KASIH DALAM KISAH
DAN
KISAH DALAM KASIH: Dialog antara teori naratif dan narasi Alkitab
Martin Suhartono, S.J.
Pelengkap Catatan Kuliah
-------------------------------------------------------------------
Fakultas Teologi Wedabhakti - 2001
Universitas Sanata Dharma - Yogyakarta
analisa naratif/suhartono/hal. 2
LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Awal suatu kisah adalah akhir suatu kehidupan. Akhir suatu kisah adalah awal suatu
kehidupan. Di saat kisah mulai terjelma di dalam teks ketika itulah dunia nyata penulis
berakhir dan dunia tekstual pengisah berawal. Di saat kisah berhenti ketika itulah dunia
tekstual pengisah berakhir dan dunia nyata pembaca berawal. Kalimat-kalimat di atas
mencoba merumuskan dua pengalaman dasar yang berkaitan dengan teks, yaitu: kegiatan
menulis dan membaca. Tentu dalam kenyataan tidaklah setegas itu titik tempat satu kegiatan
mulai dan kegiatan yang lain berhenti. Perumusan tersebut hanyalah demi pembedaan dan
bukan pemisahan. Namun perumusan tadi membuka satu tabir kenyataan lain yang selama ini
dilalaikan, yaitu: dunia tekstual.
Karena dua pengalaman dasar menulis dan membaca yang menjadi titik acuan, maka
kerap perhatian orang terpancang pada diri penulis dan pembaca, pada dunia penulis dan
dunia pembaca, dan akibatnya: dunia tekstual pun tidak diperhatikan. Teks yang diproduksi
oleh penulis dan dikonsumsi oleh pembaca hanya dipandang sebagai perantara langsung
antara kedua subyek tersebut beserta dengan dunianya masing-masing. Melalui teks,
pembaca diandaikan dapat langsung memandang dunia penulis teks. Paham inilah yang
kiranya mendasari penyelidikan historis kritis terhadap teks KS. Entah itu melalui kritik teks
atau melalui kritik bentuk, entah itu lewat kritik tradisi atau lewat kritik redaksi, entah itu
berkaitan dengan “sejarah di dalam teks” atau berhubungan dengan “sejarah dari teks”,
pembaca diajak menggunakan teks sebagai “jendela” untuk memandang dunia penulis teks.1
Pengandaian ini mulai dipertanyakan orang ketika orang menjadi semakin sadar akan
kesenjangan baik spasial maupun temporal antara dunia penulis teks dan dunia pembaca.
Ketidakpuasan dialami pula ketika orang berhadapan dengan teks yang tidak lagi merupakan
kesatuan utuh karena telah direduksikan oleh metode historis kritis menjadi bagian-bagian
yang berasal dari tempat dan waktu yang berbeda berdasarkan pengandaian bahwa teks
dihasilkan oleh pengarang asli yang bertumpu pada suatu tradisi dan kemudian diolah
kembali (ditambah maupun dikurangi) oleh (para) redaktor, editor, dan penyalin.
Ketidakpuasan sejenis terjadi pula dalam penelitian sastra umum, bahkan jauh
sebelum gejala itu muncul di kalangan para peneliti KS. Sebelum Perang Dunia II para
peneliti mendekati karya sastra berdasarkan teori-teori Romantik. Karya sastra didekati dari
sudut pikiran pengarang dan kehidupannya. Sebagai reaksi terhadap perhatian yang
analisa naratif/suhartono/hal. 3
berlebihan terhadap dunia di balik suatu karya sastra muncullah Kritik Sastra Baru (New
Criticism) pada pertengahan abad ini di Amerika Serikat, yaitu suatu pendekatan yang
didasarkan pada paham bahwa arti dan nilai suatu karya sastra terdapat di dalam karya sastra
itu sendiri. Minat terhadap karya sastra itu sendiri, lepas dari pengarangnya, sudah mulai
dirintis di Rusia sebelum Revolusi tahun 1917 oleh suatu kelompok yang disebut kaum
Formalis. Tokoh utama kelompok ini, Roman Jakobson, kemudian pindah ke Amerika
Serikat dan amat mempengaruhi perkembangan Kritik Sastra Baru. Hanya saja berbeda
dengan para Kritisi Baru yang memandang bentuk estetik karya sastra dari sudut
kemanusiaan, kaum Formalis membedakan secara tegas apa yang “sastra” (bentuk estetik
sarana-sarana sastra) dan apa yang “ekstra-sastra” (“muatan” kemanusiaan atau makna moral
dan kultural suatu karya sastra). Yang satu memandang kesusastraan sebagai bentuk
pemahaman manusia, yang lain sebagai penggunaan bahasa khusus yang berbeda dari bahasa
praktis. Berhubungan erat dengan Formalisme Russia adalah Strukturalisme Perancis yang
mulai berkembang pada tahun 1960-an. Secara ekstrem mereka menentang setiap bentuk
kritik sastra yang mendasarkan diri pada kemanusiaan sebagai sumber dan asal makna
kesusastraan. Strukturalisme mendekati karya sastra dari sudut struktur dasar suatu teks yang
bahkan tak disadari oleh pengarang sendiri. Dengan perkembangan ini lengkaplah sudah
gerakan yang semakin menjauhkan teks dari penulis teks. Pendekatan-pendekatan ini bertitik
tolak dari asumsi bahwa makna suatu karya sastra melampaui maksud pengarang karya itu.
Berangkat juga dari asumsi yang sama meskipun tidak menekankan teks itu sendiri,
muncullah pendekatan sastra yang berorientasi pada pembaca, yang disebut Reader-Response
Criticism. Bagi kritisi ini makna suatu karya sastra bukanlah terdapat dalam teks, entah
sebagai perwujudan maksud pengarang (penelitian historis dan teori Romantik) entah
terkandung dalam struktur bawah teks (strukturalisme), melainkan dalam perjumpaan antara
teks dan pembaca. Gambaran yang biasa dipakai untuk menunjukkan fungsi teks dalam
pendekatan yang menekankan teks dan pembaca adalah gambaran teks sebagai “cermin”.
Dunia tekstual yang diciptakan oleh pengarang mengajak pembaca untuk melihat dunia
“sesungguhnya” tempat pembaca itu hidup dan menyadari betapa dunia tekstual itu
mengatakan sesuatu yang benar tentang dunia yang sesungguhnya itu.
Di manakah letak kritik naratif di antara berbagai pendekatan ini? Dalam penelitian
sastra umum, setiap pendekatan di atas meneliti narasi dari sudut pandang mereka masing-
1 Tentang macam-macam metode tafsir historis kritis, lihat misalnya John H. Hayes dan Carl R. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab, terj. I. Rachmat (Jakarta, 1993); judul asli: Biblical Exegesis. A Beginner’s
analisa naratif/suhartono/hal. 4
masing.2Jadi istilah “kritik naratif” (narrative criticism) sebagai suatu bidang penelitian sastra
yang berdiri sendiri jarang sekali digunakan dalam penelitian sastra umum, walaupun ada
kecenderungan untuk menempatkannya sebagai sub-bagian penelitian yang berorientasi pada
pembaca. Dalam penelitian KS, kritik naratif memperoleh tempat tersendiri.3Yang umum
dilakukan dalam penerapan kritik naratif pada teks KS adalah menggunakan kategori-
kategori kritik naratif sebagai titik tolak tafsir narasi alkitab tanpa peduli akan asal mula
teoretis maupun ideologis kategori-kategori tersebut.4 Yang disampaikan di bawah ini
merupakan kategori-kategori penelitian sastra yang dapat dipergunakan sebagai langkah-
langkah dalam menganalisa suatu narasi alkitab.5 Yang penting dalam pendekatan ini adalah
membaca kisah itu sendiri berulang-ulang kali. Hanya dengan demikian orang akan
mengalami bagaimana kisah itu menjadi hidup dan seakan-akan merupakan suatu dunia
tersendiri dengan segala hukum-hukumnya.
II. LANGKAH-LANGKAH ANALISA NARATIF
A. MEMBATASI TEKS:
Sebelum menganalisa suatu kisah, penting ditentukan dahulu unit-unit pokok kisah tersebut
untuk dapat lebih memahami dinamika kisah. Kriteria utama yang umum dipakai adalah
perubahan tempat, perubahan waktu, dan perubahan tokoh. Untuk maksud ini, kriteria
stilistik juga amat berguna seperti pengulangan kata atau frase, paralelisme, antitesis,
chiasmus, asonansi, aliterasi, dan perubahan perbendaharaan kata (kata kunci, kata hubung).
Dapat dicoba pula menyusun struktur kisah berdasarkan kriteria stilistik tersebut. Dari
struktur ini dapat dilihat manakah bagian sentral dan bagian sampingan suatu kisah.
