Download - 99746803 Toilet Training Lm

Transcript
Page 1: 99746803 Toilet Training Lm

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua peristiwa yang berbeda

tetapi berlangsung sama, saling berkaitan sehingga sulit di pisahkan.

Perkembangaan anak yang kurang akan berakibat kualitas SDM yang buruk

dimasa mendatang. Kualitas perkembangan anak terutama ditentukan pada usia

batita (bayi usia tiga tahun) yang usia kisarannya 0-3 tahun (Soetjiningsih, 1997).

Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan (skill)

dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan

dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Perkembangan yang

terjadi pada anak menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel- sel tubuh,

jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa

sehingga masing- masing dapat memenuhi fungsinya. Selain itu termasuk juga

perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi. Upaya

peningkatan kualitas sumber daya manusia sebaiknya direncanakan sejak awal

kehidupan seseorang dan berlanjut pada masa usia batita. Pada masa itu sangat

penting untuk meletakkan dasar-dasar pertumbuhan dan perkembangan anak.

Menghasilkan suatu generasi yang dapat tumbuh dan berkembang secara baik

perlu diupayakan melalui berbagai cara agar mendukung perkembangan sehat dan

dapat tercapai perkembangan secara sempurna (Setiono, 2009).

Salah satu stimulasi yang penting dilakukan orangtua adalah stimulasi

terhadap kemandirian anak dalam melakukan BAB (buang air besar) dan BAK

(buang air kecil). Kebiasaan mengompol pada anak usia di bawah usia 2 tahun

1

Page 2: 99746803 Toilet Training Lm

masih dianggap sebagai hal yang wajar. Anak mengompol di bawah usia 2 tahun

disebabkan karena anak belum mampu mengontrol kandung kemih secara

sempurna. Tidak jarang kebiasaan mengompol masih terbawa sampai usia 4-5

tahun. Kasus yang ditemukan di Indonesia anak usia 6 tahun yang masih

mengompol sekitar 12 % (Asti, 2008).

Mendidik anak dalam melakukan BAB dan BAK akan efektif apabila

dilakukan sejak dini. Kebiasaan baik dalam melakukan BAK dan BAB yang

dilakukan sejak dini akan dibawa sampai dewasa. Salah satu cara yang dapat

dilakukan orang tua dalam mengajarkan BAB dan BAK pada anak adalah melalui

toilet training. Toilet training merupakan cara untuk melatih anak agar bisa

mengontrol buang air kecil dan buang air besar (Asti, 2008). Hal ini penting

dilakukan untuk melatih kemandirian anak dalam melakukan BAK dan BAB

sendiri. Toilet training baik dilakukan sejak dini untuk menanamkan kebiasaan

yang baik pada anak. Toilet training akan dapat berhasil dengan baik apabila ada

kerjasama antara orangtua dengan anak. Kerja sama yang baik akan memberikan

rasa saling percaya pada orangtua dan anak. Menurut beberapa penyelidikan,

sikap, tingkah laku dan cara berpikir anak kelak setelah ia dewasa akan sangat

dipengaruhi pengalamannya pada saat ini. Toilet training sangat penting dalam

membentuk karakter anak dan membentuk rasa saling percaya dalam hubungan

anak dan orangtua.

Dampak orang tua tidak menerapkan toilet training pada anak diantaranya

adalah anak menjadi keras kepala dan susah untuk diatur (Hidayat, 2005). Selain

itu anak tidak mandiri dan masih membawa kebiasaan mengompol hingga besar.

Toilet training yang tidak diajarkan sejak dini akan membuat orangtua semakin

2

Page 3: 99746803 Toilet Training Lm

sulit untuk mengajarkan pada anak ketika anak bertambah usianya (Hidayat,

2005). Mengajarkan toilet training pada anak bukanlah hal yang mudah untuk

dilakukan, dalam mengajarkan toilet training dibutuhkan metode atau cara yang

tepat sehingga mudah dimengerti oleh anak. Penggunaan metode yang tepat akan

mempengaruhi keberhasilan orangtua dalam mengajarkan konsep toilet training

pada anak.

Pengetahuan tentang toilet training sangat penting untuk dimiliki oleh

seorang ibu. Hal ini akan berpengaruh pada penerapan toilet training pada anak.

Ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan yang baik berarti mempunyai

pemahaman yang baik tentang manfaat dan dampak dari toilet training, sehingga

ibu akan mempunyai sikap yang positif terhadap konsep toilet training. Sikap

merupakan kecenderungan ibu untuk bertindak atau berperilaku. Sikap yang baik

tentang toilet training dapat diartikan bahwa ibu sudah siap untuk menerapkan

toilet training pada anak. Namun, pengetahuan dan sikap saja tidak akan

bermanfaat jika pola asuh orang tua juga salah dalam mendidik anak selama fase

toilet training tersebut. Pola asuh orang tua menunjukkan sejauh mana

kemampuan orang tua untuk merawat anak dan memberikan asuhan yang mampu

mengoptimalkan kemampuan anak meliputi pertumbuhan dan perkembangan

anak sesuai dengan usianya (Suryabudhi, 2003).

Penerapan toilet training pada anak oleh orangtua dipengaruhi oleh banyak

faktor. Suryabudhi (2003) menyatakan bahwa pendidikan dan persepsi

berpengaruh pada sikap toilet training orang tua pada anak. Orang tua yang

mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih peduli terhadap masalah

3

Page 4: 99746803 Toilet Training Lm

kesehatan dan perkembangan anak. Sikap yang baik tersebut akan dilaksanakan

dalam bentuk pola asuh orang tua terhadap anaknya.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Ruang Poliklinik Anak RSUD

Wangaya Denpasar pada bulan Januari – Juli 2011 diperoleh bahwa terdapat 240

anak usia pra sekolah (4-6 tahun) yang memeriksakan diri ke Rumah Sakit.

Berdasarkan studi pendahuluan terhadap 20 orang anak usia prasekolah diperoleh

bahwa 10 orang (50%) masih mengalami ngompol. Hal tersebut menunjukkan

bahwa fase toilet training pada anak selama usia toddler mengalami hambatan

atau kegagalan.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan mengingat pentingnya

toilet training bagi anak, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang ”Hubungan

Antara Pola Asuh Orang Tua dengan Keberhasilan Toilet training pada Anak Usia

prasekolah di RSUD Wangaya Denpasar Tahun 2011.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, adapun rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut : “Apakah ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan

keberhasilan toilet training pada anak usia prasekolah di RSUD Wangaya

Denpasar Tahun 2011”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum:

Menganalisa hubungan antara pola asuh orang tua dengan keberhasilan toilet

training pada anak usia prasekolah di RSUD Wangaya Denpasar Tahun 2011.

4

Page 5: 99746803 Toilet Training Lm

2. Tujuan Khusus:

a. Mengidentifikasi pola asuh orang tua pada anak usia prasekolah di RSUD

Wangaya Denpasar

b. Mengidentifikasi toilet training pada anak usia prasekolah di RSUD Wangaya

Denpasar

c. Menganalisa hubungan pola asuh orang tua dengan keberhasilan toilet

training pada anak usia prasekolah di RSUD Wangaya Denpasar

D. Manfaat Penelitian

1. Institusi :

Diharapkan dapat digunakan oleh institusi untuk meningkatkan

pengetahuan perawat atau tenaga kesehatan dalam meningkatkan keberhaasilan

toilet training pada anak.

2. Masyarakat

Masyarakat terutama orang tua dapat mengetahui pola asuh apa yang harus

diterapkan pada anak usia toddler selama masa toilet training sehingga

pelaksanaan toilet training tidak terhambat.

