Download - Agama Dan Masa Depan Indonesia

Transcript

PLURALISME AGAMA DAN MASA DEPAN INDONESIA[footnoteRef:1] [1: Disajikan pada Dialog Publik dengan tema: Harmoni dalam Keberagaman, diadakan oleh Kelompok orang muda lintas agama (KOMPAK) Kupang, Akapela NTB & KOMPAS Belu, bertempat di Kupang, tanggal 25 Maret 2015.]

Musdah Mulia[footnoteRef:2] [2: Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Ketua Umum Yayasan ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace), dapat dihubungi via [email protected]]

PendahuluanPerlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah salah satu prinsip penting dalam negara demokrasi yang menghormati HAM. Di Indonesia, prinsip ini telah ditegaskan dalam landasan bernegara. Tidak hanya Konstitusi, tapi juga peraturan hukum lain. Konstitusi telah menegaskan kebebasan ini sebagai hak asasi setiap warganegara. Hak ini bersifat fundamental yang tidak boleh dibatasi dan dikurangi dalam kondisi apapun.Pentingnya prinsip itu juga didasarkan pada kebutuhan faktual bahwa masyarakat kita sangat majemuk yang terdiri dari berbagai golongan, seperti tercermin dalam agama dan kepercayaan yang plural di masyarakat. Sebagai fundamen yang membentuk bangsa ini, menjaga dan melindungi kemajemukan itu sebagai hal yang mutlak. Tidak sekedar pengakuan, tapi juga kepastian semua entitas memiliki ruang yang sama untuk hidup dan berkembang. Sayangnya, ancaman terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan bukan berarti tidak ada. Sebaliknya, intoleransi dan kekerasan terhadap minoritas justru merebak di masyarakat. Kasus ini meningkat tajam di sejumlah daerah dan setiap tahun selalu jadi sorotan publik, baik di level nasional maupun internasional. Kekerasan terhadap minoritas acapkali dikaitkan dengan merebaknya sikap intoleransi di sebagian masyarakat. Dengan menggunakan ruang politik di masa demokrasi, sejumlah ormas berupaya mendesakkan agendanya. Masalah muncul karena mereka tidak memiliki kelengkapan sikap kewargaan untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan. Bukannya mereka mempromosikan kebebasan dan HAM, sebaliknya justru mendorong sikap kebencian dan bahkan kekerasan untuk memerangi minoritas.Keterlibatan ormas-ormas intoleran itu dapat dilihat dalam sejumlah kasus. Misalnya, kekerasan yang terjadi dalam konteks pemberantasan aliran sesat, seperti terhadap jemaat Ahmadiyah. Kasus lain, misalnya, dalam sengketa pendirian rumah ibadah, seperti dialami Gereja Yasmin dan HKBP di Jawa Barat.Lepas dari permasalahan itu, hal yang penting adalah bagaimana peran aparatur negara sendiri dalam menangani masalah ini. Sudah menjadi kewajiban negara untuk menjamin, melindungi, dan memastikan setiap warganegara bisa menikmati hak-haknya, termasuk dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kewajiban itu harus dijalankan oleh aparaturnya, baik di pusat maupun di daerah.Kebhinekaan IndonesiaSebagai negara bangsa, Indonesia menghadapi masalah yang kompleks dan rumit. Masalah itu, antara lain berkaitan dengan jumlah penduduk yang sangat besar, yakni sekitar 215 juta jiwa, Indonesia menduduki urutan ke-4 di dunia setelah RRC, India, dan USA. Hal itu di tambah lagi dengan kondisi penduduk yang sangat majemuk, terdiri dari sekitar 300 kelompok etnis yang memiliki lebih dari ribuan bahasa lokal dengan identitas kultural masing-masing serta tersebar di 13.000 pulau, besar dan kecil, dan merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia. Masalahnya, kita sering memandang kondisi heterogen yang terbentuk secara alami itu sudah cukup menjadi fondasi dasar bagi bangunan demokrasi di Indonesia. Karena itu, selama ini hampir-hampir tidak terlihat upaya-upaya serius untuk menumbuhkan rasa saling menerima dan menghargai keragaman di dalam masyarakat, baik dalam pendidikan di lingkungan keluarga, terlebih lagi di lingkungan lembaga pendidikan formal dan nonformal. Padahal, kesadaran pluralisme dalam diri seseorang tidak tumbuh secara otomatis, melainkan membutuhkan stimulan, latihan dan pengalaman konkret. Penghargaan terhadap kebhinekaan Indonesia harus ditumbuhkan secara terus-menerus, harus dirajut melalui berbagai cara yang beradab.Selain keragaman budaya, keanekaragaman bentuk kesenjangan juga membalut kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia tediri dari orang-orang yang sangat terpelajar sampai dengan orang-orang yang buta huruf. Dari yang sangat rasional sampai yang sangat emosional. Dari yang sangat primordialistis sampai yang sangat nasionalistis. Dari yang sangat kaya, bahkan mungkin yang terkaya di dunia sampai yang sangat miskin, mungkin juga yang paling miskin di dunia. Demikian pula dari aspek keagamaan, didapati orang-orang dari yang sangat beragama dan sangat saleh sampai yang tidak mengenal ajaran agama. Dari yang berpandangan keagamaan sangat tolerans dan inklusif sampai kepada yang sangat fanatik dan eksklusif. Realitas sosiologis yang ada menunjukkan betapa majemuk keadaan bangsa Indonesia.Pendek kata, sulit mencari negara di dunia ini yang mempunyai heterogenitas dan kemajemukan yang demikian kompleks seperti Indonesia. Realitas ini sepatutnyalah menyadarkan kita semua, terutama para pengambil keputusan, agar tidak gegabah apalagi berlaku arogan di dalam merumuskan suatu keputusan untuk kepentingan seluruh bangsa yang demikian beragamnya itu.

