ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM
KOMUNIKASI TRANSGENDER DI KAWASAN
LAPANGAN KAREBOSI MAKASSAR
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh
NUR AZIZAH
NIM : 10533 5793 09
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDi
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2015
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM
KOMUNIKASI TRANSGENDER DI KAWASAN
LAPANGAN KAREBOSI MAKASSAR
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh
NUR AZIZAH
NIM : 10533 5793 09
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDi
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2015
1
ABSTRAK
Nur Azizah. 2014. Wujud Alih Kode dan Campur Kode dalam Ragam
Komunikasi Transgender di Kawasan Lapangan Karebosi Makassar. Skripsi.
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Pembimbing I Kamaruddin,
dan Pembimbing II ST. Suwadah Rimang.
Penelitian ini dilakukan dengan mendeksripsikan adanya jenis alih kode
dan faktor kode, serta faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode
dalam komunikasi transgender di Lapangan Karebosi, Makassar. Penelitian ini
menggunakan pendekatan deskriptif. Dat diperoleh dengan teknik menyimak
deskriptif tanpa partisipasi dan merekam. Data dianalisis dengan teknik analisis
deskriptif dengan langkah pengkodean dan pengklasifikasian. Dari hasil penelitian
diperoleh empat kesimpulan.
Pertama, jenis alih kode yang terdapat dalam penelitian ini adalah alih
kode berupa alih kode antar-bahasa dan antar-ragam. Kedua, faktor penyebab
terjadinya alih kode adalah pencapaian tujuan tertentu, perubahan topic
pembicaraan, dan penguasaan bahasa penutur. Ketiga, jenis campur kode yang
terdapat dalam penelitian ini adalah campur kode ke dalam dan campur kode ke
luar. Campur kode ke dalam meliputi campur kode penyisipan kata, frasa, dan
nama diri. Keempat, faktor peyebab terjadinya campur kode adalah pencapaian
tujuan tertentu, kondisi, kepraktisan, pengaruh ragam bahasa, dan perubahan
topik.
Kata Kunci: Alih Kode, Alih Kode Internal, Alih Kode Antar –Bahasa, Alih
Kode Antar-Ragam, Campur Kode
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Interaksi sebagai kebutuhan sosial yang urgen dalam kehidupan
masyarakat telah menempatkan fungsi bahasa sebagai alat dalam menyampaikan
hasil pikiran atau ide. Bahasa sebagai sarana berkomunikasi dalam kehidupan
sosial, tidak dapat dilepaskan dari peranan sistem penyusunnya, di antaranya
kode.
Definisi kode menurut Poejosoedarmo (dalam Ahdiryono, 2014) ialah
Suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri-ciri
khas sesuai dengan latar belakang penutur relasi penutur dengan lawan
bicara, dan situasi tutur yang ada.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kode adalah satuan pembentuk fungsi
bahasa yang paling dasar yang bertujuan untuk menyampaikan maksud dan tujuan
szxxyang ingin disampaikan oleh si pembicara kepada lawan bicaranya. Dalam
kajian linguistik, istilah kode sering dihubungkan dengan varian di dalam hierarki
kebahassan yang mengacu kepada variasi bahasa seperti varian regional, varian
kelas sosial, varian ragam, dan gaya rangkum dalam laras bahasam serta varian
kegunaan atau register. Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa kode
memliki hubungan dengan fungsi-fungsi sosial bahasa yang terdapat di dalam
komunikasi sehari-hari yang terjadi di lingkungan masyarakat penutur yang
mendukung terjadinya berbagai bentuk alih kode dan campur kode.
3
Hubungan bahasa dengan kode dalam ragam ranah komunikasi osial
kemasyarakatan semakin dipertegas dengan pendapat dari Owen (dalam
Ahdiryono, 2014) yang menjelaskan bahwa definisi bahasa yaitu:
Kode yang diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk
menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki
dan kombinasi symbol-simbol yang diatur oleh ketentuan.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat ditarik sebuah kesimpula bahwa
perpaduan antara kode dan fungsi-fungsi bahasa dalam tatanan sosial
kemasyarakatan telah berdampak pada timbulnya variasi dalam dialog yang
menggabungkan unsur-unsur kebahasaab yang dalam kajian ilmu linguistik
dikenal dengan alih kode dan campur kode.
Appel mendefinisikan alih kode itu sebagai “gejala peralihan pemakaian
bahasa karena berubahnya situasi” (dalam Chaer dan Agustina, 2010:107). Namun
berbeda dengan Appel yang berpendapat bahwa alih kode terjadi antar bahasa,
maka Hymes menyatakan bahwa “alih kode bukan hanya terjadi antar bahasa,
tetapi alih kode juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat
dalam suatu bahasa” (dalam Chaer dan Agustina, 2010:107). Berdasarkan
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa alih kode merupakan gejala peralihan
pemakaian bahasa karena perubahan peran dan situasi. Alih kode menunjukkan
adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasional yang
relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.
Sedangkan Kchru (dalam Ilmusastra, 2014) memberikan definisi bahwa
“campur kode merupakan pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling
memasukkan unsure-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara
4
konsisten.” Pengertiaan campur kode yang lebih dipertegas lagi oleh pendapat
Auzar dan Hermandra (dalam As-Nawi, 2013) yang mendefenisikan campur kode
sebagai “kegiatan mencampur dua bahasa atau lebih dalam satu tindakan
berbahasa”. Selanjutnya Jendra (dalam Ilmusastra, 2014) menambahkan bahwa:
“seseorang yang bercampur kode mempunyai latar belakang tertentu, yaitu
adanya kontak bahasa dan saling ketergantungan bahasa (language
dependency), serta ada unsur bahasa lain dalam suatu bahasa, namun,
unsur bahasa lain mempunyai fungsi dan peranan yang berbeda.”
Meskipun terdapat definisi yang berbeda antara alih kode dan campur
kode tetapi dalam pengaktualisasiannya keduanya memiliki kesamaan fungsi.
Kesamaan antara alih kode dan campur kode yang ditinjau dari ranah fungsinya
yang sama-sama merupakan hasil perpaduan antara bahasa sebagai kode dengan
keadaan sosial masyarakat direlasikan dengan kenyamanan berkomunikasi.
Kenyamanan dalam berkomunikasi tidak hanya terhubung dengan dua
pribadi yang berdialog, tetapi dapat ditarik ke skala yang lebih besar yatu
komunitas. Istilah komunitas berasal dari bahasa latin communitas yang berasal
dari kata communis yang artinya masyarakat, public, atau banyak orang.
Wikipedia bahasa Indonesia (dalam Untukku, 2014) menjelaskan pengertian
komunitas sebagai “sebuah kelompok sosia dari beberapa organism yang berbagi
lingkungan, umumnya memiliki keterkaitan dan habitat yang sama”. Dalam
komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud,
kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, resiko, dan sejumlah kondisi
lain yang serupa.
5
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa definisi
komunitas adalah kumpulan orang yang berbeda di dalam satu lingkup sosial
tertentu yang memiliki kesamaaan, baik dari cara pandang, maupun hal-hal lain
yang membuat anggotanya saling terhubng. Salah satu contoh komunitas yang
terbentuk di antaranya adalah komunitas berdasarkan gender.
Menurut Fakih (dalam Psikologi, 2014) gender dapat diartikan sebagai
“fungsi alat-alat biologis yang membedakan antara laki-laki dan perempuan yang
tidak dapat dipertukarkan karena sudah menjadi kodrat Tuhan”. Sedangkan
Echols dan Sadhily (dalam Psikologi, 2014) mengemukakan bahwa kata gender
berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin, sehingga secara umum
pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan
apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku.
Berdasaarkan pengertian tersebut, gender dapat dipahami sebagai
pengklaasifikasian manusia berdasarkan jenis kelamin sebagai suatu bagian yang
melekat pada fisik yang memepengaruhi segala aspe tingkah laku atau cara
berbahasa atau berkomunikasi.
Terkait dengan hubungan antar gender dan bahasa, para ahli seperti
Sumarsono dan Partana (Herman, 2014) mengatakan bahwa “ada perbedaan
yanag sangat jelas dalam penggunaan bahasa antara lai-laki dan perempuan”. Hal
yang mendasari pendapat tersebut adalah hasil penelitian mereka terhadap
masyarakat di Kepulauan Antinel Kecil, Hindia Barat yanag menyatakan bahwa
terdapat jenis-jenis kosakata dalam bahasa mereka yang boleh diucapkan oleh
kaum pria tetapi tabu untuk diucapkan oleh kaum wanita.
6
Selain Sumarsono dan Partana, ahli lain yang juga mengungkapkan adanya
perbedaan bentuk pengunaan bahasa antara laki-laki dan perempuan adalah
Lackoff (Nickmenik, 2014) yang secara eksplisit mengemukakan bahwa “bahasa
kaum wanita bersifat intuitif penuh pertimbangan. Kata, bunyi, dan tata kalimat
pada bahasa dan kaum wanita memberikan sumbangan cukup besar dalam
membangun gaya dalam berkomunikasi yang sopan”.
Penelitian para ahli tentang relasi antara bahasa dan gender, seringkali
hanya menitikberatkan penelitiannya kepada pembagian besar gender yaitu
perempuan dan laki-laki. Padahal, ada jenis gender lain yang seringkali kurang
mendapat perhatian karena termarginalkan dari kehidupan masyarakat yaitu waria
atau transgender.
Definisi transgender (dalam Wikipedia, 2014) adalah:
Istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan orang yang melakukan,
merasa, berpikir, atau terlihat berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan
saat mereka lahir.