E. Keaslian Penelitian

1. Ustari, Wida Sri (2005) dengan judul Efektifitas Pola Asuh Orang Tua

Terhadap Keberhasilan Toilet training Pada Anak Usia Prasekolah(4-6

Tahun) Di TK Wahid Hasyim Malang. Metode penelitian ini menggunakan

metode deskriptif yang memaparkan pola asuh orang tua terhadap

keberhasilan toilet training. Pengambilan sampel secara sampling dengan 40

orang sampel. Pola asuh orang tua dan keberhasilan toilet training diukur

5

Page 6: 99746803 Toilet Training Lm

dengan menggunakan kuesioner kemudian disimpulkan berdasarkan

keterangan dengan analisa deskriptif. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa

kategori dengan pola asuh orang tua autoritatif didapatkan sebanyak 85%

dengan toilet training berhasil dan 15 % dengan toilet training tidak

berhasil, dan tidak didapatkan pola asuh orang tua yang otoriter, pemanja,

ataupun penelantar. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada lokasi,

waktu, analisis penelitian dan teknik sampling yang digunakan.

2. Binarwati (2006) dengan judul “Pengaruh Pembelajaran Metode Demonstrasi

Terhadap Perubahan Perilaku Orang Tua dan Kemampuan Toilet training Pada

Anak Usia 15-36 Bulan di Poliklinik Anak Rumah Sakit Sardjito”. Penelitian

ini dilakukan di merupakan ekperimental dengan teknik simple random

sampling dengan jumlah 30 sampel. Metode statistik yang digunakan adalah uji

t test dan hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh antara pembelajaran

metode demonstrasi terhadap perubahan perilaku orangtua dan kemampuan

toilet training pada anak usia 15-36 bulan (p<0,05). Perbedaan dengan

penelitian ini adalah penelitian bukan merupakan penelitian eksperimental

melainkan meneliti tentang variabel pola asuh dengan keberhasilan pelaksanaan

toilet training saja.

6

Page 7: 99746803 Toilet Training Lm

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Toilet training

1. Pengertian

Toilet training adalah suatu usaha untuk melatih anak agar mampu

mengontrol dalam melakukan buang air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK)

(Hidayat, 2008). Toilet training merupakan suatu proses pengajaran untuk

mengontrol BAB dan BAK secara benar dan teratur (Zaivera, 2008). Toilet

training adalah pembiasaan pelatihan buang air (Koraag, 2007).

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan toilet training

adalah sebuah usaha pembiasaan mengontrol buang air kecil dan buang air besar

secara benar dan teratur.

2. Tahapan Toilet training

Mengajarkan toilet training pada anak memerlukan beberapa tahapan

seperti membiasakan menggunakan toilet pada anak untuk buang air, dengan

membiasakan anak masuk ke dalam water closet (WC) anak akan cepat lebih

adaptasi. Anak juga perlu dilatih untuk duduk di toilet meskipun dengan pakaian

lengkap dan jelaskan kepada anak kegunaan toilet. Lakukan secara rutin kepada

anak ketika terlihat ingin buang air (Zaivera, 2008).

Anak dibiarkan duduk di toilet pada waktu – waktu tertentu setiap hari,

terutama 20 menit setelah bangun tidur dan seusai makan, ini bertujuan agar anak

dibiasakan dengan jadwal buang airnya. Anak sesekali enkopresis (mengompol)

dalam masa toilet training itu merupakan hal yang normal. Anak apabila berhasil

7

Page 8: 99746803 Toilet Training Lm

melakukan toilet training itu merupakan hal yang normal. Anak apabila berhasil

melakukan toilet training maka orang tua dapat memberikan pujian dan jangan

menyalahkan apabila anak belum dapat melakukan dengan baik (Pambudi, 2006).

Prinsip dalam melakukan toilet training ada tiga yaitu sebagai berikut

(Pambudi, 2006) :

a. Melihat kesiapan anak

Salah satu pertanyaan utama tentang toilet training adalah kapan waktu

yang tepat bagi orang tua untuk melatih toilet training. Sebenarnya tidak ada

patokan umur anak yang tepat dan baku untuk toilet training karena setiap anak

mempunyai perbedaan dalam hal fisik dan proses biologisnya. Orang tua harus

mengetahui kapan waktu yang tepat bagi anak untuk dilatih buang air dengan

benar. Para ahli menganjurkan untuk melihat beberapa tanda kesiapan anak itu

sendiri, anak harus memiliki kesiapan terlebih dahulu sebelum menjalani toilet

training. Bukan orang tua yang menentukan kapan anak harus memulai proses

toilet training akan tetapi anak harus memperlihatkan tanda kesiapan toilet

training. Hal ini untuk mencegah terjadinya beberapa hal yang tidak diingkinkan

seperti pemaksaan dari orang tua atau anak trauma melihat toilet (Pambudi, 2006).

b. Persiapan dan perencanaan

Prinsipnya ada empat aspek dalam tahap persiapan dan perencanaan. Hal

yang perlu diperhatikan adalah hal – hal sebagai berikut : gunakan istilah yang

mudah dimengeti oleh anak yang menunjukkan perilaku buang air besar (BAB)/

buang air kecil (BAK) misalnya poopoo untuk buang air besar (BAB) dan peepee

untuk buang air kecil (BAK).

8

Page 9: 99746803 Toilet Training Lm

Orang tua dapat memperlihatkan penggunaan toilet pada anak karena pada

usia ini mereka cepat meniru tingkah laku orang tua. Orang tua hendaknya segera

mungkin mengganti celana anak bila basah karena mengompol atau terkena

kotoran, sehingga anak akan merasa risih bila memakai celana yang basah dan

kotor. Meminta pada anak untuk memberitahu dan menunjukkan bahasa tubuhnya

apabila ia ingin BAB atau BAK dan bila anak mampu mengendalikan dorongan

buang air maka jangan lupa berikan pujian pada anak (Farida, 2008).

Selain itu ada juga persiapan dan perencanaan yang lain seperti:

a. Mendiskusikan tentang toilet training dengan anak

Orang tua harus menunjukkan dan menekankan bahwa pada anak kecil

memakai popok dan pada anak besar memakai celana dalam. Orang tua juga bisa

membacakan cerita tentang cara yang benar dan tepat buang air.

b. Menunjukkan penggunaan toilet training

Orang tua harus melakukan sesuai dengan jenis kelamin anak (ayah

dengan laki – laki dan ibu dengan anak perempuan). Orang tua juga bisa meminta

kakaknya untuk menunjukkan pada adiknya bagaimana menggunakan toilet

dengan benar (disesuaikan juga dengan jenis kelamin).

c. Membeli pispot yang sesuai dengan kenyamanan anak

Pispot ini digunakan untuk melatih anak sebelum ia bisa dan terbiasa

untuk duduk di toilet. Anak bila langsung menggunakan toilet orang dewasa, ada

kemungkinan anak akan takut karena lebar dan terlalu tinggi untuk anak atau tidak

merasa nyaman. Pispot sesuai dengan kebutuhan anak, diharapkan dia akan

terbiasa dulu buang air di pispotnya baru kemudian diarahkan ke toilet

sebenarnya. Orang tua saat hendak membeli pispot usahakan untuk melibatkan

9

Page 10: 99746803 Toilet Training Lm

anak sehingga dia bisa menyesuaikan dudukan pispotnya atau bisa memilih

warna, gambar atau bentuk yang ia sukai.

d. Pilih dan rencanakan metode reward untuk anak

Suatu proses panjang dan tidak mudah seperti toilet training ini, sering

kali dibutuhkan suatu bentuk reward atau reinforcement yang bisa menunjukkan

kalau ada kemajuan yang dilakukan anak dengan sistem reward yang tepat. Anak

juga bisa melihat sendiri kalau dirinya bisa melakukan kemajuan dan bisa

mengerjakan apa yang sudah menjadi tuntunan untuknya sehingga hak ini akan

menambah rasa mandiri dan percaya dirinya. Orang tua bisa memilih metode

peluk cinta serta pujian di depan anggota keluarga yang lain ketika ia berhasil

melakukan sesuatu atau mungkin orang tua bisa menggunakan sistem stiker /

bintang yang ditempelkan di bagian ”keberhasilan” anak (Pambudi, 2006).

