Anailisis Karakteristik Mekanikal dari Bambu Laminasi dengan Sudut ±45° Sebagai Kulit Kapal Berukuran 5 GT
Hubert, Sunaryo
Program Studi Teknik Perkapalan, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok
E-mail : [email protected]
Abstrak Keterbatasan kayu sebagai material utama dalam pembuatan kapal kayu tradisional di Indonesia mendorong keinginan untuk mencari material yang memiliki karakteristik mekanikal yang serupa. Salah satu material yang mungkin menjadi solusi adalah bambu yang dilaminasi karena kekuatan sebilah bambu masih belum bisa mennyaingi ketangguhan dari kayu. Spesies bambu yang memiliki tingkat ketangguhan hampir menyerupai kayu setelah dilaminasi adalah bambu Betung (Dendrocalamus Asper). Laminasi bambu Betung dapat dijadikan bahan alternatif untuk keperluan maritim menggantikan kapal kayu tradisional karena waktu panen yang lebih cepat, pembuatan komponen kapal lebih mudah, dan ketika dilaminasi dengan 4 lapisan dengan serat yang searah memiliki nilai MOR=740.48272 kg/cm2 dan MOE=49391 kg/cm2 yang sudah memenuhi standar BKI untuk kapal kayu tahun 1996 untuk penggunaannya sebagai material bottom shell dan side shell untuk kapal kayu dengan dimensi 5 GT.
Mechanical Analysis of ±45° Laminated Bamboo as 5 GT Boat Shells
Abstract The shortage of wood as the main material in traditional boat building in Indonesia means that it is necessary to find a material with similar mechanical characteristic. One solution is the use of laminated bamboo material since a single bamboo is still inferior to wood in terms of its mechanical properties. One species of the bamboo used is a laminated Betung Bamboo (Dendrocalamus Asper) which strength is on par with wood. Laminated Betung Bamboo can be used as a wood alternative to the boat building because of faster harvest time, easier component manufacturing, and when is laminated by 4 layers with unidirectional fiber will have a MOR=740.48272 kg/cm2 and MOE=49391 kg/cm2 which comply with the 1996 BKI Standard for the use of bottom shell and side shell material in a wooden ship with a dimension of 5 GT. Keywords: Betung Bamboo, BKI, Laminated Hybrid Composite, Mechanical Properties, Wooden Boat Pendahuluan Seiring dengan pesatnya perkembangan ekonomi serta peningkatan populasi
manusia menyebabkan peningkatan jumlah permintaan untuk bahan mentah. Salah satu bahan
mentah yang perlu diperhatikan adalah kayu, bahan mentah ini menjadi sorotan karena
pasokan kayu yang tersedia akan berkurang karena tuntutan biomassa global untuk generasi
energi hijau. Akibatnya, pencarian bahan baku alternatif untuk menggantikan penggunaan
kayu dibutuhkan. Menurut Pannipa Chaowana (2013), bahan baku alternatif yang cocok
diharapkan memiliki biaya yang lebih murah, lebih cepat tumbuh, memiliki ketersediaan yang
banyak, memiliki sifat fisik dan mekanik sebanding dengan kayu, dan harus memiliki
Analisis Karakteristik ..., Hubert, FT UI, 2016
kecocokan dengan teknologi pengolahan yang ada saat ini. Salah satu opsi yang mungkin
memenuhi persyaratan tersebut yaitu bambu, karena bambu merupakan salah satu bahan
bangunan tertua yang digunakan oleh umat manusia di daerah tropis dan subtropis. Bambu
sudah banyak digunakan untuk keperluan konstruksi dan produk rumah tangga.
Pada negara Indonesia penggunaan kapal-kapal tradisional yang terbuat dari kayu
masih cukup banyak digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Kapal tradisional tersebut masih
berbahan dasar kayu dan digunakan sebagai sarana transportasi dan rekreasi. Sehubungan
dengan bambu sebagai bahan alternatif yang dapat digunakan untuk mengganti kayu untuk
bahan baku dari kapal tradisional ini maka hal pertama yang harus diperhatikan adalah segi
keselamatannya. Salah satu faktor keselamatan dari kapal adalah dengan ketangguhan
lambung kapal dalam menahan gaya aksi dari muatan yang dibawanya dan dapat menahan
gaya reaksi dari air laut yang berada di bawah kapal. Dengan adanya kasus ini maka
dibutuhkan sebuah susunan/konstruksi bambu yang meningkatkan nilai ketangguhannya
dalam menghadapi rintangan di laut, salah satunya yaitu bambu yang diolah menjadi produk
laminasi bambu. Pembuatan laminasi bambu tidaklah mudah, bambu yang digunakan harus
memiliki kriteria sedemikian rupa sehingga bambu tersebut dapat dirangkai dan diisi dengan
perekat sehingga melekat dengan baik dan memiliki nilai ketangguhan yang baik.
Berdasarkan syarat bahan alternatif oleh Pannipa, Chaowana (2013), yaitu bahan baku
alternatif yang cocok diharapkan memiliki biaya yang lebih murah, lebih cepat tumbuh,
memiliki ketersediaan yang banyak, memiliki sifat fisik dan mekanik sebanding dengan kayu,
dan harus memiliki kecocokan dengan teknologi pengolahan yang ada saat ini. Salah satu opsi
yang mungkin memenuhi persyaratan tersebut yaitu bambu, karena bambu merupakan salah
satu bahan bangunan tertua yang digunakan oleh umat manusia di daerah tropis dan subtropis
karena ketersediaan dan reliabilitas yang tinggi mengenai kekuatan dan ketangguhannya.
