Adalah Sahabat, Tanggapan Atas Artikel Jalaluddin Rakhmat: Sahabat Mon Oct 29, 2012 4:20 am (PDT) . Posted by:
"Nugroho Laison" nugon19
saya tujukan artikel ini utk sesama muslim.namun saya kirim juga ke beberapa milis lain, sebagai
bahan penambah wawasan.khususnya buat saya pribadi.
artikel di bawah ini adalah kompilasi dari 4 link berikut:
http://syiahindones ia.com/index. php/syubhat- a-bantahan/ 341-adalah- sahabat-tanggapa n-atas-
artikel- jalaluddin- rakhmat-sahabat- dalam-timbangan- al-quran- 1
http://syiahindones ia.com/index. php/syubhat- a-bantahan/ 342-adalah- sahabat-tanggapa n-atas-
artikel- jalaluddin- rakhmat-sahabat- dalam-timbangan- al-quran- 2
http://syiahindones ia.com/index. php/syubhat- a-bantahan/ 343-adalah- sahabat-tanggapa n-atas-
artikel- jalaluddin- rakhmat-sahabat- dalam-timbangan- al-quran- 3
http://syiahindones ia.com/index. php/syubhat- a-bantahan/ 344-adalah- sahabat-tanggapa n-atas-
artikel- jalaluddin- rakhmat-sahabat- dalam-timbangan- al-quran- 4
artikel ini utk mengcounter kritisi Syiah thd para Sahabat yg dinilai terlalu berlebihan, terlalu
mendiskreditkan sahabat. bahkan mirip dgn gaya Liberalis dan juga Missionaris + Orientalis.. .2 yg
terakhir ini jelas dari non-muslim, musuh Islam. kritisi yg berlebihan bahkan mirip dgn kritisi non-
muslim.. .jadi pertanyaan besar thd beberapa variant Syiah...hendak membela Islam atau hendak
menjatuhkan Islam.
mungkin kompilasi artikel di bawah jauh dari sempurna, tapi layak disimak.dan yg terpenting adalah
hendaknya melihat Sahabat Nabi Muhammad saw dari kacamata cinta kasih sayang dan berbaik
sangka. bukan dgn kacamata dendam dan benci serta skeptis/buruk sangka.
mohon maaf bila kurang berkenan. Terima kasih banyak atas perhatiannya. Walloohu a'lam bis-
showab. Wassalam - Nugon
Kebanyakan sumber permasalahan adalah cara berkomunikasi! !!
-=-=-=-=-=-
'Adalah Sahabat, Tanggapan Atas Artikel Jalaluddin Rakhmat: Sahabat dalam Timbangan Al-Qur’an
Oleh: Abdul Hayyie Al-Kattani
Apakah konsep tentang 'Adalah (kejujuran dan sifat keadilan serta dipercaya) Sahabat bermakna
mensakralkan mereka? Dan menganggap mereka manusia-manusia suci yang tidak mungkin
melakukan kesalahan? Atau memuja mereka seperti sesembahan?
Pendahuluan
Di Facebook, Dr. Jalaluddin Rakhmat mengundang saya untuk mengomentari tulisannya, sebagai
berikut: "Posts another article about "Sahabat dalam Timbangan Al-Quran" and invite people who
sacralize sahabat to comment, including Abdul Hayyi Al-Kattani and others."
Membaca kalimat di atas, saya tertegun sejenak: apakah konsep tentang 'Adalah Sahabat bermakna
mensakralkan mereka? Dan menganggap mereka manusia-manusia suci yang tidak mungkin
melakukan kesalahan? Atau memuja mereka seperti sesembahan?
Salah Paham Tentang Konsep 'Adalah Sahabat.
Di sini, saya melihat ada kesalah-pahaman tentang konsep 'adalah para sahabat. Sebenarnya
konsep "'adalahsahabat" sederhana saja. Yaitu menilai diri para sahabat Nabi SAW. sebagai jalur
penyampai yang bisa dipercayai bagi Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi SAW, serta seluk beluk kehidupan
Nabi SAW, selama beliau hidup, bagi generasi berikutnya.
Hal tersebut tidak berarti memberikan penilaian mereka sebagai sosok yang ma’shum yang tak
mungkin berbuat salah, tidak mungkin lupa, tidak mungkin berbuat dosa, atau melakukan suatu
kemaksiatan. Mereka bisa saja melakukan semua itu. Karena sifat ma’shum atau terhindar dari dosa
hanya dimiliki oleh Nabi SAW saja.
Secara logika, ini sangat diterima. Mengapa? Karena di mana pun di dunia ini, ketika orang ingin
mengetahui sejarah dan catatan-catatan tentang kejadian sebelum kelahirannya, pasti memerlukan
info dari orang yang hidup sebelumnya. Kita bisa saja lebih berpendidikan dari orang tua kita. Tapi
kejadian-kejadian di tengah keluarga kita, sebelum kita lahir, atau ketika kita masih balita, pastilah
mereka yang tahu. Sepintar dan sesuci apa pun kita melihat diri kita, tidak mungkin kita lebih tahu dari
orang tua kita tentang semua kejadian sebelum kita lahir. Di sini, keinginan kita untuk mengetahui
sejarah otentik keluarga kita atau masa-masa balita kita, harus meletakkan orang tua kita sebagai
sumber informasi yang terpercaya. Kecuali jika mereka terbukti senang berdusta. Karena jika tidak,
kemana lagi kita mesti mencari informasi tersebut?
Membatasi sumber informasi, membuat kita menghasilkan gambaran yang tidak otentik terhadap
objek yang ingin kita ketahui.
Demikian juga dengan keinginan kita untuk mengetahui riwayat otentik Al-Qur’an dan sunnah-sunnah
Nabi SAW. Melalui siapa kita mengetahui semua itu? Tentu jawabnya adalah melalui para sahabat,
isteri-isteri beliau dan anak-anak serta menantu beliau yang pernah mengalami hidup bersama beliau
atau mendengar suatu riwayat dari beliau.
Di sini kita mesti meletakkan para sahabat sebagai sumber informasi atau riwayat otentik dari Nabi
SAW. Kecuali jika orang tersebut terbukti pernah berdusta terhadap Nabi SAW, atau Nabi SAW sudah
memberikan kata pasti bahwa si A adalah sosok yang tidak bisa dipercayai/munafik.
Apakah ada alternatif selain itu untuk mengetahui riwayat otentik dari Nabi SAW?
Orang bisa mengatakan: "Ada, yaitu lewat anak dan menantu serta keturunannya. Yaitu anak beliau,
FathimahRadhiyallah u ‘anha dan menantu beliau, Ali bin Abi Thalib serta kedua anak mereka, Hasan
dan Husein. Karena merekalah Ahlu Bait yang masuk dalam hadits Kisaa’.”
Tapi nyatanya untuk mengetahui keutamaan (fadhail) diri mereka saja kita harus mengandalkan
riwayat-riwayat dari para sahabat. Bayangkan jika kita mencampakkan para sahabat atau isteri
Rasulullah SAW sebagai sumber riwayat dari Nabi SAW, dari mana lagi kita mengetahui keutamaan
atau fadhaail Ali bin Abi ThalibRadhiyallahu ‘anhu dan keluarganya yang disampaikan langsung oleh
Rasulullah SAW? Bukankah haditsKisaa’ yang diagung-agungkan Syi’ah sebagai keutamaan Ali bin
Abi Thalib dan keluarganya itu diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha, isteri Nabi SAW?
Orang bisa meneliti, kitab-kitab ulama Syi’ah Imamiyah Ja'fariyah yang mengklaim hanya
mengandalkan riwayat dari Ahlu Bait, nyatanya mereka hampir tidak memiliki riwayat-riwayat yang
bersambung dengan sanad sahih hingga Rasulullah SAW melalui jalur Ahlu Bait. Apakah seperti itu
bisa dianggap otentik?
Kalau orang menisbahkan riwayat Ahlul Bait kepada Ja'far As-Shadiq, namun hingga saat ini kita tidak
pernah tahu Ja'far As-Shadiq mempunyai kumpulan hadits atau karya tulis yang bisa dijadikan
rujukan. Jadi dari mana kita tahu ajaran Nabi SAW yang otentik melalui Ahlul Bait?
Dan Al-Qur’an yang sampai kepada kita saat ini juga tidak diriwayatkan melalui Ahlu Bait. Tapi melalui
jalur periwayatan para sahabat. Bagaimana jadinya jika kita menolak para sahabat sebagai jalur
periwayatan Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW? Dari mana kita mengetahui teks dan bacaan Al-
Qur’an yang benar?
Oleh karena itu, tidak aneh jika para Imam dari kalangan keluarga Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu
‘anhumengambil riwayat-riwayat Sunnah dari kalangan sahabat serta berdalil dengan perbuatan
mereka. Seperti diriwayatkan dalam salah satu dari empat kitab terpenting Syi’ah Imamiyah Ja'fariyah,
yaitu kitab Man La Yahdhuruhul Faqih sebagai berikut:
الصدوق الشيخ أصحاب : ": : 4242قال ان قال الصالم عليهما أبيه عن ، الله عبد أبي عن ميمون بن الله عبد وروىفإنها : أيديكم في اشربوا وآله عليه الله صلى الله رسول فقال ، الماء يعبون بتبوك وآله عليه الله صلى الله رسول
ج " . ( الفقيه يحضره ال من آنيتكم خير )353ص 3من
Syekh Shaduq berkata: (4242) Abdullah bin Maimun meriwayatkan dari Abi Abdillah (Ja'far As-
Shadiq) dari ayahnya ‘Alaihis salam, ia berkata: "Para sahabat Rasulullah SAW saat di Tabuk minum
dengan secara langsung ke tempat air. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: "Minumlah dengan
tapak tangan kalian, karena ia adalah gelas yang paling baik bagi kalian." (Man La Yahdhuruhu Al-
Faqih, jilid. 3, hal. 353).
Konsep 'Adalah Sahabat Menurut Ulama.
Ibn Taimiah berkata dalam Minhaj As-Sunnah (1/ 306-307): "Dari kalangan sahabat bisa saja
seseorang dari mereka melakukan kesalahan, dan berbuat dosa. Karena mereka bukan orang-orang
yang ma’shum. Namun mereka tidak mungkin sengaja berdusta. Karena siapa yang sengaja berdusta
atas nama Nabi SAW niscaya Allah SWT akan membongkar dustanya." Dalil tentang hal itu terdapat
dalam kitab Sahih Bukhari (6780) yang berisi tentang seorang laki-laki yang berulang kali dihadapkan
ke pengadilan Rasul SAW untuk dihukum dera karena meminum-minuman keras. Kemudian ketika
salah seorang sahabat melaknatnya, maka Nabi SAW mencegahnya sambil bersabda:
ورسوله الله يحب إنه علمت ما الله فو تلعنوه، ال
"Jangan kalian laknat dia, Karena demi Allah, aku tahu dia mencintai Allah dan Rasul-Nya."
Ibnu Hajar berkomentar: "Dalam hadits tersebut terdapat bantahan bagi orang yang menyangka
bahwa pelaku dosa besar otomatis kafir. Karena Rasulullah SAW melarang orang melaknatnya.
Sambil memerintahkan untuk mendoakan orang itu. Dari situ juga dipahami bahwa tidak ada unsur
saling menafikan antara melanggar larangan dengan keberadaan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya
dalam hati pelaku dosa itu. Karena Rasul SAW memberitakan bahwa orang itu mencintai Allah dan
Rasul-Nya, meskipun orang itu melakukan tindakan yang diharamkan." (Lihat: Fathul Bari: 12/78).
Kasus serupa pernah terjadi pada Hathib bin Abi Balta'ah, dalam hadits yang diriwayatkan dalam
Sahih Bukhari (4890) dan Muslim (2494). Ia saat itu dituduh melakukan tindakan memata-matai kaum
Muslimin. Namun demikian Nabi SAW tetap tidak memvonis dia sebagai kafir.
Orang yang mempelajari sirah para sahabat Radhiyallahu ‘anhum niscaya akan mendapati sahabat
yang diberitakan pernah melakukan dosa sangatlah sedikit jumlahnya. Dan diantara yang sedikit
itupun tidak dapat dibuktikan kesalahannya.
Jika kita melihat dengan pandangan jujur, niscaya kita dapati para sahabat yang meriwayatkan
sunnah tidak didapati melakukan dosa seperti itu. Sedangkan jika pun ada, ternyata yang
melakukannya orang yang statusnya sebagai sahabat masih diperdebatkan, seperti Walid bin Uqbah.
Dan begitu pun, Walid bin Uqbah tidak pernah meriwayatkan hadits, setelah meninggalnya Rasulullah
SAW. Sedangkan namanya disebut pada masa hidup Rasulullah SAW semata untuk kepentingan
penjelasan hukum atas kasus yang terjadi, sesuai syari'ah.
Al-Alusi berkata dalam kitab Al-Ajwibah Al-'Iraqiyah, hal. 23-24:
"Bukanlah maksud perkataan kami: Seluruh sahabat 'uduul (dipercaya dan jujur), berarti mereka tidak
melakukan kesalahan atau dosa sama sekali. Mereka bisa saja melakukan dosa… kemudian yang
patut diingat bahwa dari kalangan sahabat yang melakukan dosa, hingga akhirnya dijatuhui hukuman,
mereka sangat sedikit jumlahnya, dibandingkan ribuan sahabat yang mulia yang terbukti memegang
teguh jalan hidup yang lurus. Dan Allah SWT menjaga mereka dari dosa dan maksiat, yang besar
maupun kecil dan yang lahir maupun yang bathin. Sejarah yang jujur menjadi bukti atas fakta
tersebut."
Sedangkan Abu Hamid Al-Ghazali berkata dalam kitab Al-Mustashfa, hal. 189-190 sebagai berikut:
“Yang dijadikan pegangan oleh para sahabat dan jumhur: bahwa 'adalah Sahabat diketahui sesuai
dengan pemberian sifat 'adalah itu oleh Allah SWT kepada mereka. Serta pujian-Nya bagi mereka
dalam Al-Qur’an. Ini adalah keyakinan kami tentang mereka. Kecuali jika terbukti secara nyata salah
seorang dari mereka melakukan dosa dengan sengaja. Dan hal seperti itu ternyata tidak terjadi.
Sehingga terhadap mereka tidak perlu lagi dilakukan screening ke-'adalah-an.”
Apakah konsep tentang 'Adalah Sahabat bermakna mensakralkan mereka? Dan menganggap
mereka manusia-manusia suci yang tidak mungkin melakukan kesalahan? Atau memuja mereka
seperti sesembahan?
Bain Al-‘Athifah wa Al-Burhan?
Cukup menarik membaca tulisan Dr. Jalaluddin Rakhmat di bagian akhir artikelnya. Hal itu mendorong
saya mengkaji hal ini terlebih dahulu sebelum mengkaji metodologi membaca Al-Qur’an, terutama
yang berkaitan dengan hal-hal yang tampak mengecam sahabat, serta kajian atas peristiwa-peristiwa
yang dialami sahabat secara detail, seperti yang dipaparkan oleh Dr. Jalaluddin Rakhmat. Karena
menurut saya itu sangat mudah dijawab oleh mereka yang mau membuka tafsir-tafsir Al-Qur’an
maupun hadits Nabi SAW beserta takhrijnya dan sirah Rasul. Inti masalahnya hanya di metodologi
bacaan dan pilihan bacaan. Jika itu dijelaskan, akan terjawab semuanya. Jadi pembahasan itu kita
lakukan setelah bahasan sekarang ini.
Saya berikan sedikit "bocoran" tentang metodologi yang Dr. Jalaluddin Rakhmat gunakan dalam
membaca/menilai para sahabat. Menurut saya itu metodologi "wailul lil mushallin". Detailnya Insya
Allah nanti ditulis di artikel lanjutannya.
Sekarang, saya ingin mengkaji pernyataan Dr. Jalaluddin Rakhmat: Benarkah persoalah sahabat
adalah persoalan Bain Al-‘Athifah wa Al-Burhan, antara rasa cinta kita kepada sahabat dengan bukti-
bukti- baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun kajian-kajian ilmiah?
Benarkah, kita ketakutan untuk membongkar "borok-borok" sejarah karena takut kehilangan tokoh
teladan setelah Nabi SAW? Dan benarkah konsep 'Adalah Sahabat bermakna 'Ishmah Shahabah?.
Saya sudah paparkan sebelumnya tentang apa konsep 'Adalah Sahabat tersebut secara mendasar.
Dan jelas itu bukan suatu bentuk 'Ishmah Sahabat. Sehingga menurut saya, Dr. Muhammad Zain
tidak perlu menulis disertasi dengan judul "Dekonstruksi Sakralisasi sahabat Nabi". Karena tidak ada
pensakralan dengan pengertian ishmah (ma’shum) di situ. Jadi yang perlu ditulis adalah sejarah
sahabat dengan benar dan berdasar sumber-sumber yang sahih, sambil mengkritisi sumber-sumber
sejarah yang ada. Sehingga dihasilkan sejarah sahabat yang benar dan tidak mengandung unsur-
unsur yang lemah atau palsu, yang bisa merusak gambaran kita tentang mereka.
Kita, umat Islam, sama sekali tidak takut mengkaji sejarah kita. Malah itu sangat dianjurkan dan orang
yang melakukannya Insya Allah dapat pahala karena jasanya bagi Islam. Hal itulah yang mendorong
para ulama menulis buku-buku mereka, dengan tebal puluhan jilid. Mereka mengorbankan waktu,
harta dan kepentingan pribadi mereka demi mewujudkan semua itu.
Tapi masalahnya: Apakah kita tidak boleh punya 'athifah (cinta) terhadap sahabat ketika mengkaji
mereka? Dan apakah ketika kita cinta kepada mereka, secara otomatis kita akan menolak burhan )bu
kti nyata) berupa Al-Qur’an, sunnah dan kajian-kajian ilmiah?
Menurut saya itu tidak benar sama sekali. Karena cinta kita terhadap sahabat Nabi SAW dituntun
oleh burhan(bukti nyata) berupa Al-Qur’an, Sunnah dan kajian ilmiah. Tanpa burhan ( bukti nyata),
untuk apa kita mencintai orang yang hidup seribu tahun lebih dari kita, yang tidak mempunyai
hubungan darah dengan kita, dan bukan pula satu negara dengan kita.
Cinta kita kepada mereka merupakan turunan dari cinta kita kepada Allah SWT dan Nabi-Nya. Tanpa
adanya hubungan mereka dengan Nabi SAW dan peran sentral mereka dalam menyampaikan riwayat
dari Nabi SAW, kita sama sekali tidak perlu mencintai mereka.
Dan faktanya, para sahabatlah (termasuk Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu dan keluarganya)
beserta isteri-isteri Nabi SAW yang menjadi jalur satu-satunya bagi kita untuk mengetahui tentang
Nabi SAW dan ajaran-ajaran beliau yang diturunkan dari langit secara utuh. Maka ketika kita
mencintai Nabi SAW, secara otomatis kita harus mencintai mereka. Karena dari merekalah kita
mengetahui tentang Nabi SAW, tentang Allah SWT, tentang tata cara beribadah, tentang akhirat,
tentang syari'ah, tentang aqidah dan Al-Qur’an. Cinta kita kepada mereka satu paket yang tak
terpisahkan dengan cinta kita kepada Allah SWT, Nabi SAW dan keluarganya.
Dan ini sesuai burhan (bukti nyata) dari Al-Qur’an. Seperti dalam ayat berikut:
<وا ?م?ن آ Bذ@ين? @ل ل Cغ@ال ?ا @ن <وب ق<ل ف@ي Eع?لEج? ت و?ال? @يم?ان@ Eاإل@ ب ?ا ?ق<ون ب س? Bذ@ين? ال ?ا @ن @خEو?ان و?إل@ ?ا ?ن ل Eف@رEاغ ?ا Bن ب ر? ?ق<ول<ون? ي Eد@ه@مEع? ب Eم@ن ج?اء<وا Bذ@ين? و?ال Kح@يم ر? Kء<وف ر? Bك? @ن إ ?ا Bن ب ر?
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb
kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya
Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." ( QS. Al-Hasyr: 10).
Dalam ayat tersebut dengan jelas disebutkan bahwa dalam menyikapi sahabat, yang diperintahkan
Allah SWT kepada kita adalah: mencintai mereka, mendoakan mereka, dan tidak menyimpan
kedengkian kepada mereka.
Mereka laksana ibu-bapak kita dalam agama. Karena melalui merekalah nasab agama kita
bersambung kepada Nabi SAW. Tanpa mereka, kemana larinya sambungan nasab agama kita?
Sebagaimana tidak jelasnya nasab biologis kita jika kita menafikan keberadaan ibu-bapak biologis
kita. Alangkah malangnya kita jika kita melakukan hal itu dengan sengaja.
Dan perlakuan kita menempatkan para sahabat dan isteri-isteri Nabi sebagai bapak dan ibu kita
sesuai burhan( bukti nyata) Al-Qur’an, yang menempatkan isteri-isteri Nabi SAW sebagai ibu bagi
orang-orang yang beriman. Bagaimana jika kita tidak menghormati dan menempatkan isteri-isteri Nabi
SAW sebagai ibu kita? Bukankah sifat keimanan kita akan dipertanyakan? Karena kita menghilangkan
salah satu ciri keimanan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.
@ين? Eم<ؤEم@ن ال م@ن? Bه@ الل ?اب@ @ت ك ف@ي QضEع? @ب ب وEل?ى? أ Eض<ه<مEع? ب @ ح?ام Eر
? Eاأل <و <ول و?أ Eه<م> مBه?ات> أ و?اج<ه< Eز
? و?أ Eه@م Eف<س@ ن? أ Eم@ن @ين? Eم<ؤEم@ن @ال ب وEل?ى
? أ Vي@ Bب النا Wط<ورEم?س ?اب@ Eك@ت ال ف@ي ذ?ل@ك? ?ان? ك وفWا م?عEر< Eم> @ك ?ائ @ي وEل
? أ @ل?ى إ <وا ?فEع?ل ت Eن? أ Bال@ إ Eم<ه?اج@ر@ين? و?ال
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya
adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih
berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang
Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang
demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).” (QS. Al-Ahzaab: 6).
