Download - Analgetik File

Transcript
Page 1: Analgetik File

I. PENDAHULUAN

Obat penghilang rasa nyeri (Analgetik) merupakan obat yang diresepkan

untuk mengurangi atau menekan rasa sakit. Obat analgesik antipiretik serta obat

anti inflamasi nonsteroid (AINS) merupakan suatu obat yang heterogen, bahkan

beberapa obat sangat berbeda secara kimia. WAlaupun demikian obat – obat ini

ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping

(Freddy dan Sulistia, 2007).

Nyeri merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan penderita sehingga

untuk mengurangi diperlukan analgetika.Rasa nyeri hanya merupakan suatu gejala

yang berfungsi memberi tanda tentang adanya gangguan – gangguan di tubuh

seperti peradangan, infeksi kuman atau kejang otot. Rasa nyeri disebabkan

rangsangan mekanis atau kimiawi, kalor atau listrik yang dapat menimbulkan

kerusakan jaringan dan melepaskan zat yang disebut mediator nyeri (pengantar). .

(Tjay, 2002).

Obat penghilang rasa nyeri (Analgetik) ialah obat yang digunakan untuk

mengurangi atau menekan rasa sakit misalnya sakit kepala, otot, perut, gigi dan

lainnya. Atas dasar kerja farmakologinya, analgetika dibagi dalam dua kelompok

besar, yakni :

1. Analgetika Perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat – obat yang tidak

bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Analgetika antiradang ternasuk

kelompok ini.

2. analgetika narkotik, khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat,

seperti pada fractura dan kanker.(Tjay, 2002)

Nyeri merupakan suatu perasaan sensoris dan emosional yang tidak

nyaman, tidak berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Keadaan psikis

sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit ( kepala )

atau memperhebatnya, tetapi dapat pula menghindarkan sensasi rangsangan nyeri.

(Tjay, 2002)

Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang

berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang

adanya ganguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang

Page 2: Analgetik File

otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat

menimbulkan kerusakan pada jaringan. .(Tjay, 2002)

II. Tujuan Percobaan

1. Untuk mengetahui efek morfin terhadap nilai ambang nyeri yang

disebabkan oleh asam asetat 3 %

2. Untuk mengetahui efek antalgin terhadap nilai ambang nyeri yang

disebabkan oleh asam asetat 3 %

3. Untuk membandingkan efek morfin dan antalgin dalam menahan rasa

sakit yang disebabkan oleh asam asetat dan reaksi nyeri yang

disebabkan oleh Infra merah.

III. Prinsip Percobaan

Membandingkan efek analgetik dari antalgin dan morpin dengan

pemberian dosis yang berbeda serta mengetahui efek analgesia pada nilai ambang

sakit yang disebabkan senyawa kimia (asam asetat) dan nyeri yang di sebabkan

oleh Infra red sebagai stimulus nyeri sentral.

Page 3: Analgetik File

IV. TINJAUAN PUSTAKA

Impuls eksogen diterima oleh sel-sel penerima (reseptor) untuk kemudian

diteruskan ke otak atau sumsum tulang belakang. Rangsangan dapat berupa

perangsang (stimuli) nyeri, suhu , perasaan, penglihatan, pendengaran dan lain-

lain. Impuls syaraf yang berhubungan dengan pusat nyeri di otak, pusat tidur di

hipotalamus dan kapasitas mental, yang menjadi fungsi kulit otak (cortex). (Tjay,

2007).

Kesadaran akan perasaan sakit terbentuk dari dua proses, yakni

penerimaan perangsang nyeri di otak besar dan reaksi emosional dari individu

terhadapnya. Analgetika memengaruhi proses pertama dengan jalan meningkatkan

ambang-kesadaran akan perasaan sakit, sedangakan narkotika menekan reaksi

psikis yang diakibatkan oleh perangsang nyeri itu (Tjay, 2007)..

Analgetika atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi

atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (perbedaan dengan

anestetika umum) (Tjay, 2007).

Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman,

berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. keadaan psikis sangat

mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit (kepala) atau

memperhebatnya, tetapi dapat pula menghindarkan sensasi rangsangan nyeri.

nyeri merupakan suatu perasaan seubjektif pribadi dan ambang toleransi nyeri

berbeda-beda bagi setiap orang. batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni pada

44-45°C (Tjay, 2007).

Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkat (level) pada mana nyeri

dirasakan untuk pertama kalinya. Dengan kata lain, intensitas rangsangan yang

terendah saat orang merasakan nyeri. Untuk setiap orang ambang nyerinya adalah

konstan (Tjay, 2007).

Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang

berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang

adanya ganguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang

Page 4: Analgetik File

otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat

menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan

zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Antara lain histamine, bradikinin,

leukotrin dan prostaglandin(Tjay, 2007).

