369 DOI: https://doi .org/10 .21776/ub .arenahukum .2020 .01302 .10
AKIBAT HUKUM PUTUSAN MK NO. 97/PUUXIV/2016 TENTANG JUDICIAL REVIEW UU ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
TERHADAP PENGHAYAT ALIRAN KEPERCAYAAN
Shandy Harsyahwardhana
Universitas MataramJl . Majapahit No .62, Gomong, Selaparang, Dasan Agung Baru, Selaparang, Kota Mataram,
Nusa Tenggara Barat . 83115Email: wardhana22511@gmail .com
Submitted: 01 April 2018, Reviewed: 2 April 2018, Accepted: 10 August 2020
Abstract
Carrying out the mandate of the 1945 Constitution which guarantees the right to freedom of religion and belief, the Constitutional Court issued Decision Number 97/ PUU-XIV / 2016 which granted the judicial review lawsuit on Law 23 of 2005 jo. Law 24 of 2013 concerning Population Administration. The Constitutional Court ruled that Article 61 paragraph (1), (2) and Article 64 paragraph (1), (2) of the Population Admnistration Law contradicts the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. This paper aims to identify and analyze the Constitutional Court’s considerations in issuing the decision, and the legal consequences of that ruling. This normative legal research uses a case approach. The results found that the decision of the Constitutional Court had a significant legal effect on the followers of the flow of trust and had implications that impact not only in terms of the law but also sub-systems in pluralistic Indonesian society.Key words: legal effect, local religion believers, the verdict of the Constitutional Court of
Indonesia
Abstrak
Melaksanakan amanat UUD 1945 yang menjamin hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang mengabulkan gugatan judicial review atas UU 23 Tahun 2005 jo . UU 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan . Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 61 ayat (1), (2) dan Pasal 64 ayat (1), (2) UU Adminduk bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 . Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan putusan tersebut, serta akibat hukum dari putusan itu . Penelitian hukum normatif menggunakan pendekatan kasus (case approach) . Hasilnya ditemukan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi memiliki akibat hukum yang signifikan pada penghayat aliran kepercayaan serta memiliki implikasi yang berdampak tidak hanya dari segi hukum namun juga sub-sistem di masyarakat Indonesia yang pluralistik .Kata kunci: akibat hukum, penghayat aliran kepercayaan, putusan mahkamah konstitusi
370 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halam 369-387
Latar Belakang
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) merupakan kesepakatan luhur bangsa Indonesia untuk hidup bersama (modus vivendi) dalam ikatan satu bangsa yang majemuk .1 Modus Vivendi tersebut, telah melahirkan cita negara, yang merupakan identitas dan pedoman bangsa dalam melangkah .2 Cita negara yang termuat dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, memperlihatkan ciri negara pluralistik . Bentuk negara dan pelaksanaan pemerintahan di Indonesia merupakan buntut dari ragam masyarakat Indonesia yang multi etnik, agama, multikultural, multi golongan, dan ras . Hal ini diakibatkan oleh komposisi masyarakat yang kosmopolitan .3 Terdapat realita bahwa masyarakat Indonesia hidup dalam keberagaman agama dan aliran kepercayaan yang tumbuh subur sebagai hasil dari pluralisasi . Sesanti Bhinneka Tunggal Ika secara de facto merefleksikan ragam budaya bangsa dalam lingkup negara kesatuan Republik Indonesia,4 ditambah dengan keberadaan dari agama-agama dan aliran kepercayaan masih hidup dan berkembang di
masyarakat .
Pondasi dari keberagaman masyarakat Indonesia, diatur dalam hukum . Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat) dan tidak termasuk dalam kategori negara kekuasaan (Machtstaat) yang dinyatakan dalam konstitusinya yaitu Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi : “Indonesia adalah Negara Hukum” . Posisi Indonesia sebagai negara hukum mengakibatkan sebuah kewajiban untuk menegakkan supremasi hukum sebagai bentuk pelaksanaan dalam mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Pancasila yang juga sebagai cita-cita hukum di Indonesia .5
Salah satu sila dalam Pancasila adalah Kemanusiaan yang adil dan beradab, di mana sila tersebut merepresentasikan pengakuan Indonesia terhadap hak asasi manusia, sehingga perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah hal yang dilakukan Indonesia sebagai negara hukum . Selain itu dalam Pasal 28 ayat 5 UUD 1945 menyatakan bahwa penegakan dan perlindungan hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis . Oleh karena itu perlindungan dan penghormatan terhadap HAM sebagai dasar kepentingan individu
1 Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2007), hlm . 3-4 .
2 Tujuan Negara Republik Indonesia yang tertuang dalam Alinea IV Pembukaan UUD NRI 1945 berbunyi “ . . .untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial...”
3 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, (Jakarta: The Wahid Institute, 2007), hlm . 9 .
4 I Nyoman Nurjaya, Memahami Kedudukan Hukum Adat Dalam Politik Pembangunan Hukum Nasional, Seminar Nasional tentang Arah Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Adat dalam Sistem Hukum Nasional, (Malang: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2011), hlm . 1 .
5 Philipus M . Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm . 21 .
Harsyahwardhana, Akibat Hukum Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 Tentang Judicial Review ... 371
juga dimasukkan dalam hak konstitusional UUD 1945 .6 Hal ini menegaskan bahwa terciptanya suatu negara dan penyelenggaraan kekuasaan negara tidak boleh mengurangi arti atau makna HAM sebagai elemen penting negara hukum, terutama di dalam kondisi keberagaman masyarakat yang memiliki kepercayaan terhadap kegiatan berkehidupan yang berbeda-beda . Salah satu hak konstitusional yang dijamin di Indonesia adalah hak yang termuat pada Pasal 29 ayat (2) yang menyatakan bahwa, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing - masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu .”
Di Indonesia, selain agama-agama besar (Islam, Kristen, Hindu dan Budha) yang sudah membentuk komunitas penganut masing - masing, ada pula kepercayaan - kepercayaan lokal yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia . Kenyataan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang pluralistik semakin dirasakan dengan banyaknya tradisi, kepercayaan, agama, seni dan budaya yang telah lama hidup tanpa gangguan dan berkembang di tengah-tengah kehidupan bangsa Indonesia .
Aliran kepercayaan dan Agama bagi masyarakat Indonesia adalah hal yang fundamental serta krusial yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan berbangsa dan
bernegara . Rumusan sila pertama Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” menggambarkan betapa pentingnya agama dan aliran kepercayaan bagi masyarakat . Ini membuktikan bahwa bangsa Indonesia pada hakikatnya adalah penganut theism atau percaya kepada Tuhan . Bangsa Indonesia dalam golongannya masing-masing baik komunitas pemeluk agama maupun kepercayaan mempunyai interpretasi dan pandangan teologis yang spesifik sesuai ajaran agama dan kepercayaan yang mereka anut .
Baik penduduk yang memeluk agama-agama ataupun kepercayaan sama-sama meyakini bahwa fungsi utama agama atau kepercayaan itu adalah memandu kehidupan manusia agar memperoleh keselamatan di dunia dan keselamatan sesudah hari kematian . Mereka menyatakan bahwa agamanya mengajarkan kasih sayang pada sesama manusia dan sesama makhluk Tuhan, alam tumbuh-tumbuhan, hewan, hingga benda mati .7 Untuk memperjuangkan hak konstitusional baik hak untuk memeluk agama atau kepercayaan yang dimiliki setiap elemen dalam masyarakat plural Indonesia dan hak lainnya, maka dibentuk sebuah lembaga negara yang dapat mewujudkan hal tersebut yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) .8
Salah satu hasil perjuangan upaya perjuangan atas hak konstitusional warga negara Indonesia yang dimiliki oleh
6 Ibid., hlm . 343 .7 Abdul Munir Mulkan, “Dilema Manusia Dengan Diri dan Tuhan” kata pengantar dalam Th . Sumartana (ed .),
Pluralis, Konflik, dan Pendidikan Agama Di Indonesia, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001) .8 Mutiara Hikmah, “Mahkamah Konstitusi dan Penegakan Hukum dan HAM di Indonesia”, Jurnal Hukum dan
Pembangunan Vol. 35, No.2 (April – Juni 2005): 127 .
372 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halam 369-387
masyarakatnya yang plural adalah melalui
putusan MK yang berfokus pada masalah
pluralitas dari kepercayaan masyarakat
Indonesia atau aliran kepercayaan . Putusan
MK tersebut adalah putusan terkait kasus
gugatan judicial review Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2005 jo . Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi
Kependudukan (UU Adminduk) yang
diajukan oleh beberapa perwakilan dari
penghayat aliran kepercayaan di Indonesia .9
Dalam Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016,
dapat dilihat bahwa MK mengabulkan secara
keseluruhan gugatan yang diajukan oleh
penghayat aliran kepercayaan yang meliputi
dengan pertimbangan bahwa beberapa bagian
dalam Pasal 61 ayat (1), (2) dan Pasal 64 ayat
(1), (2) UU Adminduk bertentangan dengan
UUD NRI Tahun 1945 .10
Pertimbangan putusan MK tersebut tidak
terlepas dari fakta yang disampaikan oleh para
pemohon bahwa UU Adminduk merugikan
hak konstitusional mereka . Hak konstitusional
yang dirugikan tersebut mencakup beberapa
hal yaitu kesulitan saat mengurus Kartu
Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk
Elektronik (e-KTP), akte nikah, akte kelahiran,
hingga kesulitan dalam mendapatkan akses
terhadap pekerjaan, serta hak atas sebuah
jaminan sosial . Khusus pada hal terkait KK
dan e-KTP, terdapat banyak penghayat aliran
kepercayaan yang terpaksa memilih salah satu
dari enam agama yang diakui secara resmi
(Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan
Konghucu) . Adanya pembatasan hak a quo
dalam UU Adminduk dipersepsikan sebagai
penyebab mencuatnya perlakuan yang
tidak adil terhadap warga negara penghayat
aliran kepercayaan dan memicu tindakan
diskriminatif . Berdasarkan data yang berasal
dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud), melalui salah satu bagiannya
yaitu Direktorat Pembinaan Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi,
diperkirakan terdapat sekitar 10-12 juta orang
penghayat kepercayaan di seluruh Indonesia,11
sekitar 1% saja dari total penduduk Indonesia .
Putusan MK dapat dibilang pada taraf
ini telah memenuhi ekspektasi dari para
penghayat kepercayaan . Akibat hukum yang
diharapkan dari adanya putusan tersebut adalah
terjaminnya hak asasi penghayat kepercayaan
melalui perlindungan, penghormatan, dan
pemenuhan hak oleh negara . Namun, walaupun
MK telah melaksanakan tugas dan fungsinya
dalam memperjuangkan hak konstitusional
Warga Negara Indonesia, putusan MK
tersebut menimbulkan reaksi pro dan kontra
di kalangan masyarakat . Yang setuju dengan
keputusan ini memiliki pandangan bahwa
9 Akhmad Muawal Hasan, “Pembakuan Definisi “Agama” yang Penuh Pro dan Kontra”, Edisi 11 November 2017, diakses 12 Januari 2018, https://tirto.id/pembakuan-definisi-agama-yang-penuh-pro-dan-kontra-czVV
10 Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016, http://www .mahkamahkonstitusi .go .id/public/content/persidangan/putusan/97_PUU-XIV_2016 .pdf
11 Frendy Kurniawan, “Seberapa Banyak Jumlah Penghayat Kepercayaan di Indonesia?”, Edisi 14 November 2017, 2018, https://tirto .id/seberapa-banyak-jumlah-penghayat-kepercayaan-di-indonesia-cz2y, diakses 10 Februari 2018 .
Harsyahwardhana, Akibat Hukum Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 Tentang Judicial Review ... 373
setiap kepercayaan berhak mendapatkan hak
dalam menjalankan kepercayaannya . Salah
satunya Ketua Pengurus Pusat Lembaga
Kajian dan Pengembangan Sumberdaya
Manusia Nahdlatul Ulama (PP Lakpesdam
NU), Dr . Rumadi Ahmad, yang ikut
mengadvokasi para pemohon dari penghayat
aliran kepercayaan, mengungkapkan bahwa
apapun keyakinannya mereka merupakan
warga negara yang harus dijamin hak-hak
konstitusionalnya . Dukungan serupa juga
disampaikan oleh Samsul Maarif, pengajar
pada Center for Religious and Cross-cultural
Studies (CRCS) UGM, bahwa Keputusan MK
adalah syarat minimal agar para penghayat
mendapatkan haknya di ranah administrasi .
Lebih penting lagi, adalah pemenuhan tiga
hak pokok: pengakuan, representasi, dan
redistribusi bagi para penghayat kepercayaan .
Dalam pandangan pihak yang kontra,
terdapat persepsi bahwa keputusan ini
memiliki banyak problematika dari sisi
pengaturan dan pelaksanaan . Yunahar Ilyas
(Ketua Bidang Tarjih, Tajdid, dan Tabligh
PP Muhammadiyah) mempertanyakan alasan
MK mengabulkan gugatan pemohon . Ini
menunjukkan MK menganut paham HAM
liberal . Tunggu saja nanti semua aliran,
ideologi, paham akan menuntut hak yang
sama dengan aliran kepercayaan .12 Kecaman
dan kecurigaan juga muncul dari Prof Syaiful Bakhri (Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah) yang mengatakan, putusan MK tersebut dilakukan dengan sangat senyap, sangat berbeda dengan putusan-putusan MK sebelumnya yang selalu melibatkan MUI atau ormas Islam, khususnya yang terkait dengan agama . Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI, Baharun berpendapat putusan MK dilakukan secara diam-diam pasti ada sesuatu hal di balik putusan MK tersebut, karena MUI tidak dilibatkan dalam persidangan tersebut .13
Melihat permasalahan di atas, MK dalam upaya pemenuhan hak kontitusional ini tidak mempertimbangkan dampak sosial dan akibat hukum yang ditimbulkan . Atas dasar pemikiran tersebut maka menjadi penting untuk dikaji lebih jauh akibat hukum atas Putusan MK yang mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk pemenuhan hak-hak kelompok penghayat aliran kepercayaan, serta permasalahan hak perlindungan agama . Hal ini dikarenakan pentingnya posisi agama bagi penghayat aliran kepercayaan yang merupakan bentuk keyakinan mereka terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati yang menyertai ruang lingkup kehidupan mereka, dimana agama memiliki nilai dan norma yang mengatur kehidupan mereka
dalam hubungannya dengan masyarakat .
12 Redaksi, Yunahar Ilyas: Penghayat Adalah Kepercayaan, Masak Masuk Kolom Agama”, Edisi 9 November 2017, http://sangpencerah .id/2017/11/yunahar-ilyas-penghayat-adalah-kepercayaan-masak-masuk-kolom-agama/, diakses 12 Januari 2018 .
13 Bilal Ramadhan, “MK Dinilai Sangat Senyap Soal Kolom Penghayat Kepercayaan”, Edisi 9 Desember 2017, http://nasional .republika .co .id/berita/nasional/politik/17/12/09/p0ot24330-mk-dinilai-sangat-senyap-soal-kolom-penghayat-kepercayaan, diakses 12 Januri 2018
374 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halam 369-387
Penelitian hukum yang penulis gunakan untuk tulisan ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan kasus (case approach) . Pendekatan ini digunakan untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam eksplanasi hukum .14
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis mengangkat dua permasalahan yang meliputi: Bagaimana pertimbangan dan amar putusan MK terhadap pemenuhan hak konstitusional penghayat aliran kepercayaan di Indonesia dan Bagaimana akibat hukum pasca putusan MK pada upaya pengawasan aliran kepercayaan di Indonesia .
Pembahasan
A. Pertimbangan dan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Judicial Review UU Adminduk
Di dalam pertimbangan atas putusan MK, terdapat pembahasan terkait keberadaan hak beragama termasuk hak untuk menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan hak mendapatkan layanan publik . MK menegaskan bahwa hak untuk menganut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan hak konstitusional
(constitutional rights) warga negara, dan
bukan pemberian negara . Dapat dilihat bahwa MK berpendirian dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, Konstitusi Indonesia yakni UUD NRI Tahun 1945 menjelaskan posisi negara hadir atau dibentuk justru untuk melindungi (yang di dalamnya juga berarti menghormati dan menjamin pemenuhan) hak-hak tersebut (Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 Alinea IV) . Posisi negara ini kemudian diatur dalam badan UUD NRI Tahun 1945 pada Pasal 28 I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah” .
Hak untuk menganut suatu agama dan kepercayaan tertentu yang memiliki arah tunduk terhadap Tuhan YME merupakan salah satu hak dalam kelompok HAM yang bersumber pada konsepsi hak-hak natural (natural rights) . Apabila dikaji berdasarkan ajaran Thomas Aquinas tentang hukum alam, hak-hak alamiah tersebut sesuai dengan asas Principia Prima . Asas Principia Prima merupakan asas atau prinsip yang memiliki kaitan dengan prinsip hak fundamental manusia yang bersifat universal, umum, dan berlaku tidak terbatas pada ruang atau waktu . Prinsip ini bersifat mutlak dalam arti melekat pada setiap manusia .15
Dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum, hak ini tidak lagi bernilai doktriner
melainkan telah menjadi norma dalam hukum
14 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2006), hlm . 321 .
15 Eko Yulianto, “Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Teori Hukum Alam”, https://www .academia .edu/34619699/Dinamika_Hak_Asasi_Manusia_dalam_Teori_Hukum_Alam, diakses 13 Januari 2018 .
Harsyahwardhana, Akibat Hukum Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 Tentang Judicial Review ... 375
dasar (konstitusi) dan mengikat seluruh
cabang kekuasaan negara dan warga negara
yang dituangkan dalam UUD NRI Tahun
1945 Pasal 28 E ayat 1 (hak beragama) dan
2 (hak menganut kepercayaan), serta Pasal 29
ayat 2 (jaminan yang diberikan negara kepada
tiap-tiap penduduk atas hak beragama dan
menganut kepercayaan mereka) . Pasal 28 I
ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan
bahwa hak ini termasuk non-derogable rights
atau hak yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun . Dengan demikian hak ini
menjadi hak konstitusional sehingga timbul
kewajiban atau tanggung jawab bagi negara
terutama pemerintah untuk menghormati,
melindungi, dan memenuhi hak tersebut [vide
Pasal 28 I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945] .
Namun yang menjadi perdebatan
adalah pemahaman terkait “agama” dan
“kepercayaan” yang dijelaskan secara terpisah
pada pasal 28E ayat 1 dan 2, serta pasal ayat
29 ayat 2 dimana “agama” dan “kepercayaan”
yang dihubungkan dengan kata “dan” maka
dirumuskan secara kumulatif . Dengan
demikian kedua pasal tersebut merupakan
dua hal yang dapat diklasifikasikan secara
berbeda . Jika dipahami dalam arti yang sama
atau yang satu merupakan bagian dari yang
lain, maka kata penghubung “dan” tentunya
tidak akan dipakai dalam perumusan Pasal 29
UUD NRI Tahun 1945 . Bahkan dalam sejarah
pembentukan norma pada pasal 29 ini juga
memposisikan “agama” dan “kepercayaan”
sebagai hal yang berbeda . Proses perumusan
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 pada frasa
“kepercayaan” memang tidak dimaksud
sebagai sesuatu yang terpisah dari agama .
Pencantuman kata “kepercayaan” tersebut
untuk tujuan agar pemeluk agama selain Islam
tetap dijamin haknya untuk menjalankan
agama sesuai dengan kepercayaannya .
Artinya, terhadap warga negara yang tidak
beragama Islam, kepercayaannya tetap
dilindungi sesuai dengan ketentuan tersebut .
Dengan demikian MK berpendapat bahwa
negara seharusnya tidak hanya menghormati,
melindungi dan memenuhi hak beragama,
tetapi juga hak menganut kepercayaan .
Kemudian dari aspek pemenuhan
hak pelayanan publik terkait administrasi
kependudukan, penempatan agama dan
kepercayaan sebagai dua hal yang terpisah
secara setara telah dimuat dalam Pasal 58 ayat
(2) huruf h UU Administrasi Kependudukan
(UU Adminduk) . Administrasi kependudukan
adalah salah satu bentuk dari pemenuhan
kebutuhan pelayanan publik sebagai hak
yang melekat bagi setiap warga negara,
sehingga menjadi kewajiban bagi negara
untuk menjamin dan memenuhinya . Terkait
hal ini, dalam konsiderans Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik (UU Pelayanan Publik) dinyatakan
bahwa negara berkewajiban melayani setiap
warga negara dan penduduk untuk memenuhi
hak dan kebutuhan dasarnya dalam rangka
pelayanan publik . Kemudian dalam ketentuan
di Pasal 4 dijelaskan bahwa penyelenggaraan
pelayanan publik mesti bertopang diantaranya
pada asas kesamaan hak dan persamaan
376 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halam 369-387
perlakuan/tidak diskriminatif . Kesamaan hak
maksudnya adalah bahwa dalam memberikan
pelayanan tidak dibedakan dan diperlakukan
sama terlepas dari ras, suku, gender,
golongan, agama, serta status sosial . Pada
Penjelasan Pasal 4 UU Pelayanan Publik ini
dijelaskan bahwa setiap warga negara berhak
memperoleh pelayanan yang adil .
Kajian untuk membuktikan adanya
diskriminasi yang diajukan oleh para pemohon
pada sidang uji materi aturan pengosongan
kolom agama pada Kartu Keluarga (KK) dan
Kartu Tanda Penduduk (KTP), dilakukan
oleh MK dengan meninjau terlebih dahulu
konsep “agama” yang dimaksudkan dalam
pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal
64 ayat (1) dan ayat (5) . MK menggunakan
juga preseden batasan atas diskriminasi
berdasarkan putusannya dalam Putusan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/
PUU-III/2005 bertanggal 29 Maret 2006 yang
di antaranya menyatakan bahwa diskriminasi
dapat dikatakan terjadi jika terdapat setiap
pembatasan, pelecehan, atau pengucilan
yang langsung ataupun tak langsung
didasarkan pada pembedaan manusia atas
dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi,
jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik,
yang berakibat pengurangan, penyimpangan
atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan
atau penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam kehidupan baik
individual maupun kolektif dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan
aspek kehidupan lainnya (vide Pasal 1 angka
3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia) . Sebelumnya,
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
070/PUUII/ 2004 bertanggal 12 April 2005,
Mahkamah menyatakan bahwa diskriminasi
baru dapat dikatakan ada jika terdapat
perlakuan yang berbeda tanpa adanya alasan
yang masuk akal (reasonable ground) guna
membuat perbedaan itu . Justru jika terhadap
hal-hal yang sebenarnya berbeda diperlakukan
secara seragam akan menimbulkan
ketidakadilan . Dalam putusan lainnya yakni
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/
PUU-V/2007, bertanggal 22 Februari 2008,
Mahkamah menyatakan bahwa diskriminasi
adalah memperlakukan secara berbeda
terhadap hal yang sama . Sebaliknya bukan
diskriminasi jika memperlakukan secara
berbeda terhadap hal yang memang berbeda .
Untuk pembuktian adanya diskriminasi
atau tidak, maka setelah ditinjau melalui 3
asas, yakni asas noscitur a sociis (asas yaitu
bahwa suatu kata atau istilah harus dikaitkan
dengan rangkaiannnya), asas ejusdem generis
(asas yaitu bahwa suatu kata atau istilah
dibatasi secara khusus dalam kelompoknya),
dan asas expressio unius exclusio alterius
(asas yaitu bahwa jika suatu konsep digunakan
untuk satu hal maka ia tidak berlaku untuk hal
lain), MK berpendapat bahwa “agama” yang
dimaksud adalah agama yang diakui sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan
tidak termasuk kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa . Dengan kata lain, hak atau
Harsyahwardhana, Akibat Hukum Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 Tentang Judicial Review ... 377
kemerdekaan warga negara untuk menganut
agama dibatasi pada agama yang diakui sesuai
dengan peraturan perundang-undangan .
MK berpendapat bahwa konsep ini justru
bertentangan dengan konstitusi UUD NRI
Tahun 1945, dimana dalam konstitusi warga
negara Indonesia bebas memeluk agama
apapun tanpa adanya batasan .
Di sisi lain, pada konteks kata
“kepercayaan”, yang termuat dalam Pasal 61
ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU Administrasi
Kependudukan, dan menyatakan bahwa bagi
penghayat kepercayaan kolom “agama” tidak
diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam
database Kependudukan . Hal itu bukanlah
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan
dan jaminan negara bagi warga negara
penganut kepercayaan, melainkan hanya
penegasan tentang kewajiban negara untuk
memberikan pelayanan kependudukan . Atas
dasar pertimbangan sebagaimana dimaksud
maka MK mempertimbangkan melalui
penilaiannya bahwa penganut kepercayaan
sudah pasti tidak mendapatkan pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil, lebih-lebih perlakuan yang sama di
hadapan hukum . Pengakuan tidak mungkin
didapat karena kepercayaan tidak dimasukkan
ke dalam pengertian agama .
Sejak awal penganut kepercayaan sudah
dibedakan dengan penganut agama yang diakui
sesuai dengan peraturan perundang-undangan .
Terlebih pada faktanya pasal 61 ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5)
UU Adminduk mengakibatkan warga negara
penghayat kepercayaan kesulitan memperoleh KK maupun KTP-el . Dengan dikosongkannya elemen data kependudukan tentang agama juga telah berdampak pada pemenuhan hak-hak lainnya, seperti perkawinan dan layanan kependudukan . Sehingga, penganut kepercayaan tidak mendapatkan jaminan kepastian dan persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan sebagai mana diperoleh warga negara lainnya . Pada saat yang sama, hal demikian merupakan sebuah kerugian hak konstitusional warga negara yang seharusnya tidak boleh terjadi .
Perbedaan pengaturan antar warga negara dalam hal pencantuman elemen data penduduk, menurut Mahkamah tidak didasarkan pada alasan yang konstitusional . Pengaturan tersebut telah memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama, yakni terhadap warga negara penghayat kepercayaan dan warga negara penganut agama yang diakui menurut peraturan perundang-undangan dalam mengakses pelayanan publik . Lagi pula jika dikaitkan dengan pembatasan terhadap hak dan kebebasan dengan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak bisa diterapkan pada konteks agama dan kepercayaan sebagai mana diatur pada pasal 28 I . Pembatasan hak a quo justru menyebabkan munculnya perlakuan yang tidak adil terhadap warga negara penghayat kepercayaan . Dengan demikian pembatasan atas dasar keyakinan yang berimplikasi pada timbulnya perlakukan berbeda antar warga negara merupakan
tindakan diskriminatif .
378 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halam 369-387
Untuk menjamin hak konstitusional para Pemohon, oleh karena keberadaan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU Administrasi Kependudukan merupakan kelanjutan dari kata“agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan yang menurut Mahkamah harus dimaknai termasuk “kepercayaan”, maka dengan sendirinya Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU Administrasi Kependudukan kehilangan relevansinya dan juga turut tunduk pada argumentasi perihal pertentangan kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (4) UU Administrasi Kependudukan di atas, sehingga dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, dan karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat .
Dengan dasar pertimbangan di atas, MK dalam amar putusannya mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya . Kemudian, menyatakan kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
secara bersyarat sepanjang tidak termasuk
“kepercayaan” .
Terakhir, menyatakan Pasal 61 ayat
(2) dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat .
B. Akibat Hukum Putusan MK Pada Judicial Review UU Adminduk Terhadap Pengawasan Penghayat Aliran Kepercayaan
Akibat hukum merupakan suatu akibat
yang ditimbulkan oleh hukum, terhadap
suatu perbuatan yang dilakukan oleh subjek
hukum .16 Putusan MK No . 97/PUU-XIV/2016
yang membolehkan status penganut
kepercayaan dimasukan dalam kolom
Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el)
memberikan akibat hukum terhadap sistem
hukum dan subsistem yang menyertainya .
Akibat hukum tersebut yang memuat
perihal diperbolehkannya status penganut
kepercayaan dimasukan dalam kolom Kartu
Tanda Penduduk elektronik (KTP-el) dan
16 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2008), hlm . 192 .
Harsyahwardhana, Akibat Hukum Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 Tentang Judicial Review ... 379
termasuk bagian dari agama terikat asas res
judicata pro veritate habaetur, yakni apa yang
telah diputus oleh hakim harus dianggap benar .
Namun demikian ada catatan kritis terhadap
Putusan MK yang diambil secara bulat
oleh ke-9 Hakim Konstitusi tersebut, yakni
pernyataan bahwa pasal terkait bersifat tidak
mengikat justru menimbulkan akibat hukum,
yakni kekosongan hukum (rechtsvacuum)
dikarenakan keterbatasan kewenangan MK
yang tidak dapat membentuk aturan-aturan
hukum baru .
1. Terjadinya Kekosongan Hukum Pasca Putusan MK pada Judicial Review UU Adminduk
Jimly Asshiddiqie pada saat menjabat
sebagai Ketua MK, dia menyatakan bahwa
posisi MK adalah sebagai negative legislator
artinya MK hanya bisa memutus sebuah norma
dalam UU bertentangan konstitusi, tanpa boleh
memasukan norma baru ke dalam UU .17 MK
disini kemudian hanya memiliki posisi tanpa
kekuatan eksekusitorial yang dapat membantu
untuk menerapkan putusannya dalam produk
peraturan perundang-undangan . Namun
demikian secara tidak langsung putusan MK
menciptakan norma baru yang membuka
kesempatan kepada penghayat kepercayaan
untuk mengakses hak-haknya sebagai
warga negara, seperti hak atas pengakuan
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, jaminan sosial dan kesehatan, dan hak-hak lainnya .
Dasar pemikiran ini sesuai dengan Pasal 57 UU No . 24 Tahun 2003 tentang MK bahwa status suatu ketentuan dalam UU yang telah dinyatakan tak mempunyai hukum mengikat oleh MK, maka ketentuan atau pasal tersebut tidak dapat digunakan lagi sebagai dasar hukum .18 Dengan demikian putusan MK ini dianggap oleh sebagai dasar hukum yang baru. Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan, putusan MK mengenai pengisian kolom agama oleh penghayat kepercayaan dalam kartu identitas (KTP) dapat langsung dilaksanakan tanpa aturan tambahan .19 Selain itu, hal tersebut dikuatkan juga dengan prinsip bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak dapat dilakukan Peninjauan Kembali dan dapat menjadi norma dalam mengisi ketentuan pasal yang tidak dapat digunakan lagi sebagai dasar hukum .
Sementara itu hingga saat ini pemerintah Indonesia belum memutuskan teknis penulisan untuk aliran kepercayaan di kolom kartu tanda penduduk . Menurut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, pemerintah masih ingin mendengar pendapat berbagai pihak terkait putusan Mahkamah Konstitusi soal aliran kepercayaan bisa dimasukkan dalam kolom agama di KTP . Bahkan, pemerintah
belum bisa memastikan pada tahun 2018
17 Ilman Hadi, “Apakah MK Berwenang Membuat Norma Hukum Baru?”, http://www .hukumonline .com/klinik/detail/lt50487c14ed33f/apakah-mk-berwenang-membuat-norma-hukum-baru, diakses 13 Januari 2018
18 Ali Salmande, “Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi”, http://www .hukumonline .com/klinik/detail/cl4222/pelaksanaan-putusan-mahkamah-konstitusi, diakses tanggal 13 Januari 2018 .
19 Christie Stefanie, “Pakar: Putusan MK Penganut Kepercayaan Langsung Dilaksanakan”, Edisi 10 November 2017, https://www .cnnindonesia .com/nasional/20171108134607-12-254293/pakar-putusan-mk-penganut-kepercayaan-langsung-dilaksanakan, diakses tanggal 13 Januari 2018 .
380 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halam 369-387
kolom tersebut sudah bisa dimasukkan atau
belum .20 Dari legislator, Ketua Komisi II
DPR Zainuddin Amali mengatakan, Komisi
II DPR mewacanakan revisi Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan,
menindaklanjuti Putusan Mahkamah
Konstitusi yang memutuskan penganut aliran
kepercayaan masuk kolom agama di KTP .
Keputusan MK final dan mengikat maka tidak
bisa diajukan peninjauan kembali atau judicial
review sehingga yang paling memungkinkan
dilakukan revisi UU Administrasi
Kependudukan .21 Revisi dari UU Administrasi
Kependudukan dapat dilakukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, yang mana kemudian
untuk memperjelas posisi dari penghayat
aliran kepercayaan melalui prosedur teknis
dan sebagai bagian dari interpretasi maka
dapat dibentuk peraturan pelaksana dari UU
Administrasi Kependudukan hasil revisi oleh
pemerintah .
Ditengah kondisi kekosongan hukum pasca
putusan MK ini, ada akibat hukum lainnya
yang akan dihadapi oleh pemerintah . Dengan
putusan MK itu pemerintah tidak hanya
memiliki kewajiban memberi pelayanan secara
formal dalam bentuk administrasi penduduk .
Pemerintah juga harus memenuhi pelayanan
pendidikan agama, perkawinan, tempat
ibadah dan lain-lain . Dalam pendidikan harus menyediakan guru penghayat kepercayaan . Kemudian, pemerintah harus menyediakan tempat ibadah bagi penghayat kepercayaan . Juga akan mengangkat Dirjen Bimas (Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat) penghayat kepercayaan . Kehidupan beragama di Indonesia dengan jumlah 6 agama yang diakui saja sudah sangat banyak masalah, seperti masalah pendirian tempat ibadah, masalah konflik horizontal antar pemeluk agama, dan lain-lain yang cukup sering kita saksikan .
Secara tidak langsung formalisasi penghayat kepercayaan yang statusnya sama dengan agama yang jumlahnya ratusan itu membuat Negara berkewajiban menganggarkan dana untuk penghayat kepercayaan ini . Pada akhirnya Negara pasti akan terbebani dengan masalah yang bertubi-tubi . Belum lagi, masalah Ahmadiyah, Agama Salamullah, Lia Eden dan lain-lain yang telah dinyatakan bermasalah dan difatwa menyimpang oleh MUI . Aliran ini bisa eksis dan diakui formal ajarannya melalui penghayat kepercayaan . Bahkan, kaum anti Tuhan dan Yahudi bisa berdalih masuk melalui jalur penghayat kepercayaan ini agar dapat KTP . Stablitias nasional terancam dan peluang
terjadi konflik horisontal bisa melebar.
Putusan MK ini jelas membawa
perubahan besar dalam sistem kehidupan
20 Irsyan Hasyim, “Mendagri: Ada 2 Cara Penulisan Aliran Kepercayaan di Kolom KTP”, Edisi 13 Desember 2017, https://nasional .tempo .co/read/1041889/mendagri-ada-2-cara-penulisan-aliran-kepercayaan-di-kolom-ktp, diakses tanggal 13 Januari 2018 .
21 Antara, “Pasca-Putusan MK, DPR Bakal Revisi UU Administrasi Kependudukan”, Edisi 8 November 2017, https://nasional .tempo .co/read/1031887/pasca-putusan-mk-dpr-bakal-revisi-uu-administrasi-kependudukan, diakses tanggal 13 Januari 2018 .
Harsyahwardhana, Akibat Hukum Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 Tentang Judicial Review ... 381
keagamaan Indonesia . Tidak bisa dipungkiri
bahwa dalam konstitusi hak para penghayat
ini dilindungi dengan asas equality before
the law. Hanya saja hal ini tidak sepenuhnya
bisa diterima penganut agama lain, sebab
pemenuhan sebuah hak akan berpotensi
bertabrakan dengan hak lain . Oleh karena
itu perlu ada perumusan norma baru yang
dapat mengakomodir penghayat kepercayaan
ini, tanpa menimbulkan konflik dengan
kelompok penganut agama di Indonesia .
Prinsipnya pemenuhan hak harus dikontrol
oleh pemerintah agar tidak memicu konflik.
2. Problematika Dalam Pengawasan Penghayat Aliran Kepercayaan di Indonesia Pasca Putusan MK Pada Judicial Review UU Adminduk
Konsekuensi putusan MK ini sebenarnya
tidak mudah dalam menjalankannya,
terutama berkaitan dengan pengawasan
aliran kepercayaan . Hal ini disebabkan
varian aliran kepercayaan itu beragam
macamnya, jumlah aliran kepercayaan di
Indonesia kurang lebih 300-an diantaranya
ada yang dipermasalahkan oleh umat Islam .
Seperti ditulis dalam Kitab Darmogandul,
sebuah buku yang dijadikan referensi oleh
sebagian penganut aliran kepercayaan
bahwa Muhammad Shalallahu ‘Alaihi
Wassallam artinya makam atau kubur, dan
Ra-su-lu-lah artinya rasa yang salah .22
Dengan demikian ada aliran kepercayaan
yang bermasalah atau masih kategori aliran bermasalah . Aliran kepercayaan yang melakukan penodaan agama itu bisa melukai perasaan umat beragama . Tentu saja hal demikian bisa memicu konflik. Putsan MK tersebut akan membuat aliran kepercayaan yang bermasalah akan semakin leluasa dalam melaksanakan kegiatannya, karena memiliki hak yang sama dengan pemeluk agama lain . Apabila hal ini terjadi maka dipastikan hanya akan menambah masalah dalam masyarakat Indonesia yang pluralistik .
Dalam putusannya, MK terkesan hanya menelaah gugatan judicial review dari penghayat kepercayaan hanya melihat dari aspek normatif saja . Sedangkan untuk memberikan solusi hukum secara komprehensif, seharusnya MK mempertimbangkan aspek-aspek sub-sistem sosial diluar hukum . Dalam teori Sibernetika Talcott Parson (Talcott Parson’s Cybernetics) menyebutkan tentang ada empat subsistem yang senantiasa melingkari kehidupan kemasyarakatan, yaitu: budaya, sosial, politik, dan ekonomi .23 Dalam kaitannya dengan putusan MK, maka dampak yag ditimbulkan berdasarkan teori sibernetika tersebut dapat dibagi sebagai berikut:a . Dari segi budaya, adanya putusan MK
akan dijadikan basis legitimasi para penghayat aliran kepercayaan dalam melaksanakan kegiatan berdasarkan kepercayaan mereka untuk lebih
22 Tim Penulis Pustaka Sidogiri, Bahaya Aliran Kebatinan, (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2011), hlm . 96 .23 Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional,
(Bandung: Sinar Baru, 1985), hlm . 22 .
382 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halam 369-387
publik, memunculkan kebiasaan untuk menampilkan kultur aliran kepercayaan sesuai golongan tanpa batasan .
b . Dari segi sosial, adanya putusan MK tanpa pengaturan lebih lanjut melalui produk hukum yang tepat dapat menyebabkan timbulnya segregasi antar agama dan kepercayaan di lingkungan sosial masyarakat . Hal ini terjadi karena karena hilangnya tekanan atas tantangan untuk mempertahankan identitas dan ajaran, serta tantangan untuk tetap bertahan di tengah situasi sosial yang terus berubah .
c . Dari segi politik, adanya putusan MK dapat dipolitisasi sebagai isu kancah perpolitikan nasional untuk saling serang antar golongan, baik dari agama resmi dan dari aliran kepercayaan .
d . Dari segi ekonomi, adanya putusan MK dapat memunculkan ketidakstabilan dalam beberapa bidang seperti administrasi yang kemudian dapat mempengaruhi roda perekonomian masyarakat .
Namun, secara normatif, pertimbangan dalam putusan MK tersebut sudah sangat logis, tetapi ketika dihadapkan dengan kondisi lemahnya aturan hukum pada aspek sosial maka berpotensi menimbulkan permasalahan di kemudian hari . Kemudian, masih adanya sejumlah aliran keagamaan yang bermasalah dengan agama-agama tertentu . Dengan latar belakang budaya ini akan memperumit
permasalahan .
Aliran kepercayaan bermasalah harus
diselesaikan dulu, terlebih Negara telah
memiliki regulasi terkait dengan ini .
Kementrian Agama RI (Kemenag) juga
memiliki pedoman pembinaan terhadap
paham bermasalah itu . Disebutkan ada 7
indikator suatu aliran dan paham keagamaan
dianggap bermasalah sebagaimana
diatur dalam perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia . Poin ke-5 berbunyi:
“Melanggar hak-hak dasar orang lain, seperti
pengkonsepsian dan penafsiran ajaran agama
yang dalam penyebarannya memaksa mencuci
otak orang lain baik secara langsung, maupun
tidak langsung, memobilisasi pendanaan dari
masyarakat secara manipulative .”24 Hak dasar
yang dimaksud ini adalah hak beragama . Hak
ini harus dilindungi dari penafsiran ajaran
agama yang menyimpang .