Ketika orang tua sudah melakukan dua langkah di atas maka bisa masuk

ke langkah selanjutnya yaitu toilet training. Proses toilet trainng ada beberapa hal

yang perlu dilakukan yaitu:

a. Membuat jadwal untuk anak

Orang tua bisa menyusun jadwal dengan mudah ketika orang tua tahu

dengan tepat kapan anaknya biasa buang air besar (BAB) atau buang air kecil

(BAK). Orang tua bisa memilih waktu selama empat kali dalam sehari untuk anak

yaitu pagi, siang, sore dan malam bila orang tua tidak mengetahui jadwal yang

pasti BAB atau BAK anak.

b. Melatih anak untuk duduk di pispotnya

Orang tua sebaiknya tidak memupuk impian bahwa anak akan segera

menguasai dan terbiasa untuk duduk di pispot dan buang air disitu. Awalnya anak

10

Page 11: 99746803 Toilet Training Lm

dibiasakan dulu untuk duduk di pispotnya dan ceritakan padanya bahwa pispot itu

digunakan sebagai tempat membuang kotoran. Orang tua bisa memulai

memberikan rewardnya ketika anak bisa duduk di pispotnya selama 2-3 menit

misalnya ketika anak bisa menggunakan pispotnya untuk BAK maka reward yang

diberikan oleh orang tua harus lebih bermakna dari pada sebelumnya.

c. Orang tua menyesuaikan jadwal yang dibuat dengan kemajuan yang

diperlihatkan anak

Misalnya anak hari ini pukul 09.00 pagi anak buang air kecil di popoknya

maka esok harinya orang tua sebaiknya membawa anak ke pispotnya pada pukul

08.30 atau bila orang tua melihat bahwa beberapa jam setelah BAK yang terakhir

anak tetap kering, bawalah dia ke pispot untuk BAK. Hal yang terpenting adalah

orang tua harus proaktif membawa anak ke pispotnya jangan terlalu berharap anak

akan langsung mengatakan pada orang tua ketika dia ingin BAB atau BAK.

d. Buatlah bagan untuk anak

Bagan digunakan supaya bisa melihat sejauh mana kemajuan yang bisa

dicapainya dengan stiker yang lucu dan warna – warni, orang tua bisa meminta

anaknya untuk menempelkan stiker tersebut i bagian itu. Anak akan tahu bahwa

sudah banyak kemajuan yang dia buat dan oang tua bisa mengatakan padanya

orang tua bangga dengan usaha yang telah dilakukan anak (Sears, 2006).

3. Faktor – faktor yang mempengaruhi kesiapan toilet training

Faktor – faktor yang mempengaruhi kesiapan toilet training pada anak

yaitu :

11

Page 12: 99746803 Toilet Training Lm

a. Minat

Suatu minat telah diterangkan sebagai sesuatu dengan apa anak

mengidentifikasi kebenaran pribadinya. Minat tumbuh dari tiga jenis pengalaman

belajar. Pertama ketika anak – anak menemukan sesuatu yang menarik perhatian

mereka. Kedua, mereka belajar melalui identifikasi dengan orang tua yang dicintai

atau dikagumi dan juga pola perilaku mereka. Ketiga, mungkin berkembang

melalui bimbingan dan pengarahan seseorang yang mahir menilai kemampuan

anak. Perkembangan kemampuan intelektual memungkinkan anak menangkap

perubahan – perubahan pola tubuhnya sendiri dan perbedaan antara tubuhnya

dengan tubuh teman sebaya dengan orang dewasa, sehingga dengan adanya

bimbingan dan pengarahan dari orang tua maka sangatlah mungkin seorang anak

dapat melakukan toilet training sesuai dengan yang diharapkan (Hidayat, 2008).

b. Pengalaman

Pengalaman merupakan sumber pengetahuan atau sutu cara untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang

kembali pengalaman yang telah diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang

dihadapi pada masa lalu (Notoatmodjo, 2003).

c. Lingkungan

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap

pembentukan dan perkembangan perilaku individu baik lingkungan fisik maupun

lingkungan sosio – psikologis termasuk di dalamnya adalah belajar (Sudrajat,

2008).

12

Page 13: 99746803 Toilet Training Lm

4. Hal yang penting yang perlu diperhatikan dalam latihan toilet training

Menurut Imam (2003), hal yang penting perlu diperhatikan dalam toilet

training adalah:

a. Berikan penghargaan

Anak bila berhasil menahan buang air besar atau buang air kecil, berilah

penghargaan pada anak. Anak akan memahami tujuan dari toilet training yang

sedang dilaksanakannya.

b. Jangan marah atau memberi hujatan pada anak

Orang tua jangan marah bila anak belum bisa menahan kencing atau

mengompol. Terkadang orang tua terlalu memaksakan anak agar saat segera

buang air dengan benar.

c. Jelaskan pada anak tentang toilet training

Orang tua perlu menjelaskan kepada anak bahwa pada umur tersebut

sekarang sudah harus dapat buang air di tempatnya dengan benar dan tidak

memerlukan lagi popok sekali pakai (diapers).

d. Perhatikan siklus buang air

Orang tua memperhatikan siklus buang air anak dengan begitu pelatihan

buang air dapat berjalan dengan baik dan lancar tanpa ada pemaksaan dari orang

tua.

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Toilet training

a. Pendidikan Ibu

Tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang

menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh (Kodyat dalam

Notoatmodjo, 2006). Dari kepentingan keluarga, pendidikan itu sendiri amat

13

Page 14: 99746803 Toilet Training Lm

diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap masalah perkembangan anak

salah satunya penerapan toilet training di dalam keluarganya. Tingkat pendidikan

berpengaruh pada pengetahuan ibu tentang penerapan toilet training, apabila

pendidikan ibu rendah akan berpengaruh pada pengetahuan tentang penerapan

toilet training sehingga berpengaruh pada cara melatih secara dini penerapan

toilet training (Notoatdmojo, 2006).

b. Pekerjaan Ibu

Status pekerjaan ibu mempunyai hubungan yang bermakna dengan

penerapan toilet training secara dini pada anak usia toddler, dimana pekerjaan ibu

dapat menyita waktu ibu untuk melatih anak melakukan toilet training secara dini

sehingga berdampak pada terlambatnya anak untuk mandiri melakukan toilet

training.

c. Pola Asuh atau Kualitas Kasih Sayang

Kasih sayang dan perhatian ibu yang dimiliki mempengaruhi kualitas

dalam penerapan toilet training secara dini, dimana ibu yang perhatian akan

berpengaruh lebih cepat dalam melatih anak usia toddler melakukan toilet training

secara dini. Dengan dukungan perhatian ibu maka anak akan lebih berani atau

termotivasi untuk mencoba karena mendapatkan perhatian dan bimbingan. Kasih

sayang dan bimbingan dari orang tua tercermin terhadap pola asuh yang

diterapkan oleh orang tua sejak bayi.

d. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan yang dimiliki ibu pada dasarnya dapat berpengaruh pada

cepat atau lambatnya ibu melakukan penerapan toilet training, dimana ibu yang

memiliki pengetahuan yang baik tentang toilet training secara dini pada anak usia

14

Page 15: 99746803 Toilet Training Lm

toddler, hal ini berdampak positif bagi ibu maupun anak usia toddler yaitu anak

dapat mandiri melakukan toilet training.

e. Lingkungan

Lingkungan berpengaruh besar pada cepat atau lambatnya penerapan toilet

training, dimana ibu akan memperhatikan lingkungan sekitar apakah anak sesuai

usianya sudah dilatih toilet training atau belum, misalnya seorang anak 1 tahun

belum dilatih ibu untuk toilet training, maka yang lain akan meniru karena

menganggap hal ini wajar dan belum saatnya untuk dilatih. Hal ini menjadi suatu

hambatan, dimana anak usia 1 tahun sebenarnya sudah harus dilakukan penerapan

toilet training secara dini agar tidak merepotkan apabila sedang bersosialisasi atau

bermain dengan teman sebayanya.

