KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah,
karena berkat kemurahanNya referat ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan.
Dalam makalah ini kami membahas “Keratitis superfisial”, merupakan kelainan akibat
terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi
keruh.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagi CoAss
Universitas Pelita Harapan yang sedang menjalani program kepaniteraan klinik di
departemen mata Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I Raden Said Sukanto.
Dalam proses penyusunan referat yang membahas keratitis superfisial ini, tentunya
kami mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih
yang dalam-dalamnya kami sampaikan kepada pembimbing kami :
dr. Agah Gadjali, Sp.M
dr. Hermansyah, Sp.M
dr. Gartati Ismail, Sp.M,
dr. Mustafa K.S, Sp.M
dr. Henry A.W, Sp.M
Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan memiliki banyak
keterbatasan.Akhir kata semoga referat ini dapat berguna bagi penulis maupun
pembaca sekalian.
Jakarta, 24 Mei 2011
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
PENDAHULUAN..............................................................................................................1
ANATOMI DAN FISIOLOGI KORNEA.............................................................................3
PATOFISIOLOGI..........................................................................................................7
GEJALA UMUM............................................................................................................7
KLASIFIKASI................................................................................................................8
1. Keratitis Superfisial nonulseratif................................................................................8
1.1 Keratitis Pungtata Superfisial dari Fuchs.........................................................8
1.2 Keratitis Numularis atau Keratitis Dimmer.......................................................9
1.3 Keratitis Disiformis dari Westhoff.....................................................................9
1.4 Keratokonjungtivitis Epidemika......................................................................10
2. Keratitis Superfisial Ulseratif...................................................................................11
2.1 Keratitis Pungtata Superfisial Ulserativa............................................................11
2.2 Keratokonjungtivitis Flikten................................................................................11
2.3 Keratitis Herpetika.............................................................................................12
2.4 Keratokonjungtivitis Sika....................................................................................15
2.5 Rosasea Keratitis..............................................................................................16
PENATALAKSANAAN...................................................................................................17
1. Keratitis Superfisial nonulseratif..............................................................................17
1.1 Keratitis Pungtata Superfisial dari Fuchs.......................................................17
1.2 Keratitis Numularis atau Keratitis Dimmer.........................................................17
1.3 Keratitis Disiformis dari Westhoff.......................................................................17
1.4 Keratokonjungtivitis Epidemika..........................................................................17
ii
2. Keratitis Superfisial Ulseratif...................................................................................18
2.1 Keratitis Pungtata Superfisial Ulserativa............................................................18
2.2 Keratokonjungtivitis Flikten................................................................................18
2.3 Keratitis Herpetika.............................................................................................18
2.4 Keratokonjungtivitis Sika....................................................................................18
2.5 Rosasea Keratitis..............................................................................................19
PROGNOSIS.................................................................................................................20
KESIMPULAN................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................22
iii
PENDAHULUAN
Keratitis adalah infeksi pada kornea yang ditandai dengan timbulnya infiltrat pada
lapisan kornea, biasanya diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena; yaitu
keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau bowman dan keratitis
profunda atau interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai
lapisan stroma.¹ Keratitis superfisial adalah radang kornea yang mengenai lapisan
epitel dan membran bowman, keratitis dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa.
Kornea merupakan salah satu media refraksi penglihatan dan berperan besar dalam
pembiasan cahaya diretina. Oleh karena itu setiap kelainan pada kornea termasuk
infeksi dapat menyebabkan terganggunya penglihatan, terganggunya penglihatan
biasanya karena terjadi kekeruhan pada kornea akibat keberadaan infiltrat pada lapisan
kornea. Bakteri pada umumnya tidak dapat menyerang kornea yang sehat, namun
beberapa kondisi dapat menyebabkan infeksi bakteri terjadi. Contohnya, luka atau
trauma pada mata dapat menyebabkan kornea terinfeksi. Mata yang sangat kering juga
dapat menurunkan mekanisme pertahanan kornea.
Beberapa etiologi yang dapat meningkatkan kejadian terjadinya keratitis antara
lain: perawatan lensa kontak yang buruk, penggunaan lensa kontak yang berlebihan,
trauma, keracunan obat, infeksi jamur, bakteri, virus, alergi, defisiensi vitamin A,
kekebalan tubuh yang menurun karena penyakit lain. Keratitis dapat menimbulkan
gejala pada mata berupa tajam penglihatan menurun, tanda radang pada kelopak mata,
rasa nyeri, mata merah, fotofobia, mata berair, sensasi benda asing didalam mata.²
Di Indonesia kekeruhan kornea masih merupakan masalah kesehatan mata
sebab kelainan ini menempati urutan kedua dalam penyebab utama kebutaan.