B. MERINGKAS KISAH:
Setelah langkah di atas, orang dapat mencoba meringkas kisah. Langkah ini merupakan
pendekatan sinkronis yang pertama terhadap teks. Dalam ringkasan diberikan gagasan yang
Handbook. 2Tentang macam-macam teori sastra, lihat misalnya Raman Selden, Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini, terj. R. D. Pradopo (Yogyakarta, 1991); judul asli: A Reader Guide to Contemporary Literary Theory. 3Lihat Mark A. Powell, What is Narrative Criticism, Guides to Biblical Scholarship (Philadelphia, 1990). 4Dua nomor majalah Gema Duta Wacana telah menyoroti masalah narasi baik dalam teologi maupun exegese, lihat No. 41 (1991) tentang teologia narasi dan No. 46 (1993) tentang exegese narasi dalam teori dan praktek. 5Penulis memakai pokok-pokok bahasan yang dipergunakan J. L. Ska dan uraiannya dalam seminar analisa naratif yang diselenggarakan di Pontifical Biblical Institute, Roma, 1987, dilengkapi dengan uraian M. Harun,
analisa naratif/suhartono/hal. 5
ringkas dan padat tentang kisah yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut: Apa
yang terjadi? Siapakah tokoh-tokoh utama kisah? Bagaimana kejadian itu atau tindakan itu
dimulai? Manakah momen-momen hakiki dalam dinamika kisah? Manakah peristiwa atau
kejadian inti (kernels) yang tak dapat dihilangkan dari kisah tanpa merusak dinamika kisah
dan manakah yang hanya sampingan (satellites) yang dapat dihilangkan? Bagaimana kisah
berakhir? Apakah perbedaan hakiki antara awal dan akhir kisah? Cara lain adalah mencoba
memberikan judul tertentu kepada kisah tersebut. Setelah itu, orang dapat mulai memasuki
dunia tekstual lebih dalam lagi dengan memandang kisah dari sudut pokok-pokok berikut.
C. MEMAHAMI PLOT (ALUR CERITA):
Kisah memiliki plot (alur) bila kisah itu memiliki suatu awal, perkembangan, dan akhir.
Menurut Aristoteles dalam Poetica, plot adalah “penataan teratur insiden-insiden”, dan
menurut Scholes dan Kellogg, “elemen yang dinamis dan berurutan dalam narratif”.6 Umum
dibedakan antara plot dan cerita (story), yaitu urutan kronologis peristiwa sebagaimana
terjadi sesungguhnya. Plot merupakan kekhasan dasariah suatu narasi (narrative). Contoh
terkenal yang mempertegas bahwa plot bukanlah sekedar urutan peristiwa dikemukakan oleh
E.M. Forster; kalimat “The king died and then the queen died” adalah cerita, sedangkan “The
king died and then the queen died of grief” merupakan plot.7 Yang pertama, meminjam istilah
Aristoteles, adalah post-hoc (satu sesudah yang lain) sedang yang kedua propter hoc (satu
karena yang lain). Di sinilah terletak perbedaan dasariah antara metode historis dan metode
literer naratif. Metode historis memusatkan diri pada “story” dan bertanya: “Apa yang telah
terjadi?”. Pendekatan naratif menekankan “narrative” dan bertanya: “Apa yang dikisahkan?”
atau “Bagaimana dikisahkan?”. Namun itu tidak berarti bahwa dari episode satu ke episode
yang lain harus selalu jelas hubungan kausal yang ada; kerap kali hubungan itu hanya dapat
dipahami setelah penelitian yang mendalam terhadap keseluruhan kisah, lebih-lebih dalam
narasi Alkitab. Orang dapat saja melihat hubungan kausal atau plot tersirat dalam kalimat
Forster yang pertama. Plot dapat ditinjau dari berbagai sudut di bawah ini:
Alkitab dan Penelitian Naratif , makalah pada Pertemuan Dosen-dosen Alkitab (Yogyakarta, 1995), dan pendahuluan dalam disertasi penulis, A Quest for Time in the Gospel of John (University of Cambridge, 1994). 6R. Scholes dan R. Kellogg, The Nature of Narrative (New York & London, 1966), hal. 207. 7E.M. Forster, Aspects of the Novel (Harmondsworth, 1963), hal. 93.
analisa naratif/suhartono/hal. 6
1. Tipe-tipe plot:
Dikenal ada dua tipe utama plot: plot yang merupakan kesatuan (unified plot) dan plot
yang episodik (episodic plot). Dalam plot yang merupakan kesatuan seluruh rentetan episode
mempunya arti bagi narasi dan menentukan hasil akhir; setiap episode mengandaikan episode
sebelumnya dan mempersiapkan episode berikutnya, misalnya, kisah Rut dan Yunus. Dalam
plot yang episodik, setiap episode berdiri sendiri dan hanya disatukan dengan yang lain
karena kesamaan tokoh utama. Ada juga yang terletak di antara kedua tipe di atas. Kisah
Abraham secara sekilas pandang tampaknya merupakan plot episodik, namun bisa dilihat
pula adanya benang merah yang mempersatukan kisah-kisah itu (misalnya, tema “janji”).
Tantangan bagi pembaca Injil, misalnya, adalah melihat apakah kisah-kisah tentang Yesus
merupakan episode-episode lepas berdiri sendiri yang disatukan secara kebetulan saja oleh
penginjil ataukah ada maksud tunggal yang mengikat mereka dalam suatu kesatuan plot.
2. Struktur formal plot:
Struktur formal suatu plot harus dirumuskan oleh pembaca sendiri. Orang dapat
merangkum suatu kisah dalam suatu pasangan kata, dalam suatu oposisi sederhana yang
memberi gambaran tentang hakekat kisah tersebut. Struktur ini merupakan model abstrak
yang berbeda dari pengisahan konkret; namun perumusan ini merupakan langkah pertama
untuk menggolong-golongkan cerita. Dikenal macam-macam pasangan kata berdasarkan
penyelidikan strukturalis atas struktur bawah suatu kisah: perencanaan / pelaksanaan,
keinginan / pemenuhan, problem / pemecahan, konflik / penyelesaian, ketidakseimbangan /
keseimbangan, ketidakutuhan / keutuhan, kesulitan / kesulitan disingkirkan, bahaya / bahaya
dihindari, kesalahan / kesalahan dihukum.8 Untuk menemukan struktur ini hendaknya
dibandingkan awal dan akhir suatu kisah. Struktur formal ini kerap juga disebut “tema”.
8R.C. Culley, Studies in the Structure of Hebrew Narrative (Philadelphia, 1976), hal. 36, 70; C. Conroy, Absalom Absalom ! (Rome, 1978), hal. 10.
analisa naratif/suhartono/hal. 7
3. Macam-macam plot kesatuan:
Sering dibedakan tiga macam plot utama: perubahan pengetahuan, perubahan nilai-
nilai (sikap), perubahan situasi.9 Perubahan pengetahuan: pada akhirnya, si pembaca tahu apa
yang pada awal tak diketahuinya. Perubahan nilai-nilai: para tokoh cerita mengalami
perkembangan kepribadian, sikap, nilai. Perubahan situasi: situasi di awal dan akhir cerita
berbeda. Jadi perlu ditanyakan: perubahan penting apa yang terjadi dalam kisah: Apakah kita
belajar sesuatu yang tadinya tak kita ketahui pada awal cerita? Apakah tokoh atau tokoh-
tokoh berubah dari baik ke jahat atau dari jahat ke baik? Apakah situasi berubah dari buruk
ke baik atau dari baik ke buruk? Tentu saja kisah yang baik biasanya mengandung kombinasi
semua perubahan tersebut.
4. Momen-momen dalam plot:
Aristoteles, dalam Poetica, membedakan tiga momen utama dalam plot: kisah
bergerak dari “perkembangan” (“komplikasi”) melalui “titik balik” (“peripeteia”; “turning
point”) menuju ke suatu “penyelesaian” (“konklusi”; “dénouement”; “unravelling”). Dari sini
para kritisi mengembangkan dan membuat lebih rumit skema dasar tersebut menjadi:10
(a) Pendahuluan (eksposisi), momen yang menggugah (inciting moment) dan komplikasi:
Dalam eksposisi, hal-hal pokok dalam kisah ditampilkan, misalnya: Siapakah tokoh utama
kisah? Di mana dan kapan terjadi peristiwa itu? Apa yang terjadi? Momen yang menggugah
terjadi saat konflik atau problem muncul untuk pertama kalinya dan membangkitkan minat si
pembaca. Sedangkan komplikasi merupakan saat berbagai usaha ditampilkan untuk
menyelesaikan problem atau konflik yang ada, dapat pula berupa berbagai langkah pencarian
(quest) atau perubahan, atau berbagai cara untuk mendekati kebenaran.
(b) Titik puncak (“climax”) dan/atau titik balik (“turning point”):
Titik puncak adalah momen tertinggi yang dicapai oleh sang protagonis dalam perjalanan
karirnya, saat ketika situasi mencapai keadaan terbaik atau terburuk (zenith atau nadir).
Momen ini sering sulit dibedakan dari titik balik, yaitu saat ketika problem atau konflik
muncul sedemikian rupa sehingga mau tidak mau harus diselesaikan dengan satu atau lain
9R.S. Crane, “The Concept of Plot” dalam Ph. Stevick (ed.), The Theory of the Novel (New York - London, 1967), hal. 141-145. 10M.K. Danziger dan W.S. Johnson, An Introduction to Literary Criticism (Boston, 1961), hal. 20-23; R. Scholes dan R. Kellogg, The Nature of Narrative, hal. 207-239.
analisa naratif/suhartono/hal. 8
cara; disebut pula saat krisis, peralihan dari ketidaktahuan menjadi pengetahuan, dari situasi
awal ke situasi konklusif, jadi dari bagian pertama struktur formal naratif ke bagian kedua:
dari perencanaan ke pelaksanaan, dari keinginan ke pemenuhan. Titik balik kerap disebut
juga saat yang menentukan (“decisive moment”), yaitu saat ketika kisah mengalami
pembalikan yang berarti; gerakan yang membawa ke konklusi berawal di sini, misalnya:
usaha yang akhirnya berhasil, serangan pamungkas, atau penemuan penting. Antara saat ini
dan konklusi final dapat terjadi penundaan (“delay”; “retardation”; “final suspense”).