Bambu sesungguhnya merupakan tanaman jenis rumput-rumputan yang memiliki batang kayu
yang kuat dan keras sehingga sering digunakan sebagai alat bantu kebutuhan sehari-hari
seperti konstruksi, barang-barang rumah tangga, makanan, arang, kertas, papan komposit
(Pannipa Chaowana, 2013, p.3). Bambu lebih dikenal karena kekuatan dan ketangguhannya
sehingga banyak digunakan untuk konstruksi pada zaman dahulu hingga sekarang sebagai
jembatan. Selain penggunaannya di darat sebagai bahan konstruksi jembatan, penggunaan
bambu juga diterapkan di wilayah perairan untuk menjadi rakit untuk menyebrangi sungai-
sungai di daerah pedalaman.
Keunggulan lain dari Tanaman bambu, yaitu bisa mencapai tinggi maksimum dalam
waktu 4 sampai 6 bulan dengan kenaikan harian 15 sampai 18 cm. Bambu dapat memiliki 40
Analisis Karakteristik ..., Hubert, FT UI, 2016
sampai 50 batang dalam satu rumpun, yang menambahkan 10 sampai 20 batang tahunan
(Aminuddin, & Abd. Latif, 1991). Selain itu, rata-rata batang bambu dewasa bisa dipanen
dalam waktu 3 sampai 6 tahun. Dapat dikatakan bahwa pertumbuhan bambu lebih cepat
dibandingkan tanaman lain di Bumi (Lee & Perry, 1994; Wong, 1995)
Morfologi Bambu Karakteristik utama bambu dibagi menjadi batang dan rimpang (Zhang et al., 2002;
Jiang, 2007). Pemetaan dari bagian bagian pada bambu secara jelas dapat dilihat pada gambar
2.1. Pada gambar tersebut, terdapat pembesaran pada bagian ruas dimana pada ruas terbagi
menjadi bagian kulit, batang, batang bagian dalam dan buku. Bambu terbagi menjadi 2 jenis
berdasarkan cara pertumbuhannya, yaitu ada bamboo yang sifatnya menggumpal (clumping
bamboo) dan ada yang sifatnya menjalar (running bamboo).
Gambar 1. Morfologi Bambu Rimpang adalah bagian bambu yang berada di bagian bawah tanah dan batang adalah
bagian bambu yang ada diatas tanah.
Pemilihan Spesies Bambu Bambu memiliki banyak sekali jenisnya, dengan berbagai keuntungan dan kerugian
masing-masing jenisnya. Dalam penggunaan bambu sebagai bahan laminasi dan keperluan
sebagai lambung kapal, perlu digunakan bambu yang mampu bekerja pada kondisi
pembebanan yang cukup besar dan memiliki nilai kekuatan yang cocok untuk ukuran kapal
tertentu sehingga kapal yang akan dibuat nantinya akan memiliki nilai ketangguhan yang
Analisis Karakteristik ..., Hubert, FT UI, 2016
optimal. Berkaitan dengan hal tersebut maka berikut adalah beberapa jenis bambu yang sering
digunakan di dalam industri mebel dan kerajinan yaitu jenis Wulung (hitam), Legi, Tutul, Ori,
Betung, Ampel, Wuluh, Apus, dan Ater (Berlian dan Rahayu, 1995). Alasan dari penggunaan
bambu sebagai bahan mentah dari pembuatan mebel yang sekaligus menjadi gagasan pula
untuk bahan mentah dari pembuatan laminasi bambu yang akan digunakan menjadi bahan dari
lambung kapal, yaitu mempunyai tingkat kekerasan yang tinggi, mudah dibudidayakankan,
tersedia dalam jumlah banyak, mempunyai variasi ukuran yang besar dan keawetannya mudah
ditingkatkan dengan perlakuan sederhana (Kasmudjo, 1998).
Jika diambil bambu yang memiliki karakteristik menyerupai dengan kayu dengan
tujuan untuk dibuat menjadi papan laminasi. Pada gambar 2 adalah variasi secara
makroskopis dari 4 jenis bambu (Dendrocalamus asper, Gigantochloa bambos, Gigantochloa
hasskarliana, dan Phyllostachys edulis) dan populasi yang banyak.
Gambar 2. Variasi karakteristik makroskopik dari empat spesies bambu untuk (a) panjang ruas, (b) diameter ruas bagian
luar, dan (c) ketebalan dinding
Analisis Karakteristik ..., Hubert, FT UI, 2016
Selain itu bambu Betung juga memiliki penyebaran yang tersebar di Indonesia dan
populasi yang banyak.
Penggunaan Laminasi Bambu Invoasi yang dilakukan dan dicari adalah menggunakan bahan pengganti kayu tetapi
memiliki kekuatan mirip seperti kayu. Opsi pengganti kayu yang mungkin digunakan dan
memiliki populasi yang banyak sehingga dapat dijadikan sebuah bahan baku pengganti kayu.
Dalam pembuatan kapal diperlukan material yang dapat menahan kapal ketika terjadi
sagging, hogging, serta dapat memungkinkan kapal untuk melakukan six degrees of freedom
(6DoF). Untuk mengatasi hal tersebut, salah satu alternatif yang digunakan yaitu
menggunakan bambu.
Keunggulan kekuatan bambu betung masih belum cukup untuk mengatasi gaya pada
kapal sehingga ada inovasi dimana bambu Betung dibuat menjadi sebuah papan atau dengan
kata lain dibuat menjadi sebuah laminasi bambu.
Pada Gambar 3 terdapat gambar yang berisikan orientasi sampel dari rencana
penelitian ini, yaitu pada lapisan pertama bersudut 00 dilanjutkan dengan lapisan kedua 450 ke
kiri dari lapisan pertama dan lapisan ketiga 450 ke kanan dari lapisan pertama, terakhir ditutup
kembali dengan orientasi lapisan mirip dengan lapisan pertama. Sehingga total lapisan
menjadi 4 lapis dan diharapkan variasi dari lapisan kedua dan ketiga memiliki peranan untuk
mengantisipasi gaya yang datang dari sudut yang searah dengan seratnya.