Kekeruhan kornea ini terutama disebabkan oleh infeksi mikroorganisme berupa bakteri,
jamur dan virus dan bila terlambat di diagnosis atau diterapi secara tidak tepat akan
mengakibatkan kerusakan stroma dan meninggalkan jaringan parut yang luas.
Antibiotik, anti jamur dan anti virus dapat digunakan tergantung organism
penyebab. Antibiotik spektrum luas dapat digunakan secepatnya, tapi bila hasil
1
laboratorium sudah menentukan organisme penyebab, pengobatan dapat diganti.
Terkadang, diperlukan lebih dari satu macam pengobatan. Terapi bedah, misalnya
transplantasi kornea biasa dilakukan pada kasus yang tidak dapat membaik dengan
terapi medikamentosa.4 Pengobatan yang inadekuat atau salah dapat menyebabkan
perburukan gejala, misalnya kortikosteroid topikal dapat menyebabkan perburukan
kornea pada pasien dengan keratitis akibat virus herpes simplex.
Kontrol rutin ke dokter mata dapat membantu mengetahui perbaikan dari
keadaan mata, hal ini disertai dengan diagnosis dini dan pengobatan yang adekuat
memberikan prognosis yang baik. Pengobatan keratitis meliputi pemberian antiviral
topikal, antibiotik topikal, kortikosteroid topikal, dan suplemen untuk dapat mencegah
infeksi sekunder.
Referat ini akan membahas secara menyeluruh mengenai keratitis superfisial
yang terdiri dari ulseratif dan non-ulseratif . Tujuan dari penulisan referat ini adalah
sebagai syarat kelulusan dalam kepaniteraan klinik ilmu penyakit mata Rumah Sakit
Bhayangkara tingkat I Raden Said Sukanto.
2
ANATOMI DAN FISIOLOGI KORNEA
Gambar 1. Kornea
(Sumber: http://img.webmd.com/dtmcms/live/webmd/consumer_assets/site_images/articles)
Kornea (latin cornum=seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian
selaput mata yang tembus cahaya.² Kornea transparan (jernih), bentuknya hampir
sebagian lingkaran dengan diameter vertikal 10-11mm dan horizontal 11-12mm, tebal
0,6-1mm terdiri dari 5 lapis .Kemudian indeks bias 1,375 dengan kekutan pembiasan
80%. Sifat kornea yang dapat ditembus cahaya ini disebabkan oleh struktur kornea
yang uniform, avaskuler dan diturgesens atau keadaan dehidrasi relative jaringan
kornea, yang dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi
sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam mencegah
dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat daripada cedera
pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel jauh menyebabkan sifat transparan hilang dan
edema kornea, sedangkan kerusakan epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat
karena akan menghilang seiring dengan regenerasi epitel.
Kornea dipersarafi oleh banyak serat saraf sensoris terutama saraf siliaris
longus, saraf nasosiliaris, saraf ke V saraf siliaris longus berjalan supra koroid , masuk
kedalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung
3
Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai kedua lapis terdepan tanpa ada
akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan didaerah limbus. Daya
regenerasi saraf sesudah dipotong didaerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa
endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel
tidak mempunyai daya regenerasi.
Gambar 2. Lapisan Kornea
(Sumber: Vaughan & Asbury's General Ophthalmology Textbook, 17th edn)
Kornea merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri
atas lapis:²
1. Epitel
Bentuk epitel gepeng berlapis tanpa tanduk. Bersifat fat soluble substance. Ujung
saraf kornea berakhir di epitel oleh karena itu kelaianan pada epitel akan
menyebabkan gangguan sensibilatas korena dan rasa sakit dan mengganjal. Daya
regenerasi cukup besar, perbaikan dalam beberapa hari tanpa membentuk jaringan
4
parut. Tebalnya 50um, terdiri atas sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang
tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering
terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong kedepan menjadi lapis sel sayap dan
semakin maju kedepan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel
basal disampingnya dan sel poligonal didepannya melalui desmosom dan makula
okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang
merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat
kepadanya. Bila terjadi gangguan akan menjadi erosi rekuren. Epitel berasal dari
ektoderm permukaan.2
2. Membrana Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
Mempertahankan bentuk kornea Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
Kerusakan akan berakhir dengan terbentuknya jaringan parut.2
3. Stroma
Lapisan yang paling tebal dari kornea. Bersifat water soluble substance. Terdiri atas
jaringan kolagen yang tersusun atas lamel-lamel, pada permukaan terlihat anyaman
yang teratur sedang dibagian perifer serat kolagen bercabang. Stroma bersifat
higroskopis yang menarik air, kadar air diatur oleh fungsi pompa sel endotel dan
penguapan oleh sel epitel. Gangguan dari susunan serat kornea terlihat keruh.
Terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang
sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast
terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar
dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.2
4. Membran Descemet
Lapisan tipis yang bersifat kenyal, kuat dan tidak berstruktur dan bening terletak
dibawah stroma dan pelindung atau barrier infeksi dan masuknya pembuluh darah.
Merupakan membrane selular dan merupakan batas belakang stroma kornea
dihasilkan. sel endotel dan merupakan membrane basalnya. Bersifat sangat elastis
dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40um.2
5. Endotel
5
Satu lapis sel terpenting untuk mempertahankan kejernihan kornea, mengatur cairan
didalam stroma kornea, tidak mempunyai daya regenerasi, pada kerusakan bagian
ini tidak akan normal lagi. Dapat rusak atau terganggu fungsinya akibat trauma
bedah, penyakit intra okuler dan usia lanjut jumlah mulai berkurang. Berasal dari
mesotalium, berlapis satu bentuk heksagonal besar 20-40um. Endotel melekat pada
mebran descemet melalui hemi desmosom dan zonula okluden.2
6
TINJAUAN PUSTAKA
PATOFISIOLOGI
Karena kornea avaskular, maka pertahanan sewaktu peradangan tak dapat
segera datang. Maka badan kornea, sel-sel yang terdapat di dalam stroma segera
bekerja sebagai makrofag baru kemudian disusul oleh pembuluh darah yang terdapat di
limbus dan tampak sebagi injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrat, yang
tampak sebagi bercak bewarna kelabu, keruh, dan permukaan yang licin. Kemudian
dapat terjadi kerusakan epitel dan timbul ulkus kornea yang dapat menyebar ke
permukaan dalam stroma. Pada perdangan yang hebat, toksin dari kornea dapat
menyebar ke iris dan badan siliar dengan melalui membran descemet dan endotel
kornea. Dengan demikian iris dan badan siliar meradang dan timbullah kekeruhan di
cairan COA, disusul dengan terbentuknya hipopion. Bila peradangan terus mendalam,
tetapi tidak mengenai membran descemet dapat timbul tonjolan membran descement
yang disebut mata lalat atau descementocele. Pada peradangan dipermukaan kornea,
penyembuhan dapat berlangsung tanpa pembentukan jaringan parut. Pada peradangan
yang lebih dalam, penyembuhan berakhir dengan terbentuknya jaringan parut yang
dapat berupa nebula, makula, atau leukoma. Bila ulkusnya lebih mendalam lagi dapat
timbul perforasi yang dapat mengakibatkan endoftalmitis, panoftalmitis, dan berakhir
dengan ptisis bulbi.
GEJALA UMUM
Keratitis dapat memberikan gejala mata merah, rasa silau, epiforia, nyeri,
kelilipan, dan penglihatan menjadi sedikit kabur. Jika penyebabnya adalah sinar
ultraviolet, maka gejala-gejala biasanya munculnya agak lambat dan berlangsung
selama 1-2 hari. Jika penyebabnya adalah virus, maka kelenjar getah bening di depan
telinga akan membengkak dan nyeri bila ditekan.Gejala lainnya yang mungkin
ditemukan adalah mata terasa perih, gatal dan mengeluarkan kotoran.
7
KLASIFIKASI
Keratitis Superfisial dapat dibagi menjadi keratitis superfisial nonulseratif dan
keratitis superfisial ulseratif.
1. Keratitis Superfisial nonulseratif
1.1 Keratitis Pungtata Superfisial dari Fuchs
Merupakan suatu peradangan akut, yang mengenai satu, kadang-kadang dua
mata, mulai dengan konjungitivitis kataral, disertai dengan infeksi dari traktus
respiratorius bagian atas. Disusul dengan pembentukan infiltrat yang berupa titik-titik
pada kedua permukaan membran Bowman. Infiltrat tersebut dapat besar atau kecil
dan dapat timbul hingga berratus-ratus. Infiltrat ini di dapatkan di bagian superfisial
dari stroma, sedang epitel di atasnya tetap licin sehingga tes fluoresin (-) oleh
karena letaknya di subepitelial.