Prostaglandin merupakan hormone local yang disintesis diberbagai organ

dan bekerja ditempat itu juga. Prostaglandin dilepaskan ke peredaran darah

dengan cepat saat terjadi kerusakan jaringan. Prostaglandin terlibat pada

terjadinya nyeri yang berlangsung lama, proses peradangan dan timbulnya demam

(Puspita,2003).

Nyeri pertama dihantarkan oleh serabut nyeri jenis A delta yaitu serabut

saraf dengan pembungkus lapisan bermielin, garis tengah 2-5μm. Serabut nyeri

jenis A delta ini menghantarknan isyarat nyeri lebih cepat dari saraf perifer ke

medulla spinalis karena terjadi penghantaran rangsang secara saltatoris (gaya

melompat) yaitu dari satu nodus Ranvier ke nodus lai, antar naodus-nodus ini

dilewati oleh garis aliran listrik dan dengan penghantaran saltatoris ini

dimungkinkan suatu laju penghantaran yang lebih cepat sampai dengan 120m/det

(Puspita, 2003).

Nyeri visceral merupakan nyeri yang berasal dari otot dan jaringan ikat

organ-organ dalam, berlangsung lama dengan pembebasan prostaglandin. Salah

satu nyeri dalam yang paling sering terjadi adalah nyeri abdomen yang terjadi

pada tegangan abdomen, kejang otot polos dalam abdomen, aliran darah ke

abdomen kurang dan penyakit yang disertai radang (Puspita,2003).

Mediator nyeri itu merangsang reseptor nyeri (Nociceptor) di ujung-ujung

saraf bebas di kulit, yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung saraf bebas di kulit,

mukosa dan jaringan lain dan demikian menimbulkan antara lain dapat

mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang. Nocireseptor ini terdapat

diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di

salurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat

benyak sinaps via sumsumtulang belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah.

Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana

impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay, 2007).

Page 5: Analgetik File

Mediator nyeri kini juga disebut autacoida dan terdiri dari antara lain

histamin, serotonin, bradykinin, leukotrien, dan prostatglandin. Bradykinin adalah

polipeptida yang dibentuk dari protei plasma. Prostatglandin mirip strukturnya

dengan asam lemak dan terbentuk dari asam arachidonat. Menurut perkiraan, zat-

zat ini menigktkan kepekaan ujung saraf sensoris bagi rangsangan nyeri yang

diakibatkan oleh mediator lainnya. Zat-zat ini, dan jiga bradykinin, berkhasiat

vasodilatasi kuat dan memperbesar permeabilitas kapiler yang mengakibatkan

radang dan udema. Berhubung kerjanya dan inaktivasinya pesat dan bersifat lokal,

maka juga dinamakan hormon lokal (Tjay, 2007).

Sensasi nyeri, tak perduli apa penyebabnya, terdiri dari masukan isyarat

bahaya ditambah reaksi organisme ini terhadap stimulus. Sifat analgesik opiat

berhubungan dengan kesanggupannya merubah persepsi nyeri dan reaksi pasien

terhadap nyeri. Penelitian klinik dan percobaan menunjukkan bahwa analgesik

narkotika dapat meningkatkan secara efektif ambang rangsang bagi nyeri tetapi

efeknya atas komponen reaktif hanya dapat diduga dari efek subjektif pasien. Bila

ada analgesia efektif, nyeri mungkin masih terlihat atau dapat diterima oleh

pasien, tetapi nyeri yang sangat parah pun tidak lagi merupakan masukan sensorik

destruktif atau yang satu-satunya dirasakan saat itu (Howard,dkk.1986).

Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok

besar, yakni :

a. Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak

bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Analgetika antiradang termasuk

kelompok ini

b. Analgetika narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat,

seperti pada fractura dan kanker (Tjay, 2007).

Secara kimiawi analgetika perifer dapat dibagi dalam beberapa kelompok,

yakni :

a. Parasetamol

b. Salisilat : asetosal, salisilamida, dan benorilat

c. Penghambat prostaglandin (NSAIDs) : ibuprofen, dll

d. Derivat-antranilat : mefenaminat, glafenin

Page 6: Analgetik File

e. Derivat-pirazolon : propifenazon, isopropilaminofenazon, dan metamizol

f. lainnya : benzidamin (Tantum) (Tjay, 2007).

Analgetik narkotik, kini disebut juga opioida (=mirip opioat) adalah obat-

obat yang daya kerjanya meniru opioid endogen dengan memperpanjang aktivasi

dari reseptor-reseptor opioid (biasanya μ-reseptor) (Tjay, 2007).