6. Dampak latihan toilet training

Dampak yang paling umum dalam kegagalan toilet training seperti adanya

perlakuan atau aturan yang ketat bagi orang tua kepada anaknya yang dapat

mengganggu kepribadian anak yang cenderung bersifat retentive dimana anak

cenderung bersikap keras kepala bahkan kikir. Hal ini dapat dilakukan oleh orang

tua apabila sering memarahi anak pada saat buang air besar atau kecil atau

melarang anak bepergian. Bila orang tua santai dalam memberikan aturan dalam

toilet training maka anak akan dapt mengalami kepribadian eksprensif dimana

anak lebih tega, cenderung ceroboh, suka membuat gara – gara, emosional dan

seenaknya dalam melakukan kegiatan sehari – hari (Hidayat, 2008).

15

Page 16: 99746803 Toilet Training Lm

B. Kemampuan Toilet training Anak Usia Toddler atau Fase Anal

1. Perkembangan Psikososial Anak

Sigmund Freud (dalam Supartini, 2004) mengemukan bahwa

perkembangan psikososial anak terdiri dari fase oral, fase anal, fase falik, dan fase

genital.

a. Fase Oral (0 sampai 11 bulan)

Selama masa bayi, sumber kesenangan anak terbesar terpusat pada

aktivitas oral, seperti mengisap, menggigit, mengunyah, dan mengucap.

Hambatan atau ketidakpuasan dalam pemenuhan kebutuhan oral akan

mempengaruhi fase perkembangan berikutnya. Penanaman identitas gender pada

bayi mulai dengan adanya perlakuan ibu atau ayah yang berbeda, misalnya bayi

perempuan cenderung diajak berbicara lebih banyak melakukan aktivitas motorik

pada bayi laki – laki, sementara ayah lebih banyak melakukan aktivitas motorik

pada bayi laki – laki daripada bayi perempuan, misalnya dengan mengangkat dan

menjunjung bayi ke atas.

b. Fase Anal ( 1 sampai 3 tahun )

Selama fase kedua, yaitu menginjak tahun pertama sampai ketiga,

kehidupan anak berpusat pada kesenangan anak, yaitu selama perkembangan otot

spinter. Anak akan senang menahan fesesnya sesuai dengan keinginannya.

Dengan demikian, toilet training adalah waktu yang tepat dilakukan periode ini.

c. Fase Falik (3 sampai 6 tahun)

Selama masa ini, genetalia menjadi area yang menarik dan area tubuh

yang sensitif. Anak mulai mempelajari adanya perbedaan jenis kelamin

perempuan dan laki –laki dengan mengetahui adanya perbedaan alat kelamin.

16

Page 17: 99746803 Toilet Training Lm

Sering sekali anak sangat penasaran dengan pertanyaan yang diajukannya

berkaitan dengan perbedaan ini. Orang tua harus bijak dalam memberi penjelasan

tentang hal ini sesuai dengan kemampuan perkembangan kognitifnya agar anak

mendapatkan pemahaman yang benar. Selain itu, untuk memahami identitas

gender, anak sering meniru bapak atau ibunya, misalnya dengan menggunakan

pakaian ayah atau ibunya. Secara psikologis pada fase ini mulai berkembang

superego, yaitu anak mulai berkurang sifat egosentrinya.

Perkembangan seksual selama tahun – tahun prasekolah adalah fase yang

sangat penting bagi keseluruhan identitas dan keyakinan – keyakinan seksualnya.

Anak –anak prasekolah membentuk kedekatan yang kuat kepada orang tua dari

jenis seks yang berbeda sementara mengidentifikasi diri dengan orang tua dari

jenis seks yang sama. Perbedaan seks atau proses dimana individual

mengembangkan perilaku, kepribadian, sikap dan keyakinan sesuai dengan

budaya dan jenis seksnya, muncul melalui beberapa mekanisme selama periode

ini. Mungkin mekanisme yang paling kuat adalah praktek dan membesarkan anak.

Cara orang tua mendandani, memegang, bermain, merawat, mendisiplinkan, dan

berbicara kepada anak mereka mengekspresikan beberapa aspek perilaku orientasi

seksual. Semakin banyak penelitian yang mewujudkan bahwa identifikasi gender

bukan hanya bersifat biologis atau genetik tetapi lebih utama sebagai hasil dari

faktor–faktor postnatal yang kompleks dan sebagian besar anak menyadari seks

mereka dan berperilaku sesuai seks mereka pada usia 1,5 – 2,5 tahun. Sekalipun

toddler mungkin menyadari jenis seks mereka tapi mereka tidak mempunyai

keterampilan bahasa dan kognitif untuk menginvestigasi identitas seksual mereka

sebagaimana anak usia prasekolah.

17

Page 18: 99746803 Toilet Training Lm

Ketika identitas seksual dibangun dalam pengenalan jenis kelamin,

kesopanan dan kekhawatiran akan pelecehan dapat menjadi suatu perhatian. Ada

imitasi peran seks, dan berdandan seperti ayah atu ibu adalah suatu aktivitas

penting. Sikap dan respon orang lain terhadap permainan peran dapat

mengkondisikan si anak sebelumnya untuk melihat dirinya atau orang lain.

Misalnya komentar seperti “anak laki harusnya tidak main boneka” dapat

mempengaruhi konsep diri anak lelaki mengenai maskulinitas.

Eksplorasi seksual mungkin lebih nyata pada saat ini dibandingkan

sebelumnya, khususnya dalam mengeksplorasi dan memanipulasi genital.

Pertanyaan – pertanyaan mengenai reproduksi seksual dapat muncul dalam usaha

anak – anak prasekolah untuk memahami.

d. Fase Laten ( 6 sampai 12 tahun )

Selama periode ini, anak menggunakan energi fisik dan psikologis yang

merupakan media untuk mengeksplorasi pengetahuan dan pengalamannya melalui

aktivitas fisik maupun sosialnya. Pada awal fase laten, anak perempuan lebih

menyukai teman dengan jenis kelamin perempuan, dan anak laki – laki dengan

anak laki –laki. Pertanyaan anak tentang seks semakin banyak, mengarah pada

sistem reproduksi. Dalam hal ini, orang tua harus bijaksana dalam merespon yaitu

menjawab dengan jujur dan hangat. Luas jawaban disesuaikan dengan maturitas

anak. Sering kali begitu penasaran dengan seks, anak mungkin dapat bertindak

coba – coba dengan teman sepermainan. Oleh karena itu, apabila anak tidak

pernah bertanya tentang seks, sebaiknya orang tua waspada. Peran ibu dan ayah

sangat penting dalam melakukan pendekatan dengan anak, pelajari apa yang

sebenarnya dipikirkan oleh anak berkaitan dengan dengan seks.

18

Page 19: 99746803 Toilet Training Lm

e. Fase Genital ( 12 sampai 18 tahun )

Tahapan akhir masa perkembangan menurut Freud adalah tahapan genital

ketika anak mulai masuk pubertas, yaitu dengan adanya proses kematangan organ

reproduksi dan produksi hormon seks.

