Download - Analisa putusan ptun

Transcript

Analisa Putusan PTUN (Studi kasus putusan PTUN Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN JBI)

Disusun Oleh:

Sartika Bani Kharisma

E0011282

Hukum Peradilan Tata Usaha Negara (D)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

`2013

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kuasa

sehingga penyusunan makalah ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. Saya juga

berterimakasih kepada setiap pihak yang telah terlibat dan membantu kami dalam

penyusunan makalah ini.

Makalah ini disusun untuk menambah nilai Mata Kuliah Hukum Peradilan Tata

Usaha Negara. Dalam kesempatan ini saya mencoba menganalisis putusan PTUN Jambi

Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN JBI. Makalah ini saya susun sedemikian rupa

dengan mencari dan menggabungkan sejumlah informasi yang kami dapatkan baik melalaui

buku, media cetak, elektronik maupun media lainnya. Saya berharap dengan informasi yang

di dapat dan kemudian saya sajikan ini dapat memberikan penjelasan yang cukup jelas.

Demikian satu dua kata yang bisa kami sampaikan kepada seluruh pembaca makalah

ini. Jika ada kesalahan baik dalam penulisan maupun kutipan, saya terlebih dahulu memohon

maaf dan saya juga berharap semua pihak dapat memakluminya. Semoga semua pihak dapat

menikmati dan mengambil esensi dari makalah ini. Trimakasih.

Surakarta, Mei 2013

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

`` Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa sengketa tata usaha negara adalah

sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan

hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun

di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk

sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada dasarnya sengketa Tata Usaha Negara terjadi karena adanya seseorang

atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu

Keputusan Tata Usaha Negara, yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha

Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat

konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau

badan hukum perdata. Gugatan yang diajukan oleh seseorang atau badan hukum yang

merasa dirugikan tersebut haruslah dengan alasan-alasan sesuai yang diatur dalam

Pasal 53 ayat (2) UU No 5 Tahun 1986.

Secara umum jika kita kaji mengenai Isi atau bagian-bagian dari suatu

Putusan, maka hal ini diatur dalam Pasal 109 ayat (1) UU Peradilan Tata Usaha

Negara, yaitu  memuat: Kepala putusan harus berbunyi: “ Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa “.

a. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman para pihak yang

bersengketa,

b. Ringkasan gugatan dan jawaban Tergugat yang jelas,

c. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi

dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa,

d. Alasan hakim yang menjadi dasar putusan,

e. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara, dan

f. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera serta

keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negera Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ 

PTUN.JBI secara keseluruhan sudah memuat semua bagian-bagian isi dari suatu

putusan sesuai Pasal 109 ayat (1) di atas.

B. Rumusan masalah

a. Bagaimanakah putusan tata usaha negara terhadap Putusan Pengadilan Tata

Usaha Negara Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN JBI?

b. Bagaimanakah pembuktian yang dalam hal ini terhadap Putusan Pengadilan

Tata Usaha Negara Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN JBI?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Putusan tata usaha negara yang dalam hal ini terhadap Putusan Pengadilan Tata

Usaha Negara Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN JBI

Secara keseluruhan kita sudah pada tahap penganalisaan suatu Putusan

Pengadilan Tata Usaha Negara maka secara tidak langsung sudah menunjukkan bahwa

prosedur sebelumnya sudah terpenuhi, yaitu seperti mengenai syarat-syarat dari suatu

surat gugatan terutama syarat formil, yang jika dalam kasus sengketa tata usaha negara

pada contoh salinan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi di atas adalah

diajukan oleh Ir.Sudjarwo (Penggugat), didaftarkan 9 Januari 2003 dengan Register

Perkara Nomor : 01/ G/TUN/ 2003/ PTUN.JBI . Tidak mungkin suatu sengketa tata

usaha negara dapat diperiksa, diadili, dan diputus di PTUN jika tidak lulus dari

pemeriksaan awal suatu surat gugatan di Kepaniteraan PTUN, Karena sebelum surat

gugatan dapat di daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara syarat

formilnya harus terpenuhi secara lengkap terlebih dahulu, sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 62 ayat (1) huruf b Jo Pasal 56 UU No.5 Tahun 1986. Beberapa hal lain

yang perlu kita cermati adalah:

1. Kompetensi Mengadili

1Kewenangan mengadili terbagi dalam :

a) Kekuasaan Kehakiman atribusi (attribute van recht smacht-smacht)

Kewenangan mutlak atau kompetensi absolute sebagai kewenagan badan

pengadilan untuk memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidaka

dapat diperiksa pengadilan lain.

b) Kekuasaan Kehakiman Distribusi ( distributie van recht-smacht)

Kewenangan nisbi atau kompetensi relatif sebagai kewenagan badan pengadilan

untuk memeriksa sesuai asas Actor Sequuitur Forum Rei (yang berwenang

pengadilan tempat kedudukan tergugat).

I. Kompetensi Absolut

1 Prof. Dr. H. Eko Sugiarto, S.H., C.N., M.Hum. dan Tjondro Tirtamulia, S.H., C.N. , Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Surabaya: Brilian Internasional, 2012), hal.13

Kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa

sengketa tata usaha Negara yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan

tata usaha Negara (Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009

danPasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, kecuali (secara

limitatif) keputusan tata usaha negara yang dimaksud dalam ketentuan

pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 oleh Badanatau Pejabat

Tata Usaha Negara (Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor Tahun 2009)

antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata

usaha negara.

Dasar hukum pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

menyatakan: “Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus

dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara”.

Pasal 18 UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

menyatakan: “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan

militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi.” Jadi, dibawah lingkungan peradilan Mahkamah

Agung terdapat 4 (empat) lingkungan peradilan (Piramida Peradilan):

1. Lingkungan peradilan umum,

2. Lingkungan peradilan agama,

3. Lingkungan peradilan militer, dan

4. Lingkungan Peradilalan Tata Usaha Negara.

Selanjutnya kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha

Negara dilaksanakan oleh:

a. Pengadilan Tata Usaha Negara;

b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Kekuasaan Kehakiman di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara

berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negara Tinggi.

Ketentuan pasal 4 UU Nomor 9 Tahun 2004 dan Pasal 5 UU Nomor

Tahun 1986, menegaskan, bahwa Peradilan Tata Usaha Negara adalah

salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi “ rakyat pencari keadilan”

(setiap orang baik warga negara Indonesia maupun orang asing, dan badan

hukum perdata yang mencari keadilan pada peradilan Tata Usaha Negara)

terhadap sengketa tata usaha negara.

II. Kompetensi Relatif

2Kompetensi relatif Pengadilan Tata Usaha Negara adalah kewenagan

pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat

(pasal 54 ayat (1) UU No.5 Tahun 1986).

Ketentuan pasal 54 ayat (1) UU No.5 Tahun 1986, menentukan:

“Gugatan sengketa tata usaha Negara diajukan kepada pengadilan yang

berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.”

Dalam penjelasannya, ketentuan Pasal 54 ayat (1) menegaskan , bahwa

yang dimaksudkan dengan “tempat kedudukan tergugat” adalah tempat

kedudukan secara nyata atau tempat kedudukan menurut hukum, namun

demikian jika tempat kedudukan tergugat berada diluar daerah hukum

pengadilan tempat kediaman penggugat, gugatan dapat disampaikan

kepada pengadilan tata usaha negara tempat kediaman penggugat untuk

diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan.

Demikian pula, apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau

berada diluar negeri, gugatan diajukan kepada pengadilan di Jakarta.

Penggugat yang ber ada diluar negeri dapat mengajukan gugatannya

dengan surat atau menunjuk seseorang yang diberi kuasa yang berada di

Indonesia.

Selanjutnya ketentuan pasal 6 UU no. 9 Tahun 2004 menetukan,

tempat kedudukan pengadilan tata usaha negara:

1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota

kabupaten/Kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah

kabupaten/Kota.

2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudkan di ibukoya

provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.