Efek utama analgesik opioid dengan afinitas untuk resetor μ terjadi pada

susunan saraf pusat; yang lebih penting meliputi analgesia, euforia, sedasi, dan

depresi pernapasan. Dengan penggunaan berulang, timbul toleransi tingkat tinggi

bagi semua efek (Howard,dkk.2002).

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti

opium. Opium yang berasal dari getah Papaver somniferum mengandung sekitar

20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, dan papaverin. Analgesik

opioid terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri,

meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. Istilah

analgesik narkotik dahulu seringkali digunakan untuk kelompok obat ini dapat

menimbulkan analgesia tanpa menyebabkan tidur atau menurunnya kesadaran

maka istilah analgesik narkotik menjadi kurang tepat (Hedi, 2007).

Reseptor opioid, ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu, delta, dan

kappa. Ketiga jenis reseptor termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan

dengan protein G, dan memiliki sub tipe mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1, kappa2, dan

kappa3 karena suatu opioid dapat berfungsi dengan potensi yang berbeda sebagai

suatu agonis, agonis parsial, atau antogonis pada lebih dari satu jenis reseptor

maka senyawa yang tergolong opioid dapat memiliki efek farmakologik yang

beragam (Hedi, 2007).

Berdasarkan perbedaan pada afinitas opioid yang dikenal dengan

terjadinya ikatan pada preparat reseptor, antara lain :

Reseptor µ : analgesia supraspinal (β-endorfin )

Reseptor ƙ : analgesia spinal (dinorfin)

Reseptor ᵟ : disfori (β-endorfin ). (Schmitz,2008)

Page 7: Analgetik File

Reseptor µ memperantarai efek analgetik mirip morpin, euforia, depresi

napas, miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor ƙ diduga

memperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis

dan depresi napas yang tidak sekuat agonis µ. Selain itu di susunan saraf pusat

juga didapatkan reseptor ᵟ yang selektif terhadap enkefalin dan reseptor ε (epsilon)

yang sangat selektif terhadap beta-endorfin tetapi tidak mempunyai afinitas

terhadap enkefalin (Hedi, 2007).

Klasifikasi obat golongan opioid. Berdasarkan kerjanya pada reseptor,

obat golongan opioid dibagi menjadi:

a. Agonis penuh (kuat),

b. Agonis parsial (agonis sampai sedang),

c. Campuran agonis dan antagonis,

d. Antagonis

Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis, sedangkan

agonis parsial dapat menimbulkan efek agonis, atau sebagai antagonis dengan

menggeser agonis kuat dri ikatannya pada reseptor opioid dan mengurangi

efeknya. Opioid yang merupakan campuran agonis dan antagonis adalah opioid

yang memiliki efek agonis pada subtipe reseptor opioid dan sebagai suatu parsial

agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya. Berdasarkan rumus

bangunnya obat golongan opioid dibagi menjadi derivat fenantren,

fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan, dan benzomorfan (Hedi, 2007).

Titik tangkap analgesic opioid yang terutama bekerja sentral atau peptide

opioid adalah system saraf pusat yaitu system penghambat nyeri endogen, yana

terutama terlokalisir dibatang otak dan sumsum tulang belakang. Ditempat

tersebut terdapat reseptor opiate atau reseptor enkefalonergik,tempat endogen

penghambat nyeri yang berikatan(Schmitz,2008).

Obat –obat golongan analgetik non opioid disebut juga analgetika perifer

karena tidak mempengaruhi Susunan saraf Pusat (SSP), tidak menurunkan

kesadaran, tidak menyebabkan ketagihan (Tjay, 2007).

Page 8: Analgetik File

Disamping berkhasiat analgetik juga berkhasiat antipiretik sehingga

disebut analgetik-antipiretik Non Steroid. Dan golongan ini dapat juga obat-obat

yang berkhasiat anti-inflamasi atau antiradang ada yang golongan steroid dan

non-steroid. Karena obat golongan ini termasuk golongan non-steriod sehingga

disebut Analgetika Anti-Inflamasi Nonsteroid (AINS) (Tjay, 2007).

Obat analgesik-antipiretik serta obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS)

lainnya merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa

diantaranya sangat berbeda secara kimia. Obat-obat ini mempunyai persamaan

dalam efek terapi dan efek samping (Tjay, 2007).

Pengujian aktivitas analgetik dilakukan dengan dua metode yaitu induksi

nyeri cara kimiawi dan induksi nyeri cara termik. Daya kerja analgetik dinilai

pada hewan dengan mengukur besarnya peningkatan stimulus nyeri yang harus

diberikan sampai ada respon nyeri atau jangka waktu ketahanan hewan terhadap

stimulus nyeri. Rasa nyeri setelah induksi nyeri cara kimiawi pada hewan uji

ditunjukkan dalam bentuk gerakan geliat, frekuensi gerakan ini dalam waktu

tertentu menyatakan derajat nyeri yang dirasakannya,sedangkan rasa nyeri setelah

induksi nyeri cara termik pada hewan uji ditunjukkan dengan menjilat kaki

belakang atau atau meloncat di atas hot plate (Puspita,2003).