Pentingnya AgamaMasih perlukah kita beragama ? Itulah pertanyaan yang seringkali mengusik akhir-akhir ini berkenaan dengan maraknya berbagai bentuk tindak kekerasan yang menyertai aneka ragam konflik di masyarakat yang jika tidak diselesaikan akan membawa kepada kehancuran nilai-nilai kemanusiaan. Akan tetapi, saya begitu yakin bahwa dari perspektif manapun kita melihat, agama masih sangat diperlukan, terutama di dalam membangun masyarakat yang humanis, damai dan bahagia. Karena itu, menurut saya, pertanyaan yang relevan adalah bagaimana menjadikan agama sebagai alat yang dapat memanusiakan manusia atau dengan ungkapan lain, bagaimana mensosialisasikan ajaran agama yang apresiatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Sejarah mencatat bahwa pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 ideologi sekuler mengalami keruntuhan. Kejatuhan komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur serta munculnya berbagai kritik keras terhadap modernisme dan kapitalisme menandai suatu era yang sering disebut the End of History of Idiology yang berlangsung selama lebih satu abad. Ideologi-ideologi besar tersebut telah memainkan peran sebagai agama semu (pseudo religion) yang menawarkan dan menjanjikan keselamatan dan kesejahteraan umat manusia di muka bumi.Pada mulanya, ideologi-ideologi sekuler tadi dirancang untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, namun kenyataan empirik membuktikan ideologi-ideologi itu telah gagal dalam mengangkat harkat dan martabat manusia. Komunisme dengan watak totalitarianismenya telah gagal mewujudkan keadilan sosial, demikian pula dengan kapitalisme yang menempatkan manusia hanya sekedar alat produksi. Modernisme dengan paradigma developmentalisme pembangunan juga tidak mampu mewujudkan pemerataan kehidupan yang lebih baik dan manusiawi. Ideologi ini ternyata malah membuat negara-negara berkembang sangat tergantung pada negara maju. Singkatnya, berbagai ideologi yang menjelma sebagai agama semu tersebut telah mengakibatkan eksploitasi nilai-nilai kemanusiaan dan ketidakadilan yang membawa kepada krisis kemanusiaan.Kondisi yang memprihatinkan ini seharusnya memberikan harapan kepada agama untuk menyelamatkan kembali umat manusia dari dehumanisasi. Harapan tersebut sangat wajar mengingat agama pada dasarnya merupakan respon ilahi terhadap berbagai problem yang dihadapi umat manusia. Setiap agama diklaim oleh penganutnya sebagai pedoman bagi umat manusia untuk hidup damai dan sejahtera, serta menghindari eksploitasi sesama manusia. Tujuan hakiki dari semua agama adalah membina manusia agar menjadi baik dan sehat yang meliputi sehat fisik maupun mental, jasmani dan ruhani. Intisari dari semua ajaran agama sesungguhnya berkisar pada penjelasan tentang hal-hal baik dan buruk, yaitu menjelaskan mana perbuatan yang masuk dalam kategori perbuatan baik yang membawa kebahagiaan, dan sebaliknya mana perbuatan buruk dan jahat yang membawa kepada bencana dan kesengsaraan. Agama memberikan tuntunan kepada manusia agar mengerjakan perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk demi kebahagiaan manusia itu sendiri. Tuhan, sang pencipta, sama sekali tidak merasa untung jika manusia mengikuti aturan yang diwahyukan-Nya, sebaliknya juga tidak merasa rugi jika manusia mengabaikan tuntunan-Nya. Sangat disayangkan misi agama yang amat suci dan luhur itu seringkali tidak terimplementasi dengan baik dalam kehidupan beragama penganutnya. Akibatnya, sejumlah konflik, tindakan eksploitasi, kekerasan dan diskriminasi gender dilakukan atas nama agama. Di antaranya dapat disebutkan kasus pembunuhan massal yang dimotori Gerakan Restorasi Keagamaan Ten Commandments di Rwanda; bunuh diri massal yang dilakukan oleh