Download - ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

Transcript
Page 1: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM

KOMUNIKASI TRANSGENDER DI KAWASAN

LAPANGAN KAREBOSI MAKASSAR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh

NUR AZIZAH

NIM : 10533 5793 09

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDi

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

Page 2: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

2015

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM

KOMUNIKASI TRANSGENDER DI KAWASAN

LAPANGAN KAREBOSI MAKASSAR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh

NUR AZIZAH

NIM : 10533 5793 09

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDi

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

2015

Page 3: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …
Page 4: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …
Page 5: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …
Page 6: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

1

ABSTRAK

Nur Azizah. 2014. Wujud Alih Kode dan Campur Kode dalam Ragam

Komunikasi Transgender di Kawasan Lapangan Karebosi Makassar. Skripsi.

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Pembimbing I Kamaruddin,

dan Pembimbing II ST. Suwadah Rimang.

Penelitian ini dilakukan dengan mendeksripsikan adanya jenis alih kode

dan faktor kode, serta faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode

dalam komunikasi transgender di Lapangan Karebosi, Makassar. Penelitian ini

menggunakan pendekatan deskriptif. Dat diperoleh dengan teknik menyimak

deskriptif tanpa partisipasi dan merekam. Data dianalisis dengan teknik analisis

deskriptif dengan langkah pengkodean dan pengklasifikasian. Dari hasil penelitian

diperoleh empat kesimpulan.

Pertama, jenis alih kode yang terdapat dalam penelitian ini adalah alih

kode berupa alih kode antar-bahasa dan antar-ragam. Kedua, faktor penyebab

terjadinya alih kode adalah pencapaian tujuan tertentu, perubahan topic

pembicaraan, dan penguasaan bahasa penutur. Ketiga, jenis campur kode yang

terdapat dalam penelitian ini adalah campur kode ke dalam dan campur kode ke

luar. Campur kode ke dalam meliputi campur kode penyisipan kata, frasa, dan

nama diri. Keempat, faktor peyebab terjadinya campur kode adalah pencapaian

tujuan tertentu, kondisi, kepraktisan, pengaruh ragam bahasa, dan perubahan

topik.

Kata Kunci: Alih Kode, Alih Kode Internal, Alih Kode Antar –Bahasa, Alih

Kode Antar-Ragam, Campur Kode

Page 7: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Interaksi sebagai kebutuhan sosial yang urgen dalam kehidupan

masyarakat telah menempatkan fungsi bahasa sebagai alat dalam menyampaikan

hasil pikiran atau ide. Bahasa sebagai sarana berkomunikasi dalam kehidupan

sosial, tidak dapat dilepaskan dari peranan sistem penyusunnya, di antaranya

kode.

Definisi kode menurut Poejosoedarmo (dalam Ahdiryono, 2014) ialah

Suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri-ciri

khas sesuai dengan latar belakang penutur relasi penutur dengan lawan

bicara, dan situasi tutur yang ada.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kode adalah satuan pembentuk fungsi

bahasa yang paling dasar yang bertujuan untuk menyampaikan maksud dan tujuan

szxxyang ingin disampaikan oleh si pembicara kepada lawan bicaranya. Dalam

kajian linguistik, istilah kode sering dihubungkan dengan varian di dalam hierarki

kebahassan yang mengacu kepada variasi bahasa seperti varian regional, varian

kelas sosial, varian ragam, dan gaya rangkum dalam laras bahasam serta varian

kegunaan atau register. Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa kode

memliki hubungan dengan fungsi-fungsi sosial bahasa yang terdapat di dalam

komunikasi sehari-hari yang terjadi di lingkungan masyarakat penutur yang

mendukung terjadinya berbagai bentuk alih kode dan campur kode.

Page 8: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

3

Hubungan bahasa dengan kode dalam ragam ranah komunikasi osial

kemasyarakatan semakin dipertegas dengan pendapat dari Owen (dalam

Ahdiryono, 2014) yang menjelaskan bahwa definisi bahasa yaitu:

Kode yang diterima secara sosial atau sistem konvensional untuk

menyampaikan konsep melalui kegunaan simbol-simbol yang dikehendaki

dan kombinasi symbol-simbol yang diatur oleh ketentuan.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat ditarik sebuah kesimpula bahwa

perpaduan antara kode dan fungsi-fungsi bahasa dalam tatanan sosial

kemasyarakatan telah berdampak pada timbulnya variasi dalam dialog yang

menggabungkan unsur-unsur kebahasaab yang dalam kajian ilmu linguistik

dikenal dengan alih kode dan campur kode.

Appel mendefinisikan alih kode itu sebagai “gejala peralihan pemakaian

bahasa karena berubahnya situasi” (dalam Chaer dan Agustina, 2010:107). Namun

berbeda dengan Appel yang berpendapat bahwa alih kode terjadi antar bahasa,

maka Hymes menyatakan bahwa “alih kode bukan hanya terjadi antar bahasa,

tetapi alih kode juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat

dalam suatu bahasa” (dalam Chaer dan Agustina, 2010:107). Berdasarkan

pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa alih kode merupakan gejala peralihan

pemakaian bahasa karena perubahan peran dan situasi. Alih kode menunjukkan

adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasional yang

relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.

Sedangkan Kchru (dalam Ilmusastra, 2014) memberikan definisi bahwa

“campur kode merupakan pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling

memasukkan unsure-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara

Page 9: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

4

konsisten.” Pengertiaan campur kode yang lebih dipertegas lagi oleh pendapat

Auzar dan Hermandra (dalam As-Nawi, 2013) yang mendefenisikan campur kode

sebagai “kegiatan mencampur dua bahasa atau lebih dalam satu tindakan

berbahasa”. Selanjutnya Jendra (dalam Ilmusastra, 2014) menambahkan bahwa:

“seseorang yang bercampur kode mempunyai latar belakang tertentu, yaitu

adanya kontak bahasa dan saling ketergantungan bahasa (language

dependency), serta ada unsur bahasa lain dalam suatu bahasa, namun,

unsur bahasa lain mempunyai fungsi dan peranan yang berbeda.”

Meskipun terdapat definisi yang berbeda antara alih kode dan campur

kode tetapi dalam pengaktualisasiannya keduanya memiliki kesamaan fungsi.

Kesamaan antara alih kode dan campur kode yang ditinjau dari ranah fungsinya

yang sama-sama merupakan hasil perpaduan antara bahasa sebagai kode dengan

keadaan sosial masyarakat direlasikan dengan kenyamanan berkomunikasi.

Kenyamanan dalam berkomunikasi tidak hanya terhubung dengan dua

pribadi yang berdialog, tetapi dapat ditarik ke skala yang lebih besar yatu

komunitas. Istilah komunitas berasal dari bahasa latin communitas yang berasal

dari kata communis yang artinya masyarakat, public, atau banyak orang.

Wikipedia bahasa Indonesia (dalam Untukku, 2014) menjelaskan pengertian

komunitas sebagai “sebuah kelompok sosia dari beberapa organism yang berbagi

lingkungan, umumnya memiliki keterkaitan dan habitat yang sama”. Dalam

komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud,

kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, resiko, dan sejumlah kondisi

lain yang serupa.

Page 10: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

5

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa definisi

komunitas adalah kumpulan orang yang berbeda di dalam satu lingkup sosial

tertentu yang memiliki kesamaaan, baik dari cara pandang, maupun hal-hal lain

yang membuat anggotanya saling terhubng. Salah satu contoh komunitas yang

terbentuk di antaranya adalah komunitas berdasarkan gender.

Menurut Fakih (dalam Psikologi, 2014) gender dapat diartikan sebagai

“fungsi alat-alat biologis yang membedakan antara laki-laki dan perempuan yang

tidak dapat dipertukarkan karena sudah menjadi kodrat Tuhan”. Sedangkan

Echols dan Sadhily (dalam Psikologi, 2014) mengemukakan bahwa kata gender

berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin, sehingga secara umum

pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan

apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku.

Berdasaarkan pengertian tersebut, gender dapat dipahami sebagai

pengklaasifikasian manusia berdasarkan jenis kelamin sebagai suatu bagian yang

melekat pada fisik yang memepengaruhi segala aspe tingkah laku atau cara

berbahasa atau berkomunikasi.

Terkait dengan hubungan antar gender dan bahasa, para ahli seperti

Sumarsono dan Partana (Herman, 2014) mengatakan bahwa “ada perbedaan

yanag sangat jelas dalam penggunaan bahasa antara lai-laki dan perempuan”. Hal

yang mendasari pendapat tersebut adalah hasil penelitian mereka terhadap

masyarakat di Kepulauan Antinel Kecil, Hindia Barat yanag menyatakan bahwa

terdapat jenis-jenis kosakata dalam bahasa mereka yang boleh diucapkan oleh

kaum pria tetapi tabu untuk diucapkan oleh kaum wanita.

Page 11: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

6

Selain Sumarsono dan Partana, ahli lain yang juga mengungkapkan adanya

perbedaan bentuk pengunaan bahasa antara laki-laki dan perempuan adalah

Lackoff (Nickmenik, 2014) yang secara eksplisit mengemukakan bahwa “bahasa

kaum wanita bersifat intuitif penuh pertimbangan. Kata, bunyi, dan tata kalimat

pada bahasa dan kaum wanita memberikan sumbangan cukup besar dalam

membangun gaya dalam berkomunikasi yang sopan”.

Penelitian para ahli tentang relasi antara bahasa dan gender, seringkali

hanya menitikberatkan penelitiannya kepada pembagian besar gender yaitu

perempuan dan laki-laki. Padahal, ada jenis gender lain yang seringkali kurang

mendapat perhatian karena termarginalkan dari kehidupan masyarakat yaitu waria

atau transgender.

Definisi transgender (dalam Wikipedia, 2014) adalah:

Istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan orang yang melakukan,

merasa, berpikir, atau terlihat berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan

saat mereka lahir.