Toilet training dapat dilakukan pada fase anal dan pada fase ini anak

berada pada usia toddler. Anak usia toddler (1-3 tahun) merujuk konsep periode

kritis dan plastisitas yang tinggi dalam proses tumbuh kembang, maka usia satu

sampai tiga tahun sering disebut sebagai golden period (kesempatan emas) untuk

meningkatkan kemampuan setinggi – tingginya dan plastisitas yang tinggi adalah

perumbuhan sel otak cepat dalam waktu yang singkat, peka terhadap stimulasi dan

pengalaman, fleksibel mengambil alih fungsi sel sekitarnya dengan membentuk

sinaps – sinaps serta sangat mempengaruhi periode tumbuh kembang selanjutnya.

Kemampuan anak usia 18-36 bulan sesuai dengan tugas perkembangannya

meliputi perkembangan motorik kasar dan halus, perkembangan emosi, perilaku

dan bicara, diantaranya sebagai berikut:

Usia 12 – 18 bulan anak dapat berjalan dan mengeksplorasi rumah serta

sekeliling rumah, anak dapat menyusun dua atau tiga balok, dapat mengatakan 5

sampai 10 kata dan anak dapat memperlihatkan rasa cemburu dan rasa bersaing.

Usia 18 – 24 bulan perkembangan anak yaitu anak dapat naik turun tangga,

menyusun 6 kotak, menunjuk mata dan hidungnya, menyusun dua kata, belajar

makan sendiri dan menggambar di kertas atau pasir, mulai belajar mengontrol

buang air besar dan buang air kecil, menaruh minat kepada apa yang dikerjakan

oleh orang yang lebih besar dan memperlihatkan minat kepada apa yang

dilakukan anak lain dan bermain dengan mereka.

19

Page 20: 99746803 Toilet Training Lm

Usia 2 – 3 tahun perkembangan anak tersebut yaitu belajar meloncat,

memanjat dan melompat dengan satu kaki, membuat jembatan dengan 3 kotak,

mampu menyusun kalimat, menggunakan kata – kata saja, bertanya dan mengerti

kata – kata yang ditunjukkan kepadanya, menggambar lingkaran dan bermain

dengan anak lain dan menyadari adanya lingkungan lain di luar keluarga

(Soetjiningsih, 1995).

2. Kemampuan Anak Usia Toddler dalam Toilet Training

Anak – anak yang telah mampu melakukan toilet training dapat dilihat

dari kemampuan psikologi, kmampuan fisik dan kemampuan kognitif.

Kemampuan psikologi anak mampu melakukan toilet training sebagai berikut

anak tampak kooperatif, anak memiliki waktu kering periodenya 3 – 4 jam, anak

buang air kecil dalam jumlah yang banyak, anak sudah menunjukkan keinginan

untuk BAB dan BAK dan waktu sudah diperkirakan dan teratur.

Kemampuan fisik dalam melakukan toilet training yakni anak dapat duduk

atau jongkok tenang kurang dari 2 – 5 menit, anak dapat berjalan dengan baik,

anak sudah dapat menaikkan dan menurunkan celananya sendiri, anak merasakan

tidak nyaman bila mengenakan popok sekali pakai yang basah atau kotor, anak

menunjukkan keinginan dan perhatian terhadap kebiasaan ke kamar mandi, anak

dapat memberitahu bila ingin buang air besar atau kecil, menunjukkan sikap

kemandirian, anak sudah memulai proses imitasi atau meniru segala tindakan

orang, kemampuan atau keterampilan dapat mencontoh atau mengikuti orang tua

atau saudaranya dan anak tidak menolak dan dapat bekerjasama saat orang tua

mengajari buang air.

20

Page 21: 99746803 Toilet Training Lm

Kemampuan kognitif anak bila anak sudah mampu melakukan toilet

training, seperti dapat mengikuti dan menuruti instruksi sederhana, memiliki

bahasa sendiri seperti peepee untuk buang air kecil, poopoo untuk buang air besar

dan anak dapat mengerti reaksi tubuhnya bila ingin BAB atau BAK dan dapat

memberitahukan bila ingin buang air (Nadira, 2006).

C. Pola Asuh Orang Tua

1. Pengertian

Menurut Kohn (dalam Krisnawati, 1997), menyatakan bahwa pola asuh

merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap

orangtua ini meliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun

hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritasnya dan juga cara orang tua

memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anak.

Sementara Theresia Indira Shanti, (http://www.tabloid-nakita.com),

menyatakan bahwa pola asuh merupakan pola interaksi antara orangtua dan anak.

Lebih jelasnya, yaitu bagaimana sikap atau perilaku orangtua saat berinteraksi

dengan anak. Termasuk caranya menerapkan aturan, mengajarkan nilai/norma,

memberikan perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan sikap dan perilaku

yang baik sehingga dijadikan contoh/panutan bagi anaknya.

Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa pola asuh

merupakan proses interaksi antara anak dengan orangtua dalam pembelajaran dan

pendidikan yang nantinya sangat bermanfaat bagi aspek pertumbuhan dan

perkembangan anak.

21

Page 22: 99746803 Toilet Training Lm

2. Macam-Macam Pola Asuh

Anak terus berkembang baik secara fisik maupun secara psikis untuk

memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan anak dapat terpenuhi bila orang tua dalam

memberi pengasuhan dapat mengerti, memahami, menerima dan memperlakukan

anak sesuai dengan tingkat perkembangan psikis anak, disamping menyediakan

fasilitas bagi pertumbuhan fisiknya. Hubungan orang tua dengan anak ditentukan

oleh sikap, perasaan dan keinginan terhadap anaknya. Sikap tersebut diwujudkan

dalam pola asuh orang tua di dalam keluarga (Pambudi, 2006).

Secara garis besar, pola asuh orang tua dapat dibagi menjadi tiga tipe,

yaitu :

a. Pola Asuh Otoriter.

Dalam pola asuh ini orang tua berperan sebagai arsitek., cenderung

menggunakan pendekatan yang bersifat diktator, menonjolkan wibawa,

menghendaki ketaatan mutlak. Anak harus tunduk dan patuh terhadap kemauan

orang tua. Apapun yang dilakukan oleh anak ditentukan oleh orang tua. Anak

tidak mempunyai pilihan dalam melakukan kegiatan yang ia inginkan, karena

semua sudah ditentukan oleh orang tua. Tugas dan kewajiban orang tua tidak sulit,

tinggal menentukan apa yang diinginkan dan harus dilakukan atau yang tidak

boleh dilakukan oleh anak. Selain itu, mereka beranggapan bahwa orang tua harus

bertanggungjawab penuh terhadap perilaku anak dan menjadi orang tua yang

otoriter merupakan jaminan bahwa anak akan berperilaku baik. Orang tua yakin

bahwa perilaku anak dapat diubah sesuai dengan keinginan orang tua dengan cara

memaksakan keyakinan, nilai, perilaku dan standar perilaku kepada anak.

22

Page 23: 99746803 Toilet Training Lm

Menurut Diana Baumrind, pola otoriter adalah pengasuhan yang kaku,

diktator dan memaksa anak untuk selalu mengikuti perintah orang tua tanpa

banyak alasan. Dalam pola asuh ini biasa ditemukan penerapan hukuman fisik dan

aturan-aturan tanpa merasa perlu menjelaskan kepada anak apa guna dan alasan di

balik aturan tersebut (http://www.tabloid-nakita.com).

Diana Baumrind (2011), pola asuh otoriter biasanya berdampak buruk

pada anak, seperti ia merasa tidak bahagia, ketakutan, tidak terlatih untuk

berinisiatif, selalu tegang, tidak mampu menyelesaikan masalah (kemampuan

penyelesaiannya buruk), begitu juga kemampuan komunikasinya yang buruk.