Ketika membaca ayat-ayat tadi, maka kami segera menempatkan para sahabat dan isteri-isteri Nabi
SAW sebagai orang tua dan ibu kami. Menghormati mereka dan tidak berkata buruk tentang mereka.
Serta selalu berbaik sangka kepada mereka.
Ketika kami melakukan itu semua, apakah ada yang aneh di sini? Apakah ada yang tidak logis?
Apakah ada yang tidak sesuai dengna burhan (bukti nyata)?
Al-Burhan (bukti nyata) dalam Keilmuan Syi’ah Imamiyah Ja'fariyah.
Saya tahu, karena Dr. Jalaluddin Rakhmat penganut Imamiyah Ja'fariyah maka pemaparan ayat-ayat
Al Qur`an seperti itu terasa "garing" baginya. Hanya cocok bagi kalangan 'Ammah (non Imamiyah
Ja'fariyah), dan tidak mengena untuk kalangan Imamiyah Ja'fariyah. Sehingga tidak memuaskan.
Belum terasa sebagai "burhan". Karena menurut Imamiyah Ja'fariyah, Al Qur`an itu tidak mampu
berbicara sendiri, maka Ali bin Abi Thalib r.a. dan para imam lah yang bisa menceritakan apa yang
terkandung di dalamnya. Pemahaman terhadap Al Qur`an tergantung pada penjelasan mereka. Dan
penjelasan serta perkataan mereka itulah burhan yang sejati.
Hal itu seperti keterangan yang diriwayatkan oleh al Kulaini dalam kitab Al Kafi, bahwa Ali bin Abi
Thalib r.a. berkata:
" ) " الكافي ، عنه أخبركم لكم، ينطق فلن فاستنطقوه القرآن )1/61ذلك .
"Al Qur`an itu, jika kalian pinta dia untuk berbicara niscaya dia tidak akan dapat berbicara kepada
kalian. Maka akulah sejatinya yang bisa menceritakan isinya." (Al-Kafi: 1/61).
Dan menurut Imamiyah Ja'fariyah, para imam itulah Al Qur`an yang sebenarnya. Karena Al Qur`an
yang tertulis dalam mushaf hanyalah object mati yang tak dapat berbuat apa-apa untuk menerangkan
isinya. Sehingga keberadaan Al Qur`an dipersonifikasikan oleh sosok para imam yang menerangkan
kandungan Al Qur`an. Merekalah Al Qur`an yang hidup dan berbicara.
) " اإلمامة ترجمان من له بد وال ، بلسان ينطق ال القرآن ألن ، الصادق والثقل ، الناطق القرآن هم البيت فأهل
مقدمة القمي، بابويه ابن ، )والتبصرة .
"Ahlul Bait adalah Al Qur`an yang berbicara. Dan sumber yang jujur. Karena Al Qur`an tidak dapat
berbicara dengan lisan, sehingga perlu ada yang menerangkan. " (Al Imamah wa at Tabshirah, Ibnu
Babuwaih al Qummi, muqaddimah).
(Sebagai catatan: Perlu diteliti, barangkali dari sinilah Roland Barthes mengambil inspirasi untuk
tulisannya: The Death of the Author, yang diterbitkan dalam bahasa Inggris di American journal
Aspen, no. 5-6 in 1967 dan 1968 dalam bahasa Francis di majalah Manteia, no. 5. Essay ini kemudian
diterbitkan dalam anthology essaynya, Image-Music- Text (1977)).
Dengan pemahaman seperti itu, maka orang biasa hanya bisa membaca Al Qur`an secara literal saja.
Sesuai huruf dan kata-kata yang tercetak. Sedangkan untuk mengetahui maksudnya yang
sebenarnya, ia harus merujuk para imam Ahlul Bait.
) . الحر الشيعة، وسائل وإلينا بنا فاالهتداء تفسيره إلى احتاجوا فإذا ، أنزل كما القرآن يقرؤوا أن الناس على فإنما)27/202العاملي، .
"Orang boleh saja membaca Al Qur`an sebagaimana ia diturunkan. Tapi ketika ia memerlukan
penafsirannya, maka mereka harus berpedoman pada kami dan merujuk kami." (Wasa`il asy Syi'ah,
oleh al Hurr al 'Amili, 27/202).
Dengan demikian, sejatinya perkataan para imam itulah burhan yang paling kuat menurut Imamiyah
Ja'fariyah. Sedangkan Al Qur`an tidak mempunyai kekuatan hujjah kecuali melalui perkataan imam.
'Adalah Sahabat Nabi SAW. Menurut Para Imam Ahlul Bait.
Dalam artikelnya, Dr. Jalaluddin Rakhmat mempersoalkan beberapa hal yang disebutkan oleh para
penulis tentang 'Adalah Sahabat. Antara lain:
Ibn Abi Hatim ar Razi yang memaparkan karakteristik sahabat sebagai berikut:
* Sahabat terpelihara dari segala “keraguan, kebohongan, kesalahan, kekeliruan, kebimbangan,
kesombongan”.
* Sahabat adalah para imam pemberi petunjuk, dan karena itu seluruh perilakunya harus dijadikan
teladan.
* Sahabat juga adalah hujjah agama ; artinya, perilakunya dapat dijadikan dalil untuk menetapkan
hukum-hukum agama.
Ibnu Atsir yang mengatakan bahwa para sahabat: “tidak layak dikenakan kepada mereka kecaman”
(Ibn Al-Atsir, Mukadimah Usud al-Ghabah).
Dan Ibn Hajar al 'Asqallani yang mengatakan: “Jika kamu melihat orang mengkritik seorang saja
sahabat Rasulullah SAW , ketahuilah bahwa ia itu zindiq. Karena Rasul benar, Al-Quran benar, apa
yang dibawanya benar. Disampaikan kepada kita semuanya oleh sahabatnya. Mereka bermaksud
untuk mengecam saksi-saksi agama kita untuk membatalkan Al-Kitab dan Sunnah. Merekalah orang-
orang zindiq, yang lebih pantas mendapat kecaman.” (Al-Ishabah 1:18).
Saya akan menjawab keberatan Dr. Jalaluddin Rakhmat tentang point-point tersebut kepada para
imam Ahlul Bait. Kita akan lihat bagaimanakah para imam Ahlul Bait yang merupakan burhan terkuat
Imamiyah Ja'fariyah berbicara tentang para sahabat, di kitab-kitab Imamiyah Ja'fariyah? Apakah
mereka menolak konsep 'Adalah Sahabat seperti yang dipaparkan oleh para ulama tadi?
Mari kita perhatikan!
Saya coba paparkan dengan mengajukan pertanyaan, untuk kemudian dijawab dengan teks-teks dari
para imam.
Pertanyaan pertama: Bagaimanaka h kedudukan dan keutamaan Sahabat Nabi SAW. menurut imam
Ahlul Bait, dalam referensi Imamiyah Ja'fariyah?
Imam ke 11, Hasan al 'Askari berkata dalam tafsirnya:
! : أما : موسى يا وجل عز الله قال صحابتي؟ من عندك أكرم األنبياء صحابة في هل ربه سأل موسى الله كليم إنآل جميع على محمد آل كفضل المرسلين صحابة جميع على وآله عليه الله صلى محمد صحابة فضل أن عملت
). ( العسكريص الحسن تفسير المرسلين جميع على محمد وكفضل )32النبيين .
"Kalimullah Musa pernah bertanya kepada Rabb-Nya: Apakah diantara sahabat-sahabat para nabi
ada yang lebih mulia di sisi-Mu dibandingkan para sahabatku? Allah SWT. berfirman: "Musa! Apakah
engkau tidak tahu bahwa keutamaan sahabat Muhammad SAW. atas seluruh sahabat para Rasul
yang lain adalah laksana keutamaan keluarga Muhammad atas seluruh keluarga para nabi. Dan
seperti keutamaan Muhammad atas seluruh Rasul." (Tafsir Al-Hasan Al-'Askari, hal. 32).
Pertanyaan kedua: Apakah para sahabat Nabi bisa dijadikan hujjah dan teladan dalam beragama?
Imam yang kedelapan, yaitu Ali bin Musa atau yang dikenal dengan Ali ar Ridha menjawab seperti ini:
عليه - - " الله صلى النبي قول عن سئل حينما الشيعة عند الثامن اإلمام بالرضا الملقب موسى بن علي قال . : : : صحيح : هذا فقال ؟ أصحابي لي دعوا السالم عليه قوله وعن ، اهديتم اقتديتم فبأيهم كالنجوم أصحابي وسلم
( ج( ( ، الصدوق الشيخ ، ع الرضا أخبار )93ص 1عيون .
Ali bin Musa ar Ridha imam Ahlul Bait ke delapan ketika ditanya tentang sabda Nabi SAW: "Para
sahabatku seperti bintang gemintang, dengan siapapun dari mereka kalian mengikut, niscaya kalian
akan mendapatkan petunjuk yang benar." Serta tentang sabda Nabi SAW."Jangan kalian berbuat
buruk kepada sahabatku." Ali ar Ridha menjawab: "hadits itu sahih." ('Uyun Akbar ar Ridha, karya
Syekh ash Shaduuq, juz 1 hal. 93).
Pertanyaan ketiga: Apakah para sahabat melakukan perbuatan yang menyimpang atau berubah
aqidahnya dari tuntunan Nabi SAW. sehingga mereka menjadi orang yang penuh "keraguan,
kebohongan, kesalahan, kekeliruan, kebimbangan, kesombongan" ?
Ja'far Shadiq, imam keenam, menjawab:
من : آالف ثمانية ألفا عشر اثني وآله عليه الله صلى الله رسول أصحاب كان قال السالم عليه الله عبد أبوصحاب وال ، معتزلي وال حروري وال مرجي وال قدري فيهم ير ولم ، الطلقاء من وألفان ، مكة من ألفان و ، المدينة
". الخمير : خبز نأكل أن قبل من أرواحنا اقبض ويقولون والنهار الليل يبكون كانوا ، الصدوق( - رأي الشيخ الخصال،
)640 – 639ص .
"Para sahabat Rasulullah SAW. ada dua belas ribu orang. Delapan ribu orang dari Madinah, dua ribu
orang dari Mekkah, dan dua ribu orang dari kalangan ath-Thulaqaa` (yang masuk Islam setelah era
Fath Makkah). Dalam diri mereka tidak didapati seorangpun yang menganut paham qadariyah, atau
murjiah, atau haruriah, atau mu'tazilah atau rasionalis. Mereka itu selalu menangis di waktu malam
dan siang (karena rindu kepada Tuhan mereka) dan mereka berdoa: Ya Allah cabutlah nyawa kami
sebelum kami sempat makan roti." (Al Khishal, karya Syekh Shaduuq, hal. 639-640).
Pertanyaan keempat: Apakah para sahabat Nabi SAW. orang yang bersifat munafiq, kurang iman dan
cinta kepada Allah sehingga diragukan dan tidak patut diteladani? Dan jika sebaliknya, bagaimanakah
cara meneladani mereka? Dan jika kami memuliakan para sahabat, meneladani mereka dalam
beragama, menjadikan riwayat mereka sebagai hujjah dalam beragama, dan meninggikan derajat
mereka serta tidak pernah mencela mereka, apakah dengan perbuatan itu berarti kami menyematkan
sifat 'Ishmah (kemaksuman) kepada mereka?
Muhammad al Baqir, imam yang kelima menjawab:
: حمران هم فلما أشياء، عن فسأله أعين، بن حمران عليه فدخل جعفر، أبي عند كنت قال المستنير بن سالم عن : ترق حتى عندك من نخرج فما نأتيك إنا بك، وأمتعنا بقاك الله أطال أخبرك السالم عليه جعفر ألبي قال بالقيامصرنا فإذا عندك، من نخرج ثم األموال، هذه من الناس أيدي في ما علينا وتهون الدنيا، عن أنفسنا وتسلوا قلوبنا،
الدنيا؟ أحببنا والتجار الناس مع : : إن: أما جعفر أبو قال ثم يسهل، ومرة األمر عليها يصعب مرة القلوب هي إنما السالم عليه جعفر أبو فقال قال
قالوا وسلم عليه الله صلى الله رسول : : أصحاب : تخافون ولم لهم فقال قال النفاق، علينا نخاف الله رسول ياقالوا والنار : ذلك؟ والجنة اآلخرة نعاين كأنا حتى فيها وزهدنا الدنيا نسينا ووجلنا، روعنا، فذكرتنا عندك كنا إذا إنا
نحول أن يكاد والمال، واألهل العيال ورأينا األوالد، وشممنا البيوت، هذه ودخلنا عندك، من خرجنا فإذا عندك، ونحنالنفاق؟ هذا يكون أن علينا أفتخاف شيء، على نكن لم كأنا وحتى عندك، عليها كنا التي الحال عن
الشيطان : خطوات من هذا كال، وسلم عليه الله صلى الله رسول لهم أنكم . فقال لو والله الدنيا، في ليرغبنكمالمالئكة، لصافحتكم بها أنفسكم وصفتم التي الحال في عندي وأنتم عليها تكونون التي الحال على تدومونلهم، الله فيغفر يستغفروا، ثم يذنبوا، لكي W خلقا الله لخلق الله فتستغفرون تذنبون، أنكم ولوال الماء، على ومشيتم ] ] : ] ] : Eه@ ?ي @ل إ <وا <وب ت Bم> ث Eم> Bك ب ر? وا ?غEف@ر< ت Eاس ن@
? و?أ وقال @ين? BوBاب الت Vح@ب> ي Bه? الل Bن@ إ لقوله تسمع أما تواب، مفتن المؤمن إنج( ، الكليني ، )424- 423ص 2الكافي .
"Dari Salam bin al Mustanir ia berkata: Aku suatu hari berada di tempat Abu Ja'far. Kemudian
datanglah Hamran bin A'yun. Dan dia pun bertanya kepadanya tentang beberapa masalah. Dan ketika
Hamran ingin pamit, ia berkata kepada Abu Ja'far a.s.: "Aku ingin mengadu kepadamu -semoga Allah
memanjangkan usiamu dan menjadikanmu selalu memberi manfaat bagi kami- bahwa ketika kami
datang kepadamu, selama kami belum keluar pulang dari majlismu, kami merasakan hati kami
menjadi lembut, jiwa kami menjadi tidak senang dunia, dan kami tidak silau dengan harta yang ada di
tangan manusia. Tapi ketika kami keluar dari majlismu, dan kembali bergaul dengan orang banyak
serta para pedagang, ketika itu kami kembali cinta dunia. Bagaimana itu bisa terjadi?"
Abu Ja'far a.s. menjawab: "Seperti itulah hati manusia. Terkadang sulit dikendalikan dan terkadang
mudah." Kemudian Abu Ja'far kembali berkata: "Para sahabat Rasulullah SAW juga pernah berkata:
"Rasulullah SAW., kami takut mengalami nifaq". Beliau bertanya: "Mengapa kalian berkata begitu?"
Mereka menjawab, "Kami ini jika sedang bersamamu, kami merasakan jiwa kami menjadi halus dan
merasakan nuansa ilahiah yang mengisi relung bathin kami. Sehingga kami pun lupa terhadap dunia
dan tidak ada keinginan meraihnya. Sehingga kami seakan-akan melihat akhirat, surga dan neraka
secara kasat mata, ketika kami berada bersamamu. Tapi ketika kami keluar dari majlismu, masuk
kembali ke rumah kami, kemudian mencium anak-anak kami, melihat isteri dan keluarga kami, serta
kembali berurusan dengan harta, maka saat itu kami merasakan mengalami perubahan dari kondisi
ketika berada bersamamu, sehingga seakan-akan kami tidak memiliki perasaan tadi lagi. Apakah itu
tanda
kemunafikan diri kami?"
Rasulullah SAW. menjawab mereka: "Itu sama sekali bukan tanda kemunafikan kalian. Itu hanyalah
salah satu bentuk godaan syetan yang ingin membujukmu agar mencintai dunia. Demi Allah, jika
kalian terus berada dalam kondisi ruhaniah seperti yang kalian ceritakan sebelumnya, niscaya kalian
akan disalami oleh malaikat, dan kalian bisa berjalan di atas air. Tapi jika kalian tidak berbuat dosa
sehingga kemudian Allah mengampuni kalian, niscaya Allah akan menciptakan makhluk lain yang
akan berbuat dosa untuk kemudian mereka bersimpuh meminta ampunan kepada Allah, dan Allah
pun mengampuni mereka. Karena itulah orang beriman itu bersifat kerap mengalami fitnah (sehingga
berbuat dosa) untuk kemudian meminta ampunan Allah. Apakah engkau tidak mendengar firman Allah
SWT: "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat." ( Qs. Al Baqarah 2: 222) dan
firman Allah SWT: "Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-
Nya." (Qs. Hud 11:
3). Lihat dalam kitab (Al-Kafi, karya Al-Kulaini, vol. 2 hal. 423-424).
Pertanyaan kelima: Bagaimana seharusnya sikap kita terhadap para sahabat Nabi SAW? Dan apakah
kita boleh berkata buruk tentang mereka, mencela mereka dan membenci mereka, dan betulkah
orang yang mencerca sahabat dapat dinamakan sebagai orang zindiq?
Imam ke 11, Hasan al 'Askari menjawab:
الله خلق عدد مثل على قسم لو W عذابا الله يعذبه منهم W واحدا أو الخيرين، وأصحابه محمد آل يبغض ممن W رجال إن ) . العسكريص الحسن تفسير أجمعين ج 196ألهلكهم للمجلسي األنوار بحار و )331ص 26، .
"Orang yang membenci keluarga Muhammad dan para sahabatnya yang mulia, atau terhadap salah
seorang dari mereka, niscaya Allah akan adzab mereka dengan adzab yang jika ditimpakan kepada
seluruh makhluk Allah niscaya binasalah mereka seluruhnya." (Tafsir al Hasan al 'Askari, hal. 196.
Juga lihat di Biharul Anwar karya Al Majlisi, juz 26, hal. 331).
Dan saya tutup ungkapan para imam Ahlul Bait itu dengan wasiat penghulu para imam Ahlul Bait,
yaitu Ali bin Abi Thalib r.a. tentang para sahabat yang mulia dan persaksian ta'dil dia terhadap
mereka:
صلى ( الله رسول فإن ، محدثا يأتوا ولم ، حدثا بعده يحدثوا لم الذين وهم ، تسبوهم ال ، نبيكم بأصحاب وأوصيكم . ( بهم أوصى وآله عليه ص( الله ، الطوسي الشيخ ، )523 – 522األمالي .
"Aku berwasiat kepada kalian tentang para sahabat Nabi kalian. Jangan kalian cerca mereka. Karena
mereka tidak melakukan suatu perubahan apa pun terhadap agama setelah Nabi SAW. Mereka juga
tidak mendatangkan orang yang melakukan perubahan. Dan Rasulullah SAW. juga berwasiat seperti
itu tentang mereka." (Kitab Al-Amaali, karya Syekh Ath-Thuusi, hal. 522-523).
Demikianlah penuturan para imam Ahlul Bait tentang sahabat Nabi SAW. Saya pikir ungkapan para
imam tadi sangat mencukupi untuk menjawab semua keberatan Dr. Jalaluddin Rakhmat tentang
konsep 'Adalah Sahabat yang dipaparkan oleh Ibnu Abi Hatim ar Razi, Ibn Atsir, dan Ibn Hajar al
'Asqallani.
Membaca Al-Qur’an dan peristiwa sejarah dalam Islam secara parsial dengan cara pembacaan
secara utuh dan integral, sungguh dua hal yang berbeda, hasilnya pun akan berbeda pula.
Maka Kecelakaanlah bagi Orang-orang yang Shalat?
Setelah kita mengetahui bahwa maksud 'Adalah Sahabat secara mendasar adalah "menilai diri para
sahabat Nabi SAW. sebagai jalur penyampai yang bisa dipercayai bagi Al-Qur’an, hadits-hadits Nabi
SAW., serta seluk beluk kehidupan Nabi SAW. selama beliau hidup, bagi generasi berikutnya."
Dan karena itu kita sudah dapati bahwa menerima konsep 'Adalah Sahabat merupakan suatu
keharusan, secara logika maupun dalil syar'i, dalam memahami dan mendapatkan Islam yang otentik
dari Nabi SAW.
Kita bahkan sudah mendapati jawaban dan konfirmasi bagi karakteristik- karakteristik sahabat yang
dipaparkan oleh Ibn Abi Hatim, Ibn Atsir serta al 'Asqallani. Meskipun semua karakteristik tersebut
secara lahir tampak "wah".
Dengan catatan bahwa teori-teori para ulama tersebut, maupun karakteristik yang mereka paparkan,
tetap membuka diri bagi adanya kajian-kajian lebih jauh.
Sehingga dengan begitu, menurut hemat saya, masalah masyru'iyyat atau legalitas 'Adalah Sahabat
sudah terjawab dengan sangat memadai dan tidak lagi perlu diperdebatkan.
Kemudian tinggal sekarang, bagaimanakah kita memahami ayat-ayat Al-Qur’an serta kejadian yang
menampilkan sebagian sahabat sebagai sosok yang, menurut Dr. Jalaluddin Rakhmat: ragu dalam
agamanya, menentang dan membangkang perintah Rasulullah SAW., pernah meninggalkan ibadah,
menyakiti Rasul SAW., lari dari medan pertempuran, mengeraskan suaranya di hadapan Rasul SAW.,
dan tidak membayar zakat atau perbuatan dosa lainnya?
Bagi sebagian orang, hal itu menghasilkan suatu kontradiksi tersendiri: antara perintah bagi kita untuk
menghormati dan meneladani sahabat, dengan kenyataan sebagian mereka tercatat melakukan
perbuatan-perbuatan dosa seperti itu.
