
lainnya.
▪ ASME / ANSI B31.5 – 1992, untuk sistem perpipaan dingin.
▪ ASME / ANSI B31.8, untuk sistem perpipaan transport gas.
▪ ASME / ANSI B31.9 – 1988, untuk sistem perpipaan biasa.
Selain ASME Code B31 ada beberapa kode standard pipa yang lain baik
dari Amerika maupun dari Negara lain seperti :
▪ ASME Boiler and Pressure Vessel, Section III, subsection NB, NC, ND,
untuk sistem perpipaan di industri pembangkit listrik tenaga nuklir.
▪ API kode seri untuk industri dibidang migas.
▪ Stoomwezen dari Belanda.
▪ SNCT kode Perancis untuk petrokimia.
▪ Canadian Z662 dari Kanada.
▪ BS7159 dari Inggris.
II-12 BAB II Landasan Teori
▪ Norwegian dan DNV dari Norwegia.
Pada industri perminyakan kode standard yang sering dipakai adalah
ASME B31.3. Dasar penggunaan kode standard ini adalah karena ASME
B31.3 memuat persyaratan untuk material, perancangan, fabrikasi, perakitan,
pembangunan, pemeriksaan, inspeksi dan pengujian sistem perpipaan. Kode ini
berlaku untuk semua fluida, antara lain :
▪ Bahan kimia yang dapat berupa bahan baku, bahan setengah jadi maupun
bahan jadi.
▪ Produk-produk perminyakan.
▪ Gas, uap air, udara dan air.
▪ zat padat yang dijadikan cair (Fluidezed solids).
▪ Fluida dingin (Refrigerant).
D. Beban-beban Pada Sistem Perpipaan
Suatu sistem perpipaan akan mengalami beberapa kondisi pembebanan,
hingga menghasilkan suatu tegangan pada setiap kondisi pembebanan tersebut.
Kode ASME/ANSI B31.3 membagi tegangan berdasarkan beban yang terjadi
menjadi tiga macam, yaitu :
1. Tegangan karena beban tetap (Sustained load)
Tegangan longitudinal pipa disebabkan oleh bobot berat dan tekanan.
Sl = …..…… (Lit. 1, hal 1-47)
Dimana :
Sl : Tegangan longitudinal karena beban tetap (Psi)
Fax : Gaya aksial karena beban tetap (lb)
II-13 BAB II Landasan Teori
Mi : Momen lentur sebidang (in-plane) karena beban tetap (in-lb)
Mo : Momen lentur tidak sebidang (out-plane)
arena beban tetap (in-lb) k
: Besar kenaikan tegangan (SIF) in-plane dan out-plane,
dari Appendix D dari ASME/ANSI B31.3 lihat (Lampiran E)
Sh : Tegangan dasar yang diizinkan oleh material menurut
Appendix A dari ASME/ANSI B31.3 lihat (Lampiran E) 2. Tegangan karena beban ekspansi (Expansion load) Tegangan kombinasi pipa disebabkan oleh perbedaan temperatur (beban ekspansi termal).
SE = …………………..… (Lit. 1, hal 1-48) ………………………………...……… (Lit. 1, hal 1-48) Dimana : SE : Tegangan karena beban ekspansi (Psi)
Mi : Perbedaan momen lentur sebidang (in-plane) karena beban
ekspansi (in-lb)
Mo : Perbedaan momen lentur tidak sebidang (out-plane) karena beban
ekspansi (in-lb)
MT : Perbedaan momen puntir karena beban ekspansi (in-lb)
Sc : Tegangan dasar yang diizinkan oleh material menurut Appendix
A dari ASME/ANSI B31.3, pada temperatur terendah (dingin),
II-14 BAB II Landasan Teori
lihat pada (Lampiran E)
Sh : Tegangan dasar yang diizinkan oleh material menurut Appendix
A dari ASME/ANSI B31.3, pada temperatur tertinggi (panas),
lihat pada (Lampiran E) : Faktor reduksi dengan mempertimbang kan kelelahan material (beban dinamis yang berulang) SA : Tegangan yang diizinkan material (Psi) Untuk nilai dapat dilihat pada ( Tabel 1) di bawah ini :
Tabel 1. Faktor Pengurangan Tegangan
JUMLAH SIKLUS TEMPERATUR
Kurang dari 7000 1,0
7000 - 14000 0,9
14000 - 22000 0,8
22000 - 45000 0,7
45000 - 100000 0,6
100000 atau lebih 0,5
Sumber : Literatur 1
3. Tegangan karena beban tidak terduga (Occasional Load)
Tegangan kombinasi pipa ini disebabkan karena beban perpindahan
tumpuan dan anchor, misalnya akibat pengaruh pengaturan tekanan pada
katup dan water hammer, beban angin, beban gempa, dan beban tidak
terduga lainnya.
E. Analisa Tegangan Pipa Dengan Program Komputer
II-15 BAB II Landasan Teori
Berkembangnya teknologi komputer turut membantu para engineer
dalam pemecahan permasalahan analisa tegangan pada semua jenis elemen.
Dimana banyak dikembangkan program analisa tegangan yang menggunakan
pripsip Metode Elemen Hingga, salah satunya ialah program Caesar II versi
5.10.
Dalam hal sistem perpipaan, beberapa asumsi yang umum digunakan
oleh program Metode Elemen Hingga untuk analisa tegangan pipa adalah
sebagai berikut :
a. Stabilitas struktur (local buckling) diabaikan pada seluruh elemen pipa.
b. Bidang penampang pipa tetap sebelum dan sesudah deformasi.
c. Hukum Hooke berlaku diseluruh penampang pipa.
d. Gaya dan momen diasumsikan bekerja pada sumbu netral pipa.
e. Deformasi rotasi diasumsikan sangat kecil.
Salah satu bagian yang sangat penting dalam menggunakan program
Metode Elemen Hingga adalah permodelan kondisi batas, dalam hal analisa
tegangan pipa adalah tumpuan pipa (piping restraint). Sangat penting dalam
tipe tumpuan pipa adalah parameter yang berkaitan dengan derajat kebebasan
yang ditahan, kekakuan, efek tak-linear, koefisien friksi, dan lainnya.
Pemodelan tumpuan pipa harus dapat menggambarkan sebaik mungkin
keadaan fisik tumpuan yang sebenarnya. Berbagai tipe tumpuan pipa serta
pemodelan pada program Caesar II dan arah derajat kebebasan yang harus
ditahan adalah sebagai berikut, dengan sumbu vertikal pipa adalah sejajar
dengan sumbu global Y :
II-16 BAB II Landasan Teori
1. Anchor
Yaitu tumpuan dimana seluruh derajat kebebasan (X,Y,Z,RX,RY,RZ)
sepenuhnya ditahan. Anchor dapat ditemukan pada tumpuan sebagai
berikut :
a. Anchor yang sengaja dibuat, biasanya pipa dilas ke struktur atau
menggunakan kombinasi Clamp dengan baut yang dihubungkan kaku ke
struktur.
b. Anchor yang terjadi pada penetrasi ke dinding atau lantai beton.
c. Anchor yang diciptakan karena sambungan pipa ke peralatan seperti :
vessel dan pompa.
2. Restraint
Yaitu tumpuan yang kaku atau rigid dan ditahan pada satu atau lebih
derajat kebebasan dimana minimal satu derajat kebebasan tetap bebas.
Restraint dapat dibedakan sesuai dengan arah penahanannya yaitu :
a. Axial restraint
Ditahan pada arah aksial atau longitudinal pipa. Tipe restraint pada
Caesar II adalah X atau Y untuk aksial pipa, dikombinasikan dengan Z
atau X untuk arah tegak lurus mendatar pipa, dan Y dengan Gap jika
diperlukan, jenis axial restraint dapat dilihat pada gambar :
II-17 BAB II Landasan Teori
Gambar 9. Axial Restraint (Literatur 1)
b. Rod hanger
Menahan gerakan kebawah dari bobot mati pipa dimana titik
diamnya (pivot) berada diatas pipa dengan menggunakan pin, jenis Rod
Hanger dapat dilihat pada gambar :
Gambar 10. Rod Hanger (Literatur 1)
c. Sway strut
Kombinasi dua pin membebaskan tiga arah rotasi dan translasi
lateral dan aksial, Sway Strut dapat dilihat pada gambar :
Gambar 11. Sway Strut (Literatur 1)
d. Structural steel restraint
Terbuat dari struktur baja yang menahan pipa dengan rigid. Arah
penahan tergantung pada konfigurasi struktur baja, jenis Structural steel
restraint dapat dilihat pada gambar :
II-18 BAB II Landasan Teori
Gambar 12. Structural Steel Restraint (Literatur 1)
e. Penetrasi di dinding/ lantai
Dengan lugs sebagai penyangga, dua arah lateral translasi dan dua
arah rotasi ditahan, jenis penetrasi di dinding/ lantai dapat dilihat pada
gambar :
Gambar 13. Penetrasi di Dinding/ Lantai (Literatur 1)
f. Guide
Fungsinya menahan arah translasi lateral (tegak lurus dengan pipa)
dibandingkan mendatar atau di dua arah lateral, jika pipa dipasang
vertikal.