Selain itu, dampak dari pengasuhan yang otoriter adalah anak merasa tertekan,

dan penurut. Mereka tidak mampu mengendalikan diri, kurang dapat berpikir,

kurang percaya diri, tidak bisa mandiri, kurang kreatif, kurang dewasa dalam

perkembangan moral, dan rasa ingin tahunya rendah.

Dengan demikian pengasuhan yang otoriter akan berdampak negatif

terhadap perkembangan anak kelak yang pada gilirannya anak sulit

mengembangkan potensi yang dimiliki, karena harus mengikuti apa yang

dikehendaki orangtua, walau bertentangan dengan keinginan anak. Pola asuh ini

juga dapat menyebabkan anak menjadi depresi dan stres karena selalu ditekan dan

dipaksa untuk menurut apa kata orangtua, padahal mereka tidak menghendaki.

Untuk itu sebaiknya setiap orangtua menghindari penerapan pola asuh otoriter ini.

b. Pola Asuh Demokratis (Authoritative)

Dalam pola asuh ini, orang tua memberi kebebasan yang disertai

bimbingan kepada anak. Orang tua banyak memberi masukan-masukan dan

arahan terhadap apa yang dilakukan oleh anak. Orang tua bersifat obyektif,

23

Page 24: 99746803 Toilet Training Lm

perhatian dan kontrol terhadap perilaku anak. Dalam banyak hal orang tua sering

berdialog dan berembuk dengan anak tentang berbagai keputusan. Menjawab

pertanyaan amak dengan bijak dan terbuka. Orangtua cenderung menganggap

sederajat hak dan kewajiban anak dibanding dirinya. Pola asuh ini menempatkan

musyawarah sebagai pilar dalam memecahkan berbagai persoalan anak,

mendukung dengan penuh kesadaran, dan berkomunikasi dengan baik.

Pola Demokratis (authoritative) mendorong anak untuk mandiri, tetapi

orang tua harus tetap menetapkan batas dan kontrol. Orang tua biasanya bersikap

hangat, dan penuh welas asih kepada anak, bisa menerima alasan dari semua

tindakan anak, mendukung tindakan anak yang konstruktif.

Anak yang terbiasa dengan pola asuh Demokratis (authoritative) akan

membawa dampak menguntungkan. Di antaranya anak akan merasa bahagia,

mempunyai kontrol diri dan rasa percaya dirinya terpupuk, bisa mengatasi stres,

punya keinginan untuk berprestasi dan bisa berkomunikasi, baik dengan teman-

teman dan orang dewasa. Anak lebih kreatif, problem solvingnya baik,

komunikasi lancar, tidak rendah diri, dan berjiwa besar (Baumrind, 2011).

Penerapan pola demokratis berdampak positif terhadap perkembangan

anak kelak, karena anak senantiasa dilatih untuk mengambil keputusan dan siap

menerima segala konsekuensi dari keputusan yang diambil. Dengan demikian

potensi yang dimiliki anak dapat berkembang secara optimal, karena anak

melakukan segala aktivitas sesuai dengan kehendak dan potensinya. Sementara

orangtua memberikan kontrol dan bimbingan manakala anak melakukan hal-hal

negatif yang dapat merusak kepribadian anak.

24

Page 25: 99746803 Toilet Training Lm

c. Pola Asuh Permisif.

Pola asuh ini memperlihatkan bahwa orang tua cenderung menghindari

konflik dengan anak, sehingga orang tua banyak bersikap membiarkan apa saja

yang dilakukan anak. Orangtua bersikap damai dan selalu menyerah pada anak,

untuk menghindari konfrontasi. Orang tua kurang memberikan bimbingan dan

arahan kepada anak. Anak dibiarkan berbuat sesuka hatinya untuk melakukan apa

saja yang mereka inginkan. Orang tua tidak peduli apakah anaknya melakukan

hal-hal yang positif atau negatif, yang penting hubungan antara anak dengan

orang tua baik-baik saja, dalam arti tidak terjadi konflik dan tidak ada masalah

antara keduanya (Pambudi, 2006).

Menurut Baumrind (2011), pola asuh ini disebut juga pola asuh neglectful

(tidak peduli). Apapun yang terjadi, terjadilah, tanpa orang tua menaruh peduli

sama sekali. Anak mau sekolah terserah, tidak sekolah juga terserah. Apa saja

yang ingin dilakukan anak, orang tua membolehkannya. Kalau ia harus berangkat

kerja saat itu, ya ia tetap berangkat ke kantor, tanpa peduli anak akan menentukan

pilihan yang mana, orangtua bersikap serba membolehkan (http://www.tabloid-

nakita.com).

Pola penelantar adalah pola dimana orang tua tidak mau terlibat dan tidak

mau pula pusing-pusing mempedulikan kehidupan anaknya. Jangan salahkan bila

anak menganggap bahwa aspek - aspek lain dalam kehidupan orang tuanya lebih

penting daripada keberadaan dirinya. Walaupun tinggal di bawah atap yang sama,

bisa jadi orang tua tidak begitu tahu perkembangan anaknya.

Pola asuh seperti ini tentu akan menimbulkan serangkaian dampak buruk.

Di antaranya anak akan mempunyai harga diri yang rendah, tidak punya kontrol

25

Page 26: 99746803 Toilet Training Lm

diri yang baik, kemampuan sosialnya buruk, dan merasa bukan bagian yang

penting untuk orang tuanya. Bukan tidak mungkin serangkaian dampak buruk ini

akan terbawa sampai ia dewasa. Tidak tertutup kemungkinan pula anak akan

melakukan hal yang sama terhadap anaknya kelak. Akibatnya, masalah

menyerupai lingkaran setan yang tidak pernah putus.

Dalam mengasuh anak, orangtua hendaknya bersikap arif dan bijaksana,

tidak ekstrim terhadap salah satu pola asuh yang ada, dalam arti mampu memberi

pengasuhan sesuai dengan apa yang sedang dilakukan anak dan apa harapan

orangtua. Jadi orangtua dapat menerapkan ketiga pola asuh tersebut sesuai dengan

situasi dan kondisi (Pambudi, 2006).

3. Kebutuhan Dasar Anak untuk Tumbuh Kembang kaitannya dengan

Pola Asuh

Menurut Soetjiningsih (1997), kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang,

secara umum digolongkan menjadi 3 kebutuhan dasar, antara lain :

a. Kebutuhan fisik-biomedis (“ASUH”)

Pola asuh orang tua terhadap anak meliputi :

1) Pangan/ gizi merupakan kebutuhan terpenting.

2) Perawatan kesehatan dasar, antara lain imunisasi, pemberian ASI, penimbangan

bayi/ anak yang teratur, pengobatan jika sakit, dll.

3) Papan/ pemukiman yang layak.

4) Higiene perorangan, sanitasi lingkungan.

5) Sandang.

6) Kesegaran jasmani, rekreasi.

26

Page 27: 99746803 Toilet Training Lm

b. Kebutuhan emosi/kasih sayang (“ASIH”)

Pada tahun-tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat, mesra dan selaras

antara ibu dengan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin tumbuh kembang

yang selaras baik fisik, mental maupun psikososial. Kasih sayang orang tua baik dari

ayah maupun ibu menciptakan ikatan yang erat dan kepercayaan dasar ( basic trust).

c. Kebutuhan akan stimulasi (“ASAH”)

Stimulasi mental merupakan cikal bakal dalam proses belajar (pendidikan dan

pelatihan) pada anak. Stimulasi mental (ASAH) ini mengembangkan perkembangan

mental psikososial : kecerdasan, keterampilan, kemandirian, kreativitas, agama,

kepribadian, moral, produktivitas, dan sebagainya. dapar membahagiakan dan

membanggakan orang tua yang telah susah payah membesarkannya dengan cina dan

kasih sayang.