Material komposit dalam penelitian ini tergolong kedalam komposit hybrid karena
matriks yang digunakan adalah epoxy dan serat yang digunakan bersifat organik (bambu),
serta adanya perbedaan arah serat dari lapisan 1 dengan lainnya (multidirectional).
Gambar 3. Orientasi Rencana Sampel Pengujian
Analisis Karakteristik ..., Hubert, FT UI, 2016
Pemberian sudut 450 memberikan kecenderungan nilai kekakuan, kekuatan, dan
kekuatan geser yang lebih kecil dibandingkan dengan sudut 00. Karena menurut Trisnaning
(2012), pada penelitiannya yang membahas mengenai produk cross laminated timber kayu
Manii dengan paku didapatkan kesimpulan semakin jauh garis atau bidang sambungan dari
bidang netral, maka nilai kekakuan lentur semakin tinggi dan sebaliknya nilai kekuatan
lenturnya semakin rendah. Berdasarkan hal tersebut maka menunjukkan bahwa dengan
pemberian sudut terhadap papan laminasi memberikan penurunan kekuatan dari laminasi
tersebut, tetapi pengujian tersebut merupakan hasil yang didapat berdasarkan pembebanan
dari 1 titik tanpa memberikan pembebanan yang serupa dengan pembebanan di kulit kapal
pada sesungguhnya, yaitu pembebanan secara 3 dimensi.
Metode Pembuatan Sampel Bambu merupakan spesies tumbuhan yang unik karena karakteristik mekanikalnya
sangat bergantung pada parameter mikronya, yaitu tinggi batang, posisi batang, kadar air, dan
kepadatan. Oleh karena itu pengujiannya diperlukan estimasi dan pengalaman yang banyak
sehingga hasilnya akan sesuai seperti yang diharapkan. Terlebih ketika memperhitungan
bambu kedalam komposit dengan jenis perekat sejenis dengan epoxy dan adanya perlakukan
terhadap bambu seperti pengawetan.
Material komposit hybrid masih menjadi variasi dari komposit yang menyebabkan
adanya kendala dalam penyesuaian komposit hybrid terhadap peraturan pengujian material
yang belum ada untuk material komposit hybrid dan penggunaannya masih dalam kasus yang
khusus sehingga pengujian didasarkan kepada penelitian yang menyerupai dengan rencana
sampel, dengan menggunakan data kekuatan dari bambu Betung secara individu dan data
kekuatan dari bambu Betung yang sudah dijadikan bambu laminasi.
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan secara makroskopis dimana dalam
penelitian ini komposit yang direncanakan dianggap bambu yang berperan dalam nilai
kekuatan dari komposit bambu laminasi dan matriks hanya berperan sebagai perekat.
Berdasarkan asumsi tersebut maka penelitian yang dilakukan oleh Nugroho, Basuki, &
Hariyanto (2011) dan Ulfa, Mariah (2014) dapat dibandingkan meskipun memiliki jenis
perekat yang cenderung berbeda.
Penelitian oleh Nugroho, Basuki, & Hariyanto (2011) merupakan eksperimen
pengujian tarik (tensile strength), dengan menyusun lapisan komposit yang dapat di
ilustrasikan pada gambar 4. Gambar 4 memiliki komposisi, yaitu
Analisis Karakteristik ..., Hubert, FT UI, 2016
• Bambu Betung dengan kayu Jati (3 lapis dan 5 lapis)
• Bambu Betung dengan kayu Bangkirai (3 lapis dan 5 lapis)
• Bambu Betung dengan kayu Keruing (3 lapis dan 5 lapis)
• Kayu Jati (3 lapis dan 5 lapis)
• Bambu Betung (3 lapis dan 5 lapis)
• Kayu Jati (solid).
Standar uji yang digunakan adalah ASTM (American Standard for Testing and
Materials) volume 04.10 Wood yaitu D 143, pengujian tarik (tensile strength) dengan ukuran
25 mm x 50 mm x 460 mm, radius 444 mm. (seperti pada gambar 5)
Berikut adalah model dari pengujian tarik yang telah dilakukan:
Gambar 4. Model penampang spesimen dari masing-masing laminasi
Analisis Karakteristik ..., Hubert, FT UI, 2016
Gambar 5. Dimensi Sampel Pengujian Tarik ASTM D143-94 (2000)
Perekat yang digunakan untuk merekat laminasi tersebut yaitu lem Phenol
Formaldehyde Adhesive (PA-302) karena lem ini termasuk salah satu jenis perekat WBP
(Weatherproof and Boilingproof).
Perhitungan menggunakan rumus:
!"# = !∆!"!!!!
!"!"! (1)
!"# = ∆!"!!
!∆!"!!!"
!"! (2)
!!" = !!"!!!!
!"!"! (3)
Dimana:
MPL : Tegangan proporsional (kg/cm2)
MOE : Keteguhan lentur (kg/cm2)
MOR : Modulus patah (kg/cm2)
ΔP : Beban dibawah batas proporsi (kg)
L : Jarak sangga contoh uji (cm), (28cm)
ΔY : Defleksi yang terjadi akibat beban P (cm)
B : Lebar penampang contoh uji (cm)
H : Tinggi penampang contoh uji (cm)
B : Beban maksimum sampai patah (kg)
Analisis Karakteristik ..., Hubert, FT UI, 2016
Penelitian yang dilakukan oleh (Ulfa, Mariah 2014) adalah penelitian yang membahas
mengenai sifat fisis dan mekanis dari laminasi bambu Betung dengan percobaan pada
laminasi bambu Betung yang dibuat menjadi 2 lapisan, 3 lapisan, dan 4 lapisan dengan serat
yang searah.
Gambar 6. Orientasi Prosedur Persiapan Sampel
Proses pemotongan bambu untuk 4 lapisan, yaitu memilih sampel dengan kadar air
±15%. Pembelahan bambu sesuai dengan Gambar 6 dan dibentuk menjadi bilah berukuran 30
cm x 2.5 cm x 0.45 cm sebanyak 96 bilah.