g. Slide support
Menahan arah vertikal dari bawah dimana ada friksi antar pipa atau
plat slide dengan tumpuan, Slide support dapat dilihat pada gambar :
II-19 BAB II Landasan Teori
Gambar 14. Slide Support (Literatur 1)
3. Variabel Spring Hanger Support
Yaitu tumpuan yang menahan pipa dari gerakan ke bawah dengan
kekakuan tertentu (spring) sedemikian hingga cukup untuk menahan bobot
mati dari pipa, sementara pergerakan tetap dimungkinkan untuk ekspansi
pipa panas, jenis Variabel Spring Hanger Support dapat dilihat pada
gambar :
Gambar 15. Variabel Spring Hanger Support (Literatur 1)
4. Constant Spring Hanger
Yaitu tumpuan yang menahan pipa dari gerakan ke bawah dengan
besar gaya yang tetap, sehingga cukup untuk menahan bobot mati dari pipa
sementara pergerakan tetap dimungkinkan untuk ekspansi pipa panas, lihat
pada gambar :
II-20 BAB II Landasan Teori
Gambar 16. Constant Spring Hanger (Literatur 1)
5. Snubber
Yaitu tumpuan yang dibuat khusus untuk menahan gerakan yang cepat
dan tidak punya tahanan sama sekali, untuk beban statis yang bekerja sangat
lambat, seperti : berat mati dan ekspansi termal. Snubber dapat dilihat pada
gambar :
Gambar 17. Snubber (Literatur 1)
6. Sway brace
Yaitu tumpuan dengan kekakuan tertentu, yang dihubungkan dengan
strut, bisanya digunakan untuk merubah karakteristik dinamis dari sistem
pipa untuk menghindari masalah resonansi. Untuk lebih jelas lihat gambar :
BAB II Landasan Teori
II-21
Gambar 18. Sway Brace (Literatur 1)
F. Penggunaan Metode Elemen Hingga Pada Program Caesar II Versi 5.10
Program komputer untuk menganalisa tegangan pipa bekerja dengan
prinsip Metode Elemen Hingga yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Metode fleksibilitas (Flexibility method) dimana besaran yang dicari adalah
gaya dan momen.
2. Metode kekakuan (Stiffness method) dimana besaran yang dicari adalah
translasi dan rotasi, gaya dan momen dihitung kemudian dengan
menggunakan persamaan kekakuan setelah translasi dan rotasi yang sudah
diketahui.
Program komputer untuk analisa tegangan pipa yang tersedia sekarang
umumnya menggunakan metode kekakuan, demikian juga halnya dengan
Caesar II. Metode Elemen Hingga secara umum memakai beberapa asumsi.
Asumsi dasar yang dipakai oleh program elemen hingga untuk analisa
tegangan pipa adalah pipa dimodelkan sebagai elemen garis (Elemen 1-D)
yang bertepatan dengan sumbu simetri pipa. Elemen garis dihubungkan dengan
dua titik nodal (satu pada ujung “ from ” dan yang lainnya pada ujung “ end “).
Setiap titik nodal memiliki koordinat ruang dengan enam derajat kebebasan (3
II-22 BAB II Landasan Teori
translasi dan 3 rotasi). Pada elemen garis ini didefinisikan parameter kekakuan
yaitu sifat material dan geometri penampang pipa, yang diasumsikan konstan
sepanjang elemen.
Secara umum langkah-langkah yang dilakukan dalam menggunakan Metode
Elemen Hingga dirumuskan sebagai berikut :
Langkah 1. Pemilihan tipe elemen dan diskritisasi.
Amatilah benda atau struktur yangakan dianalisa, apakah satu dimensi
(contoh batang panjang), dua dimensi (plate datar) atau tiga dimensi (seperti
balok).
a. Elemen garis (1-Dimensi)
Gambar 19. Elemen garis (Juliyanto, 2010)
b. Elemen 2-Dimensi
Gambar 20. Elemen 2 dimensi (Juliyanto, 2010)
c. Elemen 3-Dimensi
Gambar 21. Elemen 3 dimensi (Juliyanto, 2010)
BAB II Landasan Teori
II-23
d. Elemen axismetri
Gambar 22. Elemen Axismetri, a. Quadritarial, b. Triangular Ring
(Juliyanto, 2010)
Bagilah/potong benda dalam bagian-bagian kecil (disebut elemen). Langkah ini
disebut sebagai langkah diskritisasi. Banyaknya potongan yang dibentuk
bergantung pada geometri dari benda yang akan dianalisa, sedangkan bentuk
elemen yang diambil bergantung pada dimensinya.
.
Gambar 23. Contoh Diskritisasi Pada Elemen Silinder (Juliyanto, 2010)
Langkah 2. Pemilihan fungsi pemindah/fungsi interpolasi.
Jenis-jenis fungsi yang sering digunakan adalah fungsi linear, fungsi
kuadratik, kubik atau polinomial derajat tinggi.
Langkah 3. Mencari hubungan strain/displacement dan stress/strain.
Sebagai contoh, hubungan ini untuk kasus satu dimensi berlaku : ∊x = du/dx dan x = E ∊x Dimana :
∊x = Strain
II-24 BAB II Landasan Teori
x = Stress
E = Modulus elastisitas
u = Displacement
Langkah 4. Dapatkan matrik kekakuan dari elemen yang dibuat.
Untuk benda yang terdiri dari beberapa buah elemen, lakukan
penggabungan (assemblage) dari matrik kekakuan elemen menjadi matrik
kekakuan global yang berlaku untuk semua benda atau struktur.
a. Matrik Kekauan Lokal
Matrik kekauan local adalah matrik yang memenuhi hubungan antara
gaya yang diberikan ( F ) dengan perpindahan/ displacement yang
dihasilkan ( d ) melalui persamaan :
F = k d
Gambar 24. Elemen Batang Ekuivalen Dengan Sebuah Pegas Linear
(Juliyanto, 2010)
Sebuah batang dengan dimensi panjang lebih besar dari diameternya dapat
di umpamakan menjadi elemen garis. Pemberian nomor mempunyai metode
khusus, yakni :
k Menandakan elemen
Angka Menandakan titik nodal
Persamaan kesetimbangan gaya yang bekerja :
II-25 BAB II Landasan Teori f1x = k ( d1x – d2x )
f2x = k ( d2x – d1x )
Dalam bentuk matrik persamaan diatas ditulis sebagai :
Matrik kekakuan local
b. Matrik Kekakuan Global
Matrik kekakuan global terbentuk jika jumlah element lebih dari satu
sehingga mempunyai minimal 2 matrik local. Dapat di contohkan dalam
kasus dibawah ini .
Gambar 25. Dua Elemen Dengan 3 Node (Juliyanto, 2010)
Matrik kekakuan lokal
Untuk elemen 1 :
untuk elemen 2 :
3 1 k1
Matrik kekakuan lokal elemen 1
2 3 k2
k k2
f2
1 3 1
II-26 BAB II Landasan Teori
Matrik kekakuan lokal elemen 2
Matrik kekakuan global
Untuk menentukan matrik kekakuan global , dapat ditempuh dua
macam cara sebagai berikut :
• Assembly menggambungkan matrik- matrik elemen yang ada.
Dengan menuliskan matrik dalam urutan dari atas kebawah
dengan nomor yang membesar. Persamaan ( a ) telah memenuhi,
sedangkan persamaan ( b ) diubah menjadi :
Kemudian lakukan penggabungan ( assemblage ) dari kedua
matrik, sehingga di peroleh :
Matrik kekakuan global untuk seluruh sistem
• Persamaan kesetimbangan gaya global
Gambar 26. Kesteimbangan Gaya Global (Juliyanto, 2010)
f2
3 2
II-27 BAB II Landasan Teori
f1x = k1 ( d1x – d3x ) = k1 d1x + 0 d2x - k1 d3x
f2x = k2 ( d2x – d2x ) = 0 d1x + k2 d2x - k2 d3x
f1x = k1 ( d3x – d1x ) + k2 ( d3x - d2x )
= -k1 d1x – k2 d2x + ( k1 - d2x )
Dari ketiga persamaan terakhir ini ditulis menjadi :
Matrik kekakuan global untuk seluruh sistem
Langkah 5. Gunakan persamaan kesetimbangan { F } = [ k ] { d }
Dengan persamaan ini masukan syarat batas yang diketahui dalam soal.
Langkah 6. Selesaikan persamaan pada langkah 5, dengan menghitung harga
yang belum diketahui.
Jika perhitungan melibatkan matrik dengan ukuran yang kecil, biasanya
ditempuh cara partitioning matrik (diterangkan pada bagian selanjutnya), tetapi
jika perhitungan melibatkan matrik dengan ukuran yang besar, komputer
adalah jalan terbaik dalam mendapatkan solusinya.
Langkah 7. Hitung strain dan stress dari tiap elemen.
Langkah 8. Interpresentasikan kembali hasil-hasil perhitungan yang diperoleh.
BAB III Metodologi Penelitian
III-1
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Data-data Analisa Konstruksi
Berdasarkan survey data yang telah dilakukan di PT.PERTAMINA RU
III PLAJU/SUNGAI GERONG, diperoleh data-data utama konstruksi sistem
perpipaan, terlihat pada gambar isometrik sistem perpipaan. Data-data
konstruksi sistem pipa tersebut adalah sebagai berikut :
1. Diameter pipa : 3 inch
2. Schedule number : 80
3. Material : ASTM A-53 Grade B, Seamless
4. Temperatur kerja : 147,6 oF
5. Tekanan : 99,54 psi
6. Fluida : Kerosene
7. Long radius 90o elbow
Gambar isometrik sistem perpipaan yang dianalisa terlihat pada (Gambar 27)
berikut :
III-2
BAB III Metodologi Penelitian
Gambar 27. Gambar Isometrik Sistem Perpipaan
B. Alat Bantu Analisa Konstruksi
Untuk analisa tegangan, pada saat ini telah tersedia program komputer
yang berguna membantu mempercepat penganalisaan sistem perpipaan seperti
program komputer Caesar II Versi 5.10.
