BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul
Model Sinergisitas Dalam Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis
UMKM
B. Latar Belakang Masalah
B.1. Pemberdayaan Masyarakat
Manusia dalam pembangunan ekonomi adalah subyek ( pelaku ) yang
sekaligus obyek ( penerima hasil pembangunan ). Sebagai subyek ia harus
dilibatkan dalam proses pembangunan. Pemberdayaan berarti upaya apa yang
perlu dilakukan agar masyarakat dapat secara langsung didorong ke posisi
‘terlibat’ dalam proses tersebut. Pemberdayaan mempunyai arti yang lebih luas
dibandingkan dengan penyediaan lapangan/ kesempatan kerja, karena meliputi
faktor yang lebih kompleks antara lain alur pikir sistem, faktor nilai yang dianut,
persepsi, motivasi, kualitas manusia, sumber daya alam dan iptek yang digunakan.
Semua faktor tersebut harus dapat diintegrasikan melalui dimensi proses yang
benar. Apabila pemberdayaan tidak bisa berjalan dengan lancar maka akan
menimbulkan kesenjangan baik ekonomi maupun sosial. ( Syafaruddin Alwi,
1997). Kesenjangan ekonomi di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh masalah-
masalah struktural, sehingga tindakan penanggulangan yang dilakukannjuga harus
berdimensi struktural pula. Strategi pembangunan yang berorientasi pertumbuhan
ekonomi harus diganti yang berorientasi pemerataan ekonomi dan pertumbuhan
sosial.
Pada masa mendatang penanggulangan kemiskinan harus disusun secara
partisipatif dan terintegrasi dengan melibatkan seluruh stakeholder masyarakat di
1
mana strategi penanggulangan kemiskinan yang disusun harus mengacu pada
Millenium Development Goals (MDGs). Pembangunan Partisipatif yang
mengandung pengertian tumbuhnya pemberdayaan masyarakat merupakan suatu
proses untuk meningkatkan aset dan kemampuan masyarakat terutama yang
miskin dan terpinggirkan menuju keswadayaan dan kemandirian. Secara lebih
detail, kemiskinan di Indonesia bisa ditunjukkan dengan diagram akar
permasalahan kemiskinan sebagai berikut :
2
Ketidakberdayaan masyarakat miskin
Terhambatnya mobilitas sosial
Rendahnya keterlibatan dlm ekonomi produktif
Ketiadaan partisipasi dlm penentuan
kebijakan publik
Terbatasnya kapasitas pengemb
potensi diri
Kterasingan sosial
Rendahnya kmampuan
akses kesempatan
usaha
Menyempitnya
kesempatan ekonomi/
usaha
Ketiadaan representasi
si miskin
Terbatsanya ruang publik
Kondisi ksehatan & pendidikan
Rendahnya motivasi pengemb diri
Tertekannya ksadaran hak dasar
Lemahnya modal sosial
Hilangnya kpercayaan sosial
Disfungsi klembagaan lembaga sosial
Tbatasnya kepemilikan aset produktif
Lemahnya sumber daya modal usaha
Rendahnya tk kwirausahaan sosial
Kpincangan distribusi kekayaan
Kecurangan praktek bisnis
Degradasi sumber daya alam dan lingkungan
Lemahnya swa organisasi
Krg berkembangnya kepemimpinan kelompok
Lemahnya jejaring kaum miskin
Birokrasi tll berkuasa
Elit politik yg tidak responsif
Tata pemerintahan yang otokratis
Sosio ekonomi
Sosio politikSosio kultural
Akar masalah kemiskinan multi dimensional
Gambar 1.1 Akar masalah Kemiskinan
Terdapat 3 dimensi pokok pemberdayaan masyarakat yaitu :
1. Inti : Investasi untuk meningkatkan aset dan kemampuan masyarakat
miskin, baik sebagai individu maupun secara kolektif. Arah : Kemampuan
memecahkan masalah secara swadaya dan meningkatkan daya tawar
dalam hubungan kelembagaan.
2. Penunjang : Reformasi kelembagaan kepemerintahan menuju good
gevernance dan akuntabilitas publik, baik akibat tuntutan masyarakat
maupun karena keharusan penyesuaian dengan pergeseran paradigma
pembangunan
3. Mekanisme : Merubah tata hubungan kekuasanaan melalui proses
dialogis/ interaktif menuju tata hubungan berdasarkan kesetaraan ,
keadilan dan kemartabatan.
Dari 3 dimensi pokok pemberdayaan masyarakat tersebut, maka
penanggulangan kemiskinan harus komprehensif. Mulai dari peningkatan
pendidikan dan ketrampilan, penyediaan kesempatan kerja dan berusaha sampai
kepada penyiapan lembaga – lembaga pendukung. Masyarakat didukung untuk
mengembangkan wirausaha baru yang berbasis pada pengembangan ekonomi
lokal.
B.2. Peran Pemerintah dalam Pembinaan UMKM
Pengembangan usaha mikro kecil menengah dan penumbuhan wirausaha
baru merupakan suatu usaha nyata dalam kerangka penyuksesan RPJP ( Rencana
Pembangunan Jangka Panjang ) tahun 2005 – 2025. Pembangunan bidang UKM,
secara eksplisit ditujukan pada upaya untuk mewujudkan bangsa yang berdaya-
saing dalam rangka memperkuat perekonomian domestik dengan orientasi dan
3
berdaya saing global. Selaras dengan RPJP tahun 2005-2025, pemerintah telah
menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2005-2009
yang memuat tiga agenda penting sebagai pijakan untuk mencapai tujuan
pembangunan, salah satunya adalah mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera.
Pemerintah melalui kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah,
dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, secara tegas menyusun
RPJM tahun 2004-2009, dengan menetapkan prioritas dan arah kebijakan
pembangunan di bidang Koperasi dan UKM, pada:
1. Mengembangkan usaha kecil dan menengah (UKM) agar
memberikankontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan daya saing;
2. Mengembangkan usaha skala mikro dalam rangka peningkatan
pendapatan pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah;
3. Memperkuat kelembagaan dengan menerapkan prinsip-prinsip tata
kepemerintahan yang baik (good governance) dan berwawasan gender
dengan cara memperbaiki lingkungan usaha dan menyederhanakan
prosedur perijinan, memperluas akses kepada sumber permodalan
khususnya perbankan, memperluas dan meningkatkan kualitas institusi
pendukung yang menjalankan fungsi intermediasi sebagai penyedia
jasa pengembangan usaha, teknologi, manajemen, pemasaran dan
informasi;
4. Memperluas basis dan kesempatan berusaha serta menumbuhkan
wirausaha baru berkeunggulan, termasuk mendorong peningkatan
ekspor;
5. Meningkatkan UMKM sebagai penyedia barang dan jasa pada pasar
domestik, khususnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak;
dan
4
6. Meningkatkan kualitas kelembagaan koperasi sesuai dengan jati diri
koperasi.
Pemerintah telah memberikan perhatian yang besar terhadap upaya
pemberdayaan koperasi dan UKM. Konsekuensinya upaya pemberdayaan UKM
menangung beban berat untuk membuktikan sebagai bagian penting dalam
meningkatkan kesejahteraan dan daya saing ekonomi nasional. Secara lebih
detail, pola – pola pembinaan dan pengembangan UMKM yang dilakukan
pemerintah berwujud sebagai berikut :
1. Program penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif. Program ini bertujuan
untuk membukan kesempatan berusaha seluas-luasnya, serta menjamin
kepastian usahan dengan memperhatikan kaidah efisiensi ekonomi sebagai
prasyarat untuk berkembangnya PKMK. Sedangkan sasaran yang akan
dicapai adalah menurunnya biaya transaksidan meningkatnya skala usaha
PKMK dalam kegiatan ekonomi.
2. Program Peningkatan Akses kepada Sumber Daya Produktif. Tujuan
program ini adalah meningkatkan kemampuan PKMK dalam memanfaatkan
kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber daya
lokal yang tersedia. Sedangkan sasarannya adalah tersedianya lembaga
pendukung untuk meningkatkan akses PKMK terhadap sumber daya
produktif, seperti SDM, modal, pasar, teknologi dan informasi.
3. Program Pengembangan Kewirausahaan dan PKMK Berkeunggulan
Kompetitif. Tujuannya untuk mengembangkan perilaku kewira-usahaan serta
meningkatkan daya saing UKMK. Sedangkan sasaran adalah meningkatnya
pengetahuan serta sikap wirausaha dan meningkatnya produktivitas PKMK.
Dengan berbagai upaya dan program pemerintah yang tercantum dalam
propenas ( program pokok pembangunan nasional ) tahun 2000 – 2004,
5
khususnya dalam pembinaan UMKM yang disinergiskan dengan potensi dan
peran yang strategis, maka UKM akan menjadi kekuatan untuk menggerakkan
kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus dapat menjadi tumpuan dalam
meningkatkan kesejahteraannya. Setidaknya selama ini UKM telah mampu
memberikan kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja terbesar secara nasional
dan meningkatkan ekspor, serta dalam pembentukan PDB nasional. Di sisi lain,
struktur ekonomi Indonesia yang dalam kenyataannya didominasi oleh ekonomi
rakyat, merupakan kekuatan ekonomi nasional yang sesungguhnya. Di sinilah
UKM merupakan faktor penting untuk meningkatkan produktivitas dan daya
saing nasional, yang selama ini terabaikan. Peran ini telah dijalankan UKM,
setidaknya pada masa krisis ekonomi 2000-2008 menjadi katup pengaman
perekonomian nasional, serta sebagai dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca
krisis.
Salah satu keunggulan terbesar dari UMKM adalah kemauan mereka
untuk memperjuangkan usaha yang dimiliki, misalnya ketika usaha skala besar
masih terus merengek dengan tingkat bunga bank sebesar 18% per tahun,
UMKM tetap dapat bertahan dengan tingkat bunga 5% / bulan atau hampir 60 %
per tahun, dalam jeratan lintah darat. Hasil sensus ekonomi menunjukkan bahwa
dari 22.727.441 usaha / perusahaan di Indonesia 12,8 juta perusahaan atau 56,5 %
berusaha pada lokasi yang permanen dan 9,9 juta berusaha pada lokasi tidak
permanen ( khususnya dilakukan oleh usaha mikro kecil. Kondisi di Jawa Tengah
juga menunjukkan bahwa dari 3,69 juta usaha terdapat 2,22juta atau sekitar 60,26
% berusaha di lokasi permanen sedangkan sisanya yang 1,47 juta atau 39,74%
berusaha pada lokasi yang tidak permanen atau berpindah – pindah. Yang
dimaksud dengan lokasi tidak permanen misalnya usaha keliling, usaha kakilima,
usaha yang menggunakan fasum ( trotoar jalan, taman, pinggir rel KA, Bantaran
sungai, dibawah jembatan layang ). Namun hal ini tidak mempengaruhi bahwa
6
secara nyata mereka mampu menggerakkan roda perekonomian dan memberikan
sumbangan yang cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Menurut Hoselitz dalam Dwi Prasetyani ( 2008 ) menyebutkan bahwa
kunci utama keberhasilan UMKM dalam bertahan menghadapi berbagai krisis
adalah karena karakteristik UMKM yang cenderung berbiaya rendah. Selain itu
letak dan produk UMKM yang spesifik juga membuat mereka berbeda serta
memiliki pangsa pasar tersendiri. Dalam menproduksi barang maupun jasa
mereka lebih mudah beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat. Fleksibilitas
inilah yang menyebabkan mreka mampu bertahan dalam jangka waktu yang
relatif panjang.
Namun demikian UMKM secara mikro masih memiliki kinerja yang perlu
ditingkatkan, antara lain: tingkat produktivitas usaha dan produktivitas tenaga
kerja relatif rendah, nilai tambah produk rendah, pangsa pasar di dalam negeri dan
ekspor rendah, jumlah investasi rendah, jangkauan pasar terbatas, akses informasi
rendah, jaringan usaha terbatas, pemanfatan teknologi masih sangat terbatas,
permodalan dan akses pembiayaan terbatas, kualitas SDM terbatas, dan
manajemen yang umumnya belum profesional. Secara keseluruhan hal ini telah
melemahkan peran dan kemampuan bersaing KUKM dibanding pelaku usaha
lainnya.
Secara individu UMKM memang mampu bertahan dari berbagai hantaman
namun sebenarnya UMKM dapat tumbuh lebih cepat dan memberikan
sumbangan yang signifikan terhadap PDRB apabila kelemahan – kelemahan yang
dimilikinya bisa dihilangkan atau dieliminir sekecil mungkin. Beberapa
kelemahan dari usaha mikro kecil dan menengah meliputi
1. Kurangnya akses permodalan dan kredit, Bank Indonesia melalui divisi
PKM telah memberikan banyak kesempatan bagi UMKM untuk
menambah kemampuan modalnya dalam wujud kredit murah, namun
7
sampoai saat ini masih sangat sedikit UMKM yang mampu membuat
dirinya menjadi bankable. Hal ini disebabkan oleh belum tertatanya
manajemen dan keuangan
2. Kurangnya penyuluhan dan alih tehnologi, Kondisi sumber daya manusia
di UMKM yang masih terbatas menyebabkan mereka kurang mampu
untuk menerima alih tehnologi dengan memanfaatkan berbagai macam
tehnologi tepat guna yang saat ini banyak dikembangkan di perguruan
tinggi.
3. Minimnya desain dan standarisasi produk. Kurangnya pengertian
mengenai kualitas menyebabkan pengusaha dalam UMKM cenderung
tidak responsif terhadap berbagai macam peningkatan desain dan mutu
produk, di sisi lain standarisasi terhadap produk juga tidak pernah
dilakukan sehingga akan merugikan aspek pemasarannya
4. Pembukaan akses pemasaran baik dalam maupun luar negeri.
Pembukaan akses pasar bagi usaha mikro kecil dan menengah bukanlah
hal yang mudah, mereka dihadapkan pada kendala belum menguasai
tehnologi informasi dan kurangnya kemampuan untuk berkomunikasi
dengan pihak luar. Selama ini memang banyak sarana yang diberikan oleh
pemerintah kaitannya dalam pengembangan pemasaran usaha mikro kecil
dan menengah, namun lebih banyak yang berbiaya mahal atau
informasinya kurang sampai kepada UMKM.
Survey yang dilakukan oleh GTZ Red (Regional Economic Development),
sebuah lembaga di bawah pemerintah Jerman, terhadap iklim usaha di kabupaten
kota se Subosukawonosraten menunjukkan hasil bahwa 45 % pengusaha mikro
dan menengah mengalami masalah dengan akses pasar, 20% mempunyai
permasalahan mengenai peningkatan kualitas tenaga kerja di sektor usahanya dan
70% mempunyai permasalahan dengan akses permodalan. Hal tersebut
8
menunjukkan bahwa masih banyak permasalahan – permasalahan yang dihadapi
oleh UMKM khususnya dalam membangun jejaring baik yang sudah terpotret
dalam survey maupun belum.
Pertumbuhan ekonomi secara masyarakat khususnya melalui usaha mikro
kecil menengah mambutuhkan peran serta dan bantuan dari segenap pihak baik
pemerintah daerah, swasta maupun masyarakat. Pola kemitraan ini harus
dibangun dalam model sinergisitas yang mencakup pihak – pihak yang
berkompeten. Secara umum model yang direkomendasikan dalam pola – pola
kemitraan, adalah dengan memberikan peran yang setara antara tiga aktor
pembangunan yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Peran stakeholder
tersebut bisa diformulasikan dalam tabel sebagai berikut :
9
Tabel 1.3
Peran pemerintah, swasta dan masyarakat dalam proses pembangunan
Aktor Peran dalam
pembangunan
Bentuk output peran Fasilitasi
Pemerintah Formulasi dan
penetapan policy
(kebijakan),
implementasi,
monitoring dan
evaluasi dan sebagai
mediasi
Kebijakan : Politik,
umum, khusus/
sektoral,
penganggaran, juknis,
juklak, penetapan
indikator
keberhasilan,
peraturan hukum dan
penyelesaian masalah
sengketa
Sosialisasi, Dana,
jaminan, alat,
tehnologi,
networking, sistem
informasi manajemen,
edukasi
Swasta Kontribusi pada
formula,
implementasi,
monitoring dan
evaluasi
Konsultasi dan
rekomendasi
kebijakan, tindakan
dan langkah/ policy
action, implementasi,
donatur, private
investment,
pemeliharaan
Dana, alat dan
tehnologi, tenaga ahli
Masyarakat Partisipasi dalam
formulasi,
implementasi,
monitoring dan
evaluasi
Saran, input, kritik,
rekomendasi dan
dukungan dalam
kebijakan. Dana
swadaya, partisipan
dan pelaku utama
dalam pelaksanaan
serta menjadi social
control
Tenaga terdidik dan
terlatih
Sumber : Kemitraan & modal pemberdayaan, Ambar Teguh Sulistyani,2004
10
Kegiatan pengembangan ekonomi lokal partisipatif ini lebih bersifat
bottom up dan dikelola secara mandiri oleh kelompok dengan dibantu berbagai
unsur terkait baik di tingkat desa, kecamatan maupun kabupaten. Inti utamanya
adalah adanya partisipasi di mana masyarakat bertindak sebagai subyek bukan
obyek. Dalam ekonomi partisipatif, masyarakat sebagai salah satu unsur
stakaholder daerah akan menjadi penggerak utama dalam roda kegiatan ekonomi
di daerah. Kegiatan utama yang dilakukan adalah dengan need assesment tentang
kegiatan produktif apa yang akan dilakukan oleh daerah dan bagaimana peran
masing – masing stakeholder dalam pengembangan ekonomi. Dalam pelaksanaan
kegiatan ekonomi mulai dari perencanaan, sampai dengan evaluasi dilakukan
dengan kemitraan, yaitu sinergisitas antara pemerintah, swasta, masyarakat dan
elemen – elemen lain seperti lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi dan
legislatif.
Salah satu contoh penting dalam pengembangan kemitraan yang
mencakup sinergisitas adalah diberlakukannya CSR ( Corporate Social
Resposibility ), yaitu semacam Kepedulian atau tanggungjawab moral dari
perusahaan – perusahaan besar untuk memberikan bantuan kepada masyarakat
atau usaha kecil menengah dalam mengembangkan usahanya. Sebagai wujud
kepedulian dan dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi guna ikut
mewujudkan kesejahteraan masyarakat, maka pemerintah melalui Keputusan
Menteri BUMN No 236/2003 mewajibkan kepada BUMN untuk menyisihkan 1 –
2 % laba bersih perusahaan untuk program PKKBL yaitu Program Kredit
Kemitraan dan Bina Lingkungan. Terdapat 2 program yaitu Program Kemitraan
BUMN dengan Usaha Kecil adalah program untuk meningkatkan kompetensi
usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari
bagian laba BUMN. Sedangkan Program Bina Lingkungan adalah program
11
pemberdayaan kondisi sosial masyarakat di wilayah usaha BUMN melalui
pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Program PKKBL merupakan tindak
lanjut dari Program Pembiayaan Usaha Kecil dan Koperasi ( PUKK ) yang
didasari oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tanggal
27 Juni 1994.
B.3. Kebijakan Pembinaan UMKM di era otonomi daerah
Sejalan dengan kebijakan Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan
kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya maka
pembinaan usaha kecil, m eneng ah dan koperasi harus melibatkan seluruh
komponen di Daerah. Peran Pemerintah Daerah sebagai pelaksana kewenangan
penyelenggaraan pemerintahan Daerah Otonom akan sangat menentukan bagi
pembinaan UKMK.
Dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah maka pembinaan terhadap
usaha kecil, menengah dan koperasi perlu dirumuskan dalam suatu pola
pembinaan yang dapat memberdayakan dan mendorong peningkatan kapasitas
usaha kecil, menengah dan koperasi tersebut. Pola pembinaan tersebut harus
memperhatikan kondisi perkembangan lingkungan strategis yang meliputi
perkembangan global, regional dan nasional. Disamping itu juga pola pembinaan
tersebut hendaknya belajar kepada pengalaman pembinaan terhadap usaha kecil,
m eneng ah dan koperasi yang telah dilaksanakan selama ini. Pola pembinaan
terhadap usaha kecil, menengah dan koperasi yang ditawarkan untuk
meningkatkan kapasitas dan daya saingnya dalam rangka Otonomi Daerah antara
lain adalah :
a. Pelaksana program-program pokok pengembangan UKMK yang telah
diatur di dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-
12
2004 yang meliputi ; Program Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif,
Program Peningkatan Akses kepada Sumber Daya Produktif, dan Program
Pengembangan Kewirausahaan dan PKMK Berkeunggulan Kompetitif
secara terpadu dan berkelanjutan.
b. Pelaksanaan program-program pengembangan UKMK yang disusun
dengan memperhatikan dan disesuaikan kondisi masing-masing Daerah,
tuntutan, aspirasi dan kepentingan masyarakat, serta kemampuan Daerah.
c. Keterpaduan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, masyarakat, lembaga
keuangan, lembaga akademik dan sebagainya dalam melakukan
pembinaan dan pengembangan usaha kecil, m eneng ah dan koperasi.
d. Pemberdayaan SDM aparatur Pemerintah Daerah agar mampu
melaksanakan proses pembinaan dan pengembangan terhadap usaha kecil,
m eneng ah dan koperasi.
e. Pengembangan pewilayahan produk unggulan sesuai potensi dan
kemampuan yang dimiliki dalam suatu wilayah bagi usaha kecil, m eneng
ah dan koperasi dalama rangka meningkatkan daya saing.
f. Mensinergikan semua potensi yang ada di Daerah untuk meningkatkan
pengembangan usaha kecil, m eneng ah dan koperasi sehingga mampu
memberikan kontribusi bagi pengembangan implentasi kebijakan Otonomi
Daerah.
g. Sosialisasi tentang kebijakan perekonomian nasional dalam rangka
memasuki era pasar bebas AFTA (ASEAN Free Trae Area), APEC ( Asia
Pacific Cooperation) dan WTO (World Trade Organization) kepada
seluruh kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi.
Harapan yang diinginkan adalah bahwa melalui pola pembinaan yang
dikembangkan tersebut didapat outcomes yang yang bersinergi antara kebijakan
pembinaan usaha kecil, menengah dan koperasi dengan kebijakan Otonomi
13
Daerah. Sehingga antara kebijakan Otonomi Daerah dengan pembinaan usaha
kecil, m eneng ah dan koperasi terdapat simbiosis mutualisma. Implementasi
kebijakan Otonomi Daerah akan menentukan bagi keberhasilan pembinaan usaha
kecil, m eneng ah dan koperasi serta sebaliknya pelaksanaan pembinaan UKMK
akan mendorong keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah, dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
C. Perumusan Masalah
Banyak pihak saat ini memberikan perhatian serius dalam pengembangan
usaha kecil menengah. Pemerintah baik pusat maupun daerah mislanya saat ini
banyak memberikan angin segar dan peluang kepada usaha kecil menengah
khususnya untuk pengembangan usahanya. Baik dalam dukungan dana, legalitas /
perijinan usaha dan fasilitasi struktur serta infrastruktur lain yang mendukung.
Lembaga Swadaya Masyarakat baik dalam maupun luar negeri juga memberikan
berbagai kontribusi dalam pengembangan usaha kecil menengah misalnya Swiss
Contact, Mercy Corp dan sebagainya. Swasta pun mulai bergerak dengan CSR
maupun pola anak angkat dan bapak angkat yang dimilikinya. Berbagai macam
program yang selama ini disusun untuk pengembangan UMKM, namun selama
ini belum terukur secara nyata adanya hasil dari pengembangan UMKM yang bisa
dilihat dari perkembangan ekonomi daerah secara keseluruhan. Banyak bantuan
baik modal kerja maupun non modal kerja yang belum memberikan multiplier
efek bagi pengembangan ekonomi daerah. Efek pengembangan dilihat dari PDRB
(Produk Domestik Regioanl Bruto ) yang terjadi pada tahun tersebut dan juga
nilai tambah dari kegiatan ekonomi yang sudah dilakukan.
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka permasalahan bisa
dirumuskan menjadi :
14
1. Bagaimanakah efisiensi model sinergisitas antara usaha kecil
menengah dengan stakeholder daerah dalam rangka pengembangan
ekonomi lokal.
2. Bagaimana tingkat efisiensi untuk industri manufaktur dan
agroindustri ?
3. Bagaimana Model sinergisitas yang paling cocok untuk
pengembangan UMKM
D. Tujuan Penelitian
Selaras dengan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk melihat efisiensi model sinergisitas antara usaha kecil
menengah dengan stakeholder daerah dalam angka pengembangan
ekonomi lokal.
2. Untuk mengetahui tingkat efisiensi industri manufaktur dan
agroindustri
3. Untuk menemukan model sinergisitas yang paling cocok dalam
pengembangan ekonomi lokal berbasis UMKM
E. Kontribusi Penelitian dan Pengabdian
Adapun kontribusi yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Program – program kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah dalam
Pengembangan ekonomi lokal bisa sesuai dengan kebutuhan khususnya
dalam kebijakan yang bersifat makro
2. Tingkat efisien keberhasilan UMKM dalam pengembangan ekonomi lokal
daerah bisa terukur sehingga akan bisa diketahui sisi atau sektor mana
yang belum mencapai efisiensi.
15
F. KERANGKA PEMIKIRAN
Berangkat dari latar belakang masalah , perumusan masalah dan tujuan
yang hendak dicapai maka kerangka pemikiran dari penelitian ini disusun dalam
dua kegiatan utama yaitu penilaian atau penghitungan efisiensi atas kegiatan
ekonomi dan hasil yang dicapai oleh daerah, kemudian dari hasil analisis
efisiensi akan dilakukan Focus Group Discussion untuk mencari format model
yang paling ideal dalam pengembangan ekonomi lokal yang berbasis UMKM.
Untuk itu, kerangka pemikirannya disusun sebagai berikut :
Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran
16
a. Jumlah usaha/ perusahaan
b. Jumlah kredit
c. Jumlah tenaga kerja yaitu seluruh tenaga kerja yg bisa diserap
d. Nilai tambah
Analisis efisiensi
Efisien Tidak Efisien
Indept Interview untuk pembentukan model sinergisitas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kondisi UMKM di Indonesia
Usaha kecil di negara maju didefinisikan sebagai usaha yang melayani
pelanggan dalam cakupan yang lebih sempit khususnya dalam lingkup lokal (Pick
dan Abrahamson, 1987). Menurut Steinhof (1977) usaha kecil memiliki
karakteristik sebagai berikut: 1) manajemen usaha kecil merupakan menajemen
individu; 2) kepemilikan modal dimiliki secara individu dan/atau grup kecil; 3)
area pemasaran usaha kecil adalah lokal daerah di sekitar usaha kecil; dan 4)
ukuran kapasitas usaha relatif kecil. Meskipun dalam berbagai literatur teoritis
definisi usaha kecil seperti yang tersebut di atas, namun khusus dalam aplikasi di
Indonesia cakupan pengertian usaha kecil diperluas menjadi usaha mikro, usaha
kecil dan menengah. Dalam implementasinya, konsep UMKM di Indonesia
perdefinisi berbeda satu dengan yang lain. Beberapa definisi yang telah
dikemukakan oleh beberapa instansi memiliki pendekatan yang berbeda pula.
Beberapa perbedaan definisi tersebut dapat dirangkum sebagai berikut: 1). BPS
(Badan Pusat Statisitik) menggunakan dasar tenaga kerja yang dipekerjakan
sebagai kriteria pembeda Usaha Mikro Kecil dan Menengah; 2). Departemen
Perindustrian menggunakan dasar kriteria finansial dalam bentuk investasi barang
modal dan investasiper tenaga kerja; 3). Bank Indonesia menggunakan kriteria
aset dan finansial sebagai faktor pembeda antara jenis UMKM; 4). Departemen
Perdagangan menggunakan faktor modal aktif usaha dagang sebagai pembeda
jenis UMKM; selain itu terdapat kriteria komprehensi yang dibuat oleh Bank
Dunia untuk membedakan UMKM dengan sekaligus menggunakan kriteria
pekerja, aset dan omset secara bersamaan. Ikhtisar perbedaan definisi tersebut
ditunjukkan oleh diagram di bawah ini:
17
Tabel 2.1 Ragam Pengertian Umum Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Lembaga Istilah Pengertian Umum(1) (2) (3)
UU Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
Usaha Kecil Aset Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan.Omset Rp 1 Milyar / tahunIndependen
BPS Usaha Mikro Pekerja < 5 orang, termasuk tenaga kerja keluarga
Usaha Kecil Pekerja 5 – 9 orangUsaha Menengah Pekerja 20 – 99 orang
Menteri Negara Koperasi dan UKM
Usaha Mikro Aset < Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan Omset < Rp 1 Milar/tahunIndependen
Usaha Menengah Aset > Rp 200 jutaOmset: Rp 1 – 10 milyar per tahun
Bank Indonesia (PBI No.7/39/PBI/2005)
Usaha Mikro Dijalankan oleh rakyat miskin atau dekat miskin, bersifat usaha keluarga, menggunakan sumber daya lokal, menerapkan teknologi sederhana dan mudah keluar masuk industri
Usaha Kecil Aset < Rp 200 jutaOmset < Rp 1 Milyar
Usaha Menengah Untuk kegiatan industri, aset < Rp 5 milyar. Untuk lainnya (termasuk jasa), aset < Rp 600 juta di luar tanah dan bangunanOmset < Rp 3 milyar per tahun
Bank Dunia Usaha Mikro Pekerja < 10 orangAset < $ 100.000Omset < $ 100.000 per tahun
Usaha Kecil Pekerja < 50 orangAset < $ 3 jutaOmset < $ 3 juta per tahun
Usaha Menengah Pekerja < 300 orangAset < $ 15 jutaOmset < $ 15 juta per tahun
Sumber : Dwi Prasetyani, 2008
18
Perbedaan dalam kriteria tersebut tidak mempengaruhi kondisi UMKM
dan bagaimana cara pengembangannya. Secara umum perkembangan UMKM per
sektor bisa ditunjukkan sebagai berikut Perkembangan jumlah UKM periode
2005-2006 mengalami peningkatan sebesar 3,88% yaitu dari 47.102.744 unit pada
tahun 2005 menjadi 48.929.636 unit pada tahun 2006. Sektor ekonomi UKM yang
memiliki proporsi unit usaha terbesar adalah sektor
1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan; dengan perkembangan
53,57%,
2. Perdagangan, Hotel dan Restoran; dengan perkembangan 27,19 %
3. Industri Pengolahan; dengan perkembangan 6,59 %
4. Jasa-jasa; dengan perkembangan 6,06 %
5. Pengangkutan dan Komunikasi dengan perkembangan 5,52%
Sedangkan sektor ekonomi yang memiliki proporsi unit usaha terkecil
secara berturut-turut adalah sektor (1) Listrik, Gas dan Air Bersih; (2) Keuangan,
Persewaan dan Jasa Perusahaan; (3) Bangunan; serta (4) Pertambangan dan
Penggalian dengan pertumbuhan masing – masing sektor tercatat sebesar 0,03%,
0,17%, 0,34% dan 0,54%.
UU No 25 tahun 2000 tentang PROPENAS, menunjukkan bahwa
pemerintah menekankan tentang pentingnya penciptaan iklim kondusif,
meningkatkan akses kepada sumber daya yang produktif dan pengembangan
kewirausahaan. Kehadiran Usaha Kecil Menengah dengan konsep
kewirausahaan menjadi peluang yang cukup menarik. Ketika terjadi krisis
multidimensi pada tahun 1997, terbukti Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)
mampu bertahan dengan segala cara.
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dapat dipandang sebagai
katup penyelamat dalam proses pemulihan ekonomi nasional. Perannya dalam
mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja diharapkan
19
menjadi langkah awal bagi upaya pemerintah menggerakkan sektor produksi pada
berbagai lapangan usaha.
Kinerja UMKM dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat. Besaran
PDB yang diciptakan UMKM tahun 2003 mencapai nilai Rp 1.013,5 triliun (56,7
persen dari total PDB Nasional) dengan perincian 41,1 persen berasal dari UMK
dan 15,6 persen dari UM. Pada tahun 2000, sumbangan UMKM baru mencapai
54,5 persen terhadap total PDB Nasional berasal dari UMK (39,7 persen) dan UM
(14,8 persen). Jumlah unit usaha UMKM pada tahun 2003 adalah 42,4 juta naik
9,5 persen dibanding dengan tahun 2000, sedangkan jumlah tenaga kerja yang
bekerja di sektor UMKM pada tahun 2003 tercatat 79,0 juta pekerja yaitu lebih
tinggi 8,6 juta pekerja dibanding tahun 2000 dengan 70,4 juta pekerja, atau
selama periode 2000-2003 meningkat sebesar 12,2 persen atau rata-rata 4,1 persen
per tahun. Pertumbuhan PDB UMKM sejak tahun 2001 bergerak lebih cepat dari
total PDB Nasional dengan tingkat pertumbuhan masing-masing sebesar 3,8
persen tahun 2001, 4,1 persen tahun 2002, kemudian 4,6 persen tahun 2003.
Sumbangan pertumbuhan PDB UMKM lebih tinggi dibandingkan
sumbangan pertumbuhan dari Usaha Besar. Pada tahun 2000 dari 4,9 persen
pertumbuhan PDB Nasional secara total, 2,8 persennya berasal dari pertumbuhan
UMKM. Kemudian, di tahun 2003 dari 4,1 persen pertumbuhan PDB Nasional
secara total, 2,4 persen diantaranya berasal dari pertumbuhan UMKM. Peranan
Ekspor UMKM terhadap ekspor non migas tercatat 19,9 persen di tahun 2003,
sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan sumbangannya di tahun 2000 yaitu 19,4
persen.
Data terbaru tahun tahun 2005 menunjukkan adanya peningkatan yang
signifikan atas peran UMKM dalam menyumbang atau penciptaan PDB nasional
20
menurutharga berlaku tercatat sebesar Rp. 1.491,06 triliun atau 53,54%,
kontribusi Usaha Kecil tercatat sebesar Rp. 1.053,34 triliun atau 37,82% dan UM
sebesar Rp. 437,72 triliun atau 15,72% dari total PDB nasional, selebihnya adalah
usaha besar yaitu Rp. 1.293,90 triliun atau 46,46%. Sedangkan data pada tahun
2006 menyebutkan bahwa , peran UKM terhadap penciptaan PDB nasional
menurut harga berlaku tercatat sebesar Rp. 1.778,75 triliun atau 53,28% dari total
PDB nasional, mengalami perkembangan sebesar Rp. 287,68 triliun atau 19,29%
dibanding tahun 2005. Kontribusi Usaha Kecil tercatat sebesar Rp. 1.257,65
triliun atau 37,67% dan Usaha Menengah sebesar Rp. 521,09 triliun atau 15,61%,
selebihnya sebesar Rp. 1.559,45 triliun atau 46,72% merupakan kontribusi Usaha
Besar.
Disisi lain, pada tahun 2005 nilai PDB nasional atas harga konstan tahun
2000 sebesar Rp. 1.750,66 triliun, peran UKM tercatat sebesar Rp. 979,71 triliun
atau 55,96 % dari total PDB nasional, kontribusi UK tercatat sebesar Rp. 688,91
triliun atau 39,35% dan UM sebesar Rp. 290,80 triliun atau 16,61%, UB
berkontribusi sebesar Rp. 770,94 triliun atau 44,04 %. Pada tahun 2006, PDB
nasional atas harga konstan tahun 2000 sebesar Rp. 1.846,65 triliun, kontribusi
UKM sebesar Rp. 1.032,57 triliun atau 55,92% yang terdiri atas Usaha Kecil Rp.
725,96 triliun atau 39,31 % dan Usaha Menengah Rp. 306,61 triliun atau 16,60
% . Sedangkan kontribusi Usaha Besar sebesar Rp. 814,08 triliun atau 44,08%.
Kontribusi UKM tersebut meningkat sebesar Rp. 52,86 triliun atau 5,40%
dibandingkan tahun sebelumnya.
Kontribusi UKM terhadap pembentukan total nilai ekspor nasional pada
tahun 2005 tercatat sebesar Rp. 110,34 triliun atau 15,44%, kontribusi Usaha
Kecil tercatat sebesar Rp. 28,05 triliun atau 3,92 % dan Usaha Menengah sebesar
Rp. 82,29 triliun atau 11,51% selebihnya adalah Usaha Besar. Pada tahun 2006,
peran UKM terhadap pembentukan total nilai ekspor nasional mengalami
21
peningkatan sebesar Rp. 11,86 triliun atau 10,75% yaitu dengan tercapainya
angka sebesar Rp. 122,20 triliun atau 15,70% dari total nilai ekspor nasional.
Kontribusi Usaha Kecil tercatat sebesar Rp. 30,30 triliun atau 3,89% dan Usaha
Menengah sebesar Rp. 91,90 triliun atau 11,81%, selebihnya adalah Usaha Besar.
B. Kinerja UMKM
Selama periode 2000-2003 peranan Usaha Kecil dalam penciptaan nilai
tambah terus meningkat dari 39,7 persen pada tahun 2000 menjadi 41,1 persen
pada tahun 2003. Sebaliknya peranan Usaha Besar semakin berkurang dari 45,5
persen pada tahun 2000 menjadi 43,3 persen pada tahun 2003. Sementara peranan
Usaha Menengah relatif stabil berkisar 15 persen selama periode ini.
Apabila dilihat sektor per sektor Usaha Kecil memiliki keunggulan dalam
bidang usaha yang memanfaatkan sumber daya alam dan sektor-sektor tersier
seperti pertanian tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, dan
perikanan, perdagangan, hotel dan restoran. Di masing-masing sektor ini Usaha
Kecil menciptakan nilai tambah lebih dari 75 persen selama periode 2000-2003.
Sebaliknya Usaha Besar memiliki keunggulan dalam pengolahan lebih
lanjut dari produk-produk primer seperti industri pengolahan, listrik dan gas kota,
komunikasi, serta pertambangan. Di masing-masing sektor ini Usaha Besar
menciptakan nilai tambah lebih dari 60 persen. Sedangkan Usaha Menengah
memiliki peranan yang besar dalam penciptaan nilai tambah sektor hotel,
keuangan, persewaan, jasa perusahaan dan kehutanan.
Pada tahun 2000 pertumbuhan ekonomi Usaha Menengah sebesar 5,1
persen, sementara Usaha Kecil 4,1 persen dan Usaha Besar sekitar 5,6 persen.
Pada tahun 2003 pertumbuhan ekonomi Usaha Menengah sebesar 5,2 persen,
22
sementara Usaha Kecil tumbuh 4,3 persen dan Usaha Besar hanya tumbuh 3,5
persen. Namun demikian pertumbuhan yang tinggi ini nampaknya tidak
menjadikan Usaha Menengah sebagai kelompok yang memberikan sumbangan
paling tinggi dalam pertumbuhan ekonomi mengingat peranannya dalam
penciptaan nilai tambah nasional relatif kecil dibandingkan dengan kelompok
usaha yang lain. Dari pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 4,1 persen di tahun
2003 hanya 0,69 persen saja merupakan sumbangan Usaha Menengah. Sebaliknya
walaupun pertumbuhan kelompok Usaha Kecil dan Besar tidak secepat Usaha
Menengah namun dengan peranannya yang cukup besar dalam penciptaan nilai
tambah nasional, sumbangan kedua kelompok usaha ini menjadi cukup tinggi.
Pada tahun 2003 sumbangan Usaha Kecil dan Besar terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional masing-masing sebesar 1,68 persen dan 1,73 persen.
Tabel 2.1 Rata-rata Struktur PDB Usaha Mikro Kecil, Menengah dan Besar
Tahun 2000-2003 (Persen)
No. Lapangan UsahaRata-rata 2000-2003
Kecil Menengah Besar Jumlah
1. Pertanian, Perkebunan, Peternakan,
Kehutanan dan Perikanan 85,74 9,09 5,17 100,00
2. Pertambangan dan Penggalian 6,73 2,96 90,30 100,00
3. Industri Pengolahan 15,14 12,98 71,89 100,00
4. Listrik, Gas dan Air Bersih 0,52 6,80 92,68 100,00
5. Bangunan 43,88 22,57 33,55 100,00
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 75,60 20,81 3,59 100,00
7. Pengangkutan dan Komunikasi 36,69 26,64 36,67 100,00
8. Keuangan, Persewaan dan Jasa
Persh. 16,80 46,47 36,73 100,00
23
9. Jasa-jasa 35,59 7,16 57,25 100,00
PDB 40,55 15,22 44,24 100,00
PDB TANPA MIGAS 46,22 17,19 36,60 100,00
Sumber : Statistik UMKM, Kementrian Koperasi & UMKM 2005
Secara grafis, struktur PDB usaha mikro di Indonesia bisa ditunjukkan
sebagai berikut :
Gambar 2.3. Laju Pertumbuhan PDB UMKM Tahun 2000-2003
Sumber : Statistik UMKM, Kementrian Koperasi & UMKM 2005
Kemampuan tenaga kerja dalam menciptakan nilai tambah sangat berbeda
antara satu kelompok usaha dengan lainnya dan menunjukan kecenderungan
peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah unit Usaha Kecil dan Menengah tahun
2003 sebesar 42,4 juta, naik 9,5 persen dibandingkan dengan tahun 2000.
24
Sementara jumlah tenaga kerja pada tahun 2003 yang bekerja di sektor UMKM
sebesar 79 juta pekerja, meningkat sebesar 8,6 juta pekerja dibandingkan tahun
2000 atau selama periode 2000-2003 meningkat sebesar 12,2 persen dengan rata-
rata 4,1 persen per tahun.
Produktivitas per tenaga kerja Usaha Kecil pada tahun 2000 sebanyak 8
juta rupiah per tenaga kerja per tahun. Nilai ini meningkat cukup besar pada tahun
2003 menjadi 10,5 juta rupiah per tenaga kerja per tahun. Sementara produktivitas
kelompok Usaha Menengah dan Besar pada tahun 2000 masing-masing sebanyak
24,7 juta dan 1,5 miliar rupiah per tenaga kerja per tahun. Pada tahun 2003
meningkat masing-masing sebesar 31,8 juta rupiah dan 1,8 miliar rupiah.
Nampaknya masing-masing kelompok usaha memiliki keunggulan dan saling
melengkapi satu dengan lainnya. Kelompok Usaha Besar memiliki potensi
sebagai motor pertumbuhan, sementara kelompok Usaha Kecil sebagai
penyeimbang pemerataan dan penyerapan tenaga kerja.
Dalam hal penyerapan tenaga kerja, peran UKM pada tahun 2005 tercatat
sebesar 83.233.793 orang atau 96,28% dari total penyerapan tenaga kerja yang
ada, kontribusi Usaha Kecil tercatat sebanyak 78.994.872 orang atau 91,38% dan
Usaha Menengah sebanyak 4.238.921 orang atau 4,90%. Untuk Usaha Kecil
sektor Pertanian, Peternakan, Perhutanan dan Perikanan tercatat memiliki peran
terbesar dalam penyerapan tenaga kerja yaitu sebanyak 38.039.281 orang atau
48,15% dari total tenaga kerja yang diserap. Sedangkan sektor ekonomi yang
memiliki penyerapan tenaga kerja terbesar pada Usaha Menengah adalah sektor
Industri Pengolahan yaitu sebanyak 1.727.038 orang atau 40,74%.
Pada tahun 2006, UKM mampu menyerap tenaga kerja sebesar
85.416.493orang atau 96,18% dari total penyerapan tenaga kerja yang ada, jumlah
ini meningkat sebesar 2,62% atau 2.182.700 orang dibandingkan tahun 2005.
25
Kontribusi Usaha Kecil tercatat sebanyak 80.933.384 orang atau 91,14% dan
Usaha Menengah sebanyak 4.483.109 orang atau 5,05%. Untuk Usaha Kecil
sektor Pertanian, Peternakan, Perhutanan dan Perikanan tercatat memiliki peran
terbesar dalam penyerapan tenaga kerja yaitu sebanyak 37.965.878 orang atau
46,91% dari total tenaga kerja yang di serap. Jumlah tersebut mengalami
penurunan sebesar 73.403 orang atau 0,19% dari tahun sebelumnya. Sedangkan
sektor ekonomi yang memiliki penyerapan tenaga kerja terbesar pada Usaha
Menengah adalah sektor Industri Pengolahan yaitu sebanyak 1.827.073 orang atau
40,75%.
C. Investasi UMKM
Selama 2000-2003 iklim investasi pada berbagai tingkat skala usaha masih
belum berubah. Dalam kurun waktu 2000-2003 Usaha Kecil masih merupakan
kelompok yang paling rendah penyerapan investasinya yaitu rata-rata sebesar 18,6
persen per tahun dan diikuti oleh Usaha Menengah rata-rata sebesar 23 persen per
tahun. Secara keseluruhan penyerapan investasi pada Usaha Kecil dan Menengah
hanya mencapai 41,6 persen per tahun.
Bila hal ini dibandingkan dengan jumlah usaha yang demikian besar pada
kelompok ini maka dapat dikatakan bahwa Usaha Kecil bukan merupakan usaha
yang bersifat padat modal. Pada periode 2000-2003 secara rata-rata tingkat
investasi pada Usaha Kecil adalah sebesar Rp 58,9 triliun per tahun dan Usaha
Menengah sebesar Rp 73,2 triliun per tahun atau masing-masing setara dengan Rp
1,5 juta per usaha untuk kelompok kecil dan Rp 1,3 miliar per usaha untuk
kelompok menengah. Hal ini sangat mencolok bila dibandingkan dengan Usaha
Besar yang menyerap Rp 91,4 miliar per unit usaha.
26
Pada tahun 2005, peran UKM terhadap pembentukan investasi nasional
menurut harga berlaku tercatat sebesar Rp. 302,45 triliun atau 45,99% dari total
investasi nasional sebesar Rp. 657,63 triliun. Kontribusi Usaha Kecil tercatat
sebesar Rp. 136,21 triliun atau 20,71% dan Usaha Menengah sebesar Rp. 166,24
triliun atau 25,28%. Pada tahun 2006, peran UKM mengalami peningkatan
sebesar Rp. 67,37 triliun atau 22,28% menjadi Rp. 369,82 triliun. Kontribusi
Usaha Kecil tercatat sebesar Rp. 165,12 triliun atau 20,64%, sedangkan Usaha
Menengah sebesar Rp. 204,70 triliun atau 25,59% dan selebihnya adalah Usaha
Besar. Dari total nilai investasi UKM, pada tahun 2005 sektor Pengangkutan dan
Komunikasi memberikan andil terbesar dengan kontribusi sebesar Rp. 78,81
triliun atau 26,06 %. Untuk skala Usaha Kecil, sektor yang sama juga
memberikan kontribusi terbesar dengan nilai investasi sebesar Rp. 40,42 triliun
atau 29,68%, pada skala Usaha Menengah sektor pengangkutan dan komunikasi
masih merupakan kontributor terbesar dengan nilai investasi mencapai Rp. 38,39
triliun atau 23,10% dari total investasi Usaha Menengah.
Pada tahun 2006, sektor Pengangkutan dan Komunikasi tetap memberikan
kontribusi terbesar yaitu Rp. 94,45 triliun atau 25,54% dari total peran UKM.
Kontribusi Usaha Kecil disektor tersebut tercatat sebesar Rp. 47,22 triliun atau
28,60%, sedangkan Usaha Menengah disektor yang sama memberikan kontribusi
sebesar Rp. 47,23 triliun atau 23,07%. Pada tahun 2005, peran UKM dalam
pembentukan investasi nasional menurut harga konstan tahun 2000 tercatat
sebesar Rp. 178,05 triliun atau 45,29% dari total investasi nasional yang sebesar
Rp. 393,18 triliun. Kontribusi Usaha Kecil tercatat sebesar Rp. 83,53 triliun atau
21,25 % dan Usaha Menengah sebesar Rp. 94,52 triliun atau 24,04%. Pada tahun
2006, peran UKM mengalami peningkatan sebesar Rp. 4,66 triliun atau 2,62%
menjadi Rp. 182,71 triliun atau 45,16% dari total investasi nasional atas harga
konstan tahun 2000 yang sebesar Rp. 404,61 triliun. Peran Usaha Kecil tercatat
27
sebesar Rp. 85,63 triliun atau 21,16%, sedangkan Usaha Menengah sebesar Rp.
97,09 triliun atau 24,00% dan selebihnya adalah Usaha Besar. Dari total nilai
investasi UKM, pada tahun 2005 sektor Pengangkutan dan Komunikasi
memberikan andil terbesar dengan kontribusi sebesar Rp. 47,99 triliun atau 26,95
%. Untuk skala Usaha Kecil, sektor yang sama juga memberikan kontibusi
terbesar dengan nilai investasi sebesar Rp. 28,00 triliun atau 33,52%, pada skala
Usaha Menengah sektor Pengangkutan dan Komunikasi masih merupakan
kontributor terbesar dengan nilai investasi mencapai Rp. 19,99 triliun atau
21,14% dari total investasi Usaha Menengah. Pada tahun 2006, sektor Pengakutan
dan Komunikasi tercatat memberikan kontribusi terbesar yaitu Rp. 49,44 triliun
atau 27,06 % dari total peran UKM. Kontribusi Usaha Kecil pada sektor tersebut
tercatat sebesar Rp. 28,79 triliun atau 33,63%, sedangkan Usaha Menengah sektor
yang sama memberikan kontribusi sebesar Rp. 20,64 triliun atau 21,26%.
D. Kebijakan Penanganan UMKM di Indonesia
Pembangunan jangka panjang bidang koperasi dan UKM telah digariskan
dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Tahun 2005-2025.
Pembangunan bidang koperasi dan UKM, secara eksplisit ditujukan pada upaya
untuk mewujudkan bangsa yang berdaya-saing dalam rangka memperkuat
perekonomian domestik dengan orientasi dan berdaya saing global. Selaras
dengan RPJP tahun 2005-2025, pemerintah telah menetapkan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2005-2009 yang memuat tiga
agenda penting sebagai pijakan untuk mencapai tujuan pembangunan, salah
satunya adalah mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera.
Terkait dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, secara
tegas RPJM tahun 2004-2009, telah menetapkan prioritas dan arah kebijakan
pembangunan di bidang Koperasi dan UKM, pada:
28
1. Mengembangkan usaha kecil dan menengah (UKM) agar memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, penciptaan
lapangan kerja, dan peningkatan daya saing;
2. Mengembangkan usaha skala mikro dalam rangka peningkatan
pendapatan pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah;
3. Memperkuat kelembagaan dengan menerapkan prinsip-prinsip tata
kepemerintahan yang baik (good governance) dan berwawasan gender
dengan cara memperbaiki lingkungan usaha dan menyederhanakan
prosedur perijinan, memperluas akses kepada sumber permodalan
khususnya perbankan, memperluas dan meningkatkan kualitas institusi
pendukung yang menjalankan fungsi intermediasi sebagai penyedia jasa
pengembangan usaha, teknologi, manajemen, pemasaran dan informasi;
4. Memperluas basis dan kesempatan berusaha serta menumbuhkan
wirausaha baru berkeunggulan, termasuk mendorong peningkatan ekspor;
5. Meningkatkan UMKM sebagai penyedia barang dan jasa pada pasar
domestik, khususnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak; dan
6. Meningkatkan kualitas kelembagaan koperasi sesuai dengan jati diri
koperasi. Atas dasar agenda dan arah kebijakan pembangunan nasional
jangka menegah tersebut, disadari bahwa pemberdayaan KUKM telah
menjadi agenda pokok dalam pembangunan ekonomi nasional.
Hal ini merupakan bukti bahwa pemerintah telah memberikan perhatian
yang besar terhadap upaya pemberdayaan koperasi dan UKM. Konsekuensinya
upaya pemberdayaan KUKM menangung beban berat untuk membuktikan
sebagai bagian penting dalam meningkatkan kesejahteraan dan daya saing
ekonomi nasional. Dengan potensi dan peran yang strategis, karena jumlahnya
yang besar dan penyebarannya yang luas, KUKM merupakan kekuatan untuk
menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus dapat menjadi
29
tumpuan dalam meningkatkan kesejahteraannya. Setidaknya selama ini KUKM
telah mampu memberikan kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja terbesar
secara nasional dan meningkatkan ekspor, serta dalam pembentukan PDB
nasional.
Di sisi lain, struktur ekonomi Indonesia yang dalam kenyataannya
didominasi oleh ekonomi rakyat, merupakan kekuatan ekonomi nasional yang
sesungguhnya. Di sinilah UKM merupakan faktor penting untuk meningkatkan
produktivitas dan daya saing nasional, yang selama ini terabaikan. Peran ini telah
dijalankan KUKM, setidaknya pada masa krisis ekonomi 2000-2008 menjadi
katup pengaman perekonomian nasional, serta sebagai dinamisator pertumbuhan
ekonomi pasca krisis. Namun demikian UMKM secara mikro masih memiliki
kinerja yang perlu ditingkatkan, antara lain: tingkat produktivitas usaha dan
produktivitas tenaga kerja relatif rendah, nilai tambah produk rendah, pangsa
pasar di dalam negeri dan ekspor rendah, jumlah investasi rendah, jangkauan
pasar terbatas, akses informasi rendah, jaringan usaha terbatas, pemanfatan
teknologi masih sangat terbatas, permodalan dan akses pembiayaan terbatas,
kualitas SDM terbatas, dan manajemen yang umumnya belum profesional. Secara
keseluruhan hal ini telah melemahkan peran dan kemampuan bersaing KUKM
dibanding pelaku
usaha lainnya.
Penanggung jawab lancarnya kebijakan dan program kerja pemerintah
dalam pengembangan UMKM adalah Kementrian Koperasi dan UKM yang saat
ini dipegang oleh Surya Dharma Ali. Berangkat dari pentingnya tugas tersebut,
maka kemnetrian ini memiliki visi dan misi yang kemudian diterjemahkan dalam
rencana – rencana strategis sebagai berikut :
Visi, yaitu“Menjadi lembaga pemerintah yang kredibel dan efisien untuk
mendinamisir pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
30
(UMKM) dalam rangka meningkatkan produktivitas, daya saing dan
kemandirian”
Penjabaran visi dirumuskan misi Kementerian Negara Koperasi dan UKM
sebagai berikut: “Memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan nasional
melalui perumusan kebijakan nasional, pengkoordinasian perencanaan,
pelaksanaan dan pengendalian kebijakan pemberdayaan di bidang Koperasi dan
UMKM, serta peningkatan sinergi dan peran aktif masyarakat dan dunia usaha
dalam rangka meningkatkan produktivitas, daya saing dan kemandirian Koperasi
dan UMKM secara sistematis, berkelanjutan dan terintegrasi secara nasional”
Visi dan Misi yang ditetapkan tersebut pada prinsipnya bertujuan untuk
menjadikan Koperasi, usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai pelaku ekonomi
utama dalam perekonomian nasional yang berdaya saing. Dari tujuan secara
umum tersebut lebih lanjut dirumuskan tujuan Kementerian Negara Koperasi dan
UKM, tahun 2005-2009 sebagai berikut:
1. Mewujudkan kondisi yang mampu menstimulsi, mendinamisasi dan
memfasilitasi tumbuh berkembangnya 70.000 (tujuh puluh ribu) unit
Koperasi yang sehat usahanya dan 6.000.000 (enam juta) unit UMKM
baru.
2. Menumbuhkan iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan usaha
Koperasi dan UMKM pada berbagai tingkatan pemerintahan.
3. Meningkatkan produktivitas, daya saing dan kemandirian Koperasi dan
UMKM pasar dalam dan luar negeri.
4. Mengembangkan sinergi dan peranserta masyarakat dan dunia usaha
dalam pemberdayaan Koperasi dan UMKM.
5. Memberikan pelayanan publik yang berkualitas, cepat, tepat, transparan
dan akuntabel.
31
Untuk memberikan acuan program pembangunan Koperasi dan UKM
yang sejalan dengan agenda pembangunan Kabinet Indonesia Bersatu dalam
jangka pendek, Kementerian Negara Koperasi dan UKM telah menyesuaikan
dengan Rencana Kerja Pemerintah, dengan penetapan Rencana Kerja
Kementerian. Untuk itu Kemnenterian Koperasi dan UKM telah menetapkan
prioritas program yang dilakukan secara berkesinambungan, terpadu dan dinamis
sesuai dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi. Mengingat masih
terdapatnya berbagai persoalan yang dihadapi KUKM, terlebih dalam upayanya
untuk menjalankan berbagai terobosan atas diberlakukannya pasar bebas.
E. Pengembangan UMKM di Era Otonomi Daerah
Implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah telah membawa paradigma baru dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah serta dalam hubungan antara Pusat
dengan Daerah. Kebijakan Otonomi Daerah memberikan kewenangan yang luas
kepada Daerah untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya atas
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undang yang berlaku. Dalam rangka implementasi kebijakan Otonomi
Daerah, pembinaan terhadap kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi perlu
menjadi perhatian. Pembinaan terhadap kelompok usaha kecil, menengah dan
koperasi bukan hanya menjadi tanggung jawab Pusat tetapi juga menjadi
kewajiban dan tanggung jawab Daerah.
UU Nomor 22 Tahun 1999 memberikan konsekwensi bahwa pemerintah
pusat memberikan hak kepada daerah berupa kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakatnya. Pengaturan dan pengurusan kepentingan
masyarakat tersebut merupakan prakarsa daerah sendiri berdasarkan aspirasi
32
masyarakat dan bukan lagi merupakan instruksi dari pusat. Sehingga daerah
dituntut untuk responsif dan akomodatif terhadap tuntutan dan aspirasi
masyarakatnya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 ditetapkan
kewenangan Pemerintah (Pusat) di bidang perkoperasian yang meliputi :
1. Penetapan pedoman akuntansi koperasi dan pengusaha kecil dan
menengah.
2. Penetapan pedoman tatacara penyertaan modal pada koperasi.
3. Fasilitasi pengembangan sistem distribusi bagi koperasi dan pengusaha
kecil dan menengah.
4. Fasilitasi kerjasama antar koperasi dan pengusaha kecil dan menengah
serta kerjasama dengan badan usaha lain.
Sedangkan selain kewenangan tersebut di atas menjadi kewenangan
Daerah, termasuk di dalamnya untuk pembinaan terhadap pengusaha kecil,
menengah dan koperasi. Sesuai dengan kewenangan Daerah untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat termasuk di dalamnya kepentingan dari
pengusaha kecil, menengah dan koperasi.
Dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah maka pembinaan terhadap
usaha kecil, menengah dan koperasi perlu dirumuskan dalam suatu pola
pembinaan yang dapat memberdayakan dan mendorong peningkatan kapasitas
usaha kecil, menengah dan koperasi tersebut. Pola pembinaan tersebut harus
memperhatikan kondisi perkembangan lingkungan strategis yang meliputi
perkembangan global, regional dan nasional. Disamping itu juga pola pembinaan
tersebut hendaknya belajar kepada pengalaman pembinaan terhadap usaha kecil,
m eneng ah dan koperasi yang telah dilaksanakan selama ini. Pola pembinaan
terhadap usaha kecil, menengah dan koperasi yang ditawarkan untuk
33
meningkatkan kapasitas dan daya saingnya dalam rangka Otonomi Daerah antara
lain adalah :
1. Pelaksana program-program pokok pengembangan UKMK yang telah
diatur di dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-
2004 yang meliputi ; Program Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif,
Program Peningkatan Akses kepada Sumber Daya Produktif, dan Program
Pengembangan Kewirausahaan dan PKMK Berkeunggulan Kompetitif
secara terpadu dan berkelanjutan.
2. Pelaksanaan program-program pengembangan UKMK yang disusun
dengan memperhatikan dan disesuaikan kondisi masing-masing Daerah,
tuntutan, aspirasi dan kepentingan masyarakat, serta kemampuan Daerah.
3. Keterpaduan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, masyarakat, lembaga
keuangan, lembaga akademik dan sebagainya dalam melakukan
pembinaan dan pengembangan usaha kecil, menengah dan koperasi.
4. Pemberdayaan SDM aparatur Pemerintah Daerah agar mampu
melaksanakan proses pembinaan dan pengembangan terhadap usaha kecil,
menengah dan koperasi.
5. Pengembangan pewilayahan produk unggulan sesuai potensi dan
kemampuan yang dimiliki dalam suatu wilayah bagi usaha kecil, m eneng
ah dan koperasi dalama rangka meningkatkan daya saing.
6. Mensinergikan semua potensi yang ada di Daerah untuk meningkatkan
pengembangan usaha kecil, menengah dan koperasi sehingga mampu
memberikan kontribusi bagi pengembangan implentasi kebijakan Otonomi
Daerah.
7. Sosialisasi tentang kebijakan perekonomian nasional dalam rangka
memasuki era pasar bebas AFTA (ASEAN Free Trae Area), APEC ( Asia
34
Pacific Cooperation) dan WTO (World Trade Organization) kepada
seluruh kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi.
Harapannya adalah melalui pola pembinaan yang dikembangkan tersebut
didapat outcomes yang yang bersinergi antara kebijakan pembinaan usaha kecil,
menengah dan koperasi dengan kebijakan Otonomi Daerah. Sehingga antara
kebijakan Otonomi Daerah dengan pembinaan usaha kecil, menengah dan
koperasi terdapat simbiosis mutualisma. Implementasi kebijakan Otonomi Daerah
akan menentukan bagi keberhasilan pembinaan usaha kecil, menengah dan
koperasi serta sebaliknya pelaksanaan pembinaan UKMK akan mendorong
keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah, dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat.
35
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
1. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan studi terhadap efisiensi model sinergisitas antara
pemerintah daerah dengan UMKM yang ada di daerah. Untuk membatasi
masalah, daerah yang diambil sebagai sampel adalah eks karesidenan di Propinsi
Jawa Tengah. Pemilihan eks karesidenan karena perekonomian suatu daerah
tingkat II tidak hanya ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi daerah tersebut saja
namun sangat ditentukan oleh daerah di sekitarnya. Misalnya kabupaten
Karanganyar di eks karesidenan Surakarta, tergantung pada kota Solo sebagai
media pemasaran dan pusat perdagangan hasil industri di kabupaten Karanganyar.
Demikian juga kota Surakarta sangat tergantung pada kabupaten Klaten untuk
pemenuhan bahan makanan atau hasil – hasil pertanian. Sehingga yang digunakan
sebagai sampel dalam penelitian ini adalah
1. Karesidenan Banyumas
2. Karesidenan Kedu
3. Karesidenan Surakarta
4. Karesidenan Pati
5. Karesidenan Pekalongan
6. Karesidenan Semarang
Pengukuran efisiensi model sinergisitas akan dihitung dengan
menggunakan rasio dari penggunaan input terhadap penggunaan output. Terdapat
2 analisis yang akan dibahas di sini yaitu target yang diambil adalah menurunnya
angka pengangguran dan meningkatnya nilai tambah dari sektor usaha/
perusahaan.
36
Apabila target yang diinginkan adalah menurunnya pengangguran maka
yang digunakan sebagai input dalam penelitian ini adalah jumlah usaha/
perusahaan yang ada di wilayah eks karesidenan dan jumlah kredit yang diberikan
untuk usaha. Sedangkan variabel outputnya adalah jumlah tenaga kerja dan
jumlah nilai tambah yang dihasilkan.
Apabila target yang diinginkan adalah petumbuhan ekonomi yang
ditunjukkan dengan nilai tambah, maka yang menjadi variabel input adalah
Jumlah usaha, jumlah tenaga kerja dan jumlah kredit yang disalurkan sedangkan
variabel outputnya adalah nilai tambah dari usaha/ perusahaan.
2. Jenis Data, Sumber dan Pengumpulannya
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diambil hasil sensus ekonomi tahun 2006. Serta beberapa sumber lain yang
relevan.
3. Operasional Variabel
Variabel yang digunakan dalam dalam penelitian ini terdiri atas variable
input dan variable output. Variabel input merupakan variable masukan yang
digunakan untuk mendapatkan variable output. Dalam penelitian ini variabel input
dan output bisa didefinisikan sebagai berikut :
a. Jumlah usaha/ perusahaan, yaitu keseluruhan jumlah usaha baik usaha
mikro, kecil, menengah maupun besar selain sektor pertanian yang ada
di eks karesidenan.
b. Jumlah kredit yang disalurkan baik oleh lembaga keuangan bank
maupun non bank. Maksud dari jumlah kredit yang diberikan ini adalah
untuk menunjukkan adanya tambahan investasi yang masuk kepada
usaha/ perusahaan di eks karesidenan.
c. Alokasi dana APBD bagi UMKM
37
d. Jumlah tenaga kerja adalah keseluruhan tenaga kerja yang bisa diserap
oleh berbagai sektor yang ada di usaha/ perusahaan tersebut
e. Nilai tambah yaitu keseluruhan nilai tambah yang bisa diciptakan oleh
sekor usaha/ perusahaan.
f. Sumbangan sektor UMKM terhadap PDRB
4. Alat Analisis
4.a. Data Envelopment Analisis
Dalam menjawab permasalahan pertama mengenai efisiensi kinerja, atau
untuk mengukur efisiensi pengembangan usaha di daerah tersebut akan
digunakan alat analisis DEA ( Data Envelopment Analysis ) terdiri atas variable
input dan output serta diformulasikan dalam dua asumsi yaitu CRS (Constant
Return to Scale ) dan VRS ( Variabel Return to Scale ). Di dalam penelitian ini
asumsi yang dipakai adalah Constant Return to Scale karena dengan
mempertimbangkan data yang digunakan adalah data akhir untuk setiap tahun
sehingga sudah dilakukan penyesuaian atas perubahan – perubahan yang mungkin
terjadi dalam satu tahun tersebut. DEA digunakan untuk mengukur efisiensi suatu
Unit Kegiatan Ekonomi (UKE). Ada tiga manfaat yang diperoleh dari pengukuran
efisiensi dengan menggunakan DEA yaitu :
a. Sebagai tolok ukur memperoleh efisiensi relative yang berguna untuk
mempermudah perbandingan antar unit ekonomi yang ada.
b. Mengukur berbagai variasi efisiensi antar unit ekonomi untuk
mengidentifikasikan factor – factor
c. Menentukan implikasi kebijakan sehingga dapat meningkatkan tingkat
efisiensinya.
Model yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan oleh
Miller dan Noulas ( 1996 ). Efisiensi tehnis pada model pengembangan usaha
38
mikro kecil menengah adalah dengan menghitung rasio antara input dan output
yang berkaitan dengan pengembangan usaha/ perusahaan. DEA akan menghitung
pengembangan usaha mikro kecil menengah yang menggunakan input n untuk
menghasilkan output m yang berbeda. Sehingga alat analisisnya dirumuskan
menjadi sebagai berikut :
di mana :
hs = adalah efisiensi tehnis model pengembangan usaha daerah s
dalam hal ini adalah karesidenan
ys = merupakan jumlah output I yang diproduksi oleh usaha/
perusahaan s
xjs = adalah jumlah input j yang digunakan pada pengambangan usaha
s
ui = merupakan bobot output I yang dihasilkan oleh karesidenan s
vj = adalah bobot input j yang diberikan oleh usaha/ perusahaan di
karesidenan s dan i dihitung dari 1 ke m serta j dihitung dari 1 ke
n
Persamaan di atas menunjukkan adanya penggunaan satu variable
input dan satu variable output. Rasio efisiensi (hs), kemudian dimaksimalkan
dengan kendala sebagai berikut :
39
m n
hs = ∑ ui yis / ∑ vj xjs …………….(1)
i = 1 j = 1
m n
∑ ui yir / ∑ vj x jr ≤1 untuk r = 1…,N ……….(2)
i = 1 j = 1
Di mana N menunjukkan jumlah karesidenan dalam sample.
Pertidaksamaan pertama menunjukkan adanya inefisiensi untuk UKE lain
tidak lebih dari 1, sementara pertidaksamaan kedua berbobot positif. Angka
rasio akan bervariasi antara 0 sampai dengan 1. Pengembangan usaha di
karesidenan dikatakan efisien apabila memiliki angka rasio mendekati 0
menunjukkan efisiensi pengembangan usaha di karesidenan yang semakin
rendah ( Miller dan Noulas, 1996 ). Pada DEA, setiap karesidenan dapat
menentukan pembobotnya masing – masing dan menjamin bahwa pembobot
yang dipilih akan menghasilkan ukuran usaha yang terbaik.
Secara grafis pendekatan 1 input dan 1 output,dapat digambarkan sebagai
berikut:
C
B D V
K F G
0 A Input X
Gambar 3.1 Efisiensi dengan menggunakan pendekatan 1 input & 1 output
Tehnologi CRS ditunjukkan oleh frontier OC. Pengembangan usaha di
karesidenan dikatakan efisien bila berada pada garis frontier , sedangkan yang
berada di luar frontier dikatakan tidak efisien.
Beberapa program linear ditransformasikann ke dalam program ordinary
linear secara primal atau dual sebagai berikut :
40
m
Maksimisasi hs = ∑ ui yis ……………………..(3)
i = 1
Kendala
Efisiensi pada masing – masing Karesidenan dihitung menggunakan
programasi linear dengan memaksimumkan jumlah output yang dibobot dari bank
s. Kendala jumlah input yang dibobot harus kurang atau sama dengan 0. Hal ini
berarti semua Karesidenan akan berada di bawah referensi kinerja frontier yang
merupakan garis lurus yang memotong sumbu origin
Minimisasi βs
n
Kendala : ∑ θr yir ≥ yis I = 1 , , m ………………………. ( 5 )
r =1
m
βs x js - ∑ θr xir ≥ 0, j = 1 , , n : θ ≥ 0 ; βs bebas
j =1
Variabel βs merupakan efisiensi teknis dan bernilai antara o dan 1. Programasi
linier pada persamaan di atas diasumsikan Constant Return to Scale. Efisiensi
teknis ( βs) diukur dengan menggunakan rasio KF / FS dan bernilai kurang dari
41
m n
∑ ui yir - ∑ vj x jr ≤0 untuk r = 1…,N ;
i = 1 j = 1 n
∑ vj x js = 1 di mana ui dan vj ≥ 0 …………(4) j = 1
1 sementara (1- βs) menerangkan jumlah input yang harus dikurangi untuk
menghasilkan output yang sama sebagai bentuk efisiensi bank seperti yang
ditunjukkan oleh titik F. Kedua perhitungan tersebut baik minimisasi input dan
maksimisasi output akan memberikan nilai yang relative sama. Dalam
penelitian ini efisiensi akan dihitung dari sisi input oriented maupun output
oriented.
4.b. Indept Interview
Setelah ditemukan penghitungan dengan menggunakan DEA, maka akan
diketahui karesidenan mana yang sudah efisiensi secara tehnis kaitannya dengan
pengembangan UMKM. Selain itu karesidenan yang belum bisa efisien juga
diketahui termasuk di dalamnya letak atau variabel yang menyebabkan terjadinya
inefisiensi. Proses berikutnya adalah melakukan Indept interview atau wawancara
mendalam dengan sampel kabupaten/ kota yang berada pada karesidenan yang
sudah efisien dengan karesidenan yang belum efisien.
Tujuan dilakukannya Indept Interview ( wawancara mendalam ) adalah
untuk memperdalam dan lebih mengetahui akar permasalahan yang ada dan
mencari alternatif solusi secara bersama – sama dengan berbagai pihak terkait di
daerah tersebut. Wawancara mendalam akan dilakukan pada satu kabupaten/ kota
di wilayah karesidenan tersebut. Stakeholder yang akan dijadikan narasumber
dalam indept interview adalah biro perekonomian, bupati atau walikota yang
dalam hal ini diwakili oleh asisten bidang ekonomi dan pembangunan serta
anggota legislatif. Indept interview ini diharapkan bisa memberikan masukan atas
model yang ditawarkan oleh peneliti dalam pengembangan ekonomi daerah.
42
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Kondisi UMKM di Daerah Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan Propinsi Jawa Tengah sebagai sampel
dengan menggunakan 6 eks karesidenan sebagai data analisis. Pemilihan eks
karesidenan karena perekonomian suatu daerah tingkat II tidak hanya ditentukan
oleh pertumbuhan ekonomi daerah tersebut saja namun sangat ditentukan oleh
daerah di sekitarnya. Misalnya kabupaten Karanganyar di eks karesidenan
Surakarta, tergantung pada kota Solo sebagai media pemasaran dan pusat
perdagangan hasil industri di kabupaten Karanganyar. Demikian juga kota
Surakarta sangat tergantung pada kabupaten Klaten untuk pemenuhan bahan
makanan atau hasil – hasil pertanian.
Kondisi pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah cenderung terus
meningkat, dari 3,59% pada tahun 2001 menjadi 5,33% pada tahun 2006 tetapi
lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi secara nasional yaitu 3,64% pada tahun
2001 dan 5,48% pada tahun 2006. Kontribusi perekonomian Jawa Tengah
terhadap nasional dalam periode yang sama menunjukkan trend yang meningkat,
walaupun relatif kecil antara 8,10 sampai 8,5%. Sedangkan 5 kabupaten / kota
terbesar yang mempunyai penyebaran usaha menengah besar, terbesar adalah
Kota Semarang, Kabupaten Jepara, kota Surakarta, kabupaten Banyumas dan
kabupaten Klaten. Sedangkan 5 kabupaten kota dengan penyebaran usaha
terkecil adalah kabupaten Purbalingga, kabupaten Banjarnegara, kota Salatiga,
kabupaten Temanggung dan kota Magelang. Sedangkan untuk penyebaran usaha
mikro kecil dengan penyebaran terbesar adalah kabupaten Banyumas, kabupaten
Cilacap, kabupaten Brebes, kabupaten Kebumen, dan kota Semarang. Sementara
43
penyebaran usaha mikro kecil dengan jumlah terendah adalah Kabupaten
Rembang, kota Pekalongan, kota Tegal, kota Salatiga dan kota Magelang.
Perkembangan usaha perusahaan di Jawa Tengah dari tahun 1986 sampai
tahun 1996 meningkat 37,71 % sedangkan dari tahun 1996 sampai tahun 2006
meningkat 29,82%. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor jasa dan keuangan
sebesar 47,05% dari 291.990 usaha pada tahun 1996 menjadi 429.370 usaha pada
tahun 2006. Sementara sektor – sektor ‘lainnya’ mengalami pekembangan yang
paling kecil yaitu 12,92%.
Hasil Sensus Ekonomi tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah usaha/
perusahaan di Jawa Tengah menunjukkan bahwa terdapat 3.692.277 unit usaha.
Potensi tersebut menenpati urutan ketiga setelah Jawa Barat dan Jawa Timur.