Setelah pemotongan selesai, dilanjutkan dengan proses perekatan dengan proses
pelaburan perekat dilakukan satu per satu pada masing-masing bilah bambu secara perlahan-
lahan dan menggunakan metode pelaburan dua permukaan (double spread) menggunakan
sekrap dan dengan jumlah perekat sebanyak 114.75 gram untuk 4 lapisan laminasi. Untuk
sampel 4 lapisan, sebanyak 4 bilah bambu berukuran 30 cm x 2.5 cm x 0.45 cm direkatkan ke
arah tebal (membentuk balok laminasi berukuran 30 cm x 2.5 cm x 1.8 cm) dibuat sebanyak 4
buah sehingga dihasilkan 4 buah laminasi bambu berukuran 30 cm x 2.5 cm x 1.8 cm.
Kemudian keempat laspisan laminasi bambu tersebut direkatkan ke arah lebar hingga
dihasilkan sebuah laminasi bambu berukuran 30 cm x 10 cm x 1.8 cm (seperti pada gambar
7). Diperlukan sebanyak 3 sampel sehingga dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali.
Gambar 7. Orientasi Sampel 4 Lapisan
Analisis Karakteristik ..., Hubert, FT UI, 2016
Diperlukan sebanyak 3 sampel sehingga dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali.
Selanjutnya dilakukan pemotongan untuk menyesuaikan sampel dengan peraturan pengujian
yang berkaitan, yaitu
• Contoh uji kadar air 2 cm x 2 cm x 1,8 cm
• Contoh uji delaminasi 7,5 cm x 7,5 cm x 1,8 cm
• Contoh uji daya serap air 5 cm x 5 cm x 1,8 cm
• Contoh uji keteguhan rekat permukaan 5 cm x 5 cm x 1,8 cm
• Contoh uji bending strength 30 cm x 1 cm x 1,8 cm
Berikut adalah rumus yang berkaitan dengan perhitungan pada penelitian ini:
Pengujian Keteguhan Rekat Permukaan (KRP)
!"# = !! (4)
Keterangan:
KRP : Keteguhan Rekat Permukaan (MPa)
F : Gaya maksimum (N)
A : Luas permukaan (mm2)
Setelah mendapatkan data pengujian maka dilakukan pengecekan nilai kekuatan dapat
dibandingkan dengan peraturan BKI pada bagian “Kelas Kuat” dan estimasi mengenai
keawetan dari bambu Betung pada bagian “Kelas Awet”. Selain itu peraturan BKI memiliki
syarat minimum mengenai kekuatan tarik, yaitu kekuatan tarik minimal 430 kg/cm2 pada arah
memanjang. Dilanjutkan dengan mengestimasi dimensi kapal yang dapat diterapkan sistem
laminasi bambu ini. Pengestimasian dilakukan dengan cara memasukkan data kekuatan dari
gaya maksimum yang diterima oleh bambu ke rumus untuk menghitung kayu penguat pada
peraturan BKI untuk kapal kayu dan dilanjutkan dengan penambahan nilai faktor keamanan
sehingga nantinya kapal tersebut akan memiliki umur yang lebih lama dan kinerja dalam
pengoperasian normal sangat baik.
Setelah mendapatkan nilai kekuatan dari papan laminasi tersebut, diperlukan juga
perhitungan tebal yang menjadi syarat dari kapal untuk penggunaannya pada kulit kapal,
dimana menggunakan rumus:
! = 0.0452. !! . !.!!!!"
!! (5)
Keterangan:
t : Tebal kulit kapal (mm)
fk : Faktor untuk plat panel lengkung (fk =1)
Analisis Karakteristik ..., Hubert, FT UI, 2016
b : length of span / frame of spacing (mm)
Pd : Pembebanan pada material (kN/m2)
σRm :Ultimate bending strength untuk komposit (N/mm2)
Hasil dan Diskusi Pada pembahasan didapatkan bahwa bambu memiliiki karakteristik yang unik dimana
bambu sangat berpengaruh berdasarkan sifat-sifat mikroskopiknya maka bambu bagian
bambu yang mencapai kategori optimal merupakan bambu yang dipilih berdasarkan
pengalaman dan penujian yang banyak. Tetapi berdasarkan penelitian yang ada, dapat
disimpulkan bahwa bagian-bagian tertentu memiliki kekuatan yang optimal berdasarkan
fungsi yang sudah ditetapkan pada awalnya.
Secara anatomi, bagian bambu terbagi menjadi rizoma dan batang. Dalam penerapan
bambu sebagai bahan alternatif kayu, bagian rizoma memiliki tekstur yang kurang konsisten
dan memiliki tingkat kekerasan yang lunak jika dibandingkan dengan bagian batang diatas
permukaan tanah. Berdasarkan Supomo, H; Manfaat, Djauhar; & Zubaydi, Achmad (2014)
bagian yang dianggap optimal dari segi tinggi adalah bambu yang sudah mencapai tinggi
lebih dari 2 meter diatas tanah karena secara mikroskopis bagian tersebut sudah tidak
menambah tinggi tetapi bertambah diameternya (seperti pada gambar 8).
Gambar 8. Bagian Optimal Dari Bambu Bentuk dari papan laminasi yang direncanakan memiliki batas panjang dan lebar
tertentu yang menyebabkan pembuatan dari komposit berbahan organik bambu cukup sulit,
salah satu faktor kesulitan yang besar yaitu ketika memotong bagian bambu agar
Analisis Karakteristik ..., Hubert, FT UI, 2016
mendapatkan bagian bambu untuk dibuat menjadi sebuah papan yang datar. Berangkat dari
ide manufaktur tersebut maka bambu dari awalnya sudah diberikan ukuran lebar maksimum 4
cm karena jika lebih dari 4 cm maka kemungkinan besar potongan bambu sudah memiliki
kelengkungan yang sulit untuk di toleransi dalam pembuatan papan datar. Dalam pembuatan
papan komposit datar diperlukan juga keseragaman ukuran dari potongan-potongan bambu
sehingga mempermudah proses perekatan.