Caesar II adalah sebuah perangkat lunak yang digunakan dalam desain
mekanik dan analisa sistem perpipaan. Penggunaannya dapat memodelkan
sistem perpipaan dengan elemen beam sederhana dan menentukan pembebanan
pada sistem. Dengan input tersebut Caesar II akan menghasilkan output data
berupa translasi, rotasi, gaya-gaya reaksi, momen dan tegangan yang terjadi di
seluruh sistem. Selanjutnya Caesar II akan membandingkan besar tegangan
yang terjadi dengan kekuatan material yang diizinkan berdasarkan kode
standard yang digunakan.
III-3
BAB III Metodologi Penelitian
Sistem perpipaan sering mengalami pemanjangan dan pemendekan pipa
yang disebut masalah fleksibilitas pipa, yang disebabkan oleh pemanasan dan
pendinginan pipa. Pada saat sistem perpipaan mengalami pemanasan, sistem
perpipaan ini menunjukkan masalah yang unik (struktur ini mengalami
regangan, dimana harus diserap oleh pipa penyangga dan perlengkapan yang
ada). Struktur ini harus cukup kuat untuk menyangga bebannya sendiri dan
cukup fleksibel untuk menerima kenaikan termal. Translasi, rotasi, gaya-gaya,
momen dan tegangan dapat diperkirakan dalam analisa model perpipaan
dengan Caesar II, untuk membantu analisa dalam mendesain, Caesar II
menggabungkan batas-batas pada sistem dan alat yang ada. Batas-batas
tersebut ditetapkan secara khusus dalam standarisasi. Caesar II tidak terbatas
pada analisa termal pada sistem perpipaan, Ceasar II juga mempunyai
kemampuan untuk memodel dan menganalisa seluruh beban statis yang
mungkin terjadi pada sistem. Caesar II bukan hanya alat untuk membuat desain
baru tetapi juga dapat memecahkan atau mendesain ulang sistem yang ada.
Satu hal lagi Caesar II dapat menentukan penyebab kegagalan atau
mengevaluasi terputusnya kondisi operasi yang tidak terantisipasi sebelumnya,
seperti interaksi fluida atau perpindahan fluida dan juga getaran mekanis akibat
perputaran alat.
Adapun diagram alir dari Caesar II dapat dilihat pada (Gambar 28) di
bawah ini :
III-4
BAB III Metodologi Penelitian
Gambar 28. Diagram Alir Analisis Statik Caesar II
Berikut diagram alir dari Caesar II untuk analisa dinamik tipe modal
dapat dilihat pada (Gambar 29) di bawah ini :
Modeling: Input geometri, beban,temperature, material, fluida
Check run
Pemilihan beban (operasi,sustain,ekspansi
Analisa
Output: tegangan
Numerical display
Report
Graphical display
Start
Stop
End
Tidak
Ya
III-5
BAB III Metodologi Penelitian
Start
Gambar 29. Diagram Alir Analisa Dinamik Tipe Modal Caesar II
Analisa Statik
Start Analisa Dinamik
Pemilihan Tipe Analisis : Modal,
Harmonic, Earthquake (spectrum), Relief
Loads (spectrum), Water Hammer/Slug Flow
(spectrum). Time History.
Input Data Tipe Analisis Modal: Massa terkonsentrasi, kekakuan tumpuan, mengontrol Parameter,
Lanjutan.
Check run
Analisa (RUN)
Tidak
Output: Frekuensi Pribadi
(Natural Frequencies) Numerical display
Report
Graphical display
Stop
End
Ya
III-6
BAB III Metodologi Penelitian
C. Penggunaan CAESAR II
Untuk memudahkan dalam memahami apa itu Caesar II dan bagaimana
penggunaannya, dari Gambar 19 dapat dianalisa tegangan yang terjadi pada
suatu desain sistem perpipaan tersebut. Dari gambar tersebut dapat diketahui
hal-hal sebagai berikut :
a. Panjang pipa
b. Diameter pipa
c. Peralatan-peralatan sistem perpipaan, seperti : valve dan elbow
d. Dengan menganggap bahwa sambungan pada pompa sebagai anchor, maka
dapat diketahui :
Jumlah dan letak penyangga yang ada
Jarak antara penyangga yang satu dengan yang lain
Jumlah dan letak anchor
e. Penandaan node atau titik-titik sebuah elemen terletak pada dua buah node
dan penomorannya menggnakan bilangan puluhan, ratusan dan sebagainya,
agar dapat menyisipkan node lain jika nanti diperlukan.
f. Jarak antar node yang satu dengan yang lain.
g. Dimensi dan arah dari setiap elemen.
Setelah data-data tersebut didapatkan, penggunaan Caesar II dapat
dimulai dengan tahap-tahap sebagai berikut :
C.1. PENENTUAN JOB NAME
Untuk identifikasi masukkan job name pada New Job Name
Specification, dan klik Piping Input Option.
III-7
BAB III Metodologi Penelitian
C.2. MASUKKAN INPUT
Masukkan input pada MAIN MENU, maka akan didapatkan
Piping Input atau Input Spreadsheet, data-data yang digunakan terlihat
pada Input Caesar II (Lampiran B). Dengan memasukkan data-data
yang ada, akan didapat model konstruksi pipa, terlihat pada (Gambar
30) di bawah ini :
Gambar 30. Sistem Perpipaan dalam 3 Dimensi
III-8
BAB III Metodologi Penelitian
C.3. RUNNING
Jika dalam memasukkan data tidak terjadi kesalahan, maka
model yang telah dibuat dapat di Run, untuk mendapatkan hasil
analisa Caesar II yaitu, analisa statis yang menunjukkan besarnya
translasi, rotasi, gaya-gaya, momen dan tegangan yang terjadi di setiap
titik, tegangan maksimm, overstress (jika ada). Apabila ada kesalahan
dalam memasukkan data ataupun terjadi kekurangan data maka
program Caesar II akan menampilkan Piping Error Checker. Pada
Piping Error Checker akan diperlihatkan peringatan-peringatan yang
berisi keesalahan yang terdapat pada elemen pipa yang dibuat dan
harus diperbaiki, dan apabila tidak diperbaiki maka Caesar II tidak
akan dapat dijalankan (Running).
Jika tidak ada lagi kesalahan maka dapat langsung dijalankan
baik untuk analisa statik maupun analisa dinamik.
Hasil analisa statik dapat dilihat pada output Caesar II (Lampiran C),
pada output Caesar II terdapat tiga macam jenis analisa antara lain :
1. Case 1, W+T1+P1(OPE) atau OPERATING
Hasil analisanya pada keadaan operasi, dengan data pembebanan
akibat berat, temperatur dan tekanan.
2. Case 2, W+P1(SUS) atau SUSTAINED LOAD CASE
Hasil analisanya pada keadaan beban terpasang, dengan data berat
dan tekanan.
3. Case 3, DS1-DS2 (EXP) atau EXPANSION LOAD CASE
III-9
BAB III Metodologi Penelitian
Hasil analisanya pada keadaan ekspansi, dimana analisa datanya
adalah beda displacement.
Adapun untuk analisa dinamik, dapat dilakukan setelah kita
melakukan analisa statik. Untuk analisa dinamik, Caesar II memiliki
beberapa pilihan kasus sesuai dengan data dan analisa yang akan kita
pilih. Terdapat beberapa pilihan tipe analisa dinamik pada Caesar II
yaitu, analisa modal (Natural Frequency Analysis), analisa harmonik
(Harmonic), analisa spectrum responsis (Earthquake), analisa
spectrum gaya (Relief Loads & Water Hammer/Slug Flow), analisa
transient (Time History).
Pada penulisan tugas akhir ini penulis hanya menggunakan
analisa dinamik untuk analisa modal, yaitu analisa yang dilakukan
untuk mendapatkan frekuensi pribadi dari sistem perpipaan. Untuk
menjalankan analisa modal, ada sedikit perubahan pada input sistem
perpipaan. Berikut tampilan untuk pilihan tipe analisis pada analisa
dinamik.
Setelah kita memilih tipe analisa dinamik, yaitu untuk analisa
modal. Selanjutnya kita memasukkan data-data yang diperlukan pada
masukkan sub menu analisa modal tertsebut.
Langkah-langkah untuk analisa modal, yaitu :
• Merubah distribusi massa dari model statik (Lumped Masses)
• Menambah kekakuan model statik (Snubber)
• Mengontrol parameter analisa dinamik (Control Parameter)
III-10
BAB III Metodologi Penelitian
• Analisa dan melihat hasil perhitungan
Setelah memasukkan data-data yang diperlukan pada masukkan pada
analisis modal maka selanjutnya dapat di running. Jika tidak terdapat
kesalahan pada masukkan maka akan didapat output berupa frekuensi
pribadi dari sistem perpipaan. Berikut tampilan keluaran hasil analisa
modal. Dari tampilan output analisis dinamik tipe modal (Lampiran C)
dapat diketahui frekuensi pribadi yang dihasilkan.
D. Cara Pengisian Input atau Input Spreadsheet
Pengisian Input dilakukan dengan mengisi Spreadsheet yang tersedia
pada Menu Input dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh program. Untuk
memudahkan pengisian spreadsheet maka sistem perpipaan yang akan
dianalisa disiapkan dahulu gambar isometriknya. Selanjutnya pengisian
spreadsheet biasanya dilakukan dengan cara sebagai berikut, dapat dilihat pada
(Tabel 2) di bawah ini :
Tabel 2. Cara-cara Pengisian Input Spreadsheet
Sub Menu Keterangan
From
To
Diisi dengan nomor node atau titik sesuai dengan pemodelan
gambar 3 dimensi yang telah disiapkan, dengan bilangan dari
10 sampai dengan 250.