4. Kapan menerapkan pola asuh otoriter, demokratis dan permisif.

Dalam konteks pengasuhan anak, Ginoot (2004), membagi pola asuh

dalam tiga daerah, yaitu daerah hijau, kuning dan merah. Artinya : (1) Jika anak

sedang melakukan kegiatan di daerah hijau, yaitu kegiatan yang dikehendaki

orangtua (sesuai dengan nilai atau norma yang ada), maka orangtua dapat

menerapkan pola asuh permisif, (2) Jika anak melakukan kegiatan di daerah

merah yaitu kegiatan yang tidak dikehendaki orang tua (bertentangan dengan nilai

atau norma yang ada) , maka dapat menerapkan pola asuh otoriter, dan (3) Jika

anak melakukan kegiatan di daerah kuning (daerah antara hijau dan merah), yaitu

daerah dimana seharusnya dilarang, namun masih dapat ditolerir , maka dapat

menerapkan pola asuh demokratis.

27

Page 28: 99746803 Toilet Training Lm

Namun demikian, di daerah manapun anak-anak melakukan kegiatan,

apakah di daerah hijau, kuning atau merah, dalam situasi dan kondisi

bagaimanapun, sebaiknya orangtua menerapkan pola asuh demokratis.

Dengan demikian pengasuhan yang diberikan oleh orangtua lebih

mengutamakan kasih sayang, kebersamaan, musyawarah, saling pengertian dan

penuh keterbukaan. Jika anak-anak dibesarkan dan diasuh dengan pola asuh yang

demokratis, niscaya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Seluruh potensi

yang dimiliki anak dapat dikembangkan secara optimal. Dengan demikian pada

gilirannya nanti anak-anak yang sehat, cerdas, ceria dan berakhlak mulia dapat

terwujud. Dampak positif yang akan muncul adalah terwujudnya suatu tatanan

masyarakat yang baik, saling menghargai, saling menghormati, saling

menyayangi, saling mengasihi, masyarakat yang terbuka, berpikiran positif, jujur,

dan mempunyai toleransi yang baik.

D. Pengaruh Pola Asuh terhadap Tingkat Keberhasilan Toilet training

Pola asuh merupakan curahan kasih sayang dan perhatian ibu. Kasih

sayang dan perhatian tersebut dapat mempengaruhi kualitas dalam penerapan

toilet training secara dini, dimana ibu yang perhatian akan berpengaruh lebih

cepat dalam melatih anak usia toddler melakukan toilet training secara dini.

Dengan dukungan perhatian ibu maka anak akan lebih berani atau termotivasi

untuk mencoba karena mendapatkan perhatian dan bimbingan. Kasih sayang dan

bimbingan dari orang tua tercermin terhadap pola asuh yang diterapkan oleh

orang tua sejak bayi (Ginoot, 2004).

28

Page 29: 99746803 Toilet Training Lm

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konseptual

Keterangan :

Variabel yang tidak diukur

Variabel yang diukur

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah suatu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh

kelompok tersebut (Rafii dalam Nursalam, 2008). Menurut Sugiyono (2007),

variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan

29

Orang Tua

PendidikanPekerjaanKasih SayangLingkunganPengetahuan

Keberhasilan Toilet Training

Pola Asuh Orang Tua1. Otoriter2. Permisif3. Demokratis

Anak Usia Pra Sekolah

Page 30: 99746803 Toilet Training Lm

oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut,

kemudian ditarik kesimpulannya.

a. Variabel bebas (independent variable)

Variabel bebas adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain

(Nursalam, 2008). Variabel bebas adalah menjadi sebab timbulnya atau

berubahnya variabel terikat (dependent variabel) sehingga variabel independent

adalah variabel yang mempengaruhi (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini yang

menjadi variabel bebas pola asuh orang tua.

b. Variabel terikat (dependent variable)

Variabel terikat adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel

lain (Nursalam, 2008). Variabel ini disebut variabel respons, output, kriteria dan

konsekuen. Variabel ini merupakan akibat adanya variabel bebas (dependent

variable) (Sugiyono, 2007). Dalam penelitian ini variabel yang berubah karena

perlakuan terapi non farmakologis adalah keberhasilan toilet training.

2. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah defenisi berdasarkan karakteristik yang

diamati dari sesuatu yang didefenisikan tersebut (Nursalam, 2008).

Tabel 1. Variabel dan Definisi Operasional

30

Page 31: 99746803 Toilet Training Lm

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Kriteria SkalaIndependenPola Asuh Orang Tua

Sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anak usia 4-6 tahun yang meliputi pelaksanaan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, menunjukkan otoritasnya dan juga cara orangtua memberikan perhatian serta tanggapan terhadap anak yang berhubungan dengan pelaksanaan toilet training.

Kuesioner pola asuh dengan jumlah item sebanyak 30 yang terdiri dari :1-10 untuk kuesioner pola asuh otoriter, 11-20 untuk pola asuh demokratis dan 21-30 untuk pola asuh permisif.

1. Otoriter2. Demokratis3. Permisif

Nominal

DependenKeberhasilan Toilet training

Respons yang ditunjukkan oleh anak dalam menunjukkan kedewasaannya setelah melewati fase toilet training yang diukur dengan indikator keberhasilan toilet training

Kuesioner 1. Berhasil (jika semua komponen keberhasilan toilet training berhasil dicapai oleh anak)

2. Tidak berhasil (jika terdapt komponen keberhasilan toilet training yang tidak dicapai oleh anak)

Nominal

C. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan

penelitian (Nursalam, 2008). Hipotesis dalam penelitian ini adalah “Terdapat

pengaruh antara pola asuh dengan keberhasilan toilet training di RSUD Wangaya

Kota Denpasar”.

31

Page 32: 99746803 Toilet Training Lm

BAB 4

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik korelasional yang bertujuan

untuk menghubungkan dua variabel yaitu pola asuh dengan keberhasilan toilet

training. Pendekatan yang digunakan yaitu cross-sectional dimana variabel

independen dan dependen dinilai secara simultan pada suatu saat, jadi tidak ada

tindak lanjut (Nursalam, 2008).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Ruang Poliklinik Anak RSUD Wangaya

Denpasar dalam waktu 1 bulan yaitu mulai bulan Nopember 2011.

C. Populasi, Sampel dan Sampling

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang

mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2007).

Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki anak umur

4-6 tahun yang berkunjung ke Poliklinik Anak RSUD Wangaya Denpasar.

32

Page 33: 99746803 Toilet Training Lm

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu

yang dianggap mewakili populasinya (Sugiyono, 2007). Kriteria inklusi adalah

karakteristik umum subyek penelitian dari suatu populasi target dan terjangkau

yang akan diteliti. Sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak

usia 4-6 tahun yang berkunjung ke Poliklinik Anak RSUD Wangaya Denpasar

dengan kriteria :

a. Kriteria inklusi:

1) Ibu yang bisa baca tulis

2) Ibu yang tinggal serumah dengan anak (bukan keluarga single parent)

3) Bersedia menjadi responden

b. Kriteria Eksklusi :

1) Ibu yang tidak kooperatif

2) Ibu dengan anak cacat fisik atau mental

3) Ibu dengan anak yang mengalami penyakit kritis

3. Sampling

Sampling adalah suatu proses dalam menyeleksi porsi dari populasi

untuk dapat mewakili populasi (Nursalam & Pariani: 2001).

Pemilihan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

nonprobability dengan concecutive sampling yaitu teknik penentuan sampel

berdasarkan kriteria waktu. Dalam penelitian ini sampel yang dikumpulkan

berdasarkan kurun waktu 1 bulan yaitu bulan Nopember 2011. Berapapun jumlah

sampel yang diperoleh dalam kurun waktu penelitian akan digunakan sebagai

sampel.