Bagaimana ini?
Pada titik inilah, menurut saya, Dr. Jalaluddin Rakhmat tergoda dan selanjutnya terjebak metodologi
"Wailul Lil Mushallin" dalam melihat para sahabat.
Apa itu metodologi "Wailul Lil Mushallin"? Secara literal ia adalah potongan dari surah Al-Ma'un ayat
4, yang bermakna: "Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat …"
Secara terminologis, ia bisa dijelaskan sebagai: metodologi membaca ayat atau peristiwa secara
parsial atau sepotong-sepotong untuk kemudian dijadikan landasan untuk menetapkan penilaian atas
keseluruhan.
Cara membaca dan memandang seperti itu menurut saya sangat tidak tepat dan bisa berakibat fatal.
Ia akan mengantarkan kita pada pembentukan gambaran-gambaran yang buruk tentang peristiwa-
peristiwa maupun tokoh-tokoh agung seperti para Nabi sekalipun.
Misalnya, ketika kita ingin mengetahui gambaran Nabi Adam dan Hawa dengan hanya berdasarkan
pada ayat berikut:
"Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan
Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada
tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.. " (Qs. Al-Baqarah
2:36).
Maka kita akan menilai Nabi Adam dan Hawa sebagai dua sosok yang hina dan dibenci serta
dicampakkan oleh Allah SWT.
Ketika kita membaca kisah Nabi Musa a.s hanya berdasarkan potongan ayat:
" Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di
dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (Bani Israil) dan
seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir'aun). Maka orang yang dari golongannya meminta
pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya lalu Musa meninjunya, dan
matilah musuhnya itu. Musa berkata: "Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya) ." (Qs. Al Qashash 28: 15)
Ini akan mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa Nabi Musa a.s adalah seorang bengis,
pembunuh, dan berperangai sangat buruk.
Ketika kita membaca kisah Nabi Yunus a.s hanya dengan melihat ayat ini:
"Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti
orang yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (kepada
kaumnya)." (Qs. Al-Qalam 68: 48)
Kita akan menangkap kesan Nabi Yunus a.s yang disinggung sebagai "orang yang berada dalam
perut ikan" dalam ayat tersebut sebagai orang yang tidak layak diteladani, tempramental dan seorang
yang dimurkai oleh Allah SWT.
Ketika kita membaca kisah Nabi Yusuf a.s hanya dengan melihat potongan ayat:
"Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun
bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu". (Qs. Yusuf 12:24) Niscaya akan terbentuk dalam
otak kita pikiran-pikiran "ngeres" tentang Nabi Yusuf a.s.
Ketika kita membaca sejarah Nabi Muhammad SAW. hanya berdasarkan ayat:
"Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di
muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala)
akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." ( Qs. Al Anfaal 8:67). Kita akan
menangkap kesan Nabi Muhammad SAW sebagai sosok Nabi yang telah melakukan perbuatan yang
tidak patut, senang dunia dan tidak senang akhirat.
Menurut saya, metodologi membaca Al-Qur’an seperti ini sangat berbahaya dan mengantarkan kita
kepada kesimpulan yang jauh sekali dari kebenaran.
Demikian juga halnya jika kita menggunakan metodologi itu dalam membaca sejarah para sahabat
dan kejadian-kejadian yang pernah mereka lewati bersama Rasulullah SAW.
Saya bisa pastikan tidak ada seorang pun sahabat yang selamat dari kecaman jika kita menggunakan
metodologi itu. Termasuk Ali bin Abi Thalib r.a. dan Fathimah r.a.
Jika para Nabi yang mulia, bahkan malaikat sekali pun, tidak bisa selamat dari kecaman jika kita
menggunakan metodologi tadi, maka bagaimana mungkin sahabat bisa selamat?
Lantas bagaimanakah metodologi yang tepat untuk membaca Al-Qur’an, sejarah para sahabat dan
peristiwa-peristiwa yang berkaitan?
Membaca Al-Qur’an dan Peristiwa Sejarah Secara Utuh dan Integral.
Seorang pembaca artikel saya ini di Facebook, bernama Islisyah Asman, ketika mendapati saya
berhenti di sini cukup lama, tanpa segera menjelaskan contoh-contoh pemotongan ayat di atas,
langsung teriak: "Ustazh, bahasan di atas sepertinya menggantung ceritanya. Beri saja penjelasan
atas semua pertanyaan yang ada pada tulisan itu. Saya khawatir apabila tulisan itu dibaca oleh orang
awam, kasihan, mereka tidak dapat menangkap dengan mudah maksud yang terkandung di
dalamnya. Maaf, ini saran saya. Mudah-mudahan bisa diterima."
Begitulah, hati yang beriman dan akal yang sehat tidak menerima jika kita hanya berhenti pada
potongan-potongan tersebut, ketika kita berbicara tentang orang-orang agung dalam sejarah.
Dan di situlah bahayanya jika kita menggunakan secara sepotong-sepotong ayat Al-Qur’an maupun
peristiwa-peristiwa dalam sejarah Islam tanpa memperhatikan runtutan penjelasan ayat maupun kisah
tersebut secara utuh dalam Al-Qur’an.
Maka metodologi yang benar dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an maupun peristiwa dalam sejarah
Islam adalah dengan membaca kisah itu secara keseluruhan. Tidak hanya sebagian. Untuk kemudian
memahamai fragment-fragment yang pernah terjadi yang tampak "tidak bagus" dalam bingkai
pemahaman global tersebut.
Dengan cara tersebut, maka kita tidak lagi terjebak dengan metodologi "Wailul Lil Mushallin" atau
"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat …", karena kita tahu bahwa runtunan lengkap
ayat-ayat tersebut adalah:
"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna." (Qs. Al Ma'uun 107:
4-7).
Dari bacaan atas ayat-ayat secara lengkap itulah kita segera tahu bahwa orang yang celaka itu adalah
orang-orang lalai ketika shalat, berlaku riya dan tidak mau memberikan pertolongan kepada orang
lain.
Bandingkan hal itu dengan pemahaman yang kita dapatkan hanya dari potongan ayat tadi. Tentu jauh
sekali.
Demikian juga dengan kisah Nabi Adam dan Sitti Hawa. Ketika kita membaca kisah tersebut secara
lebih utuh, justru kita menemukan bahwa Nabi Adam dan Sitti Hawa setelah mengalami
ketergelinciran dan keterusiran dari surga, keduanya malah mendapatkan anugerah berupa ampunan
dan kasih sayang Allah SWT..
Bacalah ayat 36 surah Al Baqarah ini setelah saya lengkapi lanjutan ayatnya dengan ayat no 37:
"Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan
Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada
tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan. Kemudian Adam
menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. " (Qs. Al-Baqarah 2:36-37).
Gambaran kita yang negatif tentang Nabi Musa a.s ketika kita hanya membaca ayat dari surah Al
Qashash 28: 15, akan segera berubah menjadi positif ketika kita membaca penuturan Al-Qur’an
tentang Nabi Musa a.s secara utuh. Dan saat kita melanjutkan bacaan kita atas surah Al Qashash 28:
15 dengan ayat no 16 dan 17, kita dapati bahwa Nabi Musa a.s telah meminta ampunan kepada Allah
SWT. atas tindakannya yang tidak disengaja itu. Dan Allah SWT. pun mengampuninya.
Kita baca:
"Musa mendoa: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu
ampunilah aku". Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang." Musa berkata: "Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerah-kan
kepadaku, aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa". (Qs. Al-
Qashash 28: 16-17).
Ketika kita membaca kisah Nabi Yunus 'Alaihis salam, setelah membaca surah Al-Qalam 68: 48:
"Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti
orang yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (kepada
kaumnya)." (Qs. Al-Qalam 68: 48).
Dan kita lanjutkan dengan surat Al-Qalam 68: 49-50. Gambaran negatif kita tentang Nabi Yunus a.s
segera tergantikan dengan kekaguman. Karena ternyata setelah itu Allah SWT memberikannya ni'mat
dan memilihnya serta menjadikannya sebagai orang saleh. Mari kita baca:
"Kalau sekiranya ia tidak segera mendapat nikmat dari Tuhannya, benar-benar ia dicampakkan ke
tanah tandus dalam keadaan tercela. Lalu Tuhannya memilihnya dan menjadikannya termasuk orang-
orang yang saleh." (Qs. Al-Qalam 68: 49-50).
Pikiran ngeres kita tentang Nabi Yusuf a.s, yang timbul ketika kita hanya membaca potongan ayat:
"Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun
bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu". (Qs. Yusuf 12: 24).
Akan tergantikan dengan kekaguman dan hormat kita kepadanya, ketika kita membaca ayat surah
Yusuf 12:24 secara lengkap. Karena dalam ayat yang lengkap itu kita dapati ternyata Allah SWT.
selalu menjaganya dari perbuatan-perbuatan nista, dan menjadi makhluk Allah yang terpilih. Mari kita
baca ayat tersebut:
"Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun
bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya.
Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf
itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih." (Qs. Yusuf 12: 24).
Dan gambaran kita yang tampak buram saat membaca sejarah Nabi SAW. hanya melalui potongan
ayat ini:
"Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di
muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala)
akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." ( Qs. Al Anfaal 8: 67).
Akan segera berubah cemerlang ketika kita membaca dan menelusuri surah dan ayat-ayat dalam Al-
Qur`an secara utuh yang menceritakan beliau. Akan terbentuk gambaran sosok yang agung nan mulia
yang selalu mendapatkan bimbingan, teguran dan petunjuk dari Allah SWT. Segala gerak-gerik beliau
selalu berada dalam pengawasan Allah SWT. Dan ucapan-ucapan yang keluar dari mulut beliau
adalah kebenaran semata. Sesuai firman Allah SWT: "Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-
Quraan) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat." (Qs. An Najm 53:
3-5).
Dan teguran dalam surah Al-Anfaal: 67 itu merupakan bagian dari proses turunnya aturan-aturan
Syari'ah dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Dan itu menjadi rahmat serta kemudahan
bagi umat beliau. Mari kita baca lanjutan ayat Al-Anfaal 8: 67 tersebut dengan ayat Al-Anfaal 8: 68-69:
"Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan
yang besar karena tebusan yang kamu ambil. Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang
telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." ( Qs. Al-Anfaal 8: 68-69).
Demikianlah, kita bisa saksikan dan rasakan, jauhnya perbedaan antara membaca Al-Qur’an dan
peristiwa sejarah dalam Islam secara parsial dengan cara pembacaan secara utuh dan integral.
Ternyata tulisan Dr. Jalaluddin Rakhmat tentang sahabat menggunakan metodologi "Wailul Lil-
Mushallin" . Buktinya bisa dilihat dalam artikel. Inilah metodologi profesor doktor syiah. Mazhab syiah
membuat seorang profesor melupakan kaedah ilmiah.
Di akhir artikelnya: Dr. Jalaluddin Rakhmat menulis:
"… banyak bukti bahwa sahabat ternyata pernah ragu dalam agamanya .. pernah menentang dan
membangkang perintah Rasulullah SAW… pernah meninggalkan ibadat dan sebagainya…"
Oleh karenanya, menurut Dr. Jalaluddin Rakhmat, kita harus memilih sahabat yang betul-betul telah
lolos uji, dan tidak pernah salah atau menolak perintah Nabi SAW…
Dia berkata, "Untuk Anda ketahui, ada lebih dari 114 ribu sahabat Nabi SAW. Di antara mereka ada
yang –berdasarkan bukti-bukti- memenuhi karakteristik yang disebutkan oleh Al-Razi. Pilihlah sahabat
yang lolos dari batu uji al-Razi. Sahabat yang betul-betul adil. Dari mana kita tahu? Melalui kajian
ilmiah yang tekun bersama orang-orang, yang demi kebenaran “la yakhâfûna lawmatan lâim” (Qs. Al-
Quran 5:54), “tidak takut pada kecaman orang-orang yang mengecam."
Siapakah orang yang dia maksud itu?
Dr. Jalaluddin Rakhmat memberi indikasi bahwa: dia adalah Ali bin Abi Thalib dan syi'ahnya. Dengan
berdasarkan hadits Ibn Asakir dari Jabir bin Abdillah. Ia berkata: "Kami sedang bersama Nabi SAW,
lalu datanglah Ali. Nabi SAW berkata: Demi yang diriku ada di tangannya. Sesungguhnya ini dan
Syi’ahnya sungguh orang-orang yang berbahagia pada hari kiamat." Dia juga menyebut riwayat Ibn
Adi dan Ibn Asakir dari Ibn Abbas, dan riwayat Ibn Mardawayh dari Ali r.a.
Di sinilah kita dapati ternyata Dr. Jalaluddin Rakhmat menggunakan metodologi "Wailul Lil-Mushallin"
dalam membuat kesimpulan seperti itu. Dan tampak tidak melalui kajian ilmiah yang tekun, seperti
yang dia anjurkan kepada orang lain .
Penjelasannya sebagai berikut:
Pertama: Pada masa kehidupan Rasulullah SAW., tidak pernah ada kelompok bernama Syi'ah. Jadi
bagaimana mungkin Rasulullah SAW. menyebut-nyebut Syi'ah di situ. Orang yang berpikir kritis dan
mau mengkaji sedikit sejarah akan tahu itu. An Naubakhti (310 H), dalam kitabnya Firaq Syi'ah (hal.
14-15) -yang merupakan salah satu kitab sejarah firqah Syi'ah tertua- mengatakan seperti itu. Bahwa
Syi'ah baru timbul setelah wafarnya Rasulullah SAW. Dan itupun bentuknya baru berupa
kecenderungan beberapa orang yang menganggap Ali bin Abi Thalib (lebih) layak untuk menjadi
Khalifah.
Sedangkan kelompok Syi'ah yang mulai melakukan pencercaan terhadap Abu Bakar, Umar dan
Utsman adalah kelompok Syi'ah Saba`iyyah, yang dimotori oleh Abdullah bin Saba`. Oleh Ali bin Abi
Thalib, orang ini pernah diasingkan ke Madain. Namun ketika Ali bin Abi Thalib meninggal, ia kembali
beraksi. (Lihat: Firaq Syi'ah, An-Naubakhti, hal. 32).
Kedua: Hadits yang dijadikan hujjah tersebut ternyata hadits maudhu' (palsu). Dr. Jalaluddin Rakhmat
dengan semena-mena menolak seluruh ayat Al Qur`an yang berisi pujian kepada para sahabat. Dan
sebagai gantinya dia menghadirkan hadits palsu yang dikutip dari tafsir Durrul Mantsur karya
Jalaluddin as Suyuthi, demi mengangkat nama Ali bin Abi Thalib serta Syi'ah. Kepalsuan hadits
tersebut bisa dilihat dalam adh Dhu'afa oleh Ibn Hibban (1/140), dan al Maudhu'at karya Ibnu al Jauzi
(1/348-349).
Tindakan seperti ini sebelumnya sudah dilakukan oleh Abdul Husain Syarafuddin al MuSAWi, yang
mengeksploitasi tafsir Durrul Mantsur untuk mendukung pemikiran-pemikiran Imamiyah Ja'fariyahnya
dengan mengambil hadits-hadits maudhu' beraroma Imamiyah Ja'fariyah dari situ. Akhirnya dari
hadits-hadits tersebut, lahirlah buku al Muraja'aat, yang berisi dialog imajiner (palsu) dengan Syekh Al
Azhar Salim al Bisyri. Buku ini kemudian diterbitkan oleh Haidar Bagir (Mizan) dengan judul Dialog
Sunnah- Syi'ah, yang menjadi best seller dan menggemparkan Indonesia.
Ketiga: Dr. Jalaluddin Rakhmat, karena ketidak tahuannya atau kesengajaannya, tidak menyebut Ali
bin Abi Thalib r.a. dalam kasus Hudaibiyah. Padahal Ali bin Abi Thalib r.a. juga menolak perintah
Rasulullah SAW. saat itu. Keterangannya seperti dipaparkan oleh Imam Muslim dalam kitab Sahihnya
dari Bara` bin 'Azib, bahwa Rasulullah SAW. memerintahkan Ali bin Abi Thalib seperti ini:
Bه@ : الل ول< س< ر? KدBم<ح?م Eه@ ?ي ع?ل ق?اض?ى م?ا ه?ذ?ا @ ح@يم Bالر حEم?ن@ Bالر Bه@ الل @ م Eس@ ب ?ا ?ن Eن ?ي ب ط? Eر Bالش Eب> Eت اك rع?ل@ي@ ل ق?ال? : Bه@ الل Eد@ ع?ب Eن< ب م<ح?مBد< Eب> Eت اك Eك@ن? و?ل ?اك? ?عEن ?اب ت Bه@ الل ول< س< ر? Bك? ن
? أ ?م< ?عEل ن Eو? ل <ون? ر@ك Eم<شE ال ?ه< ل ف?ق?ال??مEح?اه?ا ي Eن? أ Cا @ي ع?ل م?ر?
? ف?أمEح?اه?ا ? أ ال? Bه@ و?الل ال? sع?ل@ي ف?ق?ال?
Bه@ الل Eد@ ع?ب Eن< اب ?ب? ?ت و?ك ف?م?ح?اه?ا ?ه?ا ?ان م?ك اه< ر?? ف?أ ?ه?ا ?ان م?ك @ي ر@ن
? أ Bم? ل و?س? Eه@ ?ي ع?ل Bه< الل ص?لBى Bه@ الل ول< س< ر? مسلم - ف?ق?ال? صحيح
Rasulullah SAW. memberi perintah kepada Ali: "Tulislah perjanjian antara kami: Dengan nama Allah
yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah perjanjian yang disepakati oleh Muhammad
Rasulullah.. ."
Tiba-tiba orang Musyrik menyela: "Seandainya kami tahu engkau adalah Rasul Allah, niscaya kami
akan mengikutimu. Karena itu, cukup tulislah, Muhammad bin Abdillah."
Maka Rasulullah SAW. memerintahkan Ali untuk menghapus tulisan tersebut. Namun Ali Menolak
perintah Rasul itu dan berkata: "Demi Allah, saya tidak akan menghapusnya! ".
Mendapati hal itu, Rasulullah SAW bersabda: "Tunjukkanlah kepadaku tempat tulisan tersebut." Maka
ia menunjukkan tempat kata tersebut kepada beliau, dan beliau pun menghapusnya sendiri. Untuk
kemudian diganti dengan tulisan: …Ibnu (putra) Abdillah." (Sahih Muslim. Hadits no 3336).
Jadi ketika penolakan atas perintah Nabi SAW. di Hudaibiyah dijadikan bahan oleh Dr. Jalaluddin
Rakhmat untuk mentajrih atau mencacat sahabat, dapat dikatakan tidak ada lagi sahabat yang
selamat dari pencacatannya. Karena Ali bin Abi Thalib juga turut menolak perintah Nabi SAW. saat itu.
Jadi ia ikut dicacat oleh Dr. Jalaluddin Rakhmat.
Dan ketika kita cermati ajakannya ini: "Pilihlah sahabat yang lolos dari batu uji .. Sahabat yang betul-
betul adil."
Yang kita tanyakan padanya: Siapa lagi sahabat yang tersisa untuk kita pilih, dan dipilih untuk apa?
Keempat: Demikian juga ketika para sahabat tidak segera menjalankan perintah Nabi SAW. untuk
memotong rambut dan memotong hewan kurban di Hudaibiyah, Dr. Jalaluddin Rakhmat menjadikan
hal itu sebagai cacat para sahabat. Padahal saat itu tidak ada seorang pun sahabat yang menjalankan
perintah itu. Dan itu berarti Ali bin Abi Thalib juga ikut terlibat di situ. Sehingga Dr. Jalaluddin Rakhmat
tanpa ia sadari juga sedang mencacat Ali bin Abi Thalib r.a.
Maka kembali kita bertanya kepadanya: Siapa lagi sahabat yang tersisa untuk kita pilih?
Kelima: Dr. Jalaluddin Rakhmat tidak mengetahui bahwa keberanian para sahabat untuk bersuara,
bertanya, mendebat, dan mengkaji strategi dalam militer dan politik, merupakan satu bagian dari
proses pendidikan yang diberikan oleh Rasulullah SAW. bagi para sahabatnya. Sehingga para
sahabat beliau terlatih untuk merancang strategi politik dan militer sepeninggal Rasulullah SAW.
Dalam proses tersebut, para sahabat diberikan jaminan akan diberikan maaf dan dimintakan ampunan
kepada Allah jika salah berijtihad. Karena mereka memang dalam proses belajar di bawah bimbingan
Rasulullah SAW. Dan itu sesuai dengan petunjuk Allah SWT yang diberikan dalam Al Qur`an surah Ali
Imran 3: 159. Allah SWT berfirman:
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (Qs. Ali Imran 3: 159).
Maka alih-alih menarik pelajaran dari keterbukaan dan musyawarah Rasulullah SAW. dengan para
sahabat, Dr. Jalaluddin Rakhmat malah menjadikan keberanian para sahabat untuk mengutarakan
pikiran dan aspiranya itu sebagai suatu cacat dalam agama.
Keenam: Dr. Jalaluddin Rakhmat menutup peristiwa Hudaibiyah dengan kesedihan. Tapi Al-Qur`an
justeru menutupnya dengan kebahagiaan. Karena setelah selesai peristiwa tersebut, Allah SWT
menurunkan ayat-Nya yang memberi penilaian kepada semua sahabat yang terlibat dalam peristiwa
tersebut bahwa mereka lulus dengan istimewa. Dan Allah SWT menilai apa yang mereka lakukan
dalam peristiwa tersebut didorong oleh hati yang bersih.
Misalnya Umar didorong oleh semangatnya yang sangat tinggi untuk menegakkan agama Allah
membuat dirinya melakukan tindakan yang tampak "menyerempet- nyerempet" bahaya.