(c) Ketegangan terakhir (last/final suspense) dan “dénouement” (resolution, conclusion):
Ketegangan terakhir dihadirkan saat pembaca mengira bahwa akhir cerita telah dicapai,
namun tiba-tiba muncul suatu peristiwa yang menghambat penyelesaian, walaupun hanya
untuk sementara waktu saja. Konklusi adalah hasil akhir cerita. Namun ada pula yang
membedakan antara “akhir tertutup” (“closed ending”) dan “akhir terbuka” (“open ending”).
Pada yang pertama, tak ada lagi lanjutan peristiwa yang dapat dipikirkan oleh pembaca
sedangkan pada yang kedua, kisah berakhir dengan menimbulkan berbagai pertanyaan dan
tafsiran yang dapat muncul pada diri pembaca.
Yang hakiki dalam analisa plot adalah melihat gerakan umum atau dinamika narasi.
Momen-momen itu tidak selalu muncul dalam urutan seperti di atas dan tidak semua momen
di atas muncul dalam kisah konkret. Ada kisah yang menunda eksposisi dan mulai justru di
tengah-tengah komplikasi, di tengah-tengah kancah persoalan (in medias res). Namun
penting mengidentifikasi unsur-unsur situasi awal, berbagai langkah komplikasi, momen
atau faktor yang menentukan dan resolusi. Kadang klimaks tidak segera kelihatan karena
penyelesaian berjalan lebih mulus daripada yang terjadi dalam kisah-kisah dramatis.
D. MENGENALI NARATOR:
Narator kerapkali sulit diidentifikasikan. Banyak orang yang mencampuradukkan narator
dengan pengarang (“writer”, “author”, tepatnya “real author”). Narator adalah suatu peranan
(“role”), fungsi, suatu “suara” yang mengisahkan suatu ceritera.11 Narator selalu hadir dalam
kisah bahkan setelah pengarang yang bersangkutan meninggal. Dalam novel yang dikisahkan
oleh kata ganti orang pertama, “aku” bukanlah pengarang novel itu melainkan pribadi yang
diciptakan oleh pengarang untuk maksud pengisahan. Narator sulit ditemukan dalam novel
11G. Genette, Figures III (Paris, 1972), “Voix”, hal. 212-262; T.J. Keegan, Interpreting the Bible. A Popular Introduction to Biblical Hermeneutics (New York, 1985), 92-109.
analisa naratif/suhartono/hal. 9
yang dikisahkan oleh orang ketiga. Narator kadang dibandingkan dengan “suara” seorang
pembicara dalam radio: orangnya sendiri tak kelihatan tapi program itu tak mungkin berjalan
tanpa si “suara”. Narator diciptakan oleh si pengarang (bahkan bila pengarang sendiri tak
sadar akan ini!).
1. Kompetensi narator:
Dari sudut kompetensi narator, dibedakan antara narator yang maha tahu
(“omniscient narrator”) dan narator yang terbatas (“limited narrator”).12 Narator dalam
kisah-kisah klasik atau tradisional pada umumnya adalah narator mahatahu. Ia hampir seperti
Allah: ia tahu segala hal. Privilese ini terasa khususnya bila ia memasuki dunia batin tokoh-
tokoh dan mengajukan semacam “pandangan dari dalam” (“inside views”). Dalam novel-
novel modern, privilese narator itu kerap hilang dan pengetahuannya terbatas pada dunia luar
atau dunia batin salah seorang tokoh yang dipakai sebagai semacam “lensa kamera” atau
“pusat kesadaran” pengisahan. Narator ini hanya tahu secara umum apa yang dilihat,
didengar, dan dialami oleh orang biasa. Konsep “mahatahu” kerap diperdebatkan karena
kemahatahuan ini berbeda-beda, misalnya: narator Kej 1 dan Kel 1-15 tahu lebih banyak
daripada narator 1-2 Sam.
2. Peranan narator:
Ada yang disebut narator yang ditokohkan (“dramatised narrator”) dan narator yang
tak ditokohkan (“undramatised narrator”). Narator yang ditokohkan hadir sebagai salah satu
tokoh dalam cerita. Narator yang tak ditokohkan tidak hadir dalam cerita meskipun bisa saja
ia bicara dengan kata ganti orang pertama (“aku”). Narator yang ditokohkan muncul dan aktif
sebagai protagonist dalam cerita, misalnya: Nehemia. Dalam KS narator biasanya tak
ditokohkan dan tak kelihatan. Biasanya (tapi tidak harus), narator yang ditokohkan bukanlah
narator mahatahu, misalnya: narator yang ditokohkan (Ezra 8:1 - 9:15; Neh), narator yang tak
ditokohkan (Lk 1:1-4 dan Kis 1:1-4), antara ditokohkan dan tidak (“kami” dalam Kis 16:10-
17; 20:5-15; 21:1-18; 27:1 - 28:16).
12W. Booth, The Rhetoric of Fiction (Chicago, 1983), 149-165.
analisa naratif/suhartono/hal. 10
3. Cara pengisahan:
Ada penulis yang lewat naratornya selalu mengatakan (telling) pada pembaca apa
yang terjadi dan bukan sekedar memperlihatkan (showing) peristiwa itu di panggung,
mengatakan pada pembaca apa yang harus dipikirkan tentang para tokoh daripada
membiarkan si pembaca menilai sendiri atau membiarkan seorang tokoh mengatakan sesuatu
tentang tokoh lainnya.13 Namun “telling” jangan cepat-cepat disamakan dengan deskripsi
atau narasi normal dan “showing” dengan dialog. Dalam KS pengisahan biasanya “dramatis”
dan “penuh adegan”, tapi kadang narator turut masuk untuk menyapa pembaca secara
langsung (“telling”), misalnya dalam apa yang disebut “footnote”, “aside”, “parenthesis”,
atau komentar narator: Bil 12:3; 2 Sam 17:14b; Yoh 12:6.
4. Keterlibatan:
Narator kadang bisa kurang masuk atau lebih masuk dalam latar belakang suatu kisah,
misalnya berkenaan dengan motivasi para tokoh, sebab dan lanjutan tindakan tertentu. Ia
dapat pula tinggal netral dan hanya sekedar mengamati dari luar tanpa mengomentari
kejadian atau reaksi para tokoh (“neutral observer”). Ia bisa tinggal pada level yang sama
seperti para tokohnya, atau bisa juga menjadi saksi yang punya hak khusus (“privileged
witness”) dalam adegan-adegan privat, seperti monolog, debat batin, dialog empat mata. Hak
khusus ini amat mirip dengan kemahatahuan. Di sini muncul problem sehubungan dengan
nilai (“values”) atau penilaian (“judgment”) yang disampaikan oleh suatu kisah kepada si
pembaca. Namun tampaknya, bahkan pengamat yang paling netral pun tetap tak dapat tidak
menyampaikan sejumlah nilai kepada pembaca.
E. MENGENALI TOKOH-TOKOH:
Tokoh tak selalu harus manusia, melainkan juga binatang atau tanaman, malaikat, setan dll.
Sering dibedakan macam-macam tokoh, bukan dari segi psikologis, melainkan dari fungsi
mereka terhadap plot:14
13W. Booth, ibid., hal. 2-20. 14R. Scholes dan R. Kellogg, The Nature of Narrative, hal. 160-206; A. Berlin, Poetics and Interpretation of Biblical Narrative (Sheffield, 1983), hal. 23-42.
analisa naratif/suhartono/hal. 11
1. Tokoh “dinamis” dan “statis”:
Tokoh statis tak berkembang secara batin, sedangkan tokoh dinamis berkembang
secara batin selama narasi. Tokoh statis cenderung bereaksi selalu dengan cara yang sama
sehingga menjadi mudah diramalkan. Tokoh statis biasa ditampilkan untuk mewakili tipe
orang (“stereotyped characters”), misalnya “kaum Farisi” dan “kaum Saduki” dalam Injil.
2. Tokoh “flat” dan “round”:
Pembedaan ini sering bertumpang tindih dengan yang di atas. Tokoh yang “flat”
(datar), tidak harus berarti dangkal (“superficial”), namun pembaca memang dibiarkan
mengetahui permukaan pribadinya saja. Mereka biasa diperkenalkan secara singkat, dan
pembaca tak tahu lebih banyak lagi. Mereka ditampilkan secara konsisten, misalnya kaum
Farisi dalam kemunafikan mereka, Yakub dalam kelicikannya semasa muda dan sebagai ayah
yang lemah pada masa tua. “Monolitis” mungkin istilah yang lebih tepat daripada “datar”.
Tokoh yang “round”, bulat, tidak harus gemuk secara fisik, namun ia digambarkan sebagai
punya kedalaman tertentu dan kepribadian mereka kerap penuh kecenderungan-
kecenderungan yang saling bertentangan (kontradiktoris). Dari sudut apakah mereka
menduduki peran utama atau tidak, ada juga yang disebut “agen” (“foils”, “functionaries”,
“ficelles”, “crowd actors”), yaitu tokoh-tokoh yang tak penting yang hanya dipakai untuk
lebih menampilkan tokoh-tokoh utama, misalnya pegawai istana dalam kisah Yusuf, dan
“orang banyak” dalam Injil.