Morphin

Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang telah

dikeringkan. Alkaloid asal secara kimia dibagi dalam dua golongan: (1) golongan

fenantren, misalnya morfin dan kodein dan (2) golongan benzilisokinolin,

misalnya noskapin dan papaverin. Dari alkaloid derivat fenantren yang alamiah

telah dibuat berbagai derivat semisintetik(Hedi, 2007).

R1-O pada morfin berupa gugus OH, yang bersifat fenolik, sehingga

disebut sebagai OH fenolik, sedangkan OH pada R2-O bersifat sebagai OH

alkoholik. Atom hidrogen pada kedua gugus itu dapat diganti oleh berbagai gugus

membentuk berbagai alkaloid opium(Hedi, 2007).

Efek farmakologik masing-masing derivat secara kualitatif sama tetapi

berbeda secara kuantitatif dengan morphin. Gugus OH fenolik bebas berhubungan

Page 9: Analgetik File

dengan efek analgetik, hipnotik, depresi napas dan obstipasi. Gugus OH alkoholik

bebas merupakan lawan efek gugus OH bebas disertai efek konvulsif dan efek

emetik yang tidak begitu kuat. Substitusi H mengakibatkan berkurangnya efek

analgetik, efek depresi napas dan efek spasmodik terhadap usus, sebaliknya terjadi

penambahan efek stimulasi SSP. Substitusi pada H-2 mengakibatkan bertambahnya

efek opioid dan efek depresi napas (Hedi, 2007).

Pengaruh Sistem Organ terhadap Morphine dan Penggunaannya. Aksi

kerja berikut ini adalah untuk morphine, prototipe agonis opioid, juga observasi

pada semua agonis yang lain. Agen dengan agonis parsial atau efek-efek reseptor

campuran ketika diberikan pada seseorang pasien yang lama tidak menerima agen

agonis, juga menghasilkan analgesik tapi efeknya sedikit bervariasi.

1. Efek sistem saraf pusat. Efek utama dari analgesik opioid terhadap afinitas

untuk reseptor mu pada sistem saraf pusat; diantaranya yang penting adalah

analgesi, euforia, sedasi dan depresan napas.

a. Analgesi, rasa nyeri yang terdiri atas komponen sensorik maupun komponen

afektif (emosional). Opioid dapat mengubah kedua aspek dari pengalaman rasa

nyeri. Dalam banyak kasus obat-obat ini mempunyai efek yang relatif besar pada

komponen-komponen afektif.

b. Euforia, setelah mengkonsumsi satu dosis morphine, seorang pasien tipikal

yang menderita nyeri atau seseorang pecandu mengalami sensasi terbang

(mengapung) menyenangkan dan terbebas dari kegelisahan dan tekanan. Tetapi

pasien-pasien lain dan beberapa penderita yang normal (tidak mengalami nyeri)

mengalami efek disforia dan bahkan efek-efek menyenangkan setelah

menggunakan suatu dosis analgesik opioid. Disforia adalah suatu keadaan yang

tidak menyenangkan yang ditandai dengan kegelisahan dan suatu perasaan tidak

nyaman pada tubuh. Secara umum, jika terdapat suatu indikasi medis pemberian

analgesik opioid, rspons afektif yang paling umu adalah euforia.

c. Sedasi, perasaan kantuk dan pengaburan ingatan (mentasi) merupakan hal yan

bersamaan terjadi pada kerja opioid. Terdapat sedikit amnesia atau tidak sama

sekali. Manula lebih sering mengkonsumsi obat-obat opioid untuk menginduksi

Page 10: Analgetik File

tidur daripada orang muda yang sehat. Biasanya pasien akan lebih mudah

terbangun dari tidur seperti ini. Meskipun demikian, kombinasi morphine dengan

obat-obat depresan sentral lainnya seperti sedatif-hipnotika dapat menimbulkan

tidur yang sangat puas.

d. Depresi napas, semua jenis analgesik opioid dapat menimbulkan depresi napas

yang serius dengan menghambat mekanisme pernapasan batang otak. PCO2

alveoler akan meningkat, tetapi indikator yang paling tepat dari depresi ini adalah

depresi terhadap pertukaran karbondioksida. Depresi napas ini tergantung pada

dosis dan dipengaruhi oleh tingkat masukan sensorik yang terjadi saat ini.

e. Penekan batuk, dapat menekan reflek batuk merupakan khasiat utama opioid.