Selain dari lebar, dimensi tebal dari bambu yang dipilih juga memiliki peranan yang
penting dalam mempermudah bambu yang akan dilaminasi, yaitu sekitar 2-3 mm karena
bagian yang diambil adalah bagian luar bambu yang tidak beserakan cacat bambu dan tanpa
bagian kulitnya.
Karena dalam komponen kapal diperlukan material dengan karakteristik dan sudut-
sudut khusus sehingga pada bagian tertentu pada kapal tidak dapat menggunakan papan
komposit datar maka diperlukan modifikasi, yaitu membentuk sudut dari laminasi bambu
Betung sehingga mendapatkan sudut kelengkungan yang sesuai dengan yang diharapkan.
Salah satu cara dalam melengkungkan bambu Betung yaitu kadar air dari bambu dikontrol
sehingga lebih mudah untuk ditahan pada sudut yang diinginkan dan dibiarkan mengeras pada
sudut tersebut.
Karakteristik Mekanikal Bambu Betung Berdasarkan Liese (1985) karakteristik mekanikal dari spesies bambu Betung, yaitu
Modulus of Rupture (MOR)=85.7 MPa, Modulus of Elasticity (MOE)=6300 MPa, Shear
strength parallel to grain=5.4 MPa, dan Compression strength parallel to grain=31.5 MPa.
Semakin besar nilai MOR berarti material tersebut semakin kuat dalam menahan gaya
sesaat sebelum pecah dan biasanya MOR digunakan sebagai parameter untuk menentukan
kekuatan keseluruhan pada material kayu. Jika nilai MOE tinggi, berarti material tersebut
mampu menahan gaya yang cukup besar dengan memberikan respon defleksi pada material
tersebut.
Berdasarkan analogi ini maka bambu yang cukup optimal yaitu spesies
Dendrocalamus Asper karena di dalam pengunaan maritim, dibutuhkan material yang tidak
hanya kuat tetapi mempu untuk menahan gaya dari arah serat yang sama sehingga seharusnya
dibuat bambu Betung laminasi dengan adanya perbedaan arah serat dari lapisan yang satu
dengan lainnya (multidirectional). Geometri dari penjelasan ini dapat dilihat pada gambar 3.
Analisis Karakteristik ..., Hubert, FT UI, 2016
Gambar 9. Hasil pengujian kekuatan tarik oleh Nugroho, Nur Y.; Basuki W., Ahmad; & Hariyanto, Nanang (2011)
Data pada gambar 9 menunjukkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugroho,
Basuki, & Hariyanto (2011). Pada penelitian itu, mereka membandingkan hasil kekuatan tarik
dengan kayu jati dan berdasarkan data yang diperoleh bambu yang memiliki kekuatan yang
dapat menggantikan kayu jati adalah bambu Betung dengan 5 lapisan dengan kekuatan tarik
sebesar 925.6034 kg/cm2.
Hal ini didapatkan karena ketika lapisan pada laminasi bambu bertambah maka
bertambah pula nilai kekuatannya karena jika dibahas secara mikroskopis maka
perekat/matriks memiliki fungsi sebagai komponen yang memberikan distribusi keuletan dari
komposit ini.
Jika diambil perhitungan secara kasar dengan menyocokan perhitungan dari penelitian
oleh Nugroho, Basuki, & Hariyanto (2011) dengan penelitian ini secara makroskopis dimana
matriks berperan hanya sebagai perekat saja maka bisa dikatakan bahwa kekuatan Tarik
sampel uji multidirectional 4 lapisan memiliki kekuatan 4/5 dari 925.6034 kg/cm2 sehingga
didapat nilai sekitar 740.48272 kg/cm2. Dengan hasil tersebut jika dibandingkan dengan
peraturan BKI untuk kapal kayu, kekuatan Tarik minimal yaitu 430 kg/cm2 masih menjadi
batas aman terlebih lagi dengan asumsi bahwa sampel uji multidirectional 4 lapisan dianggap
memiliki serat yang searah dengan gaya Tarik ketika pengujian Tarik dilaksanakan sehingga
ketika penerapan di lapangan kekuatan bambu laminasi dengan multidirectional 4 lapisan
memiliki ketangguhan yang lebih baik.
Data pengujian sifat mekanis yang telah dilakukan menghasilkan data MOE, MOR,
defleksi, dan KRP seperti pada tabel 1.
Analisis Karakteristik ..., Hubert, FT UI, 2016
Tabel 1. Nilai rata-rata hasil pengujian sifat mekanis papan laminasi bambu Betung
Jumlah Lapisan
Posisi Pengujian
Sifat Mekanis
Pengujian Bending Strength Pengujian KRP
MOE (kgf/cm2)
MOR (kgf/cm2)
Perubahan Defleksi
(mm) KRP (Mpa)
4 lapisan Arah Lebar 1645.03 888.24 2.84 1.52 Arah Tebal 49391 1684.57 1.47 2.11
Pengujian diatas merupakan pembuktian dari pengaruh besarnya luasan bidang ikat
terhadap MOE, karena pada bagian arah tebal memiliki luas permukaan yang besar jika
dibandingkan dengan arah lebar dengan nilai MOE pada arah tebal yang lebih besar
dibandingkan dengan arah lebar. Selain itu, karena luasan yang besar, gaya yang diberikan
kepada komposit melalui arah tebal akan lebih terdistribusikan dengan baik dibandingkan
dengan luasan kecil yaitu arah lebar.