3. Fungsi tokoh:
Kaum Formalis Russia dan Strukturalis Perancis mencoba untuk menyelam ke bawah
permukaan penampilan tokoh-tokoh dan menemukan suatu sistem “fungsi” (V. Propp) 15
yang meliputi lingkaran tindakan-tindakan bermakna yang membentuk narasi, misalnya:
tugas yang sukar dikemukakan kepada pahlawan - tugas dilaksanakan - pahlawan dikenali -
pahlawan palsu atau penjahat tersingkap - pahlawan palsu diberi penampilan baru - penjahat
dihukum - pahlawan dikawinkan dan naik tahta.16 A.J. Greimas memperhalus teori Propp dan
menawarkan tiga pasangan oposisi biner yang meliputi keenam peran pelaku (“actants”; A.J.
Greimas),17 yaitu: Subyek/ Obyek, Pengirim/Penerima, Penolong/Penentang.
15V. Propp, Morphology of the Folktale (Austin, 1968; pertama terbit 1928). 16 Lihat R. Selden, Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini, hal. 59-60.
analisa naratif/suhartono/hal. 12
4. Cara tokoh ditampilkan:
Tokoh bisa ditampilkan secara langsung atau secara tidak langsung (lewat lukisan
tindakan dan kata) sehubungan dengan telling dan showing dalam cara narator berkisah.
Dalam narasi Alkitab, kadang tokoh ditampilkan dengan tidak banyak uraian dan pembaca
dibiarkan menerka-nerka sendiri.18
F. MENGENALI PEMBACA:
Dikenal ada macam-macam “pembaca” seturut bidang penyelidikan: “pembaca asli”
(original reader) dalam penelitian retorik, “pembaca pertama kali” (first time reader) dalam
penyelidikan reader-response criticism, “pembaca kompeten” (competent reader) dalam
analisa strukturalis. Namun dalam konteks analisa naratif, penting dibedakan antara
“pembaca sesungguhnya” (real reader) dan “pembaca tersirat” (implied reader), yaitu
pembaca yang diandaikan oleh kisah itu sendiri.
1. Pembaca tersirat:
Pembaca tersirat bukanlah pembaca sesungguhnya dalam arti bahwa ia bukanlah
pembaca konkret melainkan suatu abstraksi ideal. Berdasarkan teks dapat direkonstruksi
gambaran tentang pembaca seperti apakah yang diharapkan oleh teks itu sendiri, misalnya
pengetahuan apakah yang diandaikan dimiliki atau tak dimiliki oleh pembaca tersebut, reaksi
apakah yang diharapkan akan timbul dalam diri pembaca, dan bahwa pembaca diharapkan
membaca secara urut dari awal sampai akhir. Dengan demikian berhadapan dengan berbagai
tafsiran yang muncul dalam analisa naratif, dapat dipertanyakan apakah dalam teks sendiri
ada petunjuk bahwa reaksi tertentu itu memang diharapkan muncul dari pembaca. Berkaitan
dengan ini dibedakan pula “pengarang sesungguhnya” (real author) dan “pengarang tersirat”
(implied author); yang kedua -seperti juga pembaca tersirat- merupakan konstruksi ideal
berdasarkan teks itu sendiri.
17A.J. Greimas, Sémantique structurale (Paris, 1966). 18R. Alter, The Art of Biblical Narrative (New York, 1981), “Characterization and the Art of Reticense” (hal. 114-130).
analisa naratif/suhartono/hal. 13
2. Nisbah antara posisi pembaca dan tokoh:
Berdasarkan tingkatan-tingkatan pengetahuan yang dimiliki oleh para tokoh dan
pembaca, para kritisi membedakan tiga macam posisi utama: pembaca lebih tahu (reader-
elevating position), tokoh lebih tahu (character-elevating position), dan posisi seimbang
(evenhanded position). Posisi pembaca yang lebih tahu daripada tokoh menghasilkan ironi
(mis. pembaca tahu bahwa pelacur dalam Kej 38 adalah Tamar yang menyamar sedangkan
Yehuda tidak tahu). Sebaliknya, bila tokoh lebih tahu daripada pembaca, maka akan timbul
ketegangan dan pertanyaan dalam diri pembaca (mis. apakah maksud Ehud dalam Hak
3:16?). Ada pula perbedaan tingkat pengetahuan antara tokoh yang satu dengan yang lain
(mis. Abraham lebih tahu daripada Ishak di Kej 22).
3. Minat pembaca:
Plot yang baik menimbulkan minat dan rasa ingin tahu pembaca. Minat dapat bersifat
kognitif atau intelektual (berhubungan dengan kebenaran), estetik atau kualitatif
(berhubungan dengan keindahan), dan praktis (berhubungan dengan kebaikan). Menurut
W.C. Booth, kisah yang baik menimbulkan macam-macam minat; ia berkata: “There is a
pleasure from learning the simple truth, and there is a pleasure from learning that the truth is
not simple”.19
4. Reaksi pembaca terhadap tokoh:
Dari sudut reaksi pembaca yang ditimbulkan oleh tokoh-tokoh, bisa ada “empati”
(pembaca ambil bagian dalam pengalaman dan perasaan tokoh, terjadi identifikasi antara
pembaca dan tokoh), atau “simpati” (pembaca dapat memahami, turut merasa, namun tak
dapat masuk sepenuhnya dalam perasaan si tokoh, tak ada identifikasi), atau “antipati”. Rasa
perasa ini bisa ditimbulkan juga dalam diri pembaca oleh reaksi tokoh tertentu terhadap
tokoh yang lain, misalnya, pembaca bersimpati pada murid-murid karena melihat bahwa
Yesus penuh simpati pada mereka. Dalam konteks ini orang bicara tentang adanya suatu
strategi retorik yang digunakan oleh pengarang dalam menulis kisah.20
19Booth, The Rhetoric of Fiction, hal. 136. 20Untuk KS, lihat M. Warner (Ed.), The Bible as Rhetoric: Studies in Biblical Persuasion and Credibility (London, 1990).
analisa naratif/suhartono/hal. 14
G. MENGENALI SUDUT PANDANG:
Selain ada sudut pandang umum (yang ditegakkan oleh pengarang lewat naratornya), setiap
tokoh ditampilkan dengan sudut pandang evaluatif tersendiri, masing-masing tokoh
memandang dan menilai segala hal menurut ukuran dan norma tersendiri. Orang Farisi dan
ahli Taurat ditampilkan oleh Injil sebagai yang selalu menilai segala hal dari segi ketaatan
buta kepada hukum Taurat. Masalah sudut pandang (point of view) adalah masalah
perspektif: “Siapakah tokoh yang sudut pandangnya mengarahkan perspektif kisah?”
“Siapakah yang melihat?” Pertanyaan ini harus dibedakan dari pertanyaan tentang narator
(“siapakah yang berbicara?”). Narator dapat melihat sendiri dan mengisahkan apa yang
dilihatnya. Namun ia dapat pula mengambil alih sudut pandang atau perspektif salah seorang
tokoh, dan melihat “melalui mata tokoh”. Jadi masalahnya adalah masalah sudut
pengambilan “gambar” atau “adegan” dalam kisah; disebut pula focalisation (istilah G.
Genette). Ada berbagai aspek sudut pandang yang perlu diperhatikan:
1. Penggolongan dasar:
Dibedakan antara sudut pandang internal dan eksternal. Sudut pandang internal
adalah analisa internal kejadian-kejadian sedangkan sudut pandang eksternal adalah
pengamatan dari luar terhadap kejadian-kejadian. Sudut pandang eksternal biasa terjadi bila
cerita dikisahkan oleh narator yang ditokohkan (dramatised narrator) mengenai tokoh lain
dalam cerita atau oleh narator yang tidak ditokohkan dan terbatas pengetahuannya
(undramatised and limited narrator). Namun bila narator adalah tokoh utama sendiri atau
seorang narator maha tahu (omniscient narrator) maka sudut pandang biasanya internal.
Dalam KS sudut pandang pada umumnya adalah eksternal; pembaca tak pernah diberitahu
tentang perasaan Abraham dan Ishak dalam Kej 22 atau apa yang dikatakan atau dirasakan
oleh Nuh. Ada pula sudut pandang internal dalam KS (Mis. Kej 27:41 “monolog Esau”; Kej
42:8 “pengenalan Yusuf terhadap saudara-saudaranya”). Soal perspektif menjadi lebih rumit
dalam KS karena kehadiran dan intervensi Allah; Allah bicara atau orang bermimpi.
2. Tiga perspektif utama:
J. Pouillon21 membedakan berbagai cara memandang atau “penglihatan” (vision).
Pertama, seorang narator dapat memandang “dari luar” (vision du dehors); ini sama dengan
sudut pandang eksternal atau fokalisasi eksternal. Kedua, ia dapat pula memandang “bersama
21J. Pouillon, Temps et roman (Paris, 1946).
analisa naratif/suhartono/hal. 15
dengan” (vision avec) tokoh, yaitu bila pembaca diajak untuk menemani seorang tokoh,
melihat, mendengar dan merasakan apa yang ia alami; ini sama dengan sudut pandang
internal (istilah Henry James: “reflectors”). Ketiga, ia dapat memandang “dari belakang”
(vision par derrière) atau dari “balik punggung” tokoh; narator “memata-matai” tokoh serta
membeberkan pikiran dan motif-motif batin mereka. Yang ketiga ini tak selalu identik
dengan sudut pandang internal; disebut juga fokalisasi nol (zero focalisation) atau narasi
yang tak difokalisasi (non focalised narrative). Narator diibaratkan seperti orang yang
memakai kamera bersudut pandang luas (wide angle). Dalam pandangan dari luar, narator
bicara kurang daripada apa yang diketahui oleh tokoh. Dalam pandangan bersama, narator
mengatakan hanya apa yang diketahui oleh tokoh. Dalam pandangan dari belakang, narator
mengatakan lebih daripada apa yang dapat diketahui oleh tokoh mana pun dalam kisah.