Di Indonesia telah ada undang-undang
yang mengatur pencegahan penyalahgunaan
agama, yaitu UU No . 1 PNPS tahun 1965
yang dikenal dengan UU Penodaan Agama
(Pencegahan Penyalahgunaan dan atau
Penodaan Agama) . UU ini menjadi dasar
pemerintah memberikan perlindungan
kepada masyarakat dari pemahaman dan
keyakinan agama bermasalah . Kebebasan
setiap orang untuk berkeyakinan perlu diatur
agar kebebasan itu tidak sampai jatuh pada
penodaan agama . Melindungi agama-agama
yang telah diakui perlu lebih didahulukan
daripada keputusan memberi kebebasan aliran
24 Tim Penyusun Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Pedoman Penanganan Aliran Dan Gerakan Keagamaan Bermasalah Di Indonesia, hlm . 37, https://balitbangdiklat .kemenag .go .id/assets/downloads/Pedoman%20Penanganan%20Aliran%20Keagamaan .pdf, diakses 27 Februari 2018 .
Harsyahwardhana, Akibat Hukum Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 Tentang Judicial Review ... 383
lain yang setara dengan agama . Setiap orang
memilik hak berkeyakinan . Tetapi setiap
agama perlu mendapatkan perlindungan
Negara dari penodaan . Sebuah hak tidak boleh
melanggar hak orang lain .
Dengan UU PNPS tersebut, tiap warga
negara tidak boleh seenaknya mengespresikan
kebebasan berkeyakinan . Semua harus tunduk
pada undang-undang . Pada Rakornas (Rapat
Kordinasi Nasional) Komisi Pengkajian dan
Penelitian MUI Provinsi se-Indonedia, 2
September 2016, Jaksa Agung Muda Bidang
Intelejen, Teguh, SH, MH, mengatakan
UU No . 1 PNPS 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/Atau Penodaan
Agama diperlukan di Indonesia . Setiap warga
negara harus tunduk pada batasan-batasan
dengan maksud menjamin hidup agama, yaitu
dibatasi oleh UU No . 1 PNPS 1965 . Dalam hal
ini memang ada HAM (Hak Asasi Manusia)
yang mutlak, tetapi di negara Indonesia juga
ada HAM Konstitusional, yakni hak-hak asas
manusia yang diatur undang-undang . Pasal 1
UU menerangkan tentang larangan melakukan
penodaan agama dalam bentuk apapun . Bunyi
pasal tersebut adalah: “Setiap orang dilarang
dengan sengaja di muka umum menceritakan,
menganjurkan atau mengusahakan dukungan
umum, untuk melakukan penafsiran tentang
sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan
dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama
itu .” Artinya, masalah ini bukan sekedar
hak beragama atau berkeyakinan saja, tetapi
yang perlu dikaji adalah hak perlindungan
agama . Dengan demikian MK seharusnya
tidak melihat secara sepihak tuntutan hak
konstitusional para penghayat kepercayaan,
tetapi melihat juga perlindungan beragama
yang juga dilindungi oleh konstitusi .
Dalam menghadapi berbagai dampak dari
implikasi Putusan MK No . 97/PUU-XIV/2016
maka yang paling dibutuhkan adalah adanya
kepastian hukum terhadap kelanjutan putusan
tersebut . Kepastian hukum diperlukan
sebagai kerangka operasional dari hukum25
yang akan mengatur terkait dikabulkannya
gugatan judicial review UU 23 Tahun 2005
jo . UU 24 Tahun 2013 tentang Administrasi
Kependudukan (UU Adminduk) . Berdasarkan
teori kepastian hukum dan nilai yang ingin
dicapai yaitu nilai keadilan dan kebahagiaan,
maka Putusan MK No . 97/PUU-XIV/2016
yang membolehkan status penganut
kepercayaan dimasukan dalam kolom
Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el)
bertujuan untuk memberikan keadilan kepada
para penghayat kepercayaan yang merasa
didiskriminasi oleh UU Adminduk .
Simpulan
1 . Pertimbangan yang digunakan
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
97/PUU-XIV/2016 terkait pemenuhan
hak konstitusional penghayat aliran
25 Theo Huijbers, Filsafat Hukum (Dalam Lintasan Sejarah), (Yogyakarta: Kanisius, 1984), hlm .163 .
384 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halam 369-387
kepercayaan di Indonesia, memuat
hal-hal yang sebenarnya telah mengakar
kuat dalam nilai-nilai budaya di
Indonesia . Pertimbangan MK seperti
keberadaan hak beragama termasuk hak
untuk menganut kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, dan penegasan
MK bahwa hak tersebut merupakan hak
konstitusional (constitutional rights)
warga negara, dan bukan pemberian
negara . Pendirian terhadap perbedaan
makna antara ‘agama’ dan ‘kepercayaan’
juga menjadi dasar dalam putusan MK .
Pada kesimpulannya, MK telah dengan
seksama dan progresif menyesuaikan
nilai-nilai budaya di Indonesia dengan
kasus yang ditanganinya . Hal tersebut
dibuktikan dengan pendapat MK
bahwa negara seharusnya tidak hanya
menghormati, melindungi dan memenuhi
hak beragama, tetapi juga hak menganut
kepercayaan . Putusan MK ini menjadi
kunci krusial dalam mempengaruhi
diperbaikinya praktek pelayanan
administrasi terhadap pengayat
kepercayaan di Indonesia .
2 . Akibat hukum dari Putusan MK No .
97/PUU-XIV/2016 secara general
membolehkan status penganut
kepercayaan dimasukan dalam kolom
Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-
el) . Akibat hukum tersebut memuat
pernyataan bahwa MK menganggap
penghayat kepercayaan memiliki
hak konstitusional dalam memeluk
kepercayaannya masing-masing .
Meskipun terikat asas res judicata pro
veritate habaetur (apa yang telah diputus
oleh hakim harus dianggap benar), hasil
kajian normatif makalah ini menunjukkan
bahwa putusan MK yang menyebutkan
pasal terkait bersifat tidak mengikat
justru menimbulkan akibat hukum, yakni
kekosongan hukum (rechtsvacuum) .
a . Kekosongan hukum terjadi karena
keterbatasan kewenangan MK yang
tidak dapat membentuk aturan-aturan
hukum baru . Namun disisi lain putusan
MK akan menciptakan norma baru
yang membuka kesempatan kepada
penghayat kepercayaan untuk mengakses
hak-haknya sebagai warga negara,
seperti hak atas pengakuan perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, jaminan sosial
dan kesehatan, dan hak-hak lainnya .
Pemerintah juga berkewajiban untuk
memenuhi pelayanan pendidikan agama,
perkawinan, tempat ibadah dan lain-lain
bagi para penghayat kepercayaan berikut
pada layanan administrasi kependudukan .