Secara mikroskopis, di dalam bambu terdapat pula komponen yang bernama vascular
bundle dimana bagian tersebut bisa dikatakan membantu struktur serat pada bambu dalam
perihal kekuatan mekanik. Hal ini juga dibuktikan melalui lebih besarnya nilai MOE pada
bagian arah tebal dibandingkan arah lebar karena frekuensi vascular bundle yang lebih
banyak.
Berdasarkan hal tersebut, nilai MOE yang didapat yaitu 49391 kg/cm2 untuk arah tebal
dan 1645.03 kg/cm2 untuk arah lebar.
Pembahasan tentang MOR mirip dengan MOE, hasil yang didapatkan menunjukkan
bahwa nilai MOR pada arah tebal lebih besar dibandingkan dengan arah lebar. Hal ini masih
dipengaruhi oleh distribusi gaya tekuk terhadap luasan.
Laminasi bambu Betung ini juga memiliki 4 lapisan sehingga kekuatannya dapat
didistribusikan dan ditahan lapis per lapis, terlebih jika matriks memiliki sifat ulet yang cukup
baik sehingga laminasi bambu Betung memiliki nilai kekuatan yang semakin besar lagi.
Besarnya nilai MOR juga dipengaruhi oleh adanya vascular bundle di dalam bambu,
dengan kata lain semakin banyak wilayah bambu yang digunakan untuk menahan gaya tekuk
maka frekuensi vascular bundle juga semakin banyak sehingga kekuatan bambu semakin
bertambah.
Nilai MOR yang didapat dari penelitian ini jika dibandingkan dengan peraturan BKI
untuk kapal kayu tahun 1996 pada bagian kayu lapis masih memenuhi standar, yaitu kuat
Analisis Karakteristik ..., Hubert, FT UI, 2016
tarik minimum 430 kg/cm2 dengan hasil yang didapat 1684.57 kg/cm2 pada arah memanjang
dan 320 kg/cm2 dengan hasil yang didapat 888.24 kg/cm2 pada arah melintang. Jika dilihat
material ini masih memiliki kekuatan yang sangat baik.
Mengenai defleksi pada material komposit dengan bentuk laminasi sangat berperan
pada banyaknya lapisan pada laminasi tersebut dan arah pembebanan kepada material
tersebut. Karena nilai MOE dari laminasi bambu Betung yang terdiri dari 4 lapisan cukup
besar maka nilai dari defleksinya cenderung rendah karena MOE dan defleksi memiliki
hubungan yang berbanding terbalik. Hal ini bisa dibuktikan melihat dari rumus persamaannya
pada (2). Nilai defleksi yang didapatkan yaitu 1.47 mm untuk arah tebal dan 2.84 mm untuk
arah lebar.
Mengenai keteguhan rekat permukaan hal ini merupakan parameter untuk menentukan
nilai kekuatan yang mampu dicapai atau dipertahankan oleh suatu material yang memiliki
komposisi perekat saat diberi beban tarik dengan arah berlawanan hingga bahan tersebut
rusak atau terlepas ikatan rekatnya, dengan kata lain menguji kesempurnaan proses
penyambungan material dengan matriksnya.
Nilai hasil percobaan yang didapatkan yaitu 1.52 MPa untuk arah lebar dan 2.11 MPa
untuk arah tebal. Nilai ini termasuk kategori cukup baik karena kedua nilai ini membuktikan
bahwa penyerapan dari matriks oleh serat komposit ini sudah baik dan hal ini bisa
dipengaruhi oleh perlakuan lainnya kepada bambu Betung sebelum dan sesudah proses
pengeleman.
Mengenai keteguhan rekat permukaan merupakan parameter untuk menentukan nilai
kekuatan yang mampu dicapai atau dipertahankan oleh suatu material yang memiliki
komposisi perekat saat diberi beban tarik dengan arah berlawanan hingga bahan tersebut
rusak atau terlepas ikatan rekatnya, dengan kata lain menguji kesempurnaan proses
penyambungan material dengan matriksnya.
Nilai hasil percobaan yang didapatkan yaitu 1.52 MPa untuk arah lebar dan 2.11 MPa
untuk arah tebal. Nilai ini termasuk kategori cukup baik karena kedua nilai ini membuktikan
bahwa penyerapan dari matriks oleh serat komposit ini sudah baik dan hal ini bisa
dipengaruhi oleh perlakuan lainnya kepada bambu Betung sebelum dan sesudah proses
pengeleman.
Perbandingan Dengan Peraturan BKI
Berdasarkan peraturan BKI, kedua penelitian ini memberikan nilai MOR 1684.57
kg/cm2 dan 740.48272 kg/cm2 dan keduanya memenuhi syarat penggunaan kayu lapis dalam
Analisis Karakteristik ..., Hubert, FT UI, 2016
peraturan BKI untuk kapal kayu tahun 1996. Selain itu, laminasi bambu Betung ini memiliki
nilai kekuatan yang tergolong kedalam kelas kuat I-II.
Mengingat bahwa perhitungan material ini dilakukan secara pendekatan dan
makroskopis, diharapkan benda uji asli 4 lapisan dengan perbedaan arah pada setiap
lapisannya seperti Gambar 2.4. Akan memiliki kekuatan yang lebih optimal karena pada
kedua penelitian yang menjadi perbandingan, sampel yang digunakan hanya menampung
gaya dengan serat yang searah sehingga pendistribusian gaya yang dilakukan masih
cenderung minim.
Berdasarkan peraturan BKI pula, laminasi bambu Betung dapat digolongkan kedalam
kelas awet. Karena bambu Betung memiliki karakteristik yang kurang baik terhadap pengerat
laut, maka laminasi bambu Betung yang tidak dilakukan pengawetan dimasukan kedalam
kelas awet IV-V dan bagi laminasi bambu Betung yang sudah mendapatkan perlakuan
pengawetan akan menambah nilai keawetannya dan bisa mencapai kelas awet III-V.