3. Kriteria stilistik:
Dalam PL ada dua indikator utama dalam peralihan sudut pandang. Yang pertama
adalah ungkapan “berbicara dalam hati” ( amar el libbô / l libbô / b libbô), misalnya: Kej
8:21; 27:41; Ul 8:17; 1 Sam 27:1; 1 Raja 12:26; Hos 7:2; Est 6:6; juga ungkapan b qirbah
dalam Kej 18:12. Kata kerja amar kerap berarti “berpikir” bila tokoh sedang sendirian (Kel
3:3). Indikator kedua adalah ungkapan “ternyatalah” atau “tampaklah” (w hinneh). Sering,
meski tak selalu, ungkapan ini menunjukkan peralihan dari sudut pandang narator maha tahu
ke sudut pandang salah satu tokoh, misalnya: Kej 8:13b; 28:12 (sering dalam mimpi); 29:2;
Kel 3:2b. Sebagai ganti “interior monologue” (pembaca dapat mendengar suara tokoh),
pembaca dalam kasus ini menemui “free indirect discourse” (narator mengambil alih suara
tokoh dan kedua suara itu bercampur, mis. Yoh 3:16-21, 31-36).
4. Peralihan dalam sudut pandang:
Khususnya dalam penampakan yang illahi (theophany) terjadi permainan antara
perspektif narator dan perspektif tokoh; pembaca dapat melihat pertama-tama apa yang
dilihat oleh narator maha tahu dan kemudian apa yang ditemui oleh tokoh, misalnya: Kej
18:1-6 (Allah menampakkan diri kepada Abraham yang melihat tiga orang laki-laki), Kel 3
(malaikat Allah menampakkan diri dan Musa melihat semak bernyala). Dalam hal ini, yang
terjadi lebih merupakan peralihan dalam sudut pandang daripada peralihan sudut pandang.
Sudut pandang adalah tetap sudut pandang narator maha tahu, namun dalam berbagai
kesempatan ia menggunakan hak khususnya untuk memasuki pikiran tokoh-tokohnya. Sudut
analisa naratif/suhartono/hal. 16
pandang eksternal narator tiba-tiba berubah menjadi internal bila ia membatasi perspektifnya
pada pikiran atau penglihatan seorang tokoh; narator maha tahu melihat melalui mata tokoh.
H. MENGENALI PENGOLAHAN WAKTU:
Waktu adalah dasariah bagi narasi, bukan hanya karena narasi mengisahkan peristiwa yang
terjadi/berlangsung di dalam waktu, melainkan karena tindakan pengisahan mengandaikan
waktu tertentu dan pengaturan peristiwa-peristiwa dalam suatu susunan temporal.
1. “Waktu yang dikisahkan” dan “waktu untuk berkisah”:
Dikenal adanya “narrated time” (Culpepper menyebutnya “story time”, Jerm.
“erzählte Zeit”, Perancis “temps raconté”, Italia “tempo della storia”), yaitu “waktu yang
dikisahkan”, waktu berlangsungnya peristiwa atau tindakan yang dikisahkan dalam cerita, ini
adalah waktu nyata dalam arti dihitung dalam tahun, bulan, hari, jam dll. Ini dibedakan dari
“time of narrating” (Culpepper menyebutnya “narrative time”, Jerm. “Erzählzeit”, Perancis
“temps racontant”, Italia “tempo della narrazione”), yaitu waktu yang digunakan untuk
mengisahkan peristiwa atau tindakan, ini adalah waktu semu dalam arti dihitung secara
“spasial”: berapa bab, baris kalimat, kata yang digunakan untuk mengisahkan peristiwa itu.
Hubungan antara kedua waktu itu dapat dianalisa dari aspek-aspek berikut:
2. Lamanya (duration):
Narator bisa meringkas dalam beberapa kata saja suatu periode waktu yang panjang
(mis. Kej 29:20 “Yakub bekerja tujuh tahun lamanya untuk mendapatkan Rahel”) atau
mengisahkan peristiwa yang terjadi dalam waktu singkat dengan secara panjang dan
mendetail (mis. dalam Injil Yohanes: bab 1-11 meliputi periode dua/tiga tahun; bab 12
meliputi satu minggu; bab 13-19 meliputi satu hari). Hubungan antara kedua macam waktu
inilah yang membentuk ritme narasi: bisa terjadi pencepatan (acceleration; speeding up) atau
pelambatan (retardation; slowing up). Dalam dialog, waktu berkisah kurang lebih sama lama
dengan waktu yang dikisahkan. Umumnya, waktu berkisah lebih singkat daripada waktu
yang dikisahkan. Perbandingan kedua waktu itu membuat pembaca dapat mendeteksi mana
yang mau ditekankan atau kurang ditekankan oleh narator beserta efek-efek yang ingin
dicapai oleh narator.
analisa naratif/suhartono/hal. 17
3 Urutan waktu (order):
Narator dapat mengubah urutan kronologis kejadian-kejadian dalam pengisahan
misalnya: Yoh 1:19: “Inilah kesaksian Yohanes ketika orang Yahudi dari Yerusalem
mengutus beberapa imam dan orang-orang Lewi kepadanya untuk menanyakan dia”.
Peristiwa “ketika orang ... mengutus” mendahului peristiwa “kesaksian Yohanes” dalam
urutan waktu kejadian, namun dalam waktu pengisahan disampaikan sesudahnya; sedangkan
niat “untuk menanyakan dia” yang dalam waktu terjadi paling awal dalam pengisahan justru
disampaikan paling akhir. Suatu kejadian bisa ditunda, dapat diantisipasi dan dapat saja
dilewati.
Dikenal adanya “analepsis” (flashback): mengisahkan suatu kejadian dalam “urutan
pengisahan” (order of narration) sesudah waktunya lewat dalam “urutan terjadinya” (order
of occurrence). Ada pula “prolepsis” (antisipasi): kejadian dikisahkan sebelum itu terjadi.
Antisipasi jarang ada dalam novel, namun kerap dalam otobiografi; pengarang modern jarang
pakai prolepsis karena mengurangi ketegangan dan minat pembaca. Namun bila orang tahu
“akhir” suatu kisah sejak permulaan, orang dapat lebih memusatkan perhatian pada “how”
(tehnik berkisah) suatu kisah daripada “what”nya (yang mau dikisahkan).
Ada juga “ellipsis” (gap): Teknik “gap” ini amat umum dalam sastra dan KS; dengan
ini pengarang menciptakan efek-efek surprise, dugaan dan harapan (expectations), atau
ketegangan (suspense). Gap dibedakan dari “blanks” (kekosongan); gap relevan bagi kisah
(Kej 37: apakah Yusuf bereaksi ketika dijual oleh kakak-kakaknya?) sedangkan blank tidak
relevan, misalnya: periode Yesus berusia antara 12-30 tahun tak dikisahkan oleh Lk dan ini
tampaknya tak relevan bagi plot Lk meski menimbulkan devosi yang mendalam bagi orang
beriman hingga memberi ilham pada berbagai gerakan religius yang mau mencontoh teladan
hidup Yesus yang hidup dalam kesederhanaan dan kesunyian Nazareth atau sebaliknya
menimbulkan spekulasi tentang petualangan Yesus di Mesir, India dll.
Ada pula “jeda/istirahat” (pause) atau “campur tangan” (intrusions): waktu nyata
(narrated time) seakan-akan “terhenti” (suspended), yaitu dalam deskripsi atau intrusi atau
campur tangan narator dalam kisah, misalnya dalam footnotes atau komentar narator.
analisa naratif/suhartono/hal. 18
4. Frekuensi:
Kejadian bisa terjadi satu kali saja tapi dikisahkan berulang kali (kisah repetitive);
bisa juga terjadi berulangkali tapi dikisahkan satu kali saja (kisah “iterative”); biasanya, yang
terjadi satu kali dikisahkan satu kali saja (kisah “singular” atau “singulative”). Pergantian
antara keduanya bisa mengakibatkan efek-efek tertentu dalam pembaca, misalnya rasa lega
yang muncul dalam ketegangan yang diakibatkan oleh perjumpaan kembali antara Esau dan
Yakub (Kej 33:6-11: kalimat-kalimat iterative di tengah kejadian singular).
5. Bentuk Waktu (time-shape):
David Higdon (Time and English Fiction, London 1977) menguraikan adanya empat
bentuk waktu: “process time”, “retrospective time”, “barrier time”, dan “polytemporal time”.
Menurut Mark Stibbe, dalam komentar naratifnya atas Yoh (John, dalam seri Readings: A
New Biblical Commentary, Sheffield 1993), keempat bentuk waktu itu dapat ditemui juga
dalam Injil Yohanes.
Process time-shape digunakan oleh narator untuk memberikan petunjuk waktu.
Narator Yoh sangat teliti dalam memberikan kesan kepada pembaca akan berlalunya (proses)
waktu. Mis. rentetan ungkapan “keesokan harinya” (1:29, 35, 43) menunjukkan proses waktu
yang berjalan dari hari ke hari; rentetan “pesta Paska sudah dekat” (2:13) dan “pada hari
Paska” (2:23) juga menunjukkan kesadaran narator akan proses berjalannya waktu. Hal yang
sama dapat dilihat juga bagaimana ia menampilkan proses kedatangan pesta Pondok Daun
(Yoh 7) dan Paska terakhir dalama Yoh (Yoh 12-20).