2 Prof. Dr. H. Eko Sugiarto, S.H., C.N., M.Hum. dan Tjondro Tirtamulia, S.H., C.N. , Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Surabaya: Brilian Internasional, 2012), hal.20-21

Berkaitan dengan pembentukannya, ketentuan pasal 9 UU no. 5 Tahun

1986 menetukan pengadilan tatat usaha negara dibentuk dengan keputusan

presiden dan pasal 10 UU no. 5 Tahun 1986 menetukan Pengadilan Tinggi

Tata Usaha Negara dibentuk dengan undang-undang.

Sengketa Tata Usaha Negara pada contoh salinan Putusan Pengadilan

Tata Usaha Negara Jambi di atas, Penulis sependapat dengan eksepsi

Tergugat dan putusan Hakim, karena jenis sengketa tersebut adalah

sengketa kepegawaian, sehingga berdasarkan pada Pasal 48 Jo Pasal 51

ayat (3) Undang-Undang No.5 Tahun 1986 seharusnya gugatan tersebut di

ajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Maka Pengadilan Tata

Usaha Negara Jambi tidak berwenang memeriksa perkara tersebut.

2. Subjek Sengketa

3Ketentuan mengenai pencantuman pihak-pihak dalam sengketa tata usaha ini di

atur dalam Pasal 109 ayat (1) huruf b Jo Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No.5

Tahun 1986, bahwa yang harus dicantumkan terkait subjek atau pihak-pihak yang

berperkara dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah Pertama; nama,

kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan penggugat atau kuasanya. Kedua

nama jabatan dan tempat kedudukan tergugat.

1) Penggugat

Nama                      : Sudjarwo

Kewarganegaraan   : Indonesia

Alamat                   : Jalan Imam Bonjol No.28 RT.18 RW.05, Kelurahan

Pematang Kandis, Bangko

Pekerjaan               : Pegawai Negeri Sipil Pemda Kabupaten Merangin

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor: 05/ TUN/ LBHDB/ II/ 2003 tanggal 4

Februari 2003 memberikan kuasa kepada Faidillah Darma SH, Budi Asmara SH, dan

3 Prof. Dr. H. Eko Sugiarto, S.H., C.N., M.Hum. dan Tjondro Tirtamulia, S.H., C.N. , Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Surabaya: Brilian Internasional, 2012), hal.44 (syarat formal)

Alimin SH, Advokat/Pengacara yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum

“Darma Bakti”.

2) Tergugat

Nama Jabatan : Bupati Merangin

Tempat Kedudukan : Jalan Jenderal Sudirman No.1 Bangko

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor: 067/SKH/HK&ORG/2003 tanggal 20

Januari 2003 dan Surat Kuasa Khusus Nomor: 137/ SKH/HK&ORG/ 2003 tanggal

30 Januari 2003 Jo Nomor : B-78/ N.5.14/ G.31/ 2003 tanggal 30 Januari 2003

memberi kuasa kepada Irdam SH, Isnadil SH, Dedie Tri Hariyadi SH, Asep Dahwan

S. SH.

3. Objek Sengketa

Objek yang disengketakan di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan

Tata Usaha Negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-

Undang No.5 Tahun 1986, yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha

Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat

konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau

badan hukum perdata.

Dalam perkara ini objek gugatan yang diajukan oleh Penggugat merupakan suatu

Keputusan Tata Usaha Negara yaitu berupa Surat Keputusan Bupati Merangin No.

335 tahun 2002 tanggal 03 Desember 2002 tentang Pemberhentian Penggugat

( Sudjarwo ) dari Jabatan Kepala Dinas Tata Kota Kabupaten Merangin (eselon II/b)

menjadi Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pariwisata Kabupaten Merangin (eselon

III/a).

Berdasarkan hal tersebut, Maka benarlah bahwa kasus tersebut termasuk kedalam

objek sengketa tata usaha negara, tepatnya sengketa kepegawaian yang dapat

diperiksa di Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi, karena selain merupakan suatu

penetapan tertulis yang bersifat individual, konkret, dan final, juga pihak Penggugat

merasa dirugikan oleh keputusan tersebut.