Berdasarkan penyesuaian ini, pada data yang ada dalam peraturan BKI untuk kapal
kayu tahun 1996 pada tabel “Jenis kayu yang dapat dipergunakan untuk bagian-bagian
konstruksi”, laminasi bambu Betung ini dapat digunakan pada kulit kapal, lunas, linggi,
gading, pondasi mesin, senta, geladak, dan konstruksi diatas garis air.
Perhitungan Laminasi Bambu Betung Sebagai Kayu Penunjang Pada Kapal 5 GT
Untuk melakukan perhitungan kelayakan atau batas gaya yang perlu ditahan oleh
laminasi bambu Betung, diperlukan adanya ukuran utama kapal yang akan diuji apakah
memiliki komponen material yang bisa diganti dengan laminasi bambu Betung. Jika
didasarkan pada pengalaman, kapal berukuran 5 Gross Tonnage (GT) dengan tujuan untuk
menangkap ikan kurang lebih memiliki dimensi sekitar: Tabel 2. Ukuran Utama Kapal 5 GT Bottom Gillnet
Main Dimension
!! 8.00 m
!! 13.50 m
L 10.75 m
Beam (B) 3.00 m
Depth (H) 1.10 m
Draft (T) 0.35 m
Dimana L1 dan L2 merupakan panjang yang dapat dilihat pada gambar 10 berikut:
Analisis Karakteristik ..., Hubert, FT UI, 2016
Gambar 10. Penjelasan Ukuran Kapal Pembebanan pada bagian kapal yang terberat terdapat pada bagian kayu penunjang
yang dalam peraturan BKI untuk kapal kayu tahun 1996 dibagi menjadi bottom shell dan side
shell. Pada gambar 11 adalah ilustrasi dimensi dari bottom shell dan side shell:
Gambar 11. Cara Perhitungan Kayu Penguat Pada Kapal Ikan Batas pembebanan dari kayu penunjang yang didasarkan pada peraturan BKI. Dalam
peraturan BKI terlihat bahwa faktor yang berperan hanya panjang kapal. Tabel 3. Syarat Perhitungan Kayu Penunjang
Hull Area/Position Motor Craft Sailing & Motor Craft Design Loading (kN/m2)
Bottom Shell ≥ 0.4 ! ÷ !"#$ 2.7 L + 3.29 3.29 L – 1.41 < 0.4 ! ÷ !"# 2.16 L + 2.63 2.63 L – 1.13
Side Shell ≥ 0.4 ! ÷ !"#$ 1.88 L + 1.76 2.06 L – 2.94 < 0.4 ! ÷ !"# 1.5 L + 1.41 1.65 L – 2.35
Analisis Karakteristik ..., Hubert, FT UI, 2016
Dengan mensubstitusi nilai estimasi kapal kayu tradisional berukuran 5 GT (tabel 3) diatas kedalam tabel 4 dengan menggunakan persamaan untuk sailing & motor craft sebagai acuan, maka akan didapat: Tabel 4. Perhitungan Kayu Penunjang Tanpa Faktor Keselamatan Hull Area/Position Sailing & Motor Craft
Bottom Shell ≥ 0.4 ! ÷ !"#$ 33.9575 !" !!
< 0.4 ! ÷ !"# 27.1425 !" !! Side Shell
≥ 0.4 ! ÷ !"#$ 19.205 !" !!
< 0.4 ! ÷ !"# 15.3875 !" !! Berdasarkan faktor keselamatan maka diperlukan adanya batas toleransi beban yang
cukup besar agar kapal yang akan dibuat memiliki kekuatan yang aman ketika mengalami
kondisi muatan penuh. Menurut BKI, faktor keselamatan yang perlu dihitung kedalam
pembebanan adalah 30% dari pembebanan ketika kondisi penuh muatan. Sehingga tabel
perhitungan gaya yang dibutuhkan untuk kayu penunjang melewati: Tabel 5. Perhitungan Kayu Penunjang Dengan Faktor Keselamatan Hull Area/Position Sailing & Motor Craft
Bottom Shell ≥ 0.4 ! ÷ !"#$ 44.14475 !" !!
< 0.4 ! ÷ !"# 35.28525 !" !! Side Shell
≥ 0.4 ! ÷ !"#$ 24.9665 !" !!
< 0.4 ! ÷ !"# 20.00375 !" !! Berdasarkan nilai MOR terendah dalam arti menggunakan nilai minimum dari
laminasi bambu Betung yaitu 740.48272 kg/cm2 jika berubah satuan menjadi 72617.7 kN/m2
dibandingkan dengan pembebanan pada tabel 4.6, maka laminasi bambu Betung dapat
digunakan sebagai bahan utama dari kapal berukuran 5 GT dengan ketebalan yang dapat
disesuaikan dengan proses manufaktur dari laminasi bambu tersebut.
Setelah menghitung kekuatannya, diperlukan perhitungan ketebalan dari laminasi
bambu Betung untuk penggunaannya sebagai kulit kapal dengan menggunakan persamaan
pada (5). Dengan menggunakan Length of span / frame of spacing sebesar 50 cm, maka
didapatkan: Tabel 6. Perhitungan Ketebalan dari Kayu Penunjang yang Diperlukan
Analisis Karakteristik ..., Hubert, FT UI, 2016
Hull Area/Position Sailing & Motor Craft Bottom Shell
≥ 0.4 ! ÷ !"#$ 5.518 mm < 0.4 ! ÷ !"# 4.933 mm
Side Shell ≥ 0.4 ! ÷ !"#$ 4.15 mm < 0.4 ! ÷ !"# 3.715 mm
Berdasarkan tabel 6 maka didapatkan bahwa ketebalan dari laminasi bambu Betung
yang diperlukan lebih besar dari 5.518 mm, berdasarkan perhitungan ini maka rencana dari
bambu laminasi yang diusulkan memiliki rata-rata ketebalan 12 mm dengan asumsi bahwa
tebal perekat diabaikan, dan jika diberikan perekat memiliki ketebalan ±15 !!. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa bambu laminasi dengan variasi sudut ±45° memiliki nilai
kekuatan dan ketebalan yang dapat diterapkan pada kapal berukuran 5 GT.