33

Page 34: 99746803 Toilet Training Lm

D. Kerangka Kerja

E. Jenis dan Cara Pengumpulan Data

1. Jenis Data Yang Dikumpulkan

34

Populasi Seluruh ibu yang memiliki anak usia 4-6 tahun di

Poliklinik Anak RSUD Wangaya Denpasar

Sampel

Ibu yang memenuhi kriteria Inklusi

Pengumpulan Data

Analisa Data:Menggunakan Uji Statistik

Chi Aquare

Penyajian Hasil

Concecutive Sampling

Kesimpulan dan desiminasi hasil

Page 35: 99746803 Toilet Training Lm

Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan adalah data primer yang

langsung diperoleh dari hasil jawaban kuesioner yang dibagikan langsung pada

responden.

2. Cara Pengumpulan Data

Setelah mendapatkan ijin penelitian dari Direktur dan Bagian Diklit RSUD

Wangaya Denpasar. Langkah selanjutnya yaitu melakukan pendekatan informal

kepada sampel yang diteliti dengan menjelaskan maksud dan tujuan penelitian.

Pengumpulan data dimulai dari penetapan sampel yang sesuai dengan kriteria

inklusi yang telah ditetapkan. Sebelumnya sampel diberikan penjelasan tentang

penelitian ini dan bila sampel setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian yang

bersangkutan diminta untuk menandatangani lembar pernyataan bersedia menjadi

responden. Setelah itu, sampel atau responden diberikan lembar kuesioner dan

menjawab sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

3. Instrumen Pengumpul Data

Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner

pola asuh yang sesuai dengan tinjauan teori tentang konsep pola asuh. Kuesioner

ini terdiri dari 30 pertanyaan yang terdiri dari 10 pernyataan tentang otoritas, 10

pertanyaan tentang demokratis dan 10 pertanyaan tentang penelantar. Untuk

kuesioner ini, untuk menentukan jenis pola asuh yang dilakukan orang tua selama

mengasuh anak pra sekolah adalah dengan menghitung skor masing-masing dari

30 pertanyaan dengan mengelompokkan setiap pertanyaan ke dalam kelompok

pola asuh, untuk kelompok I (Pola Asuh Otoriter) yang terdiri dari soal 1-10,

35

Page 36: 99746803 Toilet Training Lm

kelompok II (Pola Asuh Demokratis) soal 11-20 dan kelompok III (Pola Asuh

Penelantar) soal 21-30. Kemudian dihitung skor dari masing-masing kelompok

menentukan pola asuh orang tua. Jika kelompok I memiliki skor yang paling

tinggi maka pola asuh orang tua adalah otoriter, demikian juga untuk kelompok II

adalah pola asuh demokratis, dan III adalah penelantar. Untuk kuesioner

keberhasilan toilet training juga disusun berdasarkan tinjauan teori tentang

keberhasilan toilet training, keberhasilan toilet training dilakukan dengan

menanyakan kepada ibu atau orang tua tentang perkembangan yang telah dicapai

anak sehubungan dengan pelaksanaan toilet training. Masing-masing kuesioner di

atas akan dilakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen.

a. Validitas dan Reliabilitas

1) Uji Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan kevalidan dan kesahiban

suatu instrument. Uji coba instrument dilakukan pada 30 orang tua yang memiliki

anak usia 4-6 tahun di RSUD Kabupaten Badung .

Uji validitas dilakukan dengan analisis butir kuesioner menggunakan

rumus Pearson Product Moment yang mana rumusnya sebagai berikut :

r

Keterangan :

r = koefisien korelasi

∑ Xi = jumlah skor item

∑ Yi = jumlah skor total item

N = jumlah responden

36

Page 37: 99746803 Toilet Training Lm

2) Uji Reabilitas

Reabilitas adalah suatu kesamaan hasil apabila pengukuran dilaksanakan

oleh orang ataupun waktu yang berbeda (Setiadi, 2007). Sebagai patokan dasar

dapat ditentukan ukuran indeks reabilitas sebagai berikut :

< 0,59 = reabilitas rendah

0,60 – 0,89 = reabilitas sedang

0,90 – 1,00 = reabilitas tinggi

Uji reabilitas pada instrument ini dilakukan dengan menggunakan rumus

Aplha yang rumusnya sebagai berikut :

rii =

Dimana :

rii = reabilitas instrument

k = banyaknya butir pertanyaan

∑ab² = jumlah varians butir

a²t = varians total

Langkah-langkah yang dilakukan untuk menguji validitas dan reabilitas

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Menentukan nilai r table, dari r table Product Moment dengan tingkat

signifikan 5% untuk 30 orang sampel adalah 0,361

2) Mencari r hasil dari 30 responden dilakukan dengan bantuan program

komputer yaitu uji Pearson Product Moment

3) Dasar pengambilan keputusan

a) Jika r hasil positif, serta r hasil > r table, item pertanyaan tersebut valid

b) Jika r hasil negative, serta r < table, maka item pertanyaan tersebut tidak valid

c) Jika r hasil > r table tapi berharga negative item pertanyaan tersebut tetap

ditolak

37

Page 38: 99746803 Toilet Training Lm

d) Sedangkan nilai reliabilitas, jika nilai alpha menunjukkan nilai > 0,60 berarti

kuesioner reliabel.

F. Pengolahan dan Analisis Data

1. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Editing yaitu pemeriksaan data termasuk melengkapi data- data yang belum

lengkap dan memilih data mana yang diperlukan (Sukawana, 2008).

b. Coding yaitu proses mengklasifikasikan mengelompokkan data sesuai dengan

klasifikasinya dengan cara memberikan kode tertentu (Sukawana, 2008).

c. Entry yaitu memasukkan data, menghapus data yang tidak diperlukan, dan

menyimpan sebelum diolah dengan bantuan program computer.

d. Penyajian data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan deskriptif,

tabel dan grafik.

2. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dimasukkan dalam master tabel pengumpulan data,

setelah terkumpul dilakukan penyuntingan. Data yang sudah terkumpul dilakukan

analisis sebagai berikut :

a. Analisis univariat

Analisis univariat dilakukan dengan menghitung prosentase sebaran data

dari masing-masing variabel yaitu pola asuh orang tua dan keberhasilan toilet

training. Data kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.

b. Analisis bivariat

38

Page 39: 99746803 Toilet Training Lm

Analisis bivariat merupakan analisis yang dilakukan untuk mengetahui

hubungan antra variabel bebas dan variabel terikat. Untuk uji bivariat yaitu

hubungan antara variabel yang diuji dilakukan dengan uji statistik Chi-Square

untuk mengetahui perbandingan antara dua variabel yaitu pola asuh orang tua

dengan keberhasilan toilet training dengan tingkat kemaknaan p < 0,05

(Sukawana, 2008).

3. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti mendapatkan rekomendasi dari

STIKes Wira Medika PPNI Bali. Untuk responden yang diteliti, sebelumnya

peneliti telah memperhatikan penekanan masalah etika yang meliputi:

a. Lembar Persetujuan (Informed Consent)

Lembar persetujuan penelitian diberikan pada responden. Tujuannya

adalah agar subyek mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang

diteliti selama pengumpulan data. Jika subyek bersedia diteliti maka harus

menandatangani lembar persetujuan. Jika subyek menolak untuk diteliti maka

harus maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati haknya.

(Nursalam, 2001).

b. Tanpa Nama (Anonimity)

Menjaga kerahasiaan identitas subyek, peneliti tidak akan mencantumkan

nama subyek pada lembar pengumpulan data (kuesioner) yang diisi oleh subyek.

Lembar tersebut hanya diberi nomor kode tertentu. (Nursalam, 2001).

c. Kerahasiaan (Confidentiality)

39

Page 40: 99746803 Toilet Training Lm

Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh subyek dijamin oleh peneliti.

(Nursalam, 2001).

40