Codeine, khusunya telah digunakan untuk menolong penderita batuk patologis

dan pada pasien yang harus tetap dijaga pertukaran udara lewat suatu lubang

endotrakeal.

f. Miosis, kontraksi pupil dapat terlihat secara nyata dengan semua agonis opioid.

Miosis juga merupakan juga kerja farmakologis dimana hanya sedikit atau tanpa

toleransi yang berkembang, sehingga untuk itu sangat berguna dalam

mendiagnosis overdosis opioid (Howard,dkk.2002).

ANTALGIN

Antalgin adalah salah satu obat penghilang rasa sakit (analgetik) turunan

NSAID, atau Non-Steroidal Anti Inflammatory Drugs. Umumnya, obat-obatan

analgetik adalah golongan obat antiinflamasi (antipembengkakan), dan beberapa

jenis obat golongan ini memiliki pula sifat antipiretik (penurun panas), sehingga

dikategorikan sebagai analgetik-antipiretik. Golongan analgetik-antipiretik adalah

golongan analgetik ringan. Contoh obat yang berada di golongan ini adalah

parasetamol. Tetapi Antalgin lebih banyak sifat analgetiknya. (Anonim 4, 2009)

Umumnya, cara kerja analgetik-antipiretik adalah dengan menghambat

sintesa neurotransmitter terentu yang dapat menimbulkan rasa nyeri & demam.

Dengan blokade sintesa neurotransmitter tersebut, maka otak tidak lagi

Page 11: Analgetik File

mendapatkan "sinyal" nyeri, sehingga rasa nyerinya berangsur-angsur

menghilang.

prostasiklin

PGE2, PGF2, PGD2 Tromboksan A2

Biosintesis Prostaglandin

Gangguan Pada Membran Sel

Fospolipid

Trauma / Luka pada sel

Enzim FosfolipaseDihambat kortikosteroid

Asam Arakidonat

Enzim lipoksigenase Enzim siklooksigenase

Dihambat Obat AINS

Hidroperoksid

Endoperoksid

Leukotilen

Page 12: Analgetik File

V. METODE PERCOBAAN

V. 1 ALAT

a. Timbangan elektrik

b. Spuit 1 ml

c. Oral sonde

d. Stopwatch

e. Plantar test

V. 2 BAHAN

a. Aquadest

b. Asam asetat 3%

c. Antalgin konsentrasi2 %

d. Morfin SO4 konsentrasi 0,1%

V. 3 HEWAN PERCOBAAN

Mencit 3 ekor

V. 4 PEMBUATAN LARUTAN OBAT

a. Morfin SO4 Kosentrasi 0,1%

Ditimbang morfin 0,25 gram

Dilarutkan dengan akuades dalam labu tentukur 25 mL

b. Antalgin Kosentrasi 2%

Ditimbang antalgin 0,250 gram

Dilarutkan dengan akuades dalam labu tentukur 50 mL

c. Asam asetat 3%

Dipipet 10 mL asam asetat

Dilarutkan dalam 15% akuades dalam labu tentukur 50 mL

V. 5 PROSEDUR KERJA

a. Metode Asam asetat

1. Hewan ditimbang dan ditandai.

2. Dihitung dosis dengan pemberian :

Mencit 1 : Kontrol aquadest dosis 1 % BB (i.p)

Page 13: Analgetik File

Mencit 2 : Morfin SO4 [ ] 0,1 % dosis 10 mg/kg BB (i.p)

Mencit 3 : Morfin SO4 [ ] 0,1 % dosis 15 mg/kg BB (i.p)

Mencit 4 : Antalgin [ ] 2 % dosis 300 mg/kg BB (i.p)

Mencit 5 : Antalgin [ ] 2 % dosis 400 mg/kg BB (i.p)

3. Setelah 30 menit, masing-masing mencit disuntikkan asam

asetat 3 % dengan dosis 1 % BB secara i.p.

4. Diamati dan dihitung geliat mencit selang waktu 10 menit

sampai 90 menit.

5. Dibuat grafik jumlah geliat vs waktu.

b.Metode Plat Panas Infa Red (IR)

1.Hewan ditimbang dan ditandai.

2.Dihitung dosis dengan pemberian :

Mencit 1 : Kontrol aquadest dosis 1 % BB (i.p)

Mencit 2 : Morfin SO4 [ ] 0,1 % dosis 10 mg/kg BB (i.p)

Mencit 3 : Morfin SO4 [ ] 0,1 % dosis 15 mg/kg BB (i.p)

Mencit 4 : Antalgin [ ] 2 % dosis 300 mg/kg BB (i.p)

Mencit 5 : Antalgin [ ] 2 % dosis 400 mg/kg BB (i.p)

3. Hewan diletakkan ke dalam kotak, kemudiaan arahkan panas IR

tepat ke telapak kaki hewan

4. Diamati dan dihitung geliat mencit selang waktu 10 menit sampai

90 menit.