Retrospective time-shape digunakan oleh narator bila ia menyapa pembaca secara
langsung dalam komentar atau footnotes untuk mengingatkan pembaca akan hal-hal yang
sudah terjadi sebelumnya (analepsis, retrospeksi, flash-back).
Barrier time-shape dipakai untuk menunjukkan suatu batas waktu (time-limit, dead-
line) saat suatu tugas harus sudah dilaksanakan. Misal dalam film-film dengan tema bom
waktu yang harus dijinakkan dalam waktu satu jam, sehingga seluruh ketegangan film
dipusatkan pada batas waktu tsb.; atau dalam dongeng tentang putri tiri yang disia-sia, dan
berkat pertolongan peri ia punya pakaian bagus dan kereta emas untuk ikut pesta dansa di
istana, namun sebelum tengah malam ia harus pulang karena hal-hal ini akan hilang, ia lari
dan ketinggalan sepatu dst. dst.; atau Bandung Bondowoso yang harus membuat 1000 candi
dalam satu malam! Ungkapan dalam Yoh, “jam (saat)Ku belum tiba” (2:4; bdk. 7:30; 8:20)
dianggap sebagai indikasi bahwa ada barrier time-shape pada Yoh.
analisa naratif/suhartono/hal. 19
Polytemporal time-shape digunakan oleh narator bila ia ingin mengadakan suatu
“fusion” (pencampuran) antara berbagai dimensi atau horison waktu, misalnya antara
“keabadian” dan “kefanaan”, antara “masa kini” pembaca dengan “masa lampau” Yesus. Hal
ini dapat diamati dalam Kotbah Perpisahan Yesus (Yoh 13-16) dan Doa Yesus (Yoh 17).
Bila “time of narrating” adalah waktu yang digunakan oleh narator untuk berkisah
(bila dihitung dengan bab, halaman, kalimat dll kategori spasial), maka secara sempit dapat
diartikan bahwa bentuk-bentuk waktu termasuk waktu yang dikisahkan (narrated time), mis.
dalam barrier time-shape, batas waktu sungguh-sungguh terjadi dalam cerita itu; pelaku
cerita sungguh-sungguh membayangkan masa lalu dalam retrospective time-shape; waktu
sungguh-sungguh berjalan dari detik ke detik dalam process time-shape; Yesus sungguh-
sungguh hidup dalam dua dimensi waktu (yang illahi dan yang manusiawi) dalam
polytemporal time-shape. Namun dapat pula disoroti, misalnya, dalam barrier time-shape,
batas bom meledak satu jam, dua detik terakhir menjelang akhir batas waktu satu jam itu
dikisahkan oleh narator dalam dua bab, padahal menit-menit sebelumnya dikisahkan hanya
dalam satu bab. Jadi bisa dikatakan bahwa masing-masing bentuk waktu itu dapat disoroti
dari sudut “waktu berkisah” maupun “waktu yang dikisahkan”.
I. MENGENALI LATAR:
Latar (settings) merupakan konteks, arena, panggung kejadian atau tindakan para tokoh.
Dibedakan tiga latar utama: latar tempat, latar waktu dan latar sosial. Pengenalan latar-latar
ini bukan saja penting untuk pembatasan dan strukturisasi kisah, melainkan terutama untuk
pemahaman kisah. Sering dikatakan bahwa tokoh digambarkan sebagai memiliki sudut
pandang, sedangkan latar tidak. Namun kerapkali hal ini tak dapat diandaikan begitu saja.
Pemilihan suatu latar, dalam arti narator memilih untuk mengeksplisitkan deskripsi latar
(yang sebenarnya dapat saja tak diungkapkan bila dipandang oleh narator sebagai tak relevan
bagi yang dituturi, narratee) sudah membimbing pembaca untuk menilai suatu kejadian atau
tokoh dari sudut pandang tertentu (entah sudut pandang narator entah sudut pandang tokoh).
Lebih-lebih karena biasanya baik tempat maupun waktu dalam kisah KS memiliki makna
tipologis atau simbolis yang dalam.
Laut adalah tempat kuasa maut bercokol dan karenanya membawa kekacauan dan
ancaman; padang gurun juga demikian namun merupakan pula tempat perjumpaan dengan
yang Illahi; gunung menjadi tempat pertemuan antara “bawah” dan “atas”, antara “bumi” dan
“langit”; sedangkan danau (Galilea) merupakan batas wilayah Yahudi dan tanah asing; begitu
analisa naratif/suhartono/hal. 20
pula sungai Yordan yang menjadi “batas” atau “ambang” bagi mereka yang di “luar” dan di
“dalam” tanah terjanji. Malam dan pagi hari memberikan suasana tersendiri pada peristiwa
dan tokoh sehingga dengan demikian pembaca diberi kunci tafsir untuk mengartikan
kisahnya. Narator yang mengaitkan “malam” dengan “kepergian Yudas” (Yoh 13:30) secara
tegas mengajak pembaca untuk menilai tindakan Yudas dari sudut tertentu yang berbeda
dengan sudut pandang para murid lainnya. Latar sosial berhubungan dengan sistem politik,
ekonomi, budaya, keagamaan yang diandaikan dalam kisah. Penelitian historis tentang ini
dalam analisa naratif bukan dimaksudkan untuk merekonstruksi kenyataan historis di balik
teks, melainkan untuk lebih memahami dunia tekstual.
III. DARI PENGARANG -MELALUI TEKS- KE PEMBACA
Tentu pada pelaksanaan, langkah-langkah tersebut di atas tidak dimaksudkan untuk
dilakukan satu per satu secara utuh; hanya pembacaan teks secara seksama akan
menunjukkan pada pembaca kategori-kategori manakah yang relevan bagi makna
keseluruhan kisah. Kategori-kategori tersebut menyangkut dunia tekstual dan karena itu
dipandang lebih berkaitan dengan masalah apa yang dikisahkan dan bagaimana itu
dikisahkan; keprihatinan analisa naratif ini dipertentangkan dengan yang menjadi minat
analisa historis kritis, yaitu apa yang telah terjadi. Maka penerapan analisa naratif pada teks
KS, misalnya pada Injil Yohanes sebagaimana dilakukan oleh R.A. Culpepper, meskipun
merupakan perintis dalam bidangnya, kadang dikritik sebagai sekedar “anatomi” (sesuai
dengan judul karya Culpepper sendiri, Anatomy of the Fourth Gospel) yang tidak
memberikan kedalaman tertentu. Mungkin karena itulah ia pun mengatakan pada
pendahuluan karyanya: “Questions about how the story is told inevitably raise interest in why
it is told and why it is told as it is.”22Dengan kata lain, keprihatinan seorang pembaca tetap
terarah pada tiga kenyataan yang terlibat erat dalam proses menulis dan membaca: dunia di
luar dan sebelum teks (dunia pengarang yang sesungguhnya), dunia tekstual (dunia
pengarang dan pembaca tersirat), dan dunia di luar dan sesudah teks (dunia pembaca yang
sesungguhnya).
22R.A. Culpepper, Anatomy of the Fourth Gospel. A Study in Literary Design (Philadelphia, 1983), hal. 11.
analisa naratif/suhartono/hal. 21
Dalam konteks inilah pemikiran Paul Ricoeur dapat menyumbangkan sesuatu yang
berarti. Ricoeur secara intensif telah merenungkan hubungan antara waktu dan narativitas.23
Ada satu pengandaian yang mendasari segala permenungan Ricoeur, yaitu: dunia yang
dibeberkan oleh setiap karya naratif selalu adalah dunia temporal; ia merumuskannya
demikian: “time becomes human to the extent that it is articulated through a narrative mode,
and narrative attains its full meaning when it becomes a condition of temporal existence”.24
Tesis utama Ricoeur adalah bahwa hanya kegiatan naratif sajalah yang dapat secara memadai
menjawab problem-problem yang berkaitan dengan waktu. Dalam narasi, problem waktu
tidaklah diselesaikan secara teoretis melainkan secara poetis. Yang dimaksudkan dengan
“secara teoretis” adalah renungan spekulatif akan problem waktu sebagaimana dicoba dalam
filsafat, khususnya dalam fenomenologi. Sedangkan dengan “secara poetis” ia
memaksudkannya sebagaimana diartikan oleh Aristoteles dalam Poetica, yaitu merujuk pada
kemampuan bahasa untuk mencipta dan menciptakan kembali, jadi menyangkut baik fiksi
maupun puisi; bahasa menjawab problem waktu dengan mengkonfigurasikan waktu dalam
narasi.
Yang menarik untuk disimak adalah teori Ricoeur tentang mimesis berlipat tiga.
Mimesis I adalah “waktu yang diprefigurasikan” (temps préfiguré; time prefigured), yang
menunjuk pada bidang praktis pengalaman manusia dengan struktur-struktur temporalnya
yang seakan-akan menjerit untuk dikisahkan. Mimesis II adalah “waktu yang
dikonfigurasikan” (temps configuré; time configured) dalam teks berkat proses pengaluran
(emplotment) dan yang berfungsi sebagai mediasi antara apa yang sebelum dan sesudah teks.