sekte David di Weco, Texas, Amerika; Tindak kekerasan yang dilakukan kelompok Aum Sinri Kyo di Jepang; konflik antara Yahudi, Muslim Arab, dan Kristen di Palestina; konflik laten antara Muslim dan Kristen di Indonesia; dan ketimpangan jender dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam ranah publik maupun domestik.Agama mengajarkan kepada pemeluknya keharusan menghormati sesama manusia, serta pentingnya hidup damai dan harmonis di antara sesama. Jika demikian halnya, segala bentuk konflik, kekerasan, dan teror yang mengatasnamakan agama hendaknya diyakini sebagai bentuk ketidakmampuan manusia memahami ajaran agamanya secara utuh. Semangat keberagamaan yang tinggi, tetapi tidak dibarengi dengan pemahaman yang dalam dari dimensi esoterik agama seringkali menimbulkan sikap fanatik sempit dan fundamentalisme yang berujung pada aksi-aksi kekerasan berbasis agama.Saya yakin semua agama memiliki ajaran yang menekankan pada dua aspek sekaligus; aspek vertikal dan aspek horisontal. Aspek vertikal merupakan ajaran agama yang berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan, sementara aspek horisontal berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan juga hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Namun, dalam realitas sosiologis aspek horisontal ini tidak terealisasikan dengan baik dalam kehidupan manusia, khususnya dalam interaksi dengan sesama manusia. Akibatnya, dimensi kemanusiaan yang merupakan refleksi aspek horisontal agama kurang mendapat perhatian di kalangan umat beragama. Kondisi inilah, antara lain yang kemudian membawa kepada penampilan wajah agama yang tidak humanis dalam kehidupan publik. Akibatnya, semakin seseorang beragama, bukannya semakin peduli kepada sesama manusia, melainkan semakin tidak manusiawi. Buktinya, manusia semakin tega kepada sesama, terlihat dari indikasi korupsi, kasus-kasus kriminal, termasuk semua bentuk perilaku stereotif, diskriminatif, dan perilaku kekerasan dengan basis apa pun. Rasa solidaritas dan peduli sesama serta keinginan membantu kelompok rentan dan marjinal semakin melemah, padahal di situlah letak esensi agama. Komitmen keagamaan seseorang yang berujung pada menguatnya sikap spiritualitas seharusnya terbangun sejak dari lingkungan rumah tangga. Lingkungan sekolah dan masyarakat pada prinsipnya hanyalah menunjang komitmen keagamaan yang sudah terbentuk itu. Akan tetapi, anehnya dewasa ini banyak keluarga yang menyerahkan pembinaan keagamaan anak-anak mereka sepenuhnya pada sekolah dan institusi semacamnya di masyarakat. Artinya, banyak keluarga yang sepenuhnya menyerahkan pendidikan keagamaan anak-anak mereka kepada lembaga-lembaga di luar keluarga, padahal pembinaan mental keagamaan seorang anak hendaknya dimulai sejak usia dini di dalam kehidupan keluarga. Persoalannya, para orang tua itu sendiri seringkali tidak menyelami hakikat ajaran agama yang mereka anut, lalu bagaimana mungkin mereka dapat mensosialisasikan ajaran agama tersebut kepada anak-anak mereka. Kehidupan beragama di rumah tangga perlu diciptakan dengan suasana rasa kasih sayang atau silaturahmi antara ayah, ibu, anak, dan seluruh anggota keluarga lainnya. Sejumlah penelitian ilmiah, di antaranya penelitian Stinnet, J DeFrain pada 1987, membuktikan bahwa seseorang yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak religius akan mendapatkan resiko yang lebih besar untuk terlibat dalam berbagai bentuk tindak kekerasan daripada mereka yang dibesarkan dalam keluarga yang religius. Hasil penelitian itu setidaknya menghimbau agar para orang tua bersikap proaktif di dalam membangun nilai-nilai keagamaan dalam diri anak-anak mereka, bukan menyerahkan tugas tersebut kepada lembaga lain, seperti sekolah.

Membangun Kesadaran PluralismePada tataran realitas empiris tidak satu pun di antara komunitas agama, baik Islam, Kristen, maupun Yahudi yang banyak memiliki pengalaman dalam hal pluralitas kehidupan. Sebab, secara historis, komunitas agama relatif hidup dalam satuan-satuan homogen yang terpisah dari komunitas agama lain. Bahkan, seringkali suatu komunitas agama berada di bawah otoritas komunitas agama lain. Hubungan yang benar-benar setara di antara berbagai komunitas agama hampir mustahil dalam sejarah manusia. Karena itu, toleransi menjadi suatu keniscayaan, meskipun terasa sulit bagi komunitas agama. Khusus bagi komunitas Islam, realitas toleransi dan pluralitas diakui memiliki legitimasi keagamaan. Piagam Madinah, misalnya dapat dijadikan landasan yang kuat untuk melegitimasi kehidupan pluralistik bagi masyarakat kosmopolit. Di samping itu, dalam Islam dikenal ajaran yang menekankan perlunya berpegang pada kesamaan pandangan (kalimah sawa`) terhadap komunitas agama lain. Hal-hal di atas menurut hemat penulis, dapat mendorong terjadinya toleransi dan pluralitas kehidupan yang kokoh.Pada era globalisasi ini persoalan terbesar yang dihadapi umat beragama adalah konflik agama, baik konflik antar intern pemeluk agama maupun antaragama, karena umat beragama tidak lagi hidup dalam sekat-sekat yang terisolasi dari pengaruh dunia luar. Konflik antaragama merupakan fenomena yang memprihatikan, baik yang terjadi di luar maupun di dalam negeri. Di Bosnia, terlihat betapa menggenaskannya pertikaian antara penganut agama Katolik dan Islam. Konflik serupa, meskipun memiliki nuansa yang lain, terjadi di Azerbaijan, Sudan, Kashmir, dan Sri Lanka. Sementara di dalam negeri sendiri hal yang sama mulai merisaukan, seperti terjadi di Ambon dan beberapa tempat lainnya. Mencegah timbulnya berbagai konflik seperti di atas, sejumlah solusi ditawarkan, dan yang paling menjanjikan tampaknya adalah bagaimana menciptakan kondisi dan suasana yang memungkinkan terjadinya dialog di antara umat yang berbeda agama. Melalui dialog mereka diharapkan dapat saling mengenal dan memahami agama mitra dialog mereka masing-masing yang pada gilirannya nanti akan mencari sisi-sisi yang sama di antara ajaran agama yang berbeda itu untuk dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu masyarakat. Untuk itu, perlu ada semacam gentleman agreement, yakni bahwa di antara pihak-pihak yang terlibat dalam dialog tersebut tidak akan saling mengintervensi atau saling mempengaruhi keyakinan masing-masing.Agar dialog dapat berjalan efektif dan menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak, maka para pelaku dialog harus memiliki komitmen untuk menerima toleransi dan pluralisme. Toleransi pada intinya adalah kemampuan menahan diri agar potensi konflik dapat ditekan, sedangkan pluralisme adalah kesediaan menerima kemajemukan untuk kemudian terlibat secara aktif dalam mempertahankan kemajemukan tersebut sebagai sesuatu yang harus diterima. Dalam konteks agama, pluralisme berarti setiap pemeluk agama harus berani mengakui eksistensi dan hak agama lain dan selanjutnya bersedia aktif dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan berbagai agama menuju terciptanya suatu kerukunan dalam kemajemukan agama. Hanya saja perlu diwaspadai agar pluralisme yang dicita-citakan itu tidak menjelma menjadi sinkretisme, kosmopolitanisme, dan relativisme. Untuk menghindari ketiga hal tersebut, maka pluralisme yang akan diwujudkan hendaknya beranjak dari komitmen yang kuat dari setiap pemeluk agama terhadap ajaran agama masing-masing. Tentu saja menciptakan suasana dialog yang diwarnai dengan toleransi dan pluralisme bukanlah perkara mudah, mengingat setiap agama memiliki klaim kebenaran, bahwa ajarannyalah yang paling benar dan paling selamat, namun justru itulah tantangannya. Terserah kepada umat beragama itu sendiri apakah mereka akan memilih hidup berdampingan secara harmonis ataukah membiarkan diri mereka tercabik-cabik oleh konflik yang sebenarnya dapat mereka elakkan.

Bagaimana Memahami dan Menghargai Keberagaman Agama? Setiap agama memiliki dasar teologisnya sendiri untuk mengklaim kebenaran dirinya. Akan tetapi, dalam waktu yang sama semua agama juga mempunyai dasar teologis untuk menyatakan bahwa hanya Tuhan dan wahyulah yang merupakan kebenaran absolut. Tugas manusia hanyalah menyampaikan kebenaran dan membuat interpretasi atas kebenaran yang diyakininya itu. Karena itu, interpretasi manusia atas wahyu menjadi kebenaran yang tidak mutlak atau nisbi belaka sejalan dengan keterbatasannya sebagai manusia. Setiap agama diyakini mengajarkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan untuk keselamatan manusia, bukan hanya di dunia ini melainkan juga di hari kemudian. Ironisnya dalam fakta empirik agama ternyata tidak selamanya membawa manusia kepada keselamatan, melainkan manusialah yang senantiasa menjaga keselamatan agama yang dipeluknya itu.Seharusnya klaim seseorang atas kebenaran agamanya tidaklah harus membuat orang bersangkutan kehilangan respeknya pada realitas yang ada di sekelilingnya. Adalah suatu fakta yang tidak dapat dibantah bahwa di sekeliling kita hidup beragam agama dan kepercayan. Keberagamaan kita hendaknya mengantarkan kita menjadi orang yang respek pada penganut agama lain atau kepercayaan lain dan selanjutnya memandang keragaman agama dan kepercayaan itu sebagai asset bangsa yang sangat berharga.Sejarah agama menuturkan bahwa agama selalu berkaitan dengan masalah sosial. Karena itu, agama dapat dilihat sebagai suatu sarana perubahan sosial. Konflik-konflik agama lebih sering merupakan manifestasi dari konflik sosial dengan simbol-simbol keagamaan untuk tujuan-tujuan tertentu. Dalam hal nilai kemanusiaan dan sosial umumnya, banyak alasan bagi agama-agama untuk tidak saja hidup rukun dan bertoleransi positif, melainkan juga lebih jauh dari itu, yakni bekerjasama secara akrab dalam reformasi sosial, perubahan sosial atau transformasi sosial.Sesungguhnya yang menjadikan masalah dalam setiap agama adalah bahwa di setiap agama sebagian besar penganutnya adalah awam dan hanya sedikit yang terpelajar dan mengerti sungguh-sungguh ajaran agamanya. Karena itu, peningkatan wawasan keagamaan di kalangan awam menjadi sangat relevan. Peningkatan wawasan umat yang awam itu bisa menjadikan iman dan takwanya berfungsi dengan baik yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas dan prestasi takwa mereka.Dalam beragama diperlukan adanya suatu sikap hidup keagamaan yang relatif atau nisbi sebagai jalan keluar dari kemelut perpecahan dan pertentangan agama yang pasti merusak kesatuan dan persatuan bangsa. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa jika semua agama mengambil sikap yang sama maka dapatlah dijamin bahwa agama bukan lagi merupakan faktor pemecah belah yang akan membawa malapetaka bagi kehidupan manusia, melainkan sebagai faktor perekat yang akan menebarkan rahmat bagi semua manusia, bahkan bagi alam semesta. Sikap hidup yang relatif seperti inilah yang sangat dibutuhkan oleh setiap umat beragama di Indonesia sehingga mereka dapat berpartisipasi secara aktif dan bertangungjawab dalam usaha kesatuan dan persatuan bangsa dalam negara dan masyarakat Indonesia yang pluralistik berdasarkan Pancasila. Karenanya, kebangkitan agama-agama jangan dilihat sebagai hal yang meresahkan selama kebangkitan tersebut dimaksudkan sebagai kebangkitan dari sikap absolutisme yang mematikan menuju sikap relativitas yang menghidupkan.Kebenaran agama tidak hanya satu, melainkan banyak. Yang dimaksudkan kebenaran agama di sini adalah apa yang ditemukan dan dialami manusia dari pemahaman kitab sucinya sehingga kebenaran agama dapat beragam dan bahwa Tuhan merestui perbedaan cara keberagamaan umatnya yang dalam terminologi Islam disebut tanawu`al ibadah. Jika seluruh penganut agama telah memiliki kedewasaan sikap beragama seperti ini, yaitu sampai kepada pemahaman bahwa kebenaran agama tidak hanya satu, tentu saja tidak akan ditemukan kelompok-kelompok yang saling kafir-mengkafirkan yang berakhir pada munculnya berbagai bentuk konflik dan diskriminasi agama di tanah air.Namun, manusia seringkali terlalu bersemangat dalam beragama sehingga memposisikan diri sebagai Tuhan yang absolut. Dengan sikap absolut tersebut manusia lalu menginginkan agar seluruh manusia lain masuk ke dalam agama mereka, bahkan satu aliran. Semangat yang menggebu-gebu itulah yang sering mengantarkan mereka memaksakan pandangan dan keyakinannya pada orang lain, serta menganggap orang lain yang tidak sependapat dengan mereka sebagai kafir dan harus masuk neraka. Padahal Tuhan sendiri memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk memilih jalannya sendiri. Siapa yang ingin percaya, silahkan dan siapa yang menolak, terserah juga baginya.Saya yakin bahwa setiap agama menjanjikan kemaslahatan bagi manusia. Setiap penganut agama meyakini sepenuhnya bahwa Tuhan yang merupakan sumber ajaran agama itu adalah Tuhan Yang Maha Sempurna, Tuhan yang tidak membutuhkan pengabdian manusia. Ketaatan dan kedurhakaan manusia tidak menambah atau mengurangi kesempurnaan-Nya. Tuhan sedemikian besar sehingga rahmat-Nya pasti menyentuh seluruh makhlukNya. Sedemikian agungnya Tuhan sehingga manusia tetap diberi kebebasan untuk menerima atau menolak petunjuk agama, dan karena itu pula Dia menuntut ketulusan dan keikhlasan beragama dan tidak membenarkan paksaan dalam bentuk apa pun, baik nyata maupun terselubung.