5. Dibuat grafik jumlah geliat vs waktu.

c. PERHITUNGAN DOSIS

Dosis mencit I

Berat mencit : 26,9 gr, 32,5 gr, 16 gr

Dosis : Kontrol aquadest 1 % BB (i.p)

Syringe : 100 skala (1 skala = 1 / 100 = 0,01 ml)

1. Jumlah larutan obat

= 1 / 100 x 26,9 gr = 0,269 ml

Jumlah obat yang disuntikkan :

Page 14: Analgetik File

= 0,269ml / 0,01 ml =26,9 skala

- Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 26,9 gr

= 0,269 ml

2. Jumlah larutan obat

=1/100 x 32,5 gr = 0,325 ml

Jumlah obat yang disuntikan :

= 0,325/0,01 ml = 32,5 skala

- Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 32,5 gr

= 0,325 ml

3. Jumlah larutan obat

=1/100 x 16 gr = 0,16 ml

Jumlah obat yang di suntikan :

= 0,16/0,01 ml = 16 ml

- Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 16 gr

= 0,16 ml

Dosis mencit II

Berat mencit : 18,9 gr, 25,8 gr, 24,9 gr, 28,2 gr

Dosis : Morphin SO4 0,1 % dosis 10 mg/Kg BB secara i.p

Syringe : 100 skala (1 skala = 1 / 100 = 0,01ml)

1. Jumlah obat yang diberikan :

=

10mg / KgBB1000 g

x 18 , 9gr=0 ,189mg=0 , 000189 gr

Konsentrasi obat 0,1%

= 0,1gr/100 ml

Page 15: Analgetik File

= 0,000189 x 100/0,1 =0,189 ml

Jumlah obat yang disuntikkan :

= 0,189 ml / 0,01 ml = 18,9 skala

- Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 18,9 gr

= 0,189 ml

2. Jumlah obat yang diberikan :

=

10 mg / KgBB1000 g

x 25 , 8gr=0 ,258 mg=0 ,000258 gr

Konsentrasi obat 0,1%

= 0,1gr/100 ml

= 0,000258 x 100/0,1 =0,258 ml

Jumlah obat yang disuntikkan :

= 0,258 ml / 0,01 ml = 25,8 skala

- Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 25,8 gr

= 0,258 ml

3. Jumlah obat yang diberikan :

=

10 mg / KgBB1000 g

x 24 ,9 gr=0 ,249 mg=0 ,000249 gr

Konsentrasi obat 0,1%

= 0,1gr/100 ml

= 0,000249 x 100/0,1 =0,249 ml

Page 16: Analgetik File

Jumlah obat yang disuntikkan :

= 0,249 ml / 0,01 ml = 24,9 skala

- Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 24,9 gr

= 0,249 ml

4. Jumlah obat yang diberikan :

=

10 mg / KgBB1000 g

x 28 , 2 gr=0 ,282 mg=0 , 000282 gr

Konsentrasi obat 0,1%

= 0,1gr/100 ml

= 0,000282 x 100/0,1 =0,282ml

Jumlah obat yang disuntikkan :

= 0,282 ml / 0,01 ml = 28,2skala

- Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 28,2 gr

= 0,282ml

Dosis mencit III

Berat mencit : 28,3gr, 26,5 gr, 21,6 gr

Dosis : Morphin SO4 0,01% 15 mg / kg BB secara i.p

Syringe : 100 skala (1 skala = 1 / 100 = 0,01 ml)

Jumlah obat yang diberikan :

1. Jumlah obat yang diberikan :

=

15 mg / KgBB1000 g

x 28 , 3gr=0 ,4245 mg=0 ,0004245 gr

Page 17: Analgetik File

Konsentrasi obat 0,1%

= 0,1gr/100 ml

= 0,0004245 x 100/0,1 =0,4245ml

Jumlah obat yang disuntikkan :

= 0,4245 ml / 0,01 ml = 42,45skala

- Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 28,3 gr

= 0,283 ml

2. Jumlah obat yang diberikan :

=

15 mg / KgBB1000 g

x 26 , 5 gr=0 ,3975 mg=0 ,0003975 gr

Konsentrasi obat 0,1%

= 0,1gr/100 ml

= 0,0003975 x 100/0,1 =0,3975ml

Jumlah obat yang disuntikkan :

= 0,3975 ml / 0,01 ml = 39,75skala

- Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 26,5 gr

= 0,265 ml

3. Jumlah obat yang diberikan :

=

15mg / KgBB1000 g

x 21 ,6 gr=0 ,324mg=0 , 000324 gr

Konsentrasi obat 0,1%

Page 18: Analgetik File

= 0,1gr/100 ml

= 0,000324 x 100/0,1 =0,324ml

Jumlah obat yang disuntikkan :