Mimesis III adalah “waktu yang direfigurasikan” (temps refiguré; time refigured), yang
diambilalih oleh pembaca. Dengan demikian waktu ditransfigurasikan dari satu sisi teks ke
sisi yang lain, dari dunia pengarang ke dunia pembaca, melalui daya teks dalam
mengkonfigurasikan waktu. Meminjam kategori Mendilow,25 Ricoeur menganggap semua
narasi sebagai “kisah waktu” (tales of time) karena perubahan situasi dan para tokoh
memerlukan waktu atau terjadi dalam waktu. Namun ada beberapa narasi yang merupakan
“kisah tentang waktu” (tales about time), yaitu sejauh pengalaman akan waktu itu sendirilah
yang menjadi taruhan dalam perubahan itu. Kisah tentang waktu mengkonfigurasikan
23P. Ricoeur, Temps et récit, 3 vols (Paris, 1983, 1984, 1985); terj. Inggris, Time and Narrative, 3 vols (Chicago - London, 1984, 1985, 1988). 24P. Ricoeur, Time and Narrative, vol. I, hal. 52. 25A.A. Mendilow, Time and the Novel (New York, 1952).
analisa naratif/suhartono/hal. 22
pengalaman fiktif tentang waktu yang ditawarkan kepada pembaca sebagai suatu cara berada
di dunia.
Dalam konteks itu pula dapat dimengerti pendapat Mieke Bal bahwa relasi antara KS
dan teori kritis bukanlah masalah penerapan, karena sama seperti teks, teori termasuk dalam
bidang-bidang bahasa.26 Paling-paling teori dapat diajak untuk berdialog dengan teks. Ini
merupakan dialog antara dua pihak yang setara, tanpa relasi subordinasi, bicara dan
mendengarkan satu terhadap yang lain agar dapat sama-sama belajar dari pertemuan ini.
Relevansi teori terletak pada kemampuannya untuk memunculkan problem dan bukan pada
kemampuannya untuk menyelesaikan problem; jadi sejauh teori itu mampu membuat teks
lebih menarik dan menggairahkan daripada bila teks itu dibaca tanpa teori. Teori menantang
teks dan teks menantang teori, menunjukkan batas-batasnya, dan memaksanya untuk
melintasi diri sendiri. Problem yang dimunculkan oleh teori-teori naratif dapat saja menuntun
orang pada masalah filologis, latarbelakang sosial, dan disiplin ilmiah lainnya. Dialog macam
ini mau tak mau akan membawa orang pada pendekatan interdisipliner dalam mengartikan
teks.
IV. KASIH DALAM KISAH DAN KISAH DALAM KASIH
Keterbatasan tempat mengakibatkan dialog antara teori naratif dan teks KS dalam karangan
ini menjadi minim sekali. Dalam keterbatasan tempat ini hanya akan ditunjukkan bagaimana
sebuah kategori analisa naratif, “narator”, dapat membuat teks lebih bermakna daripada bila
didekati hanya dari kaca mata analisa historis kritis.
Peranan sentral narator terasa benar pada Injil Yohanes dibandingkan dengan Injil-
injil Sinoptik. Hampir setiap saat pembaca dihadapkan pada campur tangan langsung narator,
lebih-lebih dalam apa yang umum disebut “footnotes” atau komentar naratorial. Dalam
terjemahan KS Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS) komentar-komentar itu dicetak dalam
tanda kurung; selain yang ditandai itu, masih banyak lagi yang dapat ditemukan dalam Yoh:
van Belle mencatat sekitar 180 footnotes.27 Sebelum orang peka terhadap fenomen narator,
komentar-komentar itu dianggap sebagai hasil kerja redaktor. Dari segi sudut pandang,
catatan-catatan narator itu berfungsi menggiring pembaca pada sudut pandang narator. Dari
segi pengolahan waktu, selain fakta bahwa “waktu” seakan-akan “menggantung” karena
26M. Bal, “Dealing/With/Women: Daughters in the Book of Judges”, dalam R.M. Schwartz (ed.), The Book and the Text. The Bible and Literary Theory (Oxford, 1990), hal. 16-17.
analisa naratif/suhartono/hal. 23
narator “keluar” dari “waktu yang dikisahkan” untuk “masuk” dalam “waktu pembaca”,
pembaca diajak untuk melompati waktu sekarang menuju masa depan, khususnya melalui
antisipasi atau prolepsis. Bagaimanakah ini diolah dalam berbagai pendekatan?
Contoh prolepsis yang tersohor adalah Yoh 2:22 yang membedakan antara saat ketika
Yesus masih hidup dan saat ketika Ia sudah bangkit; parentesis ini sedemikian mengesankan
sehingga Léon-Dufour mengusulkan untuk menggunakannya sebagai acuan temporal dalam
membaca Yoh: Injil Yohanes harus dibaca dalam perspektif “dua waktu membaca” (deux
temps de lecture), yang pertama adalah waktu Yesus dan yang kedua adalah waktu
Penginjil.28 Tesis ini kemudian diteguhkan lagi oleh John Ashton dengan dua tingkatan
pengertiannya (two levels of understanding)29yang merujuk pada waktu-waktu yang ditunjuk
oleh Léon-Dufour. Jadi seorang pembaca diharapkan terus menerus waspada pada apa yang
terjadi pada jaman Yesus dan apa yang diproyeksikan oleh situasi jaman pengarang Injil ke
dalam kisah Injil tentang Yesus. Misalnya ungkapan “dikucilkan dari sinagoga” dalam
komentar narator pada kisah penyembuhan orang buta (Yoh 9:22) dianggap sebagai indikasi
bahwa komunitas pengarang Yoh adalah komunitas sektarian yang sedang bergulat dengan
komunitas induk Yahudi; sehingga kisah tersebut dianggap sebagai hasil proyeksi situasi
konkret komunitas pengarang Injil ke dalam kisah Yesus.30
Namun dinamika waktu dalam minat historis kritis para ekseget di atas adalah waktu
lampau (waktu Yesus) dan waktu kini (waktu pengarang Injil), sedangkan dari sudut kritik
naratif, komentar narator tadi mengajak pembaca melompat dari pembauran antara masa kini
narator dan pembaca ke masa depan pembaca, yang sebenarnya sudah merupakan masa kini
bagi narator, seandainya tidak demikian tentu ia tidak akan dapat memberikan komentar
antisipatif. Maka dalam konteks ini, komentar narator dalam 7:39b (bahwa Roh belum
diberikan karena Yesus belum dimuliakan) menunjuk pada masa depan pembaca yang sudah
merupakan masa kini bagi narator; pembaca akan menyadari bahwa narator menulis dari
perspektif orang yang telah menerima pencurahan Roh dan karenanya pembaca akan merasa
semakin didorong untuk menerima apa yang dituturkan oleh narator sebagai kebenaran yang
diajarkan oleh Roh sendiri, apalagi bila pembaca sampai pada pesan-pesan terakhir Yesus
dalam bab 14-16 tentang kedatangan dan peran Roh Kudus.
27G. van Belle, Les parenthèses dans l’Évangile de Jean (Leuven, 1985). 28X. Léon-Dufour, Lecture de l’évangile selon Jean, I (Paris, 1988), hal. 15-19. 29J. Ashton, Understanding the Fourth Gospel (Oxford, 1991), hal. 412-420. 30 Tesis terkenal J.L. Martyn dalam History and Theology (Nashville, 1968).
analisa naratif/suhartono/hal. 24
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kendati dinamika kisah Yoh membawa
pembaca ke masa depan melalui berbagai prolepsis, sudut pandang narator dalam menuturkan
kisah terarah ke masa lampau. Dengan kata lain, kisah dituturkan dari awal sampai akhir
sebagai terarah ke masa depan, ke akhir kisah, namun berdasarkan sudut pandang yang dari
akhir kisah diarahkan ke masa lampau, ke awal kisah. Dua perspektif ini, baik prospektif
maupun retrospektif, bertemu di akhir kisah. Karena temporalitas linear teks, makna kata
pertama dalam kisah hanya dapat dimengerti sepenuhnya ketika orang sampai pada kata
terakhir dalam kisah; atau menurut seorang kritisi naratif: “Meaning is never given in toto
before the end is reached”.31
Maka bukan kebetulan kalau identitas narator Injil Yohanes baru dibukakan kepada
pembaca pada akhir kisah. Baru pada Yoh 21:24 menjadi jelas bagi pembaca bahwa narator
adalah sekaligus tokoh dalam cerita (dramatised narrator), “Dialah murid ...”; dan bukan
hanya itu, ia sekaligus adalah pengarang Injil sebagaimana dipertegas dalam ayat berikutnya,
“... tetapi jikalau semua itu harus dituliskan satu per satu, saya kira ...” (21:25). Identitas
narator sebagai narator yang ditokohkan dirahasiakan sampai akhir kisah; tehnik ini memang
memungkinkan narator menduduki posisi sebagai narator maha tahu sepanjang pengisahan.
Namun mengapa identitas narator sebagai yang ditokohkan perlu dibuka pada akhir? Tak
cukupkah narator menduduki posisi narator maha tahu yang tak ditokohkan?