4. Posita Dan Petitum

Seperti yang telah diketahui bahwasanya pada penulisan ini Penulis sedang

menganalisis sebuah Putusan Tata Usaha Negara. Suatu Putusan Pengadilan Tata

Usaha Negara akan berisikan rangkuman secara keseluruhan dari pemeriksaan-

pemeriksaan yang telah dilakukan selama persidangan sesuai isi/sistematika putusan

yang telah ditentukan undang-undang. Walaupun pada dasarnya Posita dan Petitum

gugatan berawal dari suatu surat gugatan, namun hal itu tidak menghalangi kita untuk

dapat mengetahui apa yang menjadi Posita maupun Petitum dari gugatan Penggugat,

karena hal tersebut tetap dicantumkan pada suatu Putusan Tata Usaha.

Posita atau dasar gugatan berisikan dalil-dalil Penggugat untuk mengajukan

gugatan yang diuraikan secara ringkas, sederhana, dan harus jelas atau terang,

biasanya berisi tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang merupakan

uraian dari duduk perkara suatu sengketa dan berisi fakta hukum terkait hubungan

hukum antara Penggugat dan Tergugat. Sedangkan Petitum adalah kesimpulan

gugatan yang berisikan hal-hal yang dituntut oleh Penggugat untuk diputuskan oleh

Hakim.

Pada sengketa Tata Usaha Negara sesuai contoh Putusan Pengadilan Tata Usaha

Negara Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/PTUN.JBI di atas, yang menjadi Posita dan

Petitumnya adalah:

a. Posita

Secara keseluruhan uraian mengenai kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa

terkait duduk perkara yang tertuju pada dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha

Negara dapat dilihat dan dicermati pada halaman ke-2 dari Putusan TUN tersebut.

Bertitik tolak kepada ketentuan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No.9 Tahun

2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.5 Tahun 1986, bahwa alasan-

alasan Penggugat untuk menggugat adalah:

a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada contoh salinan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi di atas,

alasan Penggugat mengatakan KTUN tersebut bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan adalah karena penerbitan SK Bupati Merangin Nomor 335

Tahun 2002 tanggal 3 Desember 2002 tersebut adalah bertentangan dengan

Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 13 Tahun 2002 yang

merupakan ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000

yang menyebutkan bahwa “ untuk menjamin pembinaan karir yang sehat tidak

diperbolehkan perpindahan jabatan struktural dari eselon yang lebih tinggi

kedalam eselon yang lebih rendah”.

b) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan azas-

azas umum pemerintahan yang baik

Pada contoh salinan Putusan PTUN di atas, hal ini dapat dilihat atau dibuktikan

pada penjabaran “duduk perkara” point ke 16-17, yang menyebutkan bahwa

mutasi yang dirasa merugikan Penggugat tersebut dinilai melanggar atau tidak

sesuai dengan azas kepatutan kepegawaian yang berlaku umum dan azas larangan

berbuat sewenang-wenang.

b. Petitum

Yang menjadi tuntutan Penggugat untuk diputuskan oleh Hakim terhadap perkara

gugatan dalam sengketa tata usaha negara tersebut adalah:

a) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya,

b) Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Bupati Merangin No. 335

Tahun 2002 tertanggal 3 Desember 2002 tentang Pemberhentian Penggugat

dari Jabatan Kepala Dinas Tata Kota Kabupaten Merangin yang ditempatkan

sebagai Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pariwisata, Seni dan Kebudayaan

Kabupaten Merangin,

c) Memerintahkan Tergugat menerbitkan Surat Keputusan yang isinya mencabut

Surat Keputusan Bupati Merangin yang disebutkan di atas,

d) Memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan Surat Keputusan yang isinya

merehabilitasi Penggugat sesuai harkat, martabat dan kedudukannya,

e) Menetapkan bahwa Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi

tentang penundaan pelaksanaan lebih lanjut Surat Keputusan yang menjadi

objek sengketa, tetap sah dan berlaku, dan

f) Menghukum Tergugat untuk membayar ongkos perkara yang timbul dalam

perkara.

5. Diktum / Amar Putusan

Setelah semua tahap-tahap pemeriksaan di persidangan dilakukan (pembacaan

gugatan oleh Penggugat, pembacaan jawaban dari Tergugat, replik, duplik, pengjuan

alat-alat bukti, kesimpulan), diman inti dari hasil pemeriksaan di sidang Pengadilan

mengenai sengketa Tata Usaha Negara itu adalah Pertama, Penggugat mengajukan

kesimpulan bahwa KTUN yang dikeluarkan oleh Tergugat agar dinyatakan batal atau

tidak sah. Kedua, Tergugat mengajukan kesimpulan bahwa KTUN yang telah

dikeluarkan adalah sah (Wiyono, 2007: 123).

Kini tibalah saatnya pada tahap pembahasan penjatuhan putusan akhir. Diktum

atau Amar Putusan adalah apa yang diputuskan secara final oleh pengadilan dan

merupakan titik akhir yang terpenting bagi Penggugat atau Tergugat, dengan kata

lain Diktum atau amar putusan juga dapat dikatakan jawaban atau tanggapan dari

petitum.

Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh Hakim setelah pemeriksaan

sengketa Tata Usaha Negara selesai yang mengakhiri sengketa tersebut pada tingkat

pengadilan tertentu. Berdasarkan Pasal 97 ayat (7) bentuk Putusan pengadilan dapat

berupa:

1. Gugatan ditolak

2. Gugatan dikabulkan

3. Gugatan tidak diterima

4. Gugatan gugur.

Pada contoh sengketa Tata Usaha Negara dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha

Negara Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN.JBI di atas yang menjadi Diktum

atau Amar putusan yang diputuskan dalam Rapat Permusyawaratn Majelis Hakim

pada hari Rabu tanggal 7 Mei 2003 yaitu, mengadili:

1. Menerima Eksepsi Tergugat,

2. Mencabut Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi

Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN.JBI. tanggal 24 Januari 2003,

3. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima, dan

4. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang

diperhitungkan, sebesar Rp. 427.000,- (empat ratus dua puluh tujuh

rupiah).

Dengan diterimanya eksepsi tergugat maka otomatis gugatan Penggugat tidak

diterima yaitu putusan yang menyatakan bahwa syarat-syarat yang telah ditentukan

tidak dipenuhi oleh gugatan yang diajukan oleh Penggugat dan Diktum putusan

tersebut tidak membawa perubahan apa-apa dalam hubungan hukum yang ada antara

Penggugat dengan Tergugat, artinya keadaan tetap seperti yang berlaku semula,

dimana Penggugat (Sudjarwo) tetap pada posisi jabatannya ketika dikeluarkannya

Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi Objek sengketa dan Keputusan Tata

Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Tergugat (Bupati Merangin) tetap berlaku atau

sah menurut hukum, yaitu dengan adanya Putusan Hakim mencabut Penetapan Ketua

Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN.JBI. tanggal

24 Januari 2003 tentang Penundaan Pelaksanaan Lebih Lanjut Surat Keputusan

tanggal 3 Desember 2002 Nomor 335 Tahun 2002.

Menghukum Penggugat (Sudjarwo) untuk membayar biaya perkara menurut

Penulis sudah tepat, karena berdasarkan Pasal 100 Undang-Undang No.5 Tahun

1986 menyebutkan bahwa “Pihak yang dikalahkan untuk seluruhnya atau sebagian

dihukum membayar biaya perkara”. Lebih lanjut Pasal 111 UU No.5 Tahun 1986

mengatur, yang termasuk dalam biaya perkara itu adalah:

a. Biaya kepaniteraan dan biaya materai,

b. Biaya saksi, ahli, dan alih bahasa dengan catatan bahwa pihak yang

meminta pemeriksaan lebih dari lima orang saksi harus membayar biaya

untuk saksi yang lebih itu meskipun pihak tersebut dimenangkan, dan

c. Biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruangan sidang dan biaya lain

yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah Hakim Ketua

Sidang.