= 0,324 ml / 0,01 ml = 32,4skala

- Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 21,6 gr

= 0,216 ml

Dosis mencit IV

Berat mencit : 21,2 gr, 26,0 gr, 28,3 gr 31,2 gr

Dosis : Antalgin 2%, 300 mg / kg BB secara i.p

Syringe : 100 skala (1 skala = 1 / 100= 0,01 ml)

Jumlah obat yang diberikan :

1. Jumlah obat yang diberikan :

=

300 mg / KgBB1000 g

x 21 ,6gr=6 , 36mg=0 , 00636 gr

Konsentrasi obat 2%

= 2gr/100 ml

= 0,00636 x 100/2 =0,318ml

Jumlah obat yang disuntikkan :

= 0,318 ml / 0,01 ml = 31,8skala

- Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 21,6 gr

= 0,216 ml

2. Jumlah obat yang diberikan :

Page 19: Analgetik File

=

300mg / KgBB1000 g

x 26 , 0 gr=7,8 mg=0 ,0078 gr

Konsentrasi obat 2%

= 2gr/100 ml

= 0,0078x 100/2 =0,39ml

Jumlah obat yang disuntikkan :

= 0,39 ml / 0,01 ml = 39skala

- Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 26 gr

= 0,26 ml

3. Jumlah obat yang diberikan :

=

300 mg / KgBB1000 g

x 28 ,3gr=8 , 49mg=0 ,00849 gr

Konsentrasi obat 2%

= 2gr/100 ml

= 0,00849 x 100/2 = 0,4245ml

Jumlah obat yang disuntikkan :

= 0,4245 ml / 0,01 ml = 42,45skala

- Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 28,3 gr

= 0,283 ml

4. Jumlah obat yang diberikan :

Page 20: Analgetik File

=

300 mg / KgBB1000 g

x 31 ,2 gr=9 ,36 mg=0 , 00936 gr

Konsentrasi obat 2%

= 2gr/100 ml

= 0,00936 x 100/2 = 0,468ml

Jumlah obat yang disuntikkan :

= 0,468 ml / 0,01 ml = 46,8skala

Dosis mencit V

Berat mencit : 29,4 gr, 33,6 gr, 18,2 gr

Dosis : Antalgin 2%, 400 mg / kg BB secara i.p

Syringe : 100 skala (1 skala = 1 / 100 = 0,01 ml)

Jumlah obat yang diberikan :

1. Jumlah obat yang diberikan :

=

400 mg /KgBB1000 g

x 29 , 4 gr=11 , 76 mg=0 ,01176 gr

Konsentrasi obat 2%

= 2gr/100 ml

= 0,01176 x 100/2 = 0,588ml

Jumlah obat yang disuntikkan :

= 0,588 ml / 0,01 ml = 58,8skala

Asam asetat 3%

Volume Asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 29,4gr

= 0,294 ml

2. Jumlah obat yang diberikan :

Page 21: Analgetik File

=

400 mg /KgBB1000 g

x 33 , 6 gr=13 , 44mg=0 , 01344 gr

Konsentrasi obat 2%

= 2gr/100 ml

= 0,01344 x 100/2 = 0,672ml

Jumlah obat yang disuntikkan :

= 0,672 ml / 0,01 ml = 67,2skala

Asam asetat 3%

Volume Asam Asetat yang disuntikan (ml) =1% x33,6 gr

= 0,336 ml

3. Jumlah obat yang diberikan :

=

400 mg /KgBB1000 g

x 18 , 2 gr=7 , 28 mg=0 , 00728 gr

Konsentrasi obat 2%

= 2gr/100 ml

= 0,00728x 100/2 = 0,364ml

Jumlah obat yang disuntikkan :

= 0,364 ml / 0,01 ml = 36,4skala

Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 18,2 gr

= 0,182 ml

Page 22: Analgetik File

VI. HASIL dan PEMBAHASAN

1. HASIL

Terlampir

2. PEMBAHASAN

Analgetika adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk

mengurangi atau menghalau rasa sakit atau nyeri. Tujuan dari percobaan

kali ini adalah mengenal, mempraktekkan, dan membandingkan daya

analgetika dari obat Morfin sulfat dan antalgin menggunakan metode

rangsang kimia. Percobaan ini dilakukan terhadap hewan percobaan, yaitu

mencit (Mus muscullus). Metode rangsang kimia digunakan berdasar atas

rangsang nyeri yang ditimbulkan oleh zat-zat kimia yang digunakan untuk

penetapan daya analgetika.