Demikian juga Ali bin Abi Thalib, karena ghirahnya kepada status Nabi sebagai Rasul, dan ia tidak
mau nama Nabi direndahkan oleh orang musyrik, maka ia pun sempat menolak perintah Nabi SAW.
Demikian juga sahabat yang semula tampak tak segera menuruti perintah Nabi untuk bercukur dan
menyembelih hewan, itu mereka lakukan karena mereka menunggu kemungkinan ada perintah lain
yang lebih mengangkat nama Islam dalam peristiwa itu.
Karena itu, Allah SWT memberikan penilaian istimewa kepada semua peserta Hudaibiyah dengan
ayat-Nya yang diturunkan saat Nabi SAW. dan para sahabat dalam perjalanan pulang ke Madinah:
"Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia
kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu
menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan
yang dekat (waktunya). Serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." ( Qs. Al-Fath 48 : 18-19).
Perhatikanlah ayat tersebut. Tidak saja Allah SWT memberi penilaian istimewa kepada mereka,
namun Dia juga menjanjikan kemenangan yang dekat bagi mereka, dan harta pampasan perang yang
banyak. Dan menurut para penafsir, itu adalah kemenangan perang Khaibar. Sehingga kebahagiaan
mereka menjadi berlipat-lipat.
Kebahagiaan mereka makin melimpah, ketika dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dikatakan
bahwa semua peserta Hudaibiyah itu insya Allah tidak akan masuk neraka. Artinya semuanya masuk
surga.
- - ) : من الله شاء إن النار اليدخل يقول وسلم وآله عليه الله صلى النبي سمعت بشر أم أن مسلم صحيح في .( رقم حديث مسلم صحيح تحتها بايعوا الذين أحد الشجرة 3567أصحاب
Dalam Sahih Muslim diriwayatkan bahwa Ummu Basyar pernah mendengar Nabi SAW bersabda: "
Insya Allah, tidak ada seorangpun yang masuk neraka, dari mereka yang ikut berbai'at di bawah
pohon itu." (Hadits riwayat Muslim, no. 3567).
Ketujuh: Benarkah ada pahlawan perang Badar dan Uhud yang tidak membayar zakat?
Dr. Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa ayat dari surah Al-Taubah 9: 75-77 adalah berkenaan
dengan salah seorang pahlawan perang Badar dan Uhud. Yaitu ayat berikut:
Eو?ه<م BوEا ?و?ل و?ت @ه@ ب <وا ?خ@ل ب @ه@ ف?ضEل Eم@ن Eاه<م? آت ?مBا ف?ل @ح@ين? الصBال م@ن? Bن? <ون ?ك ?ن و?ل Bق?نBدBص? ?ن ل @ه@ ف?ضEل Eم@ن ?ا ?ان آت Eن@ ?ئ ل Bه? الل ع?اه?د? Eم?ن Eه<مE و?م@ن
التوبة – <ون? Eذ@ب ?ك ي <وا ?ان ك @م?ا و?ب و?ع?د<وه< م?ا Bه? الل ?ف<وا ل Eخ? أ @م?ا ب ?ه< Eق?وEن ?ل ي @ ?وEم ي @ل?ى إ Eه@م@ <وب ق<ل ف@ي @ف?اقWا ن Eه<م? عEق?ب
? ف?أ 77-75م<عEر@ض<ون?
Dan Dr. Jalaluddin Rakhmat kembali menambahkan bahwa "para mufasirin sepakat ayat ini turun
berkaitan dengan Tsa’labah bin Khathib."
Saya katakan: Tentang orang yang dimaksud dalam ayat tersebut, ada banyak pendapat.
Ibnu Hajar al 'Asqallani mengatakan dalam Fathul Bari (5/35) bahwa benar ayat tersebut diturunkan
berkenaan dengan Tsa'labah bin Hathib al Anshari. Tapi dia bukan pahlawan perang Badar dan Uhud.
Dan benar Ibn Ishaq menyebut nama Tsa'labah bin Hathib diantara nama para pahlawan perang
Badar, tapi menurutnya orang yang disebut itu bukan Tsa'labah yang disinggung dalam ayat tersebut.
Karena Tsa'labah yang pahlawan perang Badar itu sudah syahid saat perang Uhud. Sedangkan
Tsa'labah yang disinggung dalam ayat tersebut hidup hingga masa kekhalifahan Utsman bin Affan
r.a…
Pendapat ini diamini oleh pengarang tafsir Ruuh al Ma'aani yaitu al Alusi: dia berkata ketika
menafsirkan surah at Taubah 9: 75-77, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Tsa'lab bin
Hathib yang dikenal dengan Ibnu Abi Hathib. Dan dia bukan seorang pahlawan perang Badar. Karena
pahlawan perang Badar itu sudah syahid saat perang Uhud.
Sementara ath Thabari dalam tafsirnya, juga Ibnu Katsir, Jalaluddin as Suyuthi, Ibnu 'Ajibah, dan Ibnu
Athiyyah dalam tafsir mereka masing-masing, mereka hanya mengatakan bahwa ayat tersebut
diturunkan berkenaan dengan Tsa'labah bin Hathib. Dan mereka tidak menyinggung jika orang itu
pahlawan perang Badar dan Uhud atau bukan.
Jadi yang secara pasti mengatakan secara jelas bahwa Tsa'labah bin Hathib yang disinggung dalam
ayat tersebut seorang pahlawan perang Badar dan Uhud adalah Ibn Abdil Barr dalam al Isti'abnya.
Seandainya benar ia adalah pahlawan perang Badar dan Uhud, maka dalam pengungkapan kasusnya
itu justru menjadi bukti bagi kita bahwa dalam hal-hal yang jelas untuk membongkar kesalahan
seseorang yang benar-benar salah menurut Allah dan Rasul-Nya, maka Al Qur`an tidak secara malu-
malu menyebutnya. Dan perlakuan yang kemudian diberlakukan baginya oleh Rasulullah SAW.
adalah dengan mengucilkannya atau tidak melihatnya lagi sebagai bagian dari kaum Muslimin, atau
setidaknya sebagai orang munafik. Perlakuan ini pula yang kemudian dilanjutkan oleh Abu Bakar ash
Shiddiq r.a. dan sahabat yang lain.
Jadi di sini, dalam melihat sahabat Rasulullah SAW. kita harus melihat bagaimana Rasulullah SAW.
memperlakukan mereka. Jika Rasulullah SAW sudah menetapkan suatu tindakan tertentu bagi orang
tertentu, menurut sumber yang benar-benar sahih, maka tentu kita harus mengikuti apa yang telah
ditetapkan beliau itu. Sementara jika tidak ada celaan atau tindakan tertentu dari Rasulullah SAW atas
sahabat tertentu, yang kemudian tindakan itu diikuti oleh para sahabat, atau hal itu hanya dikatakan
oleh sumber palsu dan tidak terbukti kesahihannya, maka sangat bahaya bagi kita berkata buruk atau
berkesimpulan yang tidak baik bagi sahabat yang telah dididik secara langsung oleh Nabi SAW.
Ada yang bertanya, mengapa Tsa'labah tidak diperangi sebagaimana suku-suku yang menolak
membayar zakat diperangi oleh Abu Bakar ash Shiddiq r.a, Umar r.a. dan Ali r.a.? Jawabnya: karena
dalam Al Qur`an dia diindikasikan sebagai munafik, bukan sebagai orang kafir. Hal itu bisa dipahami
dengan melihat kenyataan Tsa'labah bin Khathib datang kepada Rasulullah SAW. untuk membayar
zakat, dan perbuatannya itu secara lahir menunjukkan bahwa dia ingin bertaubat. Namun karena ayat
Al Qur`an sudah menetapkan keputusan bagi Tsa'labah, maka Rasulullah SAW. tidak bisa mengubah
apa yang sudah diputuskan oleh Al Qur`an. Dari sisi ini, bisa dipahami bahwa Tsa'labah statusnya
dilihat sebagai munafik. Sebagaimana yang disinggung dalam ayat at Taubah 9: 77.
Perhatikan teks ayat tersebut:
"Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui
Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya
dan juga karena mereka selalu berdusta." (Qs. At-Taubah 9:77).
Sedangkan suku-suku yang murtad dan menolak membayar zakat itu diperangi karena mereka adalah
kekuatan politik-militer riil yang menjadi ancaman bagi negara Islam di Madinah. Juga mereka tidak
menunjukkan indikasi bertaubat atau mengubah pendirian diri mereka dari menolak membayar zakat.
Sehingga penanganan terhadap pribadi munafik tentu berbeda dengan penanganan terhadap
kekuatan kafir yang berwujud komunitas politik-militer yang riil.
Seperti itu juga ketika Allah SWT memberi ancaman bagi kemungkinan ada orang yang ingin
mempermainkan ayat-ayat Al Qur`an. Di sana dikatakan:
"Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. Seandainya dia (Muhammad)
mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada
tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada
seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu. Dan
sesungguhnya Al-Qur`an itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Dan
sesungguhnya Kami benar-benar mengetahui bahwa di antara kamu ada orang yang
mendustakan( nya). Dan sesungguhnya Al-Qur`an itu benar-benar menjadi penyesalan bagi orang-
orang kafir (di akhirat). Dan sesungguhnya Al-Qur`an itu benar-benar kebenaran yang diyakini. Maka
bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar." (Qs. Al-Haaqqah 69: 43-52).
Dari penjelasan ayat-ayat tersebut, jelaslah orang yang bermain-main dengan ayat-Nya akan segera
mendapatkan adzab dari Allah SWT Dan karenanya, tidak ada sahabat yang berani bermain-main
dalam menyampaikan amanah Al Qur`an ke generasi berikutnya.
Jadi kasus Tsa'labah bin Hathib tidak bisa ditarik menjadi bukti bahwa terjadi gerakan murtad besar-
besaran di kalangan sahabat setelah meninggalnya Rasulullah SAW.
Sedangkan hadits Haudh yang terkenal itu, menurut ulama, ditujukan bagi suku-suku Arab yang
sepeninggal Nabi SAW. menyatakan bahwa mereka mempunyai Nabi baru, atau jelas murtad atau
menolak membayar zakat, yang berarti juga masuk dalam hukum murtad. Dan mereka itu semuanya
kemudian diperangi oleh para sahabat Nabi SAW, termasuk oleh Ali bin Abi Thalib r.a. dengan
berpedoman pada hadits Haudh tadi.
Sedangkan para sahabat Nabi SAW. yang mendapatkan bimbingan langsung dari Nabi SAW., yang
ketika beliau meninggal mereka itu dalam keadaan diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka
dipersaksikan bahwa mereka semua selalu berada dalam jalan yang lurus.
Hal itu seperti persaksian para imam Ahlul Bait tentang diri mereka di bagian awal artikel ini. Terutama
yang kita pahami dari wasiat Ali bin Abi Thalib r.a. tentang diri mereka berikut ini yang menepis
kemungkinan maksud hadits haudh itu ditujukan kepada para sahabat yang dididik langsung oleh
Nabi SAW.:
صلى ( الله رسول فإن ، محدثا يأتوا ولم ، حدثا بعده يحدثوا لم الذين وهم ، تسبوهم ال ، نبيكم بأصحاب وأوصيكم
( . ص ) ، الطوسي الشيخ ، األمالي بهم أوصى وآله عليه 523 – 522الله (
"Aku berwasiat kepada kalian tentang para sahabat Nabi kalian. Jangan cerca mereka. Karena
mereka tidak melakukan suatu perubahan apa pun terhadap agama setelah Nabi SAW. Mereka juga
tidak mendatangkan orang yang melakukan perubahan. Dan Rasulullah SAW. juga berwasiat seperti
itu tentang mereka." (al Amaali, karya Syekh ath Thuusi, hal. 522-523).
Kedelapan: Berakhlaq bersama Rasulullah SAW dan Ahli Baitnya.
Dr. Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa sahabat Nabi SAW. telah menyakiti Rasulullah SAW.
sesuai dengan ayat dalam Al Qur`an surah al Ahzab 33: 53 berikut ini:
@ذ?ا ف?إ <وا ف?ادEخ<ل Eم> د<ع@يت @ذ?ا إ Eك@ن? و?ل ?اه< @ن إ ?اظ@ر@ين? ن Eر? غ?ي Q ط?ع?ام @ل?ى إ Eم> ?ك ل <ؤEذ?ن? ي Eن? أ @ال إ vي@ Bب الن <وت? <ي ب <وا ?دEخ<ل ت ال <وا آم?ن Bذ@ين? ال Vه?ا ي
? أ ?ا ي@ذ?ا و?إ vح?قE ال م@ن? @ي ?حEي ت Eس? ي ال Bه< و?الل Eم> Eك م@ن @ي ?حEي ت Eس? ف?ي Bي@ Bب الن <ؤEذ@ي ي ?ان? ك Eم> @ك ذ?ل Bن@ إ Qح?د@يث@ ل ين? @س@ ن
E ?أ ت Eم<س و?ال وا ر< ?ش@ Eت ف?ان Eم> ط?ع@مEت Eن? أ و?ال Bه@ الل س<ول? ر? <ؤEذ<وا ت Eن
? أ Eم> ?ك ل ?ان? ك و?م?ا Bه@ن@ <وب و?ق<ل Eم> @ك <وب @ق<ل ل طEه?ر<? أ Eم> @ك ذ?ل Qح@ج?اب اء@ و?ر? Eم@ن Bوه<ن> ل
? أ Eف?اس ?اعWا م?ت Bم<وه<ن> Eت ل? أ س?
ع?ظ@يمWا Bه@ الل Eد? ن ع@ ?ان? ك Eم> @ك ذ?ل Bن@ إ ?دWا ب? أ ?عEد@ه@ ب Eم@ن و?اج?ه< Eز
? أ Eك@ح<وا ?ن ت
Terjemahnya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali
bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya) , tetapi
jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik
memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi
malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.
Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari
belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu
menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat.
Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.” (Qs. Al-Ahzab 33: 53).
Dan bentuk tindakan sahabat menyakiti Rasulullah SAW., menurut Dr. Jalaluddin Rakhmat adalah
seperti hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi berikut ini yang ia kutip dari tafsir ad-Durr al Mantsur
karya Jalaluddin as Suyuthi, yaitu:
"Al-Baihaqi dalam sunannya dari Ibn Abbas: Salah seorang sahabat Nabi SAW berkata: Apakah
Muhammad (SAW) menghalangi kami untuk menikahi saudara-saudara sepupu kami, sementara ia
boleh menikahi mantan istri-istri kami sepeninggal kami. Jika sesuatu terjadi kepadanya, kami akan
kawini istri-istrinya sepeninggalnya. Makan turunlah ayat ini. Perkataan ini menyakiti hati Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (al-Durr al-Mantsur 5:404).
Kita dapati di sini, lagi-lagi Dr. Jalaluddin Rakhmat menggunakan metodologi "Wailul lil Mushallin"
dalam berdalil dengan ayat tersebut.
Akibatnya, Dr. Jalaluddin Rakhmat memilih hadits dhaif dalam memahami ayat tersebut, dan
meninggalkan hadits sahih.
Sebenarnya, dalam menafsirkan ayat tersebut, Jalaluddin as Suyuthi dalam tafsir ad Durr al Mantsur
banyak memaparkan hadits sahih di awal pemaparan ayat tadi. Tapi Dr. Jalaluddin Rakhmat justru
memilih hadits yang hampir paling akhir disebut oleh Jalaluddin as Suyuthi, yang diriwayatkan oleh al
Baihaqi dalam sunannya dari Ibn Abbas.
Hadits itu dhaif/lemah karena hadits riwayat Al Baihaqi dalam sunannya dari Ibnu Abbas r.a. itu dalam
sanadnya terdapat:
1. Muhammad bin Humaid ar Razi. Menurut Ibnu Hajar al 'Asqallani dalam Taqrib at Tahdzib , orang
ini "dhaif".
2. Mihran bin Abi Umar. Menurut al Mizzi dalam Tahdzib al Kamal (28/597) bahwa Al Bukhari
mengatakan: "Aku pernah mendengar Ibrahim bin Musa menilai dha'if Mihran ini." Bukhari juga
mengatakan bahwa dalam hadits Mihran terdapat idhthirab. Sedang an Nasaa`i mengatakan bahwa
Mihran bukan periwayat yang kuat "laisa bil qawiy".
Padahal kalau saja Dr. Jalaluddin Rakhmat memilih hadits-hadits di bagian pertama yang dipaparkan
oleh Jalaluddin as Suyuthi, niscaya ia akan mendapatkan hadits-hadits sahih.
Mengapa Dr. Jalaluddin Rakhmat menghindar dari hadits sahih dan justru memilih hadits dhaif? Kita
perlu meminta penjelasan darinya.
Mari kita lihat 2 hadits pertama yang dipaparkan oleh Jalaluddin as Suyuthi ketika menafsirkan ayat
tadi, yang justru dihindari oleh Dr. Jalaluddin Rakhmat.
Jalaluddin as Suyuthi menulis dalam tafsir ad Durr al Mantsur, ketika menafsirkan ayat Al Ahzab 33:
53 tadi, sebagai berikut:
يا : : عنه الله رضي الخطاب بن عمر قال قال عنه الله أنسرضي عن مردويه وابن جرير وابن البخاري أخرجالحجاب آية الله فأنزل ، بالحجاب المؤمنين أمهات أمرت فلو ، والفاجر البر عليك يدخل الله . رسول
"Bukhari, Ibnu Jarir dan Ibn Mardawaih meriwayatkan dengan sanad mereka dari Anas r.a. bahwa ia
berkata: Umar bin Khath-thab r.a. berkata: "Rasulullah SAW, banyak orang yang bertamu kepadamu,
baik orang yang saleh maupun yang bukan, maka mengapa engkau tidak memerintahkan saja para
isterimu ummahatul mukminin untuk memasang hijab/tirai. Maka kemudian Allah SWT menurunkan
ayat hijab."
Sedangkan hadits kedua berbunyi sebagai berikut:
مردويه وابن حاتم أبي وابن المنذر وابن جرير وابن والنسائي ومسلم والبخاري حميد بن وعبد أحمد وأخرجبنت : » زينب وسلم عليه الله صلى الله رسول تزوج لما قال عنه الله أنسرضي عن طرق من سننه في والبيهقي
رأى فلما ، يقوموا فلم للقيام يتهيأ كأنه هو وإذا ، يتحدثون جلسوا ثم فطعموا ، القوم دعا عنها الله جحشرضيثم ، جلوس القوم فإذا ، ليدخل وسلم عليه الله صلى النبي فجاء ، نفر ثالثة وقعد ، قام من قام قام فلما ، قام ذلكفذهبت ، دخل حتى فجاء ، انطلقوا قد أنهم وسلم عليه الله صلى النبي فاخبرت ، فجئت فانطلقت ، قاموا إنهم
وبينه بيني الحجاب فألقى ، ، أدخلالنبي } بيوت تدخلوا ال آمنوا الذين أيها يا تعالى الله ... فأنزل
Artinya: "Imam Ahmad, Abd bin Humaid, Bukhari, Muslim, an Nasaa`i, Ibnu Jarir, Ibn Abi Hatim, Ibn
Mardawaih, dan Baihaqi dalam sunannya meriwayatkan melalui jalur periwayatan Anas r.a. bahwa ia
berkata: "Ketika Rasulullah SAW. menikah dengan Zainab binti Jahsy r.a., beliau mengundang orang
banyak. Kemudian mereka makan dan duduk sambil berbicara. Dan ketika beliau tampak ingin
bangun dari duduknya, para undangan tetap tidak bergerak bangun dari duduknya. Ketika mendapati
hal itu, maka beliau bangun berdiri. Dan ketika beliau berdiri, maka para sahabat berdiri. Tapi ada tiga
orang yang tetap duduk. Selanjutnya Nabi SAW ingin masuk ke kamarnya, tapi ketiga orang tersebut
tetap duduk. Selanjutnya ketiga orang itu baru menyadari dan segera bangun dari duduknya. Maka
aku (sebagai khadim beliau) memberitahukan Nabi SAW bahwa ketiga orang itu telah pergi. Dan Nabi
SAW. pun masuk, dan aku pun menyusul masuk. Kemudian aku letakkanlah hijab antara diriku
dengan
dirinya. Dan Allah SWT menurunkan ayat ini: "
النبي بيوت تدخلوا ال آمنوا الذين أيها . . . يا"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu
diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya) ..." (Qs. Al-Ahzab
33: 53).
Lihatlah, betapa jauhnya gambaran yang dibentuk oleh apa yang dipaparkan oleh Dr. Jalaluddin
Rakhmat dibandingkan dengan paparan yang ditunjukkan oleh hadits sahih. Inilah pentingnya kita
meneliti riwayat-riwayat yang sahih dalam membaca penafsiran Al Qur`an dan sejarah.
Dalam ayat tersebut banyak dijelaskan aturan-aturan hukum baru yang berkenaan dengan berakhlak
bersama Rasulullah SAW. Seperti bagaimana berakhlak bersama isteri-isteri beliau. Termasuk tidak
boleh menikahi isteri-isteri beliau sepeninggal beliau SAW. Karena isteri-isteri beliau adalah ibu bagi
orang-orang beriman. Sesuai surah Al-Ahzab 33: 6.
"Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya
adalah ibu-ibu mereka.” (Qs. Al-Ahzab 33: 6)
Aturan-aturan tersebut, bertujuan untuk menjaga kemuliaan Nabi SAW. serta isteri-isteri beliau yang
merupakan Ahlul Bait beliau.
Lihatlah ayat berikut ini, yang menunjukkan bagaimana Allah SWT ingin memuliakan isteri-isteri
beliau: "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah
dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul
bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. " (Qs. Al-Ahzab 33: 33).
Sedangkan hadits Kisaa`, yang menyebut Ali bin Abi Thalib r.a. bersama Fathimah r.a. dan Hasan r.a.
serta Husein r.a., dalam lingkup Ahlul Bait, itu merupakan perluasan dari makna Ahlul Bait dalam ayat
tersebut. Dan hadits Kisaa` itu pun diucapkan dalam konteks doa Nabi SAW. Karena ayat tersebut
pada dasarnya berbicara tentang isteri-isteri Rasul SAW.
Perhatikanlah redaksi ayat tersebut dengan saksama, yang berbicara secara khusus tentang isteri-
isteri Nabi.
Dan jika tindakan duduk yang terlalu lama di tengah keluarga Nabi SAW. dan isteri beliau, dinilai
menyakiti Nabi SAW., maka bagaimanakah hukumnya orang yang melaknat dan mencerca isteri-isteri
beliau?
Silakan ini direnungkan.
Kesembilan: Etika Berbicara dan Berperilaku bersama Rasulullah SAW.
Dr. Jalaluddin Rakhmat kembali menghadirkan ayat yang menurutnya menunjukkan cacat para
sahabat, yaitu ayat berikut:
Eم> <ك عEم?ال? أ ?ط? ?حEب ت Eن? أ QضEع? @ب ل Eم> ?عEض@ك ب ?ج?هEر@ ك Eق?وEل@ @ال ب ?ه< ل وا ?جEه?ر< ت و?ال vي@ Bب الن ص?وEت@ ف?وEق? Eم> ?ك صEو?ات
? أ ف?ع<وا Eر? ت ال <وا آم?ن Bذ@ين? ال Vه?ا ي? أ ?ا ي
ون? ع<ر< Eش? ت ال Eم> Eت ن? و?أ
Kع?ظ@يم KرEج? و?أ Kة م?غEف@ر? Eه<م? ل BقEو?ى @لت ل Eه<م? <وب ق<ل Bه< الل ?ح?ن? امEت Bذ@ين? ال @ك? ?ئ ول
> أ Bه@ الل ول@ س< ر? Eد? ع@ن Eه<م? صEو?ات? أ ?غ<ضVون? ي Bذ@ين? ال Bن@ إ
“Wahai orang-orang yang beriman!, janganlah kami meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan
janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian
kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak
menyadari.”
“Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-
orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Mereka akan memperoleh ampunan dan
pahala yang besar.” (Qs. Al-Hujurat 49: 2-3).
Dengan penafsiran ayat tersebut dengan hadits berikut:
“Dari Abi Mulaikah: Ia berkata: hampir-hampir kedua orang baik celaka; yakni, Abu Bakar dan Umar.
Mereka mengeraskan suaranya di hadapan Nabi SAW ketika datanag rombongan Bani Tamim. Yang
satu menunjuk Al-Aqra’ bin Habis; yang lain menunjuk lelaki yang lain –Ia berkata: Nafi’, aku tidak
hapal namanya- Berkatalah Abu Bakar kepada Umar, “kamu hanya ingin membantahku. Umar
berkata: Aku tidak ingin membantahmu. Maka keraslah suara keduanya di hadapan Rasulullah SAW.
Allah SWT menurunkan ayat ini. Kata Ibn Zubayr: Tidak pernah lagi Umar memperdengarkan
suaranya kepada Rasulullh SAW setelah turun ayat ini sampai ia memperoleh pengertian. Ia tidak
menyebut bapaknya, yakni Abu Bakar” (Shahih al-Bukhari 6:171; Sunan al-Turmudzi 5:387; al-Durr al-
Mantsur 7:546; Sunan al-Nasai 8:226 dan lain-lain).
Di sini, kita kembali mendapati Dr. Jalaluddin menggunakan metodologi "wailul lil mushallin" dalam
membaca ayat tersebut.
Secara keliru Dr. Jalaluddin Rakhmat menulis bahwa ayat tersebut adalah dari Surah al Jumu'ah
(tolong artikel Anda diedit di situ), padahal ia adalah surah al Hujurat 49: 2-3.
Ayat tersebut benar diturunkan berkenaan dengan Abu Bakar r.a. dan Umar bin Khath-thab r.a.,
seperti diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits. Namun teguran tersebut harus kita letakkan dalam
rangkaian diturunkannya aturan-aturan akhlak bagi kaum Muslimin dalam berbicara dan bersikap
kepada Rasulullah SAW. Karena aturan akhlak seperti ini belum diturunkan sebelumnya.
Oleh karena itu, ayat-ayat di awal surah al Hujurat itu dua kali diawali dengan kata-kata "Hai orang-
orang yang beriman…" Dan itu justru menjadi persaksian keimanan bagi orang yang disinggung
dalam ayat itu, dan penyempurna akhlaknya. Hal ini berbeda seratus delapan puluh derajat dengan
Dr. Jalaluddin Rakhmat yang menjadikan teguran itu sebagai cacat dalam agama.
Kita perhatikan ayat-ayat tersebut secara lengkap, dan saya tambahkan sekalian ayat pertama, dari
surah al Hujurat itu:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan
janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara
sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan
kamu tidak menyadari.
Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang
telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar." (Qs.
Al-Hujurat 49: 1-3).
Kita perlu melihat kemudian, bagaimanakah orang yang ditegur itu? Bagaimanakah sikapnya setelah
ditegur? Dan bagaimanakah sikap Rasulullah SAW. terhadapnya?
Kita dapati dalam riwayat Bukhari sebagai berikut:
: يستفهمه حتى اآلية هذه بعد وسلم عليه الله صلى الله رسول يسمع< عمر كان فما الزبير ابن .قالIbnu Zubair berkata: "setelah turunnya ayat ini, maka Umar tidak pernah lagi bersuara dengan intonasi
keras kepada Rasulullah SAW. sehingga kerap kali ketika Umar berbicara Nabi SAW. harus bertanya
lagi kepadanya karena tak tertangkapnya suaranya.
Sedangkan tentang Abu Bakar ash Shiddiq r.a., Jalaluddin AsSuyuthi dalam ad Durr al Mantsur
memaparkan hadits berikut:
ال : } آمنوا الذين أيها يا اآلية هذه نزلت لما قال الصديق بكر أبي عن مردويه وابن والحاكم عدي وابن البزار وأخرجالنبي صوت فوق أصواتكم السرار : { ترفعوا كأخي إال أكلمك ال والله الله رسول يا قلت .
"Al Bazzar, Ibnu Adi, al Hakim dan Ibnu Marduwaih dari Abu Bakar ash Shiddiq r.a. ia berkata: "Ketika
turun ayat "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara
Nabi …", maka aku segera berkata kepada Rasulullah SAW: "Demi Allah, aku tidak akan berbicara
kepadamu kecuali dengan berbisik…".
Seperti itulah para sahabat didikan Rasul ketika mendapatkan pelajaran dari Al Qur`an dan Rasulullah
SAW.
Pertanyaan bagi kita: Apakah kita sudah meneladani mereka? Dan apakah kita sudah menjadikan
sunnah Rasul lebih tinggi dibandingkan suara keinginan ego dan kepentingan kita? Ini tentu menjadi
pelajaran sangat berharga bagi umat Islam sampai hari kiamat.
Dan di samping para sahabat mendapatkan pelajaran baru dalam berakhlak dan bersikap kepada
Rasulullah SAW, teguran itu bagi sebagian mereka ternyata menjadi berkah dan anugerah.
Perhatikanlah hadits berikut yang dipaparkan oleh Jalaluddin as Suyuthi dalam ad Durr al Mantsur:
والبيهقي مردويه وابن والطبراني المنذر وابن الصحابة معجم في والبغوي يعلى وأبو ومسلم والبخاري أحمد أخرجال : » } { } وأنتم قوله إلى النبي صوت فوق أصواتكم ترفعوا ال آمنوا الذين أيها يا نزلت لما قال أنس عن الدالئل فيصلى { : الله رسول على صوتي أرفع كنت الذي أنا فقال الصوت رفيع شماس بن قيس بن ثابت وكان تشعرونوسلم عليه الله صلى الله رسول ففقده W حزينا بيته في وجلس ، النار أهل من أنا عملي حبط وسلم عليه الله
فوق : : صوتي أرفع الذي أنا قال لك؟ ما وسلم عليه الله صلى الله رسول فقدك له فقالوا إليه القوم بعض فانطلقله وأجهر وسلم عليه الله صلى النبي صوت
أهل : من هو بل ال فقال بذلك فأخبروه وسلم عليه الله صلى النبي فأتوا ، النار أهل من أنا ، عملي حبط ، بالقولقتل اليمامة يوم كان فلما ، . » الجنة
"Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Ya'la dan al Baghawi dalam Mu'jam ash Shahabah,
Thabrani, Ibnu Marduwaih, dan Baihaqi dalam Dalail, dari Anas ia berkata: Ketika turun ayat: "Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi .. hingga ..
sedangkan kamu tidak menyadari." Saat itu ada sahabat bernama Tsabit bin Qais bin Syammas yang
bersuara lantang. Maka mendengar ayat itu, ia segera berkata: "Aku adalah orang yang sering
bersuara lantang kepada Rasulullah, maka binasalah amalku sudah, dan aku menjadi ahli neraka."
Kemudian ia berdiam diri di rumahnya dalam keadaan sedih. Ketidak hadirannya di majlis Rasulullah
SAW membuat Rasulullah SAW menanyakan keberadaannya. Maka beberapa orang sahabat
mendatanginya dan mereka berkata kepadanya: "Rasulullah SAW mencari-cari dirimu, kemana saja
kamu? Apa yang terjadi dengan dirimu?" Maka dia menjawab: "Aku adlah orang yang sering
meninggikan suaraku melebihi suara Nabi
SAW., dan sering bersuara lantang kepada beliau. Karena itu maka binasalah sudah amalku. Dan aku
menjadi penghuni neraka." Setelah mendengar penuturannya itu, maka para sahabat melaporkan hal
itu kepada Nabi SAW. Dan ketika Rasulullah SAW mendengar laporannya beliau bersabda: "Dia
bukan penghuni neraka, tapi dia penghuni surga." Dan saat perang perang Yamamah, Tsabit bin Qais
pun syahid."
Kesepuluh: Benarkah Sahabat Pernah Lari dari Salat Jum'at?
Saya jawab: Benar!
Surat Al Jum'ah ayat 11 memang menceritakan kejadian larinya beberapa orang sahabat ketika
Rasulullah SAW. sedang berkhotbah. Perhatikan ayat tersebut dengan saksama:
"Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya
dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah) . Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih
baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki." (Qs. Al Jumu'ah 62:
11).
Tapi kembali Dr. Jalaluddin Rakhmat lalai ketika menjadikan hal itu sebagai cacat para sahabat.
Mengapa?
Karena Dr. Jalaluddin Rakhmat tidak memperhatikan kapan kejadian tersebut? Jika kita tahu kapan
kejadian tersebut maka mafhumlah kita.
Peristiwa tersebut terjadi di tahun-tahun pertama hijrah. Dan saat itu khutbah Jum'ah disampaikan
setelah selesai shalat Jum'at. Seperti saat kita menunaikan shalat 'Eid al Fithri dan 'Eid al Adh-ha.
Demikian juga, para sahabat Nabi ketika itu belum mendapatkan banyak penjelasan tentang tata cara
ibadah. Maka ketika shalat Jum'at sudah selesai, dan dilanjutkan dengan khutbah, mereka sangka
khutbah Jum'at itu bukan bagian dari ibadah shalat Jum'at. Sehingga ketika ada rombongan
pedagang datang atau ada keramaian, mereka pun meninggalkan khutbah yang sedang disampaikan
Rasul SAW. Karena mereka pikir ibadah shalat Jum'at sudah selesai dan lengkap. Sedangkan
khutbah hanya sebagai pelengkap, sehingga bisa ditinggal. Hal itu seperti yang sering dilakukan
orang saat ini ketika shalat Eid al Fithri dan Eid al Adh-ha, yaitu mereka meninggalkan khathib yang
sedang menyampaikan khutbah selepas ibadah shalat Eid, karena menyangka itu bukan bagian dari
shalat ‘Eid.
Maka ayat ini menjadi penjelasan bagi para sahabat tentang status khutbah itu. Bahwa ia adalah
bagian dari ibadah shalat Jum'at yang tidak bisa ditinggal. Oleh karena itu kita perhatikan ayat yang
berisi teguran tadi datang tidak dengan kata-kata yang keras atau mengecam. Tapi dengan kata-kata
yang datar dan informatif.
Keterangan tersebut dapat kita lihat dalam tafsir ad Durr al Mantsur karya Jalaluddin as Suyuthi,
ketika menafsirkan surah Al Jumu'ah 62: 11 itu, sebagai berikut:
قبل : الجمعة يصلي وسلم عليه الله صلى الله رسول كان قال حيان بن مقاتل عن مراسيله في داود أبو وأخرجفدخل ، الجمعة صلى وقد ، يخطب وسلم عليه الله صلى والنبي ، الجمعة يوم كان حتى ، العيدين مثل الخطبة
إال : يظنوا ولم الناس فخرج ، بالدفاف أهله تلقاه قدم إذا دحية وكان ، بتجارة قدم قد خليفة بن دحية إن فقال رجلعليه } { الله صلى النبي فقدم إليها انفضوا W لهوا أو تجارة رأوا وإذا الله فأنزل ، شيء الخطبة ترك في ليس أنه
الصالة وأخر الجمعة يوم الخطبة . وسلم
"Abu Daud meriwayatkan dari Muqatil bin Hayyan bahwa ia berkata: Saat itu Rasulullah SAW.
menunaikan shalat Jum'at dengan cara seperti dua shalat Hari Raya. Hingga kemudian ketika datang
hari Jum'at dan Nabi SAW. sedang berkhutbah, setelah selesai menunaikan shalat Jum'at, datanglah
seseorang yang berkata: bahwa Dihyah bin Khalifah telah datang sambil membawa barang dagangan.
Dihyah ini jika datang ke Madinah disambut oleh orang-orang Madinah dengan tabuhan rebana.
Mendengar berita tersebut, maka keluarlah jama'ah Jum'at, karena mereka sangka boleh saja
meninggalkan masjid dan tidak mendengarkan khutbah. Maka Allah SWT menurunkan ayat: "Dan
apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya." ( Al
Jumu'ah 62: 11) Setelah turunnya ayat tersebut, maka Nabi SAW. mendahulukan Khutbah Jum'ah,
dan mengakhirkan shalat Jum'at setelah khutbah."
Demikianlah, ketika kita tahu penyebab dan latar belakangnya, tidak heranlah kita. Karena hal itu
ternyata terjadi sebagai bagian dari proses diturunkannya aturan-aturan Syari'at dalam Islam. Karena
aturan-aturan Syari'at Islam memang diturunkan secara gradual atau berangsur-angsur. Tidak seperti
saat ini ketika semua aturan Syari'at sudah kita temukan tertulis dalam Al Qur`an, hadits dan kitab-
kitab para ulama secara lengkap. Sedangkan pada era Rasulullah SAW., aturan-aturan tersebut
diturunkan secara berangsur. Dan para sahabatlah yang menjadi orang-orang pertama yang
mendengarnya dari Rasul SAW. dan menjalankan aturan-aturan Syari'at itu.
Tapi Dr. Jalaluddin Rakhmat, tanpa memperhatikan sejarahnya, langsung menjadikan hal itu sebagai
cacat bagi para sahabat.
Kesebelas: Benarkah para Sahabat Pernah Melarikan Diri dari Medan Pertempuran?
Jawab saya: Benar! Tidak ada seorangpun yang mengingkari hal itu.
Ini sesuai dengan ayat dalam surah Ali Imran 3: 144 berikut ini:
"Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang
rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang
berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah
akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." ( Qs. Ali Imran 3: 144)
Ayat ini benar menceritakan peristiwa perang Uhud dan adanya beberapa orang sahabat yang lari dari
medan perang. Detail tentang peristiwa tersebut dapat dibaca di kitab-kitab sirah dengan jelas.
Namun yang jadi masalah, ternyata Dr. Jalaluddin Rakhmat menjadikan hal itu sebagai cacat para
sahabat. Dan kesimpulannya itu ternyata berbeda dengan Al Qur`an. Karena Al Qur`an sendiri
menyatakan telah mengampuni mereka.
Perhatikan ayat Al Qur`an surah Ali Imran 3: 155 berikut ini yang menjadi lanjutan penjelasan apa
yang disinggung dalam Ali Imran 3:144 tadi.
"Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu hanya
saja mereka digelincirkan oleh syaitan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di
masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun." ( Qs. Ali Imran 3: 155).
Sedangkan tentang siapa saja yang lari dari medan perang saat itu, kita boleh saja melihat pendapat
Ibn Ishaq. Namun riwayat-riwayat Ibn Ishaq yang ditampilkan oleh Dr. Jalaluddin Rakhmat tersebut
tidak memiliki validitas seperti hadits sahih. Sehingga tidak bisa dijadikan sandaran hukum. Apalagi
untuk mencacat para sahabat. Karena riwayat-riwayat yang dia sampaikan tidak melalui penyaringan
yang ketat seperti yang dilakukan oleh para ulama hadits. Lagi pula Al Qur`an dengan jelas telah
memberikan maaf dan ampunan kepada para pahlawan perang Uhud. Maka mencoba mencacat para
sahabat dengan kejadian perang Uhud tersebut sangat tidak mempunyai landasan sama sekali dan
malah bertentangan dengan Al Qur`an.
Perang Uhud sendiri terjadi pada tahun ke 3 hijriyah. Itu berarti para sahabat masih pada fase-fase
awal pendidikan mereka di bawah asuhan Rasulullah SAW. Dan perang Uhud itu dapat dikatakan
sebagai perang besaran-besaran pertama yang dijalani oleh Umat Islam di Madinah. Dengan
menghadapi musuh yang mempunyai persiapan sangat matang dan berjumlah beberapa kali lipat dari
pasukan Islam.
Ibn Ishaq mengatakan bahwa pasukan Musyrikin terdiri dari 3000 orang pasukan dengan 200 orang
pasukan berkuda dan 700 pasukan berperisai. (Sirah ibn Hisyam: 3/8-12)
Sementara di barisan Islam sendiri belum terbangun kekuatan yang solid dengan pasukan terlatih.
Sehingga saat perang tersebut, pasukan Islam hanya terdiri dari 1000 orang, dengan 2 orang pasukan
berkuda dan 100 orang pasukan berperisai.
Barisan pasukan Islam ini makin lemah ketika di tengah perjalanan sekelompok orang munafiq di
bawah pimpinan Abdullah bin Ubay bin Salul mengundurkan diri, membawa 300 orang. Sehingga
pasukan Islam tinggal 700 orang saja.
Maka dari itu, wajar saja jika pasukan Islam ketika perang berkecamuk mudah terjebak trik-trik musuh
yang terlatih. Apalagi sistem informasi dan komando Rasulullah SAW. belum canggih dan terasah.
Sehingga dengan mudah tersusupi berita-berita yang mengacaukan konsentrasi dan daya juang
pasukan Islam. Diantaranya berita bahwa Rasulullah SAW. sudah meninggal saat itu. Oleh karena
adanya berita itu, sebagian dari sahabat akhirnya memilih lari dari medan perang. (Ibn Jauzi, Zadul
Masir: 1/483)
Karena kenyataan seperti itulah, kita bisa memahami mengapa Al Qur`an memberikan maaf kepada
pasukan Islam. Dan tidak melihatnya sebagai cacat para sahabat. Seperti kita temukan dalam surah
Ali Imran 3: 155 tadi.
Kejadian ini menjadi pengalaman sangat berharga bagi Rasul SAW. dan para sahabat dalam
menyiapkan sistem komando, sistem informasi, pemilihan pasukan, strategi formasi barisan dan cara-
cara menggembleng diri mereka. Sehingga di perang-perang berikutnya, kaum Muslimin selalu
memenangi pertempuran.
Hasil didikan tersebut tampak jelas dalam kematangan diri para sahabat sepeninggal Rasulullah
SAW. Sehingga pada masa kekhalifahan Umar bin Khath-thab r.a. yang hanya berlangsung sepuluh
tahun, kaum muslimin dengan pasukan yang sudah terlatih dan kenyang pengalaman itu mampu
mengalahkan dua super power dunia sekaligus: Imperium Romawi di Barat dan Imperium Persia di
Timur.
Mari kita simak hikmah, kedalaman ilmu dan pengalaman mereka itu dalam kata-kata Ali bin Abi
Thalib r.a. saat memberikan nasihat kepada Khalifah Umar bin Khath-thab r.a. yang berencana
memimpin langsung pasukan Islam yang akan berperang dengan pasukan Imperium Persia:
عنه الله رضي طالب أبي بن علي :قال" . بلغ حتى وأمده، أعده الذي وجنده أظهره، الذي الله دين وهو قلة وال بكثرة خذالنه وال نصره يكن لم األمر هذا إن . . . مكان باألمر القيم ومكان جنده وناصر وعده منجز والله الله من موعود على ونحن طلع حيث وطلع بلغ، ما . وإن . اليوم والعرب أبدا بحذافيره يجتمع لم ثم وذهب، تفرق النظام انقطع فإن ويضمه يجمعه الخرز من النظامنار , دونك وأصلهم ، بالعرب الرحى واستدر قطبا، فكن باالجتماع وعزيزون باإلسالم كثيرون فهم قليال كانواوراءك تدع ما يكون حت وأقطارها، أطرافها من العرب عليك انتقضت األرض هذه من شخصت أن فإنك ، الحرب
إن . يديك بين مما إليك أهم العورات منعليك لكلبهم أشد ذلك فيكون ، استرحتم قطعتموه فإذا العرب أصل هذا يقولوا غدا إليك ينظروا إن األعاجمه<و? . و? Eك? م@ن Eير@ه@م @م?س@ ل ه< Eر? ك
? أ ه<و? ?ه< Eح?ان ب س< Bه? ?لل ا Bن@ ف?إ @م@ين? ل Eم<سE ?ل ا ?ال@ ق@ت @ل?ى إ @ Eق?وEم ?ل ا ير@ م?س@ Eم@ن ت? Eر? ذ?ك م?ا مBا? ف?أ فيك وطمعهم
و? BصEر@ @الن ب @ل< <ق?ات ن Bا <ن ك Bم?ا @ن إ و? ة@ Eر? ?ث Eك @ال ب م?ض?ى ف@يم?ا @ل< <ق?ات ن Eن> ?ك ن Eم? ل Bا @ن ف?إ Eع?د?د@ه@م Eم@ن ت? Eر? ذ?ك م?ا مBا? أ و? ه< Eر? ?ك ي م?ا @ير@ ?غEي ت ع?ل?ى قEد?ر<
? أج. البالغة نهج ?ة@ Eم?ع<ون ?ل 30-29ص 2ا
"Ali bin Abi Thalib r.a. memberi nasihat kepada Umar bin Khath-thab r.a.:
"Jihad ini kemenangannya dan kekalahannya bukan ditentukan oleh banyak atau sedikitnya pasukan.
Karena Islam adalah agama Allah yang akan Dia menangkan, dan tentaraNya yang akan Dia siapkan
dan Dia tolong. Hingga tercapailah apa yang tercapai dan terwujudlah apa yang terwujud. Kita semua
berada dalam janji Allah SWT Dan Allah SWT akan mewujudkan janji-Nya serta menolong tentara-
Nya.
Sedangkan kedudukan pemimpin dalam perang adalah seperti tali bagi butiran-butiran kalung, yang
menyatukan dan mengumpulkan butiran-butiran itu. Maka jika tali tersebut terputus, niscaya butiran-
butiran itu terpisah dan tercerai-berai. Kemudian butiran-butiran tersebut tidak pernah tersatukan lagi.
Orang Arab saat ini, meskipun bilangan mereka sedikit, namun nilai mereka menjadi banyak karena
Islam, dan mereka mulia karena persatuan. Oleh karena itu, jadilah poros bagi mereka. Dan jika tidak
ada engkau, niscaya akan terjadi perang diantara mereka. Karena jika engkau perhatikan tanah
(Arab) ini , niscaya suku-suku Arab dari ujung ke ujung berpusat ke sini. Sehingga menjaga persatuan
Arab itu lebih penting bagimu dibandingkan jika engkau ikut perang ke Persia.
Sedangkan orang-orang asing, ketika mereka melihatmu di medan perang besok, niscaya mereka
mengatakan "inilah pemimpin orang Arab, dan jika kalian bunuh dia niscaya tenanglah kalian (karena
pasukan Arab tidak mempunyai pemimpin lagi untuk maju memerangi Persia)." Sehingga
kehadiranmu di medan perang itu justru akan memancing mereka membidikmu dan memusatkan
segala daya upaya mereka untuk membunuhmu.
Sedangkan tentang apa yang engkau katakan itu, bahwa pasukan musuh sedang bergerak untuk
memerangi kaum Muslimin, maka Allah SWT tentu lebih tidak senang dibandingkan dirimu terhadap
pergerakan pasukan musuh itu. Dan Allah tentu Maha Berkuasa untuk mengubah apa yang Dia tidak
senangi. Sedangkan tentang jumlah pasukan yang engkau bilang (sedikit) itu, maka kita dahulu
berperang bukan dengan mengandalkan banyaknya pasukan. Namun kita berperang dengan
mengandalkan bantuan dan pertolongan Allah SWT" (Nahjul Balaghah: 2/29-30).
Kita bisa saksikan dua sahabat agung hasil didikan Rasulullah SAW. tersebut saling bahu membahu
memperjuangkan agama Islam. Mereka berdua saling bertukar pikiran untuk mewujudkan kejayaan
bagi perjuangan Islam. Karena kematangan dan pengalaman mereka di bawah bimbingan Rasulullah
SAW, maka tak heran jika dalam priode mereka kekuatan Islam bisa mengalahkan dua super power
dunia kala itu sekaligus, yaitu Imperium Romawi dan Imperium Persia.
Di samping hubungan persahabatan yang dekat seperti itu, kita juga dapati ternyata Ali bin Abi Thalib
r.a. menjalin ikatan nasab dengan Umar bin Khath-thab r.a. Hal itu dengan menikahnya Umar bin
Khath-thab r.a. dengan Ummu Kultsum yang merupakan puteri Ali bin Abi Thalib r.a. dan Fathimah az-
Zahra r.a.
Dari perkawinan tersebut kemudian lahirlah Zaid bin 'Umar al Akbar dan Ruqayyah. Tentang peristiwa
perkawinan tersebut dapat dibaca di Usud al Ghabah: 1/1459, sedangkan dari kitab Imamiyah
Ja'fariyah bisa kita temukan fakta tersebut dalam al Kafi, karya Al Kulaini juz 6 hal 115 dan 116.
Dalam nasihat Ali bin Abi Thalib r.a. kepada Umar bin Khath-thab r.a. tadi, kita mendapati kebenaran
apa-apa yang diungkapkan oleh Ali bin Abi Thalib r.a. itu. Dengan menangnya pasukan Islam
menghadapi pasukan Imperium Persia. Juga kemudian menangnya pasukan Islam menghadapi
pasukan Imperium Romawi.
Kebenaran kata-katanya itu juga terlihat dalam nasihatnya tentang pribadi Umar bin Khath-thab r.a.
Mari kita perhatikan nasihatnya ini:
"Sedangkan orang-orang asing, ketika mereka melihatmu di medan perang besok, niscaya mereka
mengatakan "inilah pemimpin orang Arab, dan jika kalian bunuh dia niscaya tenanglah kalian (karena
pasukan Arab tidak mempunyai pemimpin lagi untuk maju memerangi Persia)." Sehingga
kehadiranmu di medan perang itu justru akan memancing mereka membidikmu dan memusatkan
segala daya upaya mereka untuk membunuhmu."
Ternyata apa yang dikatakan Ali bin Abi Thalib r.a. tentang diri Umar bin Khath-thab r.a. benar
adanya, yaitu dia akan menjadi sasaran pembunuhan dari pihak-pihak yang dikalahkannya.
Itulah yang benar terjadi kemudian. Ketika Abu Lu’lu’ah Fairuz seorang Majusi Persia menikam Umar
bin Khath-thab r.a. saat dia sedang memimpin shalat Shubuh. Sehingga meninggal-lah beliau pada
tahun 23 Hijriyah.
Dan ternyata, pembunuhan terhadap diri Umar bin Khath-thab tidak hanya ditujukan kepada fisiknya,
namun juga ditargetkan untuk membunuh karakternya atau nama baiknya.
Sehingga tidak heran jika kemudian disebarkan kebencian dan permusuhan terhadap nama Umar bin
Khath-thab r.a. dengan mengatas namakan cinta kepada keluarga Ali bin Abi Thalib r.a. Padahal jika
orang mau berfikir sedikit saja, akan segera tahu, bahwa Umar bin Khath-thab r.a. juga keluarga Ali
bin Abi Thalib, karena dia telah menikahi puteri Ali bin Abi Thalib.
Namun pembunuhan karakter itu tampak berjalan mulus, dan banyak orang yang menjadi korban
pemutar balikan opini terhadap Umar bin Khath-thab yang demikian besar jasanya dalam Islam itu.
Sehingga tak heran jika berkembang di sebagian kelompok suatu kebencian yang sangat mendalam
terhadap pribadi Umar bin Khath-thab. Akibatnya, pembunuhnya justeru diagung-diagungkan.
Sementara Umar bin Khath-thab sendiri selalu dilaknat dan dicerca.
Anda bisa buktikan hal itu dengan melihat kubur (replika kubur) Abu Lu`lu`ah yang telah membunuh
menantu Ali bin Abi Thalib r.a. dan mertua Rasulullah SAW. itu. Anda akan dapati kuburan orang yang
telah berbuat kejahatan sangat besar itu justeru saat ini dijadikan tempat ziarah yang ramai. Dan
dirinya dinamakan sebagai "Sahabat yang mulia calon penghuni surga: Abu Lu`luah", di Qasyan, Iran.
Anda bisa lihat kemegahan kubur pembunuhnya Umar bin Khathab itu di situs ini:
http://www.yahosein .com/vb/showthre ad.php?t= 36557&pp= 15
Dan Anda bisa baca bagaimana ungkapan-ungkapan kebencian kepada Umar bin Khath-thab r.a.
tersebar di sana.
Seperti itulah harga yang harus dibayar oleh para sahabat dalam memperjuangkan agama Islam.
Sehingga Islam bisa tersebar ke seluruh dunbia, hingga sampai ke Indonesia yang sangat jauh dari
pusat turunnya Islam. Semua keberhasilan itu mereka bayar dengan air mata, harta, tenaga,
darah,jiwa raga dan harga diri mereka.
Maka bagi mereka yang ingin berkata buruk tentang para sahabat Nabi yang mulia itu, setelah
perjuangan dan pengorbanan mereka yang sangat besar itu. Terutama tentang Abu Bakar ash
Shiddiq r.a., Umar bin Khath-thab r.a., dan Utsman bin Affan r.a., saya sampaikan perkataan Imam
Ahlul Bait ke empat, Ali bin Husain Zainal Abidin ini kepada mereka. Seperti yang dipaparkan oleh
Ibnu Shabbag, seorang pengarang Imamiyah Ja'fariyah, dalam kitabnya al al Fushul al Muhimmah fi
Ma'rifat al Aimmah: 2/864-865, sebagai berikut:
فلما ( ) ، قالوا ما وعثمان وعمر بكر أبي في فقالوا العراق أهل من نفر السالم عليه الحسين بن علي على قدمالحسين بن علي لهم قال كالمهم من أخرجوا ) : ( ( فرغوا الذين المهجرين أنتم ؟ أنتم من تخبروني أال السالم عليه
قال ) : : ، ال قالوا الصادقون هم أولئك و ورسوله الله وينصرون ورضوانا الله من فضال يبتغون وأموالهم ديارهم منأوتوا ( ممآ حاجة صدورهم في يجدون وال إليهم هاجر من يحبون قبلهم من وااليمان الدار تبوءو والذين فأنتم : : ( ، الفريقين هذين من تكونوا أن تبرأتم فقد أنتم أما فقال ، ال فقالوا خصاصة بهم كان ولو أنفسهم على ويؤثرون
من لستم أنكم أشهد وأناصفحة ( › اغفر ربنا يقولون بعدهم من جآءو والذين حقهم في الله قال سبقونا ‹ 865الذين الذين وإلخواننا لنا
. وصنع ) بكم الله فعل عني اخرجوا ءامنوا للذين غال قلوبنا في تجعل وال األئمة باإليمان معرفة في المهمة الفصول
ج - - الصباغ 865 – 864ص - 2ابن )).
"Kepada Ali bin Husain Zainal Abidin a.s. datang sekelompok orang dari Iraq. Kemudian ketika
bertemu dengannya, mereka berkata-kata buruk tentang Abu Bakar, Umar dan Utsman. Setelah
mereka selesai mengungkapkan perkataan mereka, maka Ali bin Husain Zainal Abidin a.s. bertanya
kepada mereka:
Bisakah kalian beritahukan kepadaku siapakah kalian? Apakah kalian dari kelompok yang disebut
dalam ayat ini:
ه<م< @ك? ?ئ ول> أ ?ه< ول س< و?ر? Bه? الل ون? Eص<ر< ?ن و?ي Wا و?ر@ضEو?ان Bه@ الل م@ن? WالEف?ض ?غ<ون? Eت ?ب ي Eه@م@ مEو?ال
? و?أ Eار@ه@م? د@ي Eم@ن خEر@ج<وا> أ Bذ@ين? ال Eم<ه?اج@ر@ين? ال
الحشر) 8الصBاد@ق<ون? ("…Orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka
(karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya.
Mereka itulah orang-orang yang benar…" (Qs. Al-Hasyr 59: 8)
Mereka menjawab: "Bukan."
Ia bertanya lagi: "Apakah kalian termasuk dari kelompok yang disebut dalam ayat berikut ini?
ع?ل?ى ون? @ر< <ؤEث و?ي <وا وت> أ م@مBا Wح?اج?ة Eص<د<ور@ه@م ف@ي ?ج@د<ون? ي و?ال? Eه@مE ?ي @ل إ ه?اج?ر? Eم?ن Vون? <ح@ب ي Eه@م@ Eل ق?ب Eم@ن @يم?ان? Eو?اإل الدBار? ?وBء<وا ?ب ت Bذ@ين? و?ال
Eم<فEل@ح<ون? ( ال ه<م< @ك? ?ئ ول> ف?أ ه@ ?فEس@ ن Bح ش< <وق? ي Eو?م?ن Kخ?ص?اص?ة Eه@م@ ب ?ان? ك Eو? و?ل Eه@م Eف<س@ ن
? الحشر) 9أ"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum
(kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka
(Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang
diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri
mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,
mereka itulah orang orang yang beruntung." ( Qs. Al-Hasyr 59: 9)
Mereka menjawab: "Juga bukan."
Maka Ali bin Husain Zainal Abidin berkata: "Jika kalian mengaku bukan dari kedua kelompok tersebut,
maka aku bersaksi bahwa kalian juga bukan bagian dari orang-orang yang sifat mereka dijelaskan
oleh Allah SWT dalam ayat-Nya ini:
<وا ?م?ن آ Bذ@ين? @ل ل Cغ@ال ?ا @ن <وب ق<ل ف@ي Eع?لEج? ت و?ال? @يم?ان@ Eاإل@ ب ?ا ?ق<ون ب س? Bذ@ين? ال ?ا @ن @خEو?ان و?إل@ ?ا ?ن ل Eف@رEاغ ?ا Bن ب ر? ?ق<ول<ون? ي Eد@ه@مEع? ب Eم@ن ج?اء<وا Bذ@ين? و?ال Kح@يم ر? Kء<وف ر? Bك? @ن إ ?ا Bن ب الحشر) 10(ر?
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb
kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya
Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." ( Qs. Al-Hasyr 59: 10 ).
Ali bin Husain Zainal Abidin melanjutkan: "Karena itu, pergilah kalian dari majlisku. Karena Allah SWT
telah menetapkan keburukan bagi kalian." (Al-Fushul al Muhimmah fi Ma'rifat al Aimmah, Ibn
Shabbag, juz 2, hal. 864-865).
Demikianlah tanggapan saya terhadap artikel Dr. Jalaluddin Rakhmat yang berjudul "Sahabat dalam
Timbangan Al Qur`an".
Semoga Allah SWT selalu memberikan hidayahNya kepada kita semua ...
وسلم وصحبه وآله محمد سيدنا على الله وصلىKairo, Kamis 23 Mei 2009 - Jam 4.39 sore.
Abdul Hayyie al Kattani
Catatan:
Dalam komentarnya terhadap artikel saya, Dr. Jalaluddin Rakhmat berkata: "Saya sama sekali tidak
menggunakan metode tafsir Fa wayl lil mushallin -metode tafsir yang sama sekali baru saya dengar
dari Al Kattani. BIskah Al-Kattani tunjukkan rujukan tentang metode ini dalam kitab-kitab ulum al-
Quran. Judulnya saja sudah aneh dan maaf -menggelikan. "
Saya jawab: Memang benar para ulama tidak menjelaskan metodologi tersebut dalam kitab-kitab
Ulum al Qur`an. Karena itu memang metodologi menyimpang yang tidak dipakai oleh para ulama. Dan
mereka hanya menyebut metodologi tersebut ketika menemukan seseorang yang menggunakan
metodologi itu dalam berwacana maupun berdalil dengan Al Qur`an dan sumber-sumber lainnya.
Berikut ini saya kasih link Dr. Muhammad Imarah, seorang ilmuwan Mesir yang mengkritik Paus
Roma, yang dia dapati menggunakan metodologi wailul lil mushallin dalam membaca teks-teks ulama
Islam. Sehingga akhirnya dihasilkan gambaran yang cacat dan buruk tentang Islam, karena
metodologi bacaan dan kutipannya itu… ]nosra.islammemo/ syiahindonesia. com].
Posted by:
"Nugroho Laison" nugon19
http://abul- jauzaa.blogspot. com/2011/ 08/dua-belas- orang-munafik. html
Dua Belas Orang Munafik
Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa' : di 04:03
Label: Syi'ah
Al-Imaam Muslim rahimahullah berkata :
ق<لEت< ق?ال? QسE ق?ي Eع?ن ة? ?ضEر? ن @ى ب? أ Eع?ن ?اد?ة? ق?ت Eع?ن Eح?جBاج@ ال Eن< ب ?ة< عEب ش< ?ا ?ن ح?دBث Qع?ام@ر Eن< ب و?د< Eس
? أ ?ا ?ن ح?دBث ?ة? Eب ي ش? @ى ب? أ Eن< ب Eر@ ?ك ب <و ب
? أ ?ا ?ن ح?دBث
عليه - الله صلى اللBه@ س<ول< ر? Eم> Eك ?ي @ل إ ع?ه@د?ه< Wا Eئ ي ش? Eو? أ <م<وه< Eت ي
? أ ر? Wا يE أ ر?? أ rع?ل@ى مEر@
? أ ف@ى Eم> ?عEت ص?ن Bذ@ى ال ه?ذ?ا Eم> @يع?ك ص?ن Eم> Eت ي? أ ر?? أ QارBع?م@ لوسلم - - وسلم عليه الله صلى اللBه@ س<ول< ر? ?ا Eن ?ي @ل إ ع?ه@د? م?ا ن@ى - ف?ق?ال? ?ر? ب Eخ
? أ Eف?ة< ح<ذ?ي Eك@ن? و?ل WةBاف? ك Bاس@ الن @ل?ى إ ?عEه?دEه< ي Eم? ل Wا Eئ ي ش?الله - صلى vى@ Bب الن ع?ن@
« - - - Bة? ن Eج? ال ?دEخ<ل<ون? ي ? ال Kة? @ي ?م?ان ث Eف@يه@م ?اف@قWا م<ن ر? ع?ش? ?ا Eن اث @ى صEح?اب? أ ف@ى وسلم عليه الله صلى Vى@ Bب الن ق?ال? ق?ال? وسلم عليه
.» Eف@يه@م ?ة< عEب ش< ق?ال? م?ا Eف?ظEح? أ Eم? ل Kع?ة? ب Eر
? و?أ ?ة< Eل ?ي الدVب ?ه<م< Eف@يك ?ك ت Eه<مE م@ن Kة? @ي ?م?ان ث ?اط@ Eخ@ي ال vم س? ف@ى Eج?م?ل< ال @ج? ?ل ي Bى ح?ت
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Aswad
bin ‘Aamir : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah bin Al-Hajjaaj, dari Qataadah, dari Abu Nadlrah,
dari Qais, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Ammaar : “Bagaimana pendapat kalian tentang
peperangan ‘Aliy ini ? Atau, adakah sesuatu yang Rasulullah shallalla ahu ‘alaihi wa sallam pesankan
kepada kalian ?”. Ia menjawab : “Rasulullah shallalla ahu ‘alaihi wa salam tidak pernah memberikan
pesan kepada kami yang tidak beliau pesankan kepada manusia. Akan tetapi Hudzaifah telah
mengkhabarkan kepadaku, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata : Telah bersabda
Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Di kalangan shahabatku, ada duabelas orang munafik yang
delapan orang di antaranya tidak masuk surga hingga onta dapat masuk ke lubang jarum dimana
mereka (delapan orang tersebut) akan tertimpa dubailah”. (Perawi berkata) :
“Adapun yang empat orang, aku tidak hapal apa yang Syu’bah katakan tentang mereka”
]Shahih Muslim no. 2779 (9)].
Orang Syi’ah menggunakan riwayat ini untuk menjustifikasi bahwa di kalangan shahabat
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ada dua belas orang munafik.
Melalui artikel ini – dengan pertolongan Allah – akan kami tunjukkan kepada Pembaca budiman
tentang kebodohan Syi’ah terhadap hakekat permasalahan ini.
1. Kata ‘shahabat’ dalam nash, ada beberapa macam makna. Di antaranya : Pertama, ia
dimaksudkan untuk arti shahabat dalam perkumpulan secara fisik. Makna pertama ini adalah makna
secara ashl dalam bahasa. Dalil yang menunjukkan hal ini antara lain firman Allah ta’ala :
م?ا وا Bر< ?ف?ك ?ت ي Eم? و?ل? @ه@مE أ ب @ص?اح@ @ينK ب م<ب Kذ@ير? ن @ال إ ه<و? Eن@ إ QةB ن ج@ Eم@ن
“Apakah (mereka lalai) dan tidak memikirkan bahwa shahabat mereka (Muhammad)tidak berpenyakit
gila. Dia (Muhammad itu) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan lagi pemberi
penjelasan” ]QS. Al-A’raaf : 184].
Yaitu, Rasulullah shallalla ahu ‘alaihi wa sallam adalah shahabat dan (termasuk di antara) keluarga
mereka (kaum Quraisy) yang tidak mempunyai penyakit gila.
ف?ق?ال? Kم?ر? ث ?ه< ل ?ان? @ه@ و?ك ب ا ل@ص?اح@ Wف?ر? ن Vع?ز? و?أ م?اال Eك? م@ن ?ر< Eث ك
? أ ?ا ?ن أ ه< <ح?او@ر< ي و?ه<و?“Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada shahabatnya (yang mukmin) ketika ia
bercakap-cakap dengan dia: "Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih
kuat" ]QS. Al-Kahfi : 34].
?ه< ل <ه< ق?ال? ب ج<ال ص?اح@ ر? وBاك? س? Bم> ث Qف?ةEط> ن Eم@ن Bم> ث Qاب <ر? ت Eم@ن ?ق?ك? خ?ل Bذ@ي @ال ب ت? Eف?ر? ك? أ ه< <ح?او@ر< ي و?ه<و?
“Shahabatnya (yang mukmin) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: "Apakah
kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu
Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?” ]QS. Al-Kahfi : 37].
Kedua, ia dimaksudkan untuk arti orang yang mengikuti satu jalan tertentu atau yang semisalnya.