Hal ini berhubungan erat dengan konklusi dalam Yoh 21:24-25. Penelitian yang
berorientasikan historis kritis biasa mengandaikan bab 21 Injil Yohanes sebagai tambahan
terhadap teks Yoh yang dianggap semula hanyalah memuat bab 1-20. Konklusi 21:24-25
dianggap suatu usaha peniruan tak sempurna terhadap konklusi asli yang ditulis pada 20:30-
31. Yoh 21 memang menjadi “the key and cornerstone for any redactional theory”.32 Namun
dari sudut kritik tekstual dapat dikatakan bahwa Yoh 1-20 tak pernah ditemukan tanpa bab
21. Penelitian stilistik yang dilakukan oleh dua pakar yang berbeda ternyata menghasilkan
dua pendapat yang bertolak belakang (mis. penelitian E. Ruckstuhl dan M-É. Boismard):
yang satu mengatakan bahwa Yoh 1-20 dan 21 ditulis oleh orang yang sama, yang lain
mengatakan bahwa ditulis oleh orang yang berbeda. Yang menganut teori redaksional merasa
diteguhkan karena melihat peralihan berbagai kata ganti orang pada 21:24-25 (dari “dia”
31A. Jefferson, The Nouveau Roman and the Poetics of Fiction (Cambridge, 1980), hal. 11. 32Pendapat D.M. Smith sebagaimana dikutip dalam komentar R.E. Brown, The Gospel According to John (London, 1971), vol. II, hal. 1080.
analisa naratif/suhartono/hal. 25
menjadi “kami” dan akhirnya “saya”)33 yang dianggap merupakan indikasi peranan beberapa
orang dalam peredaksian. Dari sudut analisa naratif, gejala peralihan berbagai kata ganti
orang ini merupakan hal yang umum ditemui pada karya sastra Yunani kuno; Meir Sternberg
menamakan konvensi literer atau tehnik narasi seperti ini “the trick of double
reference”.34J.L. Staley memandang 21:24-25 sebagai contoh yang amat jelas dari tehnik
tersebut.35Narator bergerak dari satu tingkatan narasi ke tingkatan yang lain, dari
kedudukannya sebagai seorang narator saksi, diberitahukan kepada pembaca untuk pertama
kalinya dalam kisah sebagai juga tokoh dalam cerita, ke “kami” editorial yang lebih
memperteguh keyakinan pembaca akan otoritas dan kesejatian narator daripada bila
diungkapkan oleh orang ketiga tunggal, dan akhirnya ke peranannya sebagai pengarang-
narator yang terbatas sebagaimana diungkapkan oleh kata ganti “saya”. Tehnik serupa
dipakai juga pada 19:35.
Bila dilihat dari sudut tehnik narasi, maka 21:24-25 memiliki peranan khusus dalam
narasi, dan bukan sekedar sebagai tiruan tak sempurna dari konklusi 20:30-31. Bila konklusi
20:30-31 merujuk pada fungsi narasi sebagai yang akan membawa pada iman dan karenanya
pada hidup, maka 21:24-25 merujuk pada hakekat narasi sebagai suatu kesaksian. Kesaksian
mengandaikan suatu mediasi antara yang disaksikan (“yang dilakukan Yesus”) dan yang
diberi kesaksian (“pembaca”). Kesaksian diperlukan karena yang disaksikan hadir dalam
ketidakhadirannya (atau tak hadir dalam kehadirannya). Yang disaksikan hadir, sejauh sang
saksi menghadirkannya; namun yang disaksikan tak hadir, karena yang hadir itu hanyalah
sang saksi, seandainya tidak demikian tentu kehadiran sang saksi tak diperlukan lagi. Agar
kesaksiannya itu dapat dipercaya dan diterima, selain bertugas sebagai narator saksi, ia harus
pula seorang tokoh dalam cerita (21:24). Namun untuk benar-benar menghadirkan yang
disaksikan, maka tak cukup bila sang saksi hanya hadir dalam bentuk orang ketiga (bila
demikian maka diperlukan saksi lain, demikian seterusnya ad infinitum); perlulah sang saksi
hadir secara langsung kepada pembaca dalam suatu dialog “aku - kamu” seperti diungkapkan
melalui ayat terakhir Yoh.
Setiap mediasi secara hakiki terarah pada peleburan mediasi itu sendiri sehingga dua
pihak yang dimediasikan akhirnya dapat bertemu tanpa mediasi, seandainya tidak demikian
apakah hak hidup suatu mediasi? Karena itu, ambiguitas nasib sang saksi sebagai mana
33Terjemahan Baru - LAI menghilangkan kata “saya” dalam Yoh 21:25 dan hanya menggantikannya dengan “agaknya”; sedangkan BIS mempertahankan kata “saya”. 34M. Sternberg, Expositional Modes and Temporal Ordering in Fiction (Baltimore, 1978), hal. 279.
analisa naratif/suhartono/hal. 26
tercermin dalam komentar narator 21:23b mendadak menjadi penuh arti. Entah ia masih
hidup entah sudah mati ketika kalimat 21:23b ditulis tak dapat ditentukan hanya dari teks
saja; terbukti dari perdebatan di antara para ahli tentang hal ini. Narator yang biasanya maha
tahu dan terkenal dengan tehnik “double meaning” kali ini pun hanya membatasi diri pada
ungkapan harafiah yang dituturkan. Hidup saksi sekaligus abadi dan tidak abadi. Dengan
demikian sang saksi mata sekaligus hadir dan tidak hadir; hadir untuk menjalankan tugas
mediasinya, dan tak hadir agar kedua pihak yang dimediasikan dapat langsung bertemu.
Apakah yang sebenarnya disaksikan?
Sang saksi mata memberi kesaksian akan “apa yang diperbuat oleh Yesus”. Dalam
konteks Yohanes, ini berarti cinta Yesus yang sehabis-habisnya (13:1) dan yang sebesar-
besarnya (15:13). Maka mau tak mau, saksi yang dapat dipercaya untuk memberikan
kesaksian tentang cinta Yesus hanyalah dia yang telah menerima cinta Yesus itu secara
istimewa. Tidak mengherankan bila tugas menjadi saksi par excellence dibebankan kepada
orang satu-satunya yang memiliki kompetensi untuk itu, yaitu “murid yang dikasihi Tuhan”
(13:23; 19:26, 35; 20:2; 21:20). Ambiguitas kehadiran dan ketidakhadiran saksi dalam rangka
efektivitas mediasi sebagaimana terungkap dalam 21:23b ditunjukkan pula oleh fakta bahwa
nama pribadi murid yang dikasihi Tuhan itu tak pernah disebutkan dalam kisah. Dari satu sisi
ia hadir sebagai saksi, dari sisi lain ia tak hadir dalam kepribadiannya yang konkret
melainkan dalam anonimitas predikatnya yang dikaitkan dengan apa yang disaksikan, yaitu
cinta Yesus. Namun justru karena ambiguitas kehadiran dan ketidakhadiran saksi itulah maka
pembaca dapat dibawa melalui mediasi yang lebur dalam anonimitas itu langsung kepada
cinta Yesus itu sendiri.
Epilog Yoh diakhiri dengan suatu visi akan ketakterbatasan ruang (“tak cukuplah
dunia memuat ...) sedangkan Prolog Yoh diawali dengan ketakterbatasan waktu (“pada
permulaan ...”). Yang pertama berhubungan dengan kehadiran sang Sabda (ho logos)
sedangkan yang terakhir berhubungan dengan kemungkinan kehadiran kitab-kitab (ta biblia),
jadi secara tersirat dengan realitas sang Kitab (to biblion), yaitu teks Injil Yohanes sendiri.
Pada akhirnya, sang Sabda yang ada pada permulaan, dan menjelma menjadi daging serta
menyerahkan dirinya demi cinta, hanya dapat ditemui dalam kata-kata “murid yang dicintai”,
sang saksi cinta, yang tertulis dalam sebuah teks. Tak mengherankan bila prosentase kata-
kata langsung Yesus dibandingkan keseluruhan teks Yohanes jauh lebih besar bila
35J.L. Staley, The Print’s First Kiss: A Rhetorical Investigation of the Implied Reader in the Fourth Gospel (Atlanta, 1988), hal. 40.
analisa naratif/suhartono/hal. 27
dibandingkan dengan yang terdapat dalam Sinoptik. Bagaimana pun juga, tehnik pengarang,
yang menggunakan narator dalam mediasi yang menghilangkan mediasinya ini, dituntut oleh
tujuan penulisan yang -dari kesaksian- ingin menghasilkan iman dalam diri pembaca
sehingga ia dapat memiliki hidup (20:30-31; 21:24-25). Bukankah tokoh utama cerita itu
sendiri berkata: “Kamu menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa oleh-
Nya kamu mempunyai hidup yang kekal, tetapi walaupun Kitab-kitab Suci itu memberi
kesaksian tentang Aku, namun kamu tidak mau datang kepada-Ku untuk memperoleh hidup
itu” (5:39-40)? Adakah cara lain yang lebih efektif untuk sampai kepada Sang Cinta kecuali
lewat cinta itu sendiri (bdk. 14:21)?
Mengadaptasikan kategori Ricoeur tentang waktu dan narasi, dapat dikatakan bahwa
proses penulisan dan pembacaan Injil Yohanes (juga teks KS lainnya) merupakan proses
transfigurasi dari “prefigured love” sebelum dan di luar teks, melalui “configured love” di
dalam teks, menuju ke “refigured love” yang diambil alih oleh pembaca sesudah dan di luar
teks. Tepatlah bila Jalaluddin Rumi, sang mistikus Sufi, berkata: “The tale of love must be
heard from love itself”.36Dapat pula ditambahkan seturut semangat Yohanes bahwa hanya
yang berasal dari kasih sajalah yang akan mengenali kasih (bdk. 5:42; 8:42, 47; I Yoh 4:7-8).
(Edisi pertama terbit sebagai Seri Puskat 363)
Martin Suhartono, SJ.
36Dikutip dari R. Feild, The Last Barrier. A Sufi Journey (Shaftesbury, Dorset, 1988), hal. 28.
Top Related