Percobaan menggunakan metode Witkins yang ditujukan untuk

melihat respon mencit terhadap asam asetat yang dapat menimbulkan

respon menggeliat dari mencit ketika menahan nyeri pada perut. Langkah

pertama yang dilakukan adalah pemberian obat-obat analgetik pada tiap

mencit. Setelah 5 menit I, mencit II, dan III, disuntik secara intraperitoneal

dengan larutan induksi asam asetat 3 %. Pemberian dilakukan secara

intraperitoneal karena untuk menncegah penguraian asam asetat saat

melewati jaringan fisiologik pada organ tertentu. Dan laruran asam asetat

Page 23: Analgetik File

dikhawatirkan dapat merusak jaringan tubuh jika diberikan melalui rute

lain, misalnya per oral, karena sifat kerongkongan cenderung bersifat tidak

tahan terhadap pengaruh asam.

Larutan asam asetat diberikan setelah 30 menit karena diketahui

bahwa obat yang telah diberikan sebelumnya sudah mengalami fase

absorbsi untuk meredakan rasa nyeri. Selama beberapa menit kemudian,

setelah diberi larutan asam asetat 3 % mencit menggeliat dengan ditandai

perut kejang dan kaki ditarik ke belakang. Jumlah geliat mencit dihitung

setiap 5 menit. Pengamatan yang dilakukan agak rumit karena praktikan

sulit membedakan antara geliatan yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari

obat atau karena mencit merasa kesakitan akibat penyuntikan

intraperitoneal pada perut mencit.

Obat analgetik yang memiliki daya analgetik dari grafik yang tidak

terlalu tinggi adalah morfin sulfat, Sedangkan analgetik yang

menunjukkan aktivitas paling tinggi adalah Antalgin.

Dari hasil percobaan yang dilakukan juga terlihat perbedaan jelas

antara pemberian Antalgin dengan Morphin SO4. Pemberian Antalgin

pada dosis 300 mg/Kg BB jumlah geliatnya lebih banyak dibandingkan

pemberian Morfin pada dosis 10 mg/Kg BB. Hal ini tidak sesuai dengan

teori yang ada, kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :

Penggunaan spuit yang terlalu besar, tidak cocok dengan ukuran

penyuntikan mencit.

Kurang mengamati reaksi yang ditimbulkan mencit setelah

pemberian obat, misalnya gerak geliat dari mencit.

Mencit yang diberikan morfin dan antalgin menunjukkan reaksi

yang jauh berbeda, di mana hilangnya nyeri lebih cepat dirasakan oleh

mencit yang diberikan morfin daripada yang diberikan antalgin.

Hal ini disebabkan karena morfin merupakan obat analgetik yang

bekerja langsung pada susunan saraf pusat dengan mengubah efek nyeri

pada susunan saraf pusat, sehingga penderita tidak lagi merasakan sakit

ataupun nyeri. Sedangkan antalgin merupakan obat analgetik non opioid

Page 24: Analgetik File

yang bekerja dengan menghambat kerja enzim siklooksigenase yang

merupakan pemacu terlepasnya mediator nyeri, sehingga rasa nyeri

berkurang karena pelepasan mediator nyeri telah dihambat. Namun, karena

kerjanya pada perifer, maka efek terapinya lebih lama dibandingkan

dengan analgetik opioid(Zunilda dan Elysabeth, 2007).

VII. KESIMPULAN dan SARAN

VII. I Kesimpulan

Efek pada nilai ambang sakit yang disebabkan oleh asam asetat pada

mencit dapat ditandai dengan timbulnya respon geliat pada mencit

tersebut.

Pemberian antalgin dapat menghilangkan rasa nyeri tanpa mempengaruhi

SSP ditandai dengan peningkatan jumlah geliat.

Pemberian morfin dapat mengurangi rasa nyeri dengan kerja terhadap

reseptor opioid khas di SSP, ditandai dengan jumlah geliat yang sedikit

VII. 2 Saran

Page 25: Analgetik File

VIII. DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara, Sulistia G (Ed), 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Balai

Penerbit Falkultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Katzung, Bertram G., 1986, Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika,

Jakarta.

Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja, 2007, Obat-obat Penting, PT Gramedia,

Jakarta.

Schmitz, Gery ; Lepper,Hans ; Heidrich,Michael , 2008, FARMAKOLOGI dan

TOKSIKOLOGI edisi 3, penerbit buku kedokteran.EGC. Jakarta.

Puspitasari, Hesti dkk. 2003. Aktivitas analgetik ekstrak Umbi teki (Cyperus

rotundus L. ) pada mencit putih ( Mus musculus L. ) jantan.

http://biosains.mipa.uns.ac.id/F/F0102/F010203.pdf .20maret 2013

Seta, Linus Adi Nugraha . 2011. ANALGETIKA.

http://september.ucoz.com/farmakologi/Analgetik.pdf 20maret 2013