DX
DY
DZ
Jarak yang sesuai dengan arah sumbu yang disebut dari
nodal ke nodal yang bersangkutan, dengan satuan sistem
British : ft-in.
Contoh penomoran:
Gambar 31. Contoh Penomoran
III-11
BAB III Metodologi Penelitian
Diameter Diameter diisi dengan besarnya diameter nominal pipa
dalam satuan Inchi.
Wt/Sch Bisa diisi dengan schedule pipa atau langsung diisi dengan
tebal pipa dalam satuan Inchi.
Mil Tol% Mill tolerance, akan terisi secara otomatis karena didapat
dari jenis kode pipa yang digunakan.
Seam
Welded
Insul Thk
Corrosion
Sambungan pengelasan, harga faktor korosi dan tabel isolasi,
berguna untuk analisa berdasarkan jenis kode standar yang
digunakan yaitu B31.3 dan akan terisi secara otomatis bila
diameter dan tebal pipa telah diisi.
Temp 1
Temp 2
Temp 3
Pressure1
Pressure 2
Diisi dengan temperatur dan tekanan yang terjadi selama
operasi bila analisa tegangan akan dilakukan untuk beberapa
temperatur dan tekanan, maka dapat diisikan tiga kondisi
temperatur dan tekanan yang berbeda. Temperatur dalam oF
dan tekanan dalam satuan Psi.
Bend
Rigid
Bend
Tekan bend dengan cursor bila terdapat bend pada gambar
2 dimensi yang telah disiapkan. Penomoran atau node pada
bend.
Gambar 32. Penomoran Pada Bend
Rigid
Tekan rigid dengan cursor bila terdapat rigid pada gambar 2
dimensi yang telah disiapkan. Contoh rigid : valve,flange
III-12
BAB III Metodologi Penelitian
dan lain-lain. Penomoran atau node rigid.
Gambar 33. Gate Valve
Expansion Expansion joint
Tekan Expansion joint dengan cursor bila terdapat
Expansion joint pada gambar 2 dimensi yang telah
disiapkan.
Restraints
Restraints adalah penyangga pipa. Tekan Restraints dengan
cursor,dan akan muncul isian di samping kanan monitor,
pilih jenis Restraints yang ada pada gambar 2 dimensi yang
akan dianalisa, misalnya: Anchor.
Hanger
Tekan Hanger dengan cursor, dan akan muncul isian di
samping kanan monitor, isilah sesuai dengan data-data yang
ada.
Nozzles Tekanan Nozzles dengan kursor, dan akan muncul isian di
samping kanan monitor, istilah sesuai dengan data-data
yang ada.
Displacement
Equipment
Tekan Displacement dengan cursor, dan akan muncul isian
di samping kanan monitor, isilah sesuai data-data yang ada.
Material Diisi sesuai dengan material pipa yang bersangkutan dengan
memilih nomor dari daftar material pada daftar pustaka
CAESAR II.
III-13
BAB III Metodologi Penelitian
Stress
Allowable
Tekan Allowable stress dengan cursor, dan akan muncul
isian di samping kanan monitor, Pilih kode yang diikuti,
misalnya ANSI B 31.3.
Elastic
Modulus(C)
Ratio
Poisson’s
Akan terisi secara otomatis bila material yang digunakan
telah diisi.
Pipe Density Akan terisi secara otomatis bila material yang digunakan
telah terisi.
Fluid Density Diisi dengan spesific gravity dari fluida yang digunakan.
Insulation
Density
Diisi dengan berat isolasi, jika sistem perpipaan
menggunakan
Isolasi.
Berikut cara pengisian Sub menu yang biasanya dilakukan untuk analisa
dinamik tipe modal, dapat dilihat pada (Tabel 3) di bawah ini :
Tabel 3. Cara-cara Pengisian Input Sub Menu Pada Analisa Dinamik Tipe Modal.
Sub Menu Keterangan
Lumped
Masses
Diisi dengan massa pipa per-elemen, dimana massa elemen
terkonsentrasi pada setiap node .
Snubbers
Diisi dengan nilai kekakuan tumpuan snubbers, jika
tumpuan snubbers rigid maka diisi dengan nilai default
value 1.0E12
Control
Parameter
Diisi dengan parameter-parameter yang berhubungan
dengan analisa dinamik.
Advanced Pengaturan lanjutan untuk menganalisa dinamik.
BAB IV Hasil dan Pembahasan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Program CAESAR II adalah program komputer untuk perhitungan analisis
tegangan yang mampu mengakomodasi kebutuhan perhitungan analisis tegangan
dalam desain mechanical dan sistem perpipaan. Program Caesar II dapat membuat
permodelan sistem perpipaan dengan menggunakan elemen beam sederhana
kemudian menentukan kondisi pembebanan sesuai dengan kondisi yang
dikehendaki. Selanjutnya dengan memberikan atau mengisi inputan tersebut,
Caesar II mampu melakukan perhitungan atau analisis yang kita inginkan sesuai
dengan permasalahan yang kita simulasikan, yaitu sebagai berikut : Statik,
Dinamik, SIFs dan lain-lain. Beberapa aplikasi Caesar II, antara lain :
- Merancang sistem perpipaan baru ( Mechanical Design ).
- Penentuan jenis dan struktur tumpuan.
- Evaluasi, troubleshooting, mendesain ulang instalasi pipa yang sudah ada.
- Analisa kegagalan instalasi perpipaan.
- Analisa getaran pada instalasi perpipaan.
A. Analisa Statik
Metode Analisa Statik adalah memperhitungkan beban statik, yang akan
menimpa pipa secara perlahan sehingga dengan demikian sistem perpipaan
memiliki cukup waktu untuk menerima, bereaksi dan mendistribusikan beban
tersebut keseluruh bagian pipa, hingga tercapainya keseimbangan.
IV-1
IV-2 BAB IV Hasil dan Pembahasan
Ada berbagai macam jenis pembebanan (load case) yang dapat kita
gunakan dalam analisa statik pada Caesar II. Load case ini akan
mendefinisikan pembebanan yang terjadi pada pipa, baik beban akibat berat
pipa itu sendiri ataupun beban akibat faktor yang lain.
Berikut load case yang dihasilkan setelah memasukkan semua data pada
Piping Spreadsheet. Caesar II akan melakukan analisa statik dan hasilnya akan
menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
1. Case 1, W+T1+P1(OPE) atau OPERATING
Hasil analisanya pada keadaan operasi, dengan data pembebanan akibat
berat, temperatur dan tekanan.
2. Case 2, W+P1(SUS) atau SUSTAINED LOAD CASE
Hasil analisanya pada keadaan beban terpasang, dengan data berat dan
tekanan.
3. Case 3, DS1-DS2 (EXP) atau EXPANSION LOAD CASE
Hasil analisanya pada keadaan ekspansi, dimana analisa datanya adalah
beda displacement.
Kesimpulan dari masing-masing kasus pembebanan mengenai tegangan
terbesar terdiri dari :
- Code Stress
- Stress
- Bending Stress
- Torsional Stress
- Axial Stress
- 3D Max Intensity
IV-3 BAB IV Hasil dan Pembahasan
A. 1. Case 1, W+T1+P1(OPE) atau OPERATING
Analisa perhitungan konstruksi ini, diutamakan pada analisa akibat
fleksibilitas pipa yang disebabkan oleh pemanasan dan pendinginan pipa,
jadi analisa yang dihitung adalah analisa pada keadaan operasi dengan
data pembebanan akibat berat, temperatur dan tekanan atau juga dibatasi
pada pengaruh termal akibat temperatur fluida, yaitu Case 1,
W+T1+P1(OPE). Pengaruh ini dapat menyebabkan terjadinya translasi,
rotasi, gaya, momen dan tegangan pada sistem perpipaan tersebut. Untuk
lengkapnya dapat dilihat pada tabel-tabel dibawah ini :
Tabel 4. Translasi dan Rotasi pada masing-masing node
NODE
Translasi Rotasi DX in. DY in. DZ in. RX deg. RY deg. RZ deg.
10 -0.0000 -0.0000 -0.0000 0.0000 -0.0000 -0.000020 0.0859 -0.0000 0.0055 0.0123 -0.0041 -0.009230 0.1718 -0.0000 0.0293 0.0247 -0.0119 0.037038 0.1887 0.0181 0.0371 0.0271 -0.0138 0.025639 0.1899 0.0188 0.0385 0.0276 -0.0144 0.024440 0.1898 0.0178 0.0404 0.0282 -0.0151 0.023850 0.1801 -0.0000 0.0573 0.0319 -0.0167 0.019460 0.1319 -0.0000 0.1336 -0.0002 -0.0162 -0.000270 0.1029 -0.0000 0.2100 -0.0309 -0.0027 -0.019878 0.1027 0.0173 0.2269 -0.0282 0.0020 -0.024279 0.1035 0.0184 0.2284 -0.0283 0.0036 -0.024780 0.1051 0.0176 0.2288 -0.0283 0.0052 -0.025690 0.1220 -0.0000 0.2241 -0.0298 0.0102 -0.0349100 0.2079 -0.0000 0.1553 -0.0374 0.0336 -0.0043110 0.2938 -0.0000 0.0197 -0.0449 0.0535 0.0524118 0.3107 0.0306 -0.0139 -0.0464 0.0570 0.0494119 0.3110 0.0322 -0.0178 -0.0467 0.0580 0.0489120 0.3083 0.0308 -0.0206 -0.0473 0.0591 0.0485130 0.2714 -0.0000 -0.0375 -0.0572 0.0621 0.0461140 0.0437 -0.0000 -0.1330 0.0083 0.0671 0.0321150 -0.1667 -0.0000 -0.2285 0.0240 0.0520 0.0181158 -0.1969 0.0055 -0.2454 -0.0021 0.0472 0.0156159 -0.2001 0.0048 -0.2459 -0.0066 0.0456 0.0163
IV-4 BAB IV Hasil dan Pembahasan
NODE
Translasi Rotasi DX in. DY in. DZ in. RX deg. RY deg. RZ deg.