Sedangkan berdasarkan American Psychologist Assosiation (APA)
Dictionary
Transgender memiliki atau berhubungan dengan identitas gender yang
berbeda dari kultural peran gender yang ditentukan dan jenis kelamin
secara biologika.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, secara sederhana dapat
disimpulkan bahwa transgender adalag orang-orang yang berperilaku berbeda
dengan kodrat biologis mereka. Pengertian transgender berdasarkan pendapat
tersebut, secara tidak langsung telah menimbulkan stigma yang negatif terhadap
7
karakter transgender, baik dalam bentuk individu maupun kelompok. Khusus di
daerah Makassar,
Pandangan terhadap transgender terbagi ke dalam dua pandangan, ada
yang menganggap bahwa transgender adalah layaknya manusia biasa yang juga
berhak untuk dimasukkan ke dalam status kemasyrakatan. Bahkan, di beberapa
daerah, peran transgender dikaitkan dengan nilai-nilai kultural yang telah melekat
di dalam masyarakat (bahkan transgender dianggap sebagai penghubung dunia
spiritual). Jika ada kubu yang memposisikan transgender sebagai bagian dari
identitas cultural, maka di satu sisi transgender juga mengalami pemarginalan.
Khusus untuk kalangan yang biasanaya memarginalkan komunitas trasgender,
seringkali nilai-nilai yang dianut adalah moral dan agama yang sejak lama
memandang bahwa transgender adalah sebuah bentuk penyimpangan yang harus
dijauhkan dari tatanan hidup kemasyarakatan denfan tujuan agar kehidupan sosial
menjadi lebih baik
Walaupun di beberapa komunitas modern di berbagai Negara transgender
telah diakui sebagai salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam konstruksi
sosial masyarakat. Alas an lain timbulnya gejolak pemarginalan transgender di
kalangan msyarakat Makassar lebih dikarenakan pandangan bahwa kehidupan
seorang transgender identik dengan pekerjaan yang menyangkut pemuasan
syahwat seksual yang bersifat abnormal (asusila).
Khusus untuk kasus yang kedua, dimana transgender sering dihubungkan
dengan perilaku sosial menyimpang, ada suatu komunitas transgender yang
seringkali terlihat berkmpul di alun-alun kota Makassar yaitu Lapangan Karebosi
8
menjelang waktu tengah malam. Komunitas transgender ini seringkali disebut
sebagai komunitas bencong (transgender) Karebosi.
Komunitas transgender Karebosi yang seringkali mendapat ancaman
keselamatan di saat mereka sedang beroperasi berusaha memproteksi diri dan
komunitas mereka. Tidak hanya dengan membawa alat pelindung keselamatan
tapi juga berinsiatif untuk membuat semacam kode bahasa yang bentuknya
merupakan penggabungan unsur-unsur kebahasaan yang umum dengan tujuan
menciptakan pemahaman dan kenyamanan dalam dalam komunkasi antar anggota
transgender di dalam komunitas mereka, Penggabungan kode-kode semacam ini
dalam tataran linguistik (sebagaimana yang telah dijelaskan di atas) dikenal
dengan fenomena alih kode dan campur kode.
Berangkat dari hal tersebut, penulis berinisiatif untuk meneliti tentang
bagaimana alih kode dan campur kode berperan di dalam komunikasi komunitas
transgender di kawasan Lapangan Karebosi Makassar
B. Rumusan Masalah
Komunitas transgender di wilayah Lapangan Karebosi Makassar
merupakan bagian dari masyarakat tutur dan sosial yang menggunakan bahasa
dalam bentuk kode pada saat berkomunikasi. Berdasarkan uraian tersebut maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Tipe alih kode dan campur kode yang terjadi pada komunikasi
transgender di kawasan Lapangan Karebosi Makassar
9
2. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode dan campur
kode dalam komunikasi antar anggota komunitas transgender Karebosi
C. Definisi Operasional Penelitian
Untuk menghindari kekeliruan penafsiran terhadap variabel, kata dan
istilah teknis yang terdapat dalam judul, maka penulis merasa perlu untuk
mencantumkan definisi operasional dan ruang lingkup penelitian dalam skripsi
ini. Judul penelitian adalah “Alih Kode dan Campur Kode dalam Ragam
Komunikasi Transgender di Kawasan Lapangan Karebosi Makassar”.
Dengan pengertian antara lain:
a. Komunitas adalah kelompok organism yang hidup dan saling
berinteraksi pada satu lingkungan tertentu
b. Ragam adalah variasi dari suatu bentuk pola yang dipengaruhi oleh
variabel-variabel tertentu
c. Komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita
antara ddua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat
dipahami
d. Transgender adalah seseorang ynag bertingkah laku yang tida sesuai
dengan kesesuaian gender aslinya
e. Alih kode atau Code Switching adalah peristiwa peralihan dari satu
kode ke kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur
f. Campur kode adalah suatu keadaan berbahasa yang mencampur dua
(atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam satu tindakan tutur
10
D. Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. untuk mengetahui wujud alih kode dan campur kode yang terdapat
pada ragam bahasa transgender di lingkungan Lapangan Karebosi
Makassar
b. untuk mengetahui penyebab terjadinya alih kode dan campur kode
dalam komunikasi transgender
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat
bagi studi linguistik dan informasi yang akhir-akhir ini makin banyak
memeperoleh kajian dari berbagai disiplin ilmu, baik melalui kajian teoretis
maupun kajian riset di bidang terapan
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat merefleksikan tentang
wujud alih kode dan campur kode dalam ragam bahasa transgender di kawasan
Lapangan Karebosi dan tidak kalah pentingnya bahwa penelitian ini dapat
memperkaya hasil kajian di bidang ilmu linguistic tentang hubungan bahasa
dengan gender yang seringkali tidak menarik minat para peneliti (utamanya pada
objek penelitian yang berkaitan dengan transgender).
11
Secara khusus, manfaat praktis bagi kalangan transgender dan masyarakat
umum adalah memperkaya khazanah pengetahuan dan memperkenalkan tentang
variasi bahasa yang sering digunakan dalam rangka penyampaian berbagai
gagasan dalam ranah komunikasi komunitas trangender Karebosi Makassar.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Pengertian Bahasa
Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kebutuhan untuk selalu
berinteraksi dengan sesamanya dengan menggunakan bahasa. Pengertian bahasa
menurut Bloomfield ( dalam Sumarsono, 2007:17) adalah
Sistem lambang yang berupa bunyi yang bersifat sewenang-wenang
(arbitrer) yang dipakai oleh anggota-anggota masyarakat untuk saling
berhubungan dan berinteraksi.
Sedangkan menurut Wibowo (dalam Wismasastra, 2014) pengertian
bahasa adalah
Sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat
ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat
berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan
pikiran.
Hampir senada dengan pendapat Wibowo, Walija (dalam Wismasastra,
2014), mengungkapkan definisi bahasa adalah “komunikasi yang paling lengkap
dan efektif untuk menyampaikan ied, pesan, maksud, dan pendapat kepada orang
lain.” Pendapat lainnya tentang definisi bahasa juga diungkapkan oleh
Syamsuddin (Wismasastra, 2014), beliau berpendapat bahwa, bahasa adalah “alat
yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan, dan perbuatan-
perbuatan, alat yang dipakai untuk memperngaruhi dan dipengaruhi.
13
2. Ragam Bahasa
Menurut Wikipedia (2014) ragam bahasa adalah varian dari sebuah bahasa
menurut pemakaian. Berbeda dengan dialek yaitu varian dari sebuah bahasa
menurut pemakai. Variasi tersebut berbentuk dialek, aksen, laras, gaya, atau
berbagai variasi linguistik lain termasuk bavariasi bahasa baku itu sendiri.
Menurut Bachman (dalam Ryu, 2014) ragam bahasa adalah variasi bahasa
menurut pemakaian yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan menurut
hubungan pembiara, orang yang dibicarakan, serta medium pembicara.
3. Gender
Gender diartikan sebagai jenis kelamin (KBBI 2008:439). Kata ”gender”
berasal dari bahasa Latin genus yang berarti jenis atau tipe. Baron (Klikpsikologi,
2014) mengartikan bahwa gender merupaka “Sebagian konsep diri yang
melibatkan identifikasi individu sebagai seorang perempuan atau laki-laki”.
Sedangkan Fakih (Klikpsikologi, 2014) mengemukakan bahwa gender adalah
“Suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang
dikonstruksikan secara sosial maupun kultural.” Perubahan cirri dan sifat-sifat
yang terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lainnya disebut
konsep gender.
Dari berbagai definisi yang disampaikan oleh para ahli tersebut dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa gender adalah suatu konsep cultural yang
merujuk pada karakteristik yang membedakan antara pria dan wanita baik secara
biologis, perilaku, mentalitas, dan sosial budaya.
14
Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Sejauh ini
persoalan Gender lebih didominasi oleh perspektif perempuan, sementara dari
perspektif pria sendiri belum begitu banyak dibahas. Dominannya perspektif
perempuan sering mengakibatkan jalan buntu dalam mencari solusi yang
diharapkan, karena akhirnya berujung pada persoalan yang bersumber dari kaum
laki-laki. Ada beberapa fenomena yang sering kali muncul pada persoalan
Gender.
Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John
M. Echols dan Hassan Sadhily, 1983: 256). Secara umum, pengertian Gender
adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari
nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa
Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction)
dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki
dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan
Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.
Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan
keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri
dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki
yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan
ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke
tempat yang lain (Mansour Fakih 1999: 8-9).
15
Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender
dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu
istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial
budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan
sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai
sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.
Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada
paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural
dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi
bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi.
Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam
masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif
dapat dihubungkan dengan karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart
Spincer (1820-1930), dan masih banyak para ilmuwan yang lain.
Teori fungsionalis kontemporer memusatkan pada isu-isu mengenai
stabilitas sosial dan harmonis. Perubahan sosial dilukiskan sebagai evolusi
alamiah yang merupakan respons terhadap ketidakseimbangan antar fungsi sosial
dengan struktur peran-peran sosial. Perubahan sosial secara cepat dianggap
perubahan disfungsional.
Hilary M. Lips dan S. A. Shield membedakan teori strukturalis dan teori
fungsionalis. Teori strukturalis condong ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis
lebih condong ke psikologis namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama.