Berdasarkan kategori/ lapangan usaha, jumlah usaha/ kategori usaha perdagangan
yang tercatat adalah 1,58 juta unit atau 42,28% dari jumlah usaha yang ada di
Jawa Tengah. Lapangan usaha terbesar kedua adalah industri pengolahan yaitu
sebanyak 834 ribu unit ( 22,59%). Sedangkan jumlah usaha terendah adalah
lapangan usaha listrik, gas dan air minum yang hanya tercatat sebanyak 989 unit
usaha atau sekitar 0,03% dari total usaha. Secara detail sebaran sektor usaha di
Jawa Tengah menurut kategori adalah sebagai berikut :
44
Tabel 4.1
Sebaran Usaha menurut kategori / sektor usaha
No Kategori Jumlah Usaha Dist %
1 Pertambangan & penggalian 63.961 1,73%
2 Industri pengolahan 834.035 22,59%
3 Listrik gas dan air 989 0,03%
4 Konstruksi 10.607 0,29%
5 Perdagangan besar / eceran 1.581.020 42,82%
6 Akomodasi dan makan minum 451.876 12,24%
7 Transportasi, pergudangan dan komunikasi 320.418 8,68%
8 Perantara keuangan 14.634 0,40%
9 Real estate persewaan dan jasa perusahaan 78.251 2,12%
10 Jasa pendidikan 53.135 1,44%
11 Jasa kesehatan dan kegiatan sosial 29.274 0,79%
12 Jasa kemasyarakatan dan sosial budaya 240.326 6,51%
13 Jasa perorangan yang melayani rumah tangga 13.751 0,37%
Jumlah 3.692.277 100,00%
Sumber : Sensus Ekonomi 2006
Dari hasil Sensus Ekonomi 2006, di Jawa Tengah terserap sejumlah 7,78
juta tenaga kerja yang tersebar di seluruh sektor ekonomi selain pertanian. Sektor
Industri Pengolahan dan Perdagangan menyerap tenaga kerja terbanyak, masing –
masing 2,64 juta orang dan 2,43 juta orang. Kedua sektor ini menyerap hampir
65% dari seluruh tenaga kerja di Jawa Tengah. Secara detail tenaga kerja
menurut kategori / sektor bisa ditunjukkan sebagai berikut :
45
Tabel 4.2
Tenaga Kerja menurut kategori / sektor di Jawa Tengah
No Kategori Jumlah Usaha Dist %
1 Pertambangan & penggalian 98.306 1,26%
2 Industri pengolahan 2.622.078 33,72%
3 Listrik gas dan air 21.015 0,27%
4 Konstruksi 59.471 0,76%
5 Perdagangan besar / eceran 2.432.552 0,76%
6 Akomodasi dan makan minum 709.913 9,13%
7 Transportasi, pergudangan dan komunikasi 418.635 5,38%
8 Perantara keuangan 117.662 1,51%
9 Real estate persewaan dan jasa perusahaan 168.470 2,17%
10 Jasa pendidikan 591.692 7,61%
11 Jasa kesehatan dan kegiatan sosial 108.551 1,40%
12 Jasa kemasyarakatan dan sosial budaya 409.379 5,27%
13 Jasa perorangan yang melayani rumah tangga 17.576 0,23%
Jumlah 7.775.300 100,00%
Sumber : Sensus Ekonomi 2006
Di Propinsi Jawa Tengah apabila dilihat dari skala usaha, usaha mikro
yang paling banyak menyerap tenaga kerja yaitu mencapai 67,02%, disusul usaha
kecil yang mencapai 19,74%. Kedua skala usaha tersebut ( mikro dan kecil ),
telah menampung tenaga kerja 86,76 % dari kesempatan kerja di luar sektor
pertanian. Usaha menengah dan besar masing – masing hanya menampung 5,12%
dan 7,82%. Secara rata – rata penyerapan tenaga kerja pada usaha kecil hanya
menyerap sekitar 3,02 tenaga kerja. Artinya secara rata – rata masing – masing
usaha kecil di Jawa Tengah menggunakan 3 orang tenaga kerja untuk melakukan
proses produksinya.
46
B. Pembahasan dengan Analisis Data Envelopment Analysis
Pembahasan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis
DEA yaitu dengan membandingkan antara input dengan output yang berpengaruh
terhadap perkembangan usaha di suatu daerah. Dalam penelitian ini terdapat 2
target yang ingin dicapai untuk itu akan dilakukan dua pembahasan secara
terpisah.
B.1. Target nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja
Target yang ingin diraih adalah terserapnya tenaga kerja yang ada di
daerah, sehingga untuk melihat tingkat efisiensi dalam pengembangan ekonomi di
daerah yang digunakan sebagai variabel input adalah jumlah kredit yang
dikucurkan dan jumlah usaha yang ada baik dalam skala besar menengah, kecil
maupun mikro. Sedangkan yang menjadi variabel output adalah jumlah tenaga
kerja dan nilai tambah yang ada di daerah. Pemilihan kredit sebagai variabel input
dikarenakan kredit diharapkan akan bisa memberikan tambahan investasi yang
ada di daerah dan digunakan untuk usaha produksi sehingga akan mampu
menggerakkan roda perekonomian di daerah tersebut. Hal ini akan sinkron
dengan jumlah UMKM yang ada di daerah.
Dari data di lapangan diperoleh bahwa input dan otuput yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
47
Tabel 4.3
Data input output yang digunakan dalam analisis penelitian
No Nama Karesidenan Jml usaha TK Kredit Nilai Tambah
1 Banyumas 587947 1136796 54934646 39534725
2 Kedu 614987 1262518 47239197 18014529
3 Surakarta 711418 1553798 130757669 34819409
4 Pati 470795 1118785 91685418 35163487
5 Pekalongan 724789 1347222 71411300 26553634
6 Semarang 582341 1356181 226093023 44192866
Jumlah Propinsi 3692277 7775300 622121253 198278650
Sumber : Data lapangan diolah
Keterangan :
Variabel input Jumlah usaha dan kredit yang diberikan
Variabel output jumlah tenaga kerja dan nilai tambah
Setelah dilakukukan pengolahan dengan menggunakan analisis DEA
diperoleh hasil terdapat 2 daerah yang tidak efisien yaitu Karesidenan Surakarta
dan Karesidenan Pekalaongan yang mempunyai tingkat efisiensi 93,08 % untuk
karesidenan Surakarta dan 88,78% untuk karesidenan Pekalongan. Sumber
inefisiensi terjadi baik pada variabel input maupun output. Inefisiensi yang terjadi
pada variabel input menunjukkan bahwa terjadi pemborosan atau pengangguran
dari masing – masing variabel yang membentuk output, artinya di kedua daerah
tersebut masih harus dilakukan optimalisasi. Kebijakan yang dilakukan dimasing
– masing kabupaten/ kota yang berada di wilayah karesidenan harus bisa
disinkronkan agar bisa saling dukung untuk pengembangan bersama.
Secara rinci hasil perhitungan analisis DEA bisa ditunjukkan dalam tabel
berikut ini :
48
Tabel 4.4
Data input output yang digunakan dalam analisis penelitian
No Nama Karesidenan Efisiensi BENCHMARK
1 Banyumas 100,00 %
2 Kedu 100,00 %
3 Surakarta 93,08 % UKE 2 UKE 4
4 Pati 100,00 %
5 Pekalongan 88,78 % UKE 1 UKE 2 UKE 4
6 Semarang 100,00 %
Jumlah Propinsi
Sumber : Data lapangan diolah
Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa karesidenan Surakarta akan
mencapai tingkat efisiensi bila mengacu pola pengembangannya pada
Karesidenan Kedu dan Karesidenan Pati. Sementara karesidenan Pekalongan akan
mencapai tingkat efisiensi maksimal apabila mengacu pada karesidenan
Banyumas, karesidenan Kedua dan Karesidenan Pati.
Apabila ditunjukkan satu persatu maka akan ditunjukkan hasil seperti
dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 4.5
Hasil pengolahan data di karesidenan Pekalongan dengan menggunakan DEA
Variabel Aktual Target To Gain Acheived
Jumlah usaha 724.789 681.731 5,9 % 94,1 %
Kredit 71.411.300 67.168.954 5,9 % 94,1 %
Tenaga Kerja 1.347.222 1.427.256 5,9 % 94,1 %
Nilai Tambah 26.553.634 28.131.111 5,9 % 94,1 %
Sumber : Data lapangan diolah
49
Dari hasil pengolahan data di lapangan bisa diketahui bahwa ternyata
sumber inefisiensi di karesidenan Pekalongan terletak di setiap lini baik input
maupun output. Di mana Jumlah usaha yang ada yaitu sebesar 724.789 bisa
menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi yaitu sebesar 28.131.111 dan juga
bisa menyerap tenaga kerja yang lebih banyak yaitu sebesar 1.427.256. Atau bisa
dikatakan dengan nilai tambah sebesar 26.553.634 bisa diciptakan hanya dengan
jumlah usaha sebanyak 681.731. Artinya telah terjadi pemborosan atau tidak
optimalnya usaha dalam menciptakan nilai tambah.
Berikut ini hasil pengolahan data untuk karesidenan Surakarta
Tabel 4.6
Hasil pengolahan data di karesidenan Surakarta dengan menggunakan DEA
Variabel Aktual Target To Gain Acheived
Jumlah usaha 711.418 685.937 3,6 % 96,4 %
Kredit 130.757.669 126.074.430 3,6 % 96,4 %
Tenaga Kerja 1.553.798 1.609.449 3,6 % 96,4%
Nilai Tambah 34.819.409 48.341.828 38,00 % 72,00%
Sumber : Data lapangan diolah
Dari hasil pengolahan data di lapangan bisa diketahui bahwa ternyata
sumber inefisiensi di karesidenan Surakarta terletak di setiap lini baik input
maupun output. Dari sisi jumlah usaha yang ada yaitu sebesar 711.418 hanya
menciptakan nilai tambah sebesar 34.819.309, padahal dengan kombinasi kredit
yang diberikan diharapkan bisa mencapai target nilai tambah sebesar
48.341.828 . Dari sisi tenaga kerja dengan kombinasi kedua input tersebut
seharusnya bisa menciptakan tenaga kerja 1.609.449 sementara yang saat ini
tercapai baru 34.819.409. Atau bisa dikatakan untuk menciptakan nilai tambaha
dan tenaga kerja sebesar aktul, cukup diperlukan jumlah usaha sebesar 685.937
50
unit usaha dan kredit investasi sebesar 126.074.430 juta. Artinya telah terjadi
pemborosan atau tidak optimalnya usaha dan pemberian kredit dalam
menciptakan nilai tambah dan membuka / menyerap tenaga kerja.
Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa tingkat efisiensi tidak
ditunjukkan oleh besar kecilnya masing – masing variabel input dn otuput namun
lebih mengacu pada bagaimana masing – masing variabel bisa bersinergi untuk
menciptakan efisiensi sesuai dengan yang diharapkan.
B.2. Target Pertumbuhan nilai tambah
Pada penelitian dengan target ini, yang lebih ditekankan adalah besarnya
nilai tambah yang ada di masing – masing karesidenan yaitu dengan menggunaan
variabel nilai tambah sebagai variabel keluaran atau output sementara variabel
inputnya adalah jumlah usaha/ perusahaan yang ada di karesidenan tersebut,
jumah kredit yang disalurkan dan jumlah tenaga kerja yang ikut masuk dalam
usaha/ perusahaan tersebut.
Dari hasil pengolahan data dengan menggunakan alat analisis DEA maka
bisa diketahui bahwa terdapat 3 karesidenan yang belum mencapai tingkat
efisiensi yaitu karesidenan Kedu, karesidenan Surakarta dan kresidenan
Pekalongan. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa masing – masing
karesidenan tersebut mempunyai tingkat efisiensi yang relatif rendah
dibandingkan yaitu sebesar 52,99 % untuk karesidenan Kedu, 56,67% untuk
karesidenan Pekalongan dan 68,19% untuk karesidenan Surakarta.
51
Tabel 4.7
Data input output yang digunakan dalam analisis penelitian
No Nama Karesidenan Efisiensi BENCHMARK
1 Banyumas 100,00 %
2 Kedu 52,99 % UKE 1
3 Surakarta 68,19 % UKE 1 UKE 4 UKE6
4 Pati 100,00 %
5 Pekalongan 56,57 % UKE 1
6 Semarang 100,00 %
Jumlah Propinsi
Sumber : Data lapangan diolah
Dari hasil olahan data tersebut di atas, bisa diketahui bahwa masing –
masing daerah / karesidenan bisa mengacu pada daerah – daerah benchmark bila
akan mengoptimalkan inputnya agar bisa menghasilkan output yang efisien
khususnya dalam pengembangan ekonomi daerah.
Di dalam pembahasan berikutnya akan dilakukan dengan metode indept
interview, dengan jajaran terkait. Untuk itu maka akan ditunjukkan satu persatu
karesidenan yang belum mencapai tingkat efisiensi 100%, yaitu terdiri dari,
karesidenan Kedu, karesidenan Surakarta dan karesidenan Pekalongan. Seperti
dalam analisis sebagai berikut:
52
B.2.1. Karesidenan Kedu
Pengolahan data di karesidenan Kedu diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 4.8
Hasil pengolahan data di karesidenan Kedu dengan menggunakan DEA
Variabel Aktual Target To Gain Acheived
Jumlah usaha 614.987 350.228 43 % 56 %
Tenaga Kerja 1.262.518 677.166 46,4% 53,6 %
Kredit 47.239.197 32.723.482 30,7% 69,3%
Nilai Tambah 18.014.529 23.550.054 30,7% 76,5%
Sumber : Data lapangan diolah
Dari hasil pengolahan data di lapangan bisa diketahui bahwa ternyata
sumber inefisiensi di karesidenan Kedu terletak di setiap lini baik input maupun
output. Di mana dengan jumlah usaha yang ada yaitu sebesar 614.987 , jumlah
tenaga kerja 1.262.518, Kredit sebesar 47.239.197 juta seharusnya bisa
menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi yaitu sebesar 23.550.054 juta bukan
hanya senilai 18.014.529 juta. Atau dengan kata lain untuk menciptakan nilai
tambah sebesar 18.014.529 juta tersebut, cukup dengan jumah usaha sebesar
350.228, tenaga kerja 677.166 dan kredit sebesar 32.723.482 juta. Artinya telah
terjadi pemborosan atau tidak optimalnya usaha , tenaga kerja dan kredit dalam
menciptakan nilai tambah.
53
B.2.2. Karesidenan Pekalongan
Pengolahan data di karesidenan Pekalongan diperoleh hasil sebagai
berikut :
Tabel 4.8
Hasil pengolahan data di karesidenan Pekalongan dengan menggunakan DEA
Variabel Aktual Target To Gain Acheived
Jumlah usaha 724.789 504.097 30,4 % 69,6 %
Tenaga Kerja 1.347.222 974.673 27,7 % 72,3 %
Kredit 71.411.300 47.100.218 34 % 66 %
Nilai Tambah 26.553.634 33.896.535 27,7 % 78,3 %
Sumber : Data lapangan diolah
Dari hasil pengolahan data di lapangan bisa diketahui bahwa ternyata
sumber inefisiensi di karesidenan Pekalongan terletak di setiap lini baik input
maupun output. Di mana dengan jumlah usaha yang ada yaitu sebesar 724.789 ,
jumlah tenaga kerja 1.347.222, Kredit sebesar 71.411.634 juta seharusnya bisa
menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi yaitu sebesar 33.896.535 juta bukan
hanya senilai 26.553.634 juta. Atau dengan kata lain untuk menciptakan nilai
tambah sebesar 26.553.634 tersebut, cukup dengan jumah usaha sebesar 504.097,
tenaga kerja 974.673 dan kredit sebesar 47.100.218 juta. Artinya telah terjadi
pemborosan atau tidak optimalnya usaha , tenaga kerja dan kredit dalam
menciptakan nilai tambah.
54
B.2.3. Karesidenan Surakarta
Pengolahan data di karesidenan Surakarta diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 4.8
Hasil pengolahan data di karesidenan Surakarta dengan menggunakan DEA
Variabel Aktual Target To Gain Acheived
Jumlah usaha 711.418 576.849 18,9 % 81,1 %
Tenaga Kerja 1.553.798 1.259.889 18,9 % 81,1 %
Kredit 130.757.669 106.024.190 18,9 % 81,1 %
Nilai Tambah 34.819.409 41.405.677 18,9 % 84,1 %
Sumber : Data lapangan diolah
Dari hasil pengolahan data di lapangan bisa diketahui bahwa ternyata
sumber inefisiensi di karesidenan Pekalongan terletak di setiap lini baik input
maupun output. Di mana dengan jumlah usaha yang ada yaitu sebesar 711.418 ,
jumlah tenaga kerja 1.553.798, Kredit sebesar 130.757.669 juta seharusnya bisa
menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi yaitu sebesar 41.405.677 juta bukan
hanya senilai 34.819.409 juta. Atau dengan kata lain untuk menciptakan nilai
tambah sebesar 34.819.409 tersebut, cukup dengan jumah usaha sebesar 576.849,
tenaga kerja 1.259.889 dan kredit sebesar 106.024.190 juta. Artinya telah terjadi
pemborosan atau tidak optimalnya usaha , tenaga kerja dan kredit dalam
menciptakan nilai tambah.
Dari hasil pengolahan data dengan menggunakan DEA maka bisa
diketahui bahwa di mana letak inefisiensi yang adalah dalam menciptakan output
yang diharapkan. Kondisi di lapangan dari 6 karesidenan yang ada di Jawa
Tengah, ternyata terdapat beberapa karesidenan yang belum mencapai efisiensi
secara optimal.
55
C. Penghitungan Efisiensi pada sektor Industri dan Agro Industri
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang sangat
berlimpah memerlukan pengelolaan yang cermat dan profesional. Sumber
daya alam Indonesia belum banyak memberikan kontribusi bagi
kesejahteraan rakyat Indonesia. Bahan baku pertanian baik yang berupa
hasil pertanian sendiri, hasil perikanan dan perkebunan merupakan modal
besar untuk mengembangkan negara ini menjadi negara yang memiliki
kekuatan untuk berkompetisi di perdagangan global. Berdasarkan
pengalaman beberapa saat yang lalu, ternyata produk pertanian
memberikan kontribusi bagi perkembangan perekonomian negara, sehingga
sangatlah tepat pengembangan agroindustri modern dan profesional di
Indonesia saat ini.
Sektor pertanian di Indonesia mengalami perubahan yang cukup
signifikan. Hal ini disebabkan jumlah penduduk yang terus tumbuh, sektor
Industri yang berkembang dengan cepat dan berubahnya pola pikir masyarakat di
Indonesia. Dengan terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 – 1999 pertumbuhan
penduduk yang dalam dasawarsa terakhir bisa ditekan dengan program Keluarga
Berencana ( KB ) sampai mencapai angka 1,5% pertahun, kembali melonjak
sampai mencapai 2,91% pada tahun 2001. Pertumbuhan jumlah penduduk
tersebut mempunyai dua konsekwensi yang bertolak belakang yaitu menuntut
pertambahan jumlah kebutuhan pangan dan yang kedua semakin dibutuhkannya
sarana perumahan yang otomatis akan mengurangi lahan pertanian. Sementara
sektor industri mempengaruhi pertanian dengan semakin banyaknya tenaga kerja
yang memilih terjun di sektor industri dibandingkan sektor pertanian, juga dari
sisi kebutuhan untuk lahan pabrik yang menyebabkan luas lahan untuk pertanian
berkurang cukup banyak.