PenutupSejarah telah mengajarkan kita betapa suatu kepalsuan tidak dapat bertahan langgeng. Harmoni dan pluralisme agama yang selama Orde Baru dibangga-banggakan ternyata tidak lebih dari sekedar alat penguasa untuk mempertahankan kontrol atas suatu masyarakat yang sangat beragam dan berbeda. Akibatnya, jalinan keharmonisan yang dielu-elukan itu menjadi porak-poranda seperti terlihat akhir-akhir ini. Indonesia lalu diguncang beragam konflik dan kekerasan agama yang secara signifikan menjadikan negeri ini terpuruk di dunia Internasional. Sejumlah tempat di mana umat Islam dan Kristen pernah hidup berdampingan selama puluhan tahun kini menjadi area konflik yang brutal dan kejam dan tentu saja agama kemudian menjadi faktor yang paling memicu karena agama merupakan hal yang sangat sensitif dalam kehidupan manusia.Pluralisme agama, sebagai bangunan penting demokrasi, hedaknya menjadi perhatian utama kita semua, termasuk para pemuka agama dan penyelenggara negara. Apalagi, di masa lalu, pluralisme agama telah dipromosikan sedemikian rupa menjadi instrumen kontrol, yakni sebagai instrumen hegemoni kekuasaan yang sangat ampuh. Untuk itu, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mengubah pluralisme agama dari sekedar sebagai alat kontrol menjadi suatu kekuatan politik yang efektif dan mampu mengalahkan unsur-unsur sektarian dan aksi-aksi kekerasan fundamentalisme agama.Dari berbagai diskusi yang berlangsung selama ini setidaknya ditawarkan dua strategi mendasar bagi upaya membangun pluralisme agama di Indonesia. Pertama, dialog yang tulus dan intensif. Dialog antarumat beragama, bukan tidak pernah dilakukan, melainkan sudah terlalu sering. Akan tetapi, kebanyakan dialog terhenti di tingkat elite, yaitu hanya di kalangan tokoh-tokoh dan pemuka agama tingkat nasional, dan itupun hanya berlangsung di ibu kota. Dialog diharapkan berlangsung bukan hanya di kalangan elite, melainkan lebih penting di tingkat "akar rumput". Kelompok pemuda, kelompok perempuan, dan berbagai kelompok yang terpinggirkan di masyarakat hendaknya diajak dalam proses dialog. Selain itu, materi dialog pun harus difokuskan pada proses rekonsiliasi. Di samping itu, dialog hendaknya dimaksudkan untuk saling mengenal antara mitra dialog dan memperkaya wawasan kedua belah pihak dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup bermasyarakat. Perlu dicatat bahwa dialog tidak akan pernah efektif tanpa kesediaan semua pihak untuk mengkaji secara jernih dan mengkritisi ajaran masing-masing dan hal ini hanya bisa dilakukan manakala para penganut agama sungguh-sungguh memahami ajaran agamanya dengan baik dan sempurna, tidak setengah-setengah. Kedua, aktivitas partisipatoris. Strategi ini perlu diwujudkan menyusul kegiatan dialog. Melalui kegiatan ini, para penganut agama yang berbeda-beda itu dimungkinkan untuk memperoleh pengalaman hidup bersama atau pengalaman bekerja bersama, misalnya dalam bentuk kegiatan jambore atau kegiatan pemberian bantuan kemanusiaan atau bantuan medis pada kelompok masyarakat yang sedang mengalami musibah. Pengalaman hidup bersama atau bekerja bersama di dunia nyata pada akhirnya akan membuat mereka sadar bahwa apa yang mereka anggap berbeda selama ini ternyata tidak sepenuhnya berbeda. Sejumlah pengalaman partisipatif seperti ini pada akhirnya membuat penganut suatu agama -yang mulanya membayangkan bahwa penganut agama lain itu sangat berbeda dengan diri mereka- mampu menyimpulkan bahwa mereka itu juga seperti saya. Apa yang selama ini mereka persepsikan berbeda itu ternyata hanyalah persepsi belaka, jauh dari realitas yang dialami dan dirasakan ketika mereka hidup dan bekerja bersama. Ketiga, penting mengatur kembali pola hubungan antara agama dan negara. Sulit dielakkan kenyataan bahwa upaya-upaya modernisasi di masa lalu pada umumnya dijalankan dengan mengadopsi cara-cara yang represif, otoriter, dan hasilnya pun lebih banyak diukur dari aspek kuantitasnya daripada kualitasnya. Ditambah lagi dengan metode yang sangat sentralistis, dan didominasi oleh birokrasi dan militer. Ke depan diperlukan langkah-langkah yang terencana dan sistemik untuk mereposisi peran agama di dalam masyarakat Indonesia. Agama jangan lagi dijadikan sebagai alat kontrol, terlebih lagi sebagai alat untuk mendominasi. Sudah selayaknya kita semua mengembalikan agama kepada posisinya yang hakiki, yaitu kepada misi spiritualnya yang sejati, sebagai sumber etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallahu a`lam bi al-shawab.

Jakarta, 20 Maret 2015

DAFTAR BACAN UTAMA

Madjid, Nurcholish, Islam: Doktrin dan Peradaban, Paramadina, Jakarta, 1992.

Musdah Mulia, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, Paramadina, Jakarta, 1997.

Richard W. Bulliet, Islam The View From The Edge, Columbia Univ, New York, 1994.

Robert H. Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Bina Aksara, Jakarta, 1989.

Romdon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama, Raja Grafindo, Jakarta, 1996.

Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Mizan, Bandung, 1998.

Wahid, Abdurrahman dkk., Islam Tanpa Kekerasan, LKiS, Yogyakarta, 1998.

................, Agama dan Kekerasan, Elsas, Jakarta, 1998.

Woodward, Mark R., Jalan Baru Islam, Mizan, Bandung, 1998.

Yafie, Ali dkk. Agama dan Pluralitas Bangsa, P3M, Jakarta, 1991.