Dalam teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan
16
kelestarian, keharmonisan daripada bentuk persaingan (Talcott Parson dan Robert
Bales). Sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan
keseimbangan dalam masyarakat, misalnya laki-laki sebagi pemburu dan
perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan fungsi reproduksinya menuntut
untuk berada pada peran domestik. Sedangkan laki-laki pemegang peran publik.
Dalam masyarakat seperti itu, stratifikasi peran gender ditentukan oleh jenis
kelamin (sex).
Kritik terhadap aliran tersebut bahwa struktur keluarga kecil yang menjadi
ciri khas keluarga modern menyebabkan perubahan dalam masyarakat. Jika dulu
tugas dan tanggung jawab keluarga besar dipikul bersama-sama, dewasa ini fungsi
tersebut tidak selalu dapat dilakukan.
Sedangkan teori konflik diidentikkan dengan teori marxis karena
bersumber pada tulisan dan pikiran Karl Marx. Menurut teori itu, perubahan
sosial, terjadi melalui proses dialektika. Teori itu berasumsi bahwa dalam susunan
masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan
kekuasaan.
Friedrich Engels, melengkapi pendapat Marx bahwa perbedaan dan
ketimpangan gender tidak disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin (biologis),
akan tetapi merupakan divine creation.
Engels memandang masyarakat primitif lebih bersikap egaliter karena
ketika itu belum dikenal adanya surplus penghasilan. Mereka hidup secara
nomaden sehingga belum dikenal adanya pemilikan secara pribadi. Rumah tangga
17
dibangun atas peran komunitas. Perempuan memiliki peran dan kontribusi yang
sama dengan laki-laki.
Menurut Marxisme, penindasan perempuan dalam dunia kapitalis karena
mendatangkan keuntungan. Pertama, eksploitasi wanita dalam rumah tangga akan
meningkatkan meningkatkan produksi kerja laki-laki di pabrik-pabrik. Kedua,
perempuan yang terlibat peran produksi menjadi buruh murah, memungkinkan
dapat menekan biaya produksi, sehingga perusahaan lebih diuntungkan. Ketiga,
masuknya perempuan sebagai buruh murah dan mengkondisikan buruh-buruh
cadangan akan memperkuat posisi tawar pihak kapitalis, mengancam solidaritas
kaum buruh. Ketiga, hal tersebut dapat mempercepat akumulasi kapital bagi
kapitalis (Mansour Fakih, 1996: 87-88).
Sedangkan Dahrendarf dan Randall Collins tidak sepenuhnya sependapat
dengan Marx dan Engels. Menurutnya konflik tidak hanya terjadi pada perjuangan
pekerja kepada pemilik modal, tetapi juga disebabkan oleh faktor kesenjangan
antara anak dan orang tua, istri dengan suami, junior dengan senior dan
sebagainya.
4. Pengertian Kode
Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian bahasa dalam
hierarki kebahasaan selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa
Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia, dll.), juga mengacu kepada variasi bahasa,
seperti variasi regional (bahasa Jawa dialek Banyumas, Jogja-Solo, Surabaya),
juga varian kelas sosial disebut sebagai dialek sosial dan sosiolek (bahasa Jwa
18
halus dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya
sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa
pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak). Pendapat tersebut senada dengan persepsi
Suwito (dalam sastrapuisi, 2014) yang mendefinisikan kode sebagai “salah satu
variasi dalam hierarki kebahasaan”.
Wojowasito (Sastrapuisi, 2014) yang mendefenisikan istilah kode sebagai
“pengertian yang agak lurus, tidak saja berupa bahasa dan logat tetapu juga
tingkat-tingkat, gaya cerita, dan gaya percakapan”. Sedangkan Poejosoedarmo
(SastraPuisi, 2014) mengartikan kode sebagai “suatu sistem tutur yang penerapan
unsur bahasanya mempunyai cirri-ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur,
relasi penutur dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada”.
Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan
dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul degan kode yang
terdiri atas varian ragam, gaya, dan register.
5. Alih Kode
Alih kode (code switching) adalah suatu gejala kebahasaan yang sering
muncul dalam kehidupan sehari-hari. Gejala alih kode tersebut muncul d tengah-
tengah tindak tutur yang disadari dan memiliki sebab. Berbagai tujuan dari si
pelaku tindak tutur yang melakukan alih kode dapat dilihat dari tuturan yang
dituturkannya. Beberapa ahli telah memberikan batasan dan pendapat mengenai
alih kode. Batasan dan pendapat tersebut diperoleh setelah mereka melakukan
19
penelitian dan pengamatan terhadap objek yang melakukan alih kode dalam
tindak tuturnya.
Alih kode atau code switching adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke
kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur, misalnya, penutur menggunakan
bahasa Indonesia kemudian beralih menggunakan bahasa Inggris. Alih kode
merupakan salah satu aspke ketergantungan bahasa dalam masyarakat
multilingual. Dalam alih kode setiap bahasa cenderung mendukung fungsi
masing-masing dan sesuai dengan konteksnya.
Appel (dalam Chaer dan Agustina, 2010:107) sebagai “gejala peralihan
pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Namun berbeda dengan Appel
yang berpendapat bahwa alih kode hanya terjadi antar bahasa, maka Hymes
(Chaer dan Agustina, 2010:107) menyatakan bahwa “Alih kode bukan hanya
terjadi antar bahasa, tetapi alih kode juga dapat terjadi antar ragam-ragam atau
gaya-gaya yang terdapat di dalam suatu bahasa” `
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa alih kode
merupakan gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan peran dan
situasi. Alih kode menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi
kontekstual dan situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.
a. Faktor-faktor Penyebab Alih Kode
1) Pembicara
Selain sikap kemultibahasaan yang dimiliki oleh masyarakat tutur, terdapat
beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa alih kode, seperti
20
yang dikemukakan Chaer perilaku atau sikap penutur, yang dengan
sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena tujuan tertentu. Misalnya
mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya.
Kemudian ada juga penutur yang mengharapkan sesuatu dari mitra
tuturnya atau dengan kata lain mengharapkan keuntungan atau manfaat
dari percakapan yang dilakukanya. Sebagai contoh, A adalah orang
sumbawa. B adalah orang batak. Keduanya sedang terlibat percakapan.
Mulanya si A berbicara menggunakan bahasa Indonesia sebagai pembuka.
Kemudian ditanggapi oleh B dengan menggunakan bahasa Indonesia juga.
Namun ketika si A ingin mengemukakan inti dari pembicaraannya maka ia
kemudian beralih bahasa, yaitu dari bahasa Indonesia ke bahasa Batak.
Ketika si A beralih menggunakan bahasa Batak yang merupakan bahasa
asli B, maka B pun merespon A dengan baik. Maka disinilah letak
keuntungan tersebut. A berbasa basi dengan menggunakan bahasa
Indonesia, kemudian setelah ditanggapi oleh B dan ia merasa percakapan
berjalan lancar, maka si A dengan sengaja mengalihkan ke bahasa batak.
Hal ini disebabkan si A sudah ingin memulai pembicaraan yang lebih
dalam kepada si B. Selain itu inti pembicaraan tersebut dapat tersampaikan
dengan baik, karena mudah dimengerti oleh lawan bicara yaitu B.
Peristiwa inilah yang menyebakan terjadinya peristiwa alih kode.
2) Lawan Tutur
Mitra tutur atau lawan tutur dapat menyebabkan peristiwa alih kode.
Misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa
21
lawan tuturnya. Dalam hal ini biasanya kemampuan berbahasa si lawan
tutur kurang atau agak kurang karena mungkin bahasa tersebut bukan
bahasa pertamanya. Jika lawan tutur yang latar belakang kebahasaannya
sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian (baik
regional maupun sosial), ragam, gaya, atau register. Kemudian bila lawan
tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa
alih bahasa. Sebagai contoh, Rani adalah seorang pramusaji disebuah
restoran. Kemudian Ia kedatangan tamu asing yang berasal dari Jepang.
Tamu tersebut ingin mempraktikkan bahasa Indonesia yang telah Ia
pelajari. Pada awalnya percakapan berjalan lancar, namun ketika tamu
tersebut menanyakan biaya makanya Ia tidak dapat mengerti karena Rani
masih menjawab denganmenggunakan bahasa Indonesia. Melihat tamunya
yang kebingungan tersebut, secara sengaja Rani beralih bahasa, dari
bahasa Indonesia ke bahasa Jepang sampai tamu tersebut mengerti apa
yang dikatakan Rani. Dari contoh di atas dapat dikatakan telah terjadi
peristiwa peralihan bahasa atau disebut alih kode, yaitu bahasa Indonesia
ke bahasa Jepang. Oleh karena itu lawan tutur juga sangat mempengaruhi
peristiwa alih kode.
3) Hadirnya Penutur Ketiga
Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang
bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan
lawan tutur dapat menyebabkan peristiwa alih kode.
22
Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga,
biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang
kebahasaan mereka berbeda. Sebagai contoh, Tono dan Tini bersaudara.
Mereka berdua adalah orang Sumbawa. Oleh karena itu, ketika berbicara,
mereka menggunakan bahasa yang digunakan sehari-hari, yaitu bahasa
Sumbawa. Pembicaraan berjalan aman dan lancar. Tiba-tiba datang Upik
kawan Tini yang merupakan orang Lombok. Untuk sesaat Upik tidak
mengerti apa yang mereka katakan. Kemudian Tini memahami hal
tersebut dan langsung beralih ke bahasa yang dapat dimengerti oleh Upik,
yaitu bahasa Indonesia. Kemudian Ia bercerita tentang apa yang Ia
bicarakan dengan Tono dengan menggunakan bahasa Indonesia. Inilah
yang disebut peristiwa alih kode. Jadi, kehadiran orang ketiga merupakan
faktor yang mempengaruhi peristiwa alih kode.
4) Perubahan Situasi
Perubahan situasi pembicaraan juga dapat mempengaruhi terjadinya laih
kode. Situasi tersebut dapat berupa situasi formal ke informal atau
sebaliknya.