Kesimpulan Berdasarkan hasil data dan perhitungan, didapatkan beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
• Hasil pendataan menunjukkan bahwa laminasi bambu Betung (Dendrocalamus asper)
yang terdiri dari 4 lapis dengan serat yang searah memiliki nilai MOR=740.48272
kg/cm2 dan MOE=49391 kg/cm2 yang bisa berstandar BKI untuk penggunaannya
sebagai material kapal.
• Hasil perhitungan standar kekuatan kayu penunjang menunjukkan bahwa tegangan
maksimal yang dibutuhkan untuk bisa lolos uji dalam penggunaannya pada kapal
berukuran 5 GT berdasarkan peraturan BKI mengenai kapal kayu tahun 1996 yaitu
sebesar
44.14475 !" !! dan laminasi bambu Betung memiliki nilai MOR sebesar
72617.7 !" !! sehingga secara teknis kapal berukuran 5 GT termasuk kapal yang
sangat aman berdasarkan tegangan pada bottom shell dan side shell.
• Hasil perhitungan menunjukkan bahwa laminasi bambu Betung memiliki ketebalan
yang dapat diterapkan pada kapal kayu berukuran 5 GT pada bagian bottom shell dan
side shell.
Saran Pada penelitian ini, standar dalam pengujian material komposit jenis hybrid masih
mengalami kendala dikarenakan sulitnya membuat spesimen dengan golongan hybrid yang
Analisis Karakteristik ..., Hubert, FT UI, 2016
masih belum jelas standarisasinya sehingga disarankan penelitian ini selanjutnya
dibandingkan dengan karakteristik material yang nantinya akan dijadikan produk akhir. Pada
penelitian ini juga tidak disertakan faktor mikroskopis beserta adanya perlakuan-perlakuan
tertentu terhadap bambu Betung sebelum maupun sesudah dilaminasi.
Daftar Referensi Aminuddin, M., & Abd. Latif, M. (1991). Bambu in Malaysia: Past, present and future
research. In Proceeding 4th International Bambu Workshop: Bambu in Asia and the pacific
(pp. 349-354). Chaingmai, Thailand.
ASTM D 143–94 Standard Test Methods for Small Clear Specimens of Timber.
Berlian, N. dan Rahayu, E. (1995). Jenis dan Prospek Bisnis Bambu. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Biro Klasifikasi Indonesia. (1996). Peraturan Klasifikasi dan Konstruksi Kapal Kayu.
Jakarata.
Jiang, Z. H. (2007). Bambu and rattan in the world. People’s Republic of China: China
forestry publishing house.
Kasmudjo. (1998). Pengenalan Jenis dan Sifat-sifat Kayu untuk Kerajinan. Bagian Penerbitan
Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Lee, A. W. C., Xuesong, B., & Perry, N. P. (1994). Selected physical and mechanical
properties of giant timber bambu grown in South Carolina. Forest Product Journal, 44(9),
40-46.
Liese, W. (1985). Bambus-biology, silvics, properties, utilization. Deutsche Gesellschaft für
Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Eschborn, Germany.
Nugroho, Basuki, & Hariyanto. (2011). Analisis Kekuatan Tarik Laminasi Bambu Betung
(Dendrocalamus Asper) Sebagai Lapisan Luar Dengan Kayu Jati (Tectona Grandis L.f.)
Untuk Bahan Alternatif Konstruksi Kapal Kayu. Neptunus Jurnal Kelautan, Vol. 17, No. 2,
Juli 2011. Surabaya.
Othman, A. R.; A. L. Mohmod; W. Liese and N. Haron. (1995). Planting and Utilization of
Bambu in Peninsular Malaysia. Research Pamphlet No. 118, 1995. Forest Research Institute
Malaysia (FRIM). Kepong, 52109 Kuala Lumpur.
Analisis Karakteristik ..., Hubert, FT UI, 2016
Pannipa, Chaowana. (2013). Bambu: An Alternatif Raw Material for Wood and Wood-Based
Composites. Journal of Materials Science Research; Vol. 2, No. 2.
Supomo, H; Manfaat, Djauhar; & Zubaydi, Achmad. (2014). Flexural Strength Analysis of
Laminated Bamboo Slats (Bambusa Arundinacea) For Constructing a Small Fishing Boat
Shells. Trans RINA, Vol 167, Part B1, Intl J Small Craft Tech, Jan-Jun 2014.
Trisnaning A., Isya. (2012). Pengaruh Kombinasi Tebal Dan Orientasi Sudut Lamina
Terhadap Sifat Fisis Dan Mekanis Produk Cross Laminated Timber Kayu Manii (Maesopsis
eminii Engl.) Menggunakan Paku. Departemen Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor.
Ulfa, Mariah. (2014). Sifat Fisis dan Mekanis Laminasi Bambu Betung (Dendrocalamus asper
Backer Ex. Heyne) pada Berbagai Jumlah Lapisan dan Posisi Pengujian. Universitas
Sumatera Utara.
Wong, K. M. (1995). The bambus of Peninsular Malaysia. Forest Research Institute Malaysia
(FRIM) in collaboration with Forest Research Centre, Forestry Department, Sabah,
Malaysia.
Zhang, Q. S., Jiang, S. X., & Tang, Y. Y. (2002). Industrial utilization on bambu: Technical
report No. 26. The International Network for Bambu and Rattan (INBAR), People’s
Republic of China.
Analisis Karakteristik ..., Hubert, FT UI, 2016
Top Related