Gambar 3. Keratitis pungtata superfisial
(Sumber: http://www.optometric.com/article.aspx?article=102268)
Penyebabnya adalah infeksi virus, bakteri, parasit, neurotropik, dan nutrisial.
8
1.2 Keratitis Numularis atau Keratitis Dimmer
Gambar 4. Keratitis Numularis
(Sumber: Pedoman diagnosis dan terapi ilmu penyakit mata edisi III)
Keratitis numularis bentuk keratitis dengan ditemukannya infiltrat yang bundar
berkelompok dengan inti jernih dan warna putih disekelilingnya berbatas tegas
sehingga memberikan gambaran halo. Tes fluoresen (-). Bila sembuh akan
menyebabkan sikatrik ringan.
1.3 Keratitis Disiformis dari Westhoff
Gambar 5. Keratitis disiformis
(Sumber: http://www.sarawakeyecare.com/Atlasofophthalmology/anteriorsegment/Anteriorsegment27disciformkeratitis.htm)
Disebut juga sebagai keratitis sawah, karena merupakan peradangan kornea yang
banyak di negeri persawahan basah. Penyebabnya adalah virus yang berasal dari
sayuran dan binatang. Pada anamnesa umumnya ada riwayat trauma dari lumpur
sawah. Pada mata tanda radang tidak jelas, mungkin terdapat injeksi silier. Apabila
9
disertai dengan infeksi sekunder, mungkin timbul tanda-tanda konjungtivitis. Pada
kornea tampak infiltrat yang bulat-bulat, di tengahnya lebih padat dari pada di tepi dan
terletak subepitelial. Tes Fluoresin (-).3 Terletak terutama dibagian tengah kornea.
Umumnya menyerang orang-orang berumur 15-30 tahun.
1.4 Keratokonjungtivitis Epidemika
Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral. Awalnya sering pada satu
mata saja, dan biasanya mata pertama lebih parah. Kekeruhan subepitel bulat. Sensasi
kornea normal. Nodus preaurikuler yang nyeri tekan adalah khas. Edema palpebra,
kemosis, dan hiperemia konjungtiva menandai fase akut. Folikel dan perdarahan
konjungtiva sering muncul dalam 48 jam. Dapat membentuk pseudomembran dan
mungkin diikuti parut datar atau pembentukan simbelfaron. 2, 4
Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4 minggu. Kekeruhan subepitel terutama
terdapat di pusat kornea, bukan di tepi, dan menetap berbulan-bulan namun tidak
meninggalkan jaringan parut ketika sembuh. 4 Keratokonjungtivitis epidemika pada
orang dewasa terbatas pada bagian luar mata. Namun, pada anak-anak mungkin
terdapat gejala sistemik infeksi virus seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media,
dan diare.4 Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan oleh adenovirus tipe 8, 19, 29,
dan 37 (subgroub D dari adenovirus manusia). Virus-virus ini dapat diisolasi dalam
biakan sel dan diidentifikasi dengan tes netralisasi. Kerokan konjungtiva menampakkan
reaksi radang mononuklear primer; bila terbentuk pseudomembran, juga terdapat
banyak neutrofil. 2
Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata sangat sering terjadi melalui jari-
jari tangan dokter, alat-alat pemeriksaan mata yang kurang steril, atau pemakaian
larutan yang terkontaminasi. Larutan mata, terutama anastetika topikal, mungkin
terkontaminasi saat ujung penetes obat menyedot materi terinfeksi dari konjungtiva atau
silia. Virus itu dapat bertahan dalam larutan itu, yang menjadi sumber penyebaran. 2,4
Kontaminasi botol larutan dapat dihindari dengan memakai penetes steril pribadi
atau memakai tetes mata dengan kemasan unit-dose. Cuci tangan secara teratur di
antara pemeriksaan dan pembersihan serta sterilisasi alat-alat yang menyentuh mata
10
khususnya tonometer. Tonometer aplanasi harus dibersihkan dengan alkohol atau
hipoklorit, kemudian dibilas dengan air steril dan dikeringkan dengan hati-hati. 4
2. Keratitis Superfisial Ulseratif
2.1 Keratitis Pungtata Superfisial Ulserativa
Penyakit ini didahului oleh konjungtivitis kataral, akibat stafilokok ataupun
pneumokok. Tes fluoresin (+).4
2.2 Keratokonjungtivitis Flikten
Gambar 6. Keratokonjungtivitis flikten
(Sumber: http://imaging.ubmmedica.com/shared/zone5/0808IIMREIF2.jpg)
Merupakan radang kornea dan konjungtiva akibat dari reaksi imun yang mungkin
sel mediated pada jaringan yang sudah sensitif terhadap antigen. Pada mata terdapat
flikten yaitu berupa benjolan berbatas tegas berwarna putih keabuan yang terdapat
pada lapisan superfisial kornea dan menonjol di atas permukaan kornea. 2,5
Bentuk keratitis dengan gambaran bermacam-macam, dengan ditemukannya
infiltrat dan neovaskularisasi pada kornea. Gambaran karakteristiknya adalah dengan
terbentuknya papul dan pustula pada kornea ataupun konjungtiva. Pada mata terdapat
flikten pada kornea berupa benjolan berbatas tegas berwarna putih keabuan, dengan
atau tanpa neovaskularisasi yang menuju kearah benjolan tersebut. Biasanya bersifat
bilateral yang dimulai dari daerah limbus.