Yang perlu ditekankan dalam penjatuhan putusan adalah bahwa Majelis Hakim

wajib menjatuh putusan terhadap semua petitum dan dilarang menjatuhkan putusan

di luar atau melebihi petitum. Pasal 68 ayat(1) Undang-Undang No.5 Tahun 1986

menyebutkan “Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara

dengan tiga orang Hakim”. Jika kita cermati, pada contoh Putusan sengketa Tata

Usaha Negara di atas sudah memenuhi aturan Pasal tersebut, dapat terlihat pada

bagian penutup Putusan PTUN, Majelis Hakim yang memutus tersebut adalah

M.Arif Nurdu’a,SH Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi selaku Hakim Ketua

Majelis, R.Basuki Santoso,SH dan Husban,SH masing-masing sebagai Hakim

Anggota.

Pasal 108 ayat(1) dan(2) Undang-Undang No.5 Tahun 1986 mengatur bahwa

Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan jika hal

tersebut tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan putusan Pengadilan tidak sah dan

tidak mempunyai kekuatan hukum.

Jika berpandangan pada pasal tersebut, contoh Putusan sengketa Tata Usaha

Negara di atas adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum, karena putusan tersebut

diucapkan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum pada hari Kamis

tanggal 8 Mei 2003 oleh Majelis Hakim dan dibantu oleh Bowo Winoto, SH sebagai

Panitera sidang yang dihadiri oleh Kuasa Penggugat dan Kuasa Tergugat. Kekuatan

hukum dari Putusan sengketa Tata Usaha Negara di atas adalah mengikat semua

yang berkepentingan untuk menaati dan melaksanakannya, yaitu semua orang

dan/atau semua badan hukum, baik badan hukum perdata maupun badan hukum

publik, karena Putusan Hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara mengikuti

azas Erga Omnes, yang artinya putusan berlaku bagi semua orang.

B. Pembuktian yang dalam hal ini terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha

Negara Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN JBI

Pembuktian merupakan pengujian terhadap ada atau tidaknya suatu fakta, dapat

berupa fakta hukum yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang

keberadaannya tergantung dari penerapan suatu peraturan perundang-undangan, dan

fakta biasa yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan

adanya fakta hukum tertentu (Wiyono, 2007: 148). Fakta-fakta yang disebutkan di

atas akan menjadi bahan pertimbangan Hakim dalam menentukan putusan akhir.

Jika mencermati contoh putusan di atas, yang menjadi fakta biasa dalam sengketa

Tata Usaha Negara tersebut berdasarkan pada bukti-bukti yang ada diantaranya

adalah bahwa kinerja Penggugat (Sujdarwo) ketika menjabat sebagai Kepala Dinas

Tata Kota adalah kurang baik, hal ini dapat dilihat pada halaman ke-34 Putusan

tersebut terkait pertimbangan Hakim menyebutkan “ Menimbang, bahwa dari semua

saksi yang diajukan oleh Tergugat sebanyak 4 (empat) orang kesemuanya

menerangkan kinerja Penggugat sebagai Kepala Dinas Tata Kota adalah kurang

baik”.

Sedangkan yang menjadi Fakta hukum dari sengketa Tata Usaha Negara yang

timbul dari adanya fakta biasa di atas diantaranya adalah dengan dikeluarkannya

Keputusan Tata Usaha Negara oleh Tergugat (Bupati Merangin) berupa Surat

Keputusan(SK) Bupati Merangin Nomor 335 Tahun 2002 tanggal 3 Desember 2002

tentang Pemberhentian, Pemindahan, dan Pengangkatan Penggugat ( Sudjarwo) dari

Kepala Dinas Tata Kota Kabupaten Merangin(eselon II/b) menjadi Kepala Bagian

Tata Usaha Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Kabupaten Merangin(eselon III/a).

Pada Pasal 107 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara menyebutkan “ Hakim menetukan apa yang harus dibutikan, beban

pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan

sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim”. Dengan demikian

Hakim dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara

memiliki kebebasan atau dapat menentukan sendiri siapa yang harus dibebani

pembuktian, serta Hakim tidak tergantung atau terikat pada fakta dan hal yang

diajukan oleh para pihak yang bersengketa.