5) Topik Pembicaraan
Topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih
kode. Topik pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan
dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan
yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa nonbaku, gaya sedikit
emosional, dan serba seenaknya.
23
b. Jenis Alih Kode
Wardaugh dan Hudson menyatakan bahwa alih kode dibagi menjadi dua,
yaitu alih kode metaforis dan alih kode situasional.
1) Alih Kode Metaforis
Alih kode metaforis yaitu alih kode yang terjadi jika ada pergantian topik.
Sebagai contoh X dan Y adalah teman satu kantor, awalnya mereka
menggunakan ragam bahasa Indonesia resmi, setelah pembicaraan urusan
kantor selesai, mereka kemudian menganti topik pembicaraan mengenai
salah satu teman yang mereka kenal. Ini terjadi seiring dengan pergantian
bahasa yang mereka lakukan dengan menggunakan bahasa daerah.
Kebetulan X dan Y tinggal di daerah yang sama dan dapat berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa daerah tersebut. Contoh ini menjelaskan
bagaimana alih kode terjadi dalam satu situasi percakapan. Alih kode jenis
ini hanya terjadi jika si pembicara yang pada awalnya hanya
membicarakan urusan pekerjaan menggunakan ragam bahasa resmi dan
terkesan kaku kemudian berubah menjadi suasana yang lebih santai, ketika
topik berganti.
2) Alih Kode Situasional
Alih kode situasional yaitu alih kode yang terjadi berdasarkan situasi
dimana para penutur menyadari bahwa mereka berbicara dalam bahasa
tertentu dalam suatu situasi dan bahasa lain dalam situasi yang lain. Dalam
alih kode ini tidak tejadi perubahan topik
24
Selain alih kode metaforis dan situsional, Suwito dalam Chaer (2004:114)
juga membagi alih kode menjadi dua jenis yaitu, alih kode intern dan alih
kode ekstern.
1) Alih Kode Intern
Alih kode intern yaitu alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri,
seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya.
2) Alih Kode Ekstern
Alih kode ekstern yaitu alih kode yang terjadi antara bahasa (salah satu
bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya)
dengan bahasa asing. Contohnya bahasa Indonesia ke bahasa Jepang, atau
sebaliknya.
c. Fungsi Alih Kode
Fungsi bahasa yang digunakan dalam suatu peristiwa tutur didasarkan
pada tujuan berkomunikasi. Fungsi bahasa merupakan ungkapan yang
berhubungan dengan tujuan tertentu, seperti perintah, menawarkan,
mengumumkan, memarahi, dan sebagainya. Pembicara menggunakan bahasa
menurut fungsi yang dikehendakinya sesuai dengan tujuan, konteks dan situasi
komunikasi. Dalam kegiatan komunikasi pada masyarakat multilingual alih
kode dan campur kode pada umumnya dilakukan antara lain untuk tujuan-
tujuan berikut.
25
1) Mengakrabkan suasana
Sebuah informasi dalam gagasan /pesan yang disampaikan oleh seorang
penutur akan lebih mudah dipahami atau lebih cepat berterima jika ada
kedekatan secara emosional antara individu-individu yang terlibat dalam
peristiwa tutur. Misalnya, seseorang yang baru mengenal orang lain di
suatu tempat, awalnya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia tetapi
ketika mengetahui bahwa lawan bicara memiliki latar kedaerahan yang
sama maka keduanya segera beralih kode ke bahasa daerahnya.
2) Menghormati lawan bicara
Dalam peristiwa tutur antara seseorang yang lebih tua dengan yang lebih
muda atau seseorang dengan status sosial yang lebih rendah dengan orang
yang memiliki status sosial lebih tinggi, atau antara atasan dan
bawahan, alih kode dan campur kode kerap terjadi dengan tujuan
menghargai atau menghormati lawan bicara.
3) Meyakinkan topik pembicaraan
Kegiatan alih kode dan campur kode juga sering digunakan ketika seorang
pembicara memberi penguatan untuk meyakinkan topik pembicaraannya.
4) Untuk membangkitkan rasa humor
Dalam kegiatan berbahasa dalam situasi tertentu. Biasanya terjadi alih
kode yang dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara
dengan tujuan membangkitkan rasa humor untuk memecahkan kekakuan.
Alih kode ini dilakukan dalam bentuk pemberian ilustrasi-ilustrasi atau
anekdot-anekdot.
26
5) Untuk sekadar bergaya atau bergengsi
Walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional
tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak
adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif. Gejala
seperti ini banyak kita temukan pada gaya bahasa para remaja atau artis
selebriti. Biasanya mereka menggunakan bahasa Indonesia ragam Jakarta
yang bercampur kode bahasa Inggris seakan ingin menampilkan trend
setter yang kebarat-baratan.
6. Campur Kode
Di antara sesama penutur yang bilingual atau multilingual sering dijumpai
suatu gejala yang dapat dipandang sebagai suatu kekacauan berbahasa. Fenomena
ini berbentuk penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam satu
kalimat. Dengan demikian campur kode dapat didefenisikan sebagai penggunaan
lebih dari satu bahasa atau kode dalam satu wacana.
Chaer dan Agustina (1995:114) menjelaskan bahwa campur kode adalah
pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam suatu
masyarakat tutur, di mana salah satu merupakan kode utama atau kode dasar yang
digunakan yang memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain
yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja.
Dalam campur kode terdapat serpihan-serpihan suatu bahasa yang digunakan oleh
seorang penutur, tetapi pada dasarnya dia menggunakan satu bahasa tertentu.
Serpihan di sini dapat berupa kata, frasa, atau unit bahasa yang lebih besar.
27
Campur kode merupakan situasi pengguanaan suatu bahasa ke dalam
bahasa lain. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai pencampuran bahasa. Campur
kode dapat juga dinyatakan pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian
bahasa dalam suatu situasi tertentu. Berdasarkan KBBI (2005:190) “Campur kode
merupakan penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk
memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, pemakaian kata, klausa, idiom, dan
sapaan.”
Berdasarkan konsep tersebut dapat dinyatakan bahwa campur kode
merupakan peristiwa pencampuran bahasa pada situasi atau konteks tertentu.
Pencampuran bahasa tersebut bertujuan memberikan pemahaman yang lebih jelas
terhadap konteks atau maksud yang ingin disampaiakn dalam pembicaraan.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa campur kode menitikberatkan pada
penggunaan atau pemakaian satuan bahasa ke dalam bahasa lain berdasarkan
situasi tertentu dan bertujuan memperluas gaya atau memperindah situasi tutur.
Menurut Nababan (1986:32) “Campur bahasa merupakan mencampur dua atau
lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindakan bahasa
(speechact atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang
menuntut pencampuran bahasa itu` Dalam keadaan yang demikian, hanya
kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang dituruti.” Berdasarkan peryataan
tersebut dapat dinyatakan bahwa pencampuran bahasa tidak dipengaruhi oleh
situasi berbahasa. Hal ini tidak sejalan dengan konsep campur kode yang ada
dalam KBBI yang telah dikemukakan.
28
Berdasarkan konsep Nababan mengenai campur kode, situasi tutur tidak
berperan penting dalam mempengaruhi campur tutur. Justru kesantaian dan
kebiasaanlah yang menentukan atau mempengaruhi seseorang dalam melakukan
campur kode. Auzar dan Hermandra (2006:49) memperjelas bahwa campur kode
adalah kegiatan mencampur dua bahasa atau lebih dalam suatu tindakan
berbahasa.
Nababan (1986:32), ciri yang menonjol dalam peristiwa campur kode
adalah kesantaian atau situasi informal. Jadi, campur kode umumnya terjadi
saat berbicara santai, sedangkan pada situasi formal hal ini jarang sekali
terjadi. Apabila dalam situasi formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan
tidak adanya istilah yang merajuk pada konsep yang dimaksud. Seperti telah
disebutkan bahwa kode dapat berupa idiolek, dialek, register, tindak tutur, ragam,
dan registrasi, maka unsur-unsur yang bercampur pun dapat berupa varian bahasa
maupun bahasa itu sendiri. Selanjutnya, Chaer dan Agustina (1995:152)
menyatakan konsep campur kode, “Apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-
klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran
(hyibrid clauses hybrid pharases), dan masing-masing klausa atau frase tidak lagi
menduduki fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah camur
kode.”
Lebih lanjut, Sumarsono (2004:202) menjelaskan kata-kata yang sudah
mengalami proses adaptasi dalam suatu bahasa bukan lagi kata-kata yang
mengalami gejala interfensi, bukan pula alih kode, apalagi campur kode. Dalam
campur kode penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain
29
ketika sedang berbicara. Oleh karena itu, dalam bahasa tulisan, biasanya unsur-
unsur tersebut ditunjukkan dengan menggunakan garis bawah atau cetak miring
sebagai penjelasan bahwa si penulis menggunakannya secara sadar. Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan penggunaan
dua bahasa dalam satu kalimat atau tindak tutur secara sadar.