160 -0.2027 0.0037 -0.2440 -0.0090 0.0439 0.0164168 -0.2365 -0.0160 -0.1967 -0.0491 0.0339 0.0265169 -0.2373 -0.0184 -0.1937 -0.0514 0.0334 0.0359170 -0.2357 -0.0208 -0.1900 -0.0555 0.0335 0.0463180 -0.1974 -0.0377 -0.1515 -0.0711 0.0272 0.0797190 -0.1863 -0.0415 -0.1415 -0.0711 0.0272 0.0798200 -0.1182 -0.0605 -0.0865 -0.0890 0.0201 0.1184210 -0.1017 -0.0644 -0.0741 -0.0890 0.0201 0.1185218 -0.0189 -0.0811 -0.0151 -0.1050 0.0138 0.1536219 -0.0095 -0.0789 -0.0094 -0.1098 0.0120 0.1636220 -0.0041 -0.0703 -0.0075 -0.1127 0.0097 0.1672228 0.0011 -0.0397 -0.0092 -0.1191 0.0082 0.1520229 0.0028 -0.0293 -0.0089 -0.1142 0.0066 0.1215230 0.0038 -0.0206 -0.0075 -0.1037 0.0051 0.0995238 0.0046 -0.0025 -0.0024 -0.0816 0.0036 0.0457239 0.0041 0.0004 -0.0007 -0.0511 0.0022 0.0323240 0.0026 0.0003 -0.0000 -0.0320 0.0007 0.0107250 0.0000 -0.0000 0.0000 -0.0000 0.0000 0.0000
Translasi terbesar terjadi pada sumbu X pada node 119 sebesar
0,3110 inchi, sedangkan translasi terkecil terjadi pada sumbu Z pada
node 159 sebesar -0,2459 inchi.
Rotasi terbesar terjadi pada sumbu Z pada node 220 sebesar 0,1672
degree, sedangkan rotasi terkecil terjadi pada sumbu X pada node 228
sebesar -0,1191 degree.
Adapun gaya-gaya yang terjadi pada keadaan operasi ( Case 1 )
dengan data pembebanan akibat berat, temperatur dan tekanan (Tabel 4).
IV-5 BAB IV Hasil dan Pembahasan
Tabel 5. Gaya dan Momen pada masing-masing node
NODE Gaya Momen FX lb. FY lb. FZ lb. MX ft.lb. MY ft.lb. MZ ft.lb.
10 1 90 0 -9.0 2.2 212.1 20 -1 97 -0 9.0 -5.6 -264.2
20 1 104 0 -9.0 5.6 264.2 30 -1 83 -0 9.0 -9.0 -107.4
30 1 49 0 -9.0 9.0 107.4 38 -1 -12 -0 9.0 -9.6 -19.6
38 1 12 0 -9.0 9.6 19.6 39 -1 -8 -0 8.0 -9.6 -16.9
39 1 8 0 -8.0 9.6 16.9 40 -1 -4 -0 6.3 -9.3 -16.1
40 1 4 0 -6.3 9.3 16.1 50 -1 32 -0 46.8 -6.3 -16.1
50 1 68 0 -46.8 6.3 16.1 60 -1 98 -0 247.6 7.4 -16.1
60 1 98 0 -247.6 -7.4 16.1 70 -1 68 -0 50.0 21.1 -16.1
70 1 38 0 -50.0 -21.1 16.1 78 -1 -1 -0 -6.2 24.1 -16.1
78 1 1 0 6.2 -24.1 16.1 79 -1 3 -0 -6.0 24.4 -16.3
79 1 -3 0 6.0 -24.4 16.3 80 -1 6 -0 -5.5 24.4 -17.6
80 1 -6 0 5.5 -24.4 17.6 90 -1 43 -0 -5.5 23.8 -89.7
90 1 78 0 5.5 -23.8 89.7 100 -1 108 -0 -5.5 20.4 -311.5
100 1 112 0 5.5 -20.4 311.5 110 -1 75 -0 -5.5 17.0 -40.4
IV-6 BAB IV Hasil dan Pembahasan
NODE Gaya Momen FX lb. FY lb. FZ lb. MX ft.lb. MY ft.lb. MZ ft.lb.
110 1 30 0 5.5 -17.0 40.4 118 -1 6 -0 -5.5 16.3 -5.8
118 1 -6 0 5.5 -16.3 5.8 119 -1 10 -0 -6.5 16.2 -7.9
119 1 -10 0 6.5 -16.2 7.9 120 -1 14 -0 -9.7 15.9 -9.2
120 1 -14 0 9.7 -15.9 9.2 130 -1 51 -0 -103.3 12.8 -9.2
130 1 88 0 103.3 -12.8 9.2 140 -1 119 -0 -352.0 -4.3 -9.2
140 1 114 0 352.0 4.3 9.2 150 -1 94 -0 -187.8 -21.4 -9.2
150 1 55 0 187.8 21.4 9.2 158 -1 -19 -0 -80.3 -24.5 -9.2
158 1 19 0 80.3 24.5 9.2 159 -1 -15 -0 -75.9 -24.7 -11.0
159 1 15 0 75.9 24.7 11.0 160 -1 -11 -0 -74.4 -24.8 -14.4
160 1 11 0 74.4 24.8 14.4 168 -1 62 -0 -74.4 -23.4 133.9
168 1 -62 0 74.4 23.4 -133.9 169 -1 66 -0 -74.4 -23.4 150.9
169 1 -66 0 74.4 23.4 -150.9 170 -1 70 -0 -74.4 -23.3 158.6
170 1 -70 0 74.4 23.3 -158.6 180 -1 106 -0 -75.1 -23.3 161.6
180 1 -106 0 75.1 23.3 -161.6 190 -1 258 -0 -75.3 -23.3 162.3
IV-7 BAB IV Hasil dan Pembahasan
NODE Gaya Momen FX lb. FY lb. FZ lb. MX ft.lb. MY ft.lb. MZ ft.lb.
190 1 -258 0 75.3 23.3 -162.3 200 -1 299 -0 -76.0 -23.3 165.7
200 1 -299 0 76.0 23.3 -165.7 210 -1 451 -0 -76.2 -23.3 166.4
210 1 -451 0 76.2 23.3 -166.4 218 -1 488 -0 -76.8 -23.3 169.5
218 1 -488 0 76.8 23.3 -169.5 219 -1 491 -0 -76.9 -23.4 115.9
219 1 -491 0 76.9 23.4 -115.9 220 -1 495 -0 -76.9 -23.4 -14.8
220 1 -495 0 76.9 23.4 14.8 228 -1 506 -0 -76.9 -23.6 -460.7
228 1 -506 0 76.9 23.6 460.7 229 -1 510 -0 -21.0 -23.6 -595.4
229 1 -510 0 21.0 23.6 595.4 230 -1 514 -0 114.8 -23.3 -651.6
230 1 -514 0 -114.8 23.3 651.6 238 -1 525 -0 577.3 -22.4 -651.6
238 1 -525 0 -577.3 22.4 651.6 239 -1 529 -0 717.0 -22.1 -593.7
239 1 -529 0 -717.0 22.1 593.7 240 -1 533 -0 775.2 -21.9 -452.9
240 1 -533 0 -775.2 21.9 452.9 250 -1 538 -0 775.2 -21.8 -214.6
IV-8 BAB IV Hasil dan Pembahasan
Tegangan yang terjadi pada masing-masing node pada Case Operating
Satuan Tegangan : (lb./sq.in.)
Rasio Tegangan OPE (%) : 0.0 @Node 240
Tegangan Operasi : 5253.6 Allowable: 0.0
Tegangan Aksial : 218.3 @Node 160
Tegangan Lentur : 3575.6 @Node 238
Tegangan Torsi : 2498.7 @Node 239
Tegangan Hoop : 481.1 @Node 20
Tabel 6. Tegangan Yang Terjadi Pada Masing-Masing Node.
Node Bending Stress
lb./sq.in.
Torsion Stress
lb./sq.in
SIF In Plane
SIF Out
Plane
Code Stress
lb./sq.in
Allowable Stress
lb./sq.in.
Ratio %
Piping Code
10 1143.8 -24.3 1.000 1.000 1362.4 0.0 0.0 B31.3 20 1425.2 24.3 1.000 1.000 1643.7 0.0 0.0 B31.3
20 1425.2 -24.3 1.000 1.000 1643.7 0.0 0.0 B31.3 30 581.2 24.3 1.000 1.000 800.9 0.0 0.0 B31.3
30 581.2 -24.3 1.000 1.000 800.9 0.0 0.0 B31.3 38 117.7 24.3 1.000 1.000 344.9 0.0 0.0 B31.3
38 140.7 -24.3 1.377 1.147 366.5 0.0 0.0 B31.3 39 130.0 -17.0 1.377 1.147 352.1 0.0 0.0 B31.3
39 130.0 17.0 1.377 1.147 352.1 0.0 0.0 B31.3 40 79.6 -43.5 1.377 1.147 335.8 0.0 0.0 B31.3
40 60.8 43.5 1.000 1.000 324.1 0.0 0.0 B31.3 50 254.5 -43.5 1.000 1.000 486.9 0.0 0.0 B31.3
50 254.5 43.5 1.000 1.000 486.9 0.0 0.0 B31.3 60 1335.8 -43.5 1.000 1.000 1556.5 0.0 0.0 B31.3
60 1335.8 43.5 1.000 1.000 1556.5 0.0 0.0 B31.3 70 292.4 -43.5 1.000 1.000 523.0 0.0 0.0 B31.3
IV-9 BAB IV Hasil dan Pembahasan
Node Bending Stress
lb./sq.in.