Makna kedua ini didasarkan oleh firman Allah ta’ala :
<وب@ ذ?ن Eل? م@ث Wا <وب ذ?ن ?م<وا ظ?ل Bذ@ين? @ل ل Bن@ @ه@مE ف?إ صEح?اب? ?عEج@ل<ون@ أ ت Eس? ي ف?ال
“Maka sesungguhnya untuk orang-orang lalim ada bahagian (siksa) seperti bahagianshahabat-
shahabat mereka (dahulu); maka janganlah mereka meminta kepada-Ku menyegerakannya” ]QS.
Adz-Dzaariyaat : 59].
Dalam Al-Mu’jamul-Wasiith disebutkan :
الشافعي وأصحاب حنيفة أبي أصحاب فيقال رأيا أو مذهبا اعتنق من على ويطلق“Dan dimutlakkan terhadap siapa saja yang menetapi suatu madzhab atau pendapat. Maka
dikatakan ashhaab Abi Haniifah dan ashaab Asy-Syaafi’iy” ]1/507].
2. Hadits di atas disebutkan dengan lafadh : fii ashhaabiy, dan ini merupakan lafadh yang
dibawakan Aswaad bin ‘Aamir (dari Syu’bah). Dalam lafadh lain disebut : fii ummatii(di kalangan
umatku), yang dibawakan oleh Hajjaaj bin Muhammad (tsiqah tsabat) dan Muhammad bin Ja’far
(tsiqah).
Lafadh kedua lebih kuat, namun bisa dijamak karena pengertian keduanya tidaklah bertentangan.
Oleh karena itu, lafadh ‘shahabat’ dalam hadits di atas bukan dalam pengertian isthilahi
y sebagaimana dijelaskan para ulama, namun merujuk makna perkumpulan fisik secara
umum sebagaimana dijelaskan pada nomor 1.
Yang menunjukkan hal ini adalah riwayat :
?ا ?ن ?ا ، ع?ل@يs ح?دBث ?ن ?ان< ح?دBث فEي و ق?ال? ، س< KرEت< : ع?مEم@ع Bه@ س? الل Eد@ ع?ب Eن? ب @ر? ف@ي : ج?اب Bا <ن ك ق?ال? ، Eه<م?ا ع?ن Bه< الل ض@ي? ر? ، Qاة ?ان< ق?ال? غ?ز? فEي Eص?ار@يV: س< ن
? Eاأل ف?ق?ال? ، Eص?ار@ ن? Eاأل Eم@ن Wج<ال ر? Eم<ه?اج@ر@ين? ال Eم@ن Kج<ل ر? ع? ?س? ف?ك ، QشE ج?ي ف@ي Wة Bم?ر : ، Eص?ار@ ن
? Eأل? ل ?ا يف?ق?ال? : : " ، لBم? و?س? Eه@ ?ي ع?ل Bه< الل ص?لBى Bه@ الل ول< س< ر? ذ?اك? م@ع? ف?س? ، Eم<ه?اج@ر@ين? ?ل ل ?ا ي Vم<ه?اج@ر@يE ال ، " و?ق?ال? Bة@ @ي Eج?اه@ل ال د?عEو?ى ?ال< ب م?ا
: Eم@ن Kج<ل ر? ع? ?س? ك ، Bه@ الل س<ول? ر? ?ا ي <وا ق?ال@ك? : " " @ذ?ل ب م@ع? ف?س? ، Kة? @ن Eت م<ن Bه?ا @ن ف?إ د?ع<وه?ا ف?ق?ال? ، Eص?ار@ ن
? Eاأل Eم@ن Wج<ال ر? Eم<ه?اج@ر@ين? ?يr ال ب> أ Eن< ب Bه@ الل Eد< Bه@ : ع?ب و?الل م?ا
? أ ف?ع?ل<وه?ا ف?ق?ال? ،ف?ق?ام? ، لBم? و?س? Eه@ ?ي ع?ل Bه< الل ص?لBى Bي@ Bب الن ?غ? ?ل ف?ب ، Bذ?ل
? Eاأل Eه?ا م@ن Vع?ز? Eاأل Bر@ج?نEخ> ?ي ل ?ة@ Eم?د@ين ال @ل?ى إ ?ا ج?عEن ر? Eن@ ?ئ ف?ق?ال? ل ، ول? : ع<م?ر< س< ر? ?ا ي
م<ح?مBدWا : " Bن? أ Bاس< الن ?ح?دBث< ?ت ي ال? د?عEه< لBم? و?س? Eه@ ?ي ع?ل Bه< الل ص?لBى Vي@ Bب الن ف?ق?ال? ، ?اف@ق@ Eم<ن ال ه?ذ?ا <ق? ع<ن Eر@بEض
? أ @ي د?عEن ، Bه@ الل?ه< صEح?اب? أ <ل< ?قEت ."ي
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan : Telah berkata
‘Amru : Aku mendengar Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaa hu ‘anhumaaberkata : Kami pernah berada
dalam satu peperangan – Sufyaan berkata : dalam perkumpulan pasukan - , lalu tiba-tiba ada seorang
laki-laki dari kalangan Muhaajiriin mendorong seseorang dari kalangan Anshaar. Lalu orang Anshaar
itu berkata : “Wahai orang-orang Anshaar !”. Dan orang Muhaajirin itu juga berkata : “Wahai orang-
orang Muhaajiriin !”. Rasulullah shallalla ahu ‘alaihi wa sallam pun mendengar hal tersebut, lalu
bersabda : “Ada apa dengan seruan-seruan Jaahiliyyah ini ?!”. Mereka berkata : “Wahai Rasulullah,
seorang laki-laki dari kalangan Muhaajiriin mendorong seseorang dari kalangan Anshaar”. Beliau
bersabda : “Tinggalkanlah hal itu, karena ia sesuatu yang busuk”. Lalu ‘Abdullah bin Ubay
mendengarnya dan berkata : “Lakukanlah, demi Allah, seandainya
kita kembali ke Madinah, niscaya orang-orang mulia akan mengusir orang-orang hina”. Sampailah
perkataannya itu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu berdirilah ‘Umar dan berkata :
“Wahai Rasulullah, biarkan aku menebas leher orang munafik itu !”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Biarkanlah ia, sehingga orang-orang tidak mengatakan bahwa Muhammad telah
membunuh shahabatnya” ]Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4905].
Padahal, kaum muslimin sepakat bahwa ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul bukan termasuk dalam definisi
shahabat secara ishthilah, karena ia seorang munafik yang jelas kemunafikannya. Beliau
menyebut ‘shahabat’ yang dinisbatkan kepada Ibnu Saluul, karena itulah yang dipahami secara
bahasa oleh orang ‘Arab.
Kaum munafik yang hidup di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah masyhur diketahui,
siapakah mereka ini. Orang munafik bukan shahabat]1], dan shahabat bukanlah orang munafik.
Allah ta’ala berfirman :
Bك@ن? و?ل Eب@ Eغ?ي ال ع?ل?ى Eم> @ع?ك <طEل @ي ل Bه< الل ?ان? ك و?م?ا vب@ الطBي م@ن? @يث? Eخ?ب ال ?م@يز? ي Bى ت ح? Eه@ ?ي ع?ل Eم> Eت ن? أ م?ا ع?ل?ى @ين? Eم<ؤEم@ن ال ?ذ?ر? @ي ل Bه< الل ?ان? ك م?ا
Kع?ظ@يم KرEج? أ Eم> ?ك ف?ل Bق<وا ?ت و?ت <وا <ؤEم@ن ت Eن@ و?إ @ه@ ل س< و?ر< Bه@ @الل ب <وا ف?آم@ن اء< ?ش? ي Eم?ن @ه@ ل س< ر< Eم@ن @ي ?ب ت Eج? ي Bه? الل
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang
ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali
tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang
dikehendaki- Nya di antara rasul-rasul- Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul- Nya;
dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar” ]QS. Aali ‘Imraan : 179].
Membawa makna ‘shahabat’ dalam hadits di atas pada makna ishthilahiy adalahmusykil, sebab tidak
mungkin seorang munafik dikatakan beliau :
?ص@يف?ه< ن و?ال? Eح?د@ه@م? أ Bم<د ?غ? ?ل ب م?ا Wا ذ?ه?ب Qح<د
> أ Eل? م@ث Eف?ق? ن? أ Eم> ح?د?ك
? أ Bن? أ Eو? ل“Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas sebesar bukit Uhud, tidak akan ada yang
menyamai satu timbangan (pahala) seorangpun dari mereka, juga tidak akan sampai
setengahnya” ]Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3673, Muslim no. 2541, Ahmad 3/11, Abu Dawud
no. 4658, At-Tirmidziy no. 3860, Abu Ya’laa no. 1171 & 1198, dan yang lainnya].
3. Dalam Lisaanul-‘Arab, ad-dubailah didefini sikan sebagai :
غالبا صاحبها فتقتل الجوف في تظهر كبير ودمل خراج“Bisul besar yang nampak/muncul pada perut yang umumnya menyebabkan kematian bagi orang
yang terkena” ]lihat : sini].
Dalam lafadh lain hadits yang dibawakan Muslim disebutkan :
. صدورهم من ينجم حتى أكتافهم في يظهر النار من سراج“(Dubailah adalah) pijaran api yang menyengat bagian belakang pundak hingga tembus ke dada
mereka” ]Diriwayatkan oleh Muslim no. 2779 (10)].
Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, ‘Aliy, Az-Zubair, ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf, Thalhah, Mu’aawiyyah,
‘Aaisyah, Abu Muusaa Al-Asy’ariy, dan yang lainnya tidak ada yang meninggal karena
penyakit dubailah. Begitu juga dengan shahabat-shahabat besar lain yang ma’ruf status
kebershahabatannya dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Seandainya benar ada di antara shahabat ada yang munafik, maka Abu Bakr, ‘Umar, dan
‘Utsmaan radliyallaah u ‘anhum lah yang layak pertama kali terkena dubailahseba gai tanda hukuman
bagi gembong munafik ! – karena mereka adalah gembong kemunafikan, kedustaan, dan bahkan
kekafiran di mata orang Syi’ah.
Allah ta’ala berfirman :
ق?ل@يال * @ال إ ف@يه?ا ?ك? ون <ج?او@ر< ي ال Bم> ث Eه@م@ ب Bك? ?ن <غEر@ي ?ن ل ?ة@ Eم?د@ين ال ف@ي ج@ف<ون? Eم<رE و?ال Kم?ر?ض Eه@م@ <وب ق<ل ف@ي Bذ@ين? و?ال ?اف@ق<ون? Eم<ن ال ?ه@ Eت ?ن ي Eم? ل Eن@ ?ئ ل@يال ?قEت ت <وا vل و?ق<ت خ@ذ<وا
> أ <ق@ف<وا ث ?م?ا Eن ي? أ @ين? Eع<ون م?ل
“Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang- orang yang berpenyakit dalam hatinya
dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu) , niscaya Kami
perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di
Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar, dalam keadaan terlaknat. Di mana saja mereka
dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya” ]QS. At-Taubah : 60-61].
4. Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : } vم س? ف@ى Eج?م?ل< ال @ج? ?ل ي Bى ح?ت Bة? Eج?ن ال ?دEخ<ل<ون? ي ? ال Kة? @ي ?م?ان ث Eف@يه@م
?اط@ Eخ@ي ;’delapan orang di antaranya tidak masuk surga hingga onta dapat masuk ke lubang jarum‘ }ال
maka mafhum mukhalafah-nya adalah : empat orang sisanya masuk surga]2] – dimana hal ini
menunjukkan adanya taubat.
Kemudian, perhatikan riwayat berikut :
?ق@ي? : : " ب م?ا ف?ق?ال? ، Eف?ة? ح<ذ?ي Eد? ع@ن Bا <ن ك ق?ال? ، QبEو?ه Eن< ب Eد< ي ز? ?ا ?ن ح?دBث ، م?اع@يل< Eس@ إ ?ا ?ن ح?دBث ، ?ى ?حEي ي ?ا ?ن ح?دBث ، Bى ?ن Eم<ث ال Eن< ب م<ح?مBد< ?ا ?ن ح?دBثEه@ : ?ي ع?ل Bه< الل ص?لBى QدBم<ح?م صEح?اب?
? أ Eم> Bك @ن إ sي@ اب عEر?? أ ف?ق?ال? ، Kع?ة? ب Eر
? أ Bال@ إ ?اف@ق@ين? Eم<ن ال م@ن? و?ال? ، Kة? ث ?ال? ث Bال@ إ ?ة@ ي Eاآل ه?ذ@ه@ صEح?اب@? أ Eم@ن
Eم? ل Eج?ل? أ ، اق< Bف<سE ال @ك? ?ئ ول
> أ ق?ال? ، ?ا ق?ن ?عEال? أ ر@ق<ون? Eس? و?ي ، ?ا ?ن <وت <ي ب ون? Eق<ر< ?ب ي Bذ@ين? ال ء@ ه?ؤ<ال? ?ال< ب ف?م?ا ، ?دEر@ي ن ف?ال? ?ا ون @ر< <خEب ت Bم? ل و?س?د?ه< Eر? ب و?ج?د? ?م?ا ل ?ار@د? Eب ال Eم?اء? ال ر@ب? ش? Eو? ل ، Kير@ ?ب ك KخE ي ش? Eح?د<ه<م
? أ ، Kع?ة? ب Eر? أ Bال@ إ Eه<مE م@ن Eق? ?ب ي
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami
Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Zaid bin
Wahb, ia berkata : Kami pernah berada di sisi Hudzaifah, lalu ia berkata : “Tidaklah tersisa orang yang
dimaksud dalam ayat ini (yaitu QS. At-Taubah : 12) kecuali tiga orang, dan tidak pula tersisa orang-
orang munaafik kecuali hanya empat orang saja”. Seorang A’rabiy berkata : “Sesungguhnya kalian
adalah shahabat-shahabat Muhammad shallallaah u ‘alaihi wa sallam. Kalian mengkhabarkan kepada
kami, lalu kami tidak mengetahuinya. Lantas, bagaimana dengan mereka yang telah merusak rumah-
rumah kami dan mencuri perhiasan-perhiasan kami ?”. Hudzaifah menjawab : “Mereka itu orang-
orang fasik. Ya, tidaklah tersisa dari mereka (kaum munafik) kecuali empat orang, yang salah seorang
dari mereka adalah seorang yang telah tua. Seandainya ia meminum air yang dingin, tentu
ia tidak akan mendapati rasa dingin air itu” ]Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4658].
Hudzaifah bin Al-Yamaan wafat tahun 36 H; sedangkan perang Jamal terjadi tahun 36 H dan perang
Shiffiin terjadi tahun 37 H. Maka, empat orang munafiqiin tersisa yang disebutkan Hudzaifah radliyalla
ahu ‘anhu yang hidup di jaman konflik ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu, masuk dalam konsekuensi mafhum
mukhaalafah yang disebutkan sebelumnya.
Anyway, pendalilan orang Syi’ah dengan hadits di atas adalah pendalilan kosong tanpa faedah yang
berasal dari orang yang patut diduga punya penyakit kronis kenifakan dalam hatinya....
Wallaahul-musta’aan.
]abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, ciapus, ciomas bogor, pertengahan bulan Ramadlaan 1432 H].
____________ _________ _________ __
]1] Dalam pengertian ishthilah iy.
]2] Karena kedudukan seseorang di akhirat hanyalah dua pilihan : surga dan neraka.
Pemahaman kalimat ini seperti ketika dinyatakan :
Jumlah murid dalam kelas ada 50 orang, dan 5 orang di antaranya tidak naik kelas.
Maka mafhum mukhalafah-nya, 45 orang sisanya naik kelas.
-=-=-=-=-=-
http://abul- jauzaa.blogspot. com/2009/ 09/ali-bin- abi-thaalib- radliyallaahu- anhu.html
‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu Mempunyai Ilmu yang Lebih Tinggi daripada Semua Shahabat
Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa' : di 08:35
Label: Syi'ah
Dari ‘Amr bin Hubsyiy ia berkata : Al-Hasan bin ‘Aliy pernah berkhutbah kepada kami setelah
terbunuhnya ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma. Ia pun berkata :
ليبعثه وسلم عليه الله صلى الله رسول كان ان اآلخرون أدركه وال بعلم األولون سبقه ما باألمس رجل فارقكم لقديرصدها كان عطائه من درهم سبعمائة اال بيضاء وال صفراء من ترك وما له يفتح حتى ينصرف فال الراية ويعطيه
ألهله لخادم“Sungguh kemarin telah meninggal seorang laki-laki yang tidak didahului orang-orang terdahulu dan
kemudian dalam hal ilmu. Apabila Rasulullah shallalla ahu ‘alaihi wa sallammemberinya bendera
(kepemimpinan) , maka ia tidaklah kembali hingga diberikan kemenangan baginya. Dan tidaklah ia
meninggalkan dinar dan dirham kecuali 700 dirham yang berasal dari pemberian (Rasulullah shallall
aahu ‘alaihi wa sallam) yang ia persiapkan untuk pembantu keluarganya”.
Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad 1/199, Fadlaailus h-Shahaabah no. 922 dan Az-
Zuhd hal. 133; serta Ibnu Abi Syaibah 12/75. Diriwayatkan juga oleh Ahmad 1/199, Ath-Thabaraniy
no. 2717-2725, Ibnu Abi Syaibah 12/73-74, Ibnu Hibbaan no. 6936, Ibnu Sa’d 3/38-39, An-Nasa’iy
dalam Al-Kubraa no. 8408, dan yang lainnya dari jalan Ibnu Hubairah.
Atsar ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth serta dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad
Syaakir dan Asy-Syaikh Dr. Wasiyullah ‘Abbas. Dan kedudukannya adalah sebagaimana yang
mereka sebutkan (maqbul).
Sebagian orang Syi’ah menggunakan atsar ini untuk menyatakan keilmuan ‘Aliy berada di atas
semua shahabat tanpa terkecuali. Tidak Abu Bakr, tidak ‘Umar, dan tidak juga ‘Utsman radliyallaahu
‘anhum. Tentu saja enggapan ini keliru lagi tertolak.
Tanggapan :
Perlu diketahui bahwa riwayat di atas]1] bukan merupakan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
namun merupakan perkataan Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma. Jadi statusnya adalah mauquf.
Sanjungan tersebut dikatakan Al-Hasan bin ‘Aliy saat terjadi fitnah beberapa saat setelah terbunuhnya
‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaah u ‘anhu secara dhalim oleh ‘Abdurrahman bin Muljam – semoga
Allah memberikan balasan setimpal atas dosa-dosanya. Banyak orang terfitnah sehingga membenci
‘Aliy dan merendahkan kedudukannya. Kemudian, Al-Hasan bin ‘Aliy tampil di atas mimbar untuk
mengingkari mereka dan menegaskan keutamaan ‘Aliy di sisinya dan di sisi shahabat secara umum.
Dan memang, ‘Aliy bin Abi Thaalib merupakan shahabat yang paling afdlal saat itu]2].
Apa yang dikatakan Al-Hasan bukan dimaksudkan untuk mengunggulkan ‘Aliy di atas Abu Bakr,
‘Umar, dan ‘Utsman radliyallaahu ‘anhum ajma’iin. Uslub yang dipakai oleh Al-Hasan bin
‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma ini mirip dengan yang dilakukan kakeknya, yaitu Rasulullahshallalla ahu
‘alaihi wa sallam. Misalnya saja saat beliau menyebutkan keutamaan Usamah bin Zaid dan ayahnya
(Zaid bin Haritsah) radliyalla ahu ‘anhuma saat orang-orang tidak menerima keputusan beliau yang
telah mengangkat Usamah menjadi panglima perang dan cenderung merendahkan kedudukannya :
: عن فطعن زيد، بن أسامة عليهم وأمر بعثا، وسلم عليه الله صلى النبي بعث قال عنهما الله رضي عمر بن الله عبد
) : أبيه إمارة في تطعنون كنتم فقد إمارته، في تطعنوا إن وسلم عليه الله صلى النبي فقال إمارته، في الناس بعضبعده إلي الناس أحب لمن هذا وإن إلي، الناس أحب لمن وكان وإن لإلمارة، لخليقا كان إن الله وايم قبل، )من .
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
memberangkatkan pasukan dengan menunjuk Usamah bin Zaid sebagai panglima. Kemudian ada
sejumlah orang yang mencela/mengkritik tentang kepemimpinannya tersebut. Lalu Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika kalian mencela penunjukkan Usamah sebagai panglima berarti
kalian juga mencela penunjukkan ayahnya sebagai panglima pada masa sebelumnya. Demi Allah,
Zaid memang layak memimpin pasukan, dan dia tergolong orang yang paling aku cintai. Sedangkan
anaknya ini (Usamah) juga termasuk orang yang paling aku cintai” ]Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no.
3730, Muslim no. 2426, At-Tirmidziy no. 3816, Ahmad dalam Al-Musnad 2/110 danFadlaailush-
Shahaabah no. 1525].
Tentu saja perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah dimaksudkan untuk
mengunggulkan Zaid dan Usamah di atas Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum.
Inilah keyakinan Ahlus-Sunnah.
Kalaupun toh kita pahami tanpa memandang ‘illat riwayat, maka pujian atau sanjungan serupa (yaitu
pujian satu shahabat terhadap yang shahabat lainnya) semisal di atas adalah banyak. Misalnya
sanjungan Ibnu Mas’ud terhadap Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum :
: . عنه الله رضي عباس ابن القرآن ترجمان نعم يقول وكان قال Kأحد منا عاشره ما أسناننا أدرك عباس ابن أن .لو“Apabila Ibnu ‘Abbas menjumpai jaman kita, niscaya tidak ada seorang pun di antara kami yang dapat
menandingi (ilmu)-nya. Sebaik-baik penerjemah/penafsir Al-Qur’an adalah Ibnu ‘Abbas radliyallaahu
‘anhu” ]Diriwayatkan oleh Abu Khaitsamah dalam Al-‘Ilmu no. 49; Ahmad dalam Fadlaailush-
Shahabah no. 1860, 1861, 1863; Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 2/366; dan yang lainnya - shahih].