Berdasarkan beberapa konsep mengenai campur bahasa dapat dapat
dinyatakan membali bahwa campur kode merupakan penggunaan atau pemakaian
dua bahasa atau lebih dalam situasi tertentu. Pemakaian dua bahasa atau lebih ini
dapat berwujud kata, frase, klausa, ungkapan, dan idiom. Pemakaian hal-hal
tersebut bertujuan menimbulkan gaya terhadap sebuah tuturan. Gaya atau cara
yang digunakan dihubungkan dengan wujud campur kode, dan membatasi wujud
campur kode tersebut terhadap situasi dan tidak lagi menduduki fungsi-fungsi
sendiri.
a. Faktor Penyebab Campur Kode
Campur kode (code mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan
suatu bahasa secara dominan untuk mendukung suatu tuturan yang disisipi dengan
unsur bahasa lainnya. Gejala campur kode ini biasanya terkait dengan
karakteristik penutur, misal, latar belakang sosil, pendidikan, dan
kepercayaan. Setidaknya ada dua hal yang paling melatarbelakangi penggunaan
campur kode. Faktor pendorong terjadinya campur kode oleh Suwito (dalam
Maulidini, 2007:37-43) dapat dibedakan atas latar belakang sikap (atitudinal type)
atau nonkebahasaan dan latar belakang kebahasaan (linguistic type)
30
1) Faktor Nonkebahasaan (atitudinal type)
a. Need for Synonim maksudnya adalah penutur menggunakan bahasa lain untuk
lebih memperhalus maksud tuturan.
b. Social Value,yaitu penutur sengaja mengambil kata dari bahasa lain dengan
mempertimbangkan faktor sosial. Pada kasus disini penutur cenderung
bercampur kode dengan bahasa asing yaitu bahasa Inggris dengan maksud
menunjukan bahwa penutur merupakan seorang yang berpendidikan dan
modern sehingga dalam berkomunikasi dengan pelanggan
banyak menyisipkan kata atau istilah dalam bahasa asing.
c. Perkembangan dan Perkenalan dengan Budaya Baru
Hal ini turut menjadi faktor pendorong munculnya campur kode oleh penutur,
sebab terdapat banyak istilah dan strategi penjualan dalam bidang
telekomunikasi yangmempergunakan bahasa asing. Sehingga hal ini
mempengaruhi perilaku pemakaian kata-kata bahasa asing oleh penutur yang
sebenarnya bukanmerupakan bahasa asli penutur.
2) Faktor Kebahasaan (linguistic type)
Latar belakang kebahasaan yang menyebabkan seseorang
melakukancampur kode disebabkan oleh hal-hal berikut ini :
a. Low frequency of word,yaitu karena kata-kata dalam bahasa asing tersebut
lebih mudah diingat dan lebih stabil maknanya.
31
b. Pernicious Homonimy, maksudnya adalah jika penutur menggunakankata dari
bahasanya sendiri maka kata tersebut dapat menimbulkan masalah homonim
yaitu makna ambigu.
c. Oversight, yaitu keterbatasan kata-kata yang dimiliki oleh bahasa penutur.
Banyaknya istilah dalam bidang telekomunikasi yang berasaldari bahasa
asing menyebabkan penutur sulit menemukan padanannyadalam bahasa
penutur. Contohnya: software, install, flash, restart, hang,blank
d. End (Purpose and Goal), yaitu akibat atau hasil yang dikehendaki.
End (tujuan) meliputi membujuk, dengan meyakinkan, menerangkan.
Untuk mencapai hasil tersebebut penutur harus menggunakan campur kode.
b. Jenis – Jenis Campur Kode
Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, Suwito
(1996: 92) membedakan campur kode menjadi beberapa macam antara lain.
1. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata
Kata merupakan unsur terkecil dalam pembentukan kalimat yang
sangat penting peranannya dalam tata bahasa, yang dimaksud kata
adalah satuan bahasa yang berdiri sendiri, terdiri dari morfem tunggal
atau gabungan morfem
32
2. Penyisipan unsur-unsur yang berujud frasa
Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak
prediktif, gabungan itu dapat rapat dan dapat renggang (Harimurti,
2001: 59).
3. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster
Baster merupakan hasil perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda
membentuk satu makna (Harimurti, 1993: 92)
4. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata
Perulangan kata merupakan kata yang terjadi sebagai akibat dari
reduplikasi.
5. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom
Idiom merupakan konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih,
masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena
bersama yang lain atau dengan pengertian lain idiom merupakan
konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna
anggota-anggotanya.
6. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa
Harimurti (2001: 110) mendefinisikan klausa sebagai satuan gramatikal
yang berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari
subjek dan predikat serta mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.
33
c. Fungsi Campur Kode
Peristiwa campur kode terjadi pula karena adanya beberapa fungsi, antara lain:
1) Sebagai Perulangan
Sering kali pesan dalam suatu bahasa (kode) diulangi dengan kode lain,
baiksecara literal atau dengan sedikit perubahan. Perulangan berfungsi
untuk memberikan penekanan pada sebuah pesan atau menjelaskan apa
yang telah dikatakan.
2) Sebagai Penyisip Kalimat
Campur kode dapat berfungsi sebagai penyisip kalimat atau penyempurna
kalimatsehingga kalimat itu menjadi kalimat yang utuh, yang bisa
berbentuk kata, frasaatau ungkapan. Maksud utuh di sini, percakapan utuh
bukan dalam hal kaidah,namun menyangkut penggabungan dua bahasa.
Penyisipan kalimat di sinidimaksudkan bahwa dalam peristiwa tutur yang
terjadi kalimat-kalimat yangdisampaikan merupakan perpaduan antara dua
bahasa atau lebih yangmengisyaratkan terjadinya peristiwa campur kode
3) Sebagai Kutipan
Dalam banyak hal, campur kode dapat diidentifikasikan baik sebagai
kutipan langsung maupun sebagai laporan seorang penutur bilingual,
dalam sela-sela pembicaraannya kadang-kadang menggunakan kode
bahaasa lain yang telah dinyatakan oleh seseorang.
34
Alih kode ini dilakukan dalam bentuk pemberian ilustrasi-ilustrasi atau anekdot-
anekdot.
Walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional
tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya
pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif. Gejala seperti ini
banyak kita temukan pada gaya bahasa para remaja atau artis selebriti. Biasanya
mereka menggunakan bahasa Indonesia ragam Jakarta yang bercampur kode
bahasa Inggris seakan ingin menampilkan trend setter yang kebarat-baratan.
8. Kerangka Pikir
Struktur peneliti ini disusun dengan kerangka piker yang menjelaskan
mengenai masalah dan hasil alih kode dan campur kode dalam ragam bahasa
transgender di kawasan Lapangan Karebosi Makassar. Masalah pertama yang
muncul yaitu adanya kegiatan/operasi transgender di sekitar Lapangan Karebosi
Makassar.
Pada saat berkomunikasi, para transgender ini menggunakan kode bahasa.
Kode bahasa menimbulkan adanya faktor yang melatarbelakangi pengggunaan
alih kode dan campur kode. Menggunakan satu kode pada saat berkomunikasi
dengan sesame transgender dianggap sulit untuk dilakukan, sehingga hal ini
memicu terjadinya alih kode dan campur kode. Kerangka pikiran disusun sebagai
berikut:
35
Kegiatan Komunitas Transgender di
Kawasan Lapangan Karebosi
Makassar
Komunikasi dalam Komunitas Transgender
Kode bahasa adalah suatu sistem tutur yang dalam penerapannya mempunyai cirri
khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur dan
situasi tutur yang ada
Kode Bahasa
Indonesia
Kode
Budaya
Kode
Sastra
Alih kode
Dan
Campur Kode
Faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur kode
Faktor penyebab alih kode
a. Lebih komunikatif
b. Lebih prestis
c. Lebih argumentatif
d. Lebih persuasif
e. Lebih membangkitkan rasa simpatik
Faktor penyebab alih kode
a. Lebih komunikatif
b. Lebih singkat
c. Lebih mudah dipahami
36
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian mencakup kesatuan dan keserasian proses yang
dilakukan untuk mendapatkan hasil analisis yang sesuai dengan gambaran
penggunaan alih kode dan campur kode dalam ragam bahasa transgender di
kawasan Lapangan Karebosi Makassar. Berikut ini metode penelitian yang
dimulai dari rancangan pengkhususan jenis penelitian, lokasi penelitian,
penentuan data, dan sumber data, pemilihan populasi dan sampel data, alat
penelitan, metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data,
dan metode penyajian hasil analisis data.
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Menurut Bodgan dan taylor
(dalam Aneka, 2014) metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati. Data yang dikumpulkan dalam penelitian
berbentuk kata-kata dan bukan berupa angka. Penelitian ini menjelaskan
fenomena kebahasaan berupa alih kode dan campur kode dalam ragam bahasa
transgender di kawasan Lapangan Karebosi Makassar.
37
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang diambil adalah kawasan Lapangan Karebosi di Jl.
Jenderal Ahmad Yani, Makassar. Alasan dipilihnya loasi tersebut karena lokasi
tersebuut merupakan tempat beroperasinya komunitas transgender yang menjadi
focus utama dalam penelitian ini.
38
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Di antara sesama penutur yang bilingual atau multilingual sering dijumpai
suatu gejala yang dapat dipandang sebagai suatu kekacauan berbahasa. Fenomena
ini berbentuk penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam satu
kalimat. Dengan demikian campur kode dapat didefenisikan sebagai penggunaan
lebih dari satu bahasa atau kode dalam satu wacana.
Chaer dan Agustina (1995:114) menjelaskan bahwa campur kode adalah
pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam suatu
masyarakat tutur, di mana salah satu merupakan kode utama atau kode dasar yang
digunakan yang memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain
yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja.
Dalam campur kode terdapat serpihan-serpihan suatu bahasa yang digunakan oleh
seorang penutur, tetapi pada dasarnya dia menggunakan satu bahasa tertentu.
Serpihan di sini dapat berupa kata, frasa, atau unit bahasa yang lebih besar.
Campur kode merupakan situasi pengguanaan suatu bahasa ke dalam
bahasa lain. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai pencampuran bahasa. Campur
kode dapat juga dinyatakan pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian
bahasa dalam suatu situasi tertentu. Berdasarkan KBBI (2005:190) “Campur kode
merupakan penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk
39
memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, pemakaian kata, klausa, idiom, dan
sapaan.”
Berdasarkan konsep tersebut dapat dinyatakan bahwa campur kode
merupakan peristiwa pencampuran bahasa pada situasi atau konteks tertentu.
Pencampuran bahasa tersebut bertujuan memberikan pemahaman yang lebih jelas
terhadap konteks atau maksud yang ingin disampaiakn dalam pembicaraan.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa campur kode menitikberatkan pada
penggunaan atau pemakaian satuan bahasa ke dalam bahasa lain berdasarkan
situasi tertentu dan bertujuan memperluas gaya atau memperindah situasi tutur.