Torsion Stress
lb./sq.in
SIF In Plane
SIF Out
Plane
Code Stress
lb./sq.in
Allowable Stress
lb./sq.in.
Ratio %
Piping Code
70 292.4 43.5 1.000 1.000 523.0 0.0 0.0 B31.3 78 134.4 -43.5 1.000 1.000 378.0 0.0 0.0 B31.3
78 183.2 43.5 1.377 1.147 420.8 0.0 0.0 B31.3 79 186.7 -42.4 1.377 1.147 422.8 0.0 0.0 B31.3
79 186.7 42.4 1.377 1.147 422.8 0.0 0.0 B31.3 80 211.5 -14.9 1.377 1.147 431.2 0.0 0.0 B31.3
80 162.3 14.9 1.000 1.000 382.6 0.0 0.0 B31.3 90 500.5 -14.9 1.000 1.000 719.0 0.0 0.0 B31.3
90 500.5 14.9 1.000 1.000 719.0 0.0 0.0 B31.3 100 1683.2 -14.9 1.000 1.000 1901.2 0.0 0.0 B31.3
100 1683.2 14.9 1.000 1.000 1901.2 0.0 0.0 B31.3 110 236.6 -14.9 1.000 1.000 456.1 0.0 0.0 B31.3
110 236.6 14.9 1.000 1.000 456.1 0.0 0.0 B31.3 118 93.5 -14.9 1.000 1.000 315.7 0.0 0.0 B31.3
118 126.5 14.9 1.377 1.147 347.6 0.0 0.0 B31.3 119 135.6 2.7 1.377 1.147 353.5 0.0 0.0 B31.3
119 135.6 -2.7 1.377 1.147 353.5 0.0 0.0 B31.3 120 132.2 24.8 1.377 1.147 359.3 0.0 0.0 B31.3
120 100.3 -24.8 1.000 1.000 329.9 0.0 0.0 B31.3 130 561.3 24.8 1.000 1.000 781.6 0.0 0.0 B31.3
130 561.3 -24.8 1.000 1.000 781.6 0.0 0.0 B31.3 140 1898.4 24.8 1.000 1.000 2117.1 0.0 0.0 B31.3
140 1898.4 -24.8 1.000 1.000 2117.1 0.0 0.0 B31.3 150 1019.4 24.8 1.000 1.000 1238.7 0.0 0.0 B31.3
150 1019.4 -24.8 1.000 1.000 1238.7 0.0 0.0 B31.3 158 452.8 24.8 1.000 1.000 673.6 0.0 0.0 B31.3
158 529.2 -24.8 1.377 1.147 749.6 0.0 0.0 B31.3 159 338.0 165.5 1.377 1.147 691.4 0.0 0.0 B31.3
IV-10 BAB IV Hasil dan Pembahasan
Node Bending Stress
lb./sq.in.
Torsion Stress
lb./sq.in
SIF In Plane
SIF Out
Plane
Code Stress
lb./sq.in
Allowable Stress
lb./sq.in.
Ratio %
Piping Code
159 338.0 -165.5 1.377 1.147 691.4 0.0 0.0 B31.3 160 204.3 200.5 1.377 1.147 668.4 0.0 0.0 B31.3
160 154.5 -200.5 1.000 1.000 648.0 0.0 0.0 B31.3 168 732.8 200.5 1.000 1.000 1053.6 0.0 0.0 B31.3
168 1004.3 -200.5 1.377 1.147 1299.8 0.0 0.0 B31.3 169 1142.6 186.4 1.377 1.147 1404.7 0.0 0.0 B31.3
169 1142.6 -186.4 1.377 1.147 1404.7 0.0 0.0 B31.3 170 1264.3 62.9 1.377 1.147 1465.5 0.0 0.0 B31.3
170 944.7 -62.9 1.000 1.000 1148.0 0.0 0.0 B31.3 180 961.1 62.9 1.000 1.000 1152.0 0.0 0.0 B31.3
180 0.0 0.0 0.000 0.000 0.0 0.0 0.0 B31.3 190 0.0 0.0 0.000 0.000 0.0 0.0 0.0 B31.3
190 964.8 -62.9 1.000 1.000 1105.5 0.0 0.0 B31.3 200 983.3 62.9 1.000 1.000 1110.0 0.0 0.0 B31.3
200 0.0 0.0 0.000 0.000 0.0 0.0 0.0 B31.3 210 0.0 0.0 0.000 0.000 0.0 0.0 0.0 B31.3
210 987.0 -62.9 1.000 1.000 1063.5 0.0 0.0 B31.3 218 1003.4 62.9 1.000 1.000 1067.6 0.0 0.0 B31.3
218 1345.1 -62.9 1.377 1.147 1407.3 0.0 0.0 B31.3 219 966.0 -102.0 1.377 1.147 1089.8 0.0 0.0 B31.3
219 966.0 102.0 1.377 1.147 1089.8 0.0 0.0 B31.3 220 181.9 -207.4 1.377 1.147 670.6 0.0 0.0 B31.3
220 149.4 207.4 1.000 1.000 658.5 0.0 0.0 B31.3 228 2487.5 -207.4 1.000 1.000 2739.5 0.0 0.0 B31.3
228 2855.8 207.4 1.377 1.147 3103.4 0.0 0.0 B31.3 229 2519.1 -1175.3 1.377 1.147 3663.1 0.0 0.0 B31.3
229 2519.1 1175.3 1.377 1.147 3663.1 0.0 0.0 B31.3 230 730.8 -1756.8 1.377 1.147 3806.8 0.0 0.0 B31.3
IV-11 BAB IV Hasil dan Pembahasan
Node Bending Stress
lb./sq.in.
Torsion Stress
lb./sq.in
SIF In Plane
SIF Out
Plane
Code Stress
lb./sq.in
Allowable Stress
lb./sq.in.
Ratio %
Piping Code
230 631.5 1756.8 1.000 1.000 3787.9 0.0 0.0 B31.3 238 3115.3 -1756.8 1.000 1.000 4913.8 0.0 0.0 B31.3
238 3575.6 1756.8 1.377 1.147 5231.0 0.0 0.0 B31.3 239 563.9 -2498.7 1.377 1.147 5247.4 0.0 0.0 B31.3
239 563.9 2498.7 1.377 1.147 5247.4 0.0 0.0 B31.3 240 2807.0 -2090.1 1.377 1.147 5253.6 0.0 0.0 B31.3
240 2445.2 2090.1 1.000 1.000 5061.2 0.0 0.0 B31.3 250 1163.1 -2090.1 1.000 1.000 4557.4 0.0 0.0 B31.3
A. 2. Case 2, W+P1(SUS) atau SUSTAINED LOAD CASE
Caesar II menganggap beban displacement (translasi dan rotasi)
sebagai beban yang bekerja, karena itu tegangan yang diizinkan muncul
dalam Output Caesar adalah pada saat beban terpasang, karena selama
tahap konstruksi pipa, lay-out mengikuti kondisi batas medan tanpa
menyertakan pengaruh termal fluida ( temperatur ). Jadi beban yang ada
adalah berat pipa dan tekanan fluida, karena itu pembebanan yang
digunakan adalah Sustain Load. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat
pada ( Tabel 7 ) di bawah ini :
Kode Standard Pipa : B31.3 = B31.3 -2006, May 31, 2007
Satuan Tegangan : (lb./sq.in.)
Rasio Tegangan Kode (%) : 18.9 @Node 238
Tegangan Kode : 3771.5 Allowable: 20000.0
Tegangan Aksial : 218.2 @Node 159
Tegangan Lentur : 3553.6 @Node 238
IV-12 BAB IV Hasil dan Pembahasan
Tegangan Torsi : 2542.0 @Node 239
Tegangan Hoop : 481.1 @Node 20
Tabel 7. Tegangan yang terjadi saat beban terpasang dengan data berat dan tekanan pada masing-masing node
Node Bending Stress
lb./sq.in.
Torsion Stress
lb./sq.in.
SIF In
Plane
SIF Out
Plane
Code Stress
lb./sq.in.
Allowable Stress
lb./sq.in.