56
Bagi Negara yang Sedang berkembang, di mana pertanian merupakan
bidang yang multidimensional tidak saja menyentuh masalah ekonomi dan
perdagangan tetapi juga berkait dengan masalah sosial kultural, beberapa hasil
keputusan tersebut dirasa sangat merugikan karena dengan tehologi yang masih
sangat terbatas dengan kata lain masih kalah jauh dengan tehnologi di negara
yang sudah maju, maka kebijakan tersebut akan menyebabkan hasil pertanian
dalam negeri terpinggirkan diserbu oleh hasil produksi dari negara yang sudah
maju.
Untuk mensinergiskan pembangunan sektor pertanian, perikanan dan
kehutanan, diperlukan rumusan strategi dan kebijakan Revitalisasi Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Revitalisasi pertanian mengan-dung arti
sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian
secara proporsional dan kontekstual; dalam arti menyegarkan kembali vitalitas;
memberdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja pertanian dalam
pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain.
Revitalisasi bukan dimaksudkan membangun pertanian at all cost dengan
cara-cara yang top-dwon sentralistik; bukan pula orientasi proyek untuk
menggalang dana; tetapi revitalisasi adalah menggalang komitmen dan kerjasama
seluruh stakeholder dan mengubah paradigma pola pikir masyarakat melihat
pertanian tidak hanya urusan bercocok tanam yang sekedar hanya menghasilkan
komoditas untuk dikonsumsi
Dalam proses produksi pertanian, untuk dapat menghasilkan out put
diperlukan penggunaan berbagai input. Input (Mosher, 1981) diartikan sebagai
sesuatu yang digunakan dalam proses produksi untuk memperoleh hasil tertentu.
Berbagai upaya yang telah ditempuh, pada kenyataannya hasil pengujian usaha
tani dan penelitian teknis agronomis. Berbagai kendala yang belum dapat diatasi
oleh petani, menyebabkan rendahnya produktivitas dan pendapatan di tingkat
57
usaha tani. Sehubungan dengan (Soekartawi, 1990) tingkat teknologi yang
diterapkan dalam berusaha tani belum memadai dalam memacu peningkatan
produktivitas dan kualitas produk komoditas pertanian untuk tujuan ekspor. Hal
ini karena sistem produksi komoditas belum mendukung pengembangan
agribisnis yang efisien.
Para ekonom pembangunan mempunyai konsensus bahwa laju
pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak hanya berkaitan dengan masalah
jumlah tapi juga berkait erat dengan masalah kesejahteraan manusia, karena tidak
hanya berdampak buruk terhadap suplai bahan pangan, namun juga semakin
membuat kendala bagi pengembangan tabungan, cadangan devisa dan sumber
daya manusia.
Sebenarnya penurunan peranan sektor pertanian dan meningkatnya
peranan industri pengolahan merupakan hal yang lazim dalam transformasi
produksi. Namun menurut Agung Riyardi,2001, penurunan tersebut
menimbulkan permasalahan karena alasan sebagai berikut :
1. Sektor pertanian terkait erat dengan kehidupan sebagian besar masyarakat.
Bahkan sektor pertanian merupakan bagian integral dari ketahanan negara,
yaitu melalui food security ( ketahanan pangan ). Apabila sektor tanaman
pangan mengalami penurunan dan rendahnya hasil produksi, maka kebutuhan
pokok berupa makanan tidak terpenuhi. Untuk menutupi kekurangan produksi
maka dilakukan import yang dikhawatirkan akan menurunkan bargaining
power negara kita.
2. Di dalam sektor pertanian sendiri, masih terdapat hal-hal yang perlu
dipecahkan, yang muara permasalahnnya, menurut Mubyarto,1999, terdapat
pada pembangunan sektor pertanian yang tidak berkelanjutan. Tanda bahwa
pembangunan sektor pertanian ini tidak berkelanjutan adalah merosotnya
58
harga hasil produksi sementara biaya produksi terus meningkat dan kedua
masih sedikitnya kepedulian pemerintah terhadap sektor pertanian.
Mubyarto dalam Reformasi Sektor Ekonomi, 1999, mengemukakan
bahwa dalam pertanian rakyat, revolusi hijau yang membuka peluang petani kecil
untuk mengadopsi berbagai tehnologi biologi dan kimia yang unggul ternyata
juga telah dijadikan ajang ‘pengerukan keuntungan’ perusahaan obat-obatan dan
pupuk kimia ‘modern’. Perusahaan modern ‘ agribisnis’ dan ‘agroindustri’ ini
melalui koneksi dengan pejabat-pejabat pemerintah dengan berbagai cara
‘berbisnis’ dengan petani padi dan tanaman lain dengan meraup keuntungan
besar.
Jadi dalam kegiatan pertanian yang mengacu pada ketahanan pangan,
bukan hanya permasalahan intensifikasi ( untuk daerah Jawa dan Bali ) dan
ekstensifikasi (Untuk daerah luar Jawa dan Bali ) yang terdiri atas penggunaan
bibit unggul, pupuk dan obat – obatan pemberantas hama, namun yang tidak kalah
penting adalah pola distribusi sarana – sarana tersebut untuk sampai kepada petani
dengan menggunakan mekanisme pasar yang adil.
Kompleksitas perolehan output (efektivitas) dan efisiensi faktor produksi
dipengaruhi oleh faktor produk, lingkungan, manusia dan proses (Sinungan,
1987). Keempat faktor tersebut berlangsung secara fungsional, artinya
peningkatan produktivitas ditentukan oleh kondisi optimal dari aplikasi keempat
faktor tersebut yang saling mempengaruhi.
a. Faktor Produk
Aplikasi faktor produk bagi petani dapat memberikan tanggapan atau
persepsi yang berbeda-beda. Dalam hal ini, apakah petani mengejar kualitas, atau
kuantitas dan atau kombinasi keduanya. Semua faktor tersebut akan
mempengaruhi produktivitas yang akan diperoleh. Faktor produk sangat berkaitan
erat dengan penggunaan input antara lain benih tanaman, pemupukan, pengairan
59
dan penggunaan sarana produksi yang lain, termasuk di dalamnya pemanfaatan
tehnologi. Permasalahan yang tidak bisa ditinggalkan dalam faktor produk ini
adalah pengolahan pasca panen sehingga produk pertanian bisa tahan lebih lama.
b. Faktor Lingkungan
Selanjutnya berkaitan dengan kemajuan tehnologi terdapat 2 dampak bagi
kualitas hidup manusia. Yang pertama dengan adanya tehnologi maka
peningkatan secara materiil terjadi, bertambahnya pendapatan yang berdampak
pada peningkatan kualitas konsumsi seseorang yang pada gilirannya akan
meningkatkan GNP suatu negara. Dengan semakin tingginya pendapatan nasional
maka kemakmuran akan semakin tinggi, dan masyarakat akan semakin sadar akan
kebutuhan lingkungan yang sehat dan bersih. Yang kedua merupakan dampak
negatif dari kemajuan tehnologi yaitu adanya penurunan kualitas lingkungan yang
disebabkan oleh emisi rumah kaca dan limbah yang diakibatkan aktifitas produksi
maupun konsumsi. Hal – hal tersebut bisa memunculkan fenomena pemanasan
global yang akan menurunkan kualitas atmosfer di bumi. Pada akhirnya akan
kembali menurunkan kualitas hidup manusia. Faktor lingkungan harus
mendapatkan perhatian yang cukup besar dari pemerintah dan masyarakat agar
pemanfaatannya bisa langgeng dan berwawasan ke depan.
c. Faktor Manusia
Pendidikan memberikan pengetahuan bukan saja yang langsung dengan
pelaksanaan tugas, akan tetapi juga merupakan suatu landasan untuk
mengembangkan diri serta kemampuan memanfaatkan semua sarana yang ada di
sekitar kita untuk melancarkan pelaksanaan tugas, semakin tinggi tingkat
pendidikan maka semakin tinggi tingkat produktivitas kerja (Simanjuntak,1985).
Petani yang “melek huruf”, yang sekurang-kurangnya mengenyam
pendidikan dasar, dianggap lebih tanggap dalam menerima teknologi pertanian
60
baru dibanding dengan petani-petani yang buta huruf (Todaro, 1987). Kemajuan
dalam tingkat pendidikan tentu akan menuntun seseorang untuk meningkatkan
pengalaman kerjanya, salah satu usaha untuk meningkatkan pendidikan tersebut
ditempuh melalui penyuluhan. Dari segi lain pengalaman berusaha tani
merupakan guru yang paling baik, yang akan mempengaruhi perilaku seseorang
di dalam meningkatkan produktivitas.
Untuk mencapai tujuan pendidikan setiap yang belajar harus mendapatkan
pengalaman yang memberikan kesempatan kepada mereka untuk berlatih
melakukan perilaku seperti yang dimaksudkan, dengan demikian pengalaman
belajar akan mempengaruhi aktivitas dalam usaha tani (Sugarda, 1975).
Penyuluhan berupa pemberian pendidikan dan pelatihan bagi petani merupakan
hal sangat penting. Hal ini erat kaitannya dengan corak usaha tani yang subsistem,
di mana kepala keluarga juga bertindak sebagai manajer usaha tani. Sebagai
manajer usaha tani akan tetap berusaha sesuai dengan tingkat kemampuannya
untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya termasuk modal usaha tani.
d. Faktor Proses
Faktor proses yang mempengaruhi produktivitas ditekankan pada
penggunaan teknologi yang diterapkan petani dengan variasi-variasi tertentu.
Pengukuran yang dilakukan adalah melalui efisiensi ekonomi faktor-faktor
produksi yang bekerja sama dengan input lainnya secara multikatif.
Pembangunan pertanian dalam kerangka system agribisnis merupakan
suatu rangkaian dan keterkaitan dari :
1. Sub agribisnis hulu (upstream agribusiness) yaitu seluruh kegiatan
ekonomi yang menghasilkan sarana produksi bagi pertanian primer
(usahatani);
61
2. Sub agribisnis usahatani (on-farm agribusiness) atau pertanian primer,
yaitu kegiatan yang menggunakan sarana produksi dan sub agribisnis hulu
untuk menghasilkan komoditas pertanian primer. Sub ini di Indonesia
disebut pertanian;
3. Sub agribisnis hilir (down-stream agribusiness) yaitu kegiatan ekonomi
yang mengolah komoditas pertanian primer menjadi produk olahan baik
bentuk produk antara (intermediate product) maupun bentuk produk akhir
(finished product);
4. Sub jasa penunjang yaitu kegiatan yang menyediakan jasa bagi ketiga sub
agribisnis di atas.
Pengembangan usaha agribisnis merupakan upaya meningkatkan
kuantitas, kualitas menajemen, dan kemampuan untuk melakukan usaha secara
mandiri, dan memanfaatkan perluan pasar dari pelaku agribisnis. Pelaku utama
agribisnis adalah petani dan dunia usaha meliputi usaha rumah-tangga, usaha
kelompok, koperasi, usaha menengah, maupun usaha besar. Pelaku agribisnis
tersebut merancang, merekayasa dan melakukan kegiatan agribisnis itu sendiri
mulai dari identifikasi pasar yang kemudian diterjemahkan kedalam proses
produksi. Pemerintah memberikan fasilitas dan mendorong berkembangnya
usaha-usaha agribisnis tersebut.
Salah satu industri agrobisnis besar di Indonesia adalah pada sektor
pangan. Industri pangan merupakan industri yang merubah input dari hasil
pertanian berupa produk pangan menjadi produk pangan yang bernilai tambah dan
dapat diterima oleh konsumen. Industri pangan memegang peranan penting dalam
memasok kebutuhan pangan suatu daerah serta meningkatkan perekonomian
masnyarakat.
62
Di Indonesia, industri pangan sangat berpengaruh terhadap ketahanan
pangan Badan Pusat Statistik (BPS) pernah mengeluarkan hasil risetnya pada
tahun 2004 bahwa sumbangsih perdagangan dalam negeri banyak diperankan oleh
UKM. Dari seluruh produksi UKM yang sebesar Rp 1.107,54 triliun, sekitar Rp
439,86 triliun atau 39,72 persennya berasal dari nilai produksi yang diberikan
UKM berbasis pangan. Jadi, sudah seharusnya perhatian tertuju pada kekuatan
UKM dalam membangun ketahanan pangan di Indonesia.
Dunia umumnya dan Bangsa Indonesia khususnya saat ini sedang dilanda
oleh kenaikan harga pangan. Menurut penelitian The Economic Research Service di
AS yang dipublikasikan majalah Amber Waves terbitan 1 Februari 2008,
fenomena global faktor penyebab naiknya harga pangan adalah: pertama, karena
lebih banyak penduduk yang mampu mengonsumsi makanan dalam jumlah yang
lebih; dan kedua, karena beberapa komoditi pangan digunakan sebagai bahan
bakar.
Hal yang paling ditakutkan adalah kenaikan harga pangan yang terjadi saat
ini dapat mempengaruhi stabilitas produksi industri pangan di Indonesia
mengingat bahan baku industri pangan mengalami kenaikan. Apabila hal tersebut
terjadi maka dapat mempengaruhi suplai produk pangan dari industri ke
konsumen baik kuantas maupun kualitasnya. Bila stabilitas industri pangan di
Indonesia menurun akibat kenaikan harga pangan maka dapat mengakibatkan
penurunan pasokan produk makanan olahan serta dapat meningkatkan harga
produk. Bila pasokan produk pangan rendah akan berpengaruh terhadap
ketahanan pangan daerah.
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka bisa ditarik kesimpulan
bahwa sebenarnya masalah agrobisnis harus memperoleh tanggapan yang cukup
serius dalam kerangka pengembangan ekonomi lokal. Pemerintah daerah
menyadari hal tersebut sehingga menempatkan agro industri sebagai salah satu
63
titik sentral pengembangan ekonomi. Namun banyak pendapat yang menyatakan
bahwa bahwa agro industri belum mampu menyaingi industri manufaktur. Untuk
itu maka akan dicoba untuk melakukan uji efisiensi terhadap kedua jenis industri
tadi khususnya di Jawa Tengah.
Berdasarkan data BPS bisa diketahui bahwa perkembangan industri dan
agroindustri pada 5 tahun terakhir adalah sebagai berikut :
Tabel 4.9
Perbandingan unit usaha menurut Jenis Industri di Jawa Tengah tahun 2002 –
2006
Jenis Industri 2002 2003 2004 2005 2006
Agroindustri 324.619 324. 709 324.778 324.796 324.836
Besar 220 225 254 262 268
Kecil & Menengah 324.399 324.484 324.524 324.534 324.568
Industri 319.599 319.645 319.660 319.905 319.948
Besar 469 470 472 486 496
Kecil & Menengah 319.130 319.175 319.188 319.419 319.452
Sumber : data Jawa Tengah Dalam Angka tahun 2007
Tabel di atas menunjukkan perbandingan jumlah unit usaha antara industri
manufaktur dengan agroindustri. Secara jumlah agroindustri mempunyai jumlah
unit usaha yang lebih banyak khususnya dalam industri kecil dan menengah.
Namun untuk industri pada skala besar, jumlah unit usaha industri manufaktur
lebih banyak bahkan hampir dua kali lipat dibandingkan agroindustri. Hal ini
menunjukkan bahwa agroindustri lebih banyak dilakukan oleh usaha kecil
menengah yang bersifat home industri.
Pada tabel 4.10 berikut akan ditunjukkan perbandingan tenaga kerja antara
industri manufaktor dan agroindustri. Ternyata penyerapan tenaga kerja untuk
industri manufaktur lbih banyak dibandingkan dengan agroindustri. Namun yang
terjadi adalah sebaliknya, untuk industri manufaktur lebih banyak tenaga keja
64
pada skala industri kecil menengah namun pada agroindutsri lebih banyak pada
usaha besar. Hal ini menunjukkn bahwa industri besar pada manufaktu lebih
cenderung bersifat pada modal sementara pada agroindustri lebih banyak pada
padat tenaga kerja. Untuk lebih jelas bisa dilihat pada tabel 4.10 berikut ini :
Tabel 4.10
Perbandingan banyaknya tenaga kerja menurut jenis industri di Jawa Tengah 2002
- 2006
Jenis Industri 2002 2003 2004 2005 2006
Agroindustri 1.389.664 1.399.264 1.424.744 1.441.834 1.460.217
Besar 439.362 444.362 444.382 444.402 449.039
Kecil Menengah 950.302 954.902 954.902 997.432 1.011.178
Industri 1.727.503 1.737.503 1.737.503 1.773.815 1.797.890
Besar 119.584 122.584 122.584 134.769 136.175
Kecil Menengah 1.607.919 1.614.919 1.614.919 1.639.046 1.661.635
Sumber : data Jawa Tengah Dalam Angka tahun 2007
Tolok ukur input yang berikutnya dalah nilai investasi yang dimasukkan
pada masing – masing industri seperti ditunjukkan pada tabel 4.11 berikut ini.
Dari data tersebut diperoleh bahwa nilai investasi untuk industri manufaktur
khususnya skala besar jauh lebih banyak dibandingkan agrobisnis, hampir tiga
kali lipat. Hal ini sejalan dengan analisis di atas bahwa pada sektor indutsri
manufaktur lebih ditekankan pada padat modal, khususnya untuk alat – alat dan
pengembangan tehnologi. Secara lebih detail, data investasi akan ditunjukkan
dalam tabel berikut ini :
65
Tabel 4.11
Perbandingan nilai investasi menurut jenis industri di Jawa Tengah 2002 - 2006
Jenis Industri 2002 2003 2004 2005 2006
Agroindustri 3.635.044 3.724.164 3.741.003 3.911.230 3.946.441
Besar 3.142.544 3.202.544 3.218.568 3.378.485 3.400.800
Kecil & Menengah 492.500 521.620 522.435 532.745 545.641
Industri 9.733.148 9.823.789 9.860.768 9.990.399 9.980.614
Besar 9.091.745 9.151.745 9.175.644 9.058.272 9.118.102
Kecil & Menengah 641.403 672.044 685.124 842.127 862.512
Sumber : data Jawa Tengah Dalam Angka tahun 2007
Pada sisi output akan dilihat dari nilai produksi yang berhasil dibukukan
oleh masing – masing jenis industri. Terjadi hal yang cukup menggembirakan
bahwa meskipun nilai investasi kalah jauh dibandingkan dengan industri
manufaktur, namun dalam nilai produksi yang dihasilkan ternyata tidak terdapat
selisih yang cukup signifikan antara industri manufaktur dengan agroindustri.
Untuk lebih detail bisa ditunjukkan pada tabel berikut ini :
Tabel 4.12
Perbandingan nilai produksi menurut jenis industri di Jawa Tengah 2002 - 2006
Jenis Industri 2002 2003 2004 2005 2006
Agroindustri 8.930.589 8.972.167 9.078.975 9.126.071 9.209.298
Besar 6.595.236 6.625.236 6.724.243 6.710.689 6.763.299
Kecil & Menengah 2.335.353 2.346.931 2.354.732 2.415.382 2.445.999
Industri 12.697.148 12.730.335 12.851.331 12.882.069 12.997.252
Besar 9.792.456 9.812.456 9.932.546 9.947.284 10.025.267
Kecil & Menengah 2.904.692 2.917.879 2.918.785 2.934.785 2.971.985
Sumber : data Jawa Tengah Dalam Angka tahun 2007
66
Dari data – data di atas, akan diuji dengan menggunakan analisis DEA
sebagai berikut dengan menggunakan variabel input berupa jumlah usaha, jumlah
tenaga kerja dan nilai investasi sementara untuk variabel outputnya adalah nilai
produksi yang dibukukan. Sebagai data yang akan diuji akan digunakan data
tahun terakhir yaitu tahun 2006. Untuk unit kegiatan ekonomi akan dibedakan
menjadi 4 yaitu usaha kecil menengah untuk agroindustri, usaha besar untuk
agroindustri, usaha kecil menengah untuk industri manufactur dan usaha besar
untuk industri manufactur.
Dari hasil pengolahan data diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 4.13.
Hasil pengolahan data untuk industri manufaktur & agroindustri
No Jenis Usaha Efisiensi BENCHMARK
1 Agro besar 100,00 %
2 Agro kecil menengah 100,00 %
3 Manufaktur besar 100,00 %
4 Manufaktur kecil menengah 97,29 % UKE 1 UKE 2
Sumber : data diolah
Dari hasil pengolahan data di lapangan diperoleh bahwa ketiga jenis usaha
sudah efisien, hanya untuk usaha kecil menengah pada industri manufaktur belum
efisien dengan tingkat inefisiensi sebesar 2,61%. Sedangkan sumber – sumber
inefisiensinya adalah pada semua lini baik input maupun output. Untuk lebih jelas
akan ditunjukkan pada tael 4.14 berikut ini :
67
Tabel 4.14
Hasil pengolahan data industri manufaktur skala kecil menengah dengan
menggunakan DEA
Variabel Aktual Target To Gain Acheived
Jumlah usaha 319.452 315.072 1,4% 98,6%
Tenaga Kerja 1.661.635 1.023.906 38,4% 61,6%
Nilai Investasi 862.512 850.686 1,4% 98,6%
Nilai Produksi 2.971.985 3.012.733 1,4% 98,6%
Sumber : Data lapangan diolah
Dari hasil pengolahan data di lapangan diperoleh bahwa ternyata
inefisiensi yang dialami oleh industri manufaktur pada skala kecil adalah pada
semua lini baik input yang terdiri atas jumlah usaha, tenaga kerja dan nilai
investasi maupun out yaitu pada nilai produksi. Sedangkan sumber inefisiensi
terbesar adalah pada tenaga kerja. Secara lebih detail terdapat perbandingan
antara aktual dengan target seperti di atas, untuk jumlah usaha, seharusnya untuk
memperoleh output sebesar 2.971.985, cukup dengan menggunakan jumlah usaha
sebesar 315.072, tenaga kerja sebesar 1.023.906 dan nilai investasi 850.686. Atau
bisa juga dengan mengatakan bahwa dengan menggunakan variabel input jumlah
usaha sebesar 319.452, tenaga kerja 1.661.635, nilai investasi sebesar 862.512
seharusnya bisa memperoleh target nilai produksi sebesar 3.012.733.
Sumber inefisiensi terbesar pada industri manufaktur skala kecil
menengah tersebut adalah pada input tenaga kerja. Ini berkaitan langsung bahwa
seharusnya industri manufaktur lebih tepat untuk padat kapital yaitu tehnologi dan
mesin – mesin dibandingkan dengan padat tenaga kerja.
68
D. Analisis dengan menggunakan Indept Interview
Dari hasil pembahasan tersebut di atas diperoleh bahwa ternyata
karesidenan yang belum mencapai optimal atau efisiensi 100 % adalah
Karesidenan Kedu, Pekalongan dan Surakarta. Sedangkan yang usdah efisien
adalah Karesidenan Banyumas, Karesidenan Semarang dan Karesidenan Pati.
Setelah dilakukan pemilihan sampel dengan metode random, maka berhasil
terpilih bahwa kabupaten Semarang akan mewakili karesidenan Semarang dan
kabupaten Sragen akan mewakili karesidenan Surakarta.
Indept interview di kabupaten Semarang melibatkan kepala biro
perekonomian Ir Agus; Soepardjo, SH ; Humas Kabupaten Semarang ; Dwi
Kusnanto staf dinas Pemberdayaan masyarakat dan desa. Sedangkan untuk
kabupaten Sragen adalah dengan Bupati Sragen Untung Wiyono, Asisten II
bidang Ekonomi dan Pembangunan Dra Endang dan kepala biro perekonomian
Budi Trapsilo.
Mekanisme yang dilakukan dalam indept observation adalah dengan
memberikan beberapa alternatif perencanaan pengembangan ekonomi lokal yang
selama ini telah digagas baik oleh pemerintah pusat maupun oleh lembaga lain.
Beberapa model yang ditunjukkan adalah sebagai berikut :
1. Model Pengembangan Ekonomi Lokal Pasrtisipatif. Merupakan model yang
digagas oleh PDPP ( Program Dasar Pembangunan Partisipatif ) kerjasama
antara pemerintah daerah dengan US Aid. Dalam model ini, pola
pengembangan ekonomi lokal yang partisipatif tersebut di atas, menempatkan
usaha mikro kecil menengah menjadi basis atau dasar di mana tujuan
utamanya adalah untuk meningkatkan usaha mikro kecil menengah dengan
berbagai fasilitas pendukung meliputi lembaga keuangan, pelayanan bisnis,
trading house, Non Government Services, Asosiasi, Pendidikan dan
penelitian. Adapun pelibatan masyarakat dalam model ini adalah sebagai
69
subyek utama dalam pengembangan ekonomi melalui musyawarah mufakat
antar berbagai stakeholder yang ada di daerah. Urutan kegiatan dalam
Pengembangan ekonomi lokal partisipatif ini adalah sebagai berikut :
a. Pemilihan klaster, Klaster diterjemahkan sebagai suatu lingkungan
kegiatan sejenis yang secara luas terhampar, tersistem dan
mempunyai keterkaitan yang sangat erat antara satu dengan yang
lain dalam bentuk kemitraan.. Pendekatan klaster adalah
memberdayakan kelompok kegiatan ekonomi melalui integrasi
vertikal yaitu membina jaringan kemitraan dari produsen primer,
pengumpul, produsen barang ( baik barang jadi, maupun setengah
jadi ) hingga eksportir. Tahapan pemilihan klaster dimulai dengan
identifikasi potensi ekonomi daerah yang merupakan penjabaran
dari program – program kunci atau unggulan di masing – masing
kabupaten/ kota.
b. Identifikasi regulasi di daerah. Dalam pengembangan ekonomi
lokal tentu tidak akan terlepas dari kebijakan – kebijakan yang ada
di daerah, untuk itu diperlukan adanya identifikasi berbagai
regulasi baik yang mendukung pengembangan ekonomi lokal
khususnya yang berbasis UMKM ataupun justru yang menghambat
pengembangan ekonomi lokal.
c. Identifikasi permasalahan yang ada di lapangan mulai dari bahan
baku, permodalan, proses produksi, pemasaran sampai dengan
pengembangan sumber daya manusianya serta berbagai sarana
pendukung atau fasilitasi yang ada di daerah.
70
d. Upaya – upaya atau alternatif yang bisa digunakan dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan dalam pengembangan
ekonomi lokal
e. Pembentukan kemitraan antar stakeholde ryang ada di daerah
f. Melakukan promosi cluster dengan berbagai upaya mulai dari
pameran, pembuatan website, trading house dan sebagainya
g. Pembuatan repliksi cluster manakala cluster awal sudah dianggap
berhasil. Apabila digambarkan secara diagram pola kerjasama
kemitraan yang direncanakan dalam PDPP adalah seperti di
bawah ini :
Kemitraan Swasta, Masyarakat, Pemda
Pendidikan, Penelitian
Trading House
NGS: Assosiasi., LSM
Eksporter
Pengusaha
UMKM/ Pengrajin
Cluste
rs
Pelayanan BisnisLembaga Keuangan
Gambar 4.1. Pengembangan ekonomi lokal partisipatif
71
2. Model Pemberdayaan masyarakat dengan Program Lifeskills
Gambar 4.2. Pola pemberdayaan dengan Lifeskills
Program lifeskills adalah suatu suatu pola yang memberikan keahlian
kepada masyarakat sasaran dalam hal ini adalah pemuda - pemuda yang produktif
namun pada posisi menganggur atau setengah menganggur. Mereka dibekali
dengan berbagai ketrampilan sesuai dengan kondisi daerah, khususnya pada
ketersediaan bahan baku. Wujud program ini adalah masyarakat diberikan
pelatihan produksi dan peningkatan kualitas produk, sampai dengan pemasaran.
Kemudian, peserta akan diberikan dana bergulir bagi modal awal produksi.
Sehingga diharapkan di akhir program masyarakat bisa mandiri dan menjadi
wirausaha baru.
72
Pengemb Lifeskills PemerintahPerencana, regulator, donatur
Dana Program
Instrumen, penyalur dana
PTN, PTS,LSM, Implementator
Pendampingan pelatihan pelaksanaan & pengembangan usaha
AdministratifUsaha Ekonomi Produktif dari masyarakat
Masyarakat Obyek & subyek
3. Model pemberdayaan masyarakat dengan tabungan kesejahteraan dan kredit
usaha ( Takesra Kukesra )
Program Takesra dan Kukesra dimaksudkan untuk memberikan
bantuan kepada keluarga miskin namun bukan berada di daerah yang miskin.
Bentuk bantuan bukan berupa pemberian uang secara tunai namun dengan
pinjaman atau berupa tabungan. Program ini dimaksudkan untuk merangsang
masyarakat miskin untuk tidak hanya berperilaku konsumtif namun juga
produktif. Mekanisme ini mengkaitkan masyarakat dengan budaya menabung.
Adapun skema atau pola kemitraan dalam program Takesra Kukesra
adalah :
73
Pemerintah, Perencana
Swasta, perorangan & prusahaan
YDSM Donatur
Bantuan Takesra Rp 2000 bonus Rp 2000
Masyarakat, subyek & obyek
Usaha Ekonomi Produktif
Aktivitas menabung Rp
25.000
Pinjaman KukesraRp 250.000,-
BRI Implementator & Penyeleksi
Dalam indept interview, pemerintah daerah ditunjukkan 3 model
tersebut dan dilakukan wawancara serta diskusi secara mendalam dengan pihak –
pihak terkait model manakah yang paling sesuai dengan program pengembangan
ekonomi yang sudah dilakukan oleh masing – masing pemerintah daerah.
Ataukah pemerintah daerah mempunyai satu model tertentu dalam pemberdayaan
ekonomi masyarakatnya.
Dari indept interview diperoleh hasil sebagai berikut :
D.1. Kabupaten Sragen
Pada masa pemerintahan Bupati Untung Wiyono, pengembangan ekonomi
partisipatif diberikan satu tempat tersendiri. Program – program yang
menyebabkan ketergantungan masyarakat seperti bantuan langsung tunai, dan
beras untuk rakyat miskin dipangkas dan digantikan program – program yang
bersifat produktif. Sumber – sumber pendanaan untuk program diperoleh dengan
partisipasi masyarakat dan gotong royong. Terdapat beberapa program yang
partisipasi masyarakat antara lain :
a. Jimpitan yaitu penyisihan beras yang dilakukan oleh masyarakat tanpa kecuali
dan hasilnya digunakan untuk berbagai kepentingan umum. Pada kondisi ini,
maka pemberian beras untuk rakyat miskin dikelola oleh masyarakat setempat
dengan memanfaatkan beras jimpitan yang diperoleh dari warga. Apabila
ternyata dalam masyarakat tersebut tidak terdapat rumah tangga miskin maka
beras jimpitan akan dikumpulkan dalam bentuk uang yang akan digunakan
sebagai kas RT atau dana pembangunan desa.
b. Ukirwati, yaitu sumbangan sukarela dengan besaran Rp 1.000 perhari yang
dikumpulkan oleh PNS di lingkungan Pemkab Sragen. Dana tersebut akan
digunakan ntuk sosial yang bersifat produktif, sebagai wujud bantuan bagi
masyarakat yang akan membuka usaha mandiri. Dana tersebut ternyata
74
jumlahnya cukup banyak dan signifikan bagi pengembangan usaha
masyarakat.
c. BAZ, Badan Amil Zakat, yang dikelola oleh pemerinatha daerah khususnya
dalam pengumpulan zakat maal, infaq dan shodaqoh. Dana ini digunakan
sebagai sarana untuk pegentasan kemiskinan.
Selain ketiga kegiatan yang bersifat permodalan atas partisipasi
masyarakat, pemerintah kabupaten Sragen juga memberikan berbagai kemudahan
dalam memperoleh dana dari perbankan dengan membentuk satgas KKMB
(Konsultan Keuangan Mitra Bank ) yang bekerjasama dengan Bank Indonesia dan
jajaran Perbankan Umum khsususnya yang mempunyai wilayah kerja di
kabupaten Sragen.
Sebagai wujud komitmen pembangunan yang berwawasan ekspor, maka
pemerintah Kabupaten Sragen membentuk Cluster – cluster, khususnya untuk
Batik, di daerah Masaran dan Meubel / furniture di Kalijambe. Kedua Cluster
tersebut dilengkapi dengan faslitas trading house dan show room yang akan
mendekatkan hubungan antara produsen dengan buyer ( pembeli ). Cluster
tersebut sudah berjalan cukup bagus dan memiliki nilai ekspor yang cukup tinggi
dan bisa menggiatkan ekonomi daerah.
Bertitik tolak dari hasil indept interview tersebut, maka bisa disimpulkan
bahwa Kabupaten Sragen mengadopsi model pemberdayaan ekonomi lokal
partisipatif pada nomor 1 tersebut di atas dengan memberikan modifikasi pada
penguatan pendanaan melalui partisipasi masyarakat yang bersifat sukarela.
D.2. Kabupaten Semarang
Kabupaten Semarang merupakan kabupaten yang cukup unik karena
mempunyai wilayah yang sangat luas dan terpencar – pencar sehingga memiliki
ola yang berbeda – beda untuk setiap bagian wilayahnya. Misalnya daerah
75
Ungaran., Bergas, Pringapus dan Bawen yang terkenal memiliki industri besar
maupun menengah yang sangat banyak, yang nadi perekonomiannya banyak
tersentral pada industri. Meskipun konsekwensinya adalah padat modal atau lebih
banyak menggunakan alat – alat tehnologi sehingga tidak berorientasi pada padat
tenaga kerja. Sebagai gambaran industri besar yang menyerap investasi lebih dari
3 trilyun rupiah ternyata hanya mampu menyerap tenaga kerja sejumlah 55.275
orang, sementara industri kecil yang hanya menyerap investasi sebesar 1 milyar
rupiah ternyata mampu mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 21.003 tenaga
kerja. ( www.semarang.go.id. 2008).
Sedangkan beberapa daerah di kabupaten Semarang merupakan daerah
pertanian, misalnya Ambarawa yang diperkuat dengan dibangunnya Sub Terminal
Agribisnis yang berfungi menjembatani pertemuan antara produsen (dalam hal ini
petani ) dengan pedagang. Selain itu pemerintah juga menerapkan adanya
program PUSPAHATI ( Pos Usaha Pelayanan Agensia Hayati ) yang
dimaksudkan untuk melayani petani dalam membuat pestisida nabati dan agensia
hayati.
Berangkat dari perbedaan yang cukup mencolok tersebut maka
pemerintah kabupaten Semarang yang mempunyai visi Intanpari, mencoba
mengembangkan pola pengembangan ekonomi lokal partisipatif namun belum
disertai dengan komitmen pemerintah terhadap pendanaan dan juga partisipasi
masyarakat dalam hal bantuan pendanaan.
Dari hasil uraian tersebut di atas, maka terlihat bahwa kabupaten Sragen
yang mewakili karesidenan Surakarta mencoba memperbaiki taraf hidup
masyarakatnya dengan mengembangkan ekonomi lokal partisipastif berbasis pada
swadaya masyarakat. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya kesadaran bahwa
kabupaten Sragen merupakan daerah yang secara geografis kurang strategis dan
secara sumber daya alam juga kurang bagus, sehingga mereka lebih giat dalam
76
mengembangkan kemampuan daerahnya agar mampu untuk bersaing dengan
wilayah kabupaten / kota yang lain. Dalam kerangka pegembangan efisiensi,
pemerintah kabupaten Sragen juga membuka pelayanan OSS ( One Stop Service )
yang diharapkan akan merangsang bagi investor untuk masuk dan
mengambangkan usaha di kabupaten Sragen.
Sedangkan kabupaten Semarang dengan sumberdaya alam dan potensi
ekonomi yang kuat ternyata kurang bergairah dalam pengembangan ekonomi
lokal dan pemerintah daerahnya kurang memiliki komitmen dalam pengembangan
usaha kecil menengah dibandingkan dengan kabupaten Sragen. Hal ini mungkin
juga disebabkan karena kondisi daerah yang sudah mencapai titik efisiensi.
77
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Penelitian untuk melihat bagaimana model sinergisitas yang dilakukan oleh
pemerintah daerah dalam kerangka pengembangan ekonomi lokal partisipatif
ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Di Propinsi Jawa Tengah dengan menggunakan karesidenan untuk
mengukur tingkat efisiensi diperoleh bahwa ternyata apabila target
outputnya adalah tenaga kerja dan nilai tambah ternyata terdapat dua
karesidenan yang belum efisien yaitu Karesidenan Pekalongan dan
Karesidenan Surakarta.
2. Apabila dilakukan pengujian dengan DEA untuk sektor industri
manufaktur dan agrobisnis baik dalam skala usaha besar maupun dalam
skala usaha kecil menengah, diperoleh hasil bahwa ternyata yang belum
mencapai titik efisien adalah industri manufaktur dengan skala kecil
menengah
3. Hasil pemilihan model sinergisitas dengan menggunakan indept terhadap
dua kabupaten terpilih yaitu kabupaten Sragen dan kabupaten Semarang
diperoleh hasil bahwa pilihannya adalah pada model pemberdayaan
ekonomi lokal partisipastif namun dengan menggunakan beberapa
modifikasi. Untuk kabupaten Sragen modifikai yang dilakukan adalah
dengan pendanaan dari perbankan menggunakan satgas KKMB dan
pendanaan swadaya masyarakat dengan BAZ, Ukirwati dan jimpitan.
Untuk daerah kabupaten Semarang,namun belum memasukkan unsur
pendanaan baik dengan komitmen pemerintah maupun dengan partidipasi
masyarakat
78
B. SARAN
Dari hasil uraian di atas. Maka bisa diberikan saran sebabagi berikut :
1. Karesidenan yang belum efisien harus berusaha untuk meningkatkan
tingkat efisiensi pada masing – masing kabupaten / kota seperti yang telah
dilakukan oleh kabupaten Sragen. Sedangkan untuk daerah yang sudah
mempunayi efisiensi 100% jangan terlena untuk tidak melakukan
pengembangan usahanya.
2. Industri manufaktur pada skala kecil menengah belum mencapai tingkat
efisinesi 100% dikarenakan kelemahan di sisi tenaga kerja. Sehingga
diperlukan adanya berbagai macam pelatihan dalam kerangka peningkatan
kapabilitas dan kompetensi tenaga kerja itu sendiri. Dengan pengkatan
kompetensi diharapkan akan mampu memenuhi target seperti yang
diharapkan.
3. Model sinergisitas yang dipilih oleh dua kabupaten mengharuskan adanya
peran utuh dari semua stakeholder daerah yang terlibat. Untuk diperlukan
Komitmen – komitmen pemerintah, yang harus dibangun dalam rangka
mengembangkan ekonomi lokal yang bersifat partisipatif.
79
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Ghofur, 2004. Analisis Potensi Usaha pengrajin Sentra Industri Kecil Garmen. Jurnal Bisnis dan Manajemen. Program Magister Manajemen Universitas muhammadiyah Jakarta (UMJ), Jakarta.
Ahmad Passay, 1989, “Implikasi Sosial ekonomi Penduduk di Indonesia yang menua 1980 – 2000 “ Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Jakarta
Ambar Teguh Sulistyani, 2004, “Kemitraan dan Model – Model Pemberdayaan”, Gaya Gava Media, Yogyakarta
Arief Sritua, 2000, Ekonomi Kerakyatan : “Pemberdayaan Masyarakat secara nasional dan daerah”, Mei 2000
Ibrahim, Maulana. 2004. Mendorong Peran UMKM Dalam Pertekonomian Indonesia di Masa Depan. Makalah pada Debat Ekonomi ESEI 2004, Jakarta Convention Centre 15-16 september 2004.
Krisna Wijaya, 2005 Kredit Mikro Bukan Hibah, Harian Kompas, Selasa, 1 Maret.
Lincolin Arsyad, 1999, “Ekonomi Pembangunan”, STIE YKPN, Yogyakarta
Pusat Antar Universitas (PAU) UGM, 2005. Modul Metodologi Penelitian Empiris DEA, Yogyakarta
Rudjito, 2003, Peran Lembaga Keuangan Mikro Dalam Otonomi Daerah Guna Menggerakkkan Ekonomi Rakyat dan Menanggulangi Kemiskinan: Studi Kasus Bank Rakyat Indonesia, Jurnal Keuangan Rakyat Tahun II, Nomor 1, Jogjakarta
Sofyan, I. 1999. Skema Pengembangan Entrepreneurship dan Usaha Kecil Melalui Program Inkubator Bisnis di Perguruan Tinggi. Usahawan. 7(28): 14-19.
80
Sondakh, Lucky W, 1994, “Pembangunan Daerah Dan Perekonomian Rakyat, Beberapa Ketimpangan Antar kelompok Masyarakat’, Agustus 1994
Todaro Michael, 1999, “Pembangunan Ekonomi di dunia Ketiga”, Ghalia Indonesia, Jakarta
TKP3 KPK, 2004, ”Akar Kemiskinanan Ketidakberdayaan Masyarakat”, Jakarta
TKP3 KPK, 2004, ”Informasi Dasar Penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD)”, Jakarta
TKP3 KPK, 2004, ”Masalah Kemiskinan dan Kompleksitas Penanggulangannya”, Jakarta
Tim PPKP. 2000. Penelitian Potensi, Preferensi dan Perilaku masyarakat terhadap Bank Syariah di Wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. LPP UNDIP: Semarang
Tim PSEKP. 2004. Identifikasi Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Rendahnya LDR di Daerah Istimewa Yogyakarta. PSEKP UGM: Yogyakarta.
Wijono, Wiloejo W. 2005. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan. Kajian Ekonomi dan Keuangan.
www.bps.go.id
www.detik.com
www.google.co.id
www.kompas.com
www.mapi.or.id
81
Abstraksi
Pembangunan bidang UKM, secara eksplisit ditujukan pada upaya untuk mewujudkan bangsa yang berdaya-saing dalam rangka memperkuat perekonomian domestik dengan orientasi dan berdaya saing global. Selaras dengan RPJP tahun 2005-2025, pemerintah telah menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2005-2009 yang memuat tiga agenda penting sebagai pijakan untuk mencapai tujuan pembangunan, salah satunya adalah mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera. Pemerintah telah memberikan perhatian yang besar terhadap upaya pemberdayaan koperasi dan UKM. Konsekuensinya upaya pemberdayaan UKM menangung beban berat untuk membuktikan sebagai bagian penting dalam meningkatkan kesejahteraan dan daya saing ekonomi nasional, yaitu pertama Program penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif. Kedua Program Peningkatan Akses kepada Sumber Daya Produktif. Ketiga Program Pengembangan Kewirausahaan dan PKMK Berkeunggulan Kompetitif. Selain komitmen dan perencaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, juga dibutuhkan adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam menentukan model sinergisitas dalam rangka pengembangan ekonomi di daerah.
Penelitian ini dilakukan secara bertahap, tahap pertama adalah dengan melakukan uji secara DEA yaitu untuk menentukan daerah mana yang sudah mencapai efisiensi 100% dalam pengembangan ekonominya dan daerah mana yang belum. Dalam penelitian ini yang menjadi obyek penelitian adalah karesidenan. Setalah ditemukan daerah tersbut maka akan dilakukan indept interview pada masing – masing daerah sampel terpilih dengan melibatkan unsur pemerintahan dan stakeholder yang lain.
Dari hasil pengujian dengan menggunakan DEA diperoleh bahwa karesidenan yang belum mencapai titik efisiensi adalah karesidenan Surakarta dan karesidenan Pekalongan. Untuk itu dilakukan indept interview kepada daerah yang sudah efisien dan belum . Dari hasil pemilihan diperoleh sampel daerah yang belum efisien adalah kabupaten Sragen, sementara yang sudah efisien adalah kabupaten Semarang. Hasil indept interview kepada stakeholder daerah menunjukkan bahwa kabupaten Sragen memilih model pengembangan ekonomi lokal partisipatif dengan menambah modifikasi pada permodalan baik swadaya atau partisipasi masyarakat maupun melalui Perbankan Umum. Sedangkan kabupaten Semarang dengan menggunakan model yang sama namun tanpa adanya komitmen untuk akses pada permodalan. Hal ini dimungkinkan karena kesadaran dari pemerintah Sragen sehingga menggairahkan roda perekonomian, sementara kabupaten Semarang terlena oleh kekayaan sumber daya alamnya sehingga tidak terlalu aktif dalam pengembangan ekonomi lokal.
Kata Kunci : DEA, Pengembangan ekonomi lokal, Indept Interview
82
HALAMAN PENGESAHAN PENELITIAN KOMPETITIF FAKULTAS EKONOMI
UNS DIPA TAHUN 2008
1 a. Judul Penelitian : Model Sinergisitas Dalam
Pengembangan Ekonomi Lokal
Berbasis UMKM
b. Bidang Ilmu : Ekonomi
2 Ketua Tim peneliti pengusul
a. Nama : Izza Mafruhah, SE, Msi
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. NIP : 132 300 215
d. Pangkat/ Jabatan : III C / Lektor
e. Fakultas/ Jurusan : Ekonomi/ Ekonomi Pembangunan
3 Jumlah tim peneliti : 2 orang
4 Lokasi Kegiatan : Jawa Tengah
5 Waktu Penelitian : Tahun 2008
6 Biaya penelitian : Rp 19.350.000
Mengetahui
Ketua P4M
DR. Rahmawati, M.Si, AktNIP.
Surakarta, 25 Agustus 2008
Ketua Peneliti
Izza Mafruhah, SE, MS.iNIP. 132 300 215
Menyetujui
Ketua LPPM UNS
Mengetahui
Pembantu Dekan I FE UNS
83
Prof DR Sunardi, MScNIP. 130 605 279
Drs Sutomo, MS
NIP 131 387 888
84
LAPORAN PENELITIAN
Model Sinergisitas Dalam Pengembangan
Ekonomi Lokal Berbasis UMKM
Oleh :
Izza Mafruhah, SE, Msi
Siti Khoiriyah, SE, M.Si
Dibiayai DIPA Fakultas Ekonomi UNS
Tahun 2008
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
April 2008
85
CURRICULUM VITAE KETUA PENELITI
Nama Lengkap : Izza Mafruhah, SE, M.Si
Tempat/ Tanggal lahir : Yogyakarta, 23 Maret 1972
Alamat : Jl Mayor Sunaryo no 32 Sukoharjo phone
( 0271 )593263
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status : Kawin
Pekerjaan : Dosen Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pendidikan terakhir : Pasca sarjana
RIWAYAT ORGANISASI
NO TAHUN ORGANISASI JABATAN
1 2003 - skrg Masyarakat Ekonomi Syari’ah Surakarta (MES ) Bendahara
2 2003 - skrg Pusat Informasi dan Pembangunan Wilayah
(PIPW) LPM UNS
Anggota
3 2003 - skrg Pusat Pengembangan Ekspor ( PPE ) Fak
Ekonomi UNS
Bendahara
4 2004 - skrg Jaringan Insan Mandiri Dewan Manajemen
5 2005 - 2006 Pusat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat
LPPM UNS
Sekretaris
6 2006 - 2007 Pusat pengembangan Sumber Daya Manusia
LPPM UNS
Sekretaris
7 2007 - 2009 Tim Pengembang LPPM UNS Pengembangan
investasi
8 2007 - 2009 Kantor Humas dan Kerjasama Universitas Sebelas
Maret Surakarta
Task Force bidang
Kerjasama Dalam
Negeri
86
RIWAYAT PENDIDIKAN
NO TAHUN PENDIDIKAN TEMPAT
1 2000 Pasca sarjana dalam Ekonmi Pembangunan
konsentrasi pengembangan ekonomi regional
Universitas Gadjah
Mada
2 1994 Sarjana dalam Ekonomi Jurusan Ekonomi
Pembangunan
Universitas Sebelas
Maret Surakarta
Kegiatan profesional / judul karya Ilmiah yang pernah ditulis
PENELITIAN & TULISAN ILMIAH
NO JUDUL TULISAN TAHUN
1 Analisis Daya Dukung Lahan dan kualitas Lingkungan di Kabupaten Karanganyar.
Didanai DIPA LPPM UNS
2006
2 Pembuatan Naskah akademik bagi Rancangan Peraturan Daerah tentang Pertanian di
kabupaten Karanganyar, didanai DPRD Kabupaten Karanganyar ( dalam proses
finishing )
3 Analisis Efisiensi Kinerja Perbankan di Indonesia Berdasarkan rating 20 bank
dengan kinerja sangat baik tahun 2005, Di danai Dirjen Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional
2006
4 Kajian Pemanfaatan Subsidi Langsung Tunai di Daerah Pertanian ( Jawa Tengah).
Didanai Deputi I Bidang Kesejahteraan Sosial, Kementrian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat RI
2006
5 Pembuatan naskah akademik bagi Rancangan Peraturan Daerah tentang Kemitraan di
Kabupaten Boyolali, didanai DPRD Kabupaten Boyolali
2006
6 ANALISIS PEMBENTUKAN UNI MONETER ASEAN-5 DENGAN
PENDEKATAN PARITAS INTERNASIONAL DALAM HUBUNGAN
KESEIMBANGAN NILAI TUKAR JANGKA PANJANG (1980– 2002), Di danai
Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional
2005
7 Analisis Efisiensi Kinerja Perbankan ( Perbandingan antara Bank Swasta dan Bank 2005
87
Pemerintah ) tahun 2005 didanai Diknas Jateng
8 Pengaruh Faktor – faktor ekonomi dan non ekonomi dalam Penawaran Tenaga Kerja
Wanita Indonesia ke luar negeri di kabupaten Karanganyar didanai Dirjen
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional
2005
9 Analisis Faktor – factor yang mempengaruhi pola konsumsi masyarakat se eks
karesidenan Surakarta selama krisis ( tahun 1998 – 2001). Di danai Dirjen
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional
2004
10 Analisis Kesiapan Propinsi Kalimantan Timur dalam Implementasi pelaksanaan
otonomi Daerah, Studi Kasus Kabupaten Kutai, 2000
2000
11 Hubungan Antar Variabel pada Instrumen kebijakan Fiskal, Studi Kasus Negara
Singapura
1999
12 Analisis Daya Dukung Lahan dan Indeks Kualitas Hidup Manusia, Studi Kasus
Kabupaten Magelang
1998
13 Faktor – Faktor yang mempengaruhi penawaran tenaga kerja wanita di Kotamadya
Surakarta Didanai Kopertis Wilayah V Yogyakarta
1998
ARTIKEL DAN BUKU DIPUBLIKASIKAN / DITERBITKAN
NO JUDUL ARTIKEL JURNAL TAHUN
1 Analisis efisiensi Kinerja Perbankan di Indonesia ( Studi
Perbandingan bank swasta & nasional ) di jurnal Optima
Vol 3 No 2
ISSN 1693-5888.
Terakreditasi SK
55/DIKTI/ Kep/ 2005
Maret
2006
2 Pengujian Kausalitas Granger dan Simultanitas Terhadap
Hubungan Antar Variabel Dalam Instrumen Kebijakan
Fiskal : Studi Kasus Negara Singapura
Jurnal Ilmu Ekonomi &
Pembangunan FE UNS
ISSN : 1412-2200 Vol 3
N0 1
Nov 2003
3 Membumikan Konsep Syari’ah dalam Ekonomi
Berbasisi Kerakyatan ( Baitul Maal Wat Tamwil Sebagai
Sebuah Solusi )
Jurnal Ekonomi
Pembangunan FE UMS
ISSN : 1411-6081 Vol 3
Des 2002
88
No 2
4 Perubahan Paradigma Pembangunan Daerah di Indonesia Jurnal Ekonomi
Pembangunan FE UMS
ISSN : 1411-6081 Vol 3
No 2
Des 2001
5 Kemiskinan dan Kesejahteraan Jurnal Ekonomi
Pembangunan FE UMS
ISSN : 1411- 6081 Vol
1 N0 1
Juni 2000
6 Buku Profil Pengusaha di Daerah Binaan LPM UNS,
Desa Serenan
Diterbitkan UNS Press
ISBN : 979-498-220-2
Desember
2004
7 Buku Matematika Bisnis ( sudah cetakan kedua ) Diterbitkan UNS Press
ISBN : 979-498-238-5
Januari
2005
8 Buku Kajian Pemanfaatan Subsidi Langsung Tunai di
daerah Pertanian ( Propinsi Jawa Tengah )
Diterbitkan UNS Press,
ISBN 979-498-306-3
Juni 2006
9 Naskah Akademik Raperda Pertanian Kabupaten
Karanganyar
Dtiterbitakan UNS Press,
ISBN 979-498-339-X
Des 2006
10 Naskah Akademik Raperda Pendidikan Kabupaten
Karanganyar
Dtiterbitakan UNS Press,
ISBN 979-498-342-X
Jan 2007
SEMINAR / LOKAKARYA / PELATIHANNO NAMA KEGIATAN STATUS KEIKUT
SERTAAN
TAHUN
1 Pelatihan Pembentukan BMT Tingkat Dasar kerjasama
MES – ATC
Instruktur 2003
2 Pelatihan Pembentukan BMT Tingkat Menengah
Kerjasama MES – ATC
Instruktur 2004
3 Pelatihan Ekonomi Islam kerjasama KEI FE UNS –
BSM
Instruktur 2004
4 Pelatihan AMOS-LISREL Peserta 2004
5 Pelatihan Digital Peserta 2004
6 Workshop Perbankan Syari’ah Peserta 2004
89
7 Pelatihan Usaha Kecil Menengah Tk Dasar Instruktur 2004
8 Pelatihan Usaha Kecil Menengah Tk Menengah Instruktur 2004
9 Seminar Pertumbuhan Ekonomi, Inflasi dan Ketegaran
Tingkat Upah serta Implementasinya dalam
Perekonomian Daerah
Peserta 2004
10 Workshop Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Nasional dan Daerah ( SPKN & SPKD ) tingkat regional
III ( Jawa, Kalimantan dan Bali )
Tim pemateri 2004
11 Focus Group Disscussion Usaha Mikro Kecil Menengah
LPM UNS
Penyaji 2004
12 Penyusunan Potensi daerah kerjasama UNS dengan
BAPEDA Klaten
Supervisor 2003
13 Penelitian kerjasama FE UNS dengan British Council
dalam Management Based School di 4 Kabupaten di
Jawa Tengah
Koordinator surveyor 2003
14 Program Lifeskill Peningkatan Ketrampilan Pengrajin
Handycraft di Serenan Klaten
Koordinator kegiatan 2004
15 Pendampingan Program Dasar Pembangunan Partisipatif
pada Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif di
Kabupaten Klaten, Kerjasama CPP PIPW LPPM UNS –
Perform RTI – Pemda Klaten
Pendamping 2004
16 Pendampingan Program Dasar Pembangunan Partisipatif
pada Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif di
Kabupaten Magelang, Kerjasama CPP PIPW LPPM
UNS – Perform RTI – Pemda Magelang
Pendamping 2004
17 Pendampingan Program Dasar Pembangunan Partisipatif
pada Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif di
Kabupaten Purworejo, Kerjasama CPP PIPW LPPM
UNS – Perform RTI – Pemda Purworejo
Pendamping 2004
18 Survey The Cost of Doing Bisnis, kerjasama dengan
LPEM FE UI
Supervisor 2005
19 Penyusunan Data Base Profil pengusaha di daerah Ketua Tim 2004
90
Serenan
20 Survey Management Based On School kerjasama FE
UNS-British Council- LPRM UI
Supervisor 2003
21 Pembentukan Integrasi line Bisnis dan Pusat Pelatihan
Perkayuan dan kewirausahaan LPPM UNS
Koordinator 2005
22 Diskusi Ilmiah Menuju Perusahaan Negara yang sehat Ketua panitia 2005
23 Bussines Meeting Pengembangan Wirausaha Baru Ketua Panitia 2005
24 Program Lifeskills Pola 100 juta dengan judul
Pemanfaatan Limbah Kayu menjadi Kerajinan
Handicraft didanai Dirjen PLS Departemen Pendidikan
Nasional tahun 2005
Koordinator 2005
25 Program Lifeskills Pola 300 juta dengan Judul
pembentukan Information Training And Consulting
Based On Information technology and Communication.
Didanani Dirjen PLS Departemen Pendidikan Nasional
tahun 2006
Koordinator 2006
26 Talk Show Strategi Meraih Kerja yang Prospektif,
Himaseta Pertanian UNS
Pembicara 2005
27 Seminar Nasional Ekonomi Syari’ah “Revitalisasi
Sistem Ekonomi Syari’ah untuk Memberdayakan
Ekonomi Bangsa” Dalam Rangka Dies Natalis UNS ke
31 tahun 2007
Pembicara 2007
91
Top Related