Terkait alat bukti, Undang-Undang No 5 Tahun 1986 mengaturnya dalam Pasal 100,

yaitu:

a. Surat atau tulisan

b. Keterangan ahli

c. Keterangan saksi

d. Pengakuan para pihak

e. Pengetahuan Hakim

Atas dasar pengaturan terkait alat bukti sebagai pada pasal-pasal di atas, maka

pada contoh kasus/sengketa di atas menurut pencermatan Penulis alat bukti yang

digunakan sebagai pertimbangan Hakim dalam menentukan putusan akhir adalah:

a. Surat atau tulisan ; Bukti ini dapat diperhatikan dari uraian bukti-bukti surat

yang diajukan oleh Penggugat maupun Tergugat berupa foto copy yang telah

dilegalisir, bermaterai cukup atau dengan kata lain surat-surat yang sudah

dianggap sah dan dapat dipergunakan di Pengadilan.

b. Keterangan ahli ; Pada persidangan sengketa tata usaha negara tersebut pihak

Penggugat telah mengajukan 1 (satu) orang saksi ahli untuk diperdengarkan

kesaksiannya di depan Hakim tentang hal yang diketahuinya berdasarkan

pengalaman dan pengetahuannya.

c. Keterangan saksi ; Pada persidangan sengketa tata usaha negara tersebut juga

diperdengarkan keterangan dari saksi-saksi (saksi fakta) yang diajukan oleh

Penggugat dan Tergugat.

d. Pengetahuan Hakim ; Dalam hal ini adalah pengetahuan hakim mengenai

azas-azas dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemeriksaan dan

penyelesaian suatu sengketa tata usaha negara, misalnya pada sengketa TUN

dalam Putusan di atas adalah sehubungan dengan pertimbangan Hakim untuk

mencabut Penetapan Ketua Pengadilan TUN Jambi mengenai Penangguhan

Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan karena

berdasarkan fakta yang ada bahwa jabatan Dinas Tata Kota merupakan

institusi pelayanan publik yang harus terus berjalan dan tidak boleh dibiarkan

kosong. Maka disinilah letak pertimbangan Hakim yang sesuai dengan

pengetahuannya, yaitu berdasarkan pada azas penyelenggaraan kepentingan

umum dan Pasal 67 ayat (4) huruf b yang menyebutkan bahwa “permohonan

penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara tidak dapat

dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan

mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut”.

Dari penjelasan di atas, maka dengan adanya lebih dari dua alat bukti yang

digunakan sebagai pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara, maka

amar/putusan yang ditetapkan atau diambil oleh Hakim nantinya tidak akan

diragukan lagi ketepatan putusannya.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Putusan Tata Usaha Negara Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN.JBI terkait

sengketa Tata Usaha Negara antara Sudjarwo(Penggugat) yang menggugat Surat

Keputusan Bupati Merangin No.335 Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Bupati

Merangin (Tergugat) secara keseluruhan sudah sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan, baik dari segi isi putusan maupun maupun sistematika putusan,

begitu juga dengan Subjek, Objek, Kompetensi, tenggang waktu mengajukan gugatan

sudah tepat. Sehingga hal tersebut mengindikasikan bahwa Putusan Tata Usaha

Negara tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

2. Pembuktian yang dalam hal ini terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN JBI, hakim dalam memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara memiliki kebebasan atau dapat

menentukan sendiri siapa yang harus dibebani pembuktian, serta Hakim tidak

tergantung atau terikat pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak yang

bersengketa. Dengan mengacu pada alat bukti, Undang-Undang No 5 Tahun 1986

mengaturnya dalam Pasal 100, yaitu: surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan

saksi, pengakuan para pihak, pengetahuan Hakim.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Eko Sugiarto, S.H., C.N., M.Hum. dan Tjondro Tirtamulia, S.H., C.N. 2012. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Surabaya: Brilian Internasional

Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan tata Usaha Negara

Undang -Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara

http://yogalih.wordpress.com diakses pada tanggal 03 juli 2013