Ratio %
Piping Code
10 1143.9 -24.3 1.000 1.000 1361.7 20000.0 6.8 B31.320 1424.8 24.3 1.000 1.000 1642.7 20000.0 8.2 B31.3
20 1424.8 -24.3 1.000 1.000 1642.7 20000.0 8.2 B31.330 579.5 24.3 1.000 1.000 797.3 20000.0 4.0 B31.3
30 579.5 -24.3 1.000 1.000 797.3 20000.0 4.0 B31.338 107.3 24.3 1.000 1.000 325.1 20000.0 1.6 B31.3
38 123.9 -24.3 1.377 1.147 341.7 20000.0 1.7 B31.339 111.8 -17.1 1.377 1.147 329.6 20000.0 1.6 B31.3
39 111.8 17.1 1.377 1.147 329.6 20000.0 1.6 B31.340 46.1 -43.6 1.377 1.147 264.0 20000.0 1.3 B31.3
40 38.4 43.6 1.000 1.000 256.3 20000.0 1.3 B31.350 252.5 -43.6 1.000 1.000 470.4 20000.0 2.4 B31.3
50 252.5 43.6 1.000 1.000 470.4 20000.0 2.4 B31.360 1335.5 -43.6 1.000 1.000 1553.4 20000.0 7.8 B31.3
60 1335.5 43.6 1.000 1.000 1553.4 20000.0 7.8 B31.370 277.1 -43.6 1.000 1.000 495.0 20000.0 2.5 B31.3
70 277.1 43.6 1.000 1.000 495.0 20000.0 2.5 B31.378 83.1 -43.6 1.000 1.000 301.0 20000.0 1.5 B31.3
78 110.7 43.6 1.377 1.147 328.7 20000.0 1.6 B31.379 110.9 -44.1 1.377 1.147 328.8 20000.0 1.6 B31.3
79 110.9 44.1 1.377 1.147 328.8 20000.0 1.6 B31.380 149.3 -17.3 1.377 1.147 367.1 20000.0 1.8 B31.3
80 120.3 17.3 1.000 1.000 338.1 20000.0 1.7 B31.390 484.6 -17.3 1.000 1.000 702.5 20000.0 3.5 B31.3
IV-13 BAB IV Hasil dan Pembahasan
Node Bending Stress
lb./sq.in.
Torsion Stress
lb./sq.in.
SIF In
Plane
SIF Out
Plane
Code Stress
lb./sq.in.
Allowable Stress
lb./sq.in.
Ratio %
Piping Code
90 484.6 17.3 1.000 1.000 702.5 20000.0 3.5 B31.3100 1689.6 -17.3 1.000 1.000 1907.4 20000.0 9.5 B31.3
100 1689.6 17.3 1.000 1.000 1907.4 20000.0 9.5 B31.3110 189.4 -17.3 1.000 1.000 407.2 20000.0 2.0 B31.3
110 189.4 17.3 1.000 1.000 407.2 20000.0 2.0 B31.3118 42.9 -17.3 1.000 1.000 260.7 20000.0 1.3 B31.3
118 55.2 17.3 1.377 1.147 273.0 20000.0 1.4 B31.3119 47.2 -20.2 1.377 1.147 265.2 20000.0 1.3 B31.3
119 47.2 20.2 1.377 1.147 265.2 20000.0 1.3 B31.3120 75.1 -6.3 1.377 1.147 293.2 20000.0 1.5 B31.3
120 62.1 6.3 1.000 1.000 280.2 20000.0 1.4 B31.3130 532.3 -6.3 1.000 1.000 750.4 20000.0 3.8 B31.3
130 532.3 6.3 1.000 1.000 750.4 20000.0 3.8 B31.3140 1882.3 -6.3 1.000 1.000 2100.4 20000.0 10.5 B31.3
140 1882.3 6.3 1.000 1.000 2100.4 20000.0 10.5 B31.3150 1104.8 -6.3 1.000 1.000 1322.8 20000.0 6.6 B31.3
150 1104.8 6.3 1.000 1.000 1322.8 20000.0 6.6 B31.3158 426.3 -6.3 1.000 1.000 644.4 20000.0 3.2 B31.3
158 492.9 6.3 1.377 1.147 710.9 20000.0 3.6 B31.3159 330.7 136.5 1.377 1.147 548.9 20000.0 2.7 B31.3
159 330.7 -136.5 1.377 1.147 548.9 20000.0 2.7 B31.3160 115.0 186.6 1.377 1.147 333.2 20000.0 1.7 B31.3
160 85.0 -186.6 1.000 1.000 303.2 20000.0 1.5 B31.3168 567.4 186.6 1.000 1.000 785.6 20000.0 3.9 B31.3
168 779.2 -186.6 1.377 1.147 997.4 20000.0 5.0 B31.3169 920.9 157.7 1.377 1.147 1125.1 20000.0 5.6 B31.3
169 920.9 -157.7 1.377 1.147 1125.1 20000.0 5.6 B31.3170 1031.8 36.3 1.377 1.147 1228.9 20000.0 6.1 B31.3
IV-14 BAB IV Hasil dan Pembahasan
Node Bending Stress
lb./sq.in.
Torsion Stress
lb./sq.in.
SIF In
Plane
SIF Out
Plane
Code Stress
lb./sq.in.
Allowable Stress
lb./sq.in.
Ratio %
Piping Code
170 777.3 -36.3 1.000 1.000 974.4 20000.0 4.9 B31.3180 786.3 36.3 1.000 1.000 971.2 20000.0 4.9 B31.3
180 0.0 0.0 0.000 0.000 0.0 0.0 0.0 B31.3190 0.0 0.0 0.000 0.000 0.0 0.0 0.0 B31.3
190 788.3 -36.3 1.000 1.000 923.0 20000.0 4.6 B31.3200 798.4 36.3 1.000 1.000 919.4 20000.0 4.6 B31.3
200 0.0 0.0 0.000 0.000 0.0 0.0 0.0 B31.3210 0.0 0.0 0.000 0.000 0.0 0.0 0.0 B31.3
210 800.5 -36.3 1.000 1.000 871.1 20000.0 4.4 B31.3218 809.4 36.3 1.000 1.000 867.9 20000.0 4.3 B31.3
218 1075.1 -36.3 1.377 1.147 1133.5 20000.0 5.7 B31.3219 694.6 -110.9 1.377 1.147 798.8 20000.0 4.0 B31.3
219 694.6 110.9 1.377 1.147 798.8 20000.0 4.0 B31.3220 380.9 -193.3 1.377 1.147 598.7 20000.0 3.0 B31.3
220 279.6 193.3 1.000 1.000 497.4 20000.0 2.5 B31.3228 2643.5 -193.3 1.000 1.000 2861.3 20000.0 14.3 B31.3
228 3033.6 193.3 1.377 1.147 3251.4 20000.0 16.3 B31.3229 2655.4 -1219.3 1.377 1.147 2873.2 20000.0 14.4 B31.3
229 2655.4 1219.3 1.377 1.147 2873.2 20000.0 14.4 B31.3230 734.1 -1829.2 1.377 1.147 952.0 20000.0 4.8 B31.3
230 637.9 1829.2 1.000 1.000 855.8 20000.0 4.3 B31.3238 3096.8 -1829.2 1.000 1.000 3314.7 20000.0 16.6 B31.3
238 3553.6 1829.2 1.377 1.147 3771.5 20000.0 18.9 B31.3239 408.9 -2542.0 1.377 1.147 627.0 20000.0 3.1 B31.3
239 408.9 2542.0 1.377 1.147 627.0 20000.0 3.1 B31.3240 2985.3 -2074.9 1.377 1.147 3203.5 20000.0 16.0 B31.3
240 2601.5 2074.9 1.000 1.000 2819.6 20000.0 14.1 B31.3250 1333.0 -2074.9 1.000 1.000 1551.2 20000.0 7.8 B31.3
IV-15 BAB IV Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan ( Tabel 7 ) diatas, tegangan yang terjadi pada sistem perpipaan CDU-
V Plaju ini memiliki tegangan maksimum pada node 238, yaitu 3771.5 lb/in2,
sedangkan harga tegangan yang diizinkan oleh kode standar B31.3 adalah 20000
lb/in2. Jadi masih berada di bawah tegangan izin yaitu :
Sl ≤ Sh
3771.5 lb/in2 ≤ 20000 lb/in2
dengan demikian sistem perpipaan dari cooler 4-1 ke pompa 33 di Crude
Distillation Unit (CDU) V Plaju yang terpasang dalam keadaan aman.
IV-16 BAB IV Hasil dan Pembahasan
B. Analisa Dinamik
Pada analisa dinamik, yaitu beban yang terjadi berubah cepat seiring
waktu, pipa tidak punya cukup waktu untuk mendistribusikan beban keseluruh
bagiannya, sehingga tidak tercapai keseimbangan.
Kita mengetahui bahwa semua benda jika dipukul akan bergetar.
Bergetarnya benda tersebut selalu mempunyai frekuensi tertentu. Besarnya
frekuensi yang terjadi itulah yang disebut frekuensi eksitasi. Dimana frekuensi
eksitasi didefinisikan sebagai frekuensi getaran yang terjadi karena adanya
gaya dari luar sistem. Sedangkan setiap benda mempunyai frekuensi pribadi
tertentu dengan sendirinya. Dimana frekuensi pribadi didefinisikan sebagai
frekuensi getaran sistem yang terjadi karena bukan gaya dari luar. Dalam hal
sistem perpipaan, frekuensi pribadi disebabkan oleh :
• Geometri atau dimensi benda
• Spesifikasi material benda
General Rule mengatakan bahwa : Bila frekuensi pribadi getaran
sebuah mesin atau struktur sama dengan frekuensi eksitasi luar, fenomena
yang muncul disebut resonansi, yang akan menyebabkan defleksi yang
berlebihan dan kegagalan bahan. [12]
Disinilah perlunya analisa yang berbeda, melalui analisis frekuensi pada
pembebanan dinamik yang juga menghasilkan beberapa modus getarnya
terhadap suatu interval waktu.
Ketika mengalami getaran (vibrasi), tentu saja sistem perpipaan akan
mengalami fenomena resonansi atau tidak. Besarnya frekuensi pribadi sistem
IV-17 BAB IV Hasil dan Pembahasan
perpipaan tidaklah boleh sama dengan frekuensi eksitasi dari peralatan dalam
waktu yang cukup lama, yang mana jika resonansi yang terjadi dalam waktu
yang cukup lama maka akan mengakibatkan defleksi yang berlebihan dan
kegagalan bahan sehingga sistem dalam keadaan berbahaya atau tidak aman.