Sanjungan Qabiishah bin Jaabir terhadap ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhuma :
عمر : من الله دين في أفقه وال الله لكتاب أقرأ وال بالله أعلم قط رجال رأيت ما قال جابر، بن قبيصة .عن
Dari Qabiishah bin Jaabir, ia berkata : “Tidaklah aku melihat seorang laki-laki pun yang lebih
mengetahui (berilmu) terhadap Allah, lebih bagus bacaannya terhadap Kitabullah, dan lebih paham
terhadap agama dibandingkan ‘Umar” ]Diriwayatkan oleh Ahmad dalamFadlaailush- Shahaabah no.
472 dengan sanad shahih].
Atau bahkan sanjungan Rasulullah shallalla ahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adzradliyallaahu ‘anhu :
جبل بن معاذ والحرام بالحالل وأعلمهم“Dan orang yang paling mengerti tentang halal dan haram di antara mereka, (yaitu) Mu’adz bin Jabal”
]Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 3790, Ahmad 3/281, Ibnu Sa’d 2/341 dll., An-Nasa’iy dalam Al-
Kubraa no. 8242, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Atsar 808, Al-Baihaqiy 6/210, Ath-Thayalisiy
no. 2096, dan lainnya. Sanadnya shahih, sebagaimana dikatakan oleh Al-Albaniy dan Al-Arna’uth].
Tiga riwayat yang ‘sebanding’ di atas sudah barang tentu memberatkan orang Syi’ah untuk
menukilnya.
Pujian-pujian mereka (para shahabat) kepada yang lain menunjukkan bahwa mereka adalah orang-
orang yang tawadlu’ yang mengerti siapa saja yang harus ditinggikan dan siapa saja yang harus
direndahkan (yaitu orang-orang munafik dan kafir). Setiap shahabat mempunyai keutamaan. Dan di
antara keutamaan-keutamaan yang dimiliki, mereka semua telah berijma’ (sepakat) untuk
mengutamakan Abu Bakr dan ‘Umar dibandingkan shahabat yang lain – dalam keutamaan yang
bersifat global/umum (bukan keutamaan yang bersifat parsial).
Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma berkata :
نسكت ثم عثمان ثم عمر ثم بكر أبو وسلم عليه الله صلى الله رسول عهد على نفاضل كنا“Kami mengutamakan di jaman Rasulullah shallalla ahu alaihi wa sallam : Abu Bakr, kemudian ‘Umar,
kemudian ‘Utsman, kemudian kami diam” ]Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 7251, Ibnu Abi Syaibah
12/9, Ahmad 2/14, Ibnu Abi ‘Aashim no. 1195, dan Ath-Thabaraniy no. 13301; shahih].
Bahkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaah u ‘anhu sendiri yang menegaskan keutamaan mereka
berdua.
أبو : : نبيها، بعد األمة هذه بخير أخبركم أال يقول وهو المنبر على يخطب وهو عليا سمعت قال حريث، بن عمرو عن
عمر الثاني فإن بالثاني أخبركم أال .بكر،Dari ‘Amr bin Hariits, ia berkata : Aku pernah mendengar ‘Aliy berkhutbah di atas mimbar. Ia berkata :
“Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang sebaik-baik umat ini setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam ? yaitu Abu Bakr. Maukah aku beritahukan kepada kalian yang kedua ? yaitu ‘Umar”
]Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush- Shahaabah no. 398 dengan sanad hasan].
أسمي : أن شئت ولو وعمر، بكر أبو نبيها بعد األمة هذه أخيار ألعرف إني قال علي عن الوالبي ربيعة بن علي عنلفعلت .الثالث
Dari ‘Aliy bin Rabii’ah Al-Waalabiy, dari ‘Aliy, ia berkata : “Sesungguhnya aku mengetahui sebaik-
sebaik umat ini setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. (Yaitu) Abu Bakr dan ‘Umar. Jika saja aku
ingin untuk menyebutkan yang ketiga, niscaya aku lakukan” ]Diriwayatkan oleh Ahmad
dalam Fadlaailush- Shahaabah no. 428 dengan sanad hasan].
: . المؤمنين، : أمير يا قلت وسلم عليه الله صلى الله رسول بعد الناس أفضل عليا أن أرى كنت قال جحيفة أبي عن
: . الناس بأفضل جحيفة أنا يا أحدثك أوال قال منك أفضل الله رسول بعد من المسلمين من أحدا أن أرى أكن لم إنيالله : ! : : رسول بعد الناس بخير أخبرك أفال قال بكر، أبو قال بلى قلت ؟ وسلم عليه الله صلى الله رسول بعد
قال : : ! فديتك بلى قلت قال ؟ بكر عمر : وأبي .
Dari Abu Juhaifah, ia berkata : “Aku dulu berpendapat bahwa ‘Aliy adalah orang yang paling utama
setelah Rasulullah shallalla ahu ‘alaihi wa sallam”. Aku berkata : “Wahai Amiirul-Mukminin,
sesungguhnya aku tidak berpandangan ada seseorang dari kalangan kaum muslimin setelah
Rasulullah shallalla ahu ‘alaihi wa sallam lebih utama daripada engkau”. Ia (‘Ali bin Abi Thaalib)
berkata : “Tidakkah engkau mau aku beritahukan kepadamu wahai Abu Juhaifah tentang orang yang
paling utama setelah Rasulullahshallalla ahu ‘alaihi wa sallam ?”. Aku berkata : “Tentu”. ‘Ali berkata :
“Abu Bakr”. Kemudian ia melanjutkan : “Tidakkah engkau mau aku beritahukan kepadamu orang yang
paling baik setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr ?”. Aku menjawab : “Tentu,
berilah kami penjelasan”. ‘Aliy berkata : “Umar” ]Diriwayatkan oleh Ahmad dalamFadlaailush-
Shahaabah no. 404; shahih li-ghairihi) .
: : : : قال بكر، أبو قال وسلم؟ عليه الل�ه صلى الل�ه رسول بعد خير الناس Vأي ألبي قلت قال الحنفية بن محمد عن : : : : إال: أنا ما قال ؟ أبت@ يا أنت ثم فقلت عثمان، فيقول من؟ ثم أقول أن خشيت ثم قال عمر، ثم قال من؟ ثم قلت
المسلمين من .رجلDari Muhammad bin Al-Hanafiyyah, ia berkata : Aku bertanya kepada ayahku (yaitu ‘Ali bin Abi
Thaalib radliyalaahu ‘anhu) : “Siapakah manusia yang paling baik setelah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Abu Bakr”. Aku bertanya : “Kemudian siapa ?”. Ia menjawab :
“Kemudian ‘Umar”. Muhammad bin Al-Hanafiyyah berkata : “Kemudian aku khawatir untuk
menanyakan 'kemudian siapa' (setelah ‘Umar), lalu menjawab : 'Utsmaan. Aku kembali bertanya :
“Kemudian setelah itu engkau wahai ayahku ?”. Ia menjawab : “Aku hanyalah seorang laki-laki dari
kalangan kaum muslimin” ]Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3671, Abu Daawud no. 4629, dan yang
lainnya].
Kalaupun misal kita pertentangkan – (dan sebenarnya kita tidak pernah mempertentangkannya ) –
antara perkataan Al-Hasan bin ‘Aliy dengan ‘Aliy yang dua-duanya membicarakan tentang diri
‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma; siapakah yang lebih pantas untuk didahulukan ? Tentu saja perkataan
‘Aliy tentang dirinya-lah yang lebih didahulukan daripada selainnya, sebagaimana ma'ruf dalam
kaidah-kaidah tarjih ilmu ushul.
Bila kita ikuti logika bathil kaum Syi’ah Rafidlah yang berdalil dengan riwayat Al-Hasan bin ‘Aliy di atas
bahwa ‘Aliy itu adalah orang yang paling berilmu dibandingkan seluruh shahabat, maka kita akan
menemui beberapa ‘kesulitan’ sebagai berikut :
1. Hadits ditunjuknya Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu sebagai imam shalat pengganti beliaushallallaahu
‘alaihi wa sallam menjelang wafatnya.
: : عليه الله صلى الله رسول مرض عن تحدثيني أال لها فقلت عائشة على دخلت قال عبدالله؛ بن عبيدالله عن . : وسلم عليه الله صلى النبي ثقل بلى قالت ! . وسلم؟ . . : " الله " رسول يا ينتظرونك وهم ال قلنا الناس؟ أصلى فقال
. . . " فقال " أفاق ثم عليه فأغمي لينوء ذهب ثم فاغتسل ففعلنا المخضب في ماء لي ضعوا : "قال " قلنا الناس؟ أصلى . . . " " ! . عليه. فأغمي لينوء ذهب ثم فاغتسل ففعلنا المخضب في ماء لي ضعوا فقال الله رسول يا ينتظرونك وهم ال . " " ! . . : " " . ففعلنا المخضب في ماء لي ضعوا فقال الله رسول يا ينتظرونك وهم ال قلنا الناس؟ أصلى فقال أفاق ثم
. فقال. أفاق ثم عليه فأغمي لينوء ذهب ثم فاغتسل" ! . : " الله رسول ينتظرون المسجد في عكوف والناس قالت الله رسول يا ينتظرونك، وهم ال فقلنا الناس؟ أصلى . يصلي أن بكر، أبي إلى وسلم عليه الله صلى الله رسول فأرسل قالت اآلخرة العشاء لصالة وسلم عليه الله صلى . : وكان. بكر، أبو فقال بالناس تصلي أن يأمرك وسلم عليه الله صلى الله رسول إن فقال الرسول فأتاه بالناس
: . ! : بذلك أحق أنت عمر فقال قال بالناس صل عمر يا رقيقا . . رجال رسول إن ثم األيام تلك بكر أبو بهم فصلى قالت . . يصلي بكر وأبو الظهر لصالة العباس، أحدهما رجلين بين فخرج خفة نفسه من وجد وسلم عليه الله صلى الله
. فأومأ. ليتأخر ذهب بكر أبو رآه فلما بالناس " . جنبه إلى أجلساني لهما وقال يتأخر ال أن وسلم عليه الله صلى النبي . " إليه أبو وكان بكر أبو جنب إلى فأجلساه
. . عليه الله صلى والنبي بكر أبي بصالة يصلون والناس وسلم عليه الله صلى النبي بصالة قائم وهو يصلي بكرقاعد .السالم
Dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah, ia berkata : Aku pernah masuk ke tempat ‘Aisyahradliyallaahu ‘anhaa,
lalu aku bertanya kepadanya : “Tidakkah engkau sudi memberitahuku tentang sakit
Rasulullah shallalla ahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Tentu. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam sakit berat. Beliau bertanya : ‘Apakah orang-orang telah shalat ?’. Kami menjawab : ‘Belum,
mereka menunggumu wahai Rasulullah’. Beliau bersabda : ‘Ambilkan aku air dalam bejana’. Kami pun
mengambilkannya. Beliau mandi, lalu keluar hendak menuju pintu masjid, kemudian beliau pingsan.
Setelah sadar beliau bertanya : ‘Apakah orang-orang sudah shalat ?’. Kami menjawab : ‘Belum,
mereka menunggumu wahai Rasulullah’. Beliau bersabda :‘Ambillkan aku air dalam bejana’. Kami pun
mengambilkannya. Kemudian beliau mandi, lalu keluar menuju masjid, namun beliau pingsan lagi.
Setelah sadar, beliau bertanya :‘Apakah orang-orang sudah
shalat ?’. Kami menjawab : ‘Belum, mereka menunggumu wahai Rasulullah’. ‘Aisyah berkata : “Ketika
itu orang-orang beri’tikaf dimasjid sambil menunggu Rasulullah shallalla ahu ‘alaihi wa sallam untuk
shalat ‘Isya’. Maka Rasulullahshallalla ahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepada Abu Bakr
untuk mengimami shalat. Utusan itu menemui Abu Bakr, lalu berkata : ‘Sesungguhnya
Rasulullahshallalla ahu ‘alaihi wa sallam menyuruhmu untuk menjadi imam shalat’. Abu Bakr – dan dia
adalah orang yang sangat halus perasaannya – berkata : ‘Wahai ‘Umar, imamilah orang-orang
shalat !’. ‘Umar menjawab : ‘Engkau lebih berhak menjadi imam’. Maka Abu Bakr menjadi mam shalat
selama beberapa hari. Kemudian Rasulullah shallalla ahu ‘alaihi wa sallam merasa tubuhnya agak
sehat. Lalu beliau keluar untuk shalat Dhuhur dengan dipapah oleh dua orang, salah satunya adalah
Al-‘Abbas radliyalaahu ‘anhu. Pada saat Abu Bakr akan
menjadi imam shalat, ia melihat Rasulullah shallalla ahu ‘alaihi wa sallam, lalu mundur. Maka,
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberinya isyarat agar ia jangan mundur. Nabi berkata kepada
kedua orang yang memapah beliau :Dudukkan aku di samping Abu Bakr’. Abu Bakr shalat dengan
berdiri mengikuti shalat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan orang-orang mengikuti shalat
Abu bakr. Dan Nabi (ketika itu) shalat sambil duduk” ]Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 713 dan
Muslim no. 418].
Dalam hadits di atas Rasulullah shallalla ahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Abu Bakrradliyallaahu
‘anhu sebagai pengganti beliau menjadi imam shalat. Padahal di situ ada ‘Umar, ‘Utsman, dan tentu
saja ‘Ali bin Abi Thaalib – bersama para shahabat lainnyaradliyallaah u ‘anhum. Jika saja memang
ilmu ‘Ali bin Abi Thaalib itu adalah paling tinggi di antara shahabat, mengapa beliau tidak
menunjuknya sebagai pengganti imam shalat. Padahal, dalam syari’at, hukum secara umum
menyatakan seorang imam diangkat atau ditunjuk berdasarkan keutamaan yang ia miliki. Ia ditunjuk
berdasarkan kriteria orang yang paling bagus/hapal dan faqih dalam Al-Qur’an-nya.
. " : كانوا فإن الله لكتاب أقرؤهم القوم يؤم وسلم عليه الله صلى الله رسول قال قال األنصاري؛ مسعود أبي عن . . . . سواء، الهجرة في كانوا فإن هجرة فأقدمهم سواء السنة في كانوا فإن بالسنة فأعلمهم سواء القراءة في
. . بإذنه إال تكرمته على بيته في يقعد وال سلطانه في الرجل الرجل يؤمن وال سلما "فأقدمهمDari Abu Mas’uud Al-Anshaariy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallalla ahu ‘alaihi wa
sallam : “Yang berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus/banyak hafalan/faqih Al-
Qur’an-nya. Kalau dalam Al-Qur’an kemampuannya sama, dipilih yang paling mengerti tentang As-
Sunnah. Kalau dalam As-Sunnah juga sama, maka dipilih yang lebih dahulu berhijrah. Kalau dalam
berhijrah sama, dipilih yang lebih dahulu masuk Islam. Janganlah seseorang mengimami orang lain
dalam wilayah kekuasannya, dan janganlah ia duduk di rumah orang lain di tempat duduk
khusus/kehormatan untuk tuan rumah tersebut tanpa ijin darinya” ]Diriwayatkan oleh Muslim no. 673].
Penunjukkan beliau di sini bukanlah penunjukkan yang bersifat kebetulan. Tentu saja
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memikirkan dengan matang penunjukan ini. Tidaklah beliau
memilih Abu, kecuali dengan pertimbangan keutamaannya dan ilmu yang ia miliki. Pertanyaannya :
‘Mengapa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menunjuk ‘Ali bin Abi Thaalib jika memang ia
memiliki keutamaan dan ilmu yang paling tinggi tinggi di antara shahabat ? Tidak ada yang
menghalangi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menunjuk ‘Aliy jika memang beliau
menghendakinya dan lebih layak dibanding lainnya
Kita di sini tidak akan pernah beralasan bahwa ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaah u ‘anhumembelot tidak
hadir dalam shalat berjama’ah. Jika alasan itu dipakai, sama saja kita menuduh ‘Aliy radliyallaahu
‘anhu menjadi bagian orang-orang munafiq. Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ’anhu berkata :
@ي? تE ?أ ي Bى ح?ت Eن@ ?ي ل ج< ر? Eن? ?ي ب ?مEش@ي ?ي ل Eم?ر@يض< ال ?ان? ك Eن@ إ Kم?ر@يض Eو
? أ @ف?اق<ه< ن @م? ع<ل Eق?د Kاف@ق? م<ن Bال@ إ ة@ الصBال? Eع?ن ?خ?لBف< ?ت ي و?م?ا ?ا <ن Eت ي? أ ر? Eق?د? ل
Bذ@ي ال ج@د@ Eم?سE ال ف@ي ة? الصBال? Eه<د?ى ال ?ن@ ن س< Eم@ن Bن@ و?إ Eه<د?ى ال ?ن? ن س< ?ا Bم?ن ع?ل لBم? و?س? Eه@ ?ي ع?ل Bه< الل ص?لBى Bه@ الل ول? س< ر? Bن@ إ و?ق?ال? ة? الصBال?ف@يه@ <ؤ?ذBن< ي
”Sungguh aku telah melihat keadaan kami (yaitu keadaan para shahabat)! Tidaklah ada yang
meninggalkan shalat berjama’ah (di masjid) kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya; atau
orang yang yang sakit. Jika ia seorang yang sakit, tentu ia bisa berjalan dengan dipapah oleh dua
orang sehingga dia bisa mendatangi shalat berjama’ah. Sesungguhnya Rasulullah shallalla ahu ’alaihi
wasallam telah mengajarkan kepada kita ’sunnah-sunnah huda’ (= ajaran agama). Dan di antara
sunnah-sunnah huda tersebut adalah shalat berjama’ah di masjid yang di dalamnya dikumandangkan
adzan” ]Diriwayatkan oleh Muslim no. 654].
Na’uudzubillahi min dzaalik !! Sungguh jauh beliau (‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaah u ‘anhu) dari
kemunafikan.
2. Hadits tentang wasiat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menemui Abu Bakrradliyallaahu
‘anhu sepeninggal beliau.
. ترجع أن فأمرها شيئا وسلم عليه الله صلى الله رسول سألت امرأة أن أبيه؛ عن مطعم، بن جبير بن محمد عن " - : - ! : أبا. فأتي تجديني لم فإن الموت تعني كأنها أبي قال أجدك؟ فلم جئت إن أرأيت الله رسول يا فقالت إليه."بكرDari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya : Bahwasannya ada seorang wanita bertanya
kepada Rasulullah shallalla ahu ‘alaihi wa sallam tentang sesuatu perkara. Maka beliau
memerintahkannya untuk kembali lagi (di lain waktu). Maka wanita itu berkata : “Wahai Rasulullah,
bagaimana menurutmu jika aku datang namun aku tidak dapat menemuimu ?” – Ayahku (Jubair bin
Muth’im) berkata : ‘Sepertinya yang ia maksudkan jika beliau wafat’ - . Maka beliau
bersabda : “Apabila engkau tidak dapat menemuiku, maka temuilah Abu Bakr” ]Diriwayatkan oleh Al-
Bukhari no. 3659, Muslim no. 2386, dan yang lainnya].
Perintah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menemui Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu bukanlah
berkaitan dengan hutang-piutang atau sejenisnya. Jika memang ini yang dimaksud, tentu
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan untuk menemui ‘Aliy bin Abi
Thaalib radliyallaah u ‘anhu karena ia merupakan keluarga beliau yang terdekat.
Perintah ini adalah berkaitan dengan permasalahan yang ditanyakan oleh si wanita tadi. Dan objek
yang dijadikan pengganti beliau sbagai tempat bertanya, tentu mempunyai kapasitas ilmu untuk
menyelesaikannya. Tidaklah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mewariskan sesuatu yang lebih
berharga dibandingkan ilmu. Dan ilmu itulah yang telah terwarisi oleh Abu Bakr radliyallaahu
‘anhu untuk menyelesaikan permasalahan sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
العلم : ورثوا إنما درهما وال دينارا يورثوا لم األنبياء إن األنبياء ورثة العلماء إن وسلم عليه الله صلى الله رسول قالوافر بحظ أخذ به أخذ فمن
Telah bersabda Rasulullah shallalla ahu ‘alaihi wa sallam : “Sesunguhnya ulama itu pewaris para nabi.
Dan sesungguhnya para nabi itu tidaklah mewariskan dinar dan dirham, namun mereka hanyalah
mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, dia telah mengambil bagian yang
sempurna” ]Diriwayatkan oleh Ahmad 5/196, At-Tirmidzi no. 2682, Ad-Daarimiy no. 349, Abu Dawud
no. 3641, Ibnu majah no. 223, dan yang lainnya – shahih].
Tidak mungkin beliau menunjuk seseorang jika tidak punya alasan bukan ?
Pertanyaannya : “Jika memang ‘Aliy bin Abi Thaalb dinyatakan sebagai orang yang paling berilmu
seantero shahabat, mengapa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menunjuknya untuk
menyelesaikan perkara sepeninggal beliau ?”. Logikanya, jika memang beliau meyakini apa yang
diinginkan Syi’ah, tentu beliau akan menunjuk ‘Aliy. Apalagi sifat penunjukkan ini adalah satu hal yang
longgar, dapat dipikirkan dan diputuskan melalui pertimbangan, sebagaimana kasus yang pertama.
Bukan merupakan keadaan tergesa-gesa, khusus, atau darurat yang membolehkan meninggalkan
sesuatu lebih utama kepada yang kurang utama. Tentu saja beliau memikirkan yang terbaik bagi
umatnya sepeninggal beliau nanti.
Maka, teranglah bagi kita bahwa pemahaman Syi’ah dengan menggunakan atsar Al-Hasan bin
‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma di atas adalah salah.
]Abu Al-Jauzaa’ – 9 Syawwal 1430 H].
Top Related