Menurut Nababan (1986:32) “Campur bahasa merupakan mencampur dua atau
lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindakan bahasa
(speechact atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang
menuntut pencampuran bahasa itu` Dalam keadaan yang demikian, hanya
kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang dituruti.” Berdasarkan peryataan
tersebut dapat dinyatakan bahwa pencampuran bahasa tidak dipengaruhi oleh
situasi berbahasa. Hal ini tidak sejalan dengan konsep campur kode yang ada
dalam KBBI yang telah dikemukakan.
Sedangkan konsep Nababan mengenai campur kode, situasi tutur tidak
berperan penting dalam mempengaruhi campur tutur. Justru kesantaian dan
kebiasaanlah yang menentukan atau mempengaruhi seseorang dalam melakukan
campur kode. Auzar dan Hermandra (2006:49) memperjelas bahwa campur kode
adalah kegiatan mencampur dua bahasa atau lebih dalam suatu tindakan
berbahasa.
40
Nababan (1986:32), ciri yang menonjol dalam peristiwa campur kode
adalah kesantaian atau situasi informal. Jadi, campur kode umumnya terjadi
saat berbicara santai, sedangkan pada situasi formal hal ini jarang sekali
terjadi. Apabila dalam situasi formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan
tidak adanya istilah yang merajuk pada konsep yang dimaksud. Seperti telah
disebutkan bahwa kode dapat berupa idiolek, dialek, register, tindak tutur, ragam,
dan registrasi, maka unsur-unsur yang bercampur pun dapat berupa varian bahasa
maupun bahasa itu sendiri. Selanjutnya, Chaer dan Agustina (1995:152)
menyatakan konsep campur kode, “Apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-
klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran
(hyibrid clauses hybrid pharases), dan masing-masing klausa atau frase tidak lagi
menduduki fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah camur
kode.”
Lebih lanjut, Sumarsono (2004:202) menjelaskan kata-kata yang sudah
mengalami proses adaptasi dalam suatu bahasa bukan lagi kata-kata yang
mengalami gejala interfensi, bukan pula alih kode, apalagi campur kode. Dalam
campur kode penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain
ketika sedang berbicara. Oleh karena itu, dalam bahasa tulisan, biasanya unsur-
unsur tersebut ditunjukkan dengan menggunakan garis bawah atau cetak miring
sebagai penjelasan bahwa si penulis menggunakannya secara sadar. Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan penggunaan
dua bahasa dalam satu kalimat atau tindak tutur secara sadar.
41
Berdasarkan beberapa konsep mengenai campur bahasa dapat dapat
dinyatakan membali bahwa campur kode merupakan penggunaan atau pemakaian
dua bahasa atau lebih dalam situasi tertentu. Pemakaian dua bahasa atau lebih ini
dapat berwujud kata, frase, klausa, ungkapan, dan idiom. Pemakaian hal-hal
tersebut bertujuan menimbulkan gaya terhadap sebuah tuturan. Gaya atau cara
yang digunakan dihubungkan dengan wujud campur kode, dan membatasi wujud
campur kode tersebut terhadap situasi dan tidak lagi menduduki fungsi-fungsi
sendiri.
b. Faktor Penyebab Campur Kode
Campur kode (code mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan
suatu bahasa secara dominan untuk mendukung suatu tuturan yang disisipi dengan
unsur bahasa lainnya. Gejala campur kode ini biasanya terkait dengan
karakteristik penutur, misal, latar belakang sosil, pendidikan, dan
kepercayaan. Setidaknya ada dua hal yang paling melatarbelakangi penggunaan
campur kode. Faktor pendorong terjadinya campur kode oleh Suwito (dalam
Maulidini, 2007:37-43) dapat dibedakan atas latar belakang sikap (atitudinal type)
atau nonkebahasaan dan latar belakang kebahasaan (linguistic type)
2) Faktor Nonkebahasaan (atitudinal type)
a. Need for Synonim maksudnya adalah penutur menggunakan bahasa lain untuk
lebih memperhalus maksud tuturan.
42
b. Social Value,yaitu penutur sengaja mengambil kata dari bahasa lain dengan
mempertimbangkan faktor sosial. Pada kasus disini penutur cenderung
bercampur kode dengan bahasa asing yaitu bahasa Inggris dengan maksud
menunjukan bahwa penutur merupakan seorang yang berpendidikan dan
modern sehingga dalam berkomunikasi dengan pelanggan
banyak menyisipkan kata atau istilah dalam bahasa asing.
c. Perkembangan dan Perkenalan dengan Budaya Baru
Hal ini turut menjadi faktor pendorong munculnya campur kode oleh penutur,
sebab terdapat banyak istilah dan strategi penjualan dalam bidang
telekomunikasi yangmempergunakan bahasa asing. Sehingga hal ini
mempengaruhi perilaku pemakaian kata-kata bahasa asing oleh penutur yang
sebenarnya bukanmerupakan bahasa asli penutur.
3) Faktor Kebahasaan (linguistic type)
Latar belakang kebahasaan yang menyebabkan seseorang
melakukancampur kode disebabkan oleh hal-hal berikut ini :
e. Low frequency of word,yaitu karena kata-kata dalam bahasa asing tersebut
lebih mudah diingat dan lebih stabil maknanya.
f. Pernicious Homonimy, maksudnya adalah jika penutur menggunakankata dari
bahasanya sendiri maka kata tersebut dapat menimbulkan masalah homonim
yaitu makna ambigu.
g. Oversight, yaitu keterbatasan kata-kata yang dimiliki oleh bahasa penutur.
43
Banyaknya istilah dalam bidang telekomunikasi yang berasaldari bahasa
asing menyebabkan penutur sulit menemukan padanannyadalam bahasa
penutur. Contohnya: software, install, flash, restart, hang,blank
h. End (Purpose and Goal), yaitu akibat atau hasil yang dikehendaki.
End (tujuan) meliputi membujuk, dengan meyakinkan, menerangkan.
Untuk mencapai hasil tersebebut penutur harus menggunakan campur kode.
c. Jenis – Jenis Campur Kode
Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, Suwito
(1996: 92) membedakan campur kode menjadi beberapa macam antara lain.
1. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata
Kata merupakan unsur terkecil dalam pembentukan kalimat yang
sangat penting peranannya dalam tata bahasa, yang dimaksud kata
adalah satuan bahasa yang berdiri sendiri, terdiri dari morfem tunggal
atau gabungan morfem
2. Penyisipan unsur-unsur yang berujud frasa
Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak
prediktif, gabungan itu dapat rapat dan dapat renggang (Harimurti,
2001: 59).
3. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster
44
Baster merupakan hasil perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda
membentuk satu makna (Harimurti, 1993: 92)
4. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata
Perulangan kata merupakan kata yang terjadi sebagai akibat dari
reduplikasi.
5. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom
Idiom merupakan konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih,
masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena
bersama yang lain atau dengan pengertian lain idiom merupakan
konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna
anggota-anggotanya.
6. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa
Harimurti (2001: 110) mendefinisikan klausa sebagai satuan gramatikal
yang berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari
subjek dan predikat serta mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.
d. Fungsi Campur Kode
Peristiwa campur kode terjadi pula karena adanya beberapa fungsi, antara lain:
1) Sebagai Perulangan
Sering kali pesan dalam suatu bahasa (kode) diulangi dengan kode lain,
baiksecara literal atau dengan sedikit perubahan. Perulangan berfungsi
45
untuk memberikan penekanan pada sebuah pesan atau menjelaskan apa
yang telah dikatakan.
2) Sebagai Penyisip Kalimat
Campur kode dapat berfungsi sebagai penyisip kalimat atau penyempurna
kalimatsehingga kalimat itu menjadi kalimat yang utuh, yang bisa
berbentuk kata, frasaatau ungkapan. Maksud utuh di sini, percakapan utuh
bukan dalam hal kaidah,namun menyangkut penggabungan dua bahasa.
Penyisipan kalimat di sinidimaksudkan bahwa dalam peristiwa tutur yang
terjadi kalimat-kalimat yangdisampaikan merupakan perpaduan antara dua
bahasa atau lebih yangmengisyaratkan terjadinya peristiwa campur kode
3) Sebagai Kutipan
Dalam banyak hal, campur kode dapat diidentifikasikan baik sebagai
kutipan langsung maupun sebagai laporan seorang penutur bilingual,
dalam sela-sela pembicaraannya kadang-kadang menggunakan kode
bahaasa lain yang telah dinyatakan oleh seseorang.
4) Sebagai Fungsi Spesifikasi Lawan Tutur
Penutur bermaksud menyampaikan pesan dengan kode lain kepada salah
satu dari beberapa kemungkinan lawan tutur yang mengerti bahasa
penutur.
5) Unsur Mengkualifikasi Isi Pesan
Bentuk lain dari campur kode adalah pengelompokkan isi-isi pesan dalam
bentuk kalimat, kata kerja, kata pelengkap atau predikat dalam konstruksi
bahasa lain
46
Berdasarkan konsep tersebut dapat dinyatakan bahwa campur kode
merupakan peristiwa pencampuran bahasa pada situasi atau konteks tertentu.
Pencampuran bahasa tersebut bertujuan memberikan pemahaman yang lebih jelas
terhadap konteks atau maksud yang ingin disampaiakn dalam pembicaraan.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa campur kode menitikberatkan pada
penggunaan atau pemakaian satuan bahasa ke dalam bahasa lain berdasarkan
situasi tertentu dan bertujuan memperluas gaya atau memperindah situasi tutur.
Menurut Nababan (1986:32) “Campur bahasa merupakan mencampur dua atau
lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindakan bahasa
(speechact atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang
menuntut pencampuran bahasa itu` Dalam keadaan yang demikian, hanya
kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang dituruti.” Berdasarkan peryataan
tersebut dapat dinyatakan bahwa pencampuran bahasa tidak dipengaruhi oleh
situasi berbahasa. Hal ini tidak sejalan dengan konsep campur kode yang ada
dalam KBBI yang telah dikemukakan.
Sedangkan konsep Nababan mengenai campur kode, situasi tutur tidak
berperan penting dalam mempengaruhi campur tutur. Justru kesantaian dan
kebiasaanlah yang menentukan atau mempengaruhi seseorang dalam melakukan
campur kode. Auzar dan Hermandra (2006:49) memperjelas bahwa campur kode
adalah kegiatan mencampur dua bahasa atau lebih dalam suatu tindakan
berbahasa.
Nababan (1986:32), ciri yang menonjol dalam peristiwa campur kode
adalah kesantaian atau situasi informal. Jadi, campur kode umumnya terjadi
47
saat berbicara santai, sedangkan pada situasi formal hal ini jarang sekali
terjadi. Apabila dalam situasi formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan
tidak adanya istilah yang merajuk pada konsep yang dimaksud. Seperti telah
disebutkan bahwa kode dapat berupa idiolek, dialek, register, tindak tutur, ragam,
dan registrasi, maka unsur-unsur yang bercampur pun dapat berupa varian bahasa
maupun bahasa itu sendiri. Selanjutnya, Chaer dan Agustina (1995:152)
menyatakan konsep campur kode, “Apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-
klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran
(hyibrid clauses hybrid pharases), dan masing-masing klausa atau frase tidak lagi
menduduki fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah camur
kode.”
Lebih lanjut, Sumarsono (2004:202) menjelaskan kata-kata yang sudah
mengalami proses adaptasi dalam suatu bahasa bukan lagi kata-kata yang
mengalami gejala interfensi, bukan pula alih kode, apalagi campur kode. Dalam
campur kode penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain
ketika sedang berbicara. Oleh karena itu, dalam bahasa tulisan, biasanya unsur-
unsur tersebut ditunjukkan dengan menggunakan garis bawah atau cetak miring
sebagai penjelasan bahwa si penulis menggunakannya secara sadar. Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan penggunaan
dua bahasa dalam satu kalimat atau tindak tutur secara sadar.
Berdasarkan beberapa konsep mengenai campur bahasa dapat dapat
dinyatakan membali bahwa campur kode merupakan penggunaan atau pemakaian
dua bahasa atau lebih dalam situasi tertentu. Pemakaian dua bahasa atau lebih ini
48
dapat berwujud kata, frase, klausa, ungkapan, dan idiom. Pemakaian hal-hal
tersebut bertujuan menimbulkan gaya terhadap sebuah tuturan. Gaya atau cara
yang digunakan dihubungkan dengan wujud campur kode, dan membatasi wujud
campur kode tersebut terhadap situasi dan tidak lagi menduduki fungsi-fungsi
sendiri.
Berdasarkan konsep tersebut dapat dinyatakan bahwa campur kode
merupakan peristiwa pencampuran bahasa pada situasi atau konteks tertentu.
Pencampuran bahasa tersebut bertujuan memberikan pemahaman yang lebih jelas
terhadap konteks atau maksud yang ingin disampaiakn dalam pembicaraan.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa campur kode menitikberatkan pada
penggunaan atau pemakaian satuan bahasa ke dalam bahasa lain berdasarkan
situasi tertentu dan bertujuan memperluas gaya atau memperindah situasi tutur.
Menurut Nababan (1986:32) “Campur bahasa merupakan mencampur dua atau
lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindakan bahasa
(speechact atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang
menuntut pencampuran bahasa itu` Dalam keadaan yang demikian, hanya
kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang dituruti.” Berdasarkan peryataan
tersebut dapat dinyatakan bahwa pencampuran bahasa tidak dipengaruhi oleh
situasi berbahasa. Hal ini tidak sejalan dengan konsep campur kode yang ada
dalam KBBI yang telah dikemukakan.
Sedangkan konsep Nababan mengenai campur kode, situasi tutur tidak
berperan penting dalam mempengaruhi campur tutur. Justru kesantaian dan
kebiasaanlah yang menentukan atau mempengaruhi seseorang dalam melakukan
49
campur kode. Auzar dan Hermandra (2006:49) memperjelas bahwa campur kode
adalah kegiatan mencampur dua bahasa atau lebih dalam suatu tindakan
berbahasa.
Nababan (1986:32), ciri yang menonjol dalam peristiwa campur kode
adalah kesantaian atau situasi informal. Jadi, campur kode umumnya terjadi
saat berbicara santai, sedangkan pada situasi formal hal ini jarang sekali
terjadi. Apabila dalam situasi formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan
tidak adanya istilah yang merajuk pada konsep yang dimaksud. Seperti telah
disebutkan bahwa kode dapat berupa idiolek, dialek, register, tindak tutur, ragam,
dan registrasi, maka unsur-unsur yang bercampur pun dapat berupa varian bahasa
maupun bahasa itu sendiri. Selanjutnya, Chaer dan Agustina (1995:152)
menyatakan konsep campur kode, “Apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-
klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran
(hyibrid clauses hybrid pharases), dan masing-masing klausa atau frase tidak lagi
menduduki fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah camur
kode.”
Lebih lanjut, Sumarsono (2004:202) menjelaskan kata-kata yang sudah
mengalami proses adaptasi dalam suatu bahasa bukan lagi kata-kata yang
mengalami gejala interfensi, bukan pula alih kode, apalagi campur kode. Dalam
campur kode penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain
ketika sedang berbicara. Oleh karena itu, dalam bahasa tulisan, biasanya unsur-
unsur tersebut ditunjukkan dengan menggunakan garis bawah atau cetak miring
sebagai penjelasan bahwa si penulis menggunakannya secara sadar. Berdasarkan
50
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan penggunaan
dua bahasa dalam satu kalimat atau tindak tutur secara sadar.
Berdasarkan beberapa konsep mengenai campur bahasa dapat dapat
dinyatakan membali bahwa campur kode merupakan penggunaan atau pemakaian
dua bahasa atau lebih dalam situasi tertentu. Pemakaian dua bahasa atau lebih ini
dapat berwujud kata, frase, klausa, ungkapan, dan idiom. Pemakaian hal-hal
tersebut bertujuan menimbulkan gaya terhadap sebuah tuturan. Gaya atau cara
yang digunakan dihubungkan dengan wujud campur kode, dan membatasi wujud
campur kode tersebut terhadap situasi dan tidak lagi menduduki fungsi-fungsi
sendiri.
Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Sejauh ini
persoalan Gender lebih didominasi oleh perspektif perempuan, sementara dari
perspektif pria sendiri belum begitu banyak dibahas. Dominannya perspektif
perempuan sering mengakibatkan jalan buntu dalam mencari solusi yang
diharapkan, karena akhirnya berujung pada persoalan yang bersumber dari kaum
laki-laki. Ada beberapa fenomena yang sering kali muncul pada persoalan
Gender.
Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John
M. Echols dan Hassan Sadhily, 1983: 256). Secara umum, pengertian Gender
adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari
nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa
Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction)
51
dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki
dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan
Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.
Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan
keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri
dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki
yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan
ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke
tempat yang lain (Mansour Fakih 1999: 8-9).
Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender
dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu
istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial
budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan
sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai
sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.
Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada
paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural
dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi
bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi.
Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam
masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif
52
dapat dihubungkan dengan karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart
Spincer (1820-1930), dan masih banyak para ilmuwan yang lain.
Teori fungsionalis kontemporer memusatkan pada isu-isu mengenai
stabilitas sosial dan harmonis. Perubahan sosial dilukiskan sebagai evolusi
alamiah yang merupakan respons terhadap ketidakseimbangan antar fungsi sosial
dengan struktur peran-peran sosial. Perubahan sosial secara cepat dianggap
perubahan disfungsional.
Hilary M. Lips dan S. A. Shield membedakan teori strukturalis dan teori
fungsionalis. Teori strukturalis condong ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis
lebih condong ke psikologis namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama.
Dalam teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan
kelestarian, keharmonisan daripada bentuk persaingan (Talcott Parson dan Robert
Bales). Sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan
keseimbangan dalam masyarakat, misalnya laki-laki sebagi pemburu dan
perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan fungsi reproduksinya menuntut
untuk berada pada peran domestik. Sedangkan laki-laki pemegang peran publik.
Dalam masyarakat seperti itu, stratifikasi peran gender ditentukan oleh jenis
kelamin (sex).
Kritik terhadap aliran tersebut bahwa struktur keluarga kecil yang menjadi
ciri khas keluarga modern menyebabkan perubahan dalam masyarakat. Jika dulu
tugas dan tanggung jawab keluarga besar dipikul bersama-sama, dewasa ini fungsi
tersebut tidak selalu dapat dilakukan.
53
Sedangkan teori konflik diidentikkan dengan teori marxis karena
bersumber pada tulisan dan pikiran Karl Marx. Menurut teori itu, perubahan
sosial, terjadi melalui proses dialektika. Teori itu berasumsi bahwa dalam susunan
masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan
kekuasaan.
Friedrich Engels, melengkapi pendapat Marx bahwa perbedaan dan
ketimpangan gender tidak disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin (biologis),
akan tetapi merupakan divine creation.
Engels memandang masyarakat primitif lebih bersikap egaliter karena
ketika itu belum dikenal adanya surplus penghasilan. Mereka hidup secara
nomaden sehingga belum dikenal adanya pemilikan secara pribadi. Rumah tangga
dibangun atas peran komunitas. Perempuan memiliki peran dan kontribusi yang
sama dengan laki-laki.
Menurut Marxisme, penindasan perempuan dalam dunia kapitalis karena
mendatangkan keuntungan. Pertama, eksploitasi wanita dalam rumah tangga akan
meningkatkan meningkatkan produksi kerja laki-laki di pabrik-pabrik. Kedua,
perempuan yang terlibat peran produksi menjadi buruh murah, memungkinkan
dapat menekan biaya produksi, sehingga perusahaan lebih diuntungkan. Ketiga,
masuknya perempuan sebagai buruh murah dan mengkondisikan buruh-buruh
cadangan akan memperkuat posisi tawar pihak kapitalis, mengancam solidaritas
kaum buruh. Ketiga, hal tersebut dapat mempercepat akumulasi kapital bagi
kapitalis (Mansour Fakih, 1996: 87-88).
54
Sedangkan Dahrendarf dan Randall Collins tidak sepenuhnya sependapat
dengan Marx dan Engels. Menurutnya konflik tidak hanya terjadi pada perjuangan
pekerja kepada pemilik modal, tetapi juga disebabkan oleh faktor kesenjangan
antara anak dan orang tua, istri dengan suami, junior dengan senior dan
sebagainya.
Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara
laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Sejauh ini
persoalan Gender lebih didominasi oleh perspektif perempuan, sementara dari
perspektif pria sendiri belum begitu banyak dibahas. Dominannya perspektif
perempuan sering mengakibatkan jalan buntu dalam mencari solusi yang
diharapkan, karena akhirnya berujung pada persoalan yang bersumber dari kaum
laki-laki. Ada beberapa fenomena yang sering kali muncul pada persoalan
Gender.
Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John
M. Echols dan Hassan Sadhily, 1983: 256). Secara umum, pengertian Gender
adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari
nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa
Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction)
dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki
dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan
Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.
Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan
55
keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri
dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki
yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan
ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke
tempat yang lain (Mansour Fakih 1999: 8-9).
Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender
dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu
istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial
budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan
sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai
sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.
Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada
paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural
dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi
bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi.
Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam
masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif
dapat dihubungkan dengan karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart
Spincer (1820-1930), dan masih banyak para ilmuwan yang lain.
Teori fungsionalis kontemporer memusatkan pada isu-isu mengenai
stabilitas sosial dan harmonis. Perubahan sosial dilukiskan sebagai evolusi
alamiah yang merupakan respons terhadap ketidakseimbangan antar fungsi sosial
56
dengan struktur peran-peran sosial. Perubahan sosial secara cepat dianggap
perubahan disfungsional.
Hilary M. Lips dan S. A. Shield membedakan teori strukturalis dan teori
fungsionalis. Teori strukturalis condong ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis
lebih condong ke psikologis namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama.
Dalam teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan
kelestarian, keharmonisan daripada bentuk persaingan (Talcott Parson dan Robert
Bales). Sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan
keseimbangan dalam masyarakat, misalnya laki-laki sebagi pemburu dan
perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan fungsi reproduksinya menuntut
untuk berada pada peran domestik. Sedangkan laki-laki pemegang peran publik.
Dalam masyarakat seperti itu, stratifikasi peran gender ditentukan oleh jenis
kelamin (sex).
Kritik terhadap aliran tersebut bahwa struktur keluarga kecil yang menjadi
ciri khas keluarga modern menyebabkan perubahan dalam masyarakat. Jika dulu
tugas dan tanggung jawab keluarga besar dipikul bersama-sama, dewasa ini fungsi
tersebut tidak selalu dapat dilakukan.
Sedangkan teori konflik diidentikkan dengan teori marxis karena
bersumber pada tulisan dan pikiran Karl Marx. Menurut teori itu, perubahan
sosial, terjadi melalui proses dialektika. Teori itu berasumsi bahwa dalam susunan
masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan
kekuasaan.
57
Friedrich Engels, melengkapi pendapat Marx bahwa perbedaan dan
ketimpangan gender tidak disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin (biologis),
akan tetapi merupakan divine creation.
Engels memandang masyarakat primitif lebih bersikap egaliter karena
ketika itu belum dikenal adanya surplus penghasilan. Mereka hidup secara
nomaden sehingga belum dikenal adanya pemilikan secara pribadi. Rumah tangga
dibangun atas peran komunitas. Perempuan memiliki peran dan kontribusi yang
sama dengan laki-laki.
Menurut Marxisme, penindasan perempuan dalam dunia kapitalis karena
mendatangkan keuntungan. Pertama, eksploitasi wanita dalam rumah tangga akan
meningkatkan meningkatkan produksi kerja laki-laki di pabrik-pabrik. Kedua,
perempuan yang terlibat peran produksi menjadi buruh murah, memungkinkan
dapat menekan biaya produksi, sehingga perusahaan lebih diuntungkan. Ketiga,
masuknya perempuan sebagai buruh murah dan mengkondisikan buruh-buruh
cadangan akan memperkuat posisi tawar pihak kapitalis, mengancam solidaritas
kaum buruh. Ketiga, hal tersebut dapat mempercepat akumulasi kapital bagi
kapitalis (Mansour Fakih, 1996: 87-88).
Sedangkan Dahrendarf dan Randall Collins tidak sepenuhnya sependapat
dengan Marx dan Engels. Menurutnya konflik tidak hanya terjadi pada perjuangan
pekerja kepada pemilik modal, tetapi juga disebabkan oleh faktor kesenjangan
antara anak dan orang tua, istri dengan suami, junior dengan senior dan
sebagainya.
58
Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan
Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.
Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan
keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri
dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki
yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan
ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke
tempat yang lain (Mansour Fakih 1999: 8-9).
Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender
dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu
istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial
budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan
sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai
sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.
Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada
paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural
dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi
bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi.
Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam
masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif
dapat dihubungkan dengan karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart
Spincer (1820-1930), dan masih banyak para ilmuwan yang lain.
59
Teori fungsionalis kontemporer memusatkan pada isu-isu mengenai
stabilitas sosial dan harmonis. Perubahan sosial dilukiskan sebagai evolusi
alamiah yang merupakan respons terhadap ketidakseimbangan antar fungsi sosial
dengan struktur peran-peran sosial. Perubahan sosial secara cepat dianggap
perubahan disfungsional.
Hilary M. Lips dan S. A. Shield membedakan teori strukturalis dan teori
fungsionalis. Teori strukturalis condong ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis
lebih condong ke psikologis namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama.
Dalam teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan
kelestarian, keharmonisan daripada bentuk persaingan (Talcott Parson dan Robert
Bales). Sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan
keseimbangan dalam masyarakat, misalnya laki-laki sebagi pemburu dan
perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan fungsi reproduksinya menuntut
untuk berada pada peran domestik. Sedangkan laki-laki pemegang peran publik.
Dalam masyarakat seperti itu, stratifikasi peran gender ditentukan oleh jenis
kelamin (sex).
Kritik terhadap aliran tersebut bahwa struktur keluarga kecil yang menjadi
ciri khas keluarga modern menyebabkan perubahan dalam masyarakat. Jika dulu
tugas dan tanggung jawab keluarga besar dipikul bersama-sama, dewasa ini fungsi
tersebut tidak selalu dapat dilakukan.
Sedangkan teori konflik diidentikkan dengan teori marxis karena
bersumber pada tulisan dan pikiran Karl Marx. Menurut teori itu, perubahan
sosial, terjadi melalui proses dialektika. Teori itu berasumsi bahwa dalam susunan
60
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan pada Bab IV, dapat disimpulkan
bahwa penelitian yang dikemukakan meliputi pemerian wujud tuturan yang
menyebabkan terjadinya peristiwa campur kode dalam ragam komunikasi
transgender di kawasan Lapangan Karebosi Makassar adalah berupa wujud alih
kode interen dan eksteren. Sedangkan wujud alih kode yang terjadi meliputi
bentuk: 1) Penyisipan kata ; 2) penyisipan frasa; 3) penyisipan nama diri
B. Saran
Transgender sebagai salah satu bagian dari masyarakat hendaknya harus
lebih diperhatikan. Sehubungan dengan gaya komunikasi mereka yang tergolong
unik, maka kajian terhadap keragaman bahasa transgender khususnya di kawasan
Lapangan Karebosi Makassar hendaknya lebih diperdalam lagi, agar dapat
memberikan wawasan seputar aspek sosiologi dan kultural bahasa yang beredar di
masyarakat.
61
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, Chaedar.1985. Sosiologi Bahasa. Bandung : Angkasa.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta:Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta:Rineka Cipta
Harimurti Kridalaksana. (1982). Pengantar sosiolinguistik. Baandung:Angkasa.
Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. Cambridge:Cambridge University Press.
Holmes, Janet, 2001. An Introduction to Sociolinguistics. 2nd
ed. Edinburgh.
Person Education Limited
Janet Holmes. (2001). An introduction to sociolinguistics. Edinburgh: Person
Education Limited.
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Pengantar Soisiolinguistik. Baandung : Angkasa
Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar . Jakarta: Gramedia.
Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik Memahami Bahasa dalam Konteks
Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta : Kesaint Blanc.
M.S, Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Puspitasari, Emi. 2008. Objek Linguistik: Bahasa dalam http://cakrabuwana. files.
wordpress.com/2008/09/emi-bab-iii1.pdf
Setyaningsih, Nina. 2008. Alih Kode dan Campur Kode pada Mailing List
Spolsky, Bernard. 1998. Sociolinguistics. Berlin:Oxford University Press.
Indonesiasaram. 2007. Tentang Campur Kode
Sumarlan. 2005. Teori dan Praktik Analisi Wacana. Solo: Pustaka Cakra
Surakarta.
Suamarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Sabda
62
RIWAYAT HIDUP
Nur Azizah. Lahir di Ujung Pandang, pada tanggal 17
Mei 1992 dan merupakan anak kedua dari tiga
bersaudara. Penulis lahir dari pasangan suami istri H.
Abd. Rahman Adam dan Hj. Nadira.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Inpres Pandang-Pandang lulus
pada tahun 2003, lalu melanjutkan sekolah menengah pertama di SMP Negeri 1
Pallangga dan lulus pada tahun 2006, dan kemudian melanjutkan jenjang
pendidikan ke Universitas Muhammadiyah Makassar pada tahun 2009 sampai
dengan penulisan skripsi ini penulis masih terdaftar sebagai mahasiswa S1
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar.
Top Related