Pada perhitungan frekuensi pribadi pada tugas akhir ini, penulis
menggunakan bantuan Program Caesar II versi 5.10 pada analisa dinamik
untuk tipe analisa modal pada Caesar II. Berikut besaran frekuensi pribadi yang
terjadi hasil keluaran program Caesar II.
B. 1. Frekuensi Pribadi ( )
Hasil keluaran program Caesar II untuk analisis tipe Modal pada
analisa dinamik berupa frekuensi pribadi dari sistem perpipaan. Berikut
hasil untuk 5 frekuensi pribadi hasil keluaran Caesar II :
Frekuensi pribadi I : 2,186 rad/sec, dengan Periode : 2,875 sec
Frekuensi pribadi II : 2,902 rad/sec, dengan Periode : 2,165 sec
Frekuensi pribadi III : 6,195 rad/sec, dengan Periode : 1,014 sec
Frekuensi pribadi IV : 10,278 rad/sec, dengan Periode : 0,611 sec
Frekuensi pribadi V : 14,163 rad/sec, dengan Periode : 0,444 sec
B. 2. Frekuensi Eksitasi (ω)
Pergerakan dari komponen berputar pada saat mulai proses operasi
hingga mencapai putaran stasioner operasi akan menimbulkan getaran
yang mempunyai frekuensi eksitasi tertentu. Putaran (n) stasioner operasi
dari motor penggerak dari data diketahui sebesar 110 rpm. Sehingga
IV-18 BAB IV Hasil dan Pembahasan
didapat nilai frekuensi eksitasi (ω) pada putaran stasioner operasi, dari
persamaan :
f (Hertz)
Dimana,
n = putaran stasioner motor
= 110 rpm
maka,
f =
= 1,833 Hertz
Sehingga,
ω = 2πf
= 2(3,14)1,833
= 11,51 rad/s
berdasarkan perhitungan diatas, dapat diambil beberapa kasus dari 5
modus getar frekuensi pribadi sistem perpipaan yang akan dibandingkan
dengan frekuensi eksitasinya, kasus-kasus tersebut yaitu :
1. Modus getar ke-1, frekuensi pribadi ( ) = 2,186 rad/sec, dengan
Periode : 2,875 sec.
Pada kasus ini, pada sistem perpipaan terjadi resonansi pada saat
frekuensi eksitasi dari putaran motor (n) = =
= 20,885 rpm, akan tetapi resonansi yang terjadi hanya sesaat seiring
naiknya putaran motor, sehingga tidak mengakibatkan defleksi yang
IV-19 BAB IV Hasil dan Pembahasan
berlebihan dan tidak mengalami kegagalan bahan. Dengan demikian
sistem perpipaan masih dalam keadaan aman.
2. Modus getar ke-2, frekuensi pribadi ( ) = 2,902 rad/sec, dengan
Periode : 2,165 sec.
Pada kasus ini, pada sistem perpipaan terjadi resonansi pada saat
frekuensi eksitasi dari putaran motor (n) = =
= 27,726 rpm, akan tetapi resonansi yang terjadi hanya sesaat seiring
naiknya putaran motor, sehingga tidak mengakibatkan defleksi yang
berlebihan dan tidak mengalami kegagalan bahan. Dengan demikian
sistem perpipaan masih dalam keadaan aman.
3. Modus getar ke-3, frekuensi pribadi ( ) = 6,195 rad/sec, dengan
Periode : 1,014 sec.
Pada kasus ini, pada sistem perpipaan terjadi resonansi pada saat
frekuensi eksitasi dari putaran motor (n) = =
= 59,188 rpm, akan tetapi resonansi yang terjadi hanya sesaat seiring
naiknya putaran motor, sehingga tidak mengakibatkan defleksi yang
berlebihan dan tidak mengalami kegagalan bahan. Dengan demikian
sistem perpipaan masih dalam keadaan aman.
4. Modus getar ke-4, frekuensi pribadi ( ) =
10,278 rad/sec, dengan Periode : 0,611 sec.
Pada kasus ini, pada sistem perpipaan terjadi resonansi pada saat
frekuensi eksitasi dari putaran motor (n) = =
IV-20 BAB IV Hasil dan Pembahasan
= 98,197 rpm, akan tetapi resonansi yang terjadi hanya sesaat seiring
naiknya putaran motor, sehingga tidak mengakibatkan defleksi yang
berlebihan dan tidak mengalami kegagalan bahan. Dengan demikian
sistem perpipaan masih dalam keadaan aman.
5. Modus getar ke-5, frekuensi pribadi ( ) = 14,163 rad/sec, dengan
Periode : 0,444 sec.
Pada kasus ini, pada sistem perpipaan tidak terjadi resonansi, karena
pada saat frekuensi eksitasi mulai terjadi sampai pada putaran
stasioner operasi motor (n) = 110 rpm, sebesar 11,51 rad/s masih
berada di bawah frekuensi pribadi sistem perpipaan, sehingga sistem
perpipaan masih dalam keadaan aman.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa sistem
perpipaan dari cooler 4-1 ke pompa 33 di Crude Distillation Unit (CDU)
V Plaju yang terpasang terjadi resonansi pada kasus atau modus getar
pertama hingga modus getar ke empat akan tetapi resonansi yang terjadi
tidak sampai membahayakan sistem perpipaan. Untuk kasus atau modus
getar ke lima sistem perpipaan tidak mengalami resonansi dan sistem
perpipaan dalam keadaan aman.
BAB V Kesimpulan dan Saran
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisa dan pembahasan yang telah dibahas pada bab-bab
sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu :
1. Konstruksi sistem perpipaan yang dianalisa adalah pipa CDU-V dari Cooler
4-1 ke pompa 33 di Kilang Plaju, dengan memakai kode standard
ASME/ANSI B31.3.
2. Dari hasil perhitungan konstruksi dengan menggunakan program Caesar II
diperoleh tegangan maksimum pada node 238, sebesar 3771,5 lb/in2.
Sedangkan harga tegangan yang diizinkan oleh material ASTM A-53 Grade
B dengan kode standard pipa ASME/ANSI B31.3 adalah 20000 lb/in2. Jadi,
tegangan maksimum yang terjadi lebih kecil dari tegangan kode standard
yang diizinkan, yaitu ;
Sl ≤ Sh
3771,5 lb/in2 ≤ 20000 lb/in2
Dengan demikian sistem perpipaan dari cooler 4-1 ke pompa 33 di Crude
Distillation Unit (CDU) V Plaju yang terpasang dalam keadaan aman.
3. Dari hasil perhitungan Analisis Dinamik, dapat diambil kesimpulan bahwa
sistem perpipaan dari cooler 4-1 ke pompa 33 di Crude Distillation Unit
(CDU) V Plaju yang terpasang terjadi resonansi pada kasus atau modus
getar pertama hingga modus getar ke empat akan tetapi resonansi yang
V-1
V-2
BAB V Kesimpulan dan Saran
terjadi tidak sampai membahayakan sistem perpipaan. Untuk kasus atau
modus getar ke lima sistem perpipaan tidak mengalami resonansi dan sistem
perpipaan dalam keadaan aman.
B. Saran
Dari beberapa kesimpulan di atas, maka saran-saran yang dapat
dikemukakan, ialah :
1. Permodelan sistem perpipaan diharapkan dibuat menyerupai dengan bentuk
model aktualnya. Oleh sebab itu, data–data geometri pipa dan data lainnya
yang akan dikaji ulang haruslah lengkap.
2. Untuk mendapatkan hasil analisis yang maksimal hendaknya para engineer
melakukan perbandingan dengan menggunakan metode dan program analisa
tegangan lainnya, seperti : Metode Grinell, Program Bentley AutoPipe,
CosmosWork, SAP2000 dan lain-lain.
3. Walaupun konstruksi sistem pipa tersebut merupakan konstruksi sistem pipa
yang aman, pihak Pertamina hendaknya selalu memantau dan melakukan
inspeksi serta perawatan yang baik terhadap konstruksi sistem pipa tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
1. ENGINEERING PHYSICS CORPORATION, (1993), “Pipe Stress Analysis
Seminar Notes”, Coade, Inc, Houston, Texas.
2. Grinnell, (1981), ”Piping Design and Engineering”, Second Edition, Grinnell
Company Inc.
3. PT. PERTAMINA UP III, (2008), “Peralatan Non Rotating Equipment
(Piping, Valve & Fitting)”, Plaju.
4. ASME B31.3, “Process Piping”, Edisi 2002, American National Standard,
New York.
5. COADE Engineering Software, 2000, Caesar II Technical Reference
Manual, Houston.
6. COADE Engineering Software, 2000, Caesar II Aplication Guide, Houston.
7. COADE Engineering Software, 2000, Caesar II User Guide , Houston.
8. COADE Engineering Software, 2000, Caesar II Quick Reference Guide,
Houston.
9. http://www.simetric.co.uk
10. Raswari, (1986), “Teknologi dan Perencanaan Sistem Perpipaan”, UI-Press,
Jakarta.
11. Raswari, (1986), “Perencanaan dan Penggambaran Sistem Perpipaan”,
UI-Press, Jakarta.
12. Jimmy D.N. ST. MT., (2004), “Catatan Kuliah Getaran Mekanik Dengan
Teori dan Latihan”, UNSRI, Indralaya.
Top Related