Pada kesimpulannya terdapat hak-hak
yang harus dipenuhi dan kewajiban-
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
berbagai pihak akibat dikeluarkannya
putusan tersebut .
b . Implikasi dari putusan MK adalah
pemerintah harus siap terhadap dampak
munculnya aliran maupun paham yang
mungkin bertentangan dengan Pancasila
yang berpotensi memanfaatkan celah
Harsyahwardhana, Akibat Hukum Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 Tentang Judicial Review ... 385
hukum pengakuan hak penghayat
kepercayaan tersebut . Hal ini dapat
berdampak pada stablitias nasional yang
terancam dan peluang terjadi konflik
horisontal bisa melebar . Konsekuensi
putusan MK ini tidak mudah dalam
menjalankannya, terutama berkaitan
dengan pengawasan aliran kepercayaan .
Hal ini disebabkan varian aliran
kepercayaan itu beragam macamnya,
serta adanya aliran kepercayaan yang
bermasalah dengan penganut keagamaan .
Dengan diberinya kebebasan kepada
aliran kepercayaan melalui putusan MK
ini, implikasinya pada negara adalah
negara tidak bisa mengesampingkan
perlindungan hak beragama . Sebab,
sebagian dari pengahayat aliran
kepercayaan ini kerap bersinggungan
dengan prinsip keagaman tertentu . Oleh
karena itu MK seharusnya tidak melihat
secara sepihak tuntutan hak konstitusional
para penghayat kepercayaan, tetapi
melihat juga perlindungan beragama
yang juga dilindungi oleh konstitusi .
Pemerintah sebagai pihak yang harus
mengeluarkan aturan-aturan dengan
dasar putusan MK tersebut harus
mempertimbangkan berbagai sisi baik
sisi sosial, budaya, dan politik .
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Mulkan, Abdul Munir . “Dilema Manusia Dengan Diri dan Tuhan” kata pengantar dalam Th . Sumartana (ed .), Pluralis, Konflik, dan Pendidikan Agama Di Indonesia . Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001 .
Ali, Achmad . Menguak Tabir Hukum . Bogor : Ghalia Indonesia, 2008 .
Hadjon, Philipus M . Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia . Surabaya: Bina Ilmu, 1987 .
Huijbers, Theo . Filsafat Hukum (Dalam Lintasan Sejarah) . Yogyakarta: Kanisius, 1984 .
MD, Mahfud . Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi . Jakarta: LP3ES, 2007 .
Rahardjo, Satjipto . Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional . Bandung: Sinar Baru, 1985 .
Soeroso, R . Pengantar Ilmu Hukum . Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Tanya dkk . Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi . Yogyakarta: Genta Publishing, 2010 .
Tim Penulis Pustaka Sidogiri . Bahaya Aliran Kebatinan . Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2011 .
Tim Penyusun Puslitbang Kehidupan Keagamaan . Pedoman Penanganan Aliran Dan Gerakan Keagamaan Bermasalah Di Indonesia, 2016 .
Wahid, Abdurrahman . Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi
386 ARENA HUKUM Volume 13, Nomor 2, Agustus 2020, Halam 369-387
Kebudayaan, Jakarta: The Wahid
Institute, 2007 .
Jurnal
Hikmah, Mutiara . “Mahkamah Konstitusi
dan Penegakan Hukum dan HAM
di Indonesia” . Jurnal Hukum dan
Pembangunan Vol.35, No 2, (April –
Juni 2005) .
Makalah
Nurjaya, I Nyoman . Memahami Kedudukan
Hukum Adat Dalam Politik
Pembangunan Hukum Nasional,
Seminar Nasional tentang Arah
Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat
Adat dalam Sistem Hukum Nasional .
Malang: Badan Pembinaan Hukum
Nasional, 2011 .
Naskah Internet
Hasan, Akhmad Muawal . “Pembakuan
Definisi “Agama” yang Penuh Pro dan
Kontra” . Edisi 11 November 2017.
https://tirto .id/pembakuan-definisi-
agama-yang-penuh-pro-dan-kontra-
czVV . Diakses 12 Januari 2018
Redaksi . “Yunahar Ilyas : Penghayat Adalah
Kepercayaan, Masak Masuk Kolom
Agama” . Edisi 9 November 2017 . http://
sangpencerah .id/2017/11/yunahar-
ilyas-penghayat-adalah-kepercayaan-
masak-masuk-kolom-agama/ Diakses
12 Januari 2018
Ramadhan, Bilal . “MK Dinilai Sangat
Senyap Soal Kolom Penghayat
Kepercayaan” . Edisi 9 Desember 2017 .
http://nasional .republika .co .id/berita/
nasional/politik/17/12/09/p0ot24330-
mk-dinilai-sangat-senyap-soal-kolom-
penghayat-kepercayaan . Diakses 12
Januri 2018
Yulianto, Eko . “Dinamika Hak Asasi Manusia
dalam Teori Hukum Alam” . https://
w w w . a c a d e m i a . e d u / 3 4 6 1 9 6 9 9 /
Dinamika_Hak_Asasi_Manusia_
dalam_Teori_Hukum_Alam . Diakses
tanggal 13 Januari 2018
Hadi, Ilman . “Apakah MK Berwenang
Membuat Norma Hukum Baru?” .
http://www .hukumonline .com/klinik/
detail/lt50487c14ed33f/apakah-mk-
berwenang-membuat-norma-hukum-
baru . Diakses 13 Januari 2018
Salmande, Ali . “Pelaksanaan Putusan
Mahkamah Konstitusi” . http://www .
hukumonline .com/klinik/detail/cl4222/
pelaksanaan-putusan-mahkamah-
konstitusi . Diakses 13 Januari 2018
Stefanie, Christie . “Pakar: Putusan MK
Penganut Kepercayaan Langsung
Dilaksanakan” . Edisi 10 November
2017 . https://www .cnnindonesia .com/
nasional/20171108134607-12-254293/
p a k a r - p u t u s a n - m k - p e n g a n u t -
kepercayaan-langsung-dilaksanakan .
Diakses 13 Januari 2018
Harsyahwardhana, Akibat Hukum Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 Tentang Judicial Review ... 387
Hasyim, Irsyan . “Mendagri: Ada 2 Cara
Penulisan Aliran Kepercayaan di Kolom
KTP .” Edisi 13 Desember 2017 . https://
nasional .tempo .co/read/1041889/
mendagri-ada-2-cara-penulisan-aliran-
kepercayaan-di-kolom-ktp . Diakses
tanggal 13 Januari 2018 .
Antara . “Pasca-Putusan MK, DPR Bakal Revisi
UU Administrasi Kependudukan .”
Edisi 8 November 2017 . https://
nasional .tempo .co/read/1031887/
pasca-putusan-mk-dpr-bakal-revisi-uu-
administrasi-kependudukan . Diakses
tanggal 13 Januari 2018
Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/
PUU-XIV/2016 .
Top Related