Pada gambaran klinis akan terlihat suatu keadaan sebagai hiperemia
konjungtiva, kurangnya air mata, menebalnya epitel kornea, perasaan panas disertai
11
gatal dan tajam penglihatan yang berkurang. Pada limbus di dapatkan benjolan putih
kemerahan dikelilingi daerah konjungtiva yang hyperemia. Bila terjadi penyembuhan
akan terjadi jaringan parut dengan noevaskularisasi pada kornea.
Pada anak-anak keratitis flikten disertai gizi buruk dapat berkembang menjadi
tukak kornea karena infeksi sekunder. Tukak flikten sering ditemukan berbentuk
sebagai benjolan abu-abu, yang pada kornea terlihat sebagai:
- Ulkus fasikular, berbentuk ulkus yang menjalar melintas kornea dengan
pembuluh darah jelas dibelakangnya.
- Flikten multipel di sekitar limbus
- Ulkus cincin, yang merupakan gabungan ulkus.
2.3 Keratitis Herpetika
Keratitis herpes simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh
infeksi virus herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Kelainan mata akibat infeksi herpes
simpleks dapat bersifat primer dan kambuhan. lnfeksi primer ditandai oleh adanya
demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans, bleparitis, dan 2/3
kasus terjadi keratitis epitelial. Kebanyakan kasus bersifat unilateral, walaupun dapat
terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopi.
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel,
berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai
terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster
oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak,
keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis herpes simpleks
ringan adalah tidak adanya fotofobia.
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu paska infeksi primer
dengan mekanisme yang tidak jelas. Virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik atau
ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion nervus trigeminus,
dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan virus. Namun akhir-akhir ini
dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan sebagai tempat berlindung virus
herpes simpleks6.
12
Gambar 7. Keratitis dendritik
(Sumber: Ophthalmology. A pocket textbook atlas 2nd edition 2006 by G Lange)
Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik. Keratitis
dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang diakibatkan oleh
perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkañ kematian sel serta membentuk
defek dengan gambaran bercabang. Keratitis dendritika dapat berkembang menjadi
keratitis geografika, hal ini terjadi akibat bentukan ulkus bercabang yang melebar dan
bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta
geografi dengan kaki cabang mengelilingi ulkus.
Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes
zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang
dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.
Keratitis epitelial dapat berkembang menjadi ulkus metaherpetik, dalam hal ini
terjadi perobekan membrana basalis. Ulkus metaherpetik bersifat steril, deepitelisasi
meluas sampai stroma. Ulkus ini berbentuk bulat atau lonjong dengan ukuran beberapa
milimeter dan bersifat tunggal. Pada kasus ini dapat dijumpai adanya edema stroma
yang berat disertai lipatan membrana descemet. Reaksi iritasi konjungtiva bersifat
13
ringan akibat adanya hipestesia. Reflek lakrimasi berkurang, sehingga produksi tear film
menjadi relatif tidak cukup. Ulkus metaherpetik dapat menetap dalam beberapa minggu
sampai beberapa bulan. Untuk penyembuhannya memerlukan waktu sekurang-
kurangnya 6 minggu.
Klasifikasi Diagnosis:
Hogan dkk. (1964) membuat klasifikasi diagnosis keratitis herpes simpleks sebagai
berikut:
1. Superfisial, dibedakan atas bentuk dendritika, dendritika dan stroma, geografika.
2. Profunda, dibedakan atas stroma dan disciform, stroma dan penyembuhan,
stroma dan ulserasi.
3. Uveitis, dibedakan atas kerato uveitis dan uveitis; dalam hal ini keratouveitis
dibedakan atas bentuk ulserasi dan non ulserasi.
Klasifikasi tersebut ternyata kurang sempurna, karena bentuk keratitis pungtata
yang merupakan awal keratitis dendnitik tidak dimasukkan. Selain itu, pada beberapa
kasus yang berat ternyata dijumpai glaukoma sekunder yang diakibatkan oleh radang
jaringan trabekulum.
Untuk membuat diagnosis, sekarang ini dianut kiasifikasi yang dibuat oleh
Pavan-Langston (1983) sebagai berikut:
1. Ulserasi epitelial, dibedakan atas bentuk pungtata, dendritika,
dendrogeografika, geografika.
2. Ulserasi trophik atau meta herpetika.
3. Stroma, dibedakan atas bentuk keratitis disciform, keratitis interstitialis.
4. Uveitis anterior dan trabekulitis.
Klasifikasi menurut Pavan-Langston inipun belum sempurna, mengingat sangat
jarang ditemukan kasus uveitis anterior maupun trabekulitis yang berdiri sendiri tanpa
melibatkan adanya keratitis.
14
2.4 Keratokonjungtivitis Sika
Gambar 8. Keratokonjungtivitis sika
(Sumber: http://odlarmed.com/?p=3709)
Keratokonjungtivitis sika adalah suatu keadaan keringnya permukaan kornea dan
konjungtiva. Kelainan ini terjadi pada penyakit yang mengakibatkan :
1. Defisiensi komponen lemak air mata. Misalnya: blefaritis menahun, distikiasis
dan akibat pembedahan kelopak mata.
2. Defisiensi kelenjar air mata: sindrom Sjogren, sindrom Riley Day, alakrimia
congenital, aplasi congenital saraf trigeminus, sarkoidosis limfoma kelenjar air
mata, obat-obat diuretik kimia, atropin dan usia tua.
3. Defisiensi komponen musin: benign ocular pemphigoid, defisiensi vitamin A,
trauma kimia, sindrom Stevens Johnson, penyakit-penyakit yang mengakibatkan
cacatnya konjungtiva.
4. Akibat penguapan yang berlebihan seperti pada keratitis neroparalitik, hidup di
gurun pasir, keratitis lagoftalmus.
5. Karena parut pada kornea atau menghilangnya mikrovili kornea.
Pada keratokonjungtivitis sika terdapat rasa gatal pada mata. Pada mata didapatkan
sekresi mukus yang berlebihan. Sukar menggerakkan kelopak mata. Mata kering
karena dengan erosi kornea.
Pada pemeriksaan lama celah didapatkan miniskus air mata pada tepi kelopak mata
bawah hilang, edema konjungtiva bulbi, filamen (benang-benang) melekat di kornea.1
15
2.5 Rosasea Keratitis
Gambar 9. Keratitis rosasea
(Sumber: http://www.nyee.edu/digitalatlas.html)
Didapat pada orang yang menderita akne rosasea, yaitu penyakit dengan
kemerahan dikulit, disertai akne diatasnya, yang merupakan komplikasi dari akne
rosasea dan lebih sering terjadi pada orang dengan kulit putih. Hiperemi yang terjadi
berlangsung beberapa lama dan diikuti dengan dilatasi pembuluh darah kecil yang
tetap, terutama di daerah hidung. Bagian dalam dari kulit menebal, terutama di daerah
hidung. Hipertrofi kulit hidung menimbulkan lipatan yang disebut rinofima. Penyakit ini
timbul pada dewasa muda dan hilang pada usia lanjut. Penyebabnya tidak diketahui
dengan jelas, namun mungkin ada hubungan dengan makanan, kelainan pencernaan,
kebanyakan alkohol, dan gastric achlorida.
Lebih dari 50% menunjukkan blefaritis, konjungtivitis, yang mungkin disebabkan
oleh infeksi sekunder, dengan stafilokok. Dapat terjadi kerusakan kornea apabila akne
mengenai kornea. Pada pemeriksaan mikroskopik, perifer kornea dapat mengalami
ulserasi dan vaskularisasi, dan keratitis memiliki dasar yang sempit pada daerah limbus
dan infiltrat yang luas pada bagian sentral.4
Penyakit rosasea adalah penyakit yang menahun dan sering menimbulkan
kekambuhan serta memberikan respon yang jelek terhadap pengobatan. Pada setiap
serangan penglihatan bertambah buruk.
16
PENATALAKSANAAN
1. Keratitis Superfisial nonulseratif
1.1Keratitis Pungtata Superfisial dari Fuchs
Pengobatan yang dapat diberikan pada keratitis pungtata superfisial dari
Fuchs adalah pengobatan lokal, yaitu salep antibiotik atau sulfa untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder, dan dapat dikombinasi dengan kortikosteroid.
1.2 Keratitis Numularis atau Keratitis Dimmer
Tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap penyakit ini. Obat-obatan
hanya diberikan untuk mencegah infeksi sekunder. Untuk terapi lokal diberikan
salep antibiotika yang dapat dikombinasi dengan kortikosteroid.
1.3 Keratitis Disiformis dari Westhoff
Untuk keratitis Disiformis dari Westhoff dapat diberikan salep mata
antibiotik yang dapat dikombinasikan dengan kortikosteroid. Pada keratitis ini,
biasanya perjalanan penyakit lama hingga berbulan-bulan.3
1.4 Keratokonjungtivitis Epidemika
Pengobatan pada keadaan akut sebaiknya diberikan kompres dingin dan
pengobatan penunjang lainnya. Lebih baik diobati secara konservatif. Bila terjadi
kekeruhan pada kornea yang menyebabkan penurunan visus yang berat dapat
diberikan steroid tetes mata 3 kali sehari.2 Antibiotik sebaiknya diberikan apabila
terdapat superinfeksi bakteri.
17
2. Keratitis Superfisial Ulseratif
2.1 Keratitis Pungtata Superfisial Ulserativa
Salep antibiotika atau sulfa yang sesuai dengan kumannya yang didapatkan atau
memakai obat antibiotika yang berspektrum luas.
2.2 Keratokonjungtivitis Flikten
Pengobatan keratokonjungtivitis flikten adalah dengan memberi steroid lokal
maupun sistemik. Flikten kornea dapat menghilang tanpa bekas namun apabila telah
terjadi ulkus akibat infeksi sekunder dapat terjadi parut kornea. Dalam keadaan yang
berat dapat terjadi perforasi kornea.
2.3 Keratitis Herpetika
Pengobatan kadang-kadang tidak diperlukan karena dapat sembuh spontan atau
dapat sembuh dengan melakukan debridement. Dapat juga dengan memberikan obat
antivirus topikal dan antibiotika topikal. Antivirus seperti IDU 0.1% diberikan setiap 1
jam atau asiklovir.
Sebagian besar para pakar menganjurkan melakukan debridement sebelumnya.
Debridement epitel kornea selain berperan untuk pengambilan spesimen diagnostik,
juga untuk menghilangkan sawar epitelial sehingga antiviral lebih mudah menembus.
Dalam hal ini juga untuk mengurangi subepithelial "ghost" opacity yang sering mengikuti
keratitis dendritik. Diharapkan debridement juga mampu mengurangi kandungan virus
epithelial sehingga reaksi radang akan cepat berkurang.
2.4 Keratokonjungtivitis Sika
Pengobatan harus langsung bertujuan untuk mempertahankan lapisan air mata
dengan menggantinya dengan air mata buatan. Pada keratokonjungtivitis yang
berhubungan dengan Sjogren sindrom pemberian kortikosteroid dosis rendah dan
topikal siklosporin menunjukkan keefektifan.
Pengobatan juga tergantung dari penyebabnya:
a. Pemberian air mata tiruan bila yang kurang adalah komponen air mata
18
b. Pemberian lensa kontak apabila komponen mukus yang berkurang
c. Penutupan pungtum lakrimal bila terjadi penguapan yang berlebihan
2.5 Rosasea Keratitis
Pengobatan penyakit ini adalah dengan menghindari makan makanan pedas dan
panas serta minuman beralkohol yang dapat menyebabkan dilatasi dari pembuluh
darah di wajah. Adanya infeksi stafilokokus harus diobati dengan oral tetrasiklin atau
doksisiklin. Dosis maintenen dapat diadministrasikan untuk mengontrol penyakit ini.
19
PROGNOSIS
Prognosis pada setiap kasus tergantung pada beberapa faktor, termasuk luas
dan dalamnya lapisan kornea yang terlibat, ada atau tidaknya perluasan ke jaringan
orbita lain, status kesehatan pasien (contohnya immunocompromised), virulensi
patogen,ada atau tidaknya vaskularisasi dan deposit kolagen pada jaringan tersebut,
waktu penegakkan diagnosis klinis yang dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
penunjang seperti kultur pathogen di laboratorium. Pasien dengan infeksi ringan dan
diagnosis mikrobiologi yang lebih awal memiliki prognosis yang baik; bagaimana pun,
kontrol dan eradikasi infeksi yang meluas didalam sklera atau struktur intraokular
sangat sulit. Diagnosis awal dan terapi tepat dapat membantu mengurangi kejadian
hilangnya penglihatan. Imunitas tubuh merupakan hal yang penting dalam kasus ini
karena diketahui reaksi imunologik tubuh pasien sendiri yang memberikan respon
terhadap virus ataupun bakteri. Pada keratitis superfisialis pungtata penyembuhan
biasanya berlangsung baik meskipun tanpa pengobatan.
20
KESIMPULAN
Keratitis adalah peradangan pada kornea yang ditandai dengan adanya infiltrat
di lapisan kornea. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya, yaitu
superfisial, interstisial dan profunda. Keratitis superfisial adalah radang kornea yang
mengenai lapisan epitel dan membran bowman. Keratitis dapat terjadi pada anak-anak
maupun dewasa. Keratitis dapat memberikan gejala mata merah, rasa silau, epifora,
nyeri, kelilipan, dan penglihatan menjadi sedikit kabur.
Keratitis superfisial dapat dibagi menjadi :
Keratitis superfisial nonulseratif, yang terdiri atas:
1. Keratitis pungtata superfisial dari Fuchs
2. Keratitis numularis dari Dimmer
3. Keratitis disiformis dari Westhoff
4. Keratokonjungtivitis epidemika
Keratitis superfisial ulseratif, yang terdiri atas :
1. Keratitis pungtata superfisial ulserativa
2. Keratitis flikten
3. Keratitis herpertika
4. Keratitis sika
5. Rosasea keratitis
Setiap etiologi menunjukan gejala yang berbeda – beda tergantung dari jenis
pathogen dan lapisan kornea yang terkena. Diagnosis keratitis dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan lampu celah. Dengan pemeriksaan lampu celah, penatalaksanaan
keratitis dapat dilakukan dengan tepat dan sesuai dengan etiologi penyebabnya.
Prognosis pada setiap kasus tergantung pada beberapa faktor, termasuk
luasnya dan kedalaman lapisan kornea yang terlibat, ada atau tidak nya perluasan ke
jaringan orbita lain, status kesehatan pasien (contohnya immunocompromised),
virulensi patogen, ada atau tidaknya vaskularisasi dan deposit kolagen pada jaringan
tersebut, waktu penegakkan diagnosis klinis yang dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan penunjang lainnya seperti kultur pathogen, dan diagnosis serta
pengobatan yang diberikan.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Vaughan, Daniel G et al. 2002. Oftalmologi Umum edisi-14. Jakarta: Widya
Medika. Hal: 129 – 152
2. Ilyas, S (2009) Ilmu Penyakit Mata, 3rd edn., Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
3. Nungraheni K. (2010) Presus mata "keratitis", Available at:
file:///C:/Users/win7/Desktop/Refrat%20keratitis/index.php.htm (Accessed: 9
Mei 2011).
4. Vaughan & Asbury's (2008) General Ophthalmology, 17th edn., United States
of America: McGraw-Hill.
5. Dinas kesehatan Propinsi Jawa Tengah., 2001. Buku Pedoman Kesehatan
Mata, Telinga, dan Jiwa. Jawa Tengah
6. Kaye SB, Lynas C, Patterson A, Risk JM, McCarthy K, Hart CA. Evidence for
herpes simplex viral latency in the human cornea, Bri Ophthalmol 1991; 75:
195200
7. Suhardjo, Agni AN. Penggunaan asiklovir salep mata 3% untuk pengobatan
keratitis herpetika, Medika 1992; 11: 258
8. Suhardjo (1995) Diagnosis dan PenatalaksanaanKeratitis Herpes Simpleks ,
Available at: file:///C:/Users/win7/Desktop/Refrat%20keratitis/keratitis
%20herpetik.html (Accessed: 9 Mei 2011).
22