Sedangkan berdasarkan American Psychologist Assosiation (APA)

Dictionary

Transgender memiliki atau berhubungan dengan identitas gender yang

berbeda dari kultural peran gender yang ditentukan dan jenis kelamin

secara biologika.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, secara sederhana dapat

disimpulkan bahwa transgender adalag orang-orang yang berperilaku berbeda

dengan kodrat biologis mereka. Pengertian transgender berdasarkan pendapat

tersebut, secara tidak langsung telah menimbulkan stigma yang negatif terhadap

Page 12: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

7

karakter transgender, baik dalam bentuk individu maupun kelompok. Khusus di

daerah Makassar,

Pandangan terhadap transgender terbagi ke dalam dua pandangan, ada

yang menganggap bahwa transgender adalah layaknya manusia biasa yang juga

berhak untuk dimasukkan ke dalam status kemasyrakatan. Bahkan, di beberapa

daerah, peran transgender dikaitkan dengan nilai-nilai kultural yang telah melekat

di dalam masyarakat (bahkan transgender dianggap sebagai penghubung dunia

spiritual). Jika ada kubu yang memposisikan transgender sebagai bagian dari

identitas cultural, maka di satu sisi transgender juga mengalami pemarginalan.

Khusus untuk kalangan yang biasanaya memarginalkan komunitas trasgender,

seringkali nilai-nilai yang dianut adalah moral dan agama yang sejak lama

memandang bahwa transgender adalah sebuah bentuk penyimpangan yang harus

dijauhkan dari tatanan hidup kemasyarakatan denfan tujuan agar kehidupan sosial

menjadi lebih baik

Walaupun di beberapa komunitas modern di berbagai Negara transgender

telah diakui sebagai salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam konstruksi

sosial masyarakat. Alas an lain timbulnya gejolak pemarginalan transgender di

kalangan msyarakat Makassar lebih dikarenakan pandangan bahwa kehidupan

seorang transgender identik dengan pekerjaan yang menyangkut pemuasan

syahwat seksual yang bersifat abnormal (asusila).

Khusus untuk kasus yang kedua, dimana transgender sering dihubungkan

dengan perilaku sosial menyimpang, ada suatu komunitas transgender yang

seringkali terlihat berkmpul di alun-alun kota Makassar yaitu Lapangan Karebosi

Page 13: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

8

menjelang waktu tengah malam. Komunitas transgender ini seringkali disebut

sebagai komunitas bencong (transgender) Karebosi.

Komunitas transgender Karebosi yang seringkali mendapat ancaman

keselamatan di saat mereka sedang beroperasi berusaha memproteksi diri dan

komunitas mereka. Tidak hanya dengan membawa alat pelindung keselamatan

tapi juga berinsiatif untuk membuat semacam kode bahasa yang bentuknya

merupakan penggabungan unsur-unsur kebahasaan yang umum dengan tujuan

menciptakan pemahaman dan kenyamanan dalam dalam komunkasi antar anggota

transgender di dalam komunitas mereka, Penggabungan kode-kode semacam ini

dalam tataran linguistik (sebagaimana yang telah dijelaskan di atas) dikenal

dengan fenomena alih kode dan campur kode.

Berangkat dari hal tersebut, penulis berinisiatif untuk meneliti tentang

bagaimana alih kode dan campur kode berperan di dalam komunikasi komunitas

transgender di kawasan Lapangan Karebosi Makassar

B. Rumusan Masalah

Komunitas transgender di wilayah Lapangan Karebosi Makassar

merupakan bagian dari masyarakat tutur dan sosial yang menggunakan bahasa

dalam bentuk kode pada saat berkomunikasi. Berdasarkan uraian tersebut maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Tipe alih kode dan campur kode yang terjadi pada komunikasi

transgender di kawasan Lapangan Karebosi Makassar

Page 14: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

9

2. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode dan campur

kode dalam komunikasi antar anggota komunitas transgender Karebosi

C. Definisi Operasional Penelitian

Untuk menghindari kekeliruan penafsiran terhadap variabel, kata dan

istilah teknis yang terdapat dalam judul, maka penulis merasa perlu untuk

mencantumkan definisi operasional dan ruang lingkup penelitian dalam skripsi

ini. Judul penelitian adalah “Alih Kode dan Campur Kode dalam Ragam

Komunikasi Transgender di Kawasan Lapangan Karebosi Makassar”.

Dengan pengertian antara lain:

a. Komunitas adalah kelompok organism yang hidup dan saling

berinteraksi pada satu lingkungan tertentu

b. Ragam adalah variasi dari suatu bentuk pola yang dipengaruhi oleh

variabel-variabel tertentu

c. Komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita

antara ddua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat

dipahami

d. Transgender adalah seseorang ynag bertingkah laku yang tida sesuai

dengan kesesuaian gender aslinya

e. Alih kode atau Code Switching adalah peristiwa peralihan dari satu

kode ke kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur

f. Campur kode adalah suatu keadaan berbahasa yang mencampur dua

(atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam satu tindakan tutur

Page 15: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

10

D. Tujuan penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. untuk mengetahui wujud alih kode dan campur kode yang terdapat

pada ragam bahasa transgender di lingkungan Lapangan Karebosi

Makassar

b. untuk mengetahui penyebab terjadinya alih kode dan campur kode

dalam komunikasi transgender

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat

bagi studi linguistik dan informasi yang akhir-akhir ini makin banyak

memeperoleh kajian dari berbagai disiplin ilmu, baik melalui kajian teoretis

maupun kajian riset di bidang terapan

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat merefleksikan tentang

wujud alih kode dan campur kode dalam ragam bahasa transgender di kawasan

Lapangan Karebosi dan tidak kalah pentingnya bahwa penelitian ini dapat

memperkaya hasil kajian di bidang ilmu linguistic tentang hubungan bahasa

dengan gender yang seringkali tidak menarik minat para peneliti (utamanya pada

objek penelitian yang berkaitan dengan transgender).

Page 16: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

11

Secara khusus, manfaat praktis bagi kalangan transgender dan masyarakat

umum adalah memperkaya khazanah pengetahuan dan memperkenalkan tentang

variasi bahasa yang sering digunakan dalam rangka penyampaian berbagai

gagasan dalam ranah komunikasi komunitas trangender Karebosi Makassar.

Page 17: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

1. Pengertian Bahasa

Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kebutuhan untuk selalu

berinteraksi dengan sesamanya dengan menggunakan bahasa. Pengertian bahasa

menurut Bloomfield ( dalam Sumarsono, 2007:17) adalah

Sistem lambang yang berupa bunyi yang bersifat sewenang-wenang

(arbitrer) yang dipakai oleh anggota-anggota masyarakat untuk saling

berhubungan dan berinteraksi.

Sedangkan menurut Wibowo (dalam Wismasastra, 2014) pengertian

bahasa adalah

Sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat

ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai sebagai alat

berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan

pikiran.

Hampir senada dengan pendapat Wibowo, Walija (dalam Wismasastra,

2014), mengungkapkan definisi bahasa adalah “komunikasi yang paling lengkap

dan efektif untuk menyampaikan ied, pesan, maksud, dan pendapat kepada orang

lain.” Pendapat lainnya tentang definisi bahasa juga diungkapkan oleh

Syamsuddin (Wismasastra, 2014), beliau berpendapat bahwa, bahasa adalah “alat

yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan, dan perbuatan-

perbuatan, alat yang dipakai untuk memperngaruhi dan dipengaruhi.

Page 18: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

13

2. Ragam Bahasa

Menurut Wikipedia (2014) ragam bahasa adalah varian dari sebuah bahasa

menurut pemakaian. Berbeda dengan dialek yaitu varian dari sebuah bahasa

menurut pemakai. Variasi tersebut berbentuk dialek, aksen, laras, gaya, atau

berbagai variasi linguistik lain termasuk bavariasi bahasa baku itu sendiri.

Menurut Bachman (dalam Ryu, 2014) ragam bahasa adalah variasi bahasa

menurut pemakaian yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan menurut

hubungan pembiara, orang yang dibicarakan, serta medium pembicara.

3. Gender

Gender diartikan sebagai jenis kelamin (KBBI 2008:439). Kata ”gender”

berasal dari bahasa Latin genus yang berarti jenis atau tipe. Baron (Klikpsikologi,

2014) mengartikan bahwa gender merupaka “Sebagian konsep diri yang

melibatkan identifikasi individu sebagai seorang perempuan atau laki-laki”.

Sedangkan Fakih (Klikpsikologi, 2014) mengemukakan bahwa gender adalah

“Suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang

dikonstruksikan secara sosial maupun kultural.” Perubahan cirri dan sifat-sifat

yang terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lainnya disebut

konsep gender.

Dari berbagai definisi yang disampaikan oleh para ahli tersebut dapat

ditarik sebuah kesimpulan bahwa gender adalah suatu konsep cultural yang

merujuk pada karakteristik yang membedakan antara pria dan wanita baik secara

biologis, perilaku, mentalitas, dan sosial budaya.

Page 19: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

14

Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara

laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Sejauh ini

persoalan Gender lebih didominasi oleh perspektif perempuan, sementara dari

perspektif pria sendiri belum begitu banyak dibahas. Dominannya perspektif

perempuan sering mengakibatkan jalan buntu dalam mencari solusi yang

diharapkan, karena akhirnya berujung pada persoalan yang bersumber dari kaum

laki-laki. Ada beberapa fenomena yang sering kali muncul pada persoalan

Gender.

Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John

M. Echols dan Hassan Sadhily, 1983: 256). Secara umum, pengertian Gender

adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari

nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa

Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction)

dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki

dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan

Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.

Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan

keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri

dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki

yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan

ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke

tempat yang lain (Mansour Fakih 1999: 8-9).

Page 20: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

15

Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender

dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu

istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial

budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan

sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai

sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.

Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada

paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural

dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi

bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi.

Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam

masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif

dapat dihubungkan dengan karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart

Spincer (1820-1930), dan masih banyak para ilmuwan yang lain.

Teori fungsionalis kontemporer memusatkan pada isu-isu mengenai

stabilitas sosial dan harmonis. Perubahan sosial dilukiskan sebagai evolusi

alamiah yang merupakan respons terhadap ketidakseimbangan antar fungsi sosial

dengan struktur peran-peran sosial. Perubahan sosial secara cepat dianggap

perubahan disfungsional.

Hilary M. Lips dan S. A. Shield membedakan teori strukturalis dan teori

fungsionalis. Teori strukturalis condong ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis

lebih condong ke psikologis namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama.

Dalam teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan

Page 21: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

16

kelestarian, keharmonisan daripada bentuk persaingan (Talcott Parson dan Robert

Bales). Sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan

keseimbangan dalam masyarakat, misalnya laki-laki sebagi pemburu dan

perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan fungsi reproduksinya menuntut

untuk berada pada peran domestik. Sedangkan laki-laki pemegang peran publik.

Dalam masyarakat seperti itu, stratifikasi peran gender ditentukan oleh jenis

kelamin (sex).

Kritik terhadap aliran tersebut bahwa struktur keluarga kecil yang menjadi

ciri khas keluarga modern menyebabkan perubahan dalam masyarakat. Jika dulu

tugas dan tanggung jawab keluarga besar dipikul bersama-sama, dewasa ini fungsi

tersebut tidak selalu dapat dilakukan.

Sedangkan teori konflik diidentikkan dengan teori marxis karena

bersumber pada tulisan dan pikiran Karl Marx. Menurut teori itu, perubahan

sosial, terjadi melalui proses dialektika. Teori itu berasumsi bahwa dalam susunan

masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan

kekuasaan.

Friedrich Engels, melengkapi pendapat Marx bahwa perbedaan dan

ketimpangan gender tidak disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin (biologis),

akan tetapi merupakan divine creation.

Engels memandang masyarakat primitif lebih bersikap egaliter karena

ketika itu belum dikenal adanya surplus penghasilan. Mereka hidup secara

nomaden sehingga belum dikenal adanya pemilikan secara pribadi. Rumah tangga

Page 22: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

17

dibangun atas peran komunitas. Perempuan memiliki peran dan kontribusi yang

sama dengan laki-laki.

Menurut Marxisme, penindasan perempuan dalam dunia kapitalis karena

mendatangkan keuntungan. Pertama, eksploitasi wanita dalam rumah tangga akan

meningkatkan meningkatkan produksi kerja laki-laki di pabrik-pabrik. Kedua,

perempuan yang terlibat peran produksi menjadi buruh murah, memungkinkan

dapat menekan biaya produksi, sehingga perusahaan lebih diuntungkan. Ketiga,

masuknya perempuan sebagai buruh murah dan mengkondisikan buruh-buruh

cadangan akan memperkuat posisi tawar pihak kapitalis, mengancam solidaritas

kaum buruh. Ketiga, hal tersebut dapat mempercepat akumulasi kapital bagi

kapitalis (Mansour Fakih, 1996: 87-88).

Sedangkan Dahrendarf dan Randall Collins tidak sepenuhnya sependapat

dengan Marx dan Engels. Menurutnya konflik tidak hanya terjadi pada perjuangan

pekerja kepada pemilik modal, tetapi juga disebabkan oleh faktor kesenjangan

antara anak dan orang tua, istri dengan suami, junior dengan senior dan

sebagainya.

4. Pengertian Kode

Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian bahasa dalam

hierarki kebahasaan selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa

Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia, dll.), juga mengacu kepada variasi bahasa,

seperti variasi regional (bahasa Jawa dialek Banyumas, Jogja-Solo, Surabaya),

juga varian kelas sosial disebut sebagai dialek sosial dan sosiolek (bahasa Jwa

Page 23: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

18

halus dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya

sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa

pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak). Pendapat tersebut senada dengan persepsi

Suwito (dalam sastrapuisi, 2014) yang mendefinisikan kode sebagai “salah satu

variasi dalam hierarki kebahasaan”.

Wojowasito (Sastrapuisi, 2014) yang mendefenisikan istilah kode sebagai

“pengertian yang agak lurus, tidak saja berupa bahasa dan logat tetapu juga

tingkat-tingkat, gaya cerita, dan gaya percakapan”. Sedangkan Poejosoedarmo

(SastraPuisi, 2014) mengartikan kode sebagai “suatu sistem tutur yang penerapan

unsur bahasanya mempunyai cirri-ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur,

relasi penutur dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada”.

Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan

dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul degan kode yang

terdiri atas varian ragam, gaya, dan register.

5. Alih Kode

Alih kode (code switching) adalah suatu gejala kebahasaan yang sering

muncul dalam kehidupan sehari-hari. Gejala alih kode tersebut muncul d tengah-

tengah tindak tutur yang disadari dan memiliki sebab. Berbagai tujuan dari si

pelaku tindak tutur yang melakukan alih kode dapat dilihat dari tuturan yang

dituturkannya. Beberapa ahli telah memberikan batasan dan pendapat mengenai

alih kode. Batasan dan pendapat tersebut diperoleh setelah mereka melakukan

Page 24: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

19

penelitian dan pengamatan terhadap objek yang melakukan alih kode dalam

tindak tuturnya.

Alih kode atau code switching adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke

kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur, misalnya, penutur menggunakan

bahasa Indonesia kemudian beralih menggunakan bahasa Inggris. Alih kode

merupakan salah satu aspke ketergantungan bahasa dalam masyarakat

multilingual. Dalam alih kode setiap bahasa cenderung mendukung fungsi

masing-masing dan sesuai dengan konteksnya.

Appel (dalam Chaer dan Agustina, 2010:107) sebagai “gejala peralihan

pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Namun berbeda dengan Appel

yang berpendapat bahwa alih kode hanya terjadi antar bahasa, maka Hymes

(Chaer dan Agustina, 2010:107) menyatakan bahwa “Alih kode bukan hanya

terjadi antar bahasa, tetapi alih kode juga dapat terjadi antar ragam-ragam atau

gaya-gaya yang terdapat di dalam suatu bahasa” `

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa alih kode

merupakan gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan peran dan

situasi. Alih kode menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi

kontekstual dan situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.

a. Faktor-faktor Penyebab Alih Kode

1) Pembicara

Selain sikap kemultibahasaan yang dimiliki oleh masyarakat tutur, terdapat

beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peristiwa alih kode, seperti

Page 25: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

20

yang dikemukakan Chaer perilaku atau sikap penutur, yang dengan

sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena tujuan tertentu. Misalnya

mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya.

Kemudian ada juga penutur yang mengharapkan sesuatu dari mitra

tuturnya atau dengan kata lain mengharapkan keuntungan atau manfaat

dari percakapan yang dilakukanya. Sebagai contoh, A adalah orang

sumbawa. B adalah orang batak. Keduanya sedang terlibat percakapan.

Mulanya si A berbicara menggunakan bahasa Indonesia sebagai pembuka.

Kemudian ditanggapi oleh B dengan menggunakan bahasa Indonesia juga.

Namun ketika si A ingin mengemukakan inti dari pembicaraannya maka ia

kemudian beralih bahasa, yaitu dari bahasa Indonesia ke bahasa Batak.

Ketika si A beralih menggunakan bahasa Batak yang merupakan bahasa

asli B, maka B pun merespon A dengan baik. Maka disinilah letak

keuntungan tersebut. A berbasa basi dengan menggunakan bahasa

Indonesia, kemudian setelah ditanggapi oleh B dan ia merasa percakapan

berjalan lancar, maka si A dengan sengaja mengalihkan ke bahasa batak.

Hal ini disebabkan si A sudah ingin memulai pembicaraan yang lebih

dalam kepada si B. Selain itu inti pembicaraan tersebut dapat tersampaikan

dengan baik, karena mudah dimengerti oleh lawan bicara yaitu B.

Peristiwa inilah yang menyebakan terjadinya peristiwa alih kode.

2) Lawan Tutur

Mitra tutur atau lawan tutur dapat menyebabkan peristiwa alih kode.

Misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa

Page 26: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

21

lawan tuturnya. Dalam hal ini biasanya kemampuan berbahasa si lawan

tutur kurang atau agak kurang karena mungkin bahasa tersebut bukan

bahasa pertamanya. Jika lawan tutur yang latar belakang kebahasaannya

sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud alih varian (baik

regional maupun sosial), ragam, gaya, atau register. Kemudian bila lawan

tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa

alih bahasa. Sebagai contoh, Rani adalah seorang pramusaji disebuah

restoran. Kemudian Ia kedatangan tamu asing yang berasal dari Jepang.

Tamu tersebut ingin mempraktikkan bahasa Indonesia yang telah Ia

pelajari. Pada awalnya percakapan berjalan lancar, namun ketika tamu

tersebut menanyakan biaya makanya Ia tidak dapat mengerti karena Rani

masih menjawab denganmenggunakan bahasa Indonesia. Melihat tamunya

yang kebingungan tersebut, secara sengaja Rani beralih bahasa, dari

bahasa Indonesia ke bahasa Jepang sampai tamu tersebut mengerti apa

yang dikatakan Rani. Dari contoh di atas dapat dikatakan telah terjadi

peristiwa peralihan bahasa atau disebut alih kode, yaitu bahasa Indonesia

ke bahasa Jepang. Oleh karena itu lawan tutur juga sangat mempengaruhi

peristiwa alih kode.

3) Hadirnya Penutur Ketiga

Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang

bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan

lawan tutur dapat menyebabkan peristiwa alih kode.

Page 27: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

22

Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga,

biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang

kebahasaan mereka berbeda. Sebagai contoh, Tono dan Tini bersaudara.

Mereka berdua adalah orang Sumbawa. Oleh karena itu, ketika berbicara,

mereka menggunakan bahasa yang digunakan sehari-hari, yaitu bahasa

Sumbawa. Pembicaraan berjalan aman dan lancar. Tiba-tiba datang Upik

kawan Tini yang merupakan orang Lombok. Untuk sesaat Upik tidak

mengerti apa yang mereka katakan. Kemudian Tini memahami hal

tersebut dan langsung beralih ke bahasa yang dapat dimengerti oleh Upik,

yaitu bahasa Indonesia. Kemudian Ia bercerita tentang apa yang Ia

bicarakan dengan Tono dengan menggunakan bahasa Indonesia. Inilah

yang disebut peristiwa alih kode. Jadi, kehadiran orang ketiga merupakan

faktor yang mempengaruhi peristiwa alih kode.

4) Perubahan Situasi

Perubahan situasi pembicaraan juga dapat mempengaruhi terjadinya laih

kode. Situasi tersebut dapat berupa situasi formal ke informal atau

sebaliknya.

5) Topik Pembicaraan

Topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih

kode. Topik pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan

dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan

yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa nonbaku, gaya sedikit

emosional, dan serba seenaknya.

Page 28: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

23

b. Jenis Alih Kode

Wardaugh dan Hudson menyatakan bahwa alih kode dibagi menjadi dua,

yaitu alih kode metaforis dan alih kode situasional.

1) Alih Kode Metaforis

Alih kode metaforis yaitu alih kode yang terjadi jika ada pergantian topik.

Sebagai contoh X dan Y adalah teman satu kantor, awalnya mereka

menggunakan ragam bahasa Indonesia resmi, setelah pembicaraan urusan

kantor selesai, mereka kemudian menganti topik pembicaraan mengenai

salah satu teman yang mereka kenal. Ini terjadi seiring dengan pergantian

bahasa yang mereka lakukan dengan menggunakan bahasa daerah.

Kebetulan X dan Y tinggal di daerah yang sama dan dapat berkomunikasi

dengan menggunakan bahasa daerah tersebut. Contoh ini menjelaskan

bagaimana alih kode terjadi dalam satu situasi percakapan. Alih kode jenis

ini hanya terjadi jika si pembicara yang pada awalnya hanya

membicarakan urusan pekerjaan menggunakan ragam bahasa resmi dan

terkesan kaku kemudian berubah menjadi suasana yang lebih santai, ketika

topik berganti.

2) Alih Kode Situasional

Alih kode situasional yaitu alih kode yang terjadi berdasarkan situasi

dimana para penutur menyadari bahwa mereka berbicara dalam bahasa

tertentu dalam suatu situasi dan bahasa lain dalam situasi yang lain. Dalam

alih kode ini tidak tejadi perubahan topik

Page 29: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

24

Selain alih kode metaforis dan situsional, Suwito dalam Chaer (2004:114)

juga membagi alih kode menjadi dua jenis yaitu, alih kode intern dan alih

kode ekstern.

1) Alih Kode Intern

Alih kode intern yaitu alih kode yang berlangsung antar bahasa sendiri,

seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya.

2) Alih Kode Ekstern

Alih kode ekstern yaitu alih kode yang terjadi antara bahasa (salah satu

bahasa atau ragam yang ada dalam verbal repertoir masyarakat tuturnya)

dengan bahasa asing. Contohnya bahasa Indonesia ke bahasa Jepang, atau

sebaliknya.

c. Fungsi Alih Kode

Fungsi bahasa yang digunakan dalam suatu peristiwa tutur didasarkan

pada tujuan berkomunikasi. Fungsi bahasa merupakan ungkapan yang

berhubungan dengan tujuan tertentu, seperti perintah, menawarkan,

mengumumkan, memarahi, dan sebagainya. Pembicara menggunakan bahasa

menurut fungsi yang dikehendakinya sesuai dengan tujuan, konteks dan situasi

komunikasi. Dalam kegiatan komunikasi pada masyarakat multilingual alih

kode dan campur kode pada umumnya dilakukan antara lain untuk tujuan-

tujuan berikut.

Page 30: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

25

1) Mengakrabkan suasana

Sebuah informasi dalam gagasan /pesan yang disampaikan oleh seorang

penutur akan lebih mudah dipahami atau lebih cepat berterima jika ada

kedekatan secara emosional antara individu-individu yang terlibat dalam

peristiwa tutur. Misalnya, seseorang yang baru mengenal orang lain di

suatu tempat, awalnya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia tetapi

ketika mengetahui bahwa lawan bicara memiliki latar kedaerahan yang

sama maka keduanya segera beralih kode ke bahasa daerahnya.

2) Menghormati lawan bicara

Dalam peristiwa tutur antara seseorang yang lebih tua dengan yang lebih

muda atau seseorang dengan status sosial yang lebih rendah dengan orang

yang memiliki status sosial lebih tinggi, atau antara atasan dan

bawahan, alih kode dan campur kode kerap terjadi dengan tujuan

menghargai atau menghormati lawan bicara.

3) Meyakinkan topik pembicaraan

Kegiatan alih kode dan campur kode juga sering digunakan ketika seorang

pembicara memberi penguatan untuk meyakinkan topik pembicaraannya.

4) Untuk membangkitkan rasa humor

Dalam kegiatan berbahasa dalam situasi tertentu. Biasanya terjadi alih

kode yang dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara

dengan tujuan membangkitkan rasa humor untuk memecahkan kekakuan.

Alih kode ini dilakukan dalam bentuk pemberian ilustrasi-ilustrasi atau

anekdot-anekdot.

Page 31: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

26

5) Untuk sekadar bergaya atau bergengsi

Walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional

tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak

adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif. Gejala

seperti ini banyak kita temukan pada gaya bahasa para remaja atau artis

selebriti. Biasanya mereka menggunakan bahasa Indonesia ragam Jakarta

yang bercampur kode bahasa Inggris seakan ingin menampilkan trend

setter yang kebarat-baratan.

6. Campur Kode

Di antara sesama penutur yang bilingual atau multilingual sering dijumpai

suatu gejala yang dapat dipandang sebagai suatu kekacauan berbahasa. Fenomena

ini berbentuk penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam satu

kalimat. Dengan demikian campur kode dapat didefenisikan sebagai penggunaan

lebih dari satu bahasa atau kode dalam satu wacana.

Chaer dan Agustina (1995:114) menjelaskan bahwa campur kode adalah

pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam suatu

masyarakat tutur, di mana salah satu merupakan kode utama atau kode dasar yang

digunakan yang memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain

yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja.

Dalam campur kode terdapat serpihan-serpihan suatu bahasa yang digunakan oleh

seorang penutur, tetapi pada dasarnya dia menggunakan satu bahasa tertentu.

Serpihan di sini dapat berupa kata, frasa, atau unit bahasa yang lebih besar.

Page 32: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

27

Campur kode merupakan situasi pengguanaan suatu bahasa ke dalam

bahasa lain. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai pencampuran bahasa. Campur

kode dapat juga dinyatakan pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian

bahasa dalam suatu situasi tertentu. Berdasarkan KBBI (2005:190) “Campur kode

merupakan penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk

memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, pemakaian kata, klausa, idiom, dan

sapaan.”

Berdasarkan konsep tersebut dapat dinyatakan bahwa campur kode

merupakan peristiwa pencampuran bahasa pada situasi atau konteks tertentu.

Pencampuran bahasa tersebut bertujuan memberikan pemahaman yang lebih jelas

terhadap konteks atau maksud yang ingin disampaiakn dalam pembicaraan.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa campur kode menitikberatkan pada

penggunaan atau pemakaian satuan bahasa ke dalam bahasa lain berdasarkan

situasi tertentu dan bertujuan memperluas gaya atau memperindah situasi tutur.

Menurut Nababan (1986:32) “Campur bahasa merupakan mencampur dua atau

lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindakan bahasa

(speechact atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang

menuntut pencampuran bahasa itu` Dalam keadaan yang demikian, hanya

kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang dituruti.” Berdasarkan peryataan

tersebut dapat dinyatakan bahwa pencampuran bahasa tidak dipengaruhi oleh

situasi berbahasa. Hal ini tidak sejalan dengan konsep campur kode yang ada

dalam KBBI yang telah dikemukakan.

Page 33: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

28

Berdasarkan konsep Nababan mengenai campur kode, situasi tutur tidak

berperan penting dalam mempengaruhi campur tutur. Justru kesantaian dan

kebiasaanlah yang menentukan atau mempengaruhi seseorang dalam melakukan

campur kode. Auzar dan Hermandra (2006:49) memperjelas bahwa campur kode

adalah kegiatan mencampur dua bahasa atau lebih dalam suatu tindakan

berbahasa.

Nababan (1986:32), ciri yang menonjol dalam peristiwa campur kode

adalah kesantaian atau situasi informal. Jadi, campur kode umumnya terjadi

saat berbicara santai, sedangkan pada situasi formal hal ini jarang sekali

terjadi. Apabila dalam situasi formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan

tidak adanya istilah yang merajuk pada konsep yang dimaksud. Seperti telah

disebutkan bahwa kode dapat berupa idiolek, dialek, register, tindak tutur, ragam,

dan registrasi, maka unsur-unsur yang bercampur pun dapat berupa varian bahasa

maupun bahasa itu sendiri. Selanjutnya, Chaer dan Agustina (1995:152)

menyatakan konsep campur kode, “Apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-

klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran

(hyibrid clauses hybrid pharases), dan masing-masing klausa atau frase tidak lagi

menduduki fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah camur

kode.”

Lebih lanjut, Sumarsono (2004:202) menjelaskan kata-kata yang sudah

mengalami proses adaptasi dalam suatu bahasa bukan lagi kata-kata yang

mengalami gejala interfensi, bukan pula alih kode, apalagi campur kode. Dalam

campur kode penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain

Page 34: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

29

ketika sedang berbicara. Oleh karena itu, dalam bahasa tulisan, biasanya unsur-

unsur tersebut ditunjukkan dengan menggunakan garis bawah atau cetak miring

sebagai penjelasan bahwa si penulis menggunakannya secara sadar. Berdasarkan

penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan penggunaan

dua bahasa dalam satu kalimat atau tindak tutur secara sadar.

Berdasarkan beberapa konsep mengenai campur bahasa dapat dapat

dinyatakan membali bahwa campur kode merupakan penggunaan atau pemakaian

dua bahasa atau lebih dalam situasi tertentu. Pemakaian dua bahasa atau lebih ini

dapat berwujud kata, frase, klausa, ungkapan, dan idiom. Pemakaian hal-hal

tersebut bertujuan menimbulkan gaya terhadap sebuah tuturan. Gaya atau cara

yang digunakan dihubungkan dengan wujud campur kode, dan membatasi wujud

campur kode tersebut terhadap situasi dan tidak lagi menduduki fungsi-fungsi

sendiri.

a. Faktor Penyebab Campur Kode

Campur kode (code mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan

suatu bahasa secara dominan untuk mendukung suatu tuturan yang disisipi dengan

unsur bahasa lainnya. Gejala campur kode ini biasanya terkait dengan

karakteristik penutur, misal, latar belakang sosil, pendidikan, dan

kepercayaan. Setidaknya ada dua hal yang paling melatarbelakangi penggunaan

campur kode. Faktor pendorong terjadinya campur kode oleh Suwito (dalam

Maulidini, 2007:37-43) dapat dibedakan atas latar belakang sikap (atitudinal type)

atau nonkebahasaan dan latar belakang kebahasaan (linguistic type)

Page 35: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

30

1) Faktor Nonkebahasaan (atitudinal type)

a. Need for Synonim maksudnya adalah penutur menggunakan bahasa lain untuk

lebih memperhalus maksud tuturan.

b. Social Value,yaitu penutur sengaja mengambil kata dari bahasa lain dengan

mempertimbangkan faktor sosial. Pada kasus disini penutur cenderung

bercampur kode dengan bahasa asing yaitu bahasa Inggris dengan maksud

menunjukan bahwa penutur merupakan seorang yang berpendidikan dan

modern sehingga dalam berkomunikasi dengan pelanggan

banyak menyisipkan kata atau istilah dalam bahasa asing.

c. Perkembangan dan Perkenalan dengan Budaya Baru

Hal ini turut menjadi faktor pendorong munculnya campur kode oleh penutur,

sebab terdapat banyak istilah dan strategi penjualan dalam bidang

telekomunikasi yangmempergunakan bahasa asing. Sehingga hal ini

mempengaruhi perilaku pemakaian kata-kata bahasa asing oleh penutur yang

sebenarnya bukanmerupakan bahasa asli penutur.

2) Faktor Kebahasaan (linguistic type)

Latar belakang kebahasaan yang menyebabkan seseorang

melakukancampur kode disebabkan oleh hal-hal berikut ini :

a. Low frequency of word,yaitu karena kata-kata dalam bahasa asing tersebut

lebih mudah diingat dan lebih stabil maknanya.

Page 36: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

31

b. Pernicious Homonimy, maksudnya adalah jika penutur menggunakankata dari

bahasanya sendiri maka kata tersebut dapat menimbulkan masalah homonim

yaitu makna ambigu.

c. Oversight, yaitu keterbatasan kata-kata yang dimiliki oleh bahasa penutur.

Banyaknya istilah dalam bidang telekomunikasi yang berasaldari bahasa

asing menyebabkan penutur sulit menemukan padanannyadalam bahasa

penutur. Contohnya: software, install, flash, restart, hang,blank

d. End (Purpose and Goal), yaitu akibat atau hasil yang dikehendaki.

End (tujuan) meliputi membujuk, dengan meyakinkan, menerangkan.

Untuk mencapai hasil tersebebut penutur harus menggunakan campur kode.

b. Jenis – Jenis Campur Kode

Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, Suwito

(1996: 92) membedakan campur kode menjadi beberapa macam antara lain.

1. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata

Kata merupakan unsur terkecil dalam pembentukan kalimat yang

sangat penting peranannya dalam tata bahasa, yang dimaksud kata

adalah satuan bahasa yang berdiri sendiri, terdiri dari morfem tunggal

atau gabungan morfem

Page 37: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

32

2. Penyisipan unsur-unsur yang berujud frasa

Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak

prediktif, gabungan itu dapat rapat dan dapat renggang (Harimurti,

2001: 59).

3. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster

Baster merupakan hasil perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda

membentuk satu makna (Harimurti, 1993: 92)

4. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata

Perulangan kata merupakan kata yang terjadi sebagai akibat dari

reduplikasi.

5. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom

Idiom merupakan konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih,

masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena

bersama yang lain atau dengan pengertian lain idiom merupakan

konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna

anggota-anggotanya.

6. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa

Harimurti (2001: 110) mendefinisikan klausa sebagai satuan gramatikal

yang berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari

subjek dan predikat serta mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.

Page 38: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

33

c. Fungsi Campur Kode

Peristiwa campur kode terjadi pula karena adanya beberapa fungsi, antara lain:

1) Sebagai Perulangan

Sering kali pesan dalam suatu bahasa (kode) diulangi dengan kode lain,

baiksecara literal atau dengan sedikit perubahan. Perulangan berfungsi

untuk memberikan penekanan pada sebuah pesan atau menjelaskan apa

yang telah dikatakan.

2) Sebagai Penyisip Kalimat

Campur kode dapat berfungsi sebagai penyisip kalimat atau penyempurna

kalimatsehingga kalimat itu menjadi kalimat yang utuh, yang bisa

berbentuk kata, frasaatau ungkapan. Maksud utuh di sini, percakapan utuh

bukan dalam hal kaidah,namun menyangkut penggabungan dua bahasa.

Penyisipan kalimat di sinidimaksudkan bahwa dalam peristiwa tutur yang

terjadi kalimat-kalimat yangdisampaikan merupakan perpaduan antara dua

bahasa atau lebih yangmengisyaratkan terjadinya peristiwa campur kode

3) Sebagai Kutipan

Dalam banyak hal, campur kode dapat diidentifikasikan baik sebagai

kutipan langsung maupun sebagai laporan seorang penutur bilingual,

dalam sela-sela pembicaraannya kadang-kadang menggunakan kode

bahaasa lain yang telah dinyatakan oleh seseorang.

Page 39: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

34

Alih kode ini dilakukan dalam bentuk pemberian ilustrasi-ilustrasi atau anekdot-

anekdot.

Walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional

tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya

pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif. Gejala seperti ini

banyak kita temukan pada gaya bahasa para remaja atau artis selebriti. Biasanya

mereka menggunakan bahasa Indonesia ragam Jakarta yang bercampur kode

bahasa Inggris seakan ingin menampilkan trend setter yang kebarat-baratan.

8. Kerangka Pikir

Struktur peneliti ini disusun dengan kerangka piker yang menjelaskan

mengenai masalah dan hasil alih kode dan campur kode dalam ragam bahasa

transgender di kawasan Lapangan Karebosi Makassar. Masalah pertama yang

muncul yaitu adanya kegiatan/operasi transgender di sekitar Lapangan Karebosi

Makassar.

Pada saat berkomunikasi, para transgender ini menggunakan kode bahasa.

Kode bahasa menimbulkan adanya faktor yang melatarbelakangi pengggunaan

alih kode dan campur kode. Menggunakan satu kode pada saat berkomunikasi

dengan sesame transgender dianggap sulit untuk dilakukan, sehingga hal ini

memicu terjadinya alih kode dan campur kode. Kerangka pikiran disusun sebagai

berikut:

Page 40: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

35

Kegiatan Komunitas Transgender di

Kawasan Lapangan Karebosi

Makassar

Komunikasi dalam Komunitas Transgender

Kode bahasa adalah suatu sistem tutur yang dalam penerapannya mempunyai cirri

khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan mitra tutur dan

situasi tutur yang ada

Kode Bahasa

Indonesia

Kode

Budaya

Kode

Sastra

Alih kode

Dan

Campur Kode

Faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur kode

Faktor penyebab alih kode

a. Lebih komunikatif

b. Lebih prestis

c. Lebih argumentatif

d. Lebih persuasif

e. Lebih membangkitkan rasa simpatik

Faktor penyebab alih kode

a. Lebih komunikatif

b. Lebih singkat

c. Lebih mudah dipahami

Page 41: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

36

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian mencakup kesatuan dan keserasian proses yang

dilakukan untuk mendapatkan hasil analisis yang sesuai dengan gambaran

penggunaan alih kode dan campur kode dalam ragam bahasa transgender di

kawasan Lapangan Karebosi Makassar. Berikut ini metode penelitian yang

dimulai dari rancangan pengkhususan jenis penelitian, lokasi penelitian,

penentuan data, dan sumber data, pemilihan populasi dan sampel data, alat

penelitan, metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data,

dan metode penyajian hasil analisis data.

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Menurut Bodgan dan taylor

(dalam Aneka, 2014) metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang

dan perilaku yang dapat diamati. Data yang dikumpulkan dalam penelitian

berbentuk kata-kata dan bukan berupa angka. Penelitian ini menjelaskan

fenomena kebahasaan berupa alih kode dan campur kode dalam ragam bahasa

transgender di kawasan Lapangan Karebosi Makassar.

Page 42: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

37

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang diambil adalah kawasan Lapangan Karebosi di Jl.

Jenderal Ahmad Yani, Makassar. Alasan dipilihnya loasi tersebut karena lokasi

tersebuut merupakan tempat beroperasinya komunitas transgender yang menjadi

focus utama dalam penelitian ini.

Page 43: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

38

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Di antara sesama penutur yang bilingual atau multilingual sering dijumpai

suatu gejala yang dapat dipandang sebagai suatu kekacauan berbahasa. Fenomena

ini berbentuk penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam satu

kalimat. Dengan demikian campur kode dapat didefenisikan sebagai penggunaan

lebih dari satu bahasa atau kode dalam satu wacana.

Chaer dan Agustina (1995:114) menjelaskan bahwa campur kode adalah

pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian dari sebuah bahasa dalam suatu

masyarakat tutur, di mana salah satu merupakan kode utama atau kode dasar yang

digunakan yang memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain

yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja.

Dalam campur kode terdapat serpihan-serpihan suatu bahasa yang digunakan oleh

seorang penutur, tetapi pada dasarnya dia menggunakan satu bahasa tertentu.

Serpihan di sini dapat berupa kata, frasa, atau unit bahasa yang lebih besar.

Campur kode merupakan situasi pengguanaan suatu bahasa ke dalam

bahasa lain. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai pencampuran bahasa. Campur

kode dapat juga dinyatakan pemakaian dua bahasa atau lebih atau dua varian

bahasa dalam suatu situasi tertentu. Berdasarkan KBBI (2005:190) “Campur kode

merupakan penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk

Page 44: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

39

memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa, pemakaian kata, klausa, idiom, dan

sapaan.”

Berdasarkan konsep tersebut dapat dinyatakan bahwa campur kode

merupakan peristiwa pencampuran bahasa pada situasi atau konteks tertentu.

Pencampuran bahasa tersebut bertujuan memberikan pemahaman yang lebih jelas

terhadap konteks atau maksud yang ingin disampaiakn dalam pembicaraan.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa campur kode menitikberatkan pada

penggunaan atau pemakaian satuan bahasa ke dalam bahasa lain berdasarkan

situasi tertentu dan bertujuan memperluas gaya atau memperindah situasi tutur.

Menurut Nababan (1986:32) “Campur bahasa merupakan mencampur dua atau

lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindakan bahasa

(speechact atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang

menuntut pencampuran bahasa itu` Dalam keadaan yang demikian, hanya

kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang dituruti.” Berdasarkan peryataan

tersebut dapat dinyatakan bahwa pencampuran bahasa tidak dipengaruhi oleh

situasi berbahasa. Hal ini tidak sejalan dengan konsep campur kode yang ada

dalam KBBI yang telah dikemukakan.

Sedangkan konsep Nababan mengenai campur kode, situasi tutur tidak

berperan penting dalam mempengaruhi campur tutur. Justru kesantaian dan

kebiasaanlah yang menentukan atau mempengaruhi seseorang dalam melakukan

campur kode. Auzar dan Hermandra (2006:49) memperjelas bahwa campur kode

adalah kegiatan mencampur dua bahasa atau lebih dalam suatu tindakan

berbahasa.

Page 45: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

40

Nababan (1986:32), ciri yang menonjol dalam peristiwa campur kode

adalah kesantaian atau situasi informal. Jadi, campur kode umumnya terjadi

saat berbicara santai, sedangkan pada situasi formal hal ini jarang sekali

terjadi. Apabila dalam situasi formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan

tidak adanya istilah yang merajuk pada konsep yang dimaksud. Seperti telah

disebutkan bahwa kode dapat berupa idiolek, dialek, register, tindak tutur, ragam,

dan registrasi, maka unsur-unsur yang bercampur pun dapat berupa varian bahasa

maupun bahasa itu sendiri. Selanjutnya, Chaer dan Agustina (1995:152)

menyatakan konsep campur kode, “Apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-

klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran

(hyibrid clauses hybrid pharases), dan masing-masing klausa atau frase tidak lagi

menduduki fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah camur

kode.”

Lebih lanjut, Sumarsono (2004:202) menjelaskan kata-kata yang sudah

mengalami proses adaptasi dalam suatu bahasa bukan lagi kata-kata yang

mengalami gejala interfensi, bukan pula alih kode, apalagi campur kode. Dalam

campur kode penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain

ketika sedang berbicara. Oleh karena itu, dalam bahasa tulisan, biasanya unsur-

unsur tersebut ditunjukkan dengan menggunakan garis bawah atau cetak miring

sebagai penjelasan bahwa si penulis menggunakannya secara sadar. Berdasarkan

penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan penggunaan

dua bahasa dalam satu kalimat atau tindak tutur secara sadar.

Page 46: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

41

Berdasarkan beberapa konsep mengenai campur bahasa dapat dapat

dinyatakan membali bahwa campur kode merupakan penggunaan atau pemakaian

dua bahasa atau lebih dalam situasi tertentu. Pemakaian dua bahasa atau lebih ini

dapat berwujud kata, frase, klausa, ungkapan, dan idiom. Pemakaian hal-hal

tersebut bertujuan menimbulkan gaya terhadap sebuah tuturan. Gaya atau cara

yang digunakan dihubungkan dengan wujud campur kode, dan membatasi wujud

campur kode tersebut terhadap situasi dan tidak lagi menduduki fungsi-fungsi

sendiri.

b. Faktor Penyebab Campur Kode

Campur kode (code mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan

suatu bahasa secara dominan untuk mendukung suatu tuturan yang disisipi dengan

unsur bahasa lainnya. Gejala campur kode ini biasanya terkait dengan

karakteristik penutur, misal, latar belakang sosil, pendidikan, dan

kepercayaan. Setidaknya ada dua hal yang paling melatarbelakangi penggunaan

campur kode. Faktor pendorong terjadinya campur kode oleh Suwito (dalam

Maulidini, 2007:37-43) dapat dibedakan atas latar belakang sikap (atitudinal type)

atau nonkebahasaan dan latar belakang kebahasaan (linguistic type)

2) Faktor Nonkebahasaan (atitudinal type)

a. Need for Synonim maksudnya adalah penutur menggunakan bahasa lain untuk

lebih memperhalus maksud tuturan.

Page 47: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

42

b. Social Value,yaitu penutur sengaja mengambil kata dari bahasa lain dengan

mempertimbangkan faktor sosial. Pada kasus disini penutur cenderung

bercampur kode dengan bahasa asing yaitu bahasa Inggris dengan maksud

menunjukan bahwa penutur merupakan seorang yang berpendidikan dan

modern sehingga dalam berkomunikasi dengan pelanggan

banyak menyisipkan kata atau istilah dalam bahasa asing.

c. Perkembangan dan Perkenalan dengan Budaya Baru

Hal ini turut menjadi faktor pendorong munculnya campur kode oleh penutur,

sebab terdapat banyak istilah dan strategi penjualan dalam bidang

telekomunikasi yangmempergunakan bahasa asing. Sehingga hal ini

mempengaruhi perilaku pemakaian kata-kata bahasa asing oleh penutur yang

sebenarnya bukanmerupakan bahasa asli penutur.

3) Faktor Kebahasaan (linguistic type)

Latar belakang kebahasaan yang menyebabkan seseorang

melakukancampur kode disebabkan oleh hal-hal berikut ini :

e. Low frequency of word,yaitu karena kata-kata dalam bahasa asing tersebut

lebih mudah diingat dan lebih stabil maknanya.

f. Pernicious Homonimy, maksudnya adalah jika penutur menggunakankata dari

bahasanya sendiri maka kata tersebut dapat menimbulkan masalah homonim

yaitu makna ambigu.

g. Oversight, yaitu keterbatasan kata-kata yang dimiliki oleh bahasa penutur.

Page 48: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

43

Banyaknya istilah dalam bidang telekomunikasi yang berasaldari bahasa

asing menyebabkan penutur sulit menemukan padanannyadalam bahasa

penutur. Contohnya: software, install, flash, restart, hang,blank

h. End (Purpose and Goal), yaitu akibat atau hasil yang dikehendaki.

End (tujuan) meliputi membujuk, dengan meyakinkan, menerangkan.

Untuk mencapai hasil tersebebut penutur harus menggunakan campur kode.

c. Jenis – Jenis Campur Kode

Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, Suwito

(1996: 92) membedakan campur kode menjadi beberapa macam antara lain.

1. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata

Kata merupakan unsur terkecil dalam pembentukan kalimat yang

sangat penting peranannya dalam tata bahasa, yang dimaksud kata

adalah satuan bahasa yang berdiri sendiri, terdiri dari morfem tunggal

atau gabungan morfem

2. Penyisipan unsur-unsur yang berujud frasa

Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak

prediktif, gabungan itu dapat rapat dan dapat renggang (Harimurti,

2001: 59).

3. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud bentuk baster

Page 49: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

44

Baster merupakan hasil perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda

membentuk satu makna (Harimurti, 1993: 92)

4. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata

Perulangan kata merupakan kata yang terjadi sebagai akibat dari

reduplikasi.

5. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom

Idiom merupakan konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih,

masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena

bersama yang lain atau dengan pengertian lain idiom merupakan

konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna

anggota-anggotanya.

6. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa

Harimurti (2001: 110) mendefinisikan klausa sebagai satuan gramatikal

yang berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari

subjek dan predikat serta mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.

d. Fungsi Campur Kode

Peristiwa campur kode terjadi pula karena adanya beberapa fungsi, antara lain:

1) Sebagai Perulangan

Sering kali pesan dalam suatu bahasa (kode) diulangi dengan kode lain,

baiksecara literal atau dengan sedikit perubahan. Perulangan berfungsi

Page 50: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

45

untuk memberikan penekanan pada sebuah pesan atau menjelaskan apa

yang telah dikatakan.

2) Sebagai Penyisip Kalimat

Campur kode dapat berfungsi sebagai penyisip kalimat atau penyempurna

kalimatsehingga kalimat itu menjadi kalimat yang utuh, yang bisa

berbentuk kata, frasaatau ungkapan. Maksud utuh di sini, percakapan utuh

bukan dalam hal kaidah,namun menyangkut penggabungan dua bahasa.

Penyisipan kalimat di sinidimaksudkan bahwa dalam peristiwa tutur yang

terjadi kalimat-kalimat yangdisampaikan merupakan perpaduan antara dua

bahasa atau lebih yangmengisyaratkan terjadinya peristiwa campur kode

3) Sebagai Kutipan

Dalam banyak hal, campur kode dapat diidentifikasikan baik sebagai

kutipan langsung maupun sebagai laporan seorang penutur bilingual,

dalam sela-sela pembicaraannya kadang-kadang menggunakan kode

bahaasa lain yang telah dinyatakan oleh seseorang.

4) Sebagai Fungsi Spesifikasi Lawan Tutur

Penutur bermaksud menyampaikan pesan dengan kode lain kepada salah

satu dari beberapa kemungkinan lawan tutur yang mengerti bahasa

penutur.

5) Unsur Mengkualifikasi Isi Pesan

Bentuk lain dari campur kode adalah pengelompokkan isi-isi pesan dalam

bentuk kalimat, kata kerja, kata pelengkap atau predikat dalam konstruksi

bahasa lain

Page 51: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

46

Berdasarkan konsep tersebut dapat dinyatakan bahwa campur kode

merupakan peristiwa pencampuran bahasa pada situasi atau konteks tertentu.

Pencampuran bahasa tersebut bertujuan memberikan pemahaman yang lebih jelas

terhadap konteks atau maksud yang ingin disampaiakn dalam pembicaraan.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa campur kode menitikberatkan pada

penggunaan atau pemakaian satuan bahasa ke dalam bahasa lain berdasarkan

situasi tertentu dan bertujuan memperluas gaya atau memperindah situasi tutur.

Menurut Nababan (1986:32) “Campur bahasa merupakan mencampur dua atau

lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindakan bahasa

(speechact atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang

menuntut pencampuran bahasa itu` Dalam keadaan yang demikian, hanya

kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang dituruti.” Berdasarkan peryataan

tersebut dapat dinyatakan bahwa pencampuran bahasa tidak dipengaruhi oleh

situasi berbahasa. Hal ini tidak sejalan dengan konsep campur kode yang ada

dalam KBBI yang telah dikemukakan.

Sedangkan konsep Nababan mengenai campur kode, situasi tutur tidak

berperan penting dalam mempengaruhi campur tutur. Justru kesantaian dan

kebiasaanlah yang menentukan atau mempengaruhi seseorang dalam melakukan

campur kode. Auzar dan Hermandra (2006:49) memperjelas bahwa campur kode

adalah kegiatan mencampur dua bahasa atau lebih dalam suatu tindakan

berbahasa.

Nababan (1986:32), ciri yang menonjol dalam peristiwa campur kode

adalah kesantaian atau situasi informal. Jadi, campur kode umumnya terjadi

Page 52: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

47

saat berbicara santai, sedangkan pada situasi formal hal ini jarang sekali

terjadi. Apabila dalam situasi formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan

tidak adanya istilah yang merajuk pada konsep yang dimaksud. Seperti telah

disebutkan bahwa kode dapat berupa idiolek, dialek, register, tindak tutur, ragam,

dan registrasi, maka unsur-unsur yang bercampur pun dapat berupa varian bahasa

maupun bahasa itu sendiri. Selanjutnya, Chaer dan Agustina (1995:152)

menyatakan konsep campur kode, “Apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-

klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran

(hyibrid clauses hybrid pharases), dan masing-masing klausa atau frase tidak lagi

menduduki fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah camur

kode.”

Lebih lanjut, Sumarsono (2004:202) menjelaskan kata-kata yang sudah

mengalami proses adaptasi dalam suatu bahasa bukan lagi kata-kata yang

mengalami gejala interfensi, bukan pula alih kode, apalagi campur kode. Dalam

campur kode penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain

ketika sedang berbicara. Oleh karena itu, dalam bahasa tulisan, biasanya unsur-

unsur tersebut ditunjukkan dengan menggunakan garis bawah atau cetak miring

sebagai penjelasan bahwa si penulis menggunakannya secara sadar. Berdasarkan

penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan penggunaan

dua bahasa dalam satu kalimat atau tindak tutur secara sadar.

Berdasarkan beberapa konsep mengenai campur bahasa dapat dapat

dinyatakan membali bahwa campur kode merupakan penggunaan atau pemakaian

dua bahasa atau lebih dalam situasi tertentu. Pemakaian dua bahasa atau lebih ini

Page 53: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

48

dapat berwujud kata, frase, klausa, ungkapan, dan idiom. Pemakaian hal-hal

tersebut bertujuan menimbulkan gaya terhadap sebuah tuturan. Gaya atau cara

yang digunakan dihubungkan dengan wujud campur kode, dan membatasi wujud

campur kode tersebut terhadap situasi dan tidak lagi menduduki fungsi-fungsi

sendiri.

Berdasarkan konsep tersebut dapat dinyatakan bahwa campur kode

merupakan peristiwa pencampuran bahasa pada situasi atau konteks tertentu.

Pencampuran bahasa tersebut bertujuan memberikan pemahaman yang lebih jelas

terhadap konteks atau maksud yang ingin disampaiakn dalam pembicaraan.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa campur kode menitikberatkan pada

penggunaan atau pemakaian satuan bahasa ke dalam bahasa lain berdasarkan

situasi tertentu dan bertujuan memperluas gaya atau memperindah situasi tutur.

Menurut Nababan (1986:32) “Campur bahasa merupakan mencampur dua atau

lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindakan bahasa

(speechact atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang

menuntut pencampuran bahasa itu` Dalam keadaan yang demikian, hanya

kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang dituruti.” Berdasarkan peryataan

tersebut dapat dinyatakan bahwa pencampuran bahasa tidak dipengaruhi oleh

situasi berbahasa. Hal ini tidak sejalan dengan konsep campur kode yang ada

dalam KBBI yang telah dikemukakan.

Sedangkan konsep Nababan mengenai campur kode, situasi tutur tidak

berperan penting dalam mempengaruhi campur tutur. Justru kesantaian dan

kebiasaanlah yang menentukan atau mempengaruhi seseorang dalam melakukan

Page 54: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

49

campur kode. Auzar dan Hermandra (2006:49) memperjelas bahwa campur kode

adalah kegiatan mencampur dua bahasa atau lebih dalam suatu tindakan

berbahasa.

Nababan (1986:32), ciri yang menonjol dalam peristiwa campur kode

adalah kesantaian atau situasi informal. Jadi, campur kode umumnya terjadi

saat berbicara santai, sedangkan pada situasi formal hal ini jarang sekali

terjadi. Apabila dalam situasi formal terjadi campur kode, hal ini disebabkan

tidak adanya istilah yang merajuk pada konsep yang dimaksud. Seperti telah

disebutkan bahwa kode dapat berupa idiolek, dialek, register, tindak tutur, ragam,

dan registrasi, maka unsur-unsur yang bercampur pun dapat berupa varian bahasa

maupun bahasa itu sendiri. Selanjutnya, Chaer dan Agustina (1995:152)

menyatakan konsep campur kode, “Apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-

klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran

(hyibrid clauses hybrid pharases), dan masing-masing klausa atau frase tidak lagi

menduduki fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah camur

kode.”

Lebih lanjut, Sumarsono (2004:202) menjelaskan kata-kata yang sudah

mengalami proses adaptasi dalam suatu bahasa bukan lagi kata-kata yang

mengalami gejala interfensi, bukan pula alih kode, apalagi campur kode. Dalam

campur kode penutur secara sadar atau sengaja menggunakan unsur bahasa lain

ketika sedang berbicara. Oleh karena itu, dalam bahasa tulisan, biasanya unsur-

unsur tersebut ditunjukkan dengan menggunakan garis bawah atau cetak miring

sebagai penjelasan bahwa si penulis menggunakannya secara sadar. Berdasarkan

Page 55: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

50

penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan penggunaan

dua bahasa dalam satu kalimat atau tindak tutur secara sadar.

Berdasarkan beberapa konsep mengenai campur bahasa dapat dapat

dinyatakan membali bahwa campur kode merupakan penggunaan atau pemakaian

dua bahasa atau lebih dalam situasi tertentu. Pemakaian dua bahasa atau lebih ini

dapat berwujud kata, frase, klausa, ungkapan, dan idiom. Pemakaian hal-hal

tersebut bertujuan menimbulkan gaya terhadap sebuah tuturan. Gaya atau cara

yang digunakan dihubungkan dengan wujud campur kode, dan membatasi wujud

campur kode tersebut terhadap situasi dan tidak lagi menduduki fungsi-fungsi

sendiri.

Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara

laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Sejauh ini

persoalan Gender lebih didominasi oleh perspektif perempuan, sementara dari

perspektif pria sendiri belum begitu banyak dibahas. Dominannya perspektif

perempuan sering mengakibatkan jalan buntu dalam mencari solusi yang

diharapkan, karena akhirnya berujung pada persoalan yang bersumber dari kaum

laki-laki. Ada beberapa fenomena yang sering kali muncul pada persoalan

Gender.

Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John

M. Echols dan Hassan Sadhily, 1983: 256). Secara umum, pengertian Gender

adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari

nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa

Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction)

Page 56: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

51

dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki

dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan

Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.

Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan

keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri

dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki

yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan

ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke

tempat yang lain (Mansour Fakih 1999: 8-9).

Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender

dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu

istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial

budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan

sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai

sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.

Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada

paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural

dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi

bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi.

Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam

masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif

Page 57: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

52

dapat dihubungkan dengan karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart

Spincer (1820-1930), dan masih banyak para ilmuwan yang lain.

Teori fungsionalis kontemporer memusatkan pada isu-isu mengenai

stabilitas sosial dan harmonis. Perubahan sosial dilukiskan sebagai evolusi

alamiah yang merupakan respons terhadap ketidakseimbangan antar fungsi sosial

dengan struktur peran-peran sosial. Perubahan sosial secara cepat dianggap

perubahan disfungsional.

Hilary M. Lips dan S. A. Shield membedakan teori strukturalis dan teori

fungsionalis. Teori strukturalis condong ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis

lebih condong ke psikologis namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama.

Dalam teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan

kelestarian, keharmonisan daripada bentuk persaingan (Talcott Parson dan Robert

Bales). Sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan

keseimbangan dalam masyarakat, misalnya laki-laki sebagi pemburu dan

perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan fungsi reproduksinya menuntut

untuk berada pada peran domestik. Sedangkan laki-laki pemegang peran publik.

Dalam masyarakat seperti itu, stratifikasi peran gender ditentukan oleh jenis

kelamin (sex).

Kritik terhadap aliran tersebut bahwa struktur keluarga kecil yang menjadi

ciri khas keluarga modern menyebabkan perubahan dalam masyarakat. Jika dulu

tugas dan tanggung jawab keluarga besar dipikul bersama-sama, dewasa ini fungsi

tersebut tidak selalu dapat dilakukan.

Page 58: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

53

Sedangkan teori konflik diidentikkan dengan teori marxis karena

bersumber pada tulisan dan pikiran Karl Marx. Menurut teori itu, perubahan

sosial, terjadi melalui proses dialektika. Teori itu berasumsi bahwa dalam susunan

masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan

kekuasaan.

Friedrich Engels, melengkapi pendapat Marx bahwa perbedaan dan

ketimpangan gender tidak disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin (biologis),

akan tetapi merupakan divine creation.

Engels memandang masyarakat primitif lebih bersikap egaliter karena

ketika itu belum dikenal adanya surplus penghasilan. Mereka hidup secara

nomaden sehingga belum dikenal adanya pemilikan secara pribadi. Rumah tangga

dibangun atas peran komunitas. Perempuan memiliki peran dan kontribusi yang

sama dengan laki-laki.

Menurut Marxisme, penindasan perempuan dalam dunia kapitalis karena

mendatangkan keuntungan. Pertama, eksploitasi wanita dalam rumah tangga akan

meningkatkan meningkatkan produksi kerja laki-laki di pabrik-pabrik. Kedua,

perempuan yang terlibat peran produksi menjadi buruh murah, memungkinkan

dapat menekan biaya produksi, sehingga perusahaan lebih diuntungkan. Ketiga,

masuknya perempuan sebagai buruh murah dan mengkondisikan buruh-buruh

cadangan akan memperkuat posisi tawar pihak kapitalis, mengancam solidaritas

kaum buruh. Ketiga, hal tersebut dapat mempercepat akumulasi kapital bagi

kapitalis (Mansour Fakih, 1996: 87-88).

Page 59: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

54

Sedangkan Dahrendarf dan Randall Collins tidak sepenuhnya sependapat

dengan Marx dan Engels. Menurutnya konflik tidak hanya terjadi pada perjuangan

pekerja kepada pemilik modal, tetapi juga disebabkan oleh faktor kesenjangan

antara anak dan orang tua, istri dengan suami, junior dengan senior dan

sebagainya.

Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara

laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Sejauh ini

persoalan Gender lebih didominasi oleh perspektif perempuan, sementara dari

perspektif pria sendiri belum begitu banyak dibahas. Dominannya perspektif

perempuan sering mengakibatkan jalan buntu dalam mencari solusi yang

diharapkan, karena akhirnya berujung pada persoalan yang bersumber dari kaum

laki-laki. Ada beberapa fenomena yang sering kali muncul pada persoalan

Gender.

Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John

M. Echols dan Hassan Sadhily, 1983: 256). Secara umum, pengertian Gender

adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari

nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa

Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction)

dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki

dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan

Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.

Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan

Page 60: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

55

keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri

dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki

yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan

ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke

tempat yang lain (Mansour Fakih 1999: 8-9).

Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender

dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu

istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial

budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan

sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai

sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.

Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada

paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural

dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi

bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi.

Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam

masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif

dapat dihubungkan dengan karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart

Spincer (1820-1930), dan masih banyak para ilmuwan yang lain.

Teori fungsionalis kontemporer memusatkan pada isu-isu mengenai

stabilitas sosial dan harmonis. Perubahan sosial dilukiskan sebagai evolusi

alamiah yang merupakan respons terhadap ketidakseimbangan antar fungsi sosial

Page 61: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

56

dengan struktur peran-peran sosial. Perubahan sosial secara cepat dianggap

perubahan disfungsional.

Hilary M. Lips dan S. A. Shield membedakan teori strukturalis dan teori

fungsionalis. Teori strukturalis condong ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis

lebih condong ke psikologis namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama.

Dalam teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan

kelestarian, keharmonisan daripada bentuk persaingan (Talcott Parson dan Robert

Bales). Sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan

keseimbangan dalam masyarakat, misalnya laki-laki sebagi pemburu dan

perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan fungsi reproduksinya menuntut

untuk berada pada peran domestik. Sedangkan laki-laki pemegang peran publik.

Dalam masyarakat seperti itu, stratifikasi peran gender ditentukan oleh jenis

kelamin (sex).

Kritik terhadap aliran tersebut bahwa struktur keluarga kecil yang menjadi

ciri khas keluarga modern menyebabkan perubahan dalam masyarakat. Jika dulu

tugas dan tanggung jawab keluarga besar dipikul bersama-sama, dewasa ini fungsi

tersebut tidak selalu dapat dilakukan.

Sedangkan teori konflik diidentikkan dengan teori marxis karena

bersumber pada tulisan dan pikiran Karl Marx. Menurut teori itu, perubahan

sosial, terjadi melalui proses dialektika. Teori itu berasumsi bahwa dalam susunan

masyarakat terdapat beberapa kelas yang saling memperebutkan pengaruh dan

kekuasaan.

Page 62: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

57

Friedrich Engels, melengkapi pendapat Marx bahwa perbedaan dan

ketimpangan gender tidak disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin (biologis),

akan tetapi merupakan divine creation.

Engels memandang masyarakat primitif lebih bersikap egaliter karena

ketika itu belum dikenal adanya surplus penghasilan. Mereka hidup secara

nomaden sehingga belum dikenal adanya pemilikan secara pribadi. Rumah tangga

dibangun atas peran komunitas. Perempuan memiliki peran dan kontribusi yang

sama dengan laki-laki.

Menurut Marxisme, penindasan perempuan dalam dunia kapitalis karena

mendatangkan keuntungan. Pertama, eksploitasi wanita dalam rumah tangga akan

meningkatkan meningkatkan produksi kerja laki-laki di pabrik-pabrik. Kedua,

perempuan yang terlibat peran produksi menjadi buruh murah, memungkinkan

dapat menekan biaya produksi, sehingga perusahaan lebih diuntungkan. Ketiga,

masuknya perempuan sebagai buruh murah dan mengkondisikan buruh-buruh

cadangan akan memperkuat posisi tawar pihak kapitalis, mengancam solidaritas

kaum buruh. Ketiga, hal tersebut dapat mempercepat akumulasi kapital bagi

kapitalis (Mansour Fakih, 1996: 87-88).

Sedangkan Dahrendarf dan Randall Collins tidak sepenuhnya sependapat

dengan Marx dan Engels. Menurutnya konflik tidak hanya terjadi pada perjuangan

pekerja kepada pemilik modal, tetapi juga disebabkan oleh faktor kesenjangan

antara anak dan orang tua, istri dengan suami, junior dengan senior dan

sebagainya.

Page 63: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

58

Dalam buku Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips mengartikan

Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.

Misalnya; perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan

keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri

dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki

yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan

ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke

tempat yang lain (Mansour Fakih 1999: 8-9).

Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) menegasakan bahwa istilah Gender

dapat dibedakan ke dalam beberapa pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu

istilah asing dengan makna tertentu, Gender sebagai suatu fenomena sosial

budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial, Gender sebagai suatu persoalan

sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis, Gender sebagai

sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.

Epistimologi penelitian Gender secara garis besar bertitik tolak pada

paradigma feminisme yang mengikuti dua teori yaitu; fungsionalisme struktural

dan konflik. Aliran fungsionalisme struktural tersebut berangkat dari asumsi

bahwa suatu masyarakat terdiri atas berbagai bagian yang saling mempengaruhi.

Teori tersebut mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam

masyarakat. Teori fungsionalis dan sosiologi secara inhern bersifat konservatif

dapat dihubungkan dengan karya-karya August Comte (1798-1857), Herbart

Spincer (1820-1930), dan masih banyak para ilmuwan yang lain.

Page 64: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

59

Teori fungsionalis kontemporer memusatkan pada isu-isu mengenai

stabilitas sosial dan harmonis. Perubahan sosial dilukiskan sebagai evolusi

alamiah yang merupakan respons terhadap ketidakseimbangan antar fungsi sosial

dengan struktur peran-peran sosial. Perubahan sosial secara cepat dianggap

perubahan disfungsional.

Hilary M. Lips dan S. A. Shield membedakan teori strukturalis dan teori

fungsionalis. Teori strukturalis condong ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis

lebih condong ke psikologis namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama.

Dalam teori itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan

kelestarian, keharmonisan daripada bentuk persaingan (Talcott Parson dan Robert

Bales). Sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk menciptakan

keseimbangan dalam masyarakat, misalnya laki-laki sebagi pemburu dan

perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan fungsi reproduksinya menuntut

untuk berada pada peran domestik. Sedangkan laki-laki pemegang peran publik.

Dalam masyarakat seperti itu, stratifikasi peran gender ditentukan oleh jenis

kelamin (sex).

Kritik terhadap aliran tersebut bahwa struktur keluarga kecil yang menjadi

ciri khas keluarga modern menyebabkan perubahan dalam masyarakat. Jika dulu

tugas dan tanggung jawab keluarga besar dipikul bersama-sama, dewasa ini fungsi

tersebut tidak selalu dapat dilakukan.

Sedangkan teori konflik diidentikkan dengan teori marxis karena

bersumber pada tulisan dan pikiran Karl Marx. Menurut teori itu, perubahan

sosial, terjadi melalui proses dialektika. Teori itu berasumsi bahwa dalam susunan

Page 65: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

60

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan analisis dan pembahasan pada Bab IV, dapat disimpulkan

bahwa penelitian yang dikemukakan meliputi pemerian wujud tuturan yang

menyebabkan terjadinya peristiwa campur kode dalam ragam komunikasi

transgender di kawasan Lapangan Karebosi Makassar adalah berupa wujud alih

kode interen dan eksteren. Sedangkan wujud alih kode yang terjadi meliputi

bentuk: 1) Penyisipan kata ; 2) penyisipan frasa; 3) penyisipan nama diri

B. Saran

Transgender sebagai salah satu bagian dari masyarakat hendaknya harus

lebih diperhatikan. Sehubungan dengan gaya komunikasi mereka yang tergolong

unik, maka kajian terhadap keragaman bahasa transgender khususnya di kawasan

Lapangan Karebosi Makassar hendaknya lebih diperdalam lagi, agar dapat

memberikan wawasan seputar aspek sosiologi dan kultural bahasa yang beredar di

masyarakat.

Page 66: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

61

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaedar.1985. Sosiologi Bahasa. Bandung : Angkasa.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.

Jakarta:Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta:Rineka Cipta

Harimurti Kridalaksana. (1982). Pengantar sosiolinguistik. Baandung:Angkasa.

Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. Cambridge:Cambridge University Press.

Holmes, Janet, 2001. An Introduction to Sociolinguistics. 2nd

ed. Edinburgh.

Person Education Limited

Janet Holmes. (2001). An introduction to sociolinguistics. Edinburgh: Person

Education Limited.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Pengantar Soisiolinguistik. Baandung : Angkasa

Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar . Jakarta: Gramedia.

Ohoiwutun, Paul. 2007. Sosiolinguistik Memahami Bahasa dalam Konteks

Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta : Kesaint Blanc.

M.S, Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada.

Puspitasari, Emi. 2008. Objek Linguistik: Bahasa dalam http://cakrabuwana. files.

wordpress.com/2008/09/emi-bab-iii1.pdf

Setyaningsih, Nina. 2008. Alih Kode dan Campur Kode pada Mailing List

Spolsky, Bernard. 1998. Sociolinguistics. Berlin:Oxford University Press.

Indonesiasaram. 2007. Tentang Campur Kode

Sumarlan. 2005. Teori dan Praktik Analisi Wacana. Solo: Pustaka Cakra

Surakarta.

Suamarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Sabda

Page 67: ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM RAGAM …

62

RIWAYAT HIDUP

Nur Azizah. Lahir di Ujung Pandang, pada tanggal 17

Mei 1992 dan merupakan anak kedua dari tiga

bersaudara. Penulis lahir dari pasangan suami istri H.

Abd. Rahman Adam dan Hj. Nadira.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Inpres Pandang-Pandang lulus

pada tahun 2003, lalu melanjutkan sekolah menengah pertama di SMP Negeri 1

Pallangga dan lulus pada tahun 2006, dan kemudian melanjutkan jenjang

pendidikan ke Universitas Muhammadiyah Makassar pada tahun 2009 sampai

dengan penulisan skripsi ini penulis masih terdaftar sebagai